Hubungan Kualitas Tidur Dengan Ansietas Pada Penderita Asma Bronkiale

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit paru-paru yang sering dijumpai di masyarakat salah satunya adalah asma bronkiale. Asma bronkiale merupakan gangguan inflamasi kronik yang melibatkan banyak sel dan elemennya sehingga mengakibatkan peningkatan hiperesponsif jalan napas dan menyebabkan penderitanya mengalami gejala episodik berulang seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama di malam hari (PDPI, 2004).

Asma masuk dalam kategori lima besar penyakit paru utama menurut World Health Organization (WHO) dalam World Health Report tahun 2000 yang bertanggung jawab pada 17,4% kematian di dunia dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir meningkat menjadi 50%. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1986, asma menduduki urutan ke lima dan sepuluh penyebab morbiditas di Indonesia. Tahun 1992, asma bersama dengan emfisema dan bronchitis merupakan penyebab kematian ke empat di Indonesia atau sekitar 5,6% (PDPI, 2004).

Berdasarkan International Study on Asthma and Allergies in Childhood di Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan prevalensi asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4% (Sundaru, 2007). Hasil Riset Berdasarkan International Study on Asthma and Allergies in Childhood di Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan prevalensi asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4% (Sundaru, 2007). Hasil Riset

Asma merupakan penyakit yang menurunkan kualitas hidup penderitanya. Laporan dari Journal of Allergy and Clinical Immunology pada tahun 2003 menyatakan dari 3.207 kasus yang diteliti, 44%-51% mengalami batuk pada malam hari dalam sebulan terakhir bahkan 28,3% pasien merasakan terganggu tidurnya dalam satu minggu sekali. Adanya keterbatasan dalam menjalankan aktivitas fisik dirasakan 44,1% penderita asma sedangkan pada aktivitas sosial dirasakan oleh 38% penderita asma. Kurang lebih selama dua belas bulan terakhir 36,5% anak-anak dan 26,5% dewasa absen dari sekolah maupun pekerjaan. Survei pada tahun 2002 menunjukkan anak-anak dan dewasa penderita asma kehilangan 14,7 juta hari sekolah dan 11,8 juta hari kerja (Apter dan Weiss, 2008).

Ansietas atau kecemasan merupakan salah satu keadaan psikiatri yang sering ditemukan dalam berbagai aspek masalah kesehatan salah satunya adalah asma. Pada beberapa individu, ansietas dapat menjadi faktor pencetus asma (Widiyawati, 2004). Keadaan frustasi, tegang, cemas, takut, Ansietas atau kecemasan merupakan salah satu keadaan psikiatri yang sering ditemukan dalam berbagai aspek masalah kesehatan salah satunya adalah asma. Pada beberapa individu, ansietas dapat menjadi faktor pencetus asma (Widiyawati, 2004). Keadaan frustasi, tegang, cemas, takut,

Pada Scientific Meeting in Psychosomatic tahun 2010 menunjukkan epidemiologi di Indonesia mengenai asma yang disebabkan ansietas mencapai angka 20% dari data klinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Didapatkan adanya pengaruh kuat dari ansietas pada serangan asma yang melibatkan berbagai faktor antara lain, psikodinamika, psikofisiologi, psikopatologi, dan psikoneuroimun endokrinologi. Ansietas akan mempengaruhi jalur Th-2 yang akan memicu reaksi inflamasi dan memperberat gejala serangan asma (Hamzah, 2010).

Seorang penderita asma sering mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur merupakan keadaan di mana individu mengalami suatu perubahan dalam kualitas dan kuantitas tidurnya sehingga menyebabkan rasa kurang nyaman. Hal ini dapat menimbulkan masalah kesehatan dikarenakan adanya penurunan daya tahan tubuh (Japardi, 2002). Secara fisiologis selama tidur terjadi perubahan kontrol respirasi sentral, resistansi saluran pernapasan, dan kontraktilitas otot. Adanya perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan masalah pada pasien yang mengalami obstruksi saluran pernapasan (American Thoracic Society, 2009).

Berdasarkan penelitian studi fenomenologis pemenuhan kebutuhan tidur pada pasien asma, menunjukkan penderita asma mengalami

lama tidur serta kondisi yang masih merasa belum segar ketika bangun (Suwitowati, 2007). Penelitian di negara Eropa menunjukkan kesulitan induksi tidur dan terbangun dini hari muncul dua kali lebih sering, serta rasa kantuk di siang hari 50% lebih sering pada pasien asma dibandingkan dengan orang normal. Menurut data Internasional of Sleep Disorder, insidensi gangguan tidur 61%-74% disebabkan oleh penyakit asma, 40%- 50% oleh gangguan pada pusat pernapasan, 15% psikopsikologikal, 10% ketergantungan alkohol, 5% demensia, dan 1%-2% gangguan obstruksi saluran napas (Japardi, 2002).

Prevalensi gangguan tidur semakin lama semakin meningkat sesuai dengan peningkatan usia dan faktor penyebabnya. Tiap tahunnya 20%- 40% orang dewasa mengalami gangguan tidur dan 17% di antaranya merupakan masalah serius (Japardi, 2002). Data dari National Highway Traffic Safety Administration memperkirakan 71.000 kecelakaan dan 1.500 kematian pertahun berkaitan dengan rasa kantuk (George dan Kryger, 2008).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Adakah hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui adanya hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale. .

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale.

b. Penelitian ini diharapkan dapat melatih kemampuan dan meningkatkan pengetahuan penulis dalam bidang penelitian.

2. Manfaat aplikatif

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan kepada pihak klinisi untuk memperhatikan dan memberikan penatalaksanaan dalam menangani gangguan tidur dan peningkatan kualitas tidur pada pasien asma sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan efektivitas kerja pasien asma.

untuk penelitian yang lebih lanjut.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Asma Bronkiale

a. Definisi

Asma bronkiale didefinisikan oleh Global Initiative for Asthma (GINA, 2011) sebagai suatu gangguan saluran pernafasan kronik disebabkan hiperresponsifnya saluran pernafasan oleh karena paparan berbagai faktor pencetus. Faktor pencetus asma dapat berupa bahan-bahan alergen seperti debu rumah, bulu binatang, maupun berupa, asap rokok, bahan kimia, obat-obatan seperti aspirin dan beta blocker serta tingkat emosional seseorang. Adanya faktor-faktor ini dapat menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, dan meningkatnya sel-sel inflamasi yang dapat menimbulkan serangan asma.

Adapun menurut, Guidelines for the Diagnosis and Management Asthma oleh National Heart, Lung, and Blood Institute pada tahun 2003, asma didefinisikan sebagai gangguan saluran pernafasan kronik kompleks yang ditandai dengan gejala Adapun menurut, Guidelines for the Diagnosis and Management Asthma oleh National Heart, Lung, and Blood Institute pada tahun 2003, asma didefinisikan sebagai gangguan saluran pernafasan kronik kompleks yang ditandai dengan gejala

Gambaran khas asma bronkial berupa sesak napas (dyspnea) dan napas berbunyi (wheezing) adalah keluhan yang diakibatkan oleh penyempitan (obstruction) saluran pernapasan (Kabat, 2004). Pada saat gejala asma muncul lebih buruk dari biasanya disebut dengan episode asma atau serangan asma (Fadden, 2005).

b. Patogenesis

Patogenesis dan etiologi asma masih berkembang dan mengalami evaluasi hingga saat ini. Namun, belum ada jawaban definitif mengenai hal ini. Berbagai teori menerangkan tentang kepekaan yang tinggi dari saluran pernapasan sebagai bentuk respon pertahanan normal saluran napas. Adanya respon ini mengakibatkan reaksi abnormal jaringan saluran pernapasan yang kemungkinan diakibatkan pengaruh imunologik maupun adanya gangguan keseimbangan neurohormonal (Kabat, 2004). Adanya faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa muda (Busse dan Lemanske, 2001; Stempel, 2003).

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cell (APC)

bantuan Major Histocompatibility (MHC II). Limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik dan akan teraktivasi kemudian berdiferensiasi serta berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th-2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi immunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang dari alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. IgE spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag, dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, PAF, bradikinin, tromboksan, dan lain-lain yang akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hiperaktifitas saluran napas (Rahmawati dkk., 2003; Sundaru dan Sukamto, 2007).

Sumber: GINA, 2002

Pengaruh perubahan neurohormonal terjadi akibat aktivitas reseptor adrenergik. Pada jaringan paru terdapat dua tipe reseptor

adrenergik yaitu α dan β reseptor. Rangsangan β reseptor akan mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi mukus

sedangkan rangsangan α akan mengakibatkan bronkokonstriksi. Pada individu normal, tonus saluran napas dalam keseimbangan

antara bronkodilatasi karena rangsangan β-adrenergik dan bronkokonstriksi kare na rangsangan vagal, α reseptor, dan faktor

lain. Rangsangan vagal ini akan mengakibatkan pelepasan lain. Rangsangan vagal ini akan mengakibatkan pelepasan

c. Patofisiologi

Penderita asma pada saluran pernapasannya sangat peka terhadap rangsangan berupa bahan iritan, zat kimia, maupun kegiatan fisik. Adapun kelainan yang sering terjadi pada penderita asma antara lain:

1) Obstruksi saluran napas

Penyempitan saluran pernapasan akibat inflamasi saluran pernapasan maupun peningkatan tonus otot polos bronkhioler dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Penyempitan saluran napas menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi, dan hiperesponsivitas bronkus (Price dan Wilson, 2004).

2) Hiperesponsivitas saluran napas

Mekanisme hiperesponsivitas saluran napas belum jelas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di peribronkial akan menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos (Rahmawati et al, 2003).

3) Hipersekresi mukus

Gambaran makroskopis biopsi pasien asma adalah oklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbat mukus kental dan lengket (Matra dan Kumar, 2007). Hipersekresi mukus akan Gambaran makroskopis biopsi pasien asma adalah oklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbat mukus kental dan lengket (Matra dan Kumar, 2007). Hipersekresi mukus akan

4) Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan gambaran umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan bronkokonstriksi (inciter) seperti latihan, udara dingin, dan rangsangan inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat, dan infeksi saluran napas (GINA, 2006).

5) Asma nokturnal

Penderita asma nokturnal memiliki gejala yang khas yaitu terbangun antara jam 3 dan 5 pagi dengan batuk, mengi, sesak, dan tidak dapat tidur kembali tanpa bantuan bronkodilator aerosol. Faktor pencetus lain seperti refluks gastroesofagus, pendingin, tidur, maupun berkurangnya pembersihan mukus (Pelly, 1992).

6) Analisis gas darah

Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas. Derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi (Price dan Wilson, 2004).

d. Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu, faktor risiko yang berhubungan dengan Secara umum faktor risiko asma dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu, faktor risiko yang berhubungan dengan

1) Faktor predisposisi

a) Atopi

b) Jenis kelamin

c) Ras

2) Faktor kausal

a) Alergen dalam ruangan (tungau debu rumah)

b) Alergen luar ruangan (jamur, binatang)

c) Obat-obatan (aspirin, NSAID)

3) Faktor kontribusi

a) Merokok aktif dan/atau pasif (1) Perokok pasif

Anak-anak secara bermakna terpapar oleh asap rokok. Asap rokok lebih toksik dibandingkan dengan asap yang dihirup oleh perokok, terutama dalam mengiritasi jalan nafas. Paparan asap rokok pasif cenderung lebih berbahaya dan menimbulkan gangguan pada saluran napas bawah (batuk, lendir, Anak-anak secara bermakna terpapar oleh asap rokok. Asap rokok lebih toksik dibandingkan dengan asap yang dihirup oleh perokok, terutama dalam mengiritasi jalan nafas. Paparan asap rokok pasif cenderung lebih berbahaya dan menimbulkan gangguan pada saluran napas bawah (batuk, lendir,

(2) Perokok aktif

Merokok

dapat

meningkatkan risiko berkembangnya asma. Hal ini disebabkan pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja (Danusaputro, 2000).

b) Polusi udara

c) Infeksi saluran udara Adapun faktor risiko yang berhubungan dengan eksaserbasi atau serangan asma, antara lain:

1) Asap rokok

Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang kompleks dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, di antaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (GINA, 2006).

Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran napas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1- 0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vita, 2005). Debu dapat berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dapat dari tumpukkan koran, buku, maupun pakaian lama (Danusaputro, 2000; Purnomo, 2008).

3) Jenis kelamin

Angka kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan (Sundaru dan Sukamto, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung pada usia dan mungkin pula disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata dua kali lebih sering jika dibandingkan dengan perempuan, sedangkan, pada usia 14 tahun risiko asma pada anak laki-laki empat kali lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan pada usia yang sama. Namun, pada usia 20 tahun, kekerapan asma pada anak laki-laki kebalikan dari insiden

risiko pada anak laki-laki kemungkinan disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respons bernapas. Adanya hipotesis yang menunjukkan tidak ada perbedaan rasio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan oleh perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi daripada perempuan mengalami perubahan dimana angka prevalensi pada anak perempuan lebih tinggi daripada laki- laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada perempuan (GINA, 2006; Purnomo, 2008).

4) Binatang piaraan

Binatang piaraan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein, yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga Binatang piaraan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein, yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga

5) Jenis makanan

Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamate/MSG) juga dapat memicu serangan asma (Handayani, dkk., 2004). Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi fatal adalah kacang, ikan laut, dan telur (Handayani, dkk., 2004). Alergi makanan sering tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokonstriksi pada 2%-5% anak dengan asma (Ramailah, 2006; Purnomo, 2008).

6) Perabot rumah tangga

Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formaldehid, Volatile Organic Compounds (VOC), combustion products (NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan

serangga, cat, pembersih, kosmetik, hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furniture, karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust selain akan menyebabkan ketidaknyamanan juga akan menyebabkan reaksi peradangan paru (Purnomo, 2008).

7) Perubahan cuaca

Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembapan dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk sesak napas pada penderita asma dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Hal ini umumnya terjadi ketika kelembapan tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin akan menyebabkan sesak di saluran pernapasan (Purnomo, 2008).

Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma apabila anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua menderita asma (Sundaru dan Sukamto, 2006). Faktor ibu lebih kuat dalam menurunkan asma jika dibandingkan dengan bapak (Manfaati, 2004). Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih apabila anak alergi terhadap tungau debu rumah. Erlich dkk. (1996) menginformasikan adanya hubungan bermakna antara asma dengan riwayat penyakit keluarga (OR 2,77%: 95% CI = 1,11-2,48) (Purnomo, 2008).

9) Aktivitas fisik

Sebagian penderita asma akan merasakan serangan asma ketika melakukan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu (exercise induced asthma) (Sanad, 2011).

Indikator-indikator yang dipergunakan untuk menegakkan diagnosis asma antara lain:

1) Mengi (wheezing) Pada asma ringan, mengi dapat terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Namun, pada asma berat, mengi dapat terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi biasa.

2) Memiliki riwayat:

a) Mengi berulang

b) Sesak napas berulang

c) Rasa berat di dada berulang

d) Batuk yang memburuk pada malam atau dini hari

3) Penyempitan saluran napas yang reversible dan variasi diurnal Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter. Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang diukur pada pagi hari (sebelum inhalasi

agonis β 2 ) dan malam hari (se telah inhalasi agonis β 2 )

menunjukkan perbedaan ≥ 20%.

4) Gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus

5) Gejala terjadi memburuk malam hari dan menyebabkan penderita terbangun (Surjanto, 2001).

Secara klinis menurut GINA (2011), klasifikasi asma dibedakan atas tiga macam, yaitu, asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol.

1) Asma terkontrol

a) Gejala harian tidak ada ( ≤ 2 kali perminggu)

b) Tidak ada pembatasan aktivitas

c) Gejala nokturnal/gangguan tidur tidak ada

d) Kebutuhan akan reliever/terapi rescue tidak ada

e) Fungsi paru (PEF atau FEV1) normal

f) Eksaserbasi tidak ada

2) Asma terkontrol sebagian

a) Gejala harian > 2 kali perminggu

b) Pembatasan aktivitas sewaktu-waktu dalam seminggu

c) Gejala nokturnal/gangguan tidur sewaktu-waktu dalam seminggu

d) Kebutuhan akan reliever/terapi rescue ≥ 2 kali perminggu

e) Fungsi paru (PEF atau FEV1) < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur)

f) Eksaserbasi sekali atau lebih dalam setahun

3) Asma tidak terkontrol

a) Tiga atau lebih gejala dalam kategori asma terkontrol sebagian muncul sewaktu-waktu dalam seminggu

Sedangkan, dalam penelitian dapat menggunakan derajat asma yang ditentukan oleh gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi

β 2 agonis, dan uji faal paru) serta obat pengontrol (jenis, kombinasi, dan frekuensi pemakaian). Berdasarkan GINA tahun 2006, klasifikasi derajat berat asma adalah sebagai berikut:

1) Asma intermitten

a) Gejala < 1x/minggu

b) Serangan singkat

c) Gejala pada malam hari ≤ 2 kali sebulan

d) VEP 1 ≥ 80% nilai prediksi atau APE ≥ 80% nilai terbaik

e) Variabilitas APE < 20%

2) Asma persisten ringan

a) Gejala > 1x/minggu

b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

c) Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

d) VEP 1 ≥ 80% nilai prediksi atau APE ≥ 80% nilai terbaik

e) Variabilitas APE 20%-30%

3) Asma persisten sedang

a) Gejala setiap hari

b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

c) Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan c) Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

e) Variabilitas APE > 30%

4) Asma persisten berat

a) Gejala setiap hari

b) Serangan terus-menerus

c) Gejala pada malam hari sering

d) Terjadi pembatasan aktivitas fisik

e) VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau APE ≤ 60% nilai terbaik

f) Variabilitas APE > 30%

2. Ansietas

a. Definisi

Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang berlebihan tidak pada tempatnya yang ditandai dengan perasaan bersalah, tidak menentu, maupun takut (Maramis, 2009). Kecemasan merupakan sinyal adanya bahaya pada ketidaksadaran (Sadock, 2010).

Berdasarkan National Comorbidity Study satu di antara empat orang yang memenuhi kriteria, sedikitnya satu orang mengalami ansietas. Prevalensi kecemasan menunjukkan 17,7% perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5%) lebih cenderung mengalami ansietas dibandingkan dengan laki-laki (prevalensi Berdasarkan National Comorbidity Study satu di antara empat orang yang memenuhi kriteria, sedikitnya satu orang mengalami ansietas. Prevalensi kecemasan menunjukkan 17,7% perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5%) lebih cenderung mengalami ansietas dibandingkan dengan laki-laki (prevalensi

b. Etiologi

Terjadinya kecemasan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologis, faktor emosional kognitif, pengalaman hidup, obat-obatan, keadaan medis, pasca kejadian trauma, faktor sosial, maupun faktor psikologis.

1) Faktor biologis Kerentanan yang diturunkan untuk mengalami kecemasan dan aktivitas sirkuit-sirkuit otak, neurotransmitter, dan sistem neurohormonal tertentu (Barlow dan Durand, 2006). Orang tua yang memiliki gangguan neurotik cenderung akan mewariskan sifat tersebut pada perkembangan kepribadian anaknya (Maramis, 2005; Fricchione, 2004).

2) Faktor emosional kognitif Sensitivitas meningkat terhadap situasi atau orang-orang yang dipersepsikan sebagai ancaman (Barlow dan Durand, 2006).

3) Pengalaman hidup Seseorang dengan lingkungan tingkat stres yang tinggi (kekerasan, kejahatan, kemiskinan, hinaan, dan lain-lain.)

(Fricchione, 2004).

4) Obat-obatan Obat-obatan seperti amfetamin, kokin, dan kafein juga obat serotonergik (LSD, MDMA), kortikosteroid, ginseng, rokok, dan alkohol dapat menyebabkan seseorang mengalami sindrom kecemasan akut maupun kronis (Sadock, 1997).

5) Keadaan medis Kecemasan juga sering menyertai gangguan neurologis, gangguan endokrin, gangguan kardiovaskuler, defisiensi

vitamin B 12 , hipoglikemi, dan depresi (Sadock, 1997). Ansietas yang disebabkan oleh keadaan medis cenderung dialami seseorang pada usia 35 tahun (Fricchione, 2004).

6) Pasca kejadian trauma Adanya kejadian-kejadian khusus antara lain bencana alam, peperangan, kecelakaan pada masa anak-anak mampu mempengaruhi sistem saraf yang sedang berkembang sehingga akan sangat rentan pada masa dewasa untuk mengalami stres maupun gejala kecemasan (Sadock, 1997; Yehuda, 2002).

Kurangnya dukungan sosial akan meningkatkan potensi timbulnya kecemasan pada seseorang (Barlow dan Durand, 2006).

8) Faktor psikologis Kecemasan merupakan salah satu kondisi sebagai antisipasi untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang (Semiun, 2010).

c. Patofisiologi

Kecemasan merupakan respon dari persepsi terancam yang diterima oleh Sistem Saraf Pusat (SSP) akibat adanya rangsangan berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsang tersebut kemudian akan dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan, dan direspon oleh cortex cerebri menuju ke sistem limbik ke reticular activating system kemudian ke hipotalamus yang memberikan impuls ke kelenjar adrenal yang akan memacu sistem saraf otonom melalui mediator yang lain.

Kecemasan menyeluruh menunjukkan adanya gangguan pada reseptor serotonin, 5 HT-1A. Sistem limbik terletak di diensefalon yang merupakan sentrum integrasi emosi (Mudjadid, 2007).

Seseorang yang mengalami kecemasan memiliki karakteristik fisik, gelisah, gugup, gemetar, banyak berkeringat, pening, mengalami kesulitan dalam berbicara, jantung berdebar kencang, suara bergetar, merasa cemas, panas dingin, wajah terasa merah, dan mudah marah. Orang cemas akan cenderung memiliki perilaku menghindar, khawatir, sulit dalam berkonsentrasi, perasaan terganggu, dan merasa lebih sensitif (Nevid, 2005).

d. Jenis-jenis

Klasifikasi gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) antara lain berupa kecemasan umum, kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis, serangan panik, agorafobia (rasa takut sendirian di tempat umum atau tempat sulit untuk keluar) dengan atau tanpa riwayat panik, panik dengan atau tanpa agorafobia, spesifik fobia, fobia sosial, obsesif kompulsif, post traumatic stress disorder , dan stres akut (Sadock, 2010; Murtagh, 2003). Berdasarkan Diagnosis Gangguan Jiwa, PPDGJ III (Maslim, 2003) gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan yang terkait dengan ansietas terbagi atas tujuh, antara lain:

1) Gangguan Ansietas Fobik

a) Agorofobia

2) Dengan gangguan panik

b) Fobia sosial

c) Fobia khas (terisolasi)

d) Gangguan ansietas fobik lainnya

e) Gangguan ansietas fobik yang tidak tergolongkan

2) Gangguan Ansietas lainnya

a) Gangguan panik (ansietas paroksismal episodik)

b) Gangguan ansietas menyeluruh

c) Gangguan campuran ansietas dan depresif

d) Gangguan ansietas campuran lainnya

e) Gangguan ansietas lainnya yang ditentukan

f) Gangguan ansietas yang tidak tergolongkan

3) Gangguan Obsesif –Kompulsif

4) Reaksi terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian

5) Gangguan Disosiatif (Konversi)

6) Gangguan Somatoform

7) Gangguan Neurotik lainnya

e. Diagnosis

Kecemasan secara umum memiliki tiga atau lebih dari sifat yaitu mudah marah, gelisah, tegang, mudah lelah, kesulitan berkonsentrasi, dan memiliki kualitas tidur yang buruk. Diagnosis seseorang yang mengalami kecemasan didasarkan atas Kecemasan secara umum memiliki tiga atau lebih dari sifat yaitu mudah marah, gelisah, tegang, mudah lelah, kesulitan berkonsentrasi, dan memiliki kualitas tidur yang buruk. Diagnosis seseorang yang mengalami kecemasan didasarkan atas

1) Kecemasan dan kekhawatiran eksesif selama enam bulan atau lebih akan sejumlah kejadian atau aktivitas

2) Kesulitan dalam mengontrol kekhawatiran

3) Menunjukkan minimal tiga di antara gejala-gejala, antara lain:

a) Kegelisahan atau perasaan tegang

b) Menjadi mudah lelah

c) Sulit dalam berkonsentrasi

d) Iritabilitas

e) Ketegangan otot dan mengalami kualitas tidur yang buruk

4) Distress yang signifikan

5) Kecemasan tidak terbatas akan sebuah isu tertentu (Barlow dan Durand, 2006).

1. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)

TMAS merupakan suatu tes yang dipergunakan untuk mengukur tingkat kecemasan dari subjek penelitian baik ringan, sedang, atau berat yang dapat dikerjakan sendiri secara praktis dan dalam kurun waktu relatif singkat. Tes ini tersusun atas 50 pernyataan dengan tiap TMAS merupakan suatu tes yang dipergunakan untuk mengukur tingkat kecemasan dari subjek penelitian baik ringan, sedang, atau berat yang dapat dikerjakan sendiri secara praktis dan dalam kurun waktu relatif singkat. Tes ini tersusun atas 50 pernyataan dengan tiap

Adapun butir-butir pernyataan yang sesuai pada keadaan kecemasan atau pertanyaan favourable terdapat 35 butir antara lain nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27,

28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 4, 45, 46, 47, 48, dan 49. Sedangkan butir-butir pernyataan yang tidak sesuai dengan keadaan kecemasan atau pertanyaan unfavourable terdapat 15 butir antara lain nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, dan 50 (Sudiyanto, 2003).

Kuesioner TMAS yang mengandung 50 butir pernyataan dapat dijawab oleh responden dengan memberikan jawaban “ya” atau “tidak” berupa tanda (V) pada kolom jawaban ya atau tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Pernyataan yang favourable bila dijawab dengan jawaban “ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai

0. Namun, untuk pernyataan yang unfavourable bila dijawab dengan jawaban “ya” diberi nilai 0 dan jawaban “tidak” diberi nilai 1. Jumlah skor TMAS ≤ 21 dinyatakan responden tidak cemas sedangkan bila skor TMAS > 21 dinyatakan responden cemas (Azwar, 2009).

bila dapat menjalankan sesuai dengan fungsi ukurnya dan memberikan hasil pengukuran yang sesuai dengan maksud pengukuran. Kuesioner TMAS mempunyai derajat validitas yang cukup tinggi. Akan tetapi, hal ini dipengaruhi oleh kejujuran dan ketelitian responden dalam mengisi kuesioner TMAS (Azwar, 2009).

Kriteria tingkat cemas berdasarkan skor TMAS oleh Stuart dan Sunden tahun 1998 adalah:

a. Skor TMAS ≤ 21 (0- <50% nilai TMAS)

tidak cemas

b. Skor TMAS 22-25 (50% nilai TMAS)

cemas ringan

c. Skor TMAS 26-38 (51%-75% nilai TMAS)

cemas sedang

d. Skor TMAS 39-50 (>75%-100% nilai TMAS)

cemas berat

2. Hubungan Asma dengan Ansietas

Serangan asma merupakan serangan yang terjadi tiba-tiba dan disebabkan karena adanya gangguan dari saluran pernapasan. Gangguan kecemasan atau ansietas lebih sering terjadi pada penderita asma dan memberikan pengaruh yang besar pada manajemen asma. Kecemasan yang berlebihan mengenai gejala asma dapat mempengaruhi respon pasien mengenai serangan asma. Demikian pula, kecemasan yang berkaitan dengan pemicu asma dapat menurunkan kualitas hidup pada penderita asma (Thoren et al., 2000).

asma. Keadaan frustasi, tegang, cemas, takut, eksitasi yang hebat dapat mencetuskan timbulnya serangan asma. Ansietas dapat mempengaruhi kondisi somatik seseorang yang salah satunya dapat menimbulkan adanya masalah pernapasan misalnya asma, emfisema, emboli paru (Greist, 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wayne J. Katon et al. (2004) menunjukkan seseorang yang memiliki riwayat asma dipengaruhi pula oleh gangguan kecemasan. Studi hasil pada remaja dengan asma, sepertiga mengalami ansietas, sedangkan pada orang dewasa kurang lebih berkisar 6,5%-24%. Serangan asma disebabkan oleh ansietas dapat melalui berbagai mekanisme antara lain:

a. Mekanisme kolinergik Otot polos saluran napas memiliki reseptor muskarinik M2 dan M3. Stimulasi kolinergik atau parasimpatis akan melepaskan asetilkolin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus kelenjar di jaringan, dan dilatasi sirkulasi bronkial. Kontraksi

napas menimbulkan bronkokonstriksi yang disebabkan stimulasi M3 oleh asetilkolin yang dilepaskan oleh saraf kolinergik. Pelepasan asetilkokin dari saraf post ganglioner dipengaruhi oleh neurotransmitter dan zat- zat yang dihasilkan oleh sel inflamasi seperti histamin, serotonin, leukotrien. Apabila asetilkolin bekerja pada reseptor M2, napas menimbulkan bronkokonstriksi yang disebabkan stimulasi M3 oleh asetilkolin yang dilepaskan oleh saraf kolinergik. Pelepasan asetilkokin dari saraf post ganglioner dipengaruhi oleh neurotransmitter dan zat- zat yang dihasilkan oleh sel inflamasi seperti histamin, serotonin, leukotrien. Apabila asetilkolin bekerja pada reseptor M2,

b. Sistem endokrin Ansietas menyebabkan hiperesponsif axis Hypothalami Pituitary Adrenocortical (HPA axis) sehingga kadar kortisol dalam darah akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan penurunan sistem imun individu dan berhubungan dengan kelainan inflamasi sehingga pada beberapa penderita asma dapat menyebabkkan timbulnya eksaserbasi asma (Widiyawati, 2004).

c. Sistem imunologi Gangguan emosional akan menyebabkan terjadinya penurunan sistem imun individu disebabkan karena stres memodulasi respon imun melalui jalur saraf yang menghubungkan saraf otonom dan sistem imun dengan cara melepas hormon dan neuropeptida yang berinteraksi dengan sel imun. Penurunan sistem imun individu akan menyebabkan seseorang mudah terkena infeksi virus salah satunya pada saluran pernapasan. Hal ini berakibat akan terjadi reaksi inflasmasi yang pada penderita asma dapat memicu timbulnya serangan asma (Widiyawati, 2004).

a. Fisiologi

Tidur merupakan keadaan bawah sadar di mana seseorang dapat dibangunkan dengan diberikan rangsangan sensorik ataupun dengan pemberian rangsangan lainnya (Guyton dan Hall, 1997). Orang dewasa membutuhkan waktu kurang lebih sekitar tujuh setengah jam tiap malam untuk tidur (Kaplan dan Sadock, 2000). Saklar untuk tidur adalah nucleus preoptik ventrolateral (VLPO) di hipotalamus anterior. Area ini akan aktif saat tidur dan menggunakan neurotransmitter inhibisi GABA dan galanin untuk memulai tidur dengan menghambat daerah rangsangan otak. Nukleus VLPO akan menghambat daerah bangun. Neuron hypocretin di hipotalamus lateral membantu menstabilkan saklar ini. Jatuh tertidur merupakan hasil dari pemutusan fungsional antara batang otak dan thalamus rostral dengan korteks otak (Pinzon, 2010).

Pada orang dewasa, tahapan tidur dibagi menjadi tidur Rapid Eye Movement (REM) dan tidur Non Rapid Eye Movement (NREM), stadium 1 sampai 4, yang keduanya saling bergantian dalam siklus yang bertahan antara 70 sampai dengan 120 menit (Guyton dan Hall, 1997). Tidur NREM (tidak ada gerakan mata yang cepat) merupakan tidur dimana seseorang akan mengalami kegiatan yang tenang. Denyut nadi, pernapasan, dan tekanan

seseorang akan mengalami empat macam tahapan, tidur ringan, tidur sebenarnya, tidur lebih pulas, dan tidur terpulas. Adapun tidur REM (gerakan mata cepat) merupakan tidur dimana seseorang mengalami mimpi. Pada saat tahap ini denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah umumnya berlangsung lebih aktif, cepat, dan tidak teratur (Anonim, 2011). Umumnya, empat sampai enam siklus NREM-REM terjadi tiap malam (Guyton dan Hall, 1997).

Fisiologi tidur dapat diterangkan melalui gambaran aktivitas sel-sel otak selama tidur. Aktivitas tersebut dapat direkam menggunakan alat elektroenchephalography (EEG). EEG merupakan prosedur pencatatan aktifitas listrik otak yang nantinya dapat dilihat beberapa macam bentuk gambaran gelombang, alfa, beta, teta, dan delta.

1) Gelombang alfa merupakan gelombang dengan frekuensi 8-

12 Hz dan amplitudo gelombang antara 10-15 mV. Gambaran gelombang alfa yang terjelas didapatkan pada daerah oksipital atau parietal. Pada keadaan mata tertutup dan relaks gelombang alfa akan muncul dan akan menghilang sesaat ketika membuka mata. Pada keadaan mengantuk (drowsy) didapatkan gambaran yang jelas kumparan tidur yang berupa gambaran waxing dan gelombang alfa (Musadik, 1988)

Hz atau lebih dan amplitudo gelombang kecil rata-rata 25 mV. Gambaran glombang beta yang terjelas didapatkan pada daerah frontal. Gelombang ini merupakan gelombang dominan pada keadaaan jaga terutama apabila mata terbuka. Pada keadaaan REM juga muncul gelombang beta (Musadik, 1988).

3) Gelombang teta merupakan gelombang dengan frekuensi antara 4-7 Hz dengan amplitudo gelombang bervariasi. Gelombang teta dengan amplitudo rendah tampak pada keadaan jaga pada anak-anak sampai usia 25 tahun dan usia lanjut di atas 60 tahun. Pada keadaan normal orang dewasa, gelombang teta muncul pada keadaan tidur (stadium 1,2,3,4) (Musadik, 1988).

4) Gelombang delta merupakan gelombang dengan frekuensi antara 0-3 Hz dengan amplitudo serta lokalisasi yang bervariasi. Pada keadaan normal gelombang delta muncul pada keadaan tidur (stadium 2,3,4) (Musadik, 1988). Adapun tahapan tidur normal, antara lain:

a) Tahap 0 adalah periode kesadaran penuh dengan mata tertutup yang terjadi sesaat sebelum tidur. Pada tahapan ini, tonus otot dan aktivitas alpha cenderung meningkat

Sadock, 2000).

b) Tahap 1 adalah tahap permulaan tidur yang ditunjukkan dengan transisi singkat dari periode sadar menuju tidur. Pada tahapan ini didapatkan amplitudo rendah dan aktivitas beta dan theta lebih lambat (4-7 siklus per detik). Tahap ini merupakan 5% dari total periode ketika tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).

c) Tahap 2 adalah tahap yang didominasi oleh aktivitas theta dan dicirikan dengan sleep spindles berupa ritme gelombang komplek K yang berbentuk tajam, negatif, gelombang EEG tegangan tinggi, diikuti yang lebih lambat. Tahap ini merupakan 45%-55% dari total periode ketika tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).

d) Tahap 3 memiliki ciri berupa 20%-50% aktivitas gelombang delta tegangan tinggi dengan frekuensi 1-2 siklus per detik, disertai dengan peningkatan tonus otot seperti halnya pada tahap 2 tetapi tidak disertai dengan gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).

e) Tahap 4 terjadi ketika gelombang delta menyusun >50% rekaman EEG. Baik tahap 3 maupun tahap 4 sering sulit dibedakan dan secara umum disebut dengan slow-wave

(Kaplan dan Sadock, 2000). Urutan tahapan tidur selama siklus tidur awal dimulai dengan tahap NREM 1, 2, 3, 4, 3, dan 2 kemudian tahap REM. Dewasa muda dari bangun sampai tahap NREM membutuhkan waktu kira-kira 90 menit sebelum periode REM pertama yang disebut dengan REM latency (Kaplan dan Sadock, 2000). Periode REM dan REM berikutnya lebih pendek pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi, periode REM muncul setiap 50-

60 menit selama waktu tidur bayi dan secara bertahap meningkat dengan panjang siklus 70-100 menit selama masa dewasa (Saisan et al., 2008).

b. Perubahan kardiovaskuler dan respirasi selama tidur Pada fase tidur NREM, denyut jantung dan tekanan darah turun sekitar 10%. Ventilasi tidur pun menurun. Secara umum, menurut Krieger et al tahun 1990 didapatkan penurunan dalam volume tidal ketika perubahan laju respirasi lebih bervariasi. Ventilasi selama tidur REM secara konsisten lebih sedikit daripada saat keadaan terjaga. Selama fase tidur REM, aktivitas otot interkosta dan muskulus respiratori aksesori berkurang bersamaan dengan inhibisi general tonus otot skelet selama tidur REM. Resistensi saluran napas atas akan meningkat secara

(Bradley dan Phillipson, 2005).

Setelah stadium slow wave sleep terlewati, input respirasi mekanik berkurang dan pernapasan lebih diatur oleh sistem kontrol metabolik. Volume ventilasi per menit berkurang 1-2 L

per menit, PCO 2 artei meningkat 2-8 mmHg, dan PO 2 arteri menurun 5-10 mmHg dibandingkan saat keadaan terjaga (Bradley dan Phillipson, 2005).

c. Kuantitas dan kualitas tidur

Kuantitas tidur merupakan total waktu individu tidur, sedangkan kualitas tidur seseorang menunjukkan kemampuan individu untuk tetap tertidur dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (George dan Kryger, 2008). Keduanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

1) Umur Seiring dengan bertambahnya faktor usia pola tidur-bangun pun mengalami perubahan. Saat neonatus, lama tidur sekitar

18 jam dan sekitar 50% adalah tidur REM. Pada usia satu tahun lama tidur seseorang kurang lebih sekitar 13 jam dan 30% adalah tidur REM. Waktu tidur akan menurun tajam setelah itu. Adapun, saat dewasa muda membutuhkan waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25% (Amir, 2007).

Semakin variatifnya rutinitas juga akan mempengaruhi aktivitas tidur. Seseorang yang bekerja shift malam dapat mengalami kesulitan dalam tidur. Berdasarkan siklus sirkadian, tubuh akan mempersiapkan untuk tidur di malam hari dengan menurunkan suhu tubuh dan melepaskan hormon melatonin. Hasrat untuk tetap terjaga dan siaga membantu mengatasi rasa kantuk dan tidur (Neubauer, 1999).

3) Aktivitas fisik dan latihan Aktifitas fisik akan meningkatkan kelelahan dan mempromosikan relaksasi tidur. Berdasarkan Division of Sleep Medicine Harvard University tahun 2007, aktifitas fisik meningkatkan fase tidur REM dan NREM.

4) Kebiasaan konsumsi Minuman beralkohol dalam takaran yang sedang dapat menginduksi tidur, akan tetapi, dalam jumlah yang besar dapat membatasi tidur dan delta. Kafein merupakan stimulator sistem saraf pusat. Sebagian besar orang, setelah minum-minuman berkafein akan menganggu kemampuan untuk tidur. Seorang perokok akan mendapatkan kesulitan untuk tidur karena nikotin akan menstimulasi tubuh yang menyebabkan seseorang mudah terbangun dan tidur dalam

University, 2007).

5) Faktor lingkungan dan budaya Lingkungan baru dapat mempengaruhi aktivitas tidur REM dan NREM. Budaya, keyakinan, dan kebiasaan seorang individu ikut dapat mempengaruhi aktivitas tidur (Kaplan dan Sadock, 2000; Saisan et al., 2008).

6) Stres psikologis dan ansietas Stres psikologis dapat membuat seseorang mendapatkan kebutuhan tidur yang kurang. Ansietas dan stres juga dapat menurunkan jumlah fase tidur REM (Saisan et al., 2008).

7) Faktor penyakit Seseorang yang memiliki kondisi medis kurang baik juga dapat menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan akan tidur. Faktor penyakit seperti hipertensi, stroke, kejang nokturnal, penyakit refluk gastroesofagus, maupun penyakit Parkinson dapat membatasi kedalaman tidur maupun episode singkat terbangun (Kaplan dan Sadock, 2000; Saisan et al., 2008).

d. Gangguan tidur International Classification Disorder (ICDS) dan DSM IV mengklasifikasikan

beberapa

bentuk gangguan tidur. Berdasarkan DSM IV ada 12 penyakit gangguan tidur. Adapun bentuk gangguan tidur. Berdasarkan DSM IV ada 12 penyakit gangguan tidur. Adapun

1) Gangguan tidur primer (disomnia dan parasomnia),

2) Gangguan tidur karena kelainan mental,

3) Gangguan tidur karena kondisi medis umum, dan

4) Substansi penginduksi gangguan tidur (Durand, 2007). ICSD membagi gangguan tidur berdasarkan hipoventilasi yaitu gangguan tidur terkait hipoventilasi alveolar nonobstruktif idiopatik, congenital central alveolar hypoventilation syndrome, gangguan tidur terkait hipoventilasi karena patologi jaringan parenkim paru atau vascular, gangguan tidur terkait hipoventilasi karena obstruksi saluran napas bawah, gangguan tidur terkait hipoventilasi karena kelainan dinding dada dan neuromuscular (Casey et al., 2007).

6. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

PSQI merupakan suatu alat yang digunakan untuk pengukuran kualitas tidur yang sifatnya reliabel, valid, dan terstandardisasi. Penggunaannya didasarkan untuk mengukur kualitas tidur selama kurang lebih sebulan terakhir dan mengklasifikasikannya sebagai kualitas tidur yang baik atau buruk. Beberapa cakupan dalam skoring PSQI meliputi antara lain kualitas tidur subjektif, masa laten tidur, durasi tidur, kebiasaan efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan PSQI merupakan suatu alat yang digunakan untuk pengukuran kualitas tidur yang sifatnya reliabel, valid, dan terstandardisasi. Penggunaannya didasarkan untuk mengukur kualitas tidur selama kurang lebih sebulan terakhir dan mengklasifikasikannya sebagai kualitas tidur yang baik atau buruk. Beberapa cakupan dalam skoring PSQI meliputi antara lain kualitas tidur subjektif, masa laten tidur, durasi tidur, kebiasaan efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan

PSQI tersusun atas 19 pertanyaan. Lima belas pertanyaan pilihan ganda untuk diri sendiri menanyakan frekuensi gangguan tidur dan kualitas tidur subjektif serta empat pertanyaan uraian menanyakan tentang jam tidur, jam bangun, masa laten tidur, dan durasi tidur. Lima pertanyaan untuk teman sekamar atau pasangan tidur merupakan soal pilihan ganda yang berfungsi untuk menilai gangguan tidur. Adapun pertanyaan diri sendiri saja yang dihitung dalam skor (Busse, 1998).

Setiap komponen pertanyaan mempunyai rentang nilai antara 0 sampai dengan 3. Nilai 0 berarti jika seseorang tidak mengalami kesulitan sedangkan nilai 3 merupakan nilai maksimum untuk kesulitan yang berat. Tiap komponen dijumlahkan dan menghasilkan nilai total yang berkisar antara 0-21. Total nilai PSQI > 5 menunjukkan seseorang mengalami kualitas tidur buruk. Hal ini signifikan dengan sensitivitas diagnostik 89,6% dan spesifitas 86.55 (kappa = 0,75; p < 0.001) (Backhause et al., 2002; Buysse, 1989).

7. Hubungan Asma dengan Tidur

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sampai saat ini, terdapat berbagai pendapat mengenai hubungan asma dengan kualitas tidur.

yang menderita asma memiliki kualitas tidur buruk jika dibandingkan dengan orang normal. Majde dan Kruger (2005) menyatakan hubungan yang belum jelas antara keduanya, apakah gejala asma yang mengganggu tidur atau sebaliknya kualitas tidur buruk yang menimbulkan efek pada gejala asma. Chung et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan hubungan antara kualitas tidur buruk dengan peningkatan gejala asma.

Adanya gangguan respirasi selama tidur NREM akan mengganggu periode siklus normal REM sepanjang malam. Hal ini akan mencegah progesivitas dan mengurangi jumlah tidur REM yang berakibat tidur akan kurang nyenyak dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebih. Gangguan tidur akibat masalah pernapasan akan menunjukkan index apnea, hipopnea, derajat pemutusan tidur, dan derajat hipoksemia nokturnal yang berhubungan dengan peningkatan rasa kantuk pada siang hari dan dapat diukur menggunakan Multiple Sleep Latency Test secara independent (Punjabi et al., 2002).