Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

(1)

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan

(Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto

Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam Bidang Antropologi

Oleh:

RAZAKIKO HARKANI

090905026

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Razakiko Harkani

Nim : 090905026

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,

Drs. Ermanyah, M.Hum.

NIP. 19660304 199203 1 002 NIP. 19621220 198903 1 005 Dr. Fikarwin Zuska

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

NIP. 19680525 199203 1 002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh : Nama : Razakiko Harkani NIM : 090905026

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

Pada ujian komprehensif yang dilaksanakan :

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat : Tim Penguji

1. Ketua Penguji Drs. Ermansyah, M.Hum. ( ) NIP. 19660304 199203 1 002

2. Anggota I ( )

NIP.

3. Anggota II ( ) NIP.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di

Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2014


(5)

ABSTRAK

Razakiko Harkani, 2014, judul skripsi: Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat). Skripsi ini terdiri dari: 5 bab, 162 halaman, 5 daftar tabel dan 10 daftar gambar.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang pertama dari proses migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lumrah terjadi, meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya. Perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang juga menyebabkan lahirnya suatu tatanan adat yang sangat unik. Adat tersebut terus mengalami modifikasi sebagai akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang terus berkembang.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Nagari Simpang Tonang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif sebagai bagian dari kajian etnografis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan kategorisasi dan evaluasi data.

Dari hasil penelitian lapangan dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Simpang Tonang terdapat berbagai variasi adat perkawinan yang dapat menjadi pilihan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, diantaranya seperti: secara adat Minangkabau memakai sistem perkawinan sumondo, secara adat Mandailing memakai sistem perkawinan manjujur, dan adat ranto yakni perpaduan keduanya atau bahkan tidak menggunakan kedua adat tersebut hanya berdasarkan agama Islam dan undang-undang yang berlaku. Proses pemilihan adat perkawinan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: kedudukan anak dalam keluarga, status sosial, ekonomi, kepraktisan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, stereotype, agama Islam, dan kadar keetnisitasan suatu mempelai. Perbedaan adat perkawinan tersebut tidak menimbulkan konflik karena terlebih dahulu dimusyawarahkan antara keluarga kedua belah pihak beserta tetua adat setempat

Kata-kata Kunci: Masyarakat Perbatasan, Manjujur, Sumondo, Adat Ranto, Perkawinan Campuran, Pluralisme Hukum.


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat). Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai Sarjana S1 jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Tanpa bantuan dan bimbingan tersebut, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada segenap pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yakni:

Kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang telah banyak berbagi pengetahuan dan motivasi kepada penulis untuk mendalami Ilmu Antropologi mulai dari awal perkulihan hingga penulisan skripsi ini. Kepada Bapak Agustrisno, MSP., selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasiselama perkuliahan.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing


(7)

Skripsi. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi ini. Bapak adalah mentor di balik semua ini. Bapak telah meluangkan waktu dan tenaga, memberikan ilmu, arahan, motivasi, perhatian, memberikan kritikan, serta masukan-masukan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal skripsi sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya kepada bang Nurman Achmad, S.Sos. M.Soc.Sc., selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan perhatian berupa yang selalu memberikan arahan, saran, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali penulis dengan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi penulis selama proses belajar ini berlangsung. Demikian juga kepada Kak Nurhayati dan Kak Sofiana selaku staf administrasi Departemen Antropologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam mengurus kelancaran administrasi selama perkuliahan.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan kerabat mahasiswa Antropologi FISIP USU. Tulisan ini penulis persembahkan khususnya kepada kerabat-kerabat seangkatan stambuk 2009

antro connection 09”. Sanak Tety Yunita Gultom dan sahabat rahasia iniasiasi

Rahmah Ariasty, S.Sos., yang telah menjadi kawan dekat pertama mulai dari awal perkuliahan dan penulis harap persahabatan ini tidak akan putus sampai kapan pun; cekgu Elisa Novarita Kahar, S.Sos. dan boru tulang Nelpi Gusliana Nst, yang


(8)

telah memberi pertolongan pemadam kelaparan dan setia menemani penulis ketika diopname di klinik; bundo Halimatussakdiah, yang telah memperkenalkan indahnya Kuala Lumpur dengan motto lets rock the world; mbak mimin Theresha Meilani, S.Sos. dan agent Creysant Lasty, yang telah berbagi project sehingga menambah pengalaman penulis; Abdul Rahman Matondang, yang telah setia menjadi kawan bimbingan awak; dan seterusnya kepada kerabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Begitu banyak kenangan yang telah kita lewati bersama. Kenangan yang tak mungkin terlupakan begitu saja. Kalian telah membuatku kuat, sedih dan tertawa bersama, belajar bertukar pendapat, mewarnai hari-hariku dan memperkenalkan indahnya Kota Medan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada junior kami, yakni: kerabat Rini Rezeki Utami (stambuk 2011), atas senyuman sinisnya yang membuat abang rela jadi fans

rinieyours; Ruth Oktodora br Ginting (stambuk 2012), yang telah mengajari

kesetiaan meski berbeda keyakinan; Siti Wulandari (stambuk 2013) , yang telah mengajari penulis rasa sabar untuk tetap setia menunggu di setiap ketidakpastian; Siti Khairani Nasution (stambuk 2013), keta langa mangan ice cream mulak dek; Mia Anggraini Zega (stambuk 2013), atas cerita luar biasanya tentang Nias yang membuat fantasi ini semakin liar dan ingin segera berkunjung ke sana. Seterusnya buat adek kerabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Terkhusus juga diucapkan terima kasih kepada keluarga besar penulis. Ayahanda Drs. Durmansyah Hasan dan Ibunda Rofdalia, S.Pd.Bio., yang telah membuktikan rasa kasih sayangnya kepada penulis melalui curahan perhatian, dukungan, motivasi dan ajaran moralnya. Kalian berdua adalah sosok yang luar


(9)

biasa, menginspirasi dan menjadi panutan bagi kami anak-anakmu. Kepada Kakanda (iboto siangkangan) Radhikalia Ferdana, S.E., yang selalu mencoba untuk membuka mata hati penulis agar segera menyelesaikan perkuliahan ini karena keyakinan besarnya akan adanya sesuatu hal yang lebih menarik di luar sana yang telah menanti. Kepada adinda Tryoandha Mashunri, Priyanugraha Wijayanta, dan iboto siampudan kami Dehafebria Filiansi yang telah menghibur hati dan berbagi berbagai cerita kepada penulis. Seterusnya keluarga besar yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral.

Kepada masyarakat Nagari Simpang Tonang yang telah membuat penulis merasa nyaman dan menjadi bagian dari kalian. Seterusnya kepeda semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu. Semoga budi baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Menyadari akan keterbatasan yang penulis miliki, maka skripsi atau hasil penelitian lapangan ini masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, April 2014 Penulis


(10)

Riwayat Hidup

Razakiko Harkani lahir pada tanggal 21 April 1991 di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Anak kedua dari 5 (lima) bersaudara dari pasangan Drs. Durmansyah Hasan dan Rofdalia, S.Pd.Bio. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 14 Tanjung Alam pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Ampek Angkek pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bukittinggi tahun 2009. Kemudian pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan spesifikasi ilmu Antropologi Sosial. Prestasi yang diperoleh selama masa perkuliahan yaitu memperoleh beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun ajaran 2011/2012 dan Indeks Prestasi 4,00 pada semeseter genap tahun ajaran 2010/2011.

Adapun pengalaman berorganisasi penulis selama masa perkuliahan diantaranya: sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (IMIB) USU, yakni sebuah organiasi kemahasiswaan kedaerahaan (primordial) dengan anggotanya yang memiliki darah Minangkabau pada tahun 2009 sampai sekarang, sebagai anggota Bidang Pendidikan INSAN (Ikatan Dongan Sabutuha Antropologi) FISIP


(11)

USU pada tahun 2012 sampai sekarang, sebagai Koordinator Sie Acara Panitia Inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU 2011, dan Panitia Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB) FISIP USU 2013.

Adapun seminar/ pelatihan yang pernah penulis ikuti selama masa perkuliahan diantaranya: Seminar Nasional “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik Crossing Boundaries” yang diadakan oleh The Interseksi Foundation pada tahun 2010; Seminar Pemuda 2011 yang diselenggarakan oleh Generasi Muda Nias; Seminar “Ini Medan Demokrasi Bung” yang diselenggarakan oleh FES, KKSP, dan FISIP USU pada tahun 2011; Seminar dan Diskusi Publik “Kota-Kota di Sumatera: Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi” pada tahun 2011; Training of Fasilitator (TOF) Pengembangan Masyarakat Angkatan-1 Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2012; dan Seminar Motivasi “Take Action Get Power” oleh Irwan Waseful Berutu yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tanggal 10 Maret 2014.

Adapun pengalaman research dan kerja lapangan penulis diantaranya:

Ethnograpy Research Pekerja Seks Komersial Bandar Baru, Sumatera Utara yang

diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2010; Ethnograpy Research Upacara Pangguni Uthiram Etnis Tamil Di Kota Lubuk Paka, Deli Serdang, Sumatera Utara yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2011; Ethnograpy

Research mengenai Kehidupan Imigran Bali di Kampung Bali, Langkat, Sumatera


(12)

pada tahun 2011; sebagai interviewer Survey Nasional Evaluasi Mengenai Sosialisasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana BKKBN yang diselenggarakan oleh PT Cipta Karsa Indonesia di Padang Bolak, Sumatera Utara akhir tahun 2012 dan di Kelurahan Laing, Kota Solok, Propinsi Sumatera Barat tahun 2013; sebagai interviewer Survey Nasional Opini Publik tentang Kesadaran Masyarakat terhadap Implementasi Nilai-Nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Kerangka Kewarganegaraan, Multikulturalisme dan Pluralisme yang diselenggarakan oleh Prisma Resource Centre LP3ES di Padang Bolak dan Padang Bolak Julu, Sumatera Utara akhir tahun 2012; sebagai

interviewer Survei Nasional Survei Nasional Evaluasi Mengenai Sosialisasi

Program Kependudukan dan Keluarga Berencana, serta Survei Prefensi Politik Masyarakat Secara Nasional, dan Survei Nasional Studi Opini Publik tentang Implementasi Empat Pilar dan Reformasi GBHN dalam Rangka Integrasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah yang diselenggarakan oleh CSCR UIN Jakarta pada bulan November 2013 di Desa Purba Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara; dan sebagai obeserver pada kegiatan Hitung Cepat (Quick Count) Pemilu 2014 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang diselenggarkan oleh Indonesia Research Centre.


(13)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)” dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan shalawat beserta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan syafa’at kepada kita semua. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Antropologi Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berisi kajian analisis yang didasarkan pada observasi partisipasi dan wawancara mengenai gejala pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Nagari Simpang Tonang. Dari hasil penelitian terlihat bahwa terdapat tiga variasi adat perkawinan yang dapat menjadi pilihan ketika seseorang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu: adat manjujur, adat sumondo, dan

adat ranto. Proses pemilihan adat perkawinan ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor, seperti: kedudukan anak dalam keluarga, status sosial, ekonomi, kepraktisan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, stereotype, dan kadar keetnisitasan suatu mempelai. Pemilihan tersebut juga dipengaruhi oleh UUD dan agama Islam. Meskipun terdapat keberagamaan adat perkawinan di Simpang Tonang, namun hal ini tidak menimbulkan konflik. Setiap pemilihan adat


(14)

perkawinan tersebut terlebih dahulu dimusyawarahkan antara keluarga kedua belah pihak beserta tetua adat setempat.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan bahwa ada suatu gejala yang cukup menarik yang terjadi di Pasaman, suatu daerah perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Penulis melihatnya menggunakan sudut pandang antropologi hukum. Hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara, tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat. Hukum tersebut merupakan produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dan lain sebagainya.

Kajian ini berbeda kajian-kajian antropologi hukum lainnya. Pada masa lalu, pendekatan etnografi konvensional hanya berfokus pada penelitian mikro untuk memperoleh gambaran suatu kebudayaan secara mendalam. Hal ini membuat seolah-olah masyarakat yang diteliti tersebut seolah-olah terisolasi dari peristiwa pada ruang dan waktu dalam konteks lain. Meskipun penulis memfokuskan dalam konteks masyarakat yang sederhana yakni masyarakat

Nagari Simpang Tonang, namun di sini bukan berarti masyarakat tersebut

“terpencil”. Arus globalisasi telah menyentuh kehidupan masyarakat di sana. Hal ini tentu membuat hukum-hukum yang ada semakin plural. Hukum yang terus berubah sebagai akibat dari adanya proses adaptasi, akomodasi, dan resepsi elemen-elemen sistem hukum lain.


(15)

Akhir kata ” tak ada gading yang tak retak”, demikian juga dengan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan penulis baik mengenai materi, teknik penyusunan maupun analisisnya. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima setiap saran dan kritik dari pembaca untuk penyempurnaan pada masa yang akan datang.

Medan, April 2014 Penulis

Razakiko Harkani


(16)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

ABSTRAK ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

BAB I. PENDAHULUAN... ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Tinjauan Pustaka ... 8

1.3. Rumusan Masalah ... 27

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 28

1.5. Metode Penelitian … ... 28

1.6. Pengalaman Lapangan: Suatu Refleksi ……… 33

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... ... 42

2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang ... 42

2.2. Menguak Kembali Sejarah Migrasi Etnis Mandailing ke Pasaman dan Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang ... 46

2.1.1. Sejarah Singkat Migrasi Etnis Mandailing ke Daerah Pasaman ... 46

2.1.2. Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang 50

2.3. Komposisi Penduduk ... 56

2.3.1. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 57

2.3.2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 58

2.3.3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Hidup ... 59

2.3.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ... 60

2.4. Pola Pemukiman ... 62

2.5. Alak Simpang Tonang: Pengidentifikasian Diri dan Sistem Kekerabatan ... 65


(17)

2.5.1. Identitas Kultural dan Penegasan Diri ... 65

2.5.2. Sistem Kekerabatan dan Pergeseran Konsep Dalihan Na Tolu di Simpang Tonang ... 68

2.6. Bentuk-bentuk Hubungan Sosial yang Dijalin dalam Kehidupan Sehari-hari antara Etnis Mandailing dan Minangkabau di Simpang Tonang ... 74

2.6.1. Hubungan Sosial di Arena Lokal dan Pasar ... 75

2.6.2. Hubungan Sosial di Lembaga Pendidikan dan Instansi Pemerintahan ... 77

2.6.3. Hubungan-hubungan Sosial yang Dijalin untuk Kegiatan Upacara Adat ... 78

2.7. Pandangan dan Stereotype ... 79

2.8. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Meredam dan Mengatasi Jika Terjadinya Konflik ... 80

BAB III. Perkawinan dalam Perspektif Mayarakat Simpang Tonang ... 81

3.1.Konsep Perkawinan bagi Masyarakat Simpang Tonang ... 81

3.2.Jodoh Ideal dan Perkawinan Pantangan ... 82

3.3.Bentuk-bentuk Adat Perkawinan yang Berlaku di Simpang Tonang ... 86

3.3.1. Sumondo: Sistem Perkawinan Adat yang Berlaku Umum di Simpang Tonang ... 3.3.1.1. Konsep Sumondo ... 87

3.3.1.2. Prosesi Perkawinan Adat Sumondo ... 90

3.3.2. Manjujur: Suatu Alternatif Adat yang Terlupakan . 106

3.3.2.1. Konsep Manjujur ... 106

3.3.2.2. Jarang Ditemui Meskipun Masih Bisa Diadati ... 107

3.3.2.3. Jenis-jenis Adat Manjujur ... 109

3.3.3. Kawin Ranto: Varian Baru yang Lebih Fleksibel . 111

3.4.Jenis-jenis Olek (Pesta Peresmian Perkawinan) di Simpang Tonang ... 112

3.5.Pandangan Masyarakat Setempat tentang Sistem Perkawinan yang Berlaku ... 115

BAB IV. Pemilihan Adat Perkawinan serta Keterkaitannya dengan UUD dan Hukum Islam ... 118

4.1. Proses Pemilihan Adat ... 118

4.1.1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Proses Pemilihan Adat Perkawinan ... 118

4.1.2. Hal-hal yang Dibicarakan pada Saat Perundingan. 124

4.1.3. Beberapa Contoh Kasus Perkawinan Masyarakat Setempat ... 127

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Adat Perkawinan ... 138


(18)

4.3. Alasan Pemilihan Adat Perkawinan ... .. 145

4.4. Kaitan Antara Proses Pemilihan Adat Perkawinan dengan UUD dan Hukum Islam ... ... 149

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.... ... 152

5.1. Kesimpulan .... ... 152

5.2. Saran ... ... 158

DAFTAR PUSTAKA ... 162 LAMPIRAN

1. Daftar Informan 2. Daftar Interview Guide 3. Surat Izin Penelitian


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Berdasarkan Jorong

Tahun 2013 ... 56

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 57

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 58

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Hidup ... 59


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Kecamatan Duo Koto ... 42 Gambar 2. Rumah Penduduk di Nagari Simpang Tonang ... 63 Gambar 3. Kesatuan Genelogis dan Tertorial Masyarakat Simpang

Tonang ... 69 Gambar 4. Diagram Kekerabatan atau Partuturon di Simpang

Tonang ... 72 Gambar 5. Perkawinan ideal dengan Boru Mamak ... 83 Gambar 6. Marambit sebagai bentuk ungkapan dari rasa senang hati

atas kedatangan pengantin laki-laki ... 100 Gambar 7. Penyambutan di Rumah Anak Daro ....... 101 Gambar 8. Suasana Akad Nikah sebagai Bentuk Sahnya Perkawinan

Secara Islam ... 102 Gambar 9. Bersanding di Pelaminan dengan Pakaian Adat

Minangkabau ... 104 Gambar 10. Jenjang yang Harus Dilalui Saat Pabotoon Tu Mamak -


(21)

ABSTRAK

Razakiko Harkani, 2014, judul skripsi: Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat). Skripsi ini terdiri dari: 5 bab, 162 halaman, 5 daftar tabel dan 10 daftar gambar.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang pertama dari proses migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lumrah terjadi, meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya. Perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang juga menyebabkan lahirnya suatu tatanan adat yang sangat unik. Adat tersebut terus mengalami modifikasi sebagai akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang terus berkembang.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Nagari Simpang Tonang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif sebagai bagian dari kajian etnografis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan kategorisasi dan evaluasi data.

Dari hasil penelitian lapangan dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Simpang Tonang terdapat berbagai variasi adat perkawinan yang dapat menjadi pilihan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, diantaranya seperti: secara adat Minangkabau memakai sistem perkawinan sumondo, secara adat Mandailing memakai sistem perkawinan manjujur, dan adat ranto yakni perpaduan keduanya atau bahkan tidak menggunakan kedua adat tersebut hanya berdasarkan agama Islam dan undang-undang yang berlaku. Proses pemilihan adat perkawinan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: kedudukan anak dalam keluarga, status sosial, ekonomi, kepraktisan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, stereotype, agama Islam, dan kadar keetnisitasan suatu mempelai. Perbedaan adat perkawinan tersebut tidak menimbulkan konflik karena terlebih dahulu dimusyawarahkan antara keluarga kedua belah pihak beserta tetua adat setempat

Kata-kata Kunci: Masyarakat Perbatasan, Manjujur, Sumondo, Adat Ranto, Perkawinan Campuran, Pluralisme Hukum.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia memiliki banyak etnis yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Masing-masing etnis tersebut memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut terjadi karena kondisi alam dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Dimana suatu masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Berbicara mengenai keberagaman kebudayaan Indonesia tidak hanya berkaitan dengan seni belaka, namun sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya tersebut, suatu masyarakat memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Suatu aturan yang dijadikan sebagai pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Aturan-aturan tersebut dapat diamati dan dikaji dalam ranah antropologi hukum, karena aturan-aturan tersebut lahir sebagai produk dari suatu kebudayaan masyarakat.

Salah satu contohnya adalah tata cara pelaksanaan perkawinan. Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa. Perkawinan tidak hanya menyatukan dua pribadi yang berbeda, tetapi juga menjadi media yang menyatukan orang tua


(23)

kedua belah pihak, saudara-saudranya dan kerabat mereka masing-masing. Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan sehingga tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lurah terjadi meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya.

Sebagaimana diketahui bahwa daerah perbatasan merupakan suatu wilayah persinggungan antar-budaya yang berbeda. Kebudayaan-kebudayaaan tersebut saling berinteraksi sehingga terjadi proses percampuran kebudayaan (asimilasi). Ada kebudayaan yang dominan, kebudayaan yang harus melebur dengan kebudayaan lainnya, bahkan ada kebudayaan baru sebagai suatu identitas yang lahir karna tidak ada kebudayaan yang dominan.

Kabupaten Pasaman mengalami hal tersebut. Pasaman merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Secara administratif wilayah ini berbatasan langsung di sebelah Utara dengan Kabupaten Mandaling Natal, Provinsi Sumatera Utara. Menurut Djurip (2000:12), kata Pasaman berasal dari bahasa Minangkabau yaitu pasamoan yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti “persamaan”. Adapun maknanya ialah suatu kesepakatan dan


(24)

kesamaan pendapat antara golongan etnis yang mendiami Kabupaten Pasaman tersebut. Etnis tersebut adalah Minangkabau dan Mandailing. Kesepakatan dan kesamaan pendapapat merupakan sesuatu yang diutamakan agar tidak terjadi perselisihan antar etnis, sehingga mereka dapat hidup berdampingan penuh kerukunan dan kedamaian.

Dahulu hanya ada wilayah Kabupaten Pasaman saja, namun sekarang Pasaman sudah mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Pasaman Barat. Pemekaran tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2003. Setelah mengalami pemekaran tersebut luas Kabupaten Pasaman berkurang menjadi 3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 kecamatan, 32 nagari1 dan 209 jorong2

dengan Lubuksikaping sebagai ibukotanya. Salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Pasaman ini yaitu Kecamatan Duo Koto yang terdiri dari Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang tempat penelitian ini dilakukan.

Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber

pada tambo3, dinyatakan daerah Minangkabau terdiri dari daerah darek4

1

Nagari merupakan suatu replika dari republik mini dengan wilayah teritorial yang jelas.

Nagari merupakan suatu bentuk lembaga pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya manajemen suku adat sendiri yang

mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Dalam perkembangan otonomi daerah, istilah nagari

digunakan untuk menggantikan istilah desa yang digunakan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan merupakan bahagian yang integral dari pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2

Jorong merupakan suatu wilayah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa rumah, telah

memiliki peraturan hidup bermasyarakat, akan tetapi belum didirikan rumah gadang. Jorong

merupakan perangkat dari pemerintahan nagari. Jorong dipimpin oleh seorang kepala jorong.

Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kampung atau dusun.

3

Tambo adalah suatu karya sastra sejarah yang berisi uraian mengenai asal-usul orang Minangkabau beserta hukum-hukum adatnya.


(25)

rantau5

Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan bahagian dari wilayah harajaon (kerajaan) mereka. Hal ini terkait juga dengan konsep merantau yang mereka miliki. Menurut Pelly (1994:11-12), misi migrasi etnis Mandailing didasarkan pada konsep perluasan daerah teritorial. Mereka menempati lahan baru dan menguasainya sebagai bagian dari Kerajaan Batak (Batak Harajaon). Kedekatan geografis merupakan salah satu alasan kenapa etnis

(Navis, 1984:53; Naim, 1984:61). Dalam tambo tersebut dijelaskan batas-batas wilayah kerajaan Minangkabau, yaitu: “dari Sikilang Aia Bangih hinggo

Taratak Aia Hitam, Dari Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi”.

Sikilang Aia Bangih adalah batas Utara, sekarang berada di Kabupaten Pasaman

Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Taratak Aia

Hitam adalah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah Kabupaten Bungo, Jambi.

Terakhir Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau. Pasaman merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan Minangkabau. Wilayah Pasaman seperti: Muaro Sungai Lolo, Tapus, Rao Mapat Tunggul, Kubu Nan Duo, Sinurut, Talu, Cubadak, Simpang Tonang, Paraman Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Aia Balam dan Sikilang Aia Bangih, merupakan perluasan dari Luhak Agam.

4

Darek atau luhak adalah daerah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau. Daerah inti Minanagkabau ini terletak di dataran tinggi. Daerah ini terdiri dari Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto, yang biasanya disebut dengan "Luhak

Nan Tigo". Di daerah inilah mula-mula orang Minangkabau mendirikan koto, dusun, nagari

sampai menjadi luhak

5

Rantau adalah daerah perluasan kerajaan Minangkabau sehingga budaya dan tradisi di daerah ini tidak persis sama dengan daerah pusat budaya Minangkabau. Artinya, masyarakat

Minangkabau yang terdapat di wilayah ini juga dianggap orang rantau dari daerah darek yang


(26)

Mandailing memutuskan untuk bermigrasi ke daerah Pasaman. Selain itu, adat Minangkabau di daerah rantau tidak sekuat adat Minangkabau di daerah darek (luhak).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa daerah Pasaman merupakan daerah rantau bersama bagi etnis Minangkabau dan Mandailing. Di daerah yang telah mendapat pengaruh dari dua kerajaan ini sering terjadi saling pinjam-meminjam kebudayaan, sehingga budaya dan tradisi yang terdapat di sana tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau dan juga tidak sepenuhnya seperti tradisi Mandailing di Tapanuli Selatan. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pasaman terlihat bahwa mereka lebih banyak mengacu pada adat-istiadat serta tradisi Minangkabau, akan tetapi juga terlihat ada pengaruh tradisi Mandailing. Salah satunya terlihat dari tata cara perkawinan yang tetap memakai tata cara Minangkabau (tradisi meminang, pakaian adat, serta tradisi mengikuti garis keturunan ibu), namun sebenarnya tradisi tersebut tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau.

Pada masyarakat Simpang Tonang tradisi adat perkawinan ini disebut dengan istilah sumondo. Adat perkawinan sumondo ini merupakan suatu realitas sosial budaya yang lahir sebagai suatu bentuk kompromi dalam menjembatani perbedaan, serta mengatur perkawinan campuran di antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing.

Perkawinan sumondo ini merupakan kebudayaan pasar yang berlaku di Simpang Tonang. Setiap anggota masyarakat yang hendak melakukan perkawinan secara otomatis akan menggunakan adat tersebut. Namun, sebahagian kecil


(27)

masyarakat lainnya masih ada yang tetap mempertahankan adat manjujur yang dahulu dibawa oleh nenek moyang mereka dari Tapanuli Selatan. Adat manjujur ini seolah kehilangan eksistensinya dalam beberapa kurun waktu terakhir dikarenakan masyarakat sudah tidak paham akan adat tersebut di samping biayanya yang relative lebih mahal. Sebenarnya adat manjujur boleh saja dilakukan di daerah ini karena tidak ada yang melarangnya. Sistem manjujur biasanya berlaku mutlak bagi laki-laki setempat yang kawin dengan perempuan luar beretnis Mandailing yang memang menggunakan adat manjujur. Misalnya perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Ujung Gading, Panti, atau Tapanuli. Namun jika yang terjadi sebaliknya, laki-laki luar dengan adat manjujur kawin dengan perempuan setempat, maka bisa saja mereka menggunakan adat

ranto yakni perpaduan keudanya atau hanya sebatas syara’ dan undang-undang

yang berlaku. Hal di atas tidak berlaku mutlak karena di lapangan penulis menemukan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan adat apa yang akan digunakan dalam suatu pernikahan.

Perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing

di Kanagarian Simpang Tonang merupakan hal yang lumrah terjadi. Faktor

agama menjadi syarat utama terjadinya perkawinan tersebut. Dalam setiap segi-segi kehidupan mereka selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Etnis Mandailing mengistilahkannya dengan ombar do adat dohot ugamo6

6

Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya adat dan agama

seiring-sejalan. Munculnya ungkapan ini melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang, dan di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan agama Islam. Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang kemudian juga membawa tatanan di berbagai aspek kehidupan, yang menuntut ketaatan pula dari


(28)

Minangkabau mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi

khitabullah7

Pada masyarakat Simpang Tonang berlaku beberapa hukum perkawinan. Selain hukum adat sumondo, manjujur, dan adat ranto juga terdapat hukum negara sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan hukum agama Islam, dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi

. Sebagaimana yang dikatakan oleh Benda-Backmann (2000:4), bahwa kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau telah diwarnai oleh pluralisme hukum semenjak Islam masuk di daerah pada abad ke-16 dan kemudian digabungkannya Minangkabau dalam Negara Klonial Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Orang Minangkabau termasuk etnis pertama yang diislamkan di Indonesia telah menyerap konsep-konsep hukum Islam, seperti hibah, wasiat dan wakaf dalam aturan hukum adatnya. Sebagian hukum Islam juga telah menggantikan atau telah ditambahkan pada adat, misalnya hukum perkawinan dan perceraian yang akhirnya digantikan oleh UU Perkawinan tahun 1974. Penerapan hukum Islam dalam proses perkawinan di Nagari Simpang Tonang terlihat dari proses akad nikah (ijab qabul), meskipun penerapannya diwarnai dengan adat masyarakat setempat.

para pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam masyarakat Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat-istiadat dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing.

7ABS-SBK artinya

hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Al-quran. Segala perbuatan atau pekerjaan hendaknya selalu mengingat aturan adat dan agama, jangan hendaknya bertentangan antara satu dengan yang lainnya.Dengan kata lain ABS-SBK artinya adalah aturan-aturan adat Minangkabau takluk kepada syariat-syariat islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. ABS-SBK dideklarasikan di Bukit Marapalam tahun 1833 oleh empat komponen masyarakat Minangkabau, yaitu golongan adat diwakili oleh kerabat Kerajaan Pagaruyung, golongan cendikiawan diwakili oleh politisi Padri, golongan pawik paga di wakili oleh anglima anak buah Harimau Nan Salapan, dan dari golongan agama diwakili oleh ulama-ulama Islam seantero Ranah Minang.


(29)

kemajemukan hukum di daerah perbatasan ini merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti mengenai proses pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di

Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,

Provinsi Sumatera Barat.

1.2. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas Pasaman merupakan suatu wilayah perbatasan yang terletak di antara daerah dengan kebudayaan Mandailing dan Minangkabau. Menurut Arios (2003), masyarakat perbatasan dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih jauh, persinggungan budaya ini dapat mengakibatkan terjadinya budaya baru sebagai hasil pembauran unsur-unsur kebudayaan masing-masing. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1981:149) menyebutkan bahwa di dalam interaksi sosial manusia yang berbeda latar belakang kebudayaannya, maka dapat terjadi suatu pembauran di dalamnya yang disebut dengan asimilasi. Proses sosial tersebut timbul bila ada: 1). Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, 2). Mereka saling bergaul langsung secara intensif dalam jangka waktu yang lama, 3). Kebudayaan tersebut masing-masing berubah saling menyesuaikan diri.


(30)

Kebudayaan masyarakat di Pasaman sangatlah unik, ia tidak seperti kebudayaan Minangkabau dan Mandailing pada umumnya, akan tetapi merupakan perpaduan dari dua kebudayaan tersebut. Misalnya saja penggunaan adat sumondo dalam sistem perkawinan, meskipun dalam keseharian mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Mandailing. Menurut Astuti dan Widiyanto (1998/1999:4), budaya masyarakat perbatasan diartikan sebagai budaya masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan budaya. Oleh karena itu, daerah ini merupakan pertemuan paling sedikit dua budaya atau lebih. Dengan adanya dua kebudayaan atau lebih yang tinggal di daerah tersebut berarti mereka mempunyai suatu kebudayaan umum lokal atau budaya pasar sebagai acuan guna berinteraksi atau menjalin hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan di lingkungan daerah tersebut.

Kewujudan budaya di Pasaman tersebut tidak terlepas dari sejarah interaksi yang panjang antara kedua etnis tersebut di masa silam. Menurut Arios (2003), ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi dua kebudayaan yang berbeda, yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan menerima unsur-unsur kebudayaan. Jika yang terjadi adalah saling mempertahankan etnisitasnya, ada kemungkinan akan terjadinya konfik sosial. Sedangkan jika yang terjadi adalah saling memberi dan menerima unsur-unsur kebudayaan, maka akan melahirkan suatu variasi kebudayaan baru atau bahkan menciptakan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang berinteraksi.

Pada awalnya masyarakat Simpang Tonang menegaskan diri mereka sebagai etnis Minangkabau. Walaupun nenek moyang mereka berasal dari


(31)

Tapanuli Selatan di bawah pipimpinan Rajo Sontang, mereka tetap mengikuti adat-istiadat Minangkabau yang berlaku di daerah setempat, hanya bahasa mereka saja yang masih bertahan. Akan tetapi, belakangan ini beberapa dari mereka kembali menegaskan diri sebagai etnis Mandailing dengan menggunakan marga di belakang namanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan etnis tersebut. Terkadang rasa keetnisitasan bisa mengembang atau mengempis. Bahkan terkadang perbedaan antar etnis sengaja diciptakan demi mendapatkan suatu keuntungan. Menurut Barth (1988), tidak ada masyarakat yang benar-benar berasimilasi, batas-batas etnik ini tetap ada walaupun terjadi proses penetrasi dan pengaburan batas-batas kebudayaan di antara kedua kelompok etnis yang berbeda. Ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan budaya dapat terus ada walaupun kontak-kontak sosial antarkelompok etnik dan saling ketergantungan di antara mereka terjadi.

Walaupun terjadi perubahan identitas etnis Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang, akan tetapi hukum yang berlaku di nagari tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Masyarakat asli yang sudah hidup beberapa generasi di daerah ini lebih memilih untuk menggunakan adat Minangkabau daripada adat Mandailing. Mengikuti pendapat Brunner (Astuti, 1998), kondisi hubungan sosial (majemuk) setempat dapat berwujud kekuatan-kekuatan sosial yang dapat menjadi dominan atau tidak dominan dan dapat mempengaruhi wujud dari corak hubungan sosial di antara suku-suku bangsa yang berbeda identitas serta berdiam bersama di tempat tersebut.

Masyarakat Kanagarian Simpang Tonang merupakan salah satu contoh pertemuan dua kebudayaan yang berbeda namun tidak menimbulkan konflik.


(32)

Perbedaan latar belakang kebudayaan antara etnis Mandailing dan Minangkabau diminimalisir dengan melakukan musyawarah yang melahirkan suatu kesepakatan bersama. Salah satu bentuk sederhana dari proses pembauran tersebut adalah perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan etnis Mandiling yang melahirkan sistem perkawinan sumondo. Menurut Hadikusuma (2007:15), perkawinan campuran menurut hukum adat ialah perkawinan antara adat yaitu perkawinan antara suami dan isteri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah asal/ suku bangsanya berlainan.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan manusia. Di dalam tatacara dan ritual pernikahan terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan unsur kebudayaan yang mengatur serta mengukuhkan suatu hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan jenis. Perkawinan bukan hanya menyatukan dua insan manusia, akan tetapi menyatukan dua keluarga besar yang berbeda. Perkawinan selalu melibatkan pihak lain, terutama karib-kerabat di setiap tahapaannya, mulai dari pencarian pasangan, persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai ke akibat perkawinan.

Menurut Koentjaraningrat (1967:84-85), perkawinan merupakan salah satu tahap yang terpenting dalam siklus kehidupan manusia (stage a long the life-cycle)8

8

Stage along the life cycle yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa tua, dan sebagainya.

. Perkawinan merupakan masa peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Seseorang yang telah kawin biasanya akan dianggap


(33)

memiliki status sosial yang lebih di tengah masyarakat. Perkawinan tidak hanya berfungsi sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan seksnya saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai pemberi kejelasan akan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil persetubuhan (anak-anak); memenuhi kebutuhan akan teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta; akan gengsi dan naik kelas dalam masyarakat; dan perkawinan juga berfungsi untuk memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu.

Berbicara mengenai perkawinan di Indonesia, sebenarnya telah diatur di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Suatu perkawinan dianggap sah di mata hukum negara Republik Indonesia

apabila perkawinan tersebut telah memenuhi aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang dan telah mendapat pengesahan di mata agama atau kepercayaan masing-masing. Selain itu, perkawinan tersebut harus dicatatatkan di Lembaga Urusan Perkawinan agar memiliki legalitas hukum.

Selain hukum perkawinan negara di atas, perkawinan di Nagari Simpang Tonang diatur oleh hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto) serta hukum Islam. Perkawinan menurut hukum adat bukan saja sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan

kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan


(34)

hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat keagamaan (Hadikusuma, 2007:8).

Adat pernikahan yang terdapat di Indonesia sangat beranekaragam jenisnya. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok masyarakat. Keberanekargamaan adat pernikahan ini sangat unik dan mempunyai ciri khasnya masing-masing. Hukum perkawinan ini sangat erat hubungannya dengan sifat susunan kekeluargaan. Menurut Hadikusuma (2007:9), setidaknya ada tiga jenis perkawinan bila dilihat dari sifat susunan kekeluargaan, yaitu: a. Perkawinan jujur pada tertib keluarga patrilineal

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Lebih lanjut Yaswirman (2011:130), mengatakan pada tertib masyarakat patrilineal atau tertib sanak bertali satu seperti Tapanuli, perkawinan juga menjadi urusan keluarga, keturunan dan klan. Anak ikut marga ayah kandungnya. Sedangkan isteri kendati tetap memakai marga ayahnya, tetapi ia masuk ke dalam kerabat suami, diikuti pula oleh anak-anaknya.

Perkawinan ini diawali dengan penyerahan sejumlah jujuran atau belis kepada pihak wanita. Ada banyak istilah jujur atau belis di Indonesia, namun semuanya mengandung arti beli. Misalnya: beuli niha di Nias, tuhor/boli/sinamot di Batak, onjog di Gayo, weli di Ambon, patuku di Bali, dan lain sebagainya. Menurut Ngani (2012:38), tujuan dari pemberian maskawin (jujur) tersebut ialah


(35)

melepaskan gadis dari golongan sanak patrilinealnya dan memasukkannya ke dalam golongan sanak dari famili suami.

Koentjaraningrat (1967:94-97) mengistilahkannya dengan bride-price, yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum kerabat si gadis. merupakan salah satu syarat perkawinan Maknanya adalah sebagai pengganti kerugian karna anak gadis tersebut dianggap memiliki potensi tenaga dalam keluarga tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa besar kecilnya

bride-price itu berbeda-beda, bahkan terkadang harus ditetapkan melalui

perundingan antara kedua pihak yang bersangkutan. Pada etnis tertentu bisa saja yang dijadikan sebagai bride-price adalah benda yang bertuah seperti genderang perungggu atau moko di Timor, uang setalen (25 sen) di Jawa. Menurut Rato (2011:22), belis berbeda dengan mas kawin sebagaimana diajarkan dalam fiqih Islam. Belis berkenaan dengan kewajiban seorang suami terhadap keluarga isteri, sedangkan mas kawin berkenaan dengan keabsahan perkawinan.

Bagi etnis Rejang ketidakmampuan pihak laki-laki membayar uang jujur atau hadiah-hadiah tertentu kepada keluarga calon isterinya akan mempengaruhi garis keturunan anak-anak mereka kelak. Anak-anak dari perkawinan tersebut tidak berhak menarik garis keturunan bapaknya, anak-anak tersebut termasuk garis keturunan kakek dari ibu mereka (Ihromi, 2000:20). Namun pada etnis lainnya terdapat beberapa jalan keluar yang ditawarkan apabila seorang laki-laki tidak sanggup memberikan jujuran/belis, baik sebagian maupun seluruhnya/tuntas, yakni:


(36)

1. Kawin lari

Menurut Yaswirman (2011:130), perkawinan ini adalah perkawinan yang mana seorang laki-laki melarikan seorang gadis atau melarikan diri berdua sebagai pendahuluan perkawinan. Ini bisa dilakukan apabila calon suami tidak mampu menyediakan uang jujuran. Tapi akhirnya juga sama, karena uang itu harus dibayarkan oleh suami setelah ia mempunyai kelapangan.

2. Kawin mengabdi

Dalam perkawinan ini suami bekerja untuk keluarga calon isteri, seolah-olah tidak dibeli dengan uang tetapi dengan tenaga. Di Bali dikenal dengan

santana dan di Lampung dikenal dengan ambil anak.

b. Perkawinan sumenda pada tertib keluarga matrilineal

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman isteri. Pada perkawinan ini tidak ada istilah belis, yang ada hanyalah pembayaran-pembayaran lain seperti: pembayaran kepada orang tua gadis berupa ongkos-ongkos peralatan perkawinan (antaran, tukon). Ada pula uang panjemput yang diberikan kepada laki-laki yang dijadikan menantu (Ngani, 2012:39)

Salah satu contoh dari perkawinan ini adalah sistem perkawinan yang berlaku di Minangkabau. Pada perkawinan ini tidak ada pembayaran jujur. Seorang yang telah berumah tangga tetap menjadi kerabat asalnya. Suami di rumah isteri disebut dengan urang sumando (semenda) dan tidak masuk ke dalam kerabat anak-anaknya. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh keluarga


(37)

perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah isteri (alek

malapeh marapulai) (Yaswirman, 2011:134)

c. Perkawinan bebas pada tertib keluarga parental

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan suami isteri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka. Mengikuti pendapat Prodjodikoro (Yaswirman, 2011:131), tertib hukum bilateral paling merata di Indonesia, yaitu semua etnis Jawa (mencar

atau mentas), Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,

Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Pada tertib hukum ini tidak ada perbedaan antara suami dan isteri, baik dalam rumah tangga maupun dalam keluarga masing-masing. Suami menjadi anggota keluarga isteri dan isteri juga demikian. Status kerabat anak laki-laki dengan anak perempuan juga sama. Setelah dewasa, mereka diberi kebebasan untuk ikut ayah atau ibu. Pemberian sesuatu oleh suami untuk isteri ketika melangsungkan perkawinan bukan berarti untuk pembelian isteri, melainkan sekedar pembelian kebutuhan rumah tangga atau semata-mata hibah dari suami terhadap isteri.

Di samping sifat susunan kekeluargaan seperti: genealogi patrilineal (garis bapak), genealogi matrilineal (garis ibu), genealogi parental (garis bapak dan ibu), keberagamanan hukum adat juga ditentutakan oleh genealogi teritorial (wilayah). Hal tersebut berpengaruh dalam penentuan adat menetap setelah kawin. Setidaknya ada tujuh kemungkinan adat menetap setelah kawin menurut Koentjaraningrat (1967:97-99), yakni:


(38)

a. Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami ataupun di sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri;

b. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami;

c. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri;

d. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal berganti-ganti, pada satu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat si suami, pada lain masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri;

e. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kaum kerabat si suami ataupun kaum kerabat si isteri;

f. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari si suami;

g. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah, si suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan si isteri di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri juga.

Selain sistem kekerabatan dan adat menetap setelah kawin, yang sangat berpengaruh dalam bentuk perkawinan adalah sifat pemilihan jodoh. Dalam masyarakat sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung pada kehendak dari mereka yang menikah saja. Soal perkawinan ditentukan oleh sekurang-kurangnya dalam dan oleh anggota keluarga; di samping itu setiap


(39)

anggota keluarga terikat pada ketentuan-ketentuan kawin yang diharuskan dan dihalalkan golongannya secara khusus melalui sebuah norma hukum adat (Rato, 2011:14). Mengikuti pendapat Wignjodipoe (Yaswirman, 2011:132-133), ada tiga sistem perkawinan yang terdapat di Indonesia, yaitu:

a. Sistem endogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan pemukiman. Sistem ini hanya ditemukan di Tanah Toraja. Sistem ini bersifat relatif karena perlu ditambahkan dengan endogami apa, misalnya endogami ras, endogami

agama, endogami pelapisan masyarakat, atau endogami desa (Rato, 2011:14;

Ngani, 2012:36-37).

b. Sistem eksogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial atau lingkungan sosial, seperti di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Boru, Seram, dan lain-lain. Sistem ini juga bersifat relatif dan juga perlu dijelaskan

eksogami apa, misalnya eksogami desa, eksogami klan, eksogami marga, dan

sebagainya. (Rato, 2011:14; Ngani, 2012:36-37)

c. Sistem eleutherogami, yang tidak menganal larangan-larangan seperti dua sistem di atas. Larangan terjadi jika ada ikatan keluarga senasab dan hubungan keluarga (mushaharah) seperti yang terdapat dalam Islam. Sistem hukum ini terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian, Timor, Bali, Lombok, seluruh Jawa dan Madura.


(40)

Dari jenis-jenis sistem perkawinan yang telah diuraikan di atas, maka sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat Kanagarian Simpang Tonang adalah sistem perkawinan sumenda dengan sifat eksogami dan adat menetap

matrilokal. Akan tetapi di sini adat sumondo tidak sepenuhnya sama dengan adat

perkawinan Minangkabau. Pada adat sumondo pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki. Di samping itu, sifat perkawinan eksogami marga bukanlah menjadi sesuatu yang dianggap penting lagi. Perkawinan semarga, Lubis dengan Lubis atau Nasution dengan Nasution, kerap terjadi di sini. Perkawinan eksogami

daerah pun kerap terjadi di daerah ini. Mengenai adat menetap setelah

perkawinan pun tidak hanya matrilokal, adakalanya bersifat neolokal dimana mereka tinggal jauh dari kediaman kerabat isteri maupun suami di perantauan karena alasan mencari nafkah, dan lain sebagainya.

Mengikuti pendapat Van den Berg (Yaswirman, 2011:63-72), hukum adat adalah hukum agama, dimana suatu masyarakat menerima hukum tersebut secara utuh (reception in complexu). Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Mereka menerima hukum tersebut secara utuh. Berdasarkan teori tersebut, maka hukum adat yang berlaku dalam perkawinan pada masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang adalah hukum Islam, sehingga perkawinan pun harus berdasarkan hukum Islam.

Menurut Islam, perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali


(41)

si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan qabul (diterima) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad:

Tidak sah nikah kecuali dengan dua wali atau yang adil” (Hadikusuma,

2007:10-11). Perintah kawin di dalam Islam terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir”(Q.S. Ar-Ruum:21). Lebih lanjut, ketika hendak

melakukan suatu perkawinan, maka pihak laki-laki wajib memberikan maskawin kepada wanita yang dinikahinya. Akan tetapi tidak ada ketentuan berapa besarnya maskawin tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT: “Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh

kerelaan” (Q.S.An Nisaa:4).

Tatacara dan adab pernikahan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an saja, akan tetapi juga diatur oleh sunnah atau hadist Nabi Muhammad SAW. Adapun rukun pernikahan tersebut yaitu:

a. Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita b. Ada maskawin/ mahar

c. Ada wali pengantin perempuan d. Ada dua orang saksi pria dewasa


(42)

e. Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

Dalam prakteknya hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang tidaklah sepenuhnya diterapkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Van den Berg di atas. Pertentangan antara hukum Islam dan adat terutama dalam hal kekerabatan. Masyarakat Simpang Tonang menganut sistem matrilineal, dimana setelah perkawinan suami tinggal bersama di rumah keluarga isteri. Sementara menurut hukum Islam garis keturunan diambil dari ayah (patrilineal) dan isteri tinggal di rumah yang telah disediakan oleh isteri.

Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa hukum perkawinan bukan hanya diatur oleh hukum negara semata. Di samping hukum negara, perkawinan juga diatur oleh hukum-hukum lainnya seperti hukum adat dan agama. Situasi seperti ini dalam antropologi dikenal dengan istilah “pluralisme

hukum”. Pluralisme hukum merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih

hukum, saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, dan berlaku di suatu kelompok masyarakat.

Menurut Griffith (Irianto dalam Ihromi, 1993), pluralisme hukum adalah suatu situasi dimana terdapat lebih dari satu tatanan hukum yang berlaku dalam suatu arena sosial (masyarakat). Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang terdiri hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang dipandang sebagai hukum. Hukum-hukum itu dapat dijadikan sebagai pegangan dalam menghadapi berbagai masalah yang terjadi di dalam masyarakat tersebut.


(43)

Hal ini sejalan dengan pendapat Sally Eagle Merry yang mengatakan bahwa pluralisme hukum “... is generally defined as a situation in which two or

more legal systems coexist in the same social field” (... secara umum didefinisikan

sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan dalam bidang sosial yang sama) (Irianto dalam Masinambow, 2000:66). Lebih lanjut Sally F. Moore menyebutkan bahwa dalam suatu lapangan tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan umum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada di sekitarnya (Semi Otonomus Social Field) (Irianto dalam Ihromi, 1993).

Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.

Dalam pandangan pluralisme hukum tidak ada istilah sentralisme hukum

(legal centralism) yang menganggap hukum negara merupakan satu-satunya

hukum yang berlaku di suatu negara. Menurut Griffiths: “Legal pluralism is the

fact. Legal centralism is a myth,an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is

the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be

predicted of a social group.” (Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum

adalah mitos, ideal, klaim, ilusi. Pluralisme hukum adalah nama dari keadaan sosial urusan dan itu adalah karakteristik yang dapat diprediksi dari kelompok sosial) (Irianto dalam Masinambow, 2000:79). Setiap orang mempunyai


(44)

interpretasi yang berbeda terhadap suatu aturan hukum. Hal ini terjadi karena adanya dasar pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Hal itu dapat dilihat ketika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan pranata hukum, ia akan memilih suatu pranata hukum tertentu atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum demi pemenuhan kepentingannya. Benda-Backman (2000:64-66) mengistilahkannya dengan forum shopping, dimana orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketa/masalah hukum lainnya dapat memilih berbagai lembaga hukum untuk menyelesaikan kasusnya atas dasar orientasi kepentingan.

Sistem hukum yang berbeda-beda ini terjadi karena beragamnya latar belakang kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam antropologi, hukum merupakan bagian dari kebudayaan. Secara umum hukum dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertindak (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) di dalam suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam situasi sosial. Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum (Ihromi, 2000:4).

Oleh karena itulah suatu perkawinan tidak hanya disahkan berdasarkan pada satu pilihan hukum saja (hukum negara melalui undang-undang), akan tetapi suatu perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan hukum yang menurut masyarakat itu sangat mempengaruhi dalam kehidupan seharinya, misalnya saja hukum agama dan hukum adat. Perkawinan tersebut juga dilaksanakan dalam


(45)

sejumlah rangkaian upacara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakatnya.

Prinsip dan aturan perkawinan yang dijalankan pada masyarakat Simpang Tonang, selain menerapkan hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto), hukum Islam (akad nikah) serta hukum nasional (pencatatan sipil), dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi kemajemukan ini mencerminkan bahwa studi mengenai masyarakat perbatasan, terkait dengan pemberlakuan aturan hukum yang ada menarik untuk dikaji, di samping juga adanya faktor kompleksitas dalam budaya masyarakatnya itu sendiri. Meskipun hukum negara yang dianggap legal mulai menggeser keberadaanya, namun dalam kehidupan sehari-hari hukum adat dan agama masih digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa lingkup hukum adat dan agama tidak hanya terbatas pada penyelesaian sengketa saja, perkawinan juga merupakan salah satu aktifitas yang bisa diamati dalam melihat keberagaman hukum.

Kajian mengenai perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan Mandailing di tanah perbatasan Pasaman sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya sudah pernah dikaji oleh orang lain, baik dari background antropologi maupun hukum. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao dan penelitian Edishan tahun 1994 di Kecamatan Talamau.

Dari hasil penelitian Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao, ditemukan bahwa tidak ada larangan perkawinan campur antara etnis Minangkabau dengan Mandailing. Dalam perkawinan campuran, masalah yang muncul lebih banyak


(46)

dirasakan oleh anak atau keturunan buah dari hasil perkawinan tersebut. Anak sering tidak mendapatkan status sosial dan hak waris sebagai keturunan orang tuanya. Pada masyarakat Jorong Pasar Rao Pasaman terjadi suatu fenomena saling mempertahankan ketentuan atau norma-norma adat masing-masing, terutama sekali yang menyangkut dengan penentuan status anak dan menyangkut harta warisan. Menurut adat Minangkabau anak seorang laki-laki Minangkabau yang kawin dengan seorang perempuan Batak, maka ia tidak memiliki hak atas kaumnya karena si anak tidak mempunyai suku (kaum) yang jelas. Akan tetapi, biasanya si anak akan diberikan pinjaman seumur hidup berupa oleh pihak keluarga ayahnya dan warisan yang didapat hanya dari harta pencaharian orang tua.

Menurut hasil penelitian Edishan tahun 1994, pelaksanaan hukum adat Mandailing di Kecamatan Talamau telah disesuaikan dengan adat Minangkabau, misalnya pengambilan suku untuk anak bisa berasal dari pihak ibu ataupun pihak bapak, warisan diberikan kepada anak dan kemenakan, serta pemegang kedudukan kerajaan (penguasa rumah) dalam keluarga Mandailing, boleh ditempati oleh anak maupun kemenakan.

Dari kedua hasil studi tersebut, hanya dibahas mengenai pelaksanaan hukum waris dan kedudukan anak saja, tidak ada pembahasan rinci mengenai bagaimana proses pemilihan adat pada perkawinan campur tersebut. Menurut hemat penulis, proses pemilihan adat perkawinan (sumondo, manjujur, dan adat

ranto) di tanah perbatasan Pasaman merupakan suatu topik yang menarik untuk


(47)

apa yang cenderung digunakan oleh suatu keluarga, baik mengenai masalah kedudukan suami-isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam perkawinan. Pada proses pemilihan adat ini juga terdapat aktor-aktor yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Di samping itu dalam perkawinan campuran pluralisme hukum seringkali bertumpah tindih dalam hal pengambilan keputusannya.

Mempelajari proses pemilihan adat pada kasus perkawinan campuran dari perspektif pluralisme hukum bukanlah sesuatu hal yang kaku dan ketinggalan zaman. Hal ini terjadi apabila proses pemilihan adat tesebut dikaitkan dengan “hukum yang bergerak” dalam ranah globalisasi. Menurut Irianto (2009:29-40), peneliti tidak dapat lagi membuat pemetaan terhadap keanekaragaman hukum dalam lapangan kajian tertentu (maping of legal universe), menarik garis batas tegas untuk membedakan suatu entitas hukum tertentu dari yang lain. Berbagai sistem hukum yang berasal dari tataran yang berbeda-beda akan saling bersentuhan, berkontestasi, saling memproduksi dan mengadopsi satu sama lain secara luas. Untuk itu maka perlu dilihat para aktor yang menyebabkan hukum tersebut bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum. Kanagarian Duo Koto bukanlah sebuah maping of legal universe. Ia hanya suatu wilayah perbatasan dimana sering terjadinya migrasi dan perkawinan campuran antara dua wilayah yang memiliki dua kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya suatu hukum baru sebagai akibat dari pembauran berbagai hukum yang ada (nasional, adat agama, dan lain sebagainya). Hukum tersebut tidak hanya berlaku di Kanagarian Duo Koto, akan tetapi ia terus dibawa di


(48)

dalam konsep berfikir (mind) masyarakatnya. Apabila keadaan memungkinkan, maka mereka akan menerapkan hukum tersebut di lingkungan yang baru. Jika tidak memungkinkan, maka akan lahir varian hukum baru sebagai akibat dari persentuhan dengan hukum lainnya.

Pluralisme hukum tidak hanya dikaitkan dengan ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu arena tertentu. Batasnya semakin kabur karena banyak adopsi, adaptasi, saling pengaruh di antara sistem hukum yang saling bertemu. Hal ini menyebabkan hukum berubah dinamis mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Salah satu penyebabnya adalah adanya migrasi dan perkawinan campuran (Irianto, 2009)

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di

Kanagarian Simpang Tonang Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat?

Rumusan masalah tersebut diuraikan melalui lima pertanyaan penelitian, yakni: 1. Adat perkawinan apa saja yang berlaku di Simpang Tonang?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan adat perkawinan tersebut?

3. Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses pemilihan adat tersebut? 4. Proses-proses apa saja yang harus dilalui seseorang apabila hendak kawin baik


(49)

5. Bagaimana penerapan hukum lainnya seperti Undang-Undang Perkawinan dan agama Islam di daerah tersebut?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick

description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala

pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat.

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam kaitannya dengan ilmu sosial seperti antropologi hukum yang memperkaya literatur mengenai gejala pluralisme hukum pada masyarakat perbatasan. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pengembangan pariwisata, serta sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi latar belakang budaya masyarakat perbatasan.

1.5. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang bertipekan deskriptif dalam suatu kajian etnografis. Penelitian deskriptif kualitatif lebih tepat apabila digunakan untuk meneliti masalah-masalah yang membutuhkan studi mendalam (Bungin, 2007:68-69). Studi ini akan


(50)

memberi gambaran mendalam mengenai gejala pluralisme hukum di tanah perbatasan yaitu mengenai pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan Mandailing di

Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,

Provinsi Sumatera Barat.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian antropologi hukum ini bersifat holistik9

a. Wawancara Mendalam

, yaitu dengan mempelajari semua budaya yang terkait dan melatarbelakangi peristiwa hukum yang terjadi (Hadikusuma, 2004:22). Penelitian ini tidak hanya mempelajari mengenai hukum yang berlaku di suatu masyarakat saja, akan tetapi juga mempelajari mengenai budaya perilaku manusianya yang berbuat terhadap suatu masalah hukum, dikarenakan adanya faktor-faktor budaya yang mempengaruhinya.

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara. Untuk melengkapinya maka digunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai buku ilmiah, jurnal, media massa serta internet. Untuk mendapatkan data-data primer maka digunakan metode pengumpulan sebagai berikut:

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh

9

Pendekatan holistik dalam

kebudayaan sebagai suatu keutuhan atau kesatuan dari berbagai aspek kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya aspek sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa.


(51)

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007:108).

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat

Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Propinsi

Sumatera Barat yang mengetahui akan adat perkawinan yang berlaku tersebut. Masyarakat Simpang Tonang yang peneliti maksud di sini bukan saja mereka yang tinggal di kampung halaman, mereka yang tinggal di rantau pun tidak menutup kemungkinan untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak sembilan orang. Peneliti membatasi jumlah informan sebanyak sembilan orang karena data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dirasa telah cukup. Informan-informan tersebut ialah mereka yang telah melakukan perkawinan atau orang yang pernah terlibat dalam suatu perkawinan. Alasannya ialah karena menurut hemat peneliti mereka sudah mempunyai pengalaman bagaimana dahulu dihadapi oleh berbagai variasi pilihan adat perkawinan. Di samping itu peneliti juga mewawancarai niniak

mamak atau tetua adat setempat guna mengetahui sejarah Nagari Simpang

Tonang serta adat-istiadat yang berlaku di nagari tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengkategorisasikan informan ke dalam kategori informan pangkal, informan biasa maupun informan kunci, karena semua orang yang memberikan informasi mengenai data-data yang peneliti butuhkan adalah sama pentingnya.


(52)

Dalam proses wawancara, maka rapport10

10

Rapport adalah keterampilan dalam membina hubungan baik antara peneliti dengan informan.

merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Hal ini akan mengurangi kecurigaan informan terhadap peneliti, sehingga dengan keterbukaan tersebut diharapkan informan dapat memberikan informasi berupa data terkait dengan masalah penelitian. Di sini peneliti memposisikan diri sebagai orang yang tidak mengetahui mengenai masalah pemilihan adat dalam perkawinan campur tersebut dan menunjukkan rasa ketertarikan akan hal tersebut, sehingga mereka menjadi bersemangat untuk menceritakan apa saja pengetahuan yang dimiliki tanpa adanya rasa takut pendapat tersebut benar atau salah. Untuk menjalin rapport ini merupakan suatu keterampilan yang perlu dilatih. Cara-cara yang peneliti lakukan dalam menjalin hubungan baik dengan informan ini yaitu dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri dan sering-sering berkunjung. Setelah kehadiran peneliti mulai dapat diterima oleh informan, maka dilakukanlah tahap penjajakan dengan cara melontarkan beberapa pertanyaan yang ringan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pun semakin mendalam dan menjurus pada inti masalah dalam penelitian ini, sehingga terjadilah jalinan kerja sama dengan informan. Pada tahapan berikut akan terjadi suatu partisipasi, dimana informan memberikan informasi penting yang belum peneliti sadari sebelumnya untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Perlu ditekankan di sini, bahwa dalam menjalin rapport ini terkadang harus dilakukan pertemanuan secara intens (berkali-kali). Hal ini bertujuan agar data yang didapatkan benar-benar mendalam dan menggambarkan apa yang ada di dalam pola fikiran mereka.


(53)

Dalam proses wawancara tersebut peneliti membutuhkan tape recorder. Penggunaan alat perekam ini terkait dengan terbatasnya kemampuan daya ingat penulis dalam mengingat setiap kata yang diucapkan oleh informan dan kecepatan tangan yang belum terlatih dalam mecatat kata-kata yang diucapkan informan secara rinci. Hasil wawancara tersebut kemudian dibuatkan transkripnya.

b. Observasi Partisipasi

Obeservasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan pancaindra (Bungin, 2007:115). Observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan, serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan (Bungin, 2007:116).

Peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat selama sebulan untuk mengungkapkan kebudayaan dari sudut pandang mayarakat setempat (native point of vieuw). Selama tinggal dan hidup bersama dengan mereka, peneliti melakukan pengamatan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses perkawinan campuran tersebut, pihak-pihak siapa saja yang terlibat, alat-alat kelengkapan apa saja yang dibutuhkan, bagaimana hubungan kekerabatan yang terjadi akibat perkawinan tersebut, serta bagaimana interaksi atau hubungan sosial yang dijalin dalam berbagai bidang kehidupan.

Karena keterbatasan kemampuan daya ingat, maka perlu dilakukan pencatatan hasil lapangan dalam bentuk sebuah catatan lapangan (field note). Di


(54)

samping itu, juga akan dihasilkan karya-karya visual etnogarafi dalam bentuk rekaman video dan foto. Data-data ini nantinya dapat membantu penulis untuk memperjelas data-data yang didapatkan melalui wawancara, serta sebagai bukti otentik keberadaan penulis di lapangan. Penggunaan alat-alat tersebut terlebih dahulu telah mendapat persetujuan dari informan.

Untuk melengkapi data primer tersebut, maka dibutuhkan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dari berbagai buku ilmiah, jurnal, artikel, internet, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Proses analisis data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan on going analysis (analisis berkelanjutan). Dengan kata lain, analisis tersebut telah dilakukan sebelum terjun ke lapangan (analisis hasil studi terdahulu untuk menentukan fokus penelitian sementara dan akan berkembang setelah peneliti terjun ke lapangan), saat melakukan pengumpulan data di lapangan (analisis terhadap jawaban dari informan), dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai. Analisis data dalam tersebut dilakukan secara kualitatif. Data-data yang telah terkumpul dianalis menggunakan kebudayaan masyarakat itu sendiri dan kemudian baru dianalisis menggunakan teori-teori yang objektif.

1.6. Pengalaman Lapangan: Suatu Refleksi

Experience is the best teacher. Dari pengalaman dapat dipelajari makna kehidupan. Pengalaman jugalah yang menghantarkan seseorang pada pola fikir


(1)

DAFTAR INFORMAN

1.

Nama : Ali Usar (Pak Melan)

Umur : 72 Tahun

Pekerjaan : Ketua Bamus Nagari Simpang Tonang

Alamat : Ampung Parik-Duo Koto

2.

Nama : Muharnis (Pak Velma)

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Petani/ Ketua Dzikir Rapano

Alamat : Ampung Parik-Duo Koto

3.

Nama : Adly Lubis

Umur : 26 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Jongkong-Duo Koto

4.

Nama : Muharif Harahap

Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Padang Panjang-Duo Koto

5.

Nama :

Nonok

Sahlido Lubis

Umur : 76 Tahun

Pekerjaan : Petani


(2)

6.

Nama : Karman Lubis

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Aia Angek-Talu

7.

Nama : Ringga Ifandra

Umur : 30 Tahun

Pekerjaan : Staff PNPM Mandiri Pedesaan

Alamat : Pasar Talu

8.

Nama : Aspon Y Nasution

Umur : 58 Tahun

Perkerjaan : SPV PT. Telkom Indonesia

Alamat : Kelurahan Pangkalan Masyur, Medan Johor

9.

Nama

Umur : 42 Tahun

Pekerjaan : Leader of Online Marketing, Affiliate, Social, and Vidio

Income


(3)

DAFTAR INTERVIEW GUIDE

NO DATA YANG INGIN DIDAPATKAN

PERTANYAAN ETNOGRAFIS INFORMAN

1 Sejarah terbentuknya Nagari Simpang Tonang

Kampung ini sangatlah unik ya pak Orang Mandailing tapi adatnya Minangkabau, dapatkah bapak ceritakan kepada saya bagaimana sejarah terbentuknya perkampungan ini pak

Natobang natoras (tetua kampung) Nagari Simpang Tonang

Adakah kira-kira peninggalan seperti tulisan-tulisan, prasasti atau lain-lain yang mencatat sejarah tersebut pak?

Saya lihat ada kemiripan bahasa dan adat antara Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak, apakah memang ada kaitan antara keduanya pak?

Seingat saya dahulu Cubdadak itu masuk Talamau kan pak? Jadi semenjak kapan

disatukan dengan Simpang Tonang menjadi Kec. Duo Koto?

2 Konsep perkawinan dan

adatnya (sumondo, manjujur, dan adat ranto) menurut masyarakat setempat

Apa sih makna dan fungsi perkawinan menurut bapak?

masyarakat dan natobang natoras Pak di sini siapa-siapa saja

yang boleh melakukan perkawinan dan dilarang melangsungkan perkawinan? Apa sangsinya kalau

pantangan tersebut dilanggar pak?

Adat-adat perkawinan apa saja yang berlaku di Simpang Tonang pak?

Pak apa ya pak bedanya perkawinan menggunakan adat sumondo, adat manjujur, atau adat ranto pak?

Kalau misalnya hendak menikah menggunakan adat


(4)

x, apa-apa saja urutan yang mesti ditempuh pak?

Kenapa pada zaman sekarang sangat jarang dijumpai orang yang menggunakan adat manjujur pak?

Kapan seseorang tersebut menggunakan masing-masing adat tersebut pak?

Bagaimana seandainya terjadi perkawinan campuran dengan adat yang berbeda pak? Adat apa yang digunakan dan lebih dominan?

Adat mana yang lebih sesuai menurut bapak?

3 Proses pemilihan adat perkawinan

Kapan proses pemilihan adat tersebut dilakukan pak?

Masyarakat dan natobang natoras Siapa-siapa saja yang terlibat

dan berpengaruh dalam proses pemilihan adat tersebut pak?

Apa-apa saja yang dibicarakan ketika proses pemilihan adat tersebut pak?

4 Faktor serta alasan pemilihan adat tersebut

Kenapa ketika menikah dahulu bapak memilih menggunakan adat x pada saat menikah, kenapa tidak pakai adat x pak?

Masyarakat dan dan natobang natoras

Apa-apa saja yang bapak pertimbangkan ketika memilih adat tersebut?

Mana menurut bapak yang lebih praktis ?

5 Penerapan hukum lainnya

dalam perkawinan

Bagaimana tatacara mengurus surat dan akta pernikahan pak?

Masyarakat dan natobang natoras Bagaimanakah penerapan

hukum Islam dalam perkawinan di sini pak? Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, apakah tidak ada pertentangan antara hukum Islam dengan adat perkawinan di sini pak?


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20