Uji Efek Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Pacing (Cheilocostus Speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) Pada Mencit Betina
UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN
PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
PADA MENCIT BETINA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NADIA PUSPITA DEWI
NIM 101501007
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN
PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
PADA MENCIT BETINA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NADIA PUSPITA DEWI
NIM 101501007
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PACING
(Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
PADA MENCIT BETINA
OLEH:
NADIA PUSPITA DEWI NIM 101501007
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal: 20 Maret 2015
Pembimbing I, Panitian Penguji,
Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.
NIP 195208241983031001 NIP 195103261978022001
Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.
Pembimbing II, NIP 195208241983031001
Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Marianne, S.Si., M.Si., Apt.
NIP 195107231982032001 NIP 198005202005012006
Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt NIP 195112231980032002
Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,
Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Uji Efek Antifertilitas Ekstrak Etanol
Daun Pacing (Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht) pada Mencit
Betina”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Bapak Prof. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaganya dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis selama penelitian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. selaku penguji yang telah banyak memberikan saran, arahan, serta kritikan demi menyempurnakan skripsi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberikan sarannya kepada penulis selama masa perkuliahan serta Bapak/Ibu Pembantu Dekan, Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara atas ilmu yang telah diberikan.
(5)
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua tercinta Papa Masnadi dan Mama Yediyawati, adinda Anggun Andrini serta nenek atas kasih sayang, doa, dukungan dan kesabaran yang selalu tercurahkan untuk penulis hingga penulisan skripsi ini selesai.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin mencurahkan segala kemampuan yang ada pada diri penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun demikian penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis beharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama untuk ilmu kefarmasian.
Medan, Maret 2015 Penulis,
Nadia Puspita Dewi NIM 101501007
(6)
UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
PADA MENCIT BETINA
ABSTRAK
Tanaman pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
merupakan tanaman hias yang dapat ditemukan di seluruh Indonesia dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara masyarakat menggunakan secara empiris daun pacing sebagai pencegah kehamilan dan perawatan paska persalinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pacing serta senyawa metabolit sekundernya dan melakukan uji efek antifertilitas dari ekstrak etanol daun pacing pada mencit betina.
Penetapan kadar air menggunakan metode azeotropi, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam menggunakan metode gravimetri. Pemeriksaan metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif. Pembuatan ekstrak etanol daun pacing dengan metode maserasi. Pengujian efek antifertilitas menggunakan hewan uji mencit betina dan mencit jantan untuk proses kopulasi. Pemeriksaan siklus estrus mencit betina dengan metode oles. Hewan percobaan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok uji. Masing-masing kelompok uji diberi tiga dosis, yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB. Kelompok kontrol diberi suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB. Data hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing dianalisis secara statistik menggunakan uji fisher exact probability test.
Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia diperoleh kadar air 4,98%, kadar sari larut air 6,52%, kadar sari larut etanol 17,85%, kadar abu total 25,79% dan kadar abu tidak larut asam 0,83%. Hasil pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol daun pacing diperoleh kadar air 8,73%, kadar abu total 20,43%, dan kadar abu tidak larut asam 0,61%. Hasil skrining fitokimia diperoleh bahwa daun pacing mengandung flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida. Hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing diperoleh bahwa dosis 100 mg/kg BB dan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi memiliki efek antifertilitas.
(7)
ANTIFERTILITY EFFECT ASSAY OF ETHANOL EXTRACT OF CRAPE GINGER LEAVES (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
IN FEMALE MICE
ABSTRACT
Crape ginger plant (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) is a houseplants which can be found in all regions of Indonesia and cultivation this plant is easily. Some people in Wawonii Island, Southeast Sulawesi used empirically crape ginger leaves as contraception and treatment after confinement. The purpose of this study was to determine the characteristic of simplex and ethanol extract of crape ginger and theirs secondary metabolites contained and assay antifertility effect of extract ethanol of crape ginger leaves.
Determined water content using azeotropic method, water-soluble content, ethanol-soluble content, total ash content and acid-insoluble content using gravimetry method. Determined secondary metabolites qualitatively. Manufacture of extract of crape ginger leaves using maceration method. Test antifertility effect of extract of crape ginger leaves use female mice as animal experiments and male mice for copulation process. Determined estrus cyclic female mices using cotton bud method. Animal experiment devided into a control group and a test group. Each test group given three doses, 50 mg/kg BW, 100 mg/kg BW and 200 mg/kg BW. The control group gives suspension of CMC Na 0.5% with 1% BW dose. The result of antifertility test of ethanol extract of crape ginger analyzed statistically using of fisher exact probability test.
The result obtained from simplex characterization are water content 4.98%, water-soluble extract content 6.52%, ethanol-soluble extract content 17.85%, total ash content 25.79%, and acid-insoluble ash content 0.83%. Result obtained from extract of crape ginger leaves characterization are water content 8.73%, total ash content 20.43%, and acid-insoluble ash content 0.61%. the results of phytochemical screening it contained flavonoide, glycoside, saponin, tannin, and steroide/triterpenoide. Result antifertility test of extract of crape ginger leaves obtained at a dose 100 mg/kg BW and dose 200 mg/kg BW on giving a week before copulation and a week before copulation until a week after copulation have antifertility effect.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 11 1.1 Latar belakang ... 11 1.2 Perumusan masalah ... 13 1.3 Hipotesis ... 13 1.4 Tujuan penelitian ... 13 1.5 Manfaat penelitian ... 14 1.6 Kerangka pikir penelitian ... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16 2.1 Uraian Tumbuhan ... 6
2.1.1 Habitat ... 6
2.1.2 Morfologi Tumbuhan ... 6
2.1.3 Sistematika Tumbuhan ... 7
(9)
2.1.5 Nama Asing ... 7
2.1.6 Kandungan Kimia ... 8
2.2 Ekstraksi ... 8
2.3 Keluarga Berencana (KB) ... 10
2.4 Kontrasepsi ... 11
2.4.1 Kontrasepsi hormonal ... 12
2.4.2 Kontrasepsi non-hormonal ... 13
2.5 Hormon ovarium ... 13
2.5.1 Estrogen ... 13
2.5.2 Progesteron ... 14
2.6 Siklus haid ... 15
2.7 Siklus estrus ... 17
2.8 Diosgenin ... 19
BAB III METODE PENELITIAN ... 20
3.1 Tempat dan waktu penelitian ... 20
3.2 Alat ... 20
3.3 Bahan ... 20
3.4 Hewan uji ... 21
3.5 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 21
3.6 Identifikasi tumbuhan ... 21
3.7 Pengolahan bahan tumbuhan menjadi simplisia ... 21
3.8 Pembuatan pereaksi ... 21
3.8.1 Pereaksi Mayer ... 21
(10)
3.8.3 Pereaksi Bourchardat ... 22
3.8.4 Pereaksi Molisch ... 22
3.8.5 Pereaksi asam klorida 2 N ... 22
3.8.6 Pereaksi asam sulfat 2 N ... 22
3.8.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N ... 22
3.8.8 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 23
3.8.9 Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 23
3.8.10 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 23
3.8.11 Pereaksi kloralhidrat ... 23
3.9 Pemeriksaan karakteristik simplisia dan EEDP ... 23
3.9.1 Pemeriksaan secara makroskopik ... 23
3.9.2 Pemeriksaan secara mikroskopik ... 24
3.9.3 Penetapan kadar air ... 24
3.9.4 Penetapan kadar sari larut air ... 25
3.9.5 Penetapan kadar sari larut etanol ... 25
3.9.6 Penetapan kadar abu total ... 25
3.9.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 26
3.10 Pemeriksaan metabolit sekunder ... 26
3.10.1 Pemeriksaan alkaloida ... 26
3.10.2 Pemeriksaan flavonoida ... 27
3.10.3 Pemeriksaan glikosida ... 27
3.10.4 Pemeriksaan saponin ... 28
3.10.5 Pemeriksaan tanin ... 28
(11)
3.11 Persiapan penelitian ... 28
5 3.11.1 Pembuatan EEDP ... 28
3.11.2 Pembuatan suspensi Na CMC 0,5% ... 29
3.11.3 Penentuan siklus estrus ... 29
5 3.11.4 Penentuan dosis yang diberikan ... 28
3.12 Tahap pengujian ... 30
3.12.1 Penentuan kelompok uji ... 30
3.12.2 Persiapan mencit ... 30
3.12.3 Perlakuan terhadap mencit ... 31
3.13 Analisis data ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 32
4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP ... 32
4.3 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder ... 34
4.4 Hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP ... 34
4.5 Hasil analisis data ... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
5.1 Kesimpulan ... 38
5.2 Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP ... 32 4.2 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder simplisia dan EEDP ... 34 4.3 Efek antifertilitaas EEDP ... 35 4.4 Perbandingan harga p antara kelompok kontrol dengan kelompok
..yang diberi EEDP ... 36 4.5 Perbandingan antara dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200
mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi ... 37
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1. Skema kerangka pikir penelitian ... 5 2.1. Siklus haid ... 16 2.2. Siklus bangun diosgenin ... 19
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Hasil persetujuan etik ... 42
2. Hasil identifikasi tumbuhan ... 43
3. Gambar tanaman pacing ... 44
4. Gambar daun pacing tampak atas dan gambar daun pacing tampak bawah ... 45
5. Gambar simplisia kering daun pacing dan gambar serbuk simplisia daun pacing ... 46
6. Gambar bagan pembuatan, skrining fitokimia dan karakterisasi simplisia ... 48
7. Gambar hasil mikroskopik serbuk simplisia daun pacing... 48
8. Gambar bagan pembuatan, skrining fitokimia, dan karakterisasi EEDP ... 49
9. Perhitungan hasil karakterisasi simplisia daun pacing ... 50
10. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik EEDP ... 52
11. Gambar bagan kerja pengujian ekstrak etanol daun pacing ... 54
12. Gambar fase proestrus siklus estrus, gambar fase estrus siklus estrus, gambar fase matestrus siklus estrus dan gambar fase diestrus siklus estrus ... 55
13. Gambar oral sonde dan gambar Mencit ... 57
14. Contoh perhitungan dosis ... 58
15. Hasil perhitungan statistik ... 60
(15)
UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
PADA MENCIT BETINA
ABSTRAK
Tanaman pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
merupakan tanaman hias yang dapat ditemukan di seluruh Indonesia dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara masyarakat menggunakan secara empiris daun pacing sebagai pencegah kehamilan dan perawatan paska persalinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pacing serta senyawa metabolit sekundernya dan melakukan uji efek antifertilitas dari ekstrak etanol daun pacing pada mencit betina.
Penetapan kadar air menggunakan metode azeotropi, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam menggunakan metode gravimetri. Pemeriksaan metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif. Pembuatan ekstrak etanol daun pacing dengan metode maserasi. Pengujian efek antifertilitas menggunakan hewan uji mencit betina dan mencit jantan untuk proses kopulasi. Pemeriksaan siklus estrus mencit betina dengan metode oles. Hewan percobaan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok uji. Masing-masing kelompok uji diberi tiga dosis, yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB. Kelompok kontrol diberi suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB. Data hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing dianalisis secara statistik menggunakan uji fisher exact probability test.
Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia diperoleh kadar air 4,98%, kadar sari larut air 6,52%, kadar sari larut etanol 17,85%, kadar abu total 25,79% dan kadar abu tidak larut asam 0,83%. Hasil pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol daun pacing diperoleh kadar air 8,73%, kadar abu total 20,43%, dan kadar abu tidak larut asam 0,61%. Hasil skrining fitokimia diperoleh bahwa daun pacing mengandung flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida. Hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing diperoleh bahwa dosis 100 mg/kg BB dan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi memiliki efek antifertilitas.
(16)
ANTIFERTILITY EFFECT ASSAY OF ETHANOL EXTRACT OF CRAPE GINGER LEAVES (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)
IN FEMALE MICE
ABSTRACT
Crape ginger plant (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) is a houseplants which can be found in all regions of Indonesia and cultivation this plant is easily. Some people in Wawonii Island, Southeast Sulawesi used empirically crape ginger leaves as contraception and treatment after confinement. The purpose of this study was to determine the characteristic of simplex and ethanol extract of crape ginger and theirs secondary metabolites contained and assay antifertility effect of extract ethanol of crape ginger leaves.
Determined water content using azeotropic method, water-soluble content, ethanol-soluble content, total ash content and acid-insoluble content using gravimetry method. Determined secondary metabolites qualitatively. Manufacture of extract of crape ginger leaves using maceration method. Test antifertility effect of extract of crape ginger leaves use female mice as animal experiments and male mice for copulation process. Determined estrus cyclic female mices using cotton bud method. Animal experiment devided into a control group and a test group. Each test group given three doses, 50 mg/kg BW, 100 mg/kg BW and 200 mg/kg BW. The control group gives suspension of CMC Na 0.5% with 1% BW dose. The result of antifertility test of ethanol extract of crape ginger analyzed statistically using of fisher exact probability test.
The result obtained from simplex characterization are water content 4.98%, water-soluble extract content 6.52%, ethanol-soluble extract content 17.85%, total ash content 25.79%, and acid-insoluble ash content 0.83%. Result obtained from extract of crape ginger leaves characterization are water content 8.73%, total ash content 20.43%, and acid-insoluble ash content 0.61%. the results of phytochemical screening it contained flavonoide, glycoside, saponin, tannin, and steroide/triterpenoide. Result antifertility test of extract of crape ginger leaves obtained at a dose 100 mg/kg BW and dose 200 mg/kg BW on giving a week before copulation and a week before copulation until a week after copulation have antifertility effect.
(17)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk keempat tertinggi setelah Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat (Siahaan, 2011). Jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 menurut pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berjumlah 248.422.956 jiwa (Kemenkes RI, 2014). Jumlah penduduk yang tinggi dapat menimbulkan permasalahan kesehatan, sosial dan ekonomi. Diperlukan kebijakan untuk mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar jumlah penduduk dapat dikendalikan dan kesejahteraan penduduk semakin meningkat. Pemerintah Indonesia melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) untuk mencapai tujuan Penduduk Tumbuh Seimbang 2015. Pelaksanaan KB dengan cara menggunakan metode, alat dan obat kontrasepsi.
Antifertilitas atau kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah kehamilan baik sementara maupun permanen. Berbagai cara untuk mencegah kehamilan, antara lain mencegah ovulasi, menghalangi konsepsi, menghambat proses implantasi dan menghambat pembentukan sperma (Wiknjosastro, 2009).
Dewasa ini obat-obat modern telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Namun, akhir- akhir ini pengobatan modern cenderung kembali ke tanaman obat yang digunakan secara tradisional. Alasannya adalah karena tanaman obat memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat modern yang diolah secara sintetis (Nursiyah, 2013).
(18)
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber tanaman obat yang telah banyak digunakan oleh masyarakat secara turun–temurun. Pemanfaatan tanaman obat antara lain adalah sebagai kontrasepsi (Nursiyah, 2013).
Pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) merupakan
tanaman hias yang dapat ditemukan hampir di seluruh Indonesia dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan daun pacing digunakan secara empiris oleh masyarakat di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara sebagai pencegah kehamilan serta perawatan paska persalinan (untuk mempercepat keluarnya darah nifas) (Rahayu, dkk., 2006). Tanaman pacing memiliki aktivitas hipolipidemik, hepatoprotektif, antioksidan dan antifungi (Sari, dkk., 2013). Daun pacing digunakan juga untuk antidiabetes, antibakteri, anti inflamasi dan antipiretik (Srivastava, dkk., 2011). Rimpang dan daun pacing mengandung diosgenin (Sari, dkk., 2013).
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa infusa daun pacing pada mencit jantan dapat menurunkan jumlah spermatozoa sebesar 36% - 39%,
dimana perhitungan jumlah sperma dilakukan di dalam kamar hitung Improved
Neubauer (Sari, dkk., 2013). Ekstrak air rimpang pacing efektif dalam mencegah kehamilan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi (Wahyuni, 1997).
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik melakukan penelitian tentang efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) pada mencit betina.
(19)
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pacing (EEDP)
memenuhi persyaratan?
b. Apakah golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan
EEDP?
c. Apakah EEDP memiliki efek antifertilitas pada mencit betina?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesis masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Karakteristik simplisia dan EEDP memenuhi persyaratan.
b. Golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan EEDP
adalah alkaloida, flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan
steroida/triterpenoida.
c. EEDP memiliki efek antifertilitas pada mencit betina.
1.4 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia dan EEDP.
b. Untuk mengetahui golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam
simplisia dan EEDP.
(20)
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi tentang karakteristik, golongan metabolit sekunder dari simplisia dan EEDP serta efek antifertilitas dari EEDP pada mencit betina.
(21)
1.6 Kerangka pikir penelitian
Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter
- Makroskopik
- Mikroskopik
- Kadar air
- Kadar sari larut air - Kadar sari larut etanol
- Kadar abu total
- Kadar abu tidak larut
asam Karakteristik simplisia dan EEDP Simplisi daun pacing Keterangan:
SK : seminggu sebelum kopulasi.
SK-SSK : seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah
d kopulasi.
Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian
- Alkaloida - Flavonoida - Glikosida - Saponin - tanin - Steroida/triterpenoida Senyawa metabolit sekunder Ekstak Etanol Daun Pacing (EEDP) - Hamil
- Tidak hamil
Efek antifertilitas
- SK-SSK 50
mg/kg BB
- SK-SSK 100
mg/kg BB
- SK-SSK 200
mg/kg BB
- SK 50 mg/kg
BB
- SK 100
mg/kg BB
- SK 200
(22)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian tumbuhan
Uraian tumbuhan pacing (Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht) terdiri dari habitat, morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing dan kandungan kimia.
2.1.1 Habitat
Tanaman pacing tumbuh liar di tempat yang lembab dengan sedikit naungan atau tumbuh liar di bawah tumbuh-tumbuhan yang tinggi seperti di hutan primer, hutan sekunder dan hutan jati pada daratan rendah sampai ketinggian 2050 meter di atas permukaan laut. Banyak ditemukan di pulau jawa (Kinho, dkk., 2011).
2.1.2 Morfologi tumbuhan
Tanaman pacing merupakan jenis herba tegak, bercabang 2-3 atau lebih, tinggi 0,5-4 m. Perbungaan terminalis, besar dan berwarna putih, bulir terdiri dari beberapa bunga, duduk atau bertangkai sangat pendek. Daun pelindung membundar telur dan memanjang berwarna merah, daun mahkota putih, bentuk bibir membulat telur sungsang melebar, putih dan di bagian tengah berbulu kuning. Buah membulat, berbulu menyerupai sutera sangat halus. Berwarna merah. Daunnya berkedudukan melingkar, tunggal dengan bentuk melonjong, ukuran daun 15-35 cm x 6-10 cm. Panjang pelepah pendek, berwarna ungu (Kinho, dkk., 2011). Rimpang melengkung atau agak lurus, bercabang dengan
(23)
panjang 10-30 cm dan diameter 3-5 cm dalam keadaan kering, patahan akar berserat, tidak ada rasa dan bau yang khas (Srivastava, 2011).
Sebelumnya tanaman pacing dimasukkan ke dalam suku Zingiberaceae, dimana suku ini merupakan terna perenial dengan rimpang yang biasanya mengandung minyak menguap sehingga berbau aromatik. Daun tunggal tersusun dua baris, mempunyai tiga bagian yaitu helaian daun, tangkai daun dan upih daun, selain itu juga lidah-lidah. Bunga terpisah-pisah tersusun dalam bunga majemuk tunggal atau berganda, kebanyakan banci, zigomorf atau asimetrik. Buahnya buah kendaga yang berkatup tiga, atau berdaging tidak membuka. Biji bulat atau berusuk, mempunyai salut biji, endosperm banyak (Tjitrosoepomo, 2010).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Sistematika dari tanaman pacing menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Costaceae
Genus : Cheilocostus C.D. Specht
Spesies :,Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht)
2.1.4 Nama daerah
Nama daerah tanaman pacing antara lain pacing tawar, tepung tawar (Sunda); pacing tawa (Jawa); binto (Madura); tawa-tawa (Sumatera Barat); tobar-tobar (Batak); tabar-tabar (Bangka); tubu-tubu (Ambon); (Hariana, 2013).
(24)
Nama asing dari tanaman pacing antara lain Zhang liu tou (Cina) (Hariana, 2013), crape ginger (Inggris); Keukand (India) (Srivastava, dkk., 2011).
2.1.6 Kandungan kimia
Kandungan kimia tanaman pacing diantaranya diosgenin, tigogenin, dioscin, gacilin (Hariana, 2013). Daun pacing juga mengandung senyawa steroida, tanin dan fenolik (Devi dan Urooj, 2009).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Metode ekstraksi menurut Depkes (2000) yang sering digunakan yaitu maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi.
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Depkes, 2000).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Depkes, 2000). 3. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).
(25)
Sokletasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru menggunakan alat soklet dimana ekstraksi terjadi secara kontinu dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).
5. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan secara terus menerus pada temperatur 40-50˚C (Depkes, 2000).
6. Infundasi
Infundasi adalah metode ekstraksi yang dilakukan dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90˚C selama 15 menit. Hasil infundasi desebut dengan infus (Depkes, 1995).
7. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air selama 30 menit atau lebih pada temperatur sampai titik didih air. Dekoktasi biasanya digunakan untuk bahan tumbuhan yang lebih keras (Depkes RI, 2000).
Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 2008).
a. Ekstrak kering
Ekstrak kering merupakan sediaaan berbentuk serbuk yang dibuat dari ekstrak tumbuhan yang diperoleh dari penguapan bahan pelarut dan pengeringan (Voigt, 1995).
b. Ekstrak kental
Ekstrak kental memiliki konsistensi yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang serta kandungan airnya berjumlah sampai 30% (Voigt, 1995).
(26)
c. Ekstrak cair
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet (Depkes RI, 2000).
2.3 Keluarga Berencana (KB)
Meskipun telah dilakukan pengembangan secara terus-menerus namun sampai saat ini kita masih menghadapi masalah kependudukan (Meilani, dkk., 2010). Pertambahan jumlah penduduk pada negara-negara berkembang, menimbulkan masalah kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pendidikan, pada negara-negara industri, masalah pertambahan penduduk berbeda dengan negara berkembang karena perbedaan gaya hidup dan perbedaan tingkat kesejahteraan (Zain, 2013).
Upaya mengatasi masalah kependudukan tersebut dilakukan oleh banyak pihak dari berbagai instansi atau departemen secara bersama-sama. Upaya yang dilakukan antara lain dengan menurunkan tingka pertumbuhan penduduk dengan menurunkan tingkat fertilitas, menurunkan TFR antara lain dengan gerakan KB nasional (Meilani, dkk., 2010).
Menurut WHO (World Health Organization) keluarga berencana adalah
tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapat kelahiran yang memang sangat diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Suratun, dkk., 2002).
(27)
Program KB sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kependudukan, memiliki arti yang tinggi terhadap pembangunan kesehatan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Tujuan yang ingin dicapai, bukan hanya bertumpu pada aspek demografis (kuantitatif), tetapi lebih ditekankan pada peningkatan kualitas hidup individu (kualitatif) (Suratun, dkk., 2008).
2.4 Kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti melawan atau mencegah, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan (Suratun, dkk., 2008). Kerja kontrasepsi pada dasarnya adalah meniadakan pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma). Tiga cara untuk mencapai tujuan ini, baik yang bekerja sendiri maupun bersamaan adalah pertama menekan keluarnya sel telur (ovulasi) misalnya dengan penggunaan pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi
kombinasi bekerja di hipotalamus dengan menghambat gonadotropin releasing
hormon sehingga menekan sekresi liteinizing hormon (LH) dan sedikit folicle stimulating hormon (FSH). Dengan tidak adanya puncak LH, maka ovulasi tidak terjadi (Siswosudarmo, dkk., 2001).
Kedua menahan masuknya sperma ke dalam saluran pada kelamin wanita, contohnya penggunaan pil kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron yang dikenal dengan Minipill. Minipill mengandung progesteron dengan dosis yang lebih rendah dibanding dengan progesteron yang terkandung di dalam pil kombinasi dimana mekanisme dari pil ini adalah dengan mengentalkan lendir serviks, sehingga sperma sulit masuk lebih jauh (Siswosudarmo, dkk., 2001).
(28)
Metode ketiga adalah dengan menghalangi implantasi (Siswosudarmo, dkk., 2001). Implantasi dapat dihambat oleh apa yang disebut sebagai morning after pill, yaitu jenis kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dengan dosis tinggi yang diminum selama beberapa hari setelah kemungkinan terjadinya konsepsi. Obat ini mencegah implantasi dengan menimbulkan degenerasi prematur korpus luteum, sehingga hormon yang menunjang pertumbuhan endometrium menghilang (Sherwood, 2001).
Cara kontrasepsi yang ideal sampai sekarang belum ada. Kontrasepsi yang ideal adalah kontrasepsi yang memenuhi persyaratan yaitu dapat dipercaya, tidak menimbulkan efek yang menggangu kesehatan, daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan, tidak menimbulkan gangguan pada saat koitus, tidak memerlukan motivasi terus menerus, mudah pelaksanaannya, murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan dapat diterima penggunaanya oleh pasangan yang bersangkutan (Wiknjosastro, dkk., 2009).
2.4.1 Kontrasepsi hormonal
Hipofisis mengeluarkan hormon gonadotropin Folicle Stimulating
Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) di bawah pengaruh hipotalamus. Hormon-hormon ini dapat merangsang ovarium untuk membuat estrogen dan progesteron. Dua hormon ini menumbuhkan endometrium pada waktu siklus haid, pada keseimbangan tertentu menyebabkan ovulasi, dan penurunan kadarnya mengakibatkan desintegrasi endometrium dan haid. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan baik estrogen maupun progesteron dapat mencegah ovulasi. Pengetahuan ini menjadi dasar untuk menggunakan kombinasi estrogen dan
(29)
progesteron sebagai cara kontrasepsi dengan jalan mencegah terjadinya ovulasi (Anwar, dkk., 2011).
Beberapa jenis kontrasepsi hormonal berdasarkan cara penggunaannya, yaitu:
1. Oral
a. Kombinasi (Combine Oral Contraception/COC).
b. Progestin (Progestin only pill/POP). 2. Suntik/Injeksi
a. Suntikan kombinasi.
b. Suntikan progestin.
3. Alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK)/Implant (Meilani, 2010).
2.4.2 Kontrasepsi non-hormonal
Jenis-jenis kontrasepsi non-hormonal antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kontrasepsi tanpa menggunakan alat/obat
a. Senggama terputus (Koitus Interuptus)
b. Pembilasan pascasenggama (Postcoital Douche) c. Pantang berkala (Rhythm Method)
2. Kontrasepsi sederhana untuk laki-laki (kondom)
3. Kontrasepsi sederhana untuk perempuan
a. Diafragma vaginal
b. Kontrasepsi dengan obat-obat spermatisida (Anwar, 2011). 4. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) (Meilani, 2010).
(30)
2.5.1 Estrogen
Estrogen yang terdapat secara alamiah adalah 17β-estradiol, estron dan estriol. Hormon-hormon ini terutama disekresikan oleh sel granulosa folikel ovarium, korpus luteum dan plasenta. (Ganong, 2008).
FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel, tetapi hormon-hormon ini bekerja pada sel-sel yang berbeda dan pada tahapan jalur pembentukan estrogen yang berbeda pula. Sel granulosa maupun sel teka berpartisipasi dalam pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan sejumlah langkah berurutan, dengan langkah akhir adalah perubahan androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi kapasitas mereka merubah androgen menjadi estrogen terbatas. Sel-sel granulosa, di pihak lain, mudah mengubah androgen menjadi estrogen tetapi tidak mampu membentuk androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup mendorong perubahan menjadi estrogen, maka kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel (Sherwood, 2001).
Estrogen sintetis yang ditemukan dalam kontrasepsi hormonal di Amerika Serikat yaitu etinil estradiol dan mestranol. Sebagian besar kontrasepsi oral kombinasi berisi estrogen pada dosis 20 sampai 50 mcg etinil estradiol, dan pada transdermal dirilis 20 mcg etinil estradiol perhari (Dipiro, dkk., 2008).
(31)
Progesteron disekresi oleh ovarium terutama dari korpus luteum selama fase pertengahan kedua siklus menstruasi, kecuali di ovarium, hormon ini juga disintesis di testis, korteks adrenal dan plasenta (Gunawan, 2009). Hormon ini merupakan zat antara yang penting dalam biosintesis steroid di semua jaringan yang menyekresi hormon steroid. Progesteron memiliki waktu paruh yang singkat dan diubah menjadi pregnanediol di hati, yang kemudian dikonjugasi dengan asam glukoronat dan diekskresikan di dalam urin (Ganong, 2008).
Kadar progesteron pada pria adalah 0,3 mcg/mL sedangkan pada wanita kadarnya sekitar 0,9 mcg/mL selama fase folikular siklus haid. Sekresi progesteron mulai meningkat sampai mencapai kadar puncak sekitaar 18 mcg/mL pada fase luteal yang disekresikan oleh korpus luteum (Ganong, 2008).
Jenis progesteron sintetik yang digunakan sebagai kontrasepsi, yaitu yang berasal dari 19 nortesteron dan yang berasal dari 17 alfa-asektosi-progesteron. Progesteron yang berasal dari 17 alfa-asektosi-progesteron akhir-rkhir ini di Amerika Serikat tidak dipergunakan lagi untuk kontrasepsi oleh karena pada binatang percobaan pil yang mengandung zat ini, bila dipergunakan pada waktu yang lama dapat menimbulkan tumor mamma. Derivat 19 nortesteron yang banyak digunakan untuk pil kontrasepsi adalah noretinodrel, norethindron asetat, etinodiol asetat, etinodiol diasetat, dan norgestrel (Wiknjosastro, dkk., 2009).
2.6 Siklus haid
Secara klinis haid dinilai berdasarkan tiga hal yaitu siklus haid, lama haid dan jumlah darah yang keluar selama satu kali haid (Anwar, 2011). Rata-rata siklus haid terjadi selama 28 hari, namun bisa juga terjadi dalam rentang 21
(32)
sampai 40 hari. Umumnya, perbedaan ini paling besar terjadi pada fase folikuler terutama tahun-tahun setelah menarke dan sebelum menopouse (Dipiro, dkk., 2008).
Siklus haid dipengaruhi oleh hubungan antara hipothalamus, pituitari anterior, dan ovarium (Dipiro, dkk., 2008). Terdapat dua siklus yang mempengaruhi siklus haid, yaitu siklus ovarium yang terdiri dari fase folikel, ovulasi dan fase luteal. Selain itu siklus uterus juga mempengaruhi siklus haid yang terdiri dari fase proliferasi dan fase sekretori (Sherwood, 2001).
Gambar 2.1 Siklus haid
Selama fase folikel, folikel ovarium mengeluarkan estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang awalnya rendah dan terus meningkat menyebabkan penghambatan terhadap sekresi FSH yang terus menurun sampai akhir fase folikel, dan menekan sekresi LH yang terus meningkat pada masa folikel. Keadaan saat sekresi tertinggi estrogen, kadar estrogen tersebut memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen terus menurun tajam sewaktu folikel mati pada ovulasi (Sherwood, 2001).
(33)
Sel-sel folikel yang telah mengalami ovulasi diubah menjadi korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron serta estrogen pada masa luteal, dimana progesteron lebih dominan dibandingkan dengan estrogen. Progesteron sangat menghambat FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum berdegenerasi dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan tidak dibuahi dan tidak tertanam di uterus. Kadar progesteron dan estrogen menurun secara tajam pada saat korpus luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh inhibitorik pada sekresi FSH dan LH lenyap. Kadar kedua hormon ini kembali meningkat dan merangsang berkembangnya folikel baru seiring dimulainya fase folikel (Sherwood, 2001). Fase-fase di uterus yang terjadi pada saat yang bersamaan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium pada uterus. Awal fase folikel, lapisan endometrium yang kaya akan nutrien dan pembuluh darah terlepas. Pelepasan itu terjadi akibat turunnya estrogen dan progesteron ketika korpus luteum tua berdegenerasi pada akhir fase luteal sebelumnya. Akhir fase folikel, kadar estrogen yang meningkat menyebabkan endometrium menebal. Setelah ovulasi, progesteron dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid uterus yang baru (Sherwood, 2001).
2.7 Siklus estrus
Mamalia selain primata tidak mengalami haid, dan siklus seksual mereka disebut dengan siklus estrus. Siklus ini diberi nama demikian karena adanya
(34)
periode birahi (estrus) yang mencolok pada saat ovulasi, yang biasanya merupakan satu-satunya waktu saat terjadinya peningkatan hasrat seksual pada hewan betina (Ganong, 2008). Siklus estrus dapat diartikan sebagai jarak antara satu estrus sampai pada estrus berikutnya (Partodihardjo, 1980).
Tikus dan mencit termasuk hewan poliestrus. Artinya, dalam periode satu tahun terjadi siklus reproduksi yang berulang-ulang. Siklus estrus mencit berlangsung 4-5 hari, sedangkan hewan tikus satu kali siklus selesai dalam 6 hari. Daur estrus kedua jenis hewan ini dibedakan menjadi lima fase yaitu proestrus, estrus, matestrus I, matestrus II dan diestrus (Akbar, 2010).
Setiap fase dari siklus estrus dapat dikenali melalui pemeriksaan apusan vagina. Siklus secara kasar dapat dibagi menjadi empat stadium sebagai berikut: a. Fase proestrus
Fase ini berlangsung selama 12 jam. Preparat apus vagina pada fase proestrus ditandai akan tampak jumlah sel epitel berinti dan leukosit berkurang, digantikan dengan sel epitel bertanduk, dan terdapat lendir yang banyak.
b. Fase estrus
Fase ini berlangsung selama 12 jam. Ovulasi hanya terjadi pada fase ini. Pada preparat apus vagina ditandai dengan menghilangnya leukosit dan sel epitel berinti, yang ada hanya epitel bertanduk dengan bentuk tidak beraturan dan berukuran besar. Kelenjar-kelenjar endometrium pada fase estrus menghasilkan cairan estrus yang diperlukan spermatozoa mendewasakan diri.
(35)
Fase ini berlangsung selama 21 jam. Pada preparat apus vagina ciri yang tampak yaitu sel epitel berinti dan leukosit terlihat lagi dan jumlah epitel menanduk makin lama makin sedikit.
d. Fase diestrus
Fase ini berlangsung selama 48 jam. Pada preparat apus vagina dijumpai banyak sel darah putih dan epitel berinti yang letaknya tersebar dan homogen (Akbar, 2010).
Untuk memperoleh gambaran yang lebih singkat mengenai suatu siklus estrus, seringkali fase-fase yang diterangkan di atas disingkat menjadi dua fase. Fase proestrus dan estrus menjadi fase folikel, karena pada fase inilah folikel tumbuh secara cepat, sedangkan fase matestrus dan diestrus disebut fase luteum, karena pada fase ini korpus luteum tumbuh dan berfungsi. Fase folikel pada umumnya berlangsung lebih singkat dari pada fase luteum berbeda dengan yang terjadi pada wanita dimana fase folikel lebih panjang dari pada fase luteum (Partodihardjo, 1980).
2.8 Diosgenin
Diosgenin merupakan senyawa saponin steroid yang sangat berguna dalam industri farmasi yang digunakan sebagai sumber alami hormon steroid. Steroid berfungsi sebagai bahan awal yang penting untuk produksi kortikosteroid, hormon seksual, kontrasepsi oral serta obat steroid lainnya melalui hemisintesis steroid (Shah dan Lele, 2012).
(36)
Gambar 2.2 Struktur kimia diosgenin
Diosgenin merupakan konstituen utama yang diisolasi dari pacing. Kandungan diosgenin pada bunga pacing adalah 1,21%, pada daun 0,37% sedangkan pada rimpang 0,2% (Srivastava, dkk., 2011). Sumber diosgenin lain
diantaranya spesies dari generasi Balanites (Zygophyllaceae), Dioscorea
(37)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan bahan tumbuhan, identifikasi bahan tumbuhan, karakterisasi simplisia dan EEDP, pemeriksaan golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan EEDP, pembuatan EEDP dan pengujian efek antifertilitas EEDP pada mencit betina.
3.1 Tempat dan waktu penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada bulan April 2014–September 2014.
3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, neraca analitis (Vibra AJ), neraca kasar (Presica), mikroskop photo,
rotary evapator (Stuart), cotton bud, oral sonde, heating magnetic stirrer.
3.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pacing, air suling, pewarna giemsa, minyak imersi, etanol 70%, etanol 95%, NaCl 0,9%, Na CMC, amil alkohol, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida, bismuth (III) nitrat, isopropanol, kloroform, metanol, n-heksan, natrium hidroksida, raksa (II) klorida, serbuk
(38)
magnesium (Mg), timbal (II) asetat, kristal kloral hidrat, toluen, kalium iodida, α- naftol.
3.4 Hewan uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mencit (Mus
musculus). Mencit betina sebagai hewan uji dan mencit jantan untuk proses kopulasi.
3.5 Pengumpulan bahan tumbuhan
Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun pacing yang diambil di daerah Jalan Tuanku Tambusai, Bagan Besar, Dumai secara purposive yaitu tidak membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain.
3.6 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Bogoriense, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Bogor. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 2, Halaman 43.
3.7 Pengolahan bahan tumbuhan menjadi simplisia
Daun pacing disortir, dicuci, ditiriskan dan ditimbang berat basah. Selanjutnya daun pacing tersebut dikeringkan di dalam lemari pengering pada suhu ± 40˚C sampai kering kemudian ditimbang sebagai berat kering. Diperiksa karakteristik makroskopik simplisia. Simplisia kemudian diblender untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil, serbuk kemudian disimpan di dalam plastik klip pada suhu kamar untuk mencegah pengaruh luar (Depkes, 1985).
(39)
Pembuatan pereaksi berdasarkan Materia Medika Indonesia jilid VI (Depkes RI, 1995).
3.8.1 Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml, pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 ml air suling, kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml.
3.8.2 Pereaksi Dragendorff
Sebanyak 0,8 g bismut (III) nitrat ditimbang, dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat, pada wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida, dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling hingga volume larutan 100 ml.
3.8.3 Pereaksi Bourchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml.
3.8.4 Pereaksi Molisch
Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml.
3.8.5 Pereaksi asam klorida 2 N
Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml.
(40)
Sebanyak 5,4 ml larutan asam sulfat pekat ditambahkan air suling sampai 100 ml.
3.8.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N
Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling sebanyak 100 ml.
3.8.8 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida sebanyak 100 ml.
3.8.9 Pereaksi besi (III) klorida 1%
Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml.
3.8.10 Pereaksi Liebermann-Burchard
Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50 bagian volume etanol 95%, kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian volume asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut dan.
3.8.11 Pereaksi kloralhidrat
Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling.
3.9 Pemeriksaan karakteristik simplisia dan EEDP
Pemeriksaan karakterisatik simplisia dan EEDP terdiri dari pemeriksaan secara makroskopik, pemeriksaan secara mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut dasam.
(41)
Karakterisasi secara makroskopik daun pacing dilakukan dengan cara mengamati warna, bentuk, ukuran dan tekstur daun segar dan simplisia dari daun pacing. Hasil makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 46.
3.9.2 Pemeriksaan secara mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan menggunakan serbuk simplisia daun pacing yang ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah mikroskop. Hasil mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 48.
3.9.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan pemanas listrik.
a. Penjenuhan toluen
Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.
b. Penetapan kadar air simplisia
Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke dalam labu yang berisi toluen yang telah dijenuhkan, kemudian labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian
(42)
kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).
3.9.4 Penetapan kadar sari larut air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat, dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.9.5 Penetapan kadar sari larut etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% di dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
(43)
3.9.6 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600 ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.9.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, lalu dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.10 Pemeriksaan metabolit sekunder
3.10.1 Pemeriksaan alkaloida
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dan ekstrak ditimbang kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Diambil tiga tabung, lalu ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 0,5 ml filtrat.
Pada tabung I : ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan
(44)
Pada tabung II : ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.
Pada tabung III : ditambahkan 2 tetes pereaksi Bourchardat, akan terbentuk
endapan berwarna coklat sampai kehitaman.
Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan paling sedikit dua atau tiga dari percobaan di atas (Depkes, 1995).
3.10.2 Pemeriksaan flavonoida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).
3.10.3 Pemeriksaan glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 96% dengan 3 bagian air suling (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N. Kemudian direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), perlakuan ini diulangi sebanyak 3
kali. Sari organik dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring,
kemudian diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50ºC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Sari air digunakan untuk percobaan berikut, 0,1 larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas penangas
(45)
air. Sisanya ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, lalu ditambahkan dengan perlahan-lahan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (glikon) atau glikosida (Depkes RI, 1995).
3.10.4 Pemeriksaan saponin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).
3.10.5 Pemeriksaan tanin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g, disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).
3.10.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g kemudian dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Sisanya ditambahkan beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu meunjukkan adanya triterpenoida (Harborne, 1987).
(46)
3.11 Persiapan penelitian
3.11.1 Pembuatan EEDP
Serbuk daun pacing diekstraksi dengan cara dimaserasi dengan etanol 70%. Caranya adalah sebanyak 350 g serbuk daun pacing dimasukkan ke dalam wadah tertutup tidak tembus cahaya, kemudian ditambahkan 10 bagian pelarut. Rendam selama 6 jam pertama sambil sesekali diaduk, kemudian didiamkan selama 18 jam. Maserat kemudian dipisahkan sehingga diperoleh bagian filtrat dan bagian ampas, diulangi penyarian pada ampas dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental daun pacing (EEDP) (Ditjen POM, 2011).
3.11.2 Pembuatan suspensi Na CMC 0,5%
Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 20 ml air suling panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan. Setelah mengembang, digerus hingga terbentuk gel lalu diencerkan dengan sedikit air. Kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Volumenya dicukupkan dengan air suling hingga garis tanda (Anief, 1997).
3.11.3 Penentuan siklus estrus
Penentuan siklus estrus pada mencit betina dilakukan dengan metode
cotton bud atau metode oles. Sel-sel vagina diambil dengan cotton bud yang sebelumnya sudah dibasahi dengan larutan NaCl 0,9%, kemudian dimasukkan ke dalam vagina mencit dan diputar secara perlahan, dioleskan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan pewarna giemsa 10%, dibiarkan sampai kering, dicuci dengan air suling dan dikeringkan kembali, ditetesi dengan minyak imersi dan
(47)
diamati di bawah mikroskop. Siklus estrus ditentukan dengan melihat sel-sel tertentu yang diperoleh dari hasil apusan (Febrina, dkk., 2013). Hasil dapat dilihat pada Lampiran 12, halaman 55.
3.11.4 Penentuan dosis yang diberikan
Dosis ditentukan setelah dilakukan orientasi. Dosis EEDP ynag diberikan adalah 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB selama lebih kurang 1 minggu sambil diamati keadaan fisik dan tingkah laku mencit.
3.12 Tahap pengujian
3.12.1 Penentuan kelompok uji
Hewan penelitian dikelompokkan berdasarkan hasil penentuan siklus estrus. Hewan yang memiliki fase estrus yang sama atau berdekatan dikelompokkan ke dalam satu kelompok.
Mencit dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok uji. Kelompok uji dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang diberi EEDP seminggu sebelum kopulasi (SK) dan kelompok yang diberi EEDP pada seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi (SK—SSK). Masing-masing kelompok diberi 3 dosis, yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB.
3.12.2 Persiapan mencit
Kontrol : diberi suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB.
SK 50 : diberi EEDP dengan dosis 50 mg/kg BB seminggu sebelum
kopulasi.
SK 100 : diberi EEDP dengn dosis 100 mg/kg BB seminggu sebelum k kopulasi.
(48)
kopulasi.
SK—SSK 50 : diberi EEDP dengan dosis 50 mg/kg BB seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.
SK—SSK 100 : diberi EEDP dengan dosis 100 mg/kg BB seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.
SK—SSK 200 : diberi EEDP dengan dosis 200 mg/g BB seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.
3.12.3 Perlakuan terhadap mencit
Mencit dalam kandang khusus diberi makan pelet dan minum ad libitum.
Kandang, tempat minum dan lingkungan sekitarnya dijaga kebersihannya setiap hari.
Kelompok kontrol diberi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB sebagai kelompok pembanding. Kelompok uji diberi ekstrak sesuai dengan pembagian dosis. Mencit betina dipisahkan dari mencit jantan, pada hari ke-7 pemberian mencit jantan disatukan dengan mencit betina. Setiap pagi diamati apakah terjadi kopulasi. Kopulasi ditandai dengan adanya sumbatan vagina (Vaginal plug) yang dapat diamati secara langsung. Hari terjadinya kopulasi dihitung sebagai hari pertama kehamilan. Diamati keadaan mencit sampai ± 1 bulan untuk melihat apakah EEDP memiliki efek antifertilitas pada mencit betina.
3.13 Analisis data
Data hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP terhadap mencit betina dianalisis secara statistik menggunakan Uji Fisher Exact Probability Test (Sugiyono, 2006). Hasil perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 60.
(49)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dentifikasi tumbuhan
Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, dimana dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa tanaman yang digunakan adalah Pacing (Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht.), dari suku Costaceae.
4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP
Hasil pemeriksaan makroskopik daun pacing segar didapat bahwa daun pacing memiliki bentuk yang bulat lonjong dengan bagian ujung yang meruncing, berwarna hijau tua, bagian atas licin sedangkan bagian bawah berbulu halus, pangkal daun pendek dan upih daun memeluk batang. Simplisia daun pacing menggulung dan berwarna kuning kecokelatan.
Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia daun pacing diperoleh adanya stomata tipe parasitik, trikoma tipe uniseluler dan multiseluler, hablur kristal kalsium oksalat berbentuk prisma dan berkas pembuluh dengan penebalan spiral.
Hasil karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP
NO. Karakteristik Hasil Pemeriksaan (%)
Simplisia (%) Ekstrak(%)
1 Kadar air 4,98 8,73
2 Kadar sari larut air 6,52 -
3 Kadar sari larut etanol 17,85 -
4 Kadar abu total 25,79 20,43
5 Kadar abu tidak larut asam 0,83 0,61
Hasil karaakterisasi menunjukkan bahwa kadar air simplisia daun pacing adalah 4,98% dan kadar air EEDP diperoleh 8,73% ini sesuai dengan persyaratan
(50)
kadar air simplisia daun yaitu 5%. Penentuan kadar air dilakukan untuk memberi batasan minimal atau rentang kadar air di dalam ekstrak, sebab kadar air yang tinggi dapat mempengaruhi kestabilan sediaan obat, mempercepat pertumbuhan bakteri dan jamur yang dapat merusak sediaan obat dan terjadi penguraian senyawa yang terkandung di dalam sediaan.
Untuk melihat gambaran awal jumlah senyawa yang terkandung di dalam pelarut dilakukan penetapan kadar sari. Dalam hal ini, dilakukan penetapan kadar sari larut air dan larut etanol. Hasil penetapan kadar sari larut air adalah 6,52% dan kadar sari larut etanol adalah 17,85%.
Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Kadar abu yang tinggi menunjukkan adanya zat anorganik logam-logam (Ca, Mg, Fe, dan Pb). Kadar logam berat yang tinggi dapat mempengaruhi kesehatan, sehingga perlu dilakukan penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan. Hasil penetapan kadar abu total diperoleh kadar abu total simplisia adalah 25,79% dan kadar abu total EEDP adalah 20,43%. Setiap simplisia mempunyai kadar abu total yang berbeda-beda.
Hasil penetapan kadar abu tidak larut asam dari simplisia diperoleh 0,83%, sedangkan kadar abu tidak larut asam dari EEDP diperoleh 0,61%, hasil ini masih memenuhi standar secara umum kadar abu tidak larut asam yaitu <1%.
(51)
4.3 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder
Pemeriksaan metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam simplisia dan EEDP. Hasil pemeriksaan skrining fitokimia simplisia dan EEDP dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder simplisia dan EEDP
No Golongan Senyawa
Hasil Pemeriksaan Simplisia Ekstrak
1 Alkaloida - -
2 Flavonoida + +
3 Glikosida + +
4 Saponin + +
5 Tanin + +
6 Steroida/triterpenoida + +
Keterangan: + : mengandung golongan senyawa
- : tidak mengandung golongan senyawa
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa simplisa dan EEDP mengandung flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida namun tidak mengandung senyawa golongan alkaloida.
4.4 Hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP
Uji efek antifertilitas pada mencit betina untuk kelompok kontrol diinduksi dengan suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB dan untuk kelompok uji diinduksi dengan EEDP. Hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP dapat dilihat pada Tabel 4.3.
(52)
Tabel 4.3 Efek antifertilitaas EEDP
Kelompok Mencit Hamil
(%)
Pendarahan (%)
1 2 3 4 5 6
Kontrol + + + + + + 100 0
SK 50 - + - + + + 66,7 0
SK 100 - + - - + - 33,3 0
SK 200 - - - - - - 0 0
SK-SSK 50 - - * * * - 0 50
SK-SSK 100 - - - - - * 0 16,66
SK-SSK 200 - - - - - - 0 0
Keterangan: + : terjadi kehamilan
- : tidak terjadi kehamilan
* : terjadi pendarahan
Hasil pengujian efek antifertilitas menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol terjadi kehamilan pada setiap mencit, hal ini karena Na CMC tidak memiliki efek anti fertilitas, kelompok ini dijadikan sebagai kelompok pembanding.
Hasil pengujian diperoleh bahwa pada pemberian EEDP seminggu sebelum kopulasi pada dosis 50 mg/kg BB ditemui empat ekor mencit yang hamil, pada dosis 100 mg/kg BB ditemui dua ekor mencit yang hamil sedangkan pada dosis 200 mg/kg BB tidak ditemukan mencit yang hamil, ini menunjukkan bahwa dosis 200 mg/kg BB adalah paling efektif memberikan efek antifertilitas.
Pemberian EEDP pada seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi pada dosis 50 mg/kg BB ditemui tiga ekor mencit yang hamil dan mengalami pendarahan, pada dosis 100 mg/kg BB ditemui satu ekor mencit yang hamil dan mengalami pendarahan, sedangkan pada dosis 200 mg/kg BB tidak ditemukan mencit yang hamil maupun yang mengalami pendarahan. Pendarahan yang terjadi menandakan adanya efek abortivum, hal ini berarti bahwa EEDP
(53)
memiliki efek antifertilitas post coitus (Wahyuni, 1997).
4.5 Hasil analisis data
Data hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP dianalisis secara statistik
statistik menggunakan uji Fisher Exact Probability Test. Yaitu dengan
membandingkan kelompok kontrol dengan masing-masing kelompok uji. Berikut ini tabel perbandingan kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi EEDP setelah dilakukan uji Exact Probability Test.
Tabel 4.4 Perbandingan harga p antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi EEDP
Kelompok p Hipotesis
SK 50 0,2270 Diterima
SK 100 0,0303 Ditolak
SK 200 1,082.10-3 Ditolak
SK-SSK 50 0,2412 Diterima
SK-SSK 100 7,5757.10-3 Ditolak
SK-SSK 200 1,0822.10-3 Ditolak
α = 0,05 p ≤ α = ditolak p ≥ α = diterima
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok dosis SK 50 dan SK-SSK 50 hipotesis diterima, ini berarti bahwa induksi EEDP dengan dosis 50 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi tidak memiliki efek antifertilitas. Sedangkan pada kelompok SK 100, SK 200, SSK 100, SK-SSK 200 hipotesis ditolak ini berarti bahwa EEDP pada dosis 100 mg/kg BB dan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi memiliki efek antifertilitas pada mencit betina.
(54)
BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Perbandingan antara dosis 50 mg/Kg BB, 100 mg/Kg BB dan 200
mg/Kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.
Perlakuan perbandingan p Hipotesa
SK 50 >< SK 100 0,2435 Diterima
SK 50 >< SK 200 0,0303 Ditolak
SK 100 >< SK 200 0,2272 Diterima
SK-SSK 50 >< SK-SSK 100 0,2424 Diterima
SK-SSK 50 >< SK-SSK 200 0,0909 Diterima
SK-SSK 100 >< SK-SSK 200 0,5 Diterima
α = 0,05 p ≤ α = ditolak p ≥ α = diterima
Jika nilai p berada di daerah penerimaan berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata, dan jika p berada di daerah penolakan berati terdapat perbedaan yang nyata. Hasil dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa hanya dosis 50 mg/kg BB yang dibandingkan dengan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi yang memiliki perbedaan yang nyata, sedangkan pada perbandingan dosis yang lain tidak terdapat perbedaan yang nyata, baik pada pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi. Komponen aktif yang berperan dalam mencegah kehamilan atau kontrasepsi adalah diosgenin (Rahayu, dkk., 2006).
(55)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka didapat kesimpulan sebagai berikut: a. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia didapat kadar air daun pacing adalah
4,98%, kadar sari larut air adalah 6,52%, kadar sari larut etanol 17,85%, kadar abu total 25,79%, dan kadar abu tidak larut asam 0,83%. Sedangkan pemeriksaan karakterisasi EEDP diperoleh hasil kadar air 8,73%, kadar abu total 20,43%, dan kadar abu tidak larut asam adalah 0,61%.
b. Golongan metabolit sekunder yang terkandung di dalam simplisia dan EEDP
adalah flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida.
c. EEDP memiliki efek antifertilitas pada dosis pemberian 100 mg/kg BB dan
dosis 200 mg/kg BB baik pada pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.
5.2 Saran
Peneliti selanjutnya disarankan melakukan uji toksisitas dan kandungan logam yang terdapat di dalam daun pacing. Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan uji efek abortivum dari EEDP melihat hasil pengujian dimana terdapat beberapa mencit yang mengalami pendarahan.
(56)
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, B. (2010). Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press. Halaman 10-12. Anief, M. (1997). Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjah
Mada University. Halaman 110.
Anwar, M., Baziad, A., dan Prabowo, R.P. (2011). Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Halaman 438- 444, 451, 456, 461,
Azwar, S. (2004). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 24.
Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 12.
Depkes RI. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Halaman 6.
Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 969-971, 1033.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen
.Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 297-326, 333-340.
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 3, 13-14, 17, 31, 33. Devi, V., dan Urooj, A. (2009). Nutrient Profile and Antioxidant Component of
Costus speciosus Sm. And Costus Igneus Nak. Indian Journal of Natural Products and Resources. 1(1): 116-118.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L.M.
(2008). Pharmacotheraphy A Phatophysiology Approach. Halaman 1313,
1316-1317.
Ditjen POM. (2008). Suplemen II Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 174 – 175.
Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. J. Pharm. Sci. 55(3): 264.
(57)
Febrina, G.A., Intan W., dan Wayan S. (2013). Pengaruh Pemberian Rhodamin B Terhadap Siklus Estrus Mencit (Mus musculus L) Betina. Jurnal Biologi. 17(1): 21-23.
Ganong, W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. Halaman 455-456, 460.
Gunawan, S.G. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 463.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Edisi II. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 152.
Hariana, A. (2013). 262 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penerbit
Swadaya. Halaman 261.
Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. Halaman 7.
Kinho, J., Arini, D.I.D., Tabba, S., Kama, H., dan Kafiar, Y. (2011). Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara. Jilid I. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado. Halaman 28.
Li, P., Mao, z, Lou, J,, Li, Y., Mou, Y., Lu, S., Peng, Y., dan Zhou, L. (2011). .Enhancement of Diosgenin Production in Dioscorea zingiberensis Cell
.Cultures by Oligosaccharides from Its Endophytic Fungus Fusarium
.oxysporum Dzf17. Molecules. 11(16): 10631-10644.
Meilani, N., Setiyawati, N., Estiwidani, D., dan Suhermi. (2010). Pelayanan
Keluarga Berencana. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya. Halaman 23-24, 85-86.
Nursiyah. (2013). Studi Deskriptif Tanaman Obat Tradisional Yang Digunakan Orangtua Untuk Kesehatan Anak Usia Dini Di Gugus Melati Kecamatan
Kalikajar Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Partodihardjo, S. (1980). Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara, penerbit
IKAPI. Halaman 173, 181.
Rahayu, M., Siti S., Diah S., dan Suhardjono, P. (2006). Pemanfaatan tumbuhan secara Tradisional Oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Biodevirsitas. 7(3): 245-250.
Sari., I.P., Siti R., dan Dicky M.R. (2013). Infusa Daun Pacing (Costus speciosus) Sebagai Penghambat Jumlah dan Kualitas Spermatozoa Pada Mencit Jantan Balb/C. Traditional Medicine Journal. 18(1): 1410-5918
(58)
Shah, H.J., dan Lele, S.S. (2012). Extraction of Diosgenin, a Bioactive .Compound from Natural Source Dioscorea alata Var purpurae. J Anal
.Bioanal Techniques. 3(4):1-3.
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Halaman 713-714, 735.
Siahaan, N.H.T. (2004). Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. Halaman 15.
Siswosudarmo, Anwar, M., dan Emilia, O. (2001). Teknologi Kontrasepsi.
.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 2-3, 14-15, 17. Srivastava, S., Pradeep S., Garima M., Jha, K.K., dan Khosa, R.L. (2011).Costus
speciosus (Keukand): A Review. Der Pharmacia Sinicia. 2(1): 118-128.
Sugiyono. (2006). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Halaman 143. Suratun, Maryani, S., Hartini, T., Rusmiati, dan Pinem, S. (2008). Pelayanan
Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media. Halaman 19-20, 27.
Tjitrosoepomo, G. (2010). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Halaman 444.
Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah: Soendani, N. Edisi kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 409.
Wahyuni, E. (1997). Uji Antifertilitas Rimpang Pacing (Costus speciosus
(Koenig) J.E Smith) Pada Mencit Betina Secara Invivo. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Wiknjosastro, H., Saifuddin, A.B., dan Rachimhadhi, T. (2009). Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Halaman 534, 546.
World Health Organization. (1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. Switzerland: WHO. Halaman 33.
Zain, S.B. (2013). Anatomi Sistem Regional dan Perkembangan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Halaman 187-188.
(59)
Lampiran 1.
(60)
Lampiran 2.
(61)
Lampiran 3.
(62)
Lampiran 4.
Gambar daun pacing tampak atas
(63)
Lampiran 5.
Gambar simplisia kering daun pacing
(64)
Lampiran 6.
Disortir, dicuci dan ditiriskan Ditimbang berat basah = 8,9 Kg
Dikeringkan di dalam lemari pengering pada suhu ± 40˚C
Simplisia daun pacing
Karakterisasi Skrining fitokimia
Pemeriksaan: a. Alkaloida
b. Flavonoida
c. Glikosida
d. Saponin
e. Tanin
f. Steroida/triterpenoida
- Mikroskopis
- Penentuan:
a. Kadar air
b. Kadar sari yang larut dalam air
c. Kadar sari yang larut dalam etanol
d. Kadar abu total
e. Kadar abu yang tidak
larut dalam asam
Dilakukan pemeriksaan makroskopik Ditimbang berat kering = 930 g
Serbuk simplisa daun pacing Dihaluskan Daun pacing
Gambar bagan pembuatan, skrining fitokimia dan karakterisasi serbuk
(65)
Lampiran 7.
Gambar hasil mikroskopik serbuk simplisia daun pacing
Keterangan gambar pada perbesaran 10x40:
1. Trikoma tipe multiseluler
2. Trikoma tipe uniseluler
3. Berkas pembuluh penebalan spiral
4. Stomata tipe parasitik
5. Hablur kalsium oksalat bentuk prisma
1
2
3
4
(66)
Lampiran 8.
350 g serbuk simlipisia daun pacing
Dimaserasi dengan cairan penyari etanol 70%
Ekstrak cair
Dipekatkan dengan rotary evapator
Ekstrak kental
Skrining fitokimia
- Pemeriksaan:
a. Alkaloida
b. Flavonoida
c. Glikosida
d. Saponin
e. Tanin
f. Steroida/triterpenoida
Karakerisasi
- Penentuan kadar:
a. Air
b. Sari yang larut dalam
air
c. Sari yang larut dalam
etanol d. Abu total
e. Abu yang tidak larut
dalam asam
(67)
Lampiran 9.
Perhitungan hasil karakterisasi simplisia daun pacing
1. Perhitungan kadar air simplisia
% Kadar air = Volum ak hir−Volum awal
Berat sampel x 100%
No. Berat sampel (g) Volume awal (ml) Volume akhir (ml)
1. 5,0004 2,00 2,20
2. 5,0002 2,20 2,50
3. 5,0004 2,50 2,75
1. Kadar air = 2,20−2,00
5,0004 x 100% = 3,99%
2. Kadar air = 2,50−2,20
5,0002 x 100% = 5,97%
3. Kadar air = 2,75−2,50
5,0004 x 100% = 4,98%
% Rata-rata kadar air = 3,99% + 5,97% + 4,98%
3 = 4,98%
2. Perhitungan kadar sari simplisia larut air
% Kadar sari larut air = Berat sari
Berat simplisia
x
100 ml
20 ml
x 100%
No. Berat sampel (g) Berat sari (g)
1. 5,0135 0,0611
2. 5,0098 0,0680
3. 5,0148 0,0670
1. Kadar sari larut air = 0,0611 g 5,0135 g
x
100 ml
20 ml
x 100% = 6,09%
2. Kadar sari larut air = 0,0680 g
5,0098 g
x
100 ml
20 ml
x 100% =
6,79%3. Kadar sari larut air = 0,0671 g
5,0148 g
x
100 ml
20 ml
x 100% =
6,69%% Rata-rata kadar sari larut air
=
6,09% + 6,79% + 6,69%(68)
Lampiran 9. (Lanjutan)
3. Perhitungan kadar sari simplisia larut etanol
% Kadar sari larut etanol = Berat sari
Berat simplisia
x
100 ml
20 ml
x
100%No. Berat sampel (g) Berat sari (g)
1. 5,0125 0,1813
2. 5,0113 0,1802
3. 5,0130 0,1752
1. Kadar sari larut etanol = 0,1813 g 5,0125 g
x
100 ml
20 ml
x
100% = 18,09%2. Kadar sari larut etanol = 0,1802 g 5,0130 g
x
100 ml
20 ml
x
100% = 17,98%3. Kadar sari larut etanol = 0,1752 g 5,0130 g
x
100 ml
20 ml
x
100%=
17,48%% Rata-rata kadar sari larut etanol = 18,09%+17,98%+17,48%
3 = 17,85 %
4. Perhitungan kadar abu total simplisia
% Kadar abu total = Berat abu
Berat sampel x 100%
No. Berat sampel (g) Berat abu (g)
1. 2,0004 0,4970
2. 2,0008 0,5161
3. 2,0005 0,4899
1. Kadar abu total = 0,499
2,004 x 100% = 24,85%
2. Kadar abu total = 0,518
2,008 x 100% = 25,79%
3. Kadar abu total = 0,491
2,005 x 100% = 24,48%
% Rata-rata kadar abu total = 24,85%+25,79%+24,48%
(69)
Lampiran 9. (Lanjutan)
5. Perhitungan kadar abu simplisia tidak larut asam
% Kadar abu tidak larut asam = Total abu
Berat sampel x 100%
No. Berat sampel (g) Berat abu (g)
1. 2,0004 0,0179
2. 2,0008 0,0179
3. 2,0005 0,0039
1. Kadar abu tidak larut asam = 0,0179
2,0004x 100% = 0,89%
2. Kadar abu tidak larut asam = 0,0179
2,0008x 100% = 0,89%
3. Kadar abu tidak larut asam = 0,0159
2,0005x 100% = 0,79%
% Rata-rata kadar abu tidak larut asam = 0,89% + 0,897% + 0,79%
3 = 0,85%
Lampiran 10.
Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik EEDP
1. Perhitungan kadar air EEDP
% Kadar air simplisia = Volum akhir−Volum awal
Berat sampel x 100%
No. Berat sampel (g) Volume awal (ml) Volume akhir (ml)
1. 5,0003 2,00 2,40
2. 5,0004 2,40 2,85
3. 5,0003 2,85 3,25
1. Kadar air = 2,40−2,00
5,0003 x 100% = 8,29%
2. Kadar air = 2,85−2,40
5,0004 x 100%
=
8,99%3. Kadar air = 3,25−2,85
5,0003 x 100%
=
7,99%% Rata-rata kadar air =8,29% + 8,99% + 7,99%
(1)
d. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 50 mg/kg BB seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi dibandingkan dengan kontrol:
KONTROL SK-SSK 50 JUMLAH
HAMIL 6 3 9
TIDAK HAMIL 0 3 3
6 6 12
p = 9! 3! 6! 6!
12! 6! 3! 0! 3! = 0,2412 < 0,05
e. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 100 mg/kg BB seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi dibandingkan dengan kontrol:
KONTROL SK-SSK 100 JUMLAH
HAMIL 6 1 7
TIDAK HAMIL 0 5 5
6 6 12
p = 7! 5! 6! 6!
12! 6! 1! 0! 5! = 7,5757.10-3< 0,05
(2)
f. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 200 mg/kg BB seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi dibandingkan dengan kontrol:
KONTROL SK-SSK 200 JUMLAH
HAMIL 6 0 6
TIDAK HAMIL 0 6 6
6 6 12
p = 6! 6! 6! 6!
12! 6! 0! 0! 6! = 1,0822.10-3< 0,05
2. Perbandingan masing-masing kelompok uji
a. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 50 mg/kg BB dibandingkan dengan kelompok yang diberi EEDP dosis 100 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi
SK 50 SK 100 JUMLAH
HAMIL 4 2 6
TIDAK HAMIL 2 4 6
6 6 12
p = 6! 6! 6! 6!
(3)
b. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 50 mg/kg BB dibandingkan dengan kelompok yang diberi EEDP dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi kawin
SK 50 SK 200 JUMLAH
HAMIL 4 0 4
TIDAK HAMIL 2 6 8
6 6 12
p = 4! 8! 6! 6!
12! 4! 0! 2! 6! = 0,0303 < 0,05
c. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 100 mg/kg BB dibandingkan dengan kelompok yang diberi EEDP dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi
SK 100 SK 200 JUMLAH
HAMIL 2 0 2
TIDAK HAMIL 4 6 10
6 6 12
p = 2! 10! 6! 6! 12! 2! 0! 4! 6! = 0,2272 > 0,05
(4)
d. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 50 mg/kg BB dibandingkan dengan kelompok yang diberi EEDP dosis 100 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.
SK-SSK 50 SK-SSK 100 JUMLAH
HAMIL 3 1 4
TIDAK HAMIL 3 5 8
6 6 12
p = 4! 8! 6! 6!
12! 3! 1! 3! 5! = 0,2424 > 0,05
e. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 50 mg/kg BB dibandingkan dengan kelompok yang diberi EEDP dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi
SK-SSK 50 SK-SSK 200 JUMLAH
HAMIL 3 0 3
TIDAK HAMIL 3 6 9
6 6 12
p = 3! 9! 6! 6!
12! 3! 0! 3! 6! = 0,0909 > 0,05
(5)
f. Harga p dari kelompok yang diberi EEDP dosis 100 mg/kg BB dibandingkan dengan kelompok yang diberi EEDP dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi
SK-SSK 100 SK-SSK 200 JUMLAH
HAMIL 1 0 1
TIDAK HAMIL 5 6 11
6 6 12
p = 1! 11! 6! 6! 12! 1! 0! 5! 6! = 0,5 > 0,05
(6)