KEPEMIMPINAN YESUS DAN KONFLIK DENGAN

KEPEMIMPINAN YESUS DAN
KONFLIK DENGAN ORANG FARISI
Tafsir Terhadap Matius 23:1-4
James A. Lola*
Abstract
New Testament gives a very clear picture of the conflict between Jesus and
the Pharisees, the Pharisees considered Jesus blaspheme God, otherwise Jesus
condemned the Pharisees, as the expense of the commandment of God for the sake
of their customs. But what's interesting is that in an instruction to the disciples
(Matt.23: 1-4), Jesus actually taught that the students obey the teaching of the
Pharisees, what did Jesus mean by these words?
Key Words: Jesus, Pharisees, conflict
A. Pendahuluan
Yesus ketika hidup di dunia dalam masa pelayanan-Nya, telah menjadi tokoh
yang sangat kontroversialis, hal ini disebabkan karena sebagian besar percakapan
publik Yesus terjadi dalam bentuk perdebatan dengan para pemimpin agama
Palestina pada masa itu. Mereka tidak setuju dengan Yesus dan Yesus juga tidak
setuju dengan mereka.
Dalam setiap kesempatan perdebatan dengan para pemimpin agama pada
saat itu, tidak jarang Yesus mengecam para pemimpin agama pada saat itu dengan
kata-kata yang keras. Yesus menyebut mereka dengan kata 'bodoh' (Mat.23:17),

orang-orang munafik (Mat 15:6; 23:29), orang buta yang menuntun orang buta (Mat
15:14; 23:16, 24), orang sesat (Mrk. 12:24) dan juga orang-orang yang membatalkan
Firman Tuhan demi tradisi mereka (Mat.15:1-7).
Salah satu sekte dalam agama Yudaisme pada saat itu yang terus menerus
ditentang oleh Yesus adalah Kaum Farisi. Kaum Farisi adalah sekte yang paling
berpengaruh pada zaman Yesus dalam agama Yudaisme, mereka disebut juga
sebagai kaum puritan Yudaisme, karena mereka menjadi kaum yang begitu sangat
memisahkan diri dari segala hubungan duniawi dan kejahatan.1 Teologi utama dari
Kaum Farisi ini didasarkan pada seluruh hukum Perjanjian Lama, namun dalam
penafsiran terhadap hukum-hukum, mereka menggunakan dan menjunjung tinggi
adat istiadat nenek moyang mereka karena bagi mereka adat istiadat nenek moyang
juga merupakan wahyu Allah yang sama dengan kitab Perjanjian Lama. Josephus
memberikan komentar yang menarik mengenai pengajaran kaum Farisi ini,
"Kaum Farisi melekat erat pada
kepada mereka. Mereka percaya
walaupun diwariskan secara lisan
namun telah diberikan Musa di
hukum Taurat. Oleh karena itu,

bangunan tradisi yang telah diwariskan

bahwa 'tradisi nenek moyang' ini,
dan tidak ditemukan dalam kitab Musa,
Gunung Sinai sebagai tambahan bagi
kaum Farisi menganggap bahwa ada

* Penulis adalah alumni STT SETIA Jakarta dan Dosen di STAKN Toraja.
Farisi sendiri berasalah dari kata parash yang berarti 'memisahkan' ini menunjukkan kepada
pemisahan diri mereka dari mashab kaum saduki yang dipimpin oleh John Hyrchanus (135-105 SM)
para penguasa Macabe saat itu. Tujuan pemisahan diri dari mereka adalah untuk melawan arus
Helenisme yang waktu itu menyerang Yudaisme. Mereka ini datang dari kaum Hasidian yaitu orangorang Saleh pada masa itu.
1

dua pewahyuan paralel dari Allah. Yang satu ialah hukum tertulis dan yang
kedua adalah tradisi lisan. Kedua-duanya sama sama penting dan samasama berkuasa."2
Orang Farisi begitu menekankan kepada tradisi lisan.3 Bahkan dalam salah
satu targum Rabinik (parafrasa Aramaik dari Perjanjian Lama), Allah bahkan
digambarkan sebagai 'menyibukkan diri-Nya sendiri di siang hari dengan menelaah
Kitab Suci dan di malam hari dengan Mishnah'.4
Penafsiran kaum Farisi terhadap Kitab Suci yang berpaut erat dengan tradisi
lisan ini yang kemudian terus menerus melahirkan konflik antara Yesus dengan

mereka diantaranya berkaitan dengan pembasuhan tangan (Mrk. 7:1-13 bnd
Mat.15:1-9), Hari Sabat (Yoh. 5:1-18), Bergaul dengan orang-orang berdosa (Luk.
5:29-32) dan masih banyak lagi perdebatan-perdebatan kontroversial yang
disebabkan oleh karena hal ini, yang memicu Yesus untuk mengecam mereka.
Yesus dalam beberapa hal mengajarkan kepada murid-murid-Nya secara
khusus untuk berhati-hati terhadap ajaran kaum Farisi dan Saduki (Mat. 16:5-12),
tetapi di sisi yang lain juga memberikan pengajaran kepada murid-muridnya dan
orang-orang banyak untuk menghormati orang-orang Farisi karena mereka telah
menduduki kursi Musa, sehingga ajaran mereka perlu dituruti (Mat. 23:1-3)
Pandangan Yesus terhadap orang Farisi yang terakhir ini pada akhirnya
melahirkan persoalan tersendiri bagi para ahli.5 Menurut para ahli, hal ini menjadi
dilema tersendiri karena Yesus sebelumnya telah mengajarkan untuk berhati-hati
terhadap ajaran orang Farisi, kemudian mengajarkan hal yang bertentangan dengan
ajaran sebelumnya untuk menaati ajaran orang Farisi, namun pada saat yang
bersamaan mengecam orang-orang Farisi. Claude Douglas menyimpulkan dilema
ini dalam sebuah kalimat, “Either we must admit that here Jesus greatly exaggerates
the facts or else he contradicts himself.”6
Sebenarnya apa maksud Yesus dengan mengatakan kepada orang banyak
dan murid-murid-Nya mengenai orang Farisi yang telah menduduki 'Kursi Musa' dan
juga mengenai ajaran mereka yang harus dituruti dan harus dilakukan. Apakah

Yesus sedang merujuk kepada persetujuan atas otoritas dari orang-orang Farisi dan
apakah Yesus menyetujui penafsiran mereka terhadap kitab suci?
B. Yesus Menegaskan Otoritas Orang Farisi?
2

The Works of Flavius Josephus, diterjemahkan oleh William Whiston (1737): The
Antiquuities of the Jews xviii.1.3,4 and The Wars of The Jews ii.8.14
3
Tradisi Lisan ini pada abad kedua sebelum masehi mulai dilestarikan dalam bentuk tulisan
menjadi apa yang dikenal saat ini yaitu Mishnah. Mishnah memiliki enam bagian mencakup hukum
pertanian, hari-hari perayaan dan hukum perkawinan. Selain itu juga hukum kemasyarakatan,
kejahatan serta hukum upacara adat. Belakangan ditambahkan juga Gemara, yaitu rangkaian
komentar atas hukum-hukum itu. Mishnah dan Gemara bersama-sama membentuk kitab Talmud
bangsa Yahudi.
4
ibid. The Antiquuities of the Jews xviii 10.6
5
Mark Allan Powell mengomentari bagian ini “These few verses appear to present ideas that
flagrantly contradict what is said elsewhere in the Gospel, and, despite numerous attempts at
resolution, many scholars have come to regard this passage as a vagrant pericope that simply cannot

be reconciled with the theology of the overall work”, (“Do and Keep What Moses Says”, Journal of
Biblical Literature 114 (1995): 419) bnd pandangan Viviano untuk bagian ini “perhaps the most
puzzling verses to explain in the Gospel of Matthew . . .” (Benedict T. Viviano, “Social World and
Community Leadership: The Case of Matthew 23:1–12, 34,” JSNT 39 (1990) 3.
6
Claude C. Douglas, Overstatement in the New Testament (New York: Henry Holt and
Company, 1931) 90.

Apakah Yesus sedang menegaskan otoritas dari orang Farisi dalam
menafsirkan kitab suci? Pembacaan sepintas akan teks ini, akan memberikan
pemahaman bahwa pada dasarnya perkataan Yesus pada ayat 2 ini " Ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa." merujuk kepada otoritas
dari orang Farisi untuk menafsirkan hukum Musa. Tetapi jika demikian maka, Yesus
sedang bertentangan dengan pengajaran sebelumnya, dan bahkan apa yang Yesus
sampaikan dalam ayat selanjutnya (ay.4-36).
Oleh karena itu, maka dalam bagian yang pertama ini kita akan melihat
mengenai apa yang dimaksud dengan 'Kursi Musa' (Μωϋ έω
α έδ α ) dan
maksud dari perkataan Yesus ini.
1. Kursi Musa (Μωϋσέω α έδ α )

Yesus menjelaskan bahwa orang Farisi dan ahli Taurat telah menduduki kursi
Musa. Para ahli kembali menemukan kesulitan apakah yang dimaksud dengan
perkataan Yesus ini. Apakah Yesus sedang memberikan sebuah bahasa ejekan
ataukah memang sebuah pujian. Jika bahasa Yesus ini dipahami sebagai sebuah
bahasa satire (ejekan) maka didapati kesimpulan bahwa Yesus sedang menyangkali
keberadaan dan keabsahan orang-orang Farisi yang pada saat itu diakui secara
luas. Hal ini menjadi agak sulit diterima karena seperti dalam catatan Josephus
bahwa "orang-orang kota sangat menghormati mereka [orang Farisi], karena mereka
berkhotbah dan mempraktekkan ajaran moral yang sangat luhur".7 Itu berarti bahwa
orang Farisi telah diterima dan diakui pada waktu. Sedangkan jika dipahami bahwa
ini memang adalah sebuah bahasa positif, maka didapati sebuah hipotesis bahwa
memang Yesus mengakui otoritas penafsiran mereka akan kitab suci. Ketegangan
ini, menjadikan teks ini menjadi salah satu teks yang sangat kontroversial dalam
Perjanjian Baru
Pengertian yang benar mengenai apa yang dimaksud dengan 'kursi Musa'
menjadi sesuatu yang penting dalam teks ini karena ini akan memberikan kita
pemahaman mengenai kedudukan orang Farisi dan juga otoritas mereka pada saat
itu.
Setidaknya ada empat pandangan yang diusulkan mengenai pengertian dari
'kursi Musa' ini yang dapat dirangkum dalam dua paradigma, yaitu pandangan yang

melihat 'kursi Musa' sebagai pernyataan yang mesti ditafsirkan secara literal 8 dan
yang kedua adalah melihat apa yang Yesus nyatakan itu sebagai bentuk metafora
atau figuratif mengenai posisi dan kedudukan orang Farisi pada saat itu.9
Bagi mereka yang melihat pernyataan Yesus ini dalam bentuk literal mengacu
kepada dua pandangan yaitu (1) Bahwa ini memang mengacu kepada sebuah kursi
7

The Antiquuities of the Jews xviii 18.1.3
Pandangan literal ini ditemukan dalam David Hill, The Gospel of Matthew, The New Century
Bible Commentary, (Grand Rapids, MI, 1972), p. 310. lihat juga J. C. Fenton, Saint Matthew,
Westminster Pelican Commentaries (Philadelphia, 1963), p. 366; H. Benedict Green, The Gospel
according to Matthew, The New Clarendon Bible (London, 1975), p. 189; K. Stendahl, "Matthew," in
Peake's Commentary on the Bible, eds. Matthew Black and H. H. Rowley (London, 1962), p. 792; W.
F. Albright and C. S. Mann, Matthew, AB (Garden City, NY, 1971), p. 278; Robert H. Gundry,
Matthew: A Commentary on His Literary and Theological Art (Grand Rapids, MI, 1982), p. 453-454
9
Pandangan figuratif ini terlihat dalam pandnagan beberapa penafsir seperti F. W. Beare,
The Gospel according to Matthew (Oxford, 1981), p. 448. lihat juga R. T. France, The Gospel
according to Matthew, Tyndale New Testament Commentaries (Downers Grove, IL, 1985), p. 324;
Walter Grundmann, Das Evangelium nach Matthaus, 5th ed., Theologischer Handkommentar zum

Neuen Testament, vol. 1 (Berlin, 1981), p. 483; M.-J. Lagrange, Evangile selon Saint Matthieu,
Etudes Bibliques (Paris, 1923), p. 437; F. N. Peloubet, The Teacher's Commentary on the Gospel
according to St. Matthew (New York, 1901), p. 271.
8

yang benar-benar ada dalam synagoge atau rumah ibadah orang Yahudi, di mana
orang yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum akan duduk 10. (2)
Mengacu kepada sebuah kursi yang didesign dan digunakan dalam synagoge untuk
menaruh (menyimpan) gulungan Kitab Suci ketika Kitab Suci tersebut tidak
digunakan.11 Sedangkan sudut pandang yang kedua yaitu melihat ini dalam bentuk
metafora, didasarkan kepada dua pandangan juga yaitu (1) Merujuk kepada fakta
bahwa orang-orang Farisi telah mengambil hak sebagai penafsir hukum Yahudi.12
(2) Mengacu kepada posisi sosial yang eksklusif dari orang-orang Farisi yang
memiliki akses kepada hukum Yudaisme [taurat] pada saat itu.13
Dasar dari sudut pandang literal yang pertama yang merujuk kepada tempat
di mana orang yang berhak menafsir taurat duduk mengacu kepada dua hal yaitu
pada penemuan arkeologi dan bukti sastra. Bukti arkeologi ini terlihat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Eleazar Sukenik pada tahun 1934, yang menemukan
adanya sebuah kursi batu14 secara universal dalam synagoge-synagoge Yahudi
yaitu di Chorazin, En Gedi, dan Hammat Tiberias,dan di synagoge di Delos dan

Dura-Europos.15 Dan pada penggunaannya waktu itu, kursi ini selalu diduduki oleh
orang Farisi ketika mereka menafsirkan hukum Taurat pada saat itu.
Bukti arkeologis ini diperkuat juga dengan bukti sastra yang ada, meskipun
harus diakui bahwa bukti sastra yang ada tidak terlalu banyak tetapi telah menjadi
poin penting untuk menjelaskan bahwa kursi yang ada di synagoge itu memang
disebut juga dengan 'kursi Musa'. Salah satu sumber sastra di luar Perjanjian Baru
yang dapat dijadikan rujukan adalah Pesikta de Rab Kahana yang merupakan salah
satu tulisan-tulisan awal yang digunakan sejajar dengan Midrash. Tulisan ini
diprediksi berasal dari abad ke IV.16 Dalam salah satu pasal dari Pesikta ini,
mengacu kepada seorang sarjana Palestina bernama Rabbi Aha, yang menjelaskan
tentang takhta Salomo dengan menyebut bahwa takhta Salomo ini seperti 'kursi
Musa' ( ‫א מ‬
‫)כ א‬.17 Tetapi sekalipun demikian, pandangan ini masih
diragukan kebenarannya karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
bukti sastra mengenai keberadaan 'kursi Musa' ini sangat sedikit, bahkan literatur
yang memuat fakta tentang kursi Musa ini baru ditulis setelah 150 tahun setalah Injil
Matius ini ditulis. Dan juga karena struktur dari synagoge pada jaman itu yang lebih
banyak menggunakan kamar-kamar ketimbang sebuah gedung, dan juga karena
G. C. σewport, “A σote on the „Seat of Moses,‟ AUSS (1990) 53–58; see also Donald A.
Hagner, Matthew 14–28 (WBC 33B; Dallas: Word, 1995) 659.

11
L.Y. Rahmni, “Stone Synagogue Chairs: Their Identification, Use and Significance,” IEJ 40
(1990) 192–214; Cecil Roth, “The „Chair of Moses‟ and Its Survivals,” PEQ 81 (1949) 100–111.
12
Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans,
1999) 541
13
Mark Powell, “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2–ι),” JBL 114 (1995) 419–35.
14
Kursi ini terbuat dari batu. Kursi yang ditemukan di Hammath terbuat dari sebuah batu
kapur dengan tinggi 90 Cm dan Lebar 60 Cm, dan batu ini diarahkan menghadap ke jemaat. Dan di
depan dari batu ini dituliskan beberapa kalimat (1) ingatlah yang baik untuk Yehuda (2) Ismael (3)
Yang menjadikan Stoa (4) Rumah tangga sebagai penghargaan (4) Kiranya selalu berpaut dengan
kebenaran. Selain itu juga ditemukan kursi ini di synagoge-synagoge yang lain yang telah ada sejak
bangsa Israel kembali dari pembuangan terutama pada masa Makabe. lih. E. L. Sukenik, Ancient
Synagogues in Palestine and Greece (London, 1934), 57-61.
15
E. L. Sukenik, Ancient Synagogues in Palestine and Greece (London, 1934), 57-61.
16
Lihat Bernard Mandelbaum, "Pesikta De-Rav Kahana," in Encyclopaedia Judaica

(Jerusalem, 1971), 13: 333-334 and J. Theodor, "Midrash Haggadah," in Jewish Encyclopedia (New
York, 1904), pp. 559-560.
17
Solomon Buber, Pesikta de-Rub Kaha'na (1868), sec. 1, p. 12; William G. Braude and
Israel J. Kapstein, trans., Pesikta de-Rub Kahana (Philadelphia, 1975), p. 17.
10

peralatan-peralatan dalam synagoge yang lebih banyak menggunakan bahan dari
kayu ketimbang batu yang tentu saja tidak akan bertahan lama.
Proposal kedua yang diajukan adalah bahwa kursi ini memang merupakan
sebuah kursi yang dibuat secara khusus untuk meletakan gulungan kitab suci ketika
tidak digunakan. Dasar dari pemikiran ini adalah pada tradisi dan pola pelayanan di
Synagoge terutama yang terlihat pada abad ke enam belas, di mana di setiap
synagoge memang memiliki sebuah kursi yang dilubangi dan disebut dengan istilah
'kursi Musa', dan ketika tidak ada kebaktian maka kitab suci disimpan di lubang yang
telah ada di kursi tersebut.18
Meskipun demikian, pandangan ini dianggap tidak mewakili argumentasi yang
kuat karena didasarkan kepada fakta yang terjadi pada abad ke enam belas dan
bukan pada periode awal. Juga bahwa fakta kursi Musa memang memiliki lubang
tidak serta merta memperkuat argumentasi bahwa memang kursi tersebut sengaja
dilubangi, karena lubang yang ada pada kursi tersebut bukanlah sebuah lubang
yang rata.19 Dan juga jika ini mengacu kepada tempat untuk menyimpan Kitab Suci
menjadi tidak tepat sesuai dengan konteksnya dengan ucapan Yesus bahwa orang
Farisi 'duduk' di kursi Musa.20
Pandang ketiga merujuk kepada sebuah metafora yang mengacu kepada
pandangan bahwa pada faktanya memang orang Farisi telah mendapatkan otoritas
sebagai penafsir dari hukum Taurat. Pandangan ini tergambar dengan jelas dalam
penjelasn Boring "Moses‟ seat‟ is a metaphorical expression representing the
teaching and administrative authority of the synagogue leadership, scribes and
Pharisees".21 Dengan demikian ini mengacu kepada pemahaman bahwa orangorang Farisi telah memiliki hak untuk memberikan penafsiran terhadap hukum taurat
itu sendiri.22
Meskipun bagi beberapa penafsir kedudukan orang Farisi ini lebih merupakan
sebuah metafora yang berkonotasi negatif karena pada dasarnya ini adalah sebuah
sindirian terselubung yang merujuk kepada sekolah Rabi dari Yoanan ben Zakkai at
Yavneh.23 Dan juga merupakan sebuah sindiran dari Yesus akan arogansi
intelektual dari orang Farisi pada waktu itu.24
Persoalan dari pandangan ini adalah melupakan fakta yang ada mengenai
penemuan-penemuan arkeologi yang merujuk kepada kursi yang benar-benar ada di
synagoge-synagoge pada waktu itu yang disebut dengan 'kursi Musa', karena
bagaimanapun penemuan-penemuan arkeologi dan bukti-bukti dari literatur-literatur
pada saat itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Artinya bahwa pandangan
ketiga hanya melihat bahwa kursi Musa ini semata-mata berkonotasi metafora saja.

Cecil Roth, “The „Chair of Moses‟ and Its Survival,” Palestine Exploration Quarterly 81
(1949) 110-111. Pandangan Roth ini diperkuat dengan fakta bahwa kursi yang ditemukan di
Hammath juga memiliki lubang yang dibuat untuk menyimpan Kitab Taurat ketika digunakan.
19
σewport, “A σote on the „Seat of Moses‟ ” 5ι.
20
Mark Allen Powell “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2-ι)” JBL (1995): 431,
note 48.
21
M. Eugene Boring, “The Gospel of Matthew,” in Leander E. Keck, ed. et. al., New
Interpreter’s Bible, Vol 8 (Nashville: Abingdon, 1995), 431.
22
Craig S. Keener, IVP New Testament Commentary Series: Matthew (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1997), pp 332-333
23
Benedict T. Viviano, “Social World and Community Leadership: The Case of Matthew 23:1–
12, 34,” JSNT 39 (1990) 11.
24
Cecil Roth, “The „Chair of Moses‟ and Its Survival,” Palestine Exploration Quarterly 81
(1949) 110
18

Proposal keempat, mengacu kepada kedudukan sosial dari orang Farisi yang
mendapatkan hak eksklusif mengakses kitab taurat. Pandangan ini didasarkan
kepada pemahaman dan fakta pada masa itu, di mana banyak orang yang buta
huruf sehingga tidak dapat membaca hukum Taurat dan juga pada salinan Kitab
Suci yang masih sangat jarang sekali, bahkan mungkin Murid-murid Yesus pada
saat itu hanya dapat mengetahui hukum Taurat melalui pembacaan dan penafsiran
yang dilakukan oleh orang Farisi di synagoge. Powel menulis “to their social position
as people who control accessibility. They are the ones who possess copies of the
Torah and are able to read them. They are the ones who know and are able to tell
others what Moses said". 25
Pandangan ini menarik, tapi agak tidak masuk akal. karena tidak mungkin
bahwa masyarakat yang menantikan Mesias akan sepenuhnya tergantung pada
orang-orang Farisi untuk akses mereka dengan Kitab Suci. Dan juga pembacaan
Taurat tidak mungkin terjadi dalam keniscayaan. Oleh karena itu tak terbayangkan
bahwa seseorang bisa mendengar Taurat, atau membaca tanpa dipengaruhi oleh
eksposisi nya juga. Selain itu, ada garis tipis antara apa yang merupakan
"membaca" dan apa yang merupakan "menafsirkan" teks Alkitab pada masa itu.
Pandangan Powell yang menyebut bahwa banyak orang yang buta huruf
pada saat itu, juga adalah argumentasi tanpa dasar, seperti yang terlihat bahwa
murid-murid Yesus pada saat itu, yang walau hanya penjala ikan namun adalah
orang-orang yang mampu membaca dan menulis, karena adalah tidak mungkin
Yesus, mempercayakan kelanjutan dari pelayanan-Nya di bumi kepada mereka
yang tidak memiliki akses kepada hukum taurat.
Berdasarkan kepada pemahaman dan uraian di atas, penulis lebih menyetujui
bahwa yang dimaksud dengan 'kursi Musa' merujuk kepada sebuah kursi yang
memang berada di synagoge yang dipakai oleh mereka yang mengajar di synagoge
untuk duduk, sekaligus juga menjadi sebuah metafora dari hak dan otoritas dari
orang Farisi untuk menafsirkan hukum Musa tersebut (pandangan pertama dan
ketiga). Fakta bahwa hanya beberapa kursi yang ditemukan di beberapa synagoge
tidak mematahkan fakta bahwa memang ada kursi ada saat itu, dan juga fakta
literatur yang ditulis 150 tahun setelah Injil Matius ditulis juga tidak memberikan
argumentasi penolakan akan keberadaan kursi tersebut.
Dan juga argumentasi yang memang menunjukkan kepada metafora dari apa
yang sebenarnya terjadi, bahwa para orang Farisi telah mengambil hak dan otoritas
untuk mengajar dan menafsirkan kitab Musa, karena bagaimanapun tidak dapat
disangkali bahwa posisi orang Farisi pada saat itu pada periode 'second temple'
dalam komunitas keagamaan Yudaisme sangat memiliki peran yang vital, karena
mereka adalah penjaga hukum Musa dan hukum Allah secara de facto sekaligus
mereka adalah yang berhak untuk mengeluarkan ajaran penting kepada masyarakat
pada saat itu, serta memberi putusan apakah halakhah yang berkaitan dengan
Taurat Musa dapat diterapkan secara kelompok dan individu dalam masyarakat
Yahudi.
Dan juga hal ini sesuai dengan konteks pada zaman itu yang merujuk kepada
tanda dari dunia kuno dan periode Perjanjian Baru bahwa tanda otoritatif pada saat
itu adalah 'duduk'.26
Mark Allan Powell, “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2-7), Journal of Biblical
Literature 114 (1995), 431-432
25

26 Misalnya, Yesus duduk ketika ia mengajar pada Khotbah di Bukit (Mat 5: 1), Anak
Manusia akan duduk di atas takhta-Nya yang mulia dengan para murid (Mat 19:28; 25:31), Yesus

Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan perkataan Yesus bahwa orang
Farisi telah menduduki kursi Musa apabila hal tersebut telah mengacu kepada
sebuah bentuk literal sekaligus metafora?
2. Maksud Perkataan Yesus
Apa maksud perkataan Yesus dengan orang Farisi telah 'menduduki kursi
Musa'? memang kursi Musa adalah lambang dari otoritas untuk menafsirkan dan
mengajarkan hukum Taurat, tetapi apakah itu berarti Yesus juga memberikan
legitimasi kepada orang-orang Farisi tentang otoritas mereka? Dalam hal ini, dapat
dipersempit pada apa arti dari kata 'menduduki' (ἐ ά αν)
Apakah yang Yesus maksudkan dengan kata 'ἐ ά αν' ini? Apakah dengan
kata ini Yesus sedang memberikan sebuah sindiran yang tajam kepada orang-orang
Farisi akan arogansi mereka, ataukah Yesus sedang menegaskan otoritas mereka?
Atau apakah Yesus dalam hal ini hanya menyatakan tentang sebuah fakta sejarah
yang menunjukkan peran orang Farisi pada periode 'second temple'? Cukup sulit
menentukan maksud Yesus ini, karena ada beberapa kemungkinan exegetical yang
dapat ditarik dari bagian ini. Setiap kemungkinan exegetical memiliki kelemahan dan
kekuatan tersendiri.
Oleh karena itu, untuk dapat menemukan jawaban akan hal ini secara lebih
kompeherensif, maka kita harus memeriksa ayat ini dalam kaitannya dengan
konteks yang lebih besar.
Pandangan yang pertama mengenai tafsiran kata 'ἐ ά αν' (duduk) yang
merupakan bentuk aorist dari kata α ίζω yang diterjemahkan oleh NIV, NRSV, and
the KJV dengan kata 'sit'. Menurut Turner, kata ini mengacu kepada sebuah bentuk
aorist sempurna yang dapat berarti "they took their seat and still sit". 27 Ini berarti
bahwa orang-orang Farisi telah menduduki kursi tersebut pada masa lampau dan
sampai sekarang masih mendudukinya, terlepas dari apakah mereka mendudukinya
dengan cara sah atau tidak.
Jadi dalam hal ini, ungkapan Yesus mengacu kepada pengakuan Yesus
secara de facto terhadap otoritas orang-orang Farisi di masa lampau yang telah
menduduki dan memiliki hak untuk menafsirkan hukum Taurat. Pendapat ini juga
diutarakan oleh Allen yang mengatakan bahwa orang-orang yang 'duduk' di kursi
Musa ini mengacu kepada masa lampau berdasarkan pada penggunaan bentuk
aorist dari α ίζω, ketimbang pada masa kini. Allen menulis “Formerly, the scribes
and Pharisees used to sit in the seat of Moses.28
Kelemahan dari pandangan ini adalah bahwa, bentuk aorist tidak selalu
diterjemahkan dalam bentuk masa lampau tetapi ada kondisi [kurang lebih lima kali]
di mana bentuk aorist dari kata α ίζω di dalam Perjanjian Baru diterjemahkan
dengan bentuk present (Mrk. 16:16; Ibr 1: 3; 8: 1; 10:12; Why 3:21), selain itu dalam
tata bahasa Yunani sebuah bentuk verba tidak selalu menentukan tense tetapi lebih
kepada aspek.

duduk ketika ia menguraikan tentang kitab suci di rumah ibadat (Lukas 4:20), dan ia duduk ketika ia
memanggil kedua Belas Murid untuk mengajar mereka (Mrk. 9:35) R. T. France, NIDNTT,
mengatakan, “Sitting was often a mark of honor or authority in the ancient world; a king sat to receive
his subjects, a court to give judgment, and a teacher to teach.”
27 Nigel Turner, A Grammar of the New Testament Greek, Vol. III Syntax, (Edinburgh: T & T
Clark, 1963), 72
28
W. C. Allen, A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According to St. Matthew
(3d ed.; ICC; Edinburgh: T & T Clark, 1912) 244.

Pandangan kedua mengenai kata 'ἐ ά αν' ini adalah sindiran Yesus bahwa
orang Farisi memang telah menduduki kursi Musa dengan cara yang tidak sah. Hal
ini dapat terlihat dalam terjemahan NASB 'have seated themselves'. Dengan kata
lain, bahwa orang Farisi dan ahli taurat telah mengambil otoritas itu untuk diri
mereka sendiri tanpa sebuah legitimasi yang benar dan oleh karena itu, mereka
hanya dianggap menduduki kursi Musa.29
Tetapi pandangan ini dianggap merupakan pandangan paling lemah,
dikarenakan jika pandangan ini diterima, beberapa persoalan justru menjadi lebih
pelik dan sulit. Di antaranya, bagaimana mungkin Yesus tetap memerintahkan
murid-murid-Nya untuk mentaati dan melakukan semua ajaran orang Farisi, padahal
Yesus sendiri tidak mengakui otoritas dan posisi mereka yang hanya dianggap
menduduki kursi Musa tersebut. Bukankah ini suatu ketidakmustahilan?
Dan juga hal ini menjadi sedikit sulit diterima karena posisi orang Farisi dan
ahli Taurat pada saat itu yang benar-benar dihormati. Ini terlihat dari pandangan
Danby dalam penjelasannya mengenai otoritas orang Farisi sesuai dengan aturan
waktu itu dalam Mishnah "Moses received the Law from Sinai and committed it to
Joshua, and Joshua to the elders, and the elders to the Prophets; and the Prophets
committed it to the men of the Great Synagogue [Pharisiees: penulis]".30
Pandangan ketiga dari bagian ini adalah bahwa memang Yesus mengakui
secara penuh otoritas dari orang Farisi dalam menafsirkan dan mengajarkan hukum
Taurat. Memang pengakuan ini adalah sebuah pengakuan yang bernada positif,
tetapi sekaligus pengakuan Yesus ini telah menjadi sebuah pengakuan yang
sebenarnya menjadi dasar dari Yesus untuk menghakimi para ahli Taurat dan orang
Farisi yang telah gagal memahami tentang siapa Yesus yang sebenarnya
(Mat.22:41-46),31 Hal ini terlihat juga pada ayat selanjutnya [mulai ayat 3] Yesus
mulai mencela orang-orang Farisi ini sebagai orang yang telah gagal menjalankan
otoritas mereka sebagai penerus ajaran Taurat karena perbuatan mereka yang tidak
sejalan dengan perkataan mereka, perkataan Yesus untuk menuruti pengajaran
mereka tetapi tidak perbuatan mereka [Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala
sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatanperbuatan mereka (Mat.23:3a)] menurut Robert Banks adalah sebuah "rhetorical
preparation"32.
Sekalipun pandangan ini menarik, tetapi menjadi tidak terlalu memadai untuk
menjawab beberapa keberatan yang ditimbulkan berkaitan dengan pengakuan
Yesus bahwa memang orang Farisi telah menduduki kursi Musa, jika Yesus
memang mengakui posisi orang Farisi kenapa setelah itu Yesus mulai mengkritik
mereka? Dan sekalipun, dapat dianggap bahwa bahasa Yesus ini hanyalah sebuah
'retorika persiapan' untuk mengkritik orang Farisi, tetap juga menimbulkan
pertanyaan yang cukup sulit adalah bagaimana Yesus masih tetap memberikan
perintah kepada murid-murid untuk tetap menaati orang Farisi?
Lalu, apa maksud dari kata 'ἐ ά αν Μωϋ έω
α έδ α ' ini? Penulis
mencoba memberikan sebuah proposal usulan terhadap maksud dari kata 'ἐ ά αν
Μωϋ έω α έδ α ' ini. Dalam perspektif penulis ungkapan Yesus bahwa orangorang Farisi telah menduduki kursi Musa dimaksudkan kepada beberapa hal yaitu
29

D. A. Carson, Matthew 13–28 (EBC; Grand Rapids: Zondervan, 1995) 473
Herbert Danby, The Mishnah (Oxford: Oxford University Press, 1980), 446.
31
David E. Garland, The Intention of Matthew 23 (Leiden: E. J. Brill, 1979) 55
32
Robert Banks, Jesus and the Law in the Synoptic Tradition (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975) 176. bnd R. T. France, The Gospel According to Matthew (TNTC; Grand
Rapids: Eerdmans, 1985) 324.
30

(1) Yesus sedang menyampaikan fakta bahwa memang orang Farisi telah
mendapatkan otoritas untuk hal tersebut dari sejak jaman pra-Makabe dan hingga
saat di mana Yesus mengatakannya, jabatan dan otoritas tersebut masih mereka
miliki33 [sesuai dengan pandangan pertama dari makna kata 'ἐ ά αν, tetapi juga
mengadopsi usulan dari pandangan kedua] (2) Kursi Musa memang adalah sebuah
kursi yang benar-benar ada pada masa itu di synagoge, sebagai lambang akan
otoritas dari mereka yang berhak menafsirkan dan mengajarkan hukum Taurat
kepada jemaat yang ada pada saat itu. (3) Yesus tidak hanya memberikan fakta
mengenai posisi orang Farisi saat itu, melainkan juga Yesus memberikan
pengakuan akan posisi orang Farisi bahwa mereka layak dihormati dalam posisi
mereka saat itu sebagai yang menjaga hukum, seperti penghormatan yang diberikan
oleh masyarakat luas kepada mereka berkaitan dengan pengajaran yang mereka
berikan, karena pada masa itu kitab Taurat tidak dengan mudah dimengerti kecuali
dibaca berdasarkan sesuai dengan budaya rabinik yang menonjol, seperti yang
dijelaskan “The idea that the Torah text cannot simply be read and understood in a
straightforward way… is particularly prominent within rabbinic culture".34
C. Kesimpulan
Yesus telah memberikan legitimasi terhadap kedudukan dari orang Farisi
dalam masyarakat dan dalam komunitas Yudaisme pada saat itu dengan mengakui
bahwa memang orang Farisi telah menduduki kursi Musa, dalam hal ini sebagai
yang berhak untuk memberikan penafsiran terhadap hukum Taurat pada masa itu.
Jika demikian, apakah dengan memberikan legitimasi terhadap kedudukan
atau posisi orang Farisi tersebut, Yesus juga secara tidak langsung memberikan
legitimasi terhadap 'halakhah' dari orang Farisi? Karena seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa pada bagian sebelumnya Yesus telah memberikan peringatan
kepada murid-muridnya secara khusus untuk berhati-hati terhadap ajaran dari orang
Farisi. Dan apakah maksud Yesus dengan memberikan perkataan ini kepada orang
banyak dan murid-murid untuk menaati semua yang orang Farisi ajarkan? Apakah
itu berarti bahwa semua yang diajarkan oleh orang Farisi semuanya adalah benar
dan tanpa harus dipikirkan lagi, bukankah Yesus sendiri yang mengatakan bahwa
orang Farisi mengorbankan perintah Allah demi tradisi nenek moyang mereka (Mat
15:3-9)?
Keener dalam komentarnya mengenai ayat ini, menjelaskan bahwa “Yesus
memang mengakui bahwa ahli Taurat dan orang Farisi memang memiliki pengajaran
yang baik, masalahnya bukan pada pengajaran mereka tetapi pada perbuatan
mereka (Ay.2-3 bnd Rm 2:21) . Dalam pandangan Keener, para pemimpin Rohani ini
memang telah menduduki Kursi Musa, dan mendapatkan hak untuk menafsirkan
hukum, namun pada praktiknya hukum itu dibuat dalam bentuk dikotomi yaitu
diajarkan begitu keras kepada orang lain, tetapi menjadi sangat lunak buat mereka,
sehingga pada akhirnya Yesus menghujat mereka dengan kata-kata yang keras."35
“The Pharisaic Paradosis,” HTR 80:1, p. 71. bnd Craig S. Keener, IVP New Testament
Commentary Series: Matthew, 541
34
Commentary on Neh 8:8 in The Jewish Study Bible (JPS: Oxford Univ. Press, 2004).
35
Craig S. Keener, IVP New Testament Commentary Series: Matthew (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1997), pp 332-333 Pandangan Keener ini sama dengan Pandangan Leon Moris yang
mengatakan bahwa “[Jesus‟] complaint is not that these men were false teachers; they were orthodox
and they were rightly drawing people‟s attention to the things that Moses had taught and that were of
permanent importance for the people of God...They studied the law of Moses closely and expounded
it in great detail. There was nothing wrong with this part of what they were doing, and Jesus
33

Memang ada juga pandangan dari beberapa ahli yang menganggap bahwa
perintah Yesus ini tidak diberikan dalam bentuk perintah yang tulus, melainkan
hanya sebagai sebuah perintah Yesus untuk mengurangi adanya ketegangan dan
konflik di antara masyarakat pada saat itu, atau dengan kata lain, perkataan Yesus
untuk menaati orang Farisi lebih bernuansa politis ketimbang doktrinal.36
Dalam asersi penulis, penulis juga sepakat dengan para penafsir di atas,
karena dalam pandangan penulis, jika bahasa ini hanyalah sebuah bahasa sindiran
kepada orang Farisi, dan Yesus tidak benar-benar memerintahkan murid-murid dan
orang banyak untuk menaati apa yang diajarkan oleh orang Farisi, maka pernyataan
Yesus ini menjadi sebuah kalimat yang akan sangat membingungkan bagi para
pendengarnya pada waktu itu.
Selain itu, jika kalimat Yesus ini bukanlah sebuah pandangan yang positif
maka akan menimbulkan dilema yang cukup sulit dengan pernyataan Yesus
sebelumnya yang menyatakan dan mengakui otoritas dari orang Farisi dan ahli
Taurat yang telah menduduki kursi Musa dan sebagai yang berhak untuk
menafsirkan hukum Taurat Musa pada saat itu.
Lalu apa maksud Yesus dengan mengatakan bahwa semua (πάν α) yang
mereka ajarkan harus dituruti? Apakah kata semua itu termasuk di dalamnya adalah
penafsiran orang Farisi dan ahli Taurat yang juga telah menjadi tradisi bagi orang
Yahudi pada waktu itu yang disebut dengan halakha?
Harus diakui bahwa untuk kalimat 'semua yang mereka ajarkan' mempunyai
banyak sekali penafsiran tentang apa sebenarnya yang Yesus maksudkan. Mark
Allan Powell memberikan sepuluh kemungkinan penafsiran tentang hal ini.37 Ini
menunjukkan bahwa teks ini bukanlah sebuah teks yang mudah untuk dipahami,
kerumitan dari teks ini sendiri akhirnya membuat Carson memberikan sebuah
kesimpulan sederhana teks ini dengan pernyataan bahwa ini adalah “an instance of
biting irony bordering on sarcasm."38
Powell dalam penjelasannya memberikan beberapa argumentasi yang dapat
disimpulkan secara sederhana bahwa terdapat dua hal yang sangat berbeda dalam
ucapan Yesus ini, yang pertama adalah apa yang mereka 'katakan', yang dimaksud
di sini adalah rujukan langsung kepada Musa dan bukan pada penafsiran orang
Farisi terhadap hukum tersebut.39 Dan yang kedua adalah apa yang mereka
'lakukan' yang menunjuk kepada penafsiran orang Farisi terhadap hukum Musa,
yang disampaikan dalam pengajaran verbal dan juga praktik kehidupan sehari-hari.40
Berkaitan dengan kedua bagian ini, Powell menyimpulkan

commends it. Of course, when they went beyond the law of Moses they could and did go wrong, and
Jesus criticises them for it....Jesus warns his hearers that they should not live in the way the
Pharisees lived, though they should take careful note of what the Pharisees taught. When the
Pharisees brought out the significance of the teaching of Moses, they were doing something of great
importance for the people of God. What they were teaching was both meaningful and creditable: they
should be heard. But when they acted hypocritically, that was another matter: they should not be
imitated or followed. lih. Leon Morris, Pillar New Testament Commentary: The Gospel According to
Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 573.
36
John Lightfoot, A Commentary on the New Testament from the Talmud and Hebraica,
Matthew– I Corinthians, vol. 2: Matthew and Mark (Grand Rapids: Baker, 1979 [reprint from 1859
edition]) 289–90. Lightfoot menulis " “Christ here asserts the authority of the magistrate.”
37
“Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2-ι”, JBL (1995): 419-435.
38
D. A. Carson, The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 8, Matthew (Grand
Rapids:Zondervan),473
39
Powell, 432
40
ibid, 432

Jesus does not denounce them for acting in ways that contravene their own
correct understanding of Torah, but for acting in ways that reveal a perverted
understanding of the Torah . . . What the scribes and Pharisees do (πο έω) is
interpret Moses in ways that are burdensome for others (23:4) and in ways
that bring glory to themselves (23:5-7).41
Dengan kata lain, Powell ingin menyatakan dengan tegas bahwa yang
dimaksud oleh Yesus dengan kata 'semua yang diajarkan' hanyalah tentang Taurat
yang berasal dari Musa dan bukan penafsiran terhadapnya yang telah menjadi
halakha dan juga tradisi oral pada masa itu. Pandangan Powell ini diikuti juga oleh
Stein yang memberikan asersi bahwa apa yang Yesus perintahkan kepada muridmurid-Nya itu merujuk kepada pengajaran dalam Perjanjian Lama dan bukan pada
penafsiran dan tradisi dari ahli Taurat dan orang Farisi tersebut.42

41

ibid, 432
Robert H. Stein, Difficult Sayings in the Gospels: Jesus’ Use of Overstatement and
Hyperbole (Grand Rapids: Baker, 1985) 39-40 ; Selain Stein, Robert Banks juga memberikan asersi
yang begitu kuat bahwa apa yang Yesus maksudkan di sini bukan merujuk kepada penafsiran dan
Halakha dari orang Farisi. Lihat Robert Banks, Jesus and the Law in the Synoptic Tradition
(Cambridge: Cambridge University Press, 1975) 238 ; Hagner juga memberikan argumentasi yang
sama “the Pharisees expound the Mosaic Torah, one is to follow their teaching.” However, passages
such as Matt 12:1–2; 10–4; 15:1–20 and 16:11–12 lead him to conclude that Matthew has “distanced
himself markedly” from their halakhic teachings (Matthew 14–28 659).
42