BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Evaluasi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Secara Mandiri oleh PT Indofood CBP (Consumer Branded Products) Sukses Makmur Tbk (Terbuka) Cabang Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. EVALUASI II.1.1. Pengertian Evaluasi Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, evaluasi adalah suatu penilaian

  yang ditujukan kepada seseorang, sekelompok, atau suatu kegiatan. Sebagai penilaian, bisa saja penilaian ini menjadi netral, positif, negatif atau bahkan gabungan dari keduanya. Ketika sesuatu dievaluasi biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau manfaatnya.

  Stufflebeam dan Shinkfield (dalam Widoyoko, 2011: 3) menyatakan bahwa: Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

  Evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Dalam pelaksanaan evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu 1) penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation), 2) penyusunan desain evaluasi (designing the evaluation), 3) pengumpulan informasi (collecting information), 4) analisis dan interpretasi informasi (analyzing and

  ), 5) pembuatan laporan (reporting information), 6) pengelolaan evaluasi

  interpreting

  (managing evaluation), dan 7) evaluasi untuk evaluasi (evaluating evaluation) (Brinkerhoff dalam Widoyoko, 2011: 4).

  Evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai (Ralph Tyler dalam Arikunto, 2009: 3).

  Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian hasil yang telah dirancang dari suatu aktifitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil penelitian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktifitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktifitas yang sama di masa depan (Yusuf dalam Siagian dan Suriadi, 2010: 116).

  Pengertian lain dikemukakan oleh H. Weis (dalam Jones, 2001) yang menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menimbang manfaat atau efektivitas suatu program melalui indikator yang khusus, teknik pengukuran, metode analisis, dan bentuk perencanaan. Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan, evaluasi semestinya mempunyai tolak ukur atau target sasaran yang telah ditetapkan dari awal perencanaan dan merupakan tujuan yang hendak dicapai (Siagian dan Suriadi, 2010: 117).

  Untuk kepentingan praktis, ruang lingkup evaluasi secara sederhana dapat dibedakan atas empat kelompok (Azwar, 1996: 12) yakni:

  1. Penilaian terhadap masukan (input) yaitu penilaian yang menyangkut pemanfaatan berbagai sumber daya, baik sumber dana, tenaga dan sumber sarana.

  2. Penilaian terhadap proses (process) yaitu penilaian yang lebih dititikberatkan pada pelaksanaan program, apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak. Proses yang dimaksud disini mencakup semua tahap administrasi, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, dan aspek pelaksanaan program.

  3. Penilaian terhadap keluaran (output) yaitu penilaian terhadap hasil yang dapat dicapai dari pelaksanaan suatu program.

  4. Penilaian terhadap dampak (impact) yaitu penilaian yang mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu program.

  Evaluasi berusaha mengidentifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Evaluasi (Suharto, 2005: 119) bertujuan untuk: 1.

  Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan.

  2. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran.

  3. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi di luar rencana (externalities).

  Evaluasi mengandung dua aspek yang saling terkait (Parsons, 2001: 546): 1. Evaluasi kebijakan dan kandungan programnya; 2. Evaluasi terhadap orang-orang yang bekerja di dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan dan program.

II.1.2. Jenis-Jenis Evaluasi

  Secara umum, evaluasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: a. Evaluasi pada Tahap Perencanaan

  Kata evaluasi sering digunakan dalam tahap perencanaan dalam rangka mencoba memilih dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai altenatif dan kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu diperlukan berbagai teknik yang dapat dipakai oleh perencana. Satu hal yang patut dipertimbangkan dalam kaitan ini adalah bahwa metode-metode yang ditempuh dalam pemilihan prioritas tidak selalu sama untuk setiap keadaan, melainkan berbeda menurut hakekat dari permasalahannya sendiri.

  b.

  Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini, evaluasi adalah suatu kegiatan dengan melakukan analisa untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding dengan rencana. Terdapat perbedaan antara evaluasi menurut pengertian ini dengan mentoring. Mentoring menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai sudah tepat dan bahwa program tersebut direncanakan untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Mentoring melihat apakah pelaksanaan proyek sudah sesuai dengan rencana dan bahwa rencana tersebut sudah tepat untuk mencapai tujuan. Sedangkan evaluasi melihat sejauh mana proyek masih tetap dapat mencapai tujuannya, apakah tujuan tersebut sudah berubah, apakah pencapaian hasil program tersebut akan memecahkan masalah yang ingin dipecahkan. Evaluasi juga mempertimbangkan faktor-faktor luar yang mempengaruhi keberhasilan proyek tersebut, baik membantu atau menghambat.

  c.

  Evaluasi pada Tahap Paska Pelaksanaan Dari sini pengertian evaluasi hampir sama dengan pengertian pada tahap pelaksanaan, hanya perbedaanya yang dinilai dan dianalisa bukan lagi tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding rencana, tetapi hasil pelaksanaan dibanding dengan rencana yakni apakah dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Nugroho, 2009:537).

II.1.3. Fungsi Evaluasi

  Fungsi utama evaluasi, pertama memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan public. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nugroho (2004) mengatakan bahwa evaluasi akan memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik (Nugroho, 2004:185).

  Wujud dari hasil evaluasi adalah adanya rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan (decision maker). Menurut Arikunto dan Safruddin (2009:22) ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program, yaitu: (a) Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan; (b) Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit); (c) Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat; (d) Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik maka jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.

  Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan antara lain (Dunn, 1999: 609):

  1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu yang telah dicapai.

  2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan mengopersikan tujuan dan target.

  3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada defenisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan.

  Dari fungsi-fungsi evaluasi yang telah dikemukakan beberapa ahli, dapatlah disimpulkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai program tersebut.

II.1.4. Proses Evaluasi

  Jika ditinjau dari aspek tingkat pelaksanaannya, secara umum evaluasi terhadap suatu program dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis (Siagian dan Suriadi, 2012: 173) yaitu: 1.

  Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menerapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

  2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan.

3. Penilaian atas aktivitas yang telah selesai dilaksanakan, yaitu menganalisis hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang sebelumnya ditetapkan.

II.1.5. Tolak Ukur Evaluasi

  Suatu program dapat dievaluasi apabila ada tolak ukur yang nantinya dijadikan penilaian suatu program. Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang dibuat sebelumnya harus memiliki tolak ukur, dimana tolak ukur ini harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya.

  Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah: 1. Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

  2. Apakah hasil proyek sesuai dengan hasil yang diinginkan.

  3. Apakah sarana atau kegiatan yang dibuat benar-benar dapat dicapai atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkannya.

  4. Apakah sarana yang disediakan benar-benar dilakukan untuk tujuan semula.

  5. Berapa persen jumlah atau luas sasaran sebenarnya yang dapat dijangkau oleh program.

  6. Bagaimana mutu pekerjaan atau saran yang dihasilkan dari program.

  7. Berapa banyak sumber daya (tenaga, dana, barang) yang sudah digunakan (diinvestasikan) untuk mencapai tujuan tersebut.

  8. Apakah sumber daya dan kegiatan yang dilakukan benar-benar dimanfaatkan secara maksimal.

  9. Apakah kegiatan yang dilakukan benar-benar memberikan masukan terhadap perubahan.

II.2. PROGRAM

  Arikunto dan Safruddin (2010: 3-4) menyebutkan dua pengertian program, secara umum dan khusus. Pengertian program secara umum adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan. Sedangkan pengertian secara khusus, adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan waktu dan pelaksanaannya biasanya membutuhkan waktu yang panjang. Program juga merupakan rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya.

  Menurut Isaac dan Michael (dalam Muzayanah, 2011: 17), sebuah program harus diakhiri dengan evaluasi untuk melihat apakah program tersebut berhasil menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara umum evaluasi merupakan proses mengumpulkan informasi mengenai suatu objek, memberi nilai suatu objek, dan membandingkannya dengan kriteria, standar, dan indikator.

  Program adalah cara tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program adalah unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti:

  1. Adanya tujuan yang mau dicapai.

  2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan tersebut.

  3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan dengan prosedur yang harus dilewati.

  4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan.

  5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (Wahab dalam Siagian dan Suriadi, 2010: 117).

  Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu: 1.

  Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program.

  2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.

  3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

  Program terbaik di dunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik (Jones, 1996:295).

II.3. EVALUASI PROGRAM II.3.1. Pengertian Evaluasi Program

  Evaluasi program merupakan penilaian yang sistematis dan seobyektif mungkin terhadap suatu obyek, program atau kebijakan yang sedang berjalan atau sudah selesai, baik dalam desain, pelaksanaan dan hasilnya, di mana tujuan dari evaluasi program adalah untuk menentukan relevansi dan ketercapaian tujuan, efisiensi, efektifitas, dampak dan keberlanjutannya, di mana suatu evaluasi harus memberikan informasi yang dapat dipercaya dan berguna agar donor serta pihak penerima manfaat dapat mengambil pelajaran untuk proses pengambilan keputusan (World Bank, 2004). Sedangkan Musa (2005) mendefinisikan evaluasi program sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan suatu obyek yang dilakukan secara terencana, sistematik dengan arah dan tujuan yang jelas. Evaluasi sebagai upaya untuk mengumpulkan, menyusun, mengolah dan menganalisa fakta, data dan informasi. Evaluasi selalu berhubungan dengan pengambilan keputusan, karena hasil evaluasi merupakan suatu landasan untuk menilai suatu program dan memutuskan apakah program tersebut dapat diteruskan atau masih perlu diperbaiki lagi.

  Menurut Arikunto dan Safruddin (2009) yang menjadi titik awal dari kegiatan evaluasi program adalah keingintahuan untuk melihat apakah tujuan program sudah tercapai atau belum. Jika sudah tercapai, bagaimanakah kualitas pencapaian kegiatan tersebut, dan jika belum tercapai, bagian manakah dari rencana yang telah dibuat namun belum tercapai dan apa penyebab bagian rencana tersebut belum tercapai. Dengan kata lain, evaluasi program dimaksudkan untuk melihat pencapaian program. Pietrzak (Solihat, 2007) mengemukakan mengapa evaluasi program perlu dilaksanakan, yaitu: pertama, bahwa hasil evaluasi dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program yang selanjutnya menjadi dasar bagi perbaikan program. Kedua, evaluasi berfungsi menganalisa dan merupakan efektifitas suatu program.

  Dengan melihat kepada beberapa definisi di atas, maka evaluasi program merupakan suatu rangkaian kegiatan pengumpulan informasi dari suatu program secara sistematis yang bertujuan untuk mengukur atau menilai suatu program, meningkatkan keefektifan program dan mengambil keputusan berkaitan dengan program di masa yang akan datang.

  Dan lebih dari itu, evaluasi program adalah suatu proses dalam menetapkan secara sistematis tentang suatu nilai, tujuan, efektivitas, atau kecocokan sesuatu, sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses penetapan keputusan itu didasarkan atas perbandingan secara hati-hati terhadap data yang diobservasi dengan menggunakan standar tertentu yang telah distandarkan (dibakukan) seperti tergambar di atas. Standar yang digunakan merupakan standar yang memenuhi kriteria bahwa hasil dari evaluasi tersebut memenuhi prinsip validitas, reliabilitas, kontinuitas, dan komprehensif, sehingga informasi yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan dengan benar dan bijak.

II.3.2. Tujuan Evaluasi Program

  Seperti disebutkan oleh Sudjana (2006: 48), tujuan khusus evaluasi program terdapat 6 (enam) hal, yaitu untuk: a.

  Memberikan masukan bagi perencanaan program; b. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program; c.

  Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi atau perbaikan program; d.

  Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program; e.

  Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola, dan pelaksana program; f. Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program pendidikan luar sekolah.

  Selanjutnya Sudjana berpendapat bahwa tujuan evaluasi adalah untuk melayani pembuat kebijakan dengan menyajikan data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan secara bijaksana. Oleh karenanya evaluasi program dapat menyajikan 5 (lima) jenis informasi dasar sebagai berikut: a.

  Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah pelaksanaan suatu program harus dilanjutkan.

  b.

  Indikator-indikator tentang program-program yang paling berhasil berdasarkan jumlah biaya yang digunakan.

  c.

  Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan gabungan antar unsur program yang paling efektif berdasarkan pembiayaan yang diberikan sehingga efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai.

  d.

  Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran program-program pendidikan sehingga para pembuat keputusan dapat menentukan tentang individu, kelompok, lembaga atau komunitas mana yang paling menerima pengaruh dari pelayanan setiap program. e.

  Informasi tentang metode-metode baru untuk memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan evaluasi pengaruh program (Sudjana, 2006: 50).

II.4. KESEHATAN

  Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menimbang: a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara; d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;

  Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,  Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.  Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

   Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.

  Jika dilihat dari asas dan tujuannya:  pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama, dan

   pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

  Di dalam Bab III Bagian Kesatu Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengenai hak, dijelaskan bahwa:  Setiap orang berhak atas kesehatan.

   Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

   Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

   Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

   Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.

   Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.

   Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

  Dan selain itu, di dalam Bab III Bagian Kedua Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengenai kewajiban, dijelaskan bahwa:  Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

   Kewajiban sebagaimana dimaksud, pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.  Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.

   Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.

   Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.

   Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.

  Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

II.4.1. Kesehatan Pekerja II.4.1.1. Tujuan Kesehatan Kerja

  Kesehatan kerja menurut Joint ILO / WHO Committee on Occupational

  Healt , mempunyai tujuan sebagai berikut:

  “Kesehatan kerja bertujuan pada promosi dan pemeliharaan derajat yang setinggi- tingginya dari kesehatan fisik, mental dan sosial dari pekerja pada semua pekerjaan; pencegahan gangguan kesehatan pada pekerja yang disebabkan oleh kondisi kerja mereka; perlindungan pekerja dalam pekerjaan mereka dari resiko akibat faktor- faktor yang mengganggu kesehatan; penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikologisnya; dan sebagai kesimpulan, penyesuaian pekerjaan terhadap manusia dan setiap manusia terhadap pekerjaannya”.

  Sesuai tujuan kesehatan tersebut di atas, fokus utama program kesehatan kerja dikelompokkan dalam 3 (tiga) tujuan, yaitu: a.

  Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan pekerja dan kapasitas kerjanya; b. Peningkatan lingkungan dan kondisi kerja untuk menciptakan situasi keselamatan dan kesehatan kerja yang kondusif; dan c.

  Pengembangan organisasi dan budaya kerja yang mendukung keselamatan dan kesehatan kerja, peningkatan situasi sosial yang positif, kelancaran proses kerja dan peningkatan produktivitas.

  Terdapat korelasi yang sangat erat antara kesehatan tenaga kerja dengan produktivitas kerja. Apabila tenaga kerja memiliki kondisi kesehatan yang setinggi- tingginya dan terpelihara dengan baik, maka produktifitasnya akan tetap tinggi dalam jangka waktu yang lama. Untuk menjaga agar derajat kesehatan tenaga kerja tetap terpelihara dengan baik, maka harus dijaga keseimbangan antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan dari kondisi lingkungan kerja sehingga dapat dicapai efisiensi kerja dan produktivitas kerja seoptimal mungkin. Apabila keseimbangan tersebut tidak terpenuhi maka pekerja akan berisiko mengalami gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja sehingga produktifitas dan efisiensi kerja tidak optimal (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2014: 7-8).

II.4.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Kerja

  Untuk dapat melingungi kesehatan pekerja secara efektif dan efisien, maka harus dikenali faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan. Secara umum ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi yaitu: 1) beban kerja, 2) beban dari lingkungan kerja (beban tambahan), dan 3) kapasitas kerja para pekerjanya. Ketiga faktor tersebut perlu dijaga keseimbangannya agar pekerja terlindungi kesehatannya dan tercapai produktivitas kerja setinggi-tingginya.

  a.

  Beban kerja Setiap pekerjaan merupakan beban kerja dari pelakunya. Beban kerja tersebut dapat berupa beban fisik maupun mental. Beban kerja fisik, yaitu beban kerja yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dengan kondisi fisik tubuh pekerja. Contoh beban kerja fisik diantaranya berupa mengangkat barang, mengepak barang, mengoperasikan mesin, berdiri, dan lain-lain. Beban kerja mental, yaitu beban kerja yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dengan kondisi psikologis atau kejiwaannya. Contoh bentuk beban kerja mental diantaranya pekerjaan yang dilakukan pada kondisi terisolasi, dikejar target produksi, melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keterampilannya, pekerjaan yang bersifat membosankan, situasi hubungan kerja yang tidak harmonis, menimbulkan rasa takut atau mencekam, dan lain-lain.

  Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghadapi beban kerjanya. Pada umumnya mereka hanya mampu memikul beban sampai batas tertentu. Efisiensi dan produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh tingkat beban kerja yang dihadapi oleh tenaga kerja. Agara efisiensi dan produktivitas kerja optimal, perlu menempatkan tenaga kerja pada pekerjaan yang tepat. Tepat atau tidaknya suatu penempatan tenaga kerja perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang ada pada tenaga kerja seperti kondisi kesehatan, bakat, kecocokan, pengalaman, pengetahuan, keterampilan, motivasi dan lain sebagainya.

  b.

  Beban dari lingkungan kerja (beban kerja tambahan) Suatu pekerjaan pada umumnya dilakukan dalam suatu lingkungan atau keadaan yang dapat memberikan beban tambahan pada jasmani atau rohani tenaga kerja. Secara garis besar faktor-faktor lingkungan kerja yang dapat menggangu kesehatan tenaga kerja adalah: (1)

  Faktor fisik, antara lain berupa: kebisingan, iklim kerja (suhu, kelembaban, kecepatan angina), radiasi, tekanan udara, penerangan, getaran.

  (2) Faktor kimia; yaitu berbagai bahan kimia berbahaya dan beracun (B3) yang dapat berbentuk: padat, cair, gas, uap, aerosol, debu, kabut, asap.

  (3) Faktor biologi, antara lain berupa: bakteri, virus, jamur, cacing, parasit. (4)

  Faktor fisiologi atau ergonomi; yaitu faktor yang mempengaruhi keserasian antara tenaga kerja dan pekerjaannya (tata letak / lay out perangkat kerja, ukuran peralatan kerja, sikap kerja dan cara kerja). Ketidakserasian dari faktor tersebut dapat menimbulkan cidera, sakit otot, sakit pinggang, cedera punggung, dan lain-lain. (5)

  Faktor psikososial, antara lain berupa: hubungan kerja yang kurang baik, sifat pekerjaan yang monoton, tak sesuai bakat, kesejahteraan yang kurang, dan lain-lain. Faktor ini selain akan menurunkan produktivitas, juga dapat menimbulkan penyakit-penyakit psikosomatik yaitu penyakit yang bersifat fisik akibat pengaruh tekanan psikologis, misalnya: sakit maag (gastritis), tekanan darah tinggi (hipertensi), jantung, dan lain-lain.

  c.

  Kepasitas kerja Kapasitas kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh: keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan kesehatan, kerentanan terhadap penyakit, tingkat atau status gizi, umur, jenis kelamin, dan ukuran-ukuran tubuh (antropometri).

II.5. JAMINAN SOSIAL II.5.1. Pengertian Jaminan Sosial

  Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

  Jaminan sosial dapat diartikan secara luas dan dapat pula diartikan secara sempit. Dalam pengertiannya yang luas jaminan sosial ini meliputi berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan/atau pemerintah. Usaha-usaha tersebut oleh Sentanoe Kertonegoro dikelompokkan dalam empat kegiatan usaha utama, yaitu sebagai berikut: a.

  Usaha-usaha yang berupa pencegahan dan pengembangan, yaitu usaha-usaha di bidang kesehatan, keagamaan, keluarga berencana, pendidikan, bantuan hukum, dan lain-lain yang dapat dikelompokkan dalam pelayanan sosial (social service).

  b.

  Usaha-usaha yang berupa pemulihan dan penyembuhan, seperti bantuan untuk bencana alam, lanjut usia, yatim piatu, penderita cacat dan berbagai ketunaan yang dapat disebut sebagai bantuan sosial (social assistance).

  c.

  Usaha-usaha yang berupa pembinaan, dalam bentuk perbaikan gizi, perumahan, transmigrasi, koperasi, dan lain-lain yang dapat dikategorikan sebagai sarana sosial (social infra structure).

  d.

  Usaha-usaha di bidang perlindungan ketenagakerjaan yang khusus ditunjukkan untuk masyarakat tenaga kerja yang merupakan inti tenaga pembangunan dan selalu menghadapi risiko-risiko sosial ekonomi, digolongkan dalam asuransi sosial (social insurance).

  Keempat kegiatan usaha utama tersebut, kemudian oleh beliau diaplikasikan dalam berbagai sistem jaminan sosial untuk mengatasi risiko ekonomis. Sistem jaminan sosial tersebut adalah berupa: a. pencegahan dan penanggulangan; b. pelayanan dan tunjangan; c. bantuan sosial dan asuransi sosial; d. asuransi komersial dan asuransi sosial; e. peranggaran dan pendanaan (Asyhadie, 2008: 26-27).

II.5.2. Tujuan dan Manfaat Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh

  Dari beberapa definisi jaminan sosial di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan jaminan sosial pada prinsipnya adalah: a. sebagai sarana untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja/buruh guna mengatasi risiko-risiko ekonomis/sosial atau peristiwa-peristiwa tertentu, seperti:

  1) kebutuhan akan pelayanan medis; 2) tertundanya, hilangnya atau turunnya sebagian penghasilan yang disebabkan karena:  sakit;  hamil;  kecelakaan kerja dan penyakit jabatan;  hari tua;  cacat;  kematian pencari nafkah.

  3) tanggung jawab untuk keluarga dan anak-anak.

  b. sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial dengan memberikan ketenangan kerja bagi pekerja/buruh yang memiliki peranan besar bagi pelaksana pembangunan.

  Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dilaksanakannya jaminan sosial bagi pekerja/buruh, yaitu sebagai berikut: a.

  Jaminan sosial menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja/buruh dan ketenangan berusaha bagi pengusaha sehingga mendorong terciptanya produktivitas kerja.

  b.

  Dengan adanya program jaminan sosial yang permanen, berarti pengusaha dapat melakukan perencanaan yang pasti untuk kesejahteraan pekerja/buruhnya, di mana biasanya pengeluaran-pengeluaran untuk jaminan sosial ini bersifat mendadak sehingga tidak bisa diperhitungkan terlebih dahulu.

  c.

  Dengan adanya jaminan sosial, praktis akan menimbulkan ikatan bagi pekerja/buruh untuk bekerja di perusahaan tersebut serta tidak berpindah ke tempat lain.

  d.

  Jaminan sosial juga akan ikut menciptakan ketenangan kerja serta menciptakan hubungan yang positif antara pekerja/buruh dan pengusaha. Hubungan yang positif ini sangat diperlukan untuk kegairahan dan semangat kerja ke arah kenaikan produksi perusahaan yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawabb dengan rasa ikut memiliki sebagaimana yang dikehendaki oleh konsepsi Hubungan Industrial Pancasila.

  e.

  Dengan adanya program jaminan sosial ini, kepastian akan perlindungan terhadap risiko-risiko dari pekerjaan akan terjamin, terutama untuk melindungi kelangsungan penghasilan pekerja/buruh yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarganya.

  f.

  Secara nasional jaminan sosial ini akan memberi kontribusi berikut: 1)

  Iuran selalu diterima beberapa tahun sebelum pembayaran jaminan yang cukup besar karena adanya program berjangka panjang.

  2) Dengan demikian, terjadinya pemupukan dana yang untuk sementara sebelum digunakan untuk membayar jaminan, bisa digunakan/dipinjam untuk dana pembangunan, baik sektoral maupun regional. Pemupukan dana atau cadangan finansial ini lama kelamaan akan semakin besar disebabkan karena hal berikut:  Pembayaran jaminan dalam jumlah yang besar biasanya baru terjadi beberapa puluh tahun setelah terbentuknya program tersebut.

   Perkembangan industri akan meningkatkan kepesertaan dengan bertambahnya jumlah perusahaan yang wajib ikut serta dalam program tersebut.  Distribusi penduduk yang cenderung pada umur muda, seperti di negara berkembang, akan memberikan peserta-peserta muda yang lebih banyak daripada mereka yang segera berhak untuk menerima jaminan. Dengan demikian, tujuan dan manfaat jaminan sosial amat besar, baik bagi pekerja/buruh maupun bagi pengusaha itu sendiri. Dengan mengikutsertakan pekerja/buruhnya dalam program jaminan sosial tenaga kerja, berarti pengusaha telah bertindak: a. melindungi pekerja/buruhnya sedemikian rupa dalam menghadapi segala risiko yang mungkin saja terjadi, baik karena adanya peralatan kerja yang serba modern dan mutakhir maupun karena penempatan pekerja/buruh yang tidak pada tempatnya atau bukan keahliannya; b. mendidik para pekerja/buruhnya untuk berhemat atau menabung yang dapat dinikmati sewaktu-waktu jika terjadi hal yang tidak diinginkan, terutama dalam menghadapi risiko hari tua atau pensiun; c. melindungi perusahaan dari keharusan memberikan jaminan sosial (sesuai dengan prinsip tanggung jawab pengusaha) yang kemungkinannya akan berjumlah besar karena risiko yang menimpa beberapa pekerja/buruh sekaligus, di mana risiko ini tidak diharapkan terjadinya; d. memberikan ketenangan kepada pekerja/buruh beserta keluarganya, karena dengan terjadinya risiko yang tidak diharapkan, mereka akan memperoleh jaminan yang memadai yang tidak sulit untuk mengurusnya; e. dengan diikutsertakannya pekerja/buruh dalam program jaminan sosial tenaga kerja oleh pengusaha berarti pengusaha telah mencerminkan iktikad baik untuk melaksanakan suatu hubungan kerja yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

  Dampak semua tindakan pengusaha tersebut, para pekerja/buruh akan terangsang untuk mewujudkan ketekunan dan kegairahan dalam bekerja sehingga dengan demikian akan tercapai kelancaran roda perusahaan, keharmonisan dalam hubungan kerja sebagaimana yang dikehendaki konsepsi “Hubungan Industrial Pancasila”.

  Jika apa yang dikembangkan dalam konsepsi Hubungan Industrial Pancasila itu benar-benar berjalan dengan baik, pekerja/buruh bersama-sama dengan pengusaha bisa menyatu sebagai satu kesatuan dan bertekad bersama-sama bergotong royong, bekerja keras dalam suasana kekeluargaan mensukseskan misi perusahaan yang pada gilirannya akan meningkatkan pula kesejahteraan pekerja/buruh.

  Melihat peranan pengusaha dalam memberikan atau mempertanggungkan pekerja/buruh dalam program jaminan sosial tenaga kerja jelaslah sangat besar karena pengusaha yang lebih dominan menentukan kebijaksanaannya dalam menentukan arah jalannya “roda” perusahaan. Pengusaha yang bijaksana, yang mengerti bahwa pekerja/buruhnya adalah “tulang punggung” perusahaan, yang telah memberikan jasa dan pikirannya pada perusahaan tempatnya bekerja tentunya akan memberikan penghargaan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dengan mempertanggungkannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja (Asyhadie, 2008: 35-39).

II.6. JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN (JPK) II.6.1. Pengertian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)

  Pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar pekerja/buruh memperoleh kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal.

  Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas pekerja/buruh sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena itu, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan. Jaminan pemeliharaan kesehatan tersebut, selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya (Asyhadie, 2008: 87).

  Secara rinci tujuan dari pemeliharaan kesehatan ini dapat dikemukakan sebagai berikut.

  a.

  Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan pekerja/buruh yang setinggi- tingginya baik fisik, mental maupun sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal.

  b.

  Mencegah dan melindungi pekerja/buruh dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.

  c.

  Menyesuaikan pekerja/buruh dengan pekerjaannya.

  d.

  Meningkatkan produktivitas kerja.

  Dalam rangka mencapai tujuan di atas, maka sumber-sumber bahaya bagi kesehatan pekerja/buruh haruslah diperhatikan. Sumber-sumber bahaya ini dapat dilihat dari beberapa faktor berikut.

  1. Faktor fisik, yang dapat berupa:  suara yang terlalu bising;  suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah;  penerangan yang kurang memadai;  ventilasi yang juga kurang memadai;  radiasi;  getaran mekanis;  tekanan udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah;  bau-bauan di tempat kerja.

  2. Faktor kimia, yang dapat berupa:  gas/uap;  cairan;  debu-debuan;  butiran kristal dan bentuk-bentuk lain;  bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat racun.

  3. Faktor biologis, yang dapat berupa:  bakteri virus;  jamur, cacing, dan serangga;  tumbuh-tumbuhan dan lain-lain yang hidup atau timbul dalam lingkungan tempat kerja.

  4. Faktor faal, yang dapat berupa:  sikap badan yang tidak baik pada waktu bekerja;

   peralatan yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan pekerja/buruh;  gerak yang senantiasa berdiri atau duduk;  proses, sikap dan cara kerja yang monoton;  beban kerja yang melampaui batas kemampuan.

5. Faktor psikologis, yang dapat berupa:

   kerja yang terpaksa atau dipaksakan yang tidak sesuai dengan kemampuannya;  suasana kerja yang tidak menyenangkan;  pikiran yang senantiasa tertekan terutama karena sikap atasan atau teman sekerja yang tidak sesuai;  pekerjaan yang cenderung lebih mudah menimbulkan kecelakaan atau penyakit. Meskipun faktor-faktor di atas terus diperhatikan, namun setiap orang di masa hidupnya pasti pernah mengalami sakit dengan segala risiko dan konsekuensi dari sakit tersebut. Dalam pengertian jaminan sosial, sakit merupakan keadaan sementara yang berakhir dengan kesembuhan, cacat tetap atau kematian. Pembiayaan yang timbul guna menanggulangi risiko sakit tersebut akan berupa biaya pengobatan dan perawatan, mengganti hilangnya penghasilan, dan dalam hal pekerja/buruh wanita termasuk juga biaya pemeliharaan kehamilan.

  Berkaitan dengan apa yang diuraikan di atas, maka upaya pemeliharaan kesehatan harus tetap dilakukan. Secara medis pemeliharaan kesehatan meliputi jenis pelayanan sebagai berikut: 1. pelayanan dokter umum, termasuk kunjungan ke rumah sakit; 2. pemeliharaan diagnostik; 3. pelayanan dokter spesialis;

  4. penyediaan obat-obatan; 5. pemeliharaan kehamilan oleh dokter atau bidan; 6. pemeliharaan bayi dan perawatannya di rumah sakit; 7. pemeliharaan gigi; 8. perawatan khusus; 9. pelayanan rehabilitasi dan anggota badan tiruan; 10. pelayanan ambulans (Asyhadie, 2008: 191-194).

  II.6.2. Iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)

  Iuran untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) jaminan sosial tenaga kerja dibayar sepenuhnya oleh pengusaha, yaitu sebesar 6% dari masing-masing upah pekerja/buruh yang sudah berkeluarga, atau 3% masing-masing upah pekerja/buruh yang belum berkeluarga (Asyhadie, 2008: 194).

  II.6.3. Prosedur Pemberian Pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)

  Jaminan pemeliharaan kesehatan diselenggarakan secara terstruktur, terpadu dan berkesinambungan, yang bersifat menyeluruh dan meliputi pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) misalnya pemberian konsultasi, pencegahan penyakit (preventif) misalnya imunisasi dan penyembuhan penyakit (kuratif) misalnya tindakan medik, serta pemulihan kesehatan (rehabilitatif) misalnya pelayanan rehabilitasi dalam pelayanan yang diberikan secara terpadu oleh pelaksana pelayanan kesehatan.

  Yang dimaksud dengan pemeliharaan secara terstruktur adalah pelayanan yang mengikuti pola dan prinsip tertentu baik mengenai jenis maupun proses pembiayaannya. Sementar a itu, “terpadu dan berkesinambungan” maksudnya adalah pelayanan kesehatan bagi pekerja/buruh, suami atau istri dan anak dijamin kelanjutannya sampai menuju keadaan sehat.

  Dalam kaitannya dengan program di atas, badan penyelenggara menyelenggarakan paket pemeliharaan kesehatan dasar yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja setelah berkonsultasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang Kesehatan (Menteri Kesehatan). Paket pemeliharaan kesehatan dasar ini meliputi pelayanan sebagai berikut: a.

  Rawat jalan tingkat pertama, yaitu semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di pelaksana pelayanan keseharan tingkat pertama.

  b.

  Rawat jalan tingkat lanjutan, yaitu semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama.

  c.

  Rawat inap, yaitu pemeliharaan kesehatan rumah sakit di mana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan lain. Pelaksana pelayanan kesehatan rawat inap adalah: (1) rumah sakit pemerintah pusat dan daerah; dan (2) rumah sakit swasta yang ditunjuk.

  d.

  Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, termasuk pertolongan persalinan tidak normal dan/atau gugur kandungan.

  e.

  Penunjang diagnostik, yaitu semua pemeriksaaan dalam rangka diagnosis yang dipandang perlu oleh pelaksana pengobatan lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostik, rumah sakit atau di fasilitas khusus, yang meliputi: pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang diagnosis lain. f.

  Pelayanan khusus, maksudnya adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula, yang meliputi: kaca mata, prothese gigi, alat bantu dengar, prothese anggota gerak, dan prothese mata.

  g.

  Gawat darurat, yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis dengan segera, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal fatal bagi penderita.

  Dalam rangka menyelenggarakan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar di atas, badan penyelenggaran wajib: a.