Menaruh Optimisme Dalam Perubahan Regula

ESSAY COMPETITION
“Pengaruh Korupsi Birokrasi terhadap Kesejahteraan Bangsa "

Menaruh Optimisme Dalam Perubahan Regulasi dan Membendung Korupsi Birokrasi
Demi Kesejahteraan Rakyat
Sebuah Studi Terhadap Perpes No 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa

Disusun oleh:
Nama : Desiana Rizka Fimmastuti
NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

Menaruh Optimisme Dalam Perubahan Regulasi dan Membendung Korupsi Birokrasi
Demi Kesejahteraan Rakyat
Sebuah Studi Terhadap Perpes No 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa
Abstract

Pemerintah selaku otoritas tertinggi berkewajiban untuk memberikan pelayanan publik
yang optimal bagi rakyatnya. Untuk itulah birokrasi berperan sebagai tangan- tangan
pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik, salah satunya dengan pengadaan
barang dan jasa. Ironisnya proses ini seringkali dimanfaatkan untuk menjadi ladang
korupsi bagi aparatur birokrasi, terutama dalam sektor pengadaan barang/ jasa. Untuk itu
telah dilakukan perubahan Perpres dimana kini semakin menjunjung semangat
akuntabilitas dan transparansi. Harapannya korupsi dapat diminimalisir sehingga
kesejahteraan masyarakat tidak lagi tergadaikan.
Keywords:
Korupsi, Birokrasi, Pelayanan Publik, Barang/ Jasa
Negara pada hakikatnya hadir untuk mewujudkan kesejahteraan dan tertib sosial bagi
rakyatnya. Untuk itulah, negara memiliki instrumen otoritas tertinggi yaitu pemerintah yang
bertindak sebagai penguasa, dan pembuat kebijakan bagi rakyat1. Kebijakan yang dibuat akan
menimbulkan konsekuensi yang luas terhadap rakyatnya.
Pemerintah selaku pengemban amanah rakyat merupakan ujung tombak dari
distribution of welfare kepada rakyat. Secara konkret pemerintah menjalankan fungsinya
melalui struktur birokrasi yang disusun sedemikian rupa, seperti berupa kementriankementrian. Mereka menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat, salah satunya mengenai pengadaan barang dan jasa demi kepentingan publik.
Birokrasi, sebagaimana pada umumnya bagaikan pisau bermata dua. Ia menjalankan
peranannya yang begitu penting, tapi di sisi lain ia dilekati dengan patologi. Patologi yang

masih menjadi hot topic di berbagai kalangan adalah mengenai korupsi birokrasi terutama
dalam sektor pengadaan barang/ jasa. Hal ini terlihat jelas pada indeks CPI Indonesia yang
masih tinggi. Korupsi birokrasi tidak boleh didiamkan saja karena akan merugikan publik,
untuk itu diperlukan adanya analisa yang mendalam mengenai dampak korupsi birokrasi
1

Indiahono, Dwiyanto 2006, Reformasi Birokrasi Amplop Mungkinkah ?, Gava Media, Yogyakarta, h - 14

terhadap kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, diperlukan adanya kajian mengenai
regulasi yang menopang sektor pengadaan barang / jasa guna melihat apakah sistem hukum di
Indonesia sudah mengarah pada transparansi dan akuntabilitas.
Dalam tulisan ini, saya akan mengamati realitas mengenai birokrasi di Indonesia.
Lebih spesifik, pembahasan akan diarahkan pada salah satu patologi birokrasi yaitu korupsi.
Pembahasan akan dilakukan dengan studi mengenai dampak korupsi di Indonesia. Kemudian
saya akan melakukan analisa terhadap perubahan regulasi yang menopang pengadaan barang/
jasa. Hal itu dirasa menarik untuk dikaji lebih mendalam karena aspek tersebut menjadi salah
satu saluran yang sering disalahgunakan dalam kasus korupsi birokrasi Indonesia. Relasi ini
akan saya paparkan secara lebih mendalam pada bab berikutnya. Berikut adalah hasil analisa
yang telah saya lakukan.
Korupsi Birokrasi: Sebuah Bahaya Laten

Telah disinggung sebelumnya bahwa kehadiran birokrasi adalah untuk memberikan
pelayanan maksimal kepada masyarakat selaku warga negara. Pada titik inilah semangat sine
era at studio2 menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan. Hal ini secara langsung
mengandung arti bahwa birokrasi bekerja dengan logika formal dan tidak bersifat pribadi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah birokrasi Indonesia saat ini telah berperan efektif
dalam mensejahterakan rakyat, ataukah mereka justru semakin menambah penyakit
penindasan ekonomi yang terjadi. Jawaban pertanyaan menggelitik tersebut dapat kita amati
berdasarkan realitas yang kini terjadi3.
Saat ini, birokrasi bekerja dengan logika bureaucracy patrimonial dimana perilaku
anggota birokrasi justru didasarkan hubungan pribadi dan bersifat patron- klien 4. Akibatnya
pengadaan pelayanan publik bukan semata- mata untuk publik, tetapi justru sebagai sarana
untuk kepentingan pribadi. Alhasil, rakyatlah yang kini menjadi korban akibat korupsi yang
masih menjangkiti birokrasi Indonesia.
Banyaknya korupsi di Indonesia bukanlah isapan jempol semata. Beberapa pihak yang
melakukan pengamatan salah satunya adalah Transparency International (TI) yang berpusat di
Berlin, Jerman. Transparency International setiap tahunnya menerbitkan Corruption
Perception Index (CPI), dimana peringkat CPI menunjukkan bagaimana persepsi korupsi
sektor pemerintahan di suatu negara. Skala nilai CPI berkisar dari 0 sampai dengan 10. Ketika
2


Blau, Peter M & Meyer, Marshall W 1987, Bureaucracy in modern society, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Van Ufford, Phillip Quarles 1988, ‘Pendahuluan : Krisis yang Tersembunyi dalam Pembangunan’ dalam Arief Budiman &Phillip Quarles
van Ufford (eds.) , Krisis Tersembunyi dalam Pembangunan: Birokrasi- Birokrasi Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta.
4
Setiawan, Akhmad 1998, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h- 16
3

sebuah negara bernilai 0 berarti dipersepsikan paling tinggi korupsinya, sedangkan nilai 10
dipersepsikan paling rendah korupsinya. Ironisnya, negara Indonesia menjadi salah satu
negara yang memiliki nilai CPI yang memprihatinkan, yaitu 3,0. Indeks ini menunjukkan
bahwa korupsi di sektor pemerintahan di Indonesia masih tinggi5.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara hampir
mencapai Rp 12,5 triliun selama semester pertama tahun 2012, yang mana mayoritas kerugian
tersebut bersumber dari sektor pengadaan barang atau jasa6. Data Bareskrim Mabes Polri
menunjukkan bahwa terdapat 353 kasus korupsi berhasil diungkap penyidik hingga
September 2012. Sedangkan 70% kasus tersebut berasal dari bidang pengadaan barang dan
jasa7. Sedangkan berdasarkan pantauan ICW, selama periode semester I tahun 2012, kasus
korupsi tertinggi terjadi di sektor Infrastruktur atau sektor pengadaan barang dan jasa dengan
jumlah kasus sebanyak 87 kasus. Realitas ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor
lainnya seperti sektor Keuangan Daerah dengan 50 kasus, dan pendidikan dengan 29 kasus

8

.Kerugian negara yang begitu besar ini menyadarkan kita bahwa korupsi pada sektor

pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu aspek yang wajib untuk dipikirkan.
Ketika diamati lebih mendalam, permasalahan korupsi salah satunya disebabkan
adanya peluang dan celah- celah yang dimanfaatkan para koruptor. Celah- celah ini salah
satunya timbul oleh adanya hukum yang tidak jelas. Ketidakjelasan regulasi ini salah satunya
terdapat dalam Perpres No 54 Tahun 2010. Hal ini terlihat dari pasal- pasal yang multitafsir
dan maraknya kasus korupsi di Indonesia seperti kasus Pengadaan Al Qur’an dan juga Wisma
Atlet. Namun pada tahun 2012 regulasi tersebut mengalami perubahan positif yang diyakini
mampu meminimalisir korupsi dalam aspek pengadaan jasa.
Korupsi yang telah terjadi tentulah memberikan dampak yang signifikan terhadap
publik. Pertama, dengan adanya korupsi birokrasi akan berpengaruh kepada menurunnya
kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa dana yang
dikorupsi merupakan dana yang bersumber dari APBN/ APBD. Dana APBN/ APBD
merupakan dana yang berasal dari masyarakat, karena didalamnya terdapat pajak- pajak yang
dibayarkan rakyat kepada pemerintah9. Dana yang seharusnya sepenuhnya dikelola untuk

5


Masduki, Teten 2011, ‘Corruption Perception Index 2011: Indonesia Masih Berada di Jajaran Bawah Negara-negara Terbelenggu Korupsi’
dilihat 14 Oktober 2012
6
______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat 26 Oktober 2012
7
Supriadin, Jayadi 2012,’ Mayoritas Korupsi dari Pengadaan Barang dan Jasa’ dilihat 21 Oktober 2012 <
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/24/090431590/Mayoritas-Korupsi-dari-Pengadaan-Barang-Jasa >
8
_____2012,’ICW:
Sektor
Pengadaan
Barang
&
Jasa
Paling
Banyak
Dikorupsi’,
dilihat
26

Oktober
2012
9

UU 32 Tahun 2004

memberikan pelayanan publik yang maksimal, kini justru dikorupsi. Akibatnya kualitas
layanan publik akan berkurang pula.
Kedua, korupsi yang terjadi dalam tubuh birokrasi Indonesia akan berpengaruh pada
minat investasi di Indonesia. Ketika investor asing dimintai biaya "macam-macam" oleh
instansi pemerintah, maka tidak akan ada investor yang mau menanamkan modalnya di
Indonesia10. Investasi merupakan salah satu komponen yang berpengaruh pada stabilitas
ekonomi perekonomian Indonesia.
Tingginya angka korupsi di Indonesia terutama dalam sektor birokrasi publik
merupakan sebuah hal yang wajib dituntaskan. Korupsi merupakan pedang bermata dua,
dimana tidak saja menyebabkan terjadinya kerugian pada keuangan negara namun juga
berdampak terhadap terjadinya pelanggaran hak- hak sosial warga negara dalam upaya
kesejahteraan rakyat. Berdasarkan hal inilah korupsi dapat dikatakan sebagai extra-ordinary
crimes yang harus segera dicari jalan keluarnya.
Pepres No 70 Tahun 2012 : Sebuah Upaya Meminimalisir Korupsi

Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa birokrasi menjadi salah satu sarana bagi
pemerintah untuk melayani kepentingan rakyat. Hal ini secara nyata terejawantahkan dalam
pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan umum. Dengan demikian, pada birokrasi inilah
akan terjadi sirkulasi keuangan negara. Namun di sisi lain, indikasi korupsi birokrasi oleh
aparat birokrasi memang terlihat sangat memprihatinkan, dimana telah merugikan negara
begitu besarnya hingga mencapai Rp 12,5 triliun selama semester pertama tahun 2012, yang
mana mayoritas kerugian tersebut bersumber dari sektor pengadaan barang atau jasa11. Untuk
itu diperlukan sebuah mekanisme pengadaan barang dan jasa agar tidak menjadi sarana
korupsi bagi aktor- aktor publik tersebut.
Pengadaan barang dan jasa merupakan bidang strategis yang rawan korupsi. Untuk itu
pemerintah memang telah mengatur pelaksanaannya dengan regulasi. Regulasi yang terbaru
adalah Perpres No 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah.
Dimensi transparansi dan akuntabilitas merupakan sebuah prinsip yang hendak
diperjuangkan melalui regulasi pengadaaan barang/jasa, yang mana terlihat dalam
penggunaan e- purchasing, e tendering, e- catalogue, dan sebagainya. Selain beberapa hal
10

11


Pradiptyo, Rimawan dalam Djibril Muhammad 2012,’Korupsi Hambat Investasi Dalam Negeri’, dilihat 26 Oktober 2012


______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat 26 Oktober 2012

tersebut, jika diklasifikasikan lebih dalam dimensi transparansi dan akuntabilitas
diperjuangkan pula pada tataran rencana, pengadaan, serta perubahan rencana. Pada tataran
perencanaan,

pada

Perpres

No.

54

Tahun

2010


telah

diatur

bahwa

setiap

Kementerian/Lembaga/Departemen wajib untuk membuat rencana umum pengadaan dan
rencana penarikan. Aspek ini juga diatur pula pada regulasi selanjutnya sehingga publik dapat
mengetahui barang/ jasa apa saja yang akan dilakukan pengadaan.
Pada tataran pengadaan regulasi sebelumnya memang telah mengatur bahwa
pengadaan barang/ jasa harus dipublikasikan secara terbuka kepada masyarakat (ps 25 ayat 1
Perpres

No

54


tahun

2010).

Regulasi

ini

juga

mengatur

bahwa

setiap

Kementrian/Lembaga/Dinas diwajibkan untuk memperluas jaringan e-katalog untuk barangbarang yang spesifikasi dan harganya jelas di pasaran. Dengan adanya hal ini, maka akan
terdapat akuntabilitas dan transparansi kepada publik atas pengadaan barang dan jasa.
Masyarakat dapat mengetahui bagaimana spesifikasi dan jenis yang dibutuhkan untuk
memberikan pelayanan publik. Di samping itu, setiap Kementrian/Lembaga/Dinas juga wajib
mengumumkan hasil pengadaan langsung ini di website masing-masing. Mekanisme ini
menunjukkan sebuah akuntabilias publik, dimana masyarakat mampu mengetahui transaksitransaksi yang dilakukan oleh Kementrian/Lembaga/Dinas. Dengan demikian masyarakat
dapat secara langsung mengontrol kegiatan pemerintah sehingga potensi korupsi akan
berkurang.
Sedangkan dalam pengadaan pula, Pepres No 54 Tahun 2010 memuat beberapa aturan
yang dinilai ambigu sehingga dapat dimanfaatkan sebagai lahan korupsi. Seperti pada regulasi
sebelumnya diatur bahwa pengadaan langsung dapat dilaksanakan oleh 1 pejabat pengadaan
(ps. 39 ayat 3, Perpres No 54 Tahun 2010). Namun pada regulasi terbaru, pasal 39 ayat 3
tersebut telah dihapuskan. Pada titik inilah birokrasi akan menjadi alat kekuasaan yang paling
utama bagi mereka yang mengendalikan aparat birokrasi12. Aparatur birokrasi yang memiliki
hak melakukan pengadaan langsung kan berpotensi untuk melakukan manipulasi. Ketika
pasal tersebut dihapuskan, tertutuplah peluang baginya untuk menyalahgunakan aspek
tersebut. Dengan demikian salah satu pintu korupsi telah tertutup dengan adanya perubahan
tersebut.
Pemaparan di atas telah menunjukkan regulasi pengadaan barang dan jasa ditinjau dari
segi proses perencanaan dan pengadaan. Namun perlu dicermati pula bahwa hal yang tidak
kalah pentingnya adalah mengenai perubahan/ penambahan DIPA. DIPA merupakan
dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Kementerian Negara/Lembaga dan
12

Gerth, HH & Mills, Wright C (eds. ) 1946, From Max Weber: Essays in Sociology¸ Oxford University Press, New York, h- 228.

disahkan oleh Dirjen Pebendaharaan atau Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan atas
nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara13. DIPA akan menjadi dasar untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban
APBN. Dengan begitu, DIPA berperan sebagai alat pengendali, pelaksanaan, pelaporan,
pengawasan, dan sekaligus merupakan perangkat akuntansi pemerintah.
Ironisnya, meskipun aspek ini merupakan hal yang krusial, namun ini tidak diatur
dengan jelas pada Perpres No 54 Tahun 2010. Dengan adanya hal ini dimensi akuntabilitas
dan transparansi dapat dipertanyakan ulang. Pada titik inilah peluang korupsi birokrasi akan
terbuka lebar karena publik tidak mampu mengontrol perubahan DIPA. Untuk itu regulasi
selanjutnya ingin menambal kekurangan tersebut dimana pada pasal 25 (1b) diatur dengan
jelas bahwa perubahan/ penambahan DIPA/DPA harus dipublikasikan ulang14. Perubahan
regulasi ini mampu mempersempit peluang korupsi, karena setiap perubahan yang terjadi
harus dipublikasikan kepada masyarakat. Dengan adanya mekanisme ini, masyarakat luas
dapat mengontrol sirkulasi penggunaan dana publik.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa terdapat perubahan regulasi dimana
terdapat upaya menutup celah- celah korupsi. Meskipun terlihat regulasi tersebut dapat
membendung korupsi di Indonesia, namun perlu diingat pula bahwa implementasi sebuah
regulasi dapat sukses ketika para pelaksana benar- benar komitmen.
Kesimpulan
Birokrasi merupakan alat yang digunakan oleh pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat. Pada titik inilah birokrasi merupakan arena dimana
terdapat sirkulasi keuangan yang kelak diejawantahkan dalam berbagai hal, salah satunya
adalah pengadaan barang atau jasa bagi publik. Begitu pentingnya peran birokrasi seolaholah menjadi ironis tatkala birokrasi justru menjadi ladang korupsi yang paling subur di
Indonesia. Sehingga dapat dikatakan wajar jika Corruption Perception Index (CPI) 2011
Indonesia sangatlah memprihatinkan, yaitu 3.0. Birokrasi Hal ini salah satunya disebabkan
oleh adanya regulasi yang belum tegas, dan masih memuat celah- celah yang dapat
disalahgunakan. Untuk itulah telah terjadi perubahan signifikan pada Perpres No 54 tahun
2010. Regulasi yang kini berlaku adalah Perpres No 70 Tahun 2012 yang mana membawa
semangat transparansi dan akuntabilitas sehingga dapat menutup celah korupsi meskipun
implementasinya masih dapat disalahgunakan.
13

Pasal 8 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 Tahun 2005

14

Pasal 25 (1b) Perpres No 70 Tahun 2012

Daftar Referensi
UU 32 Tahun 2004
Perpres No 54 Tahun 2010
Perpres No 70 Tahun 2012
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 Tahun
2005
Blau, Peter M & Meyer, Marshall W 1987, Bureaucracy in modern society, Universitas
Indonesia Press, Jakarta
Gerth, HH & Mills, Wright C (eds. ) 1946, From Max Weber: Essays in Sociology¸ Oxford
University Press, New York.
Indiahono, Dwiyanto 2006, Reformasi Birokrasi Amplop Mungkinkah ?, Gava Media,
Yogyakarta
Masduki, Teten 2011, ‘Corruption Perception Index 2011: Indonesia Masih Berada di Jajaran
Bawah

Negara-negara

Terbelenggu

Korupsi’

dilihat

14

Oktober

2012


Pradiptyo, Rimawan dalam Djibril Muhammad
Negeri’,

dilihat

26

2012,’Korupsi Hambat Investasi Dalam
Oktober

2012


Setiawan, Akhmad 1998, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat
26 Oktober 2012
_____2012,’ICW: Sektor Pengadaan Barang & Jasa Paling Banyak Dikorupsi’, dilihat 26
Oktober

2012
Supriadin, Jayadi 2012,’ Mayoritas Korupsi dari Pengadaan Barang dan Jasa’ dilihat 21
Oktober 2012 < http://www.tempo.co/read/news/2012/09/24/090431590/MayoritasKorupsi-dari-Pengadaan-Barang-Jasa >
Van Ufford, Phillip Quarles 1988, ‘Pendahuluan : Krisis yang Tersembunyi dalam
Pembangunan’ dalam Arief Budiman &Phillip Quarles van Ufford (eds.) , Krisis
Tersembunyi dalam Pembangunan: Birokrasi- Birokrasi Pembangunan, PT Gramedia,
Jakarta.