BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

  Bangsa Indonesia memiliki banyak etnis yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Masing-masing etnis tersebut memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut terjadi karena kondisi alam dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Dimana suatu masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

  Berbicara mengenai keberagaman kebudayaan Indonesia tidak hanya berkaitan dengan seni belaka, namun sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya tersebut, suatu masyarakat memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakatnya.

  Suatu aturan yang dijadikan sebagai pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Aturan-aturan tersebut dapat diamati dan dikaji dalam ranah antropologi hukum, karena aturan-aturan tersebut lahir sebagai produk dari suatu kebudayaan masyarakat.

  Salah satu contohnya adalah tata cara pelaksanaan perkawinan. Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa. Perkawinan tidak hanya menyatukan dua pribadi yang berbeda, tetapi juga menjadi media yang menyatukan orang tua kedua belah pihak, saudara-saudranya dan kerabat mereka masing-masing. Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.

  Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan sehingga tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lurah terjadi meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya.

  Sebagaimana diketahui bahwa daerah perbatasan merupakan suatu wilayah persinggungan antar-budaya yang berbeda. Kebudayaan-kebudayaaan tersebut saling berinteraksi sehingga terjadi proses percampuran kebudayaan (asimilasi). Ada kebudayaan yang dominan, kebudayaan yang harus melebur dengan kebudayaan lainnya, bahkan ada kebudayaan baru sebagai suatu identitas yang lahir karna tidak ada kebudayaan yang dominan.

  Kabupaten Pasaman mengalami hal tersebut. Pasaman merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Secara administratif wilayah ini berbatasan langsung di sebelah Utara dengan Kabupaten Mandaling Natal, Provinsi Sumatera Utara. Menurut Djurip (2000:12), kata Pasaman berasal dari bahasa Minangkabau yaitu pasamoan yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti “persamaan”. Adapun maknanya ialah suatu kesepakatan dan kesamaan pendapat antara golongan etnis yang mendiami Kabupaten Pasaman tersebut. Etnis tersebut adalah Minangkabau dan Mandailing. Kesepakatan dan kesamaan pendapapat merupakan sesuatu yang diutamakan agar tidak terjadi perselisihan antar etnis, sehingga mereka dapat hidup berdampingan penuh kerukunan dan kedamaian.

  Dahulu hanya ada wilayah Kabupaten Pasaman saja, namun sekarang Pasaman sudah mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Pasaman Barat.

  Pemekaran tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2003. Setelah mengalami pemekaran tersebut luas Kabupaten Pasaman berkurang menjadi

  

  

  3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 kecamatan, 32 nagari dan 209 jorong diakses tanggal 13 April 2013, pukul 10.00 WIB) dengan Lubuksikaping sebagai ibukotanya. Salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Pasaman ini yaitu Kecamatan Duo Koto yang terdiri dari Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang tempat penelitian ini dilakukan.

  Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber

  

  

  pada tambo , dinyatakan daerah Minangkabau terdiri dari daerah darek dan 1 Nagari merupakan suatu replika dari republik mini dengan wilayah teritorial yang jelas.

  

Nagari merupakan suatu bentuk lembaga pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga

kesatuan sosial. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya manajemen suku adat sendiri yang

mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Dalam perkembangan otonomi daerah, istilah nagari digunakan untuk menggantikan istilah desa yang digunakan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.

  

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-

usul dan adat istiadat yang diakui dan merupakan bahagian yang integral dari pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2 Jorong merupakan suatu wilayah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa rumah, telah memiliki peraturan hidup bermasyarakat, akan tetapi belum didirikan rumah gadang. Jorong

merupakan perangkat dari pemerintahan nagari. Jorong dipimpin oleh seorang kepala jorong.

Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kampung atau dusun. 3 Tambo adalah suatu karya sastra sejarah yang berisi uraian mengenai asal-usul orang Minangkabau beserta hukum-hukum adatnya.

   rantau (Navis, 1984:53; Naim, 1984:61). Dalam tambo tersebut dijelaskan batas-

  batas wilayah kerajaan Minangkabau, yaitu: “dari Sikilang Aia Bangih hinggo Taratak Aia Hitam, Dari Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi ”.

  

Sikilang Aia Bangih adalah batas Utara, sekarang berada di Kabupaten Pasaman

  Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Taratak Aia

Hitam adalah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah Kabupaten Bungo, Jambi.

  Terakhir Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau. Pasaman merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan Minangkabau. Wilayah Pasaman seperti: Muaro Sungai Lolo, Tapus, Rao Mapat Tunggul, Kubu Nan Duo, Sinurut, Talu, Cubadak, Simpang Tonang, Paraman Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Aia Balam dan Sikilang Aia Bangih, merupakan perluasan dari Luhak Agam.

  Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan bahagian dari wilayah harajaon (kerajaan) mereka. Hal ini terkait juga dengan konsep merantau yang mereka miliki. Menurut Pelly (1994:11-12), misi migrasi etnis Mandailing didasarkan pada konsep perluasan daerah teritorial. Mereka menempati lahan baru dan menguasainya sebagai bagian dari Kerajaan Batak (Batak Harajaon). Kedekatan geografis merupakan salah satu alasan kenapa etnis 4 Darek atau luhak adalah daerah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat

  

Minangkabau. Daerah inti Minanagkabau ini terletak di dataran tinggi. Daerah ini terdiri dari

Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto, yang biasanya disebut dengan "Luhak Nan Tigo". Di daerah inilah mula-mula orang Minangkabau mendirikan koto, dusun, nagari sampai menjadi luhak 5 Rantau adalah daerah perluasan kerajaan Minangkabau sehingga budaya dan tradisi di daerah ini tidak persis sama dengan daerah pusat budaya Minangkabau. Artinya, masyarakat

  Minangkabau yang terdapat di wilayah ini juga dianggap orang rantau dari daerah darek yang menjadi pusat budaya Minangkabau.

  Mandailing memutuskan untuk bermigrasi ke daerah Pasaman. Selain itu, adat Minangkabau di daerah rantau tidak sekuat adat Minangkabau di daerah darek (luhak).

  Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa daerah Pasaman merupakan daerah rantau bersama bagi etnis Minangkabau dan Mandailing. Di daerah yang telah mendapat pengaruh dari dua kerajaan ini sering terjadi saling pinjam-meminjam kebudayaan, sehingga budaya dan tradisi yang terdapat di sana tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau dan juga tidak sepenuhnya seperti tradisi Mandailing di Tapanuli Selatan. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pasaman terlihat bahwa mereka lebih banyak mengacu pada adat- istiadat serta tradisi Minangkabau, akan tetapi juga terlihat ada pengaruh tradisi Mandailing. Salah satunya terlihat dari tata cara perkawinan yang tetap memakai tata cara Minangkabau (tradisi meminang, pakaian adat, serta tradisi mengikuti garis keturunan ibu), namun sebenarnya tradisi tersebut tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau.

  Pada masyarakat Simpang Tonang tradisi adat perkawinan ini disebut dengan istilah sumondo. Adat perkawinan sumondo ini merupakan suatu realitas sosial budaya yang lahir sebagai suatu bentuk kompromi dalam menjembatani perbedaan, serta mengatur perkawinan campuran di antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing.

  Perkawinan sumondo ini merupakan kebudayaan pasar yang berlaku di Simpang Tonang. Setiap anggota masyarakat yang hendak melakukan perkawinan secara otomatis akan menggunakan adat tersebut. Namun, sebahagian kecil masyarakat lainnya masih ada yang tetap mempertahankan adat manjujur yang dahulu dibawa oleh nenek moyang mereka dari Tapanuli Selatan. Adat manjujur ini seolah kehilangan eksistensinya dalam beberapa kurun waktu terakhir dikarenakan masyarakat sudah tidak paham akan adat tersebut di samping biayanya yang relative lebih mahal. Sebenarnya adat manjujur boleh saja dilakukan di daerah ini karena tidak ada yang melarangnya. Sistem manjujur biasanya berlaku mutlak bagi laki-laki setempat yang kawin dengan perempuan luar beretnis Mandailing yang memang menggunakan adat manjujur. Misalnya perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Ujung Gading, Panti, atau Tapanuli. Namun jika yang terjadi sebaliknya, laki-laki luar dengan adat manjujur kawin dengan perempuan setempat, maka bisa saja mereka menggunakan adat

  ranto yakni perpaduan keudanya atau hanya sebatas syara’ dan undang-undang

  yang berlaku. Hal di atas tidak berlaku mutlak karena di lapangan penulis menemukan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan adat apa yang akan digunakan dalam suatu pernikahan.

  Perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang merupakan hal yang lumrah terjadi. Faktor agama menjadi syarat utama terjadinya perkawinan tersebut. Dalam setiap segi- segi kehidupan mereka selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Etnis Mandailing

  

  mengistilahkannya dengan ombar do adat dohot ugamo , sementara etnis 6 Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya adat dan agama

  

seiring-sejalan. Munculnya ungkapan ini melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang,

dan di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan agama Islam.

Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan,

baik itu secara individu maupun secara bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang

kemudian juga membawa tatanan di berbagai aspek kehidupan, yang menuntut ketaatan pula dari

  Minangkabau mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi

  

khitabullah Sebagaimana yang dikatakan oleh Benda-Backmann (2000:4),

  bahwa kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau telah diwarnai oleh pluralisme hukum semenjak Islam masuk di daerah pada abad ke-16 dan kemudian digabungkannya Minangkabau dalam Negara Klonial Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Orang Minangkabau termasuk etnis pertama yang diislamkan di Indonesia telah menyerap konsep-konsep hukum Islam, seperti hibah, wasiat dan wakaf dalam aturan hukum adatnya. Sebagian hukum Islam juga telah menggantikan atau telah ditambahkan pada adat, misalnya hukum perkawinan dan perceraian yang akhirnya digantikan oleh UU Perkawinan tahun 1974. Penerapan hukum Islam dalam proses perkawinan di Nagari Simpang Tonang terlihat dari proses akad nikah (ijab qabul), meskipun penerapannya diwarnai dengan adat masyarakat setempat.

  Pada masyarakat Simpang Tonang berlaku beberapa hukum perkawinan. Selain hukum adat sumondo, manjujur, dan adat ranto juga terdapat hukum negara sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan hukum agama Islam, dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi

  para pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam

masyarakat Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat- istiadat dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing. 7 ABS-SBK artinya hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Al-

quran. Segala perbuatan atau pekerjaan hendaknya selalu mengingat aturan adat dan agama, jangan hendaknya bertentangan antara satu dengan yang lainnya.Dengan kata lain ABS-SBK

artinya adalah aturan-aturan adat Minangkabau takluk kepada syariat-syariat islam yang dibawa

oleh nabi Muhammad SAW. ABS-SBK dideklarasikan di Bukit Marapalam tahun 1833 oleh

empat komponen masyarakat Minangkabau, yaitu golongan adat diwakili oleh kerabat Kerajaan

Pagaruyung, golongan cendikiawan diwakili oleh politisi Padri, golongan pawik paga di wakili oleh anglima anak buah Harimau Nan Salapan, dan dari golongan agama diwakili oleh ulama- ulama Islam seantero Ranah Minang. kemajemukan hukum di daerah perbatasan ini merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti mengenai proses pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di

  

Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,

Provinsi Sumatera Barat.

  Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas Pasaman merupakan suatu wilayah perbatasan yang terletak di antara daerah dengan kebudayaan Mandailing dan Minangkabau. Menurut Arios (2003), masyarakat perbatasan dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih jauh, persinggungan budaya ini dapat mengakibatkan terjadinya budaya baru sebagai hasil pembauran unsur-unsur kebudayaan masing-masing. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1981:149) menyebutkan bahwa di dalam interaksi sosial manusia yang berbeda latar belakang kebudayaannya, maka dapat terjadi suatu pembauran di dalamnya yang disebut dengan asimilasi. Proses sosial tersebut timbul bila ada: 1). Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, 2). Mereka saling bergaul langsung secara intensif dalam jangka waktu yang lama, 3). Kebudayaan tersebut masing-masing berubah saling menyesuaikan diri.

  Kebudayaan masyarakat di Pasaman sangatlah unik, ia tidak seperti kebudayaan Minangkabau dan Mandailing pada umumnya, akan tetapi merupakan perpaduan dari dua kebudayaan tersebut. Misalnya saja penggunaan adat sumondo dalam sistem perkawinan, meskipun dalam keseharian mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Mandailing. Menurut Astuti dan Widiyanto (1998/1999:4), budaya masyarakat perbatasan diartikan sebagai budaya masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan budaya. Oleh karena itu, daerah ini merupakan pertemuan paling sedikit dua budaya atau lebih. Dengan adanya dua kebudayaan atau lebih yang tinggal di daerah tersebut berarti mereka mempunyai suatu kebudayaan umum lokal atau budaya pasar sebagai acuan guna berinteraksi atau menjalin hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan di lingkungan daerah tersebut.

  Kewujudan budaya di Pasaman tersebut tidak terlepas dari sejarah interaksi yang panjang antara kedua etnis tersebut di masa silam. Menurut Arios (2003), ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi dua kebudayaan yang berbeda, yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan menerima unsur-unsur kebudayaan. Jika yang terjadi adalah saling mempertahankan etnisitasnya, ada kemungkinan akan terjadinya konfik sosial.

  Sedangkan jika yang terjadi adalah saling memberi dan menerima unsur-unsur kebudayaan, maka akan melahirkan suatu variasi kebudayaan baru atau bahkan menciptakan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang berinteraksi.

  Pada awalnya masyarakat Simpang Tonang menegaskan diri mereka sebagai etnis Minangkabau. Walaupun nenek moyang mereka berasal dari Tapanuli Selatan di bawah pipimpinan Rajo Sontang, mereka tetap mengikuti adat-istiadat Minangkabau yang berlaku di daerah setempat, hanya bahasa mereka saja yang masih bertahan. Akan tetapi, belakangan ini beberapa dari mereka kembali menegaskan diri sebagai etnis Mandailing dengan menggunakan marga di belakang namanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan etnis tersebut. Terkadang rasa keetnisitasan bisa mengembang atau mengempis. Bahkan terkadang perbedaan antar etnis sengaja diciptakan demi mendapatkan suatu keuntungan. Menurut Barth (1988), tidak ada masyarakat yang benar-benar berasimilasi, batas- batas etnik ini tetap ada walaupun terjadi proses penetrasi dan pengaburan batas kebudayaan di antara kedua kelompok etnis yang berbeda. Ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan budaya dapat terus ada walaupun kontak-kontak sosial antarkelompok etnik dan saling ketergantungan di antara mereka terjadi.

  Walaupun terjadi perubahan identitas etnis Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang, akan tetapi hukum yang berlaku di nagari tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Masyarakat asli yang sudah hidup beberapa generasi di daerah ini lebih memilih untuk menggunakan adat Minangkabau daripada adat Mandailing. Mengikuti pendapat Brunner (Astuti, 1998), kondisi hubungan sosial (majemuk) setempat dapat berwujud kekuatan-kekuatan sosial yang dapat menjadi dominan atau tidak dominan dan dapat mempengaruhi wujud dari corak hubungan sosial di antara suku-suku bangsa yang berbeda identitas serta berdiam bersama di tempat tersebut.

  Masyarakat Kanagarian Simpang Tonang merupakan salah satu contoh pertemuan dua kebudayaan yang berbeda namun tidak menimbulkan konflik. Perbedaan latar belakang kebudayaan antara etnis Mandailing dan Minangkabau diminimalisir dengan melakukan musyawarah yang melahirkan suatu kesepakatan bersama. Salah satu bentuk sederhana dari proses pembauran tersebut adalah perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan etnis Mandiling yang melahirkan sistem perkawinan sumondo. Menurut Hadikusuma (2007:15), perkawinan campuran menurut hukum adat ialah perkawinan antara adat yaitu perkawinan antara suami dan isteri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah asal/ suku bangsanya berlainan.

  Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan manusia. Di dalam tatacara dan ritual pernikahan terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan unsur kebudayaan yang mengatur serta mengukuhkan suatu hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan jenis. Perkawinan bukan hanya menyatukan dua insan manusia, akan tetapi menyatukan dua keluarga besar yang berbeda. Perkawinan selalu melibatkan pihak lain, terutama karib-kerabat di setiap tahapaannya, mulai dari pencarian pasangan, persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai ke akibat perkawinan.

  Menurut Koentjaraningrat (1967:84-85), perkawinan merupakan salah satu tahap yang terpenting dalam siklus kehidupan manusia (stage a long the life-

  

cycle) . Perkawinan merupakan masa peralihan dari tingkat hidup remaja ke

  tingkat hidup berkeluarga. Seseorang yang telah kawin biasanya akan dianggap 8 Stage along the life cycle yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi, masa

  

penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa tua, dan sebagainya. memiliki status sosial yang lebih di tengah masyarakat. Perkawinan tidak hanya berfungsi sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan seksnya saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai pemberi kejelasan akan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil persetubuhan (anak-anak); memenuhi kebutuhan akan teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta; akan gengsi dan naik kelas dalam masyarakat; dan perkawinan juga berfungsi untuk memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu.

  Berbicara mengenai perkawinan di Indonesia, sebenarnya telah diatur di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

  

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Suatu perkawinan dianggap sah di mata hukum negara Republik Indonesia

  apabila perkawinan tersebut telah memenuhi aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang dan telah mendapat pengesahan di mata agama atau kepercayaan masing-masing. Selain itu, perkawinan tersebut harus dicatatatkan di Lembaga Urusan Perkawinan agar memiliki legalitas hukum.

  Selain hukum perkawinan negara di atas, perkawinan di Nagari Simpang Tonang diatur oleh hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto) serta hukum Islam. Perkawinan menurut hukum adat bukan saja sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan

  

kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan

  semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat keagamaan (Hadikusuma, 2007:8).

  Adat pernikahan yang terdapat di Indonesia sangat beranekaragam jenisnya. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok masyarakat. Keberanekargamaan adat pernikahan ini sangat unik dan mempunyai ciri khasnya masing-masing. Hukum perkawinan ini sangat erat hubungannya dengan sifat susunan kekeluargaan. Menurut Hadikusuma (2007:9), setidaknya ada tiga jenis perkawinan bila dilihat dari sifat susunan kekeluargaan, yaitu: a.

Perkawinan jujur pada tertib keluarga patrilineal

  Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Lebih lanjut Yaswirman (2011:130), mengatakan pada tertib masyarakat patrilineal atau tertib sanak bertali satu seperti Tapanuli, perkawinan juga menjadi urusan keluarga, keturunan dan klan. Anak ikut marga ayah kandungnya. Sedangkan isteri kendati tetap memakai marga ayahnya, tetapi ia masuk ke dalam kerabat suami, diikuti pula oleh anak-anaknya.

  Perkawinan ini diawali dengan penyerahan sejumlah jujuran atau belis kepada pihak wanita. Ada banyak istilah jujur atau belis di Indonesia, namun semuanya mengandung arti beli. Misalnya: beuli niha di Nias, tuhor/boli/sinamot di Batak, onjog di Gayo, weli di Ambon, patuku di Bali, dan lain sebagainya.

  Menurut Ngani (2012:38), tujuan dari pemberian maskawin (jujur) tersebut ialah melepaskan gadis dari golongan sanak patrilinealnya dan memasukkannya ke dalam golongan sanak dari famili suami.

  Koentjaraningrat (1967:94-97) mengistilahkannya dengan bride-price, yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum kerabat si gadis. merupakan salah satu syarat perkawinan Maknanya adalah sebagai pengganti kerugian karna anak gadis tersebut dianggap memiliki potensi tenaga dalam keluarga tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa besar kecilnya

  

bride-price itu berbeda-beda, bahkan terkadang harus ditetapkan melalui

  perundingan antara kedua pihak yang bersangkutan. Pada etnis tertentu bisa saja yang dijadikan sebagai bride-price adalah benda yang bertuah seperti genderang perungggu atau moko di Timor, uang setalen (25 sen) di Jawa. Menurut Rato (2011:22), belis berbeda dengan mas kawin sebagaimana diajarkan dalam fiqih Islam. Belis berkenaan dengan kewajiban seorang suami terhadap keluarga isteri, sedangkan mas kawin berkenaan dengan keabsahan perkawinan.

  Bagi etnis Rejang ketidakmampuan pihak laki-laki membayar uang jujur atau hadiah-hadiah tertentu kepada keluarga calon isterinya akan mempengaruhi garis keturunan anak-anak mereka kelak. Anak-anak dari perkawinan tersebut tidak berhak menarik garis keturunan bapaknya, anak-anak tersebut termasuk garis keturunan kakek dari ibu mereka (Ihromi, 2000:20). Namun pada etnis lainnya terdapat beberapa jalan keluar yang ditawarkan apabila seorang laki-laki tidak sanggup memberikan jujuran/belis, baik sebagian maupun seluruhnya/tuntas, yakni:

  1. Kawin lari Menurut Yaswirman (2011:130), perkawinan ini adalah perkawinan yang mana seorang laki-laki melarikan seorang gadis atau melarikan diri berdua sebagai pendahuluan perkawinan. Ini bisa dilakukan apabila calon suami tidak mampu menyediakan uang jujuran. Tapi akhirnya juga sama, karena uang itu harus dibayarkan oleh suami setelah ia mempunyai kelapangan.

  2. Kawin mengabdi Dalam perkawinan ini suami bekerja untuk keluarga calon isteri, seolah- olah tidak dibeli dengan uang tetapi dengan tenaga. Di Bali dikenal dengan

  santana dan di Lampung dikenal dengan ambil anak.

  b.

Perkawinan sumenda pada tertib keluarga matrilineal

  Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman isteri. Pada perkawinan ini tidak ada istilah belis, yang ada hanyalah pembayaran-pembayaran lain seperti: pembayaran kepada orang tua gadis berupa ongkos-ongkos peralatan perkawinan (antaran, tukon). Ada pula uang panjemput yang diberikan kepada laki-laki yang dijadikan menantu (Ngani, 2012:39)

  Salah satu contoh dari perkawinan ini adalah sistem perkawinan yang berlaku di Minangkabau. Pada perkawinan ini tidak ada pembayaran jujur.

  Seorang yang telah berumah tangga tetap menjadi kerabat asalnya. Suami di rumah isteri disebut dengan urang sumando (semenda) dan tidak masuk ke dalam kerabat anak-anaknya. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh keluarga perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah isteri (alek

  malapeh marapulai ) (Yaswirman, 2011:134) c.

  Perkawinan bebas pada tertib keluarga parental Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan suami isteri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka. Mengikuti pendapat Prodjodikoro (Yaswirman, 2011:131), tertib hukum bilateral paling merata di Indonesia, yaitu semua etnis Jawa (mencar

  

atau mentas ), Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,

  Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Pada tertib hukum ini tidak ada perbedaan antara suami dan isteri, baik dalam rumah tangga maupun dalam keluarga masing-masing. Suami menjadi anggota keluarga isteri dan isteri juga demikian. Status kerabat anak laki-laki dengan anak perempuan juga sama.

  Setelah dewasa, mereka diberi kebebasan untuk ikut ayah atau ibu. Pemberian sesuatu oleh suami untuk isteri ketika melangsungkan perkawinan bukan berarti untuk pembelian isteri, melainkan sekedar pembelian kebutuhan rumah tangga atau semata-mata hibah dari suami terhadap isteri.

  Di samping sifat susunan kekeluargaan seperti: genealogi patrilineal (garis bapak), genealogi matrilineal (garis ibu), genealogi parental (garis bapak dan ibu), keberagamanan hukum adat juga ditentutakan oleh genealogi teritorial (wilayah). Hal tersebut berpengaruh dalam penentuan adat menetap setelah kawin.

  Setidaknya ada tujuh kemungkinan adat menetap setelah kawin menurut Koentjaraningrat (1967:97-99), yakni: a.

  Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami ataupun di sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri; b. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami; c.

  Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri; d.

  Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal berganti-ganti, pada satu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat si suami, pada lain masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri; e. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kaum kerabat si suami ataupun kaum kerabat si isteri; f. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari si suami; g.

Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah, si suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan si isteri di sekitar

  pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri juga.

  Selain sistem kekerabatan dan adat menetap setelah kawin, yang sangat berpengaruh dalam bentuk perkawinan adalah sifat pemilihan jodoh. Dalam masyarakat sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung pada kehendak dari mereka yang menikah saja. Soal perkawinan ditentukan oleh sekurang-kurangnya dalam dan oleh anggota keluarga; di samping itu setiap anggota keluarga terikat pada ketentuan-ketentuan kawin yang diharuskan dan dihalalkan golongannya secara khusus melalui sebuah norma hukum adat (Rato, 2011:14). Mengikuti pendapat Wignjodipoe (Yaswirman, 2011:132-133), ada tiga sistem perkawinan yang terdapat di Indonesia, yaitu: a.

  Sistem endogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan pemukiman. Sistem ini hanya ditemukan di Tanah Toraja. Sistem ini bersifat relatif karena perlu ditambahkan dengan endogami apa, misalnya endogami ras, endogami

  

agama , endogami pelapisan masyarakat, atau endogami desa (Rato, 2011:14;

Ngani, 2012:36-37).

  b.

  Sistem eksogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial atau lingkungan sosial, seperti di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Boru, Seram, dan lain-lain. Sistem ini juga bersifat relatif dan juga perlu dijelaskan

  

eksogami apa, misalnya eksogami desa, eksogami klan, eksogami marga, dan

  sebagainya. (Rato, 2011:14; Ngani, 2012:36-37) c.

Sistem eleutherogami, yang tidak menganal larangan-larangan seperti dua sistem di atas. Larangan terjadi jika ada ikatan keluarga senasab dan hubungan

  keluarga (mushaharah) seperti yang terdapat dalam Islam. Sistem hukum ini terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian, Timor, Bali, Lombok, seluruh Jawa dan Madura.

  Dari jenis-jenis sistem perkawinan yang telah diuraikan di atas, maka sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat Kanagarian Simpang Tonang adalah sistem perkawinan sumenda dengan sifat eksogami dan adat menetap

  

matrilokal . Akan tetapi di sini adat sumondo tidak sepenuhnya sama dengan adat

  perkawinan Minangkabau. Pada adat sumondo pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki. Di samping itu, sifat perkawinan eksogami marga bukanlah menjadi sesuatu yang dianggap penting lagi. Perkawinan semarga, Lubis dengan Lubis atau Nasution dengan Nasution, kerap terjadi di sini. Perkawinan eksogami

  

daerah pun kerap terjadi di daerah ini. Mengenai adat menetap setelah

  perkawinan pun tidak hanya matrilokal, adakalanya bersifat neolokal dimana mereka tinggal jauh dari kediaman kerabat isteri maupun suami di perantauan karena alasan mencari nafkah, dan lain sebagainya.

  Mengikuti pendapat Van den Berg (Yaswirman, 2011:63-72), hukum adat adalah hukum agama, dimana suatu masyarakat menerima hukum tersebut secara utuh (reception in complexu). Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Mereka menerima hukum tersebut secara utuh. Berdasarkan teori tersebut, maka hukum adat yang berlaku dalam perkawinan pada masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang adalah hukum Islam, sehingga perkawinan pun harus berdasarkan hukum Islam.

  Menurut Islam, perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan qabul (diterima) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Tidak sah nikah kecuali dengan dua wali atau yang adil” (Hadikusuma, 2007:10-11). Perintah kawin di dalam Islam terdapat di dalam kitab suci Al- Qur’an, Allah berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

  

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir ”(Q.S. Ar-Ruum:21). Lebih lanjut, ketika hendak

  melakukan suatu perkawinan, maka pihak laki-laki wajib memberikan maskawin kepada wanita yang dinikahinya. Akan tetapi tidak ada ketentuan berapa besarnya maskawin tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT: “Berikanlah mahar (mas

  

kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh

kerelaan ” (Q.S.An Nisaa:4).

  Tatacara dan adab pernikahan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an saja, akan tetapi juga diatur oleh sunnah atau hadist Nabi Muhammad SAW.

  Adapun rukun pernikahan tersebut yaitu: a.

  Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita b. Ada maskawin/ mahar c. Ada wali pengantin perempuan d. Ada dua orang saksi pria dewasa e.

Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

  Dalam prakteknya hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang tidaklah sepenuhnya diterapkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Van den Berg di atas. Pertentangan antara hukum Islam dan adat terutama dalam hal kekerabatan. Masyarakat Simpang Tonang menganut sistem matrilineal, dimana setelah perkawinan suami tinggal bersama di rumah keluarga isteri. Sementara menurut hukum Islam garis keturunan diambil dari ayah (patrilineal) dan isteri tinggal di rumah yang telah disediakan oleh isteri.

  Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa hukum perkawinan bukan hanya diatur oleh hukum negara semata. Di samping hukum negara, perkawinan juga diatur oleh hukum-hukum lainnya seperti hukum adat dan agama. Situasi seperti ini dalam antropologi dikenal dengan istilah “pluralisme

  

hukum ”. Pluralisme hukum merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih

  hukum, saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, dan berlaku di suatu kelompok masyarakat.

  Menurut Griffith (Irianto dalam Ihromi, 1993), pluralisme hukum adalah suatu situasi dimana terdapat lebih dari satu tatanan hukum yang berlaku dalam suatu arena sosial (masyarakat). Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang terdiri hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang dipandang sebagai hukum. Hukum-hukum itu dapat dijadikan sebagai pegangan dalam menghadapi berbagai masalah yang terjadi di dalam masyarakat tersebut.

  Hal ini sejalan dengan pendapat Sally Eagle Merry yang mengatakan bahwa pluralisme hukum “... is generally defined as a situation in which two or

  more legal systems coexist in the same social field” (... secara umum didefinisikan

  sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan dalam bidang sosial yang sama) (Irianto dalam Masinambow, 2000:66). Lebih lanjut Sally F. Moore menyebutkan bahwa dalam suatu lapangan tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan umum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada di sekitarnya (Semi Otonomus Social Field) (Irianto dalam Ihromi, 1993).

  Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.

  Dalam pandangan pluralisme hukum tidak ada istilah sentralisme hukum (legal centralism) yang menganggap hukum negara merupakan satu-satunya hukum yang berlaku di suatu negara. Menurut Griffiths: “Legal pluralism is the

  

fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is

the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be

predicted of a social group.” (Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum

  adalah mitos, ideal, klaim, ilusi. Pluralisme hukum adalah nama dari keadaan sosial urusan dan itu adalah karakteristik yang dapat diprediksi dari kelompok sosial) (Irianto dalam Masinambow, 2000:79). Setiap orang mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap suatu aturan hukum. Hal ini terjadi karena adanya dasar pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Hal itu dapat dilihat ketika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan pranata hukum, ia akan memilih suatu pranata hukum tertentu atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum demi pemenuhan kepentingannya. Benda- Backman (2000:64-66) mengistilahkannya dengan forum shopping, dimana orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketa/masalah hukum lainnya dapat memilih berbagai lembaga hukum untuk menyelesaikan kasusnya atas dasar orientasi kepentingan.

  Sistem hukum yang berbeda-beda ini terjadi karena beragamnya latar belakang kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam antropologi, hukum merupakan bagian dari kebudayaan. Secara umum hukum dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertindak (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) di dalam suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam situasi sosial. Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum (Ihromi, 2000:4).

  Oleh karena itulah suatu perkawinan tidak hanya disahkan berdasarkan pada satu pilihan hukum saja (hukum negara melalui undang-undang), akan tetapi suatu perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan hukum yang menurut masyarakat itu sangat mempengaruhi dalam kehidupan seharinya, misalnya saja hukum agama dan hukum adat. Perkawinan tersebut juga dilaksanakan dalam sejumlah rangkaian upacara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakatnya.

  Prinsip dan aturan perkawinan yang dijalankan pada masyarakat Simpang Tonang, selain menerapkan hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto), hukum Islam (akad nikah) serta hukum nasional (pencatatan sipil), dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi kemajemukan ini mencerminkan bahwa studi mengenai masyarakat perbatasan, terkait dengan pemberlakuan aturan hukum yang ada menarik untuk dikaji, di samping juga adanya faktor kompleksitas dalam budaya masyarakatnya itu sendiri. Meskipun hukum negara yang dianggap legal mulai menggeser keberadaanya, namun dalam kehidupan sehari-hari hukum adat dan agama masih digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa lingkup hukum adat dan agama tidak hanya terbatas pada penyelesaian sengketa saja, perkawinan juga merupakan salah satu aktifitas yang bisa diamati dalam melihat keberagaman hukum.

  Kajian mengenai perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan Mandailing di tanah perbatasan Pasaman sebenarnya bukanlah hal yang baru.

  Sebelumnya sudah pernah dikaji oleh orang lain, baik dari background antropologi maupun hukum. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao dan penelitian Edishan tahun 1994 di Kecamatan Talamau.

  Dari hasil penelitian Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao, ditemukan bahwa tidak ada larangan perkawinan campur antara etnis Minangkabau dengan Mandailing. Dalam perkawinan campuran, masalah yang muncul lebih banyak dirasakan oleh anak atau keturunan buah dari hasil perkawinan tersebut. Anak sering tidak mendapatkan status sosial dan hak waris sebagai keturunan orang tuanya. Pada masyarakat Jorong Pasar Rao Pasaman terjadi suatu fenomena saling mempertahankan ketentuan atau norma-norma adat masing-masing, terutama sekali yang menyangkut dengan penentuan status anak dan menyangkut harta warisan. Menurut adat Minangkabau anak seorang laki-laki Minangkabau yang kawin dengan seorang perempuan Batak, maka ia tidak memiliki hak atas kaumnya karena si anak tidak mempunyai suku (kaum) yang jelas. Akan tetapi, biasanya si anak akan diberikan pinjaman seumur hidup berupa oleh pihak keluarga ayahnya dan warisan yang didapat hanya dari harta pencaharian orang tua.

  Menurut hasil penelitian Edishan tahun 1994, pelaksanaan hukum adat Mandailing di Kecamatan Talamau telah disesuaikan dengan adat Minangkabau, misalnya pengambilan suku untuk anak bisa berasal dari pihak ibu ataupun pihak bapak, warisan diberikan kepada anak dan kemenakan, serta pemegang kedudukan kerajaan (penguasa rumah) dalam keluarga Mandailing, boleh ditempati oleh anak maupun kemenakan.

  Dari kedua hasil studi tersebut, hanya dibahas mengenai pelaksanaan hukum waris dan kedudukan anak saja, tidak ada pembahasan rinci mengenai bagaimana proses pemilihan adat pada perkawinan campur tersebut. Menurut hemat penulis, proses pemilihan adat perkawinan (sumondo, manjujur, dan adat

  

ranto ) di tanah perbatasan Pasaman merupakan suatu topik yang menarik untuk

  dikaji dari perspektif pluralisme hukum. Dari sinilah tonggak awal lahirnya adat apa yang cenderung digunakan oleh suatu keluarga, baik mengenai masalah kedudukan suami-isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam perkawinan. Pada proses pemilihan adat ini juga terdapat aktor-aktor yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Di samping itu dalam perkawinan campuran pluralisme hukum seringkali bertumpah tindih dalam hal pengambilan keputusannya.

  Mempelajari proses pemilihan adat pada kasus perkawinan campuran dari perspektif pluralisme hukum bukanlah sesuatu hal yang kaku dan ketinggalan zaman. Hal ini terjadi apabila proses pemilihan adat tesebut dikaitkan dengan “hukum yang bergerak” dalam ranah globalisasi. Menurut Irianto (2009:29-40), peneliti tidak dapat lagi membuat pemetaan terhadap keanekaragaman hukum dalam lapangan kajian tertentu (maping of legal universe), menarik garis batas tegas untuk membedakan suatu entitas hukum tertentu dari yang lain. Berbagai sistem hukum yang berasal dari tataran yang berbeda-beda akan saling bersentuhan, berkontestasi, saling memproduksi dan mengadopsi satu sama lain secara luas. Untuk itu maka perlu dilihat para aktor yang menyebabkan hukum tersebut bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum. Kanagarian Duo Koto bukanlah sebuah maping of legal universe. Ia hanya suatu wilayah perbatasan dimana sering terjadinya migrasi dan perkawinan campuran antara dua wilayah yang memiliki dua kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya suatu hukum baru sebagai akibat dari pembauran berbagai hukum yang ada (nasional, adat agama, dan lain sebagainya). Hukum tersebut tidak hanya berlaku di Kanagarian Duo Koto, akan tetapi ia terus dibawa di dalam konsep berfikir (mind) masyarakatnya. Apabila keadaan memungkinkan, maka mereka akan menerapkan hukum tersebut di lingkungan yang baru. Jika tidak memungkinkan, maka akan lahir varian hukum baru sebagai akibat dari persentuhan dengan hukum lainnya.

  Pluralisme hukum tidak hanya dikaitkan dengan ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu arena tertentu. Batasnya semakin kabur karena banyak adopsi, adaptasi, saling pengaruh di antara sistem hukum yang saling bertemu. Hal ini menyebabkan hukum berubah dinamis mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Salah satu penyebabnya adalah adanya migrasi dan perkawinan campuran (Irianto, 2009)

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di

  

Kanagarian Simpang Tonang Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat?

Dokumen yang terkait

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

4 140 190

Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige)

10 115 91

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Perkawinan Semerga (Studi Etnografi Mengenai Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang)

3 72 153

Mahar dan PAENRE' Dalam Adat Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Bulukumba Sulawesi Selatan)

0 28 129

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Filsafat Hukum Il Hukum Kajian PK Pidana

0 0 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pemikiran Hukum Ulama Banjar terhadap Perkawinan Islam di Kalimantan Selatan - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 33

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat

0 1 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial

0 0 20

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39