Dampak Riba Dalam Perekonomian (1)

Dampak Riba Dalam Perekonomian
1 Dampak Riba Dari Segi Ekonomi
Menurut Agustianto (2010), dalam Riba dan Meta Ekonomi Islam, dampak riba dari segi
ekonomi adalah: pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi
di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi
telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan
volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab
tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah
dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih
tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan
uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara
ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan
adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat
dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun 1965
sampai hari ini.
Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya
pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi
menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka
pengangguran

Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan
menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat
ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin
Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya
beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang
kepada jebakan hutang (debt trap) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka
kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Keenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga
berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk
membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI.
Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang
membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam

mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka
tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan .
Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak
menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian
negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada
ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia,

supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan
mereka kembali ke jalan Allah”Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem
moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia
berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selama berabad-abad sistem ekonomi dunia dikendalikan oleh alat instrument tunggal yakni
bunga (riba) dan selama itu pula ekonomi dunia tidak pernah stabil bahkan Irfing Cristol dan
Daniell Bell dalam bukunya “Runtuhnya Teori Ekonomi” menyebutnya dengan empat
gelombang besar keruntuhan ekonomi, hal ini dimulai sejak mazhab Merkantilisme sampai
runtuhnya mazhab klasik 1930 atau yang biasa dikenal dengan great depression. Dan
nampaknya gelombang kelima sedang terjadi yakni dengan hancurnya pasar finansial dunia
serta tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa sehingga pertumbuhan ekonomi negaranegara maju sampai angka minus. Maka bahasan berikut adalah dampak riba terhadap sektorsektor ekonomi.
2 Dampak Riba Dari Segi Ketahanan Perusahaan
Jika salah satu prinsip perusahaan adalah going concern atau perusahaan itu akan ada
selamanya maka perusahaan tersebut akan melewati berbagai kondisi ekonomi setiap
waktunya, diamana laiknya cuaca kondisi ekonomi bisa sangat cerah dan bisa sangat ekstrim
di waktu yang lain, oleh karena itu hanya perusahaan yang punya daya tahanlah yang akan
bertahan.
Menyadari akan keadaan tersebut maka perusahaan akan senantiasa mencari cara dan skema
bertahan dalam menghadapi berbagai macam kondisi ekonomi, maka pertanyaanya adalah

seberapa jauhkah bunga berpengaruh terhadap ketahanan perusahaan.
Ustadz Habiburrahim Lc dalam pengajian Majelis Al-Kauny yang diadakan pada tanggal 18
Oktober 2008, selain hal di atas ada dampak negative lain yang tidak berdampak langsung
pada sebuah perekonomian, namun dalam jangka panjang efeknya baru dapat dirasakan.
1. Riba dapat menumbuhkan rasa permusuhan diantara individu dan melemahkan nilai social

dan kekeluargaan. Selain itu, riba dapat menimbulkan eksploitasi dan tindak kedzaliman pada
pihak tertentu.
2. Menumbuhkan sikap pemalas bagi orang yng mempunyai modal, di mana ia mampu
mendapatkan banyak uang tanpa adanya sebuah usaha yang nyata.
3. Mendorong manusia untuk menimbun harta sabil menunggu adanya kenaikan interest rate.
4. Menimbulkan sifat elitism dan jauh dari kehidupan masyarakat.
5. Membuat manusia lupa akan kewajiban hartanya seperti infak, sedekah dan zakat.
6. Mendorong manusia untuk melakukan tindak kezaliman dan eksploitasi terhadap orang
lain, baik pinjaman yang bersifat produktif maupun konsumtif
Praktek Riba Dalam Perekonomian
Ekonomi Syariah menekankan pada nilai-nilai etis yang bersumber dari Alquran dan Al
Hadist. Dalam ekonomi syariah lebih ditekankan pada aspek keadilan menghilangkan segala
bentuk penghisapan dan penindasan terhadap pihak lain sehingga melahirkan ketimpangan.
Oleh sebab itu dalam ekonomi syariah tidak hanya menekankan pada aspek kepentingan

individu tetapi juga masyarakat atau aspek sosial. Dengan demikian, setiap individu tetap
memiliki ruang untuk berkembang secara maksimal, namun di pihak lain juga diberikan
batasan-batasan sedemikian rupa sehingga aktifitas ekonominya tidak merugikan orang lain.
Dewasa ini banyak dari masyarakat yang melakukan praktek-praktek ekonomi yang terdapat
unsur riba di dalamnya, masalah yang timbul dan banyak dibicarakan adalah status bunga
yang terdapat pada bank konvesional, yaitu dengan mengambil tambahan dalam hutang
piutang. Namun, dalam kehidupan masyarakat banyak yang memungut tambahan atas
pinjaman sebagai contoh adalah praktek hutang piutang yang ada pada masyarakat yaitu
mengambil bunga dari pinjaman baik itu melalui kegiatan-kegiatan warga seperti PKK
maupun individu. Dan tidak hanya itu, dalam hal jual beli sebagian masyarakat melakukan
jual beli yang ada unsur riba yaitu membeli buah-buahan yang belum nampak hasilnya
(borongan).
Menurut Fuad Fachrudin, dalam koperasi sendiri untuk kegiatan usahanya harus
meninggalkan praktek riba berupa penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak
menetapkan menetapkan bungandalam kegitan simpan pinjamnya karena riba bertentangan
dengan semnagat kemitraan keadilan dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga
tidak peduli dengan nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok
modal. Konsep ini harus diterapkan secara menyeluruh bukan sepotong-potong karena
penetapan yang sepotong-potong tidak menjamin teraktualisasinya tujuan koperasi.


Dalam transaksi perbankan basis yang digunakan dalam praktek perbankan internasional
adalah menggunakan basis bunga (interest based) dimana salah satu pihak (nasabah)
bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi
pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari
pertanggungan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak mempedulikan apakah
nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip digunakan dengan praktek riba jahiliyah pada
masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si
peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan sebagai kompensai
penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan bungan telah ditetapkan
sejak pertama kali keepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang
dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran jika banyak ulama mengatakan bahwa praktek
riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini lebih jahiliyah dibandingkan riba jahiliyah.
Selain terjadi dalam aspek pembiayaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek
tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank sebagai komepnsasi
uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian.
Berbeda dengan disistem sayariah dimana bank syariah tidak menjanjikan return tetap,
melainkan hanya nisbah (yaitu prosentase yang akan dibagikan dari keuntungan yang di
dapatkan dari bank). Sehingga return yang di dapatkan nasabah bisa naik turun sesuai dengan
naik turunnya keuntungan bank. Istilah seperti ini yang kemudian berkembang namanya

manjadi sistem bagi hasil.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi
(konvensional) terjadi tukar menukar uang dalam jumlah yang tidak sama dan dalam waktu
yang juga tidak sama. Sebagaimana contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya
dengan premi Rp 1.000.000,00/tahun. Pada tahun ketiga dia kehilangan mobilnya seharga Rp
100.000.000,00 dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harganya
yang telah hilang. Padahal jika diakumulasikan dia baru membayar premi sebesar Rp
3.000.000,00. Jadi darimana Rp 97.000.000,00 yang telah diterimanya? Jumlah Rp
97.000.000,00 yangg diterimanya masuk dalam ketegori riba Fadhl (yaitu tukar menukar
barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga termasuk kategori riba nasi’ah (kelebihan yang
dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan yadan biyadin
dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oeh karenanya
terjadilah riba nasi’ah.

Pada transaksi jual beli secara kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada
bunga yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfluktuatif, naik
dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan
belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah islam,
dalam jual beli harus ada kepastian harga antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh

adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang
diperjualbelikan. Selain itu jika, jika terjadi kemacetan pembayaran di tengah jalan, barang
tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau dealer dalam jual beli kendaraan.
Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai sewa terhadap barang tersebut.
Belum lagi komposisi cicilan pembayaran, seringkali tidak jelas, berapa harga pokoknya dan
berapa bunganya. Seringkali cicilan pembayaran pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar
dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dikembalikan. Akhirnya pembeli kerap
merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini terutama berbeda dengan sistem jual beli secara
syariah, dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak
mengalami perubahan sebagiamana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas,
jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual
maupun pembeli.
Walaupun dalam Islam telah dijelaskan keharaman riba, saat ini masyarakat banyak yang
tidak mengetahui tentang apa itu riba. Mereka berpandangan bahwa riba adalah mengambil
tambahan yang terlau tinggi dalam hutang piutang misalnya yang dilakukan oleh para
rintenir, sedangkankan apabila tambahan yang diambil dari pinjaman kecil maka bukanlah
riba. Dalam jual beli masyarakat tidak memahami riba, yang mereka ketahui bahwa riba
hanya terdapat dalam hutang piutang yaitu mengambil tambahan dalam pinjaman dan mereka
mencotohkan seperti yang dilakukan bank-bank konvesional.
Hutang piutang dengan tambahan dilakukan masyarakat karena memang praktek seperti

itulah yang mereka ketahui, dan mereka beranggapan bahwa tidak ada hutang piutang yang
tidak dengan bunga karena selama ini tidak ada yang melakukan hutang piutang tanpa
tambahan baik dari individu maupun kegiatan-kegiatan warga.
Dengan alasan di atas, bahwa diperlukan pemahaman tentang praktek perekonomian yang
diusung oleh Islam, kewajiban bagi para ulama dan juga para cendekiawan untuk
memberikan pemahaman agar masyarakat mengetahui praktek perekonomian apa saja yang
dilarang oleh Islam dan yang dibolehkan, sehingga Islam yang disebut sebagai pedoman
hidup baik di dunia maupun di akhirat dapat terwujud.
http://madziatul.blogspot.com/2010/10/riba-dalam-perekonomian.html

ALASAN PEMBENARAN PENGAMBILAN RIBA
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa
cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang.
Di antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan
tidak mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak
terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
PEMBAHASAN :

1. Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang
komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan
rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah
suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan
dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”

Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang
tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka
dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Q.S.
Al Baqarah: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus
sesuai dengan metodologi ushul fiqh, ter-utama penerapan al qawaid al fiqhiyah seputar kadar
darurat.
Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah
“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”

Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya,

seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi
menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga
suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa
pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
2. Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan.
Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan . Pendapat ini berasal dari pe-mahaman
yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda dan
bertaqwalah

kalian

kepada

Allah

supaya

kalian


mendapat

keberuntungan.”

Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun
pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat
riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba
secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan
jenisnya mutlak diharamkan
Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan
sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba,
jikalau kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun
1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik
arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah
bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3×2=6
kali. Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
10
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai
dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan
nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al
Matruk, menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda
dan pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian
banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai

kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan
demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara
(Allah dan rasul-Nya).”
DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjammeminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka
biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur
3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4
tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung
kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian,
kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali
Imran 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis
penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba
pada masa itu. Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang
berarti konsekuensi secara terbalik – jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh;
jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan
seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika
ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah {32} “Dan janganlah kalian
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.

Dan suatu jalan yang buruk.” “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” Janganlah mendekati zina!
Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga
larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sementara tulang,
lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit
babi halal.
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti
dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu,
konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin
ilmu bayan, badie, dan maa’nie.

Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan
pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang
turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di
Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individuindividu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum
taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali.
Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat
pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke
lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan
dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.