BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tumbuhan - Uji Efek Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Pacing (Cheilocostus Speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) Pada Mencit Betina

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian tumbuhan

  Uraian tumbuhan pacing (Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht) terdiri dari habitat, morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing dan kandungan kimia.

  2.1.1 Habitat

  Tanaman pacing tumbuh liar di tempat yang lembab dengan sedikit naungan atau tumbuh liar di bawah tumbuh-tumbuhan yang tinggi seperti di hutan primer, hutan sekunder dan hutan jati pada daratan rendah sampai ketinggian 2050 meter di atas permukaan laut. Banyak ditemukan di pulau jawa (Kinho, dkk., 2011).

  2.1.2 Morfologi tumbuhan

  Tanaman pacing merupakan jenis herba tegak, bercabang 2-3 atau lebih, tinggi 0,5-4 m. Perbungaan terminalis, besar dan berwarna putih, bulir terdiri dari beberapa bunga, duduk atau bertangkai sangat pendek. Daun pelindung membundar telur dan memanjang berwarna merah, daun mahkota putih, bentuk bibir membulat telur sungsang melebar, putih dan di bagian tengah berbulu kuning. Buah membulat, berbulu menyerupai sutera sangat halus. Berwarna merah. Daunnya berkedudukan melingkar, tunggal dengan bentuk melonjong, ukuran daun 15-35 cm x 6-10 cm. Panjang pelepah pendek, berwarna ungu (Kinho, dkk., 2011). Rimpang melengkung atau agak lurus, bercabang dengan panjang 10-30 cm dan diameter 3-5 cm dalam keadaan kering, patahan akar berserat, tidak ada rasa dan bau yang khas (Srivastava, 2011).

  Sebelumnya tanaman pacing dimasukkan ke dalam suku Zingiberaceae, dimana suku ini merupakan terna perenial dengan rimpang yang biasanya mengandung minyak menguap sehingga berbau aromatik. Daun tunggal tersusun dua baris, mempunyai tiga bagian yaitu helaian daun, tangkai daun dan upih daun, selain itu juga lidah-lidah. Bunga terpisah-pisah tersusun dalam bunga majemuk kendaga yang berkatup tiga, atau berdaging tidak membuka. Biji bulat atau berusuk, mempunyai salut biji, endosperm banyak (Tjitrosoepomo, 2010).

  2.1.3 Sistematika tumbuhan

  Sistematika dari tanaman pacing menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Zingiberales Suku : Costaceae Genus : Cheilocostus C.D. Specht Spesies : , Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht)

  2.1.4 Nama daerah

  Nama daerah tanaman pacing antara lain pacing tawar, tepung tawar (Sunda); pacing tawa (Jawa); binto (Madura); tawa-tawa (Sumatera Barat); tobar- tobar (Batak); tabar-tabar (Bangka); tubu-tubu (Ambon); (Hariana, 2013).

  2.1.5 Nama asing

  Nama asing dari tanaman pacing antara lain Zhang liu tou (Cina) (Hariana, 2013), crape ginger (Inggris); Keukand (India) (Srivastava, dkk., 2011).

2.1.6 Kandungan kimia

  Kandungan kimia tanaman pacing diantaranya diosgenin, tigogenin, dioscin, gacilin (Hariana, 2013). Daun pacing juga mengandung senyawa steroida, tanin dan fenolik (Devi dan Urooj, 2009).

2.2 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Metode ekstraksi menurut Depkes (2000) yang sering digunakan yaitu maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi.

  1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Depkes, 2000).

  2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Depkes, 2000).

  3. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).

  4. Sokletasi

  Sokletasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru menggunakan alat soklet dimana ekstraksi terjadi secara kontinu dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).

5. Digesti

  Digesti adalah maserasi dengan pengadukan secara terus menerus pada temperatur 40-50 ˚C (Depkes, 2000).

  6. Infundasi simplisia nabati dengan air pada suhu 90 ˚C selama 15 menit. Hasil infundasi desebut dengan infus (Depkes, 1995).

  7. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air selama 30 menit atau lebih pada temperatur sampai titik didih air. Dekoktasi biasanya digunakan untuk bahan tumbuhan yang lebih keras (Depkes RI, 2000).

  Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 2008).

  a. Ekstrak kering Ekstrak kering merupakan sediaaan berbentuk serbuk yang dibuat dari ekstrak tumbuhan yang diperoleh dari penguapan bahan pelarut dan pengeringan

  (Voigt, 1995).

  b. Ekstrak kental Ekstrak kental memiliki konsistensi yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang serta kandungan airnya berjumlah sampai 30% (Voigt, 1995). c. Ekstrak cair Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet (Depkes RI, 2000).

2.3 Keluarga Berencana (KB)

  Meskipun telah dilakukan pengembangan secara terus-menerus namun sampai saat ini kita masih menghadapi masalah kependudukan (Meilani, dkk., 2010). Pertambahan jumlah penduduk pada negara-negara berkembang, menimbulkan masalah kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pendidikan, pada negara-negara industri, masalah pertambahan penduduk berbeda dengan negara berkembang karena perbedaan gaya hidup dan perbedaan tingkat kesejahteraan (Zain, 2013).

  Upaya mengatasi masalah kependudukan tersebut dilakukan oleh banyak pihak dari berbagai instansi atau departemen secara bersama-sama. Upaya yang dilakukan antara lain dengan menurunkan tingka pertumbuhan penduduk dengan menurunkan tingkat fertilitas, menurunkan TFR antara lain dengan gerakan KB nasional (Meilani, dkk., 2010).

  Menurut WHO (World Health Organization) keluarga berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapat kelahiran yang memang sangat diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Suratun, dkk., 2002).

  Program KB sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kependudukan, memiliki arti yang tinggi terhadap pembangunan kesehatan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Tujuan yang ingin dicapai, bukan hanya bertumpu pada aspek demografis (kuantitatif), tetapi lebih ditekankan pada peningkatan kualitas hidup individu (kualitatif) (Suratun, dkk., 2008).

2.4 Kontrasepsi

  Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti melawan atau mencegah, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan (Suratun, dkk., 2008). Kerja kontrasepsi pada dasarnya adalah meniadakan pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma). Tiga cara untuk mencapai tujuan ini, baik yang bekerja sendiri maupun bersamaan adalah pertama menekan keluarnya sel telur (ovulasi) misalnya dengan penggunaan pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi kombinasi bekerja di hipotalamus dengan menghambat gonadotropin releasing

  

hormon sehingga menekan sekresi liteinizing hormon (LH) dan sedikit folicle

stimulating hormon (FSH). Dengan tidak adanya puncak LH, maka ovulasi tidak

  terjadi (Siswosudarmo, dkk., 2001).

  Kedua menahan masuknya sperma ke dalam saluran pada kelamin wanita, contohnya penggunaan pil kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron yang dikenal dengan Minipill. Minipill mengandung progesteron dengan dosis yang lebih rendah dibanding dengan progesteron yang terkandung di dalam pil kombinasi dimana mekanisme dari pil ini adalah dengan mengentalkan lendir serviks, sehingga sperma sulit masuk lebih jauh (Siswosudarmo, dkk., 2001).

  Metode ketiga adalah dengan menghalangi implantasi (Siswosudarmo, dkk., 2001). Implantasi dapat dihambat oleh apa yang disebut sebagai morning

  

after pill , yaitu jenis kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dengan dosis

  tinggi yang diminum selama beberapa hari setelah kemungkinan terjadinya konsepsi. Obat ini mencegah implantasi dengan menimbulkan degenerasi prematur korpus luteum, sehingga hormon yang menunjang pertumbuhan endometrium menghilang (Sherwood, 2001). ideal adalah kontrasepsi yang memenuhi persyaratan yaitu dapat dipercaya, tidak menimbulkan efek yang menggangu kesehatan, daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan, tidak menimbulkan gangguan pada saat koitus, tidak memerlukan motivasi terus menerus, mudah pelaksanaannya, murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan dapat diterima penggunaanya oleh pasangan yang bersangkutan (Wiknjosastro, dkk., 2009).

2.4.1 Kontrasepsi hormonal

  Hipofisis mengeluarkan hormon gonadotropin Folicle Stimulating

Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) di bawah pengaruh hipotalamus.

  Hormon-hormon ini dapat merangsang ovarium untuk membuat estrogen dan progesteron. Dua hormon ini menumbuhkan endometrium pada waktu siklus haid, pada keseimbangan tertentu menyebabkan ovulasi, dan penurunan kadarnya mengakibatkan desintegrasi endometrium dan haid. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan baik estrogen maupun progesteron dapat mencegah ovulasi. Pengetahuan ini menjadi dasar untuk menggunakan kombinasi estrogen dan progesteron sebagai cara kontrasepsi dengan jalan mencegah terjadinya ovulasi (Anwar, dkk., 2011).

  Beberapa jenis kontrasepsi hormonal berdasarkan cara penggunaannya, yaitu:

  1. Oral a.

  Kombinasi (Combine Oral Contraception/COC).

  b.

  Progestin (Progestin only pill/POP). Suntik/Injeksi a.

  Suntikan kombinasi.

  b.

  Suntikan progestin.

  3. Alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK)/Implant (Meilani, 2010).

2.4.2 Kontrasepsi non-hormonal

  Jenis-jenis kontrasepsi non-hormonal antara lain adalah sebagai berikut: 1. Kontrasepsi tanpa menggunakan alat/obat a.

  Senggama terputus (Koitus Interuptus) b. Pembilasan pascasenggama (Postcoital Douche) c. Pantang berkala (Rhythm Method) 2. Kontrasepsi sederhana untuk laki-laki (kondom) 3. Kontrasepsi sederhana untuk perempuan a.

  Diafragma vaginal b. Kontrasepsi dengan obat-obat spermatisida (Anwar, 2011).

  4. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) (Meilani, 2010).

2.5 Hormon ovarium

  2.5.1 Estrogen

  Estrogen yang terdapat secara alamiah adalah 17β-estradiol, estron dan estriol. Hormon-hormon ini terutama disekresikan oleh sel granulosa folikel ovarium, korpus luteum dan plasenta. (Ganong, 2008). FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel, tetapi hormon-hormon ini bekerja pada sel-sel yang berbeda dan pada tahapan jalur pembentukan estrogen yang berbeda pula. Sel granulosa maupun sel teka estrogen memerlukan sejumlah langkah berurutan, dengan langkah akhir adalah perubahan androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi kapasitas mereka merubah androgen menjadi estrogen terbatas.

  Sel-sel granulosa, di pihak lain, mudah mengubah androgen menjadi estrogen tetapi tidak mampu membentuk androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup mendorong perubahan menjadi estrogen, maka kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel (Sherwood, 2001).

  Estrogen sintetis yang ditemukan dalam kontrasepsi hormonal di Amerika Serikat yaitu etinil estradiol dan mestranol. Sebagian besar kontrasepsi oral kombinasi berisi estrogen pada dosis 20 sampai 50 mcg etinil estradiol, dan pada transdermal dirilis 20 mcg etinil estradiol perhari (Dipiro, dkk., 2008).

  2.5.2 Progesteron

  Progesteron disekresi oleh ovarium terutama dari korpus luteum selama fase pertengahan kedua siklus menstruasi, kecuali di ovarium, hormon ini juga disintesis di testis, korteks adrenal dan plasenta (Gunawan, 2009). Hormon ini merupakan zat antara yang penting dalam biosintesis steroid di semua jaringan yang menyekresi hormon steroid. Progesteron memiliki waktu paruh yang singkat dan diubah menjadi pregnanediol di hati, yang kemudian dikonjugasi dengan asam glukoronat dan diekskresikan di dalam urin (Ganong, 2008). kadarnya sekitar 0,9 mcg/mL selama fase folikular siklus haid. Sekresi progesteron mulai meningkat sampai mencapai kadar puncak sekitaar 18 mcg/mL pada fase luteal yang disekresikan oleh korpus luteum (Ganong, 2008).

  Jenis progesteron sintetik yang digunakan sebagai kontrasepsi, yaitu yang berasal dari 19 nortesteron dan yang berasal dari 17 alfa-asektosi-progesteron.

  Progesteron yang berasal dari 17 alfa-asektosi-progesteron akhir-rkhir ini di Amerika Serikat tidak dipergunakan lagi untuk kontrasepsi oleh karena pada binatang percobaan pil yang mengandung zat ini, bila dipergunakan pada waktu yang lama dapat menimbulkan tumor mamma. Derivat 19 nortesteron yang banyak digunakan untuk pil kontrasepsi adalah noretinodrel, norethindron asetat, etinodiol asetat, etinodiol diasetat, dan norgestrel (Wiknjosastro, dkk., 2009).

2.6 Siklus haid

  Secara klinis haid dinilai berdasarkan tiga hal yaitu siklus haid, lama haid dan jumlah darah yang keluar selama satu kali haid (Anwar, 2011). Rata-rata siklus haid terjadi selama 28 hari, namun bisa juga terjadi dalam rentang 21 sampai 40 hari. Umumnya, perbedaan ini paling besar terjadi pada fase folikuler terutama tahun-tahun setelah menarke dan sebelum menopouse (Dipiro, dkk., 2008).

  Siklus haid dipengaruhi oleh hubungan antara hipothalamus, pituitari anterior, dan ovarium (Dipiro, dkk., 2008). Terdapat dua siklus yang mempengaruhi siklus haid, yaitu siklus ovarium yang terdiri dari fase folikel, ovulasi dan fase luteal. Selain itu siklus uterus juga mempengaruhi siklus haid

Gambar 2.1 Siklus haid

  Selama fase folikel, folikel ovarium mengeluarkan estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang awalnya rendah dan terus meningkat menyebabkan penghambatan terhadap sekresi FSH yang terus menurun sampai akhir fase folikel, dan menekan sekresi LH yang terus meningkat pada masa folikel. Keadaan saat sekresi tertinggi estrogen, kadar estrogen tersebut memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen terus menurun tajam sewaktu folikel mati pada ovulasi (Sherwood, 2001).

  Sel-sel folikel yang telah mengalami ovulasi diubah menjadi korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron serta estrogen pada masa luteal, dimana progesteron lebih dominan dibandingkan dengan estrogen. Progesteron sangat menghambat FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum berdegenerasi dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan tidak dibuahi dan tidak tertanam di uterus. Kadar progesteron dan estrogen menurun secara tajam pada saat korpus luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh meningkat dan merangsang berkembangnya folikel baru seiring dimulainya fase folikel (Sherwood, 2001). Fase-fase di uterus yang terjadi pada saat yang bersamaan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium pada uterus. Awal fase folikel, lapisan endometrium yang kaya akan nutrien dan pembuluh darah terlepas. Pelepasan itu terjadi akibat turunnya estrogen dan progesteron ketika korpus luteum tua berdegenerasi pada akhir fase luteal sebelumnya. Akhir fase folikel, kadar estrogen yang meningkat menyebabkan endometrium menebal.

  Setelah ovulasi, progesteron dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid uterus yang baru (Sherwood, 2001).

2.7 Siklus estrus

  Mamalia selain primata tidak mengalami haid, dan siklus seksual mereka disebut dengan siklus estrus. Siklus ini diberi nama demikian karena adanya periode birahi (estrus) yang mencolok pada saat ovulasi, yang biasanya merupakan satu-satunya waktu saat terjadinya peningkatan hasrat seksual pada hewan betina (Ganong, 2008). Siklus estrus dapat diartikan sebagai jarak antara satu estrus sampai pada estrus berikutnya (Partodihardjo, 1980).

  Tikus dan mencit termasuk hewan poliestrus. Artinya, dalam periode satu tahun terjadi siklus reproduksi yang berulang-ulang. Siklus estrus mencit berlangsung 4-5 hari, sedangkan hewan tikus satu kali siklus selesai dalam 6 hari. estrus, matestrus I, matestrus II dan diestrus (Akbar, 2010).

  Setiap fase dari siklus estrus dapat dikenali melalui pemeriksaan apusan vagina. Siklus secara kasar dapat dibagi menjadi empat stadium sebagai berikut: a.

  Fase proestrus Fase ini berlangsung selama 12 jam. Preparat apus vagina pada fase proestrus ditandai akan tampak jumlah sel epitel berinti dan leukosit berkurang, digantikan dengan sel epitel bertanduk, dan terdapat lendir yang banyak.

  b.

  Fase estrus Fase ini berlangsung selama 12 jam. Ovulasi hanya terjadi pada fase ini.

  Pada preparat apus vagina ditandai dengan menghilangnya leukosit dan sel epitel berinti, yang ada hanya epitel bertanduk dengan bentuk tidak beraturan dan berukuran besar. Kelenjar-kelenjar endometrium pada fase estrus menghasilkan cairan estrus yang diperlukan spermatozoa mendewasakan diri.

  c.

  Fase matestrus

  Fase ini berlangsung selama 21 jam. Pada preparat apus vagina ciri yang tampak yaitu sel epitel berinti dan leukosit terlihat lagi dan jumlah epitel menanduk makin lama makin sedikit.

  d.

  Fase diestrus Fase ini berlangsung selama 48 jam. Pada preparat apus vagina dijumpai banyak sel darah putih dan epitel berinti yang letaknya tersebar dan homogen

  (Akbar, 2010). estrus, seringkali fase-fase yang diterangkan di atas disingkat menjadi dua fase. Fase proestrus dan estrus menjadi fase folikel, karena pada fase inilah folikel tumbuh secara cepat, sedangkan fase matestrus dan diestrus disebut fase luteum, karena pada fase ini korpus luteum tumbuh dan berfungsi. Fase folikel pada umumnya berlangsung lebih singkat dari pada fase luteum berbeda dengan yang terjadi pada wanita dimana fase folikel lebih panjang dari pada fase luteum (Partodihardjo, 1980).

2.8 Diosgenin

  Diosgenin merupakan senyawa saponin steroid yang sangat berguna dalam industri farmasi yang digunakan sebagai sumber alami hormon steroid. Steroid berfungsi sebagai bahan awal yang penting untuk produksi kortikosteroid, hormon seksual, kontrasepsi oral serta obat steroid lainnya melalui hemisintesis steroid (Shah dan Lele, 2012).

  Struktur kimia dari diosgenin dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur kimia diosgenin Diosgenin merupakan konstituen utama yang diisolasi dari pacing.

  Kandungan diosgenin pada bunga pacing adalah 1,21%, pada daun 0,37% sedangkan pada rimpang 0,2% (Srivastava, dkk., 2011). Sumber diosgenin lain diantaranya spesies dari generasi Balanites (Zygophyllaceae), Dioscorea (Dioscoreaceae), dan Trigonella (Leguminosae) (Li, dkk., 2011).