BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

  BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN

2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang

  Nagari Simpang Tonang merupakan salah satu nagari yang terdapat di

  dalam wilayah administratif Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Propinsi

  2 Sumatera Barat. Nagari ini mempunyai luas wilayah ± 252 Km (337.750 Ha)

  atau sekitar 44.67% dari luas Kecamatan Duo Koto. Lahan tersebut terdiri dari: perkampungan, lahan pertanian, perikanan, perladangan, hutan dan sungai.

  Gambar 1. Peta Kecamatan Duo Koto Sumber: Dua Koto dalam Angka Tahun 2011

  Nagari Simpang Tonang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal,

  Propinsi Sumatera Utara di sebelah Utara. Batas tersebut terletak di atas Puncak Gunung Kelabu. Di sebelah Selatan nagari ini berbatasan dengan Nagari Sinurut,

   Kabupaten Pasaman Barat atau di dalam tarombo batas ini dinamai dengan 11 Tarombo merupakan suatu suatu buku yang berisi mengenai uraian seharah asal-usul terbentuknya Nagari Simpang Tonang. Panjinjauan Bateh Agom. Di sebelah Barat nagari ini berbatasan dengan Kecamatan Gunung Tuleh, Kabupaten Pasaman Barat atau istilahnya dalam

  

tarombo ialah Baudo Karyong. Di Sebelah Timur nagari ini berbatasan dengan

  Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman atau istilahnya dalam tarombo adalah Papahan Tonang. Batas-batas tersebut ada yang ditandai oleh alam berupa gunung dan ada juga yang ditandai oleh gapura-gapura.

  Secara topografis, Nagari Simpang Tonang merupakan suatu daerah yang terdiri dari dataran dan perbukitan. Nagari ini terletak pada ketinggian 600 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 30

  C. Nagari ini dikelilingi oleh rangkaian Bukit Barisan yang memiliki hutan lebat dan sedikit belukar, diantaranya seperti: Bukit Gunung Tak Jadi di Simpang Dingin, Bukit Ledang dan Bukit Batu Besar di Tonang Raya. Bukit-bukit tersebut ada yang terlihar gundul karena dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan perladangan. Gunung Kelabu sebagai batas dengan Kabupaten Mandailing Natal Proinsi Sumatera Utara merupakan sebuah gunung non-berapi. Di samping itu juga terdapat beberapa sungai seperti: Aek Simpang Duku, Aek Simpang Tonang, Batang Barilas, Batang Andilan, dan lain sebagainya yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengairi areal persawahan dan sarana MCK. Bahkan beberapa sungai dijadikan sebagai lubuk larangan dimana ikannya hanya boleh diambil pada waktu-waktu tertentu seperti Hari Raya Idul Fitri.

  Nagari Simpang Tonang memiliki tanah yang subur. Masyarakat

  memanfaatkannya sebagai lahan pertanian dengan menanam beranekaragam tanaman produktif seperti: tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kedele, dan lain-lain), tanaman perkebunan (kelapa, karet, kopi, coklat, nilam, pinang, dan lain-lain), buah-buahan (jeruk, pisang, dan lain-lain), dan sayur- sayuran (cabe, ketimun, terung, kacang panjang, bawang, dan lain-lain). Di samping menunjang pertanian, kondisi geografis ini juga menunjang peternakan dimana masyarakat setempat memelihara hewan ternak seperti: kerbau, sapi, kambing/domba, ayam, itik, ikan, dan lain sebagainya.

  Kanagarian Simpang Tonang terdiri dari 8 jorong, yaitu: Jorong Air

  Dingin, Jorong Kelabu, Jorong Tanjung Mas, Jorong Perdamaian, Jorong Tonang Raya, Jorong Setia, Jorong Sepakat, dan Jorong Purnama. Setiap jorong tersebut dipimpin oleh seorang kepala jorong demi mempermudah anggota masyarakat dalam mengurus segala sesuatu keperluan administrasi. Suatu jorong terdiri beberapa kampung kecil yang memiliki seorang penghulu dan natobang

  

nadipotabang di bagasan ampung (tetua dan orang yang dituakan di dalam

kampung) atau dalam istilah lainnya dikenal juga dengan sebutan Ninik Mamak.

  Jorong -jorong tersebut dihubungkan oleh satu jalan utama. Jalan ini digunakan sebagai sarana transportasi ke pusat kabupaten atau pusat propinsi.

  Pasca dibukanya jalur jalan raya lintas Padang-Simpang Empat dan rencana pembangunan jalan lintas Pasaman-Hutapungkut Madina, hal ini tentu akan membuat letak daerah ini cukup strategis karena daerah ini menjadi jalur alternatif Padang-Medan. Kondisi jalan yang memadai tersebut sangat menunjang perekonomian masyarakat. Jalan tersebut digunakan juga oleh masyarakat untuk mengangkut hasil pertanian ke pusat Kabupaten Pasaman, Lubuk Sikaping dan sebaliknya membawa barang kebutuhan pokok sehari-hari ke desa-desa yang ada di Kanagarian Simpang Tonang. Jelaslah bahwasanya sarana jalan tersebut sangat vital fungsinya bagi masyarakat.

  Jarak dari Nagari Simpang Tonang ke Ibukota Kecamatan yakni Andilan, sejauh ± 4 Km dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor, sedangkan jarak ke Ibukota Kabupaten yakni Lubuk Sikaping sejauh ± 63 Km dapat ditempuh selama 2 jam menggunakan kendaraan bermotor dan jarak ke Padang, Ibukota Propinsi Sumatera Barat sejauh ± 300 Km yang dapat ditempuh selama 5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, Nagari Simpang Tonang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat. Angkutan umum yang tersedia sangatlah beranekaragam; mobil minibus untuk angkutan pedesan dan bus berukuran sedang untuk angkutan antarkota/ antarkabupaten Selain itu masih ada trayek antar- provinsi, yaitu bus menuju Kota Medan dan Kota Pekanbaru. Namun, tidak semua pelosok daerah dapat dijangkau oleh sarana angkutan tersebut, untuk itu tersedia sarana transportasi ojek. Lancarnya sarana tranposrtasi ini juga menjadi faktor penunjang mobilitas penduduk di perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara ini.

  Untuk mencapai Nagari Simpang Tonang ada 2 alternatif jalur pilihan. Pertama via Simpang Ampek Pasaman Barat dan yang kedua adalah via Panti Pasaman Timur. Kedua alternatif jalur ini bertemu di suatu persimpangan yang bernama simpang Andilan. Untuk mencapai pusat pasar Simpang Tonang masih dibutuhkan waktu tempuh sekitar 10 menit. Ojek merupakan satu-satunya sarana angkutan umum yang tersedia. Setidaknya kita perlu merogoh kocek lebih kurang Rp.7.000 tergantung dari jarak yang akan ditempuh.

  

2.2. Menguak Kembali Sejarah Migrasi Etnis Mandailing ke Pasaman dan

Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang

2.2.1. Sejarah Singkat Migrasi Etnis Mandailing ke Daerah Pasaman Pasaman merupakan daerah teritorial dari Kerajaan Minangkabau.

  Pasaman merupakan wilayah rantau bagi orang Minang yang berasal dari luhak Agam. Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber pada tambo, dinyatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari wilayah darek dan rantau. Wilayah darek merupakan wilayah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau, dimana daerah ini juga dikenal dengan sebutan

  luhak nan tigo , yang terdiri dari: Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak

  Limo Puluah Koto. Sementara itu, wilayah rantau merupakan daerah perluasan Kerajaan Minangkabau sehingga budaya dan tradisi di daerah ini tidak persis sama dengan daerah pusat budaya Minangkabau karena telah terjadinya akulturasi dan asimilasi kebudayaan.

  Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan bahagian dari wilayah harajaon (kerajaan) mereka. Hal ini sesuai dengan misi migrasi yang mereka bawa yakni perluasan daerah teritorial (Pelly, 1994:11-12). Sangat sulit untuk menelusuri sejak kapan etnis Mandailing mendiami wilayah Pasaman, sebab kurang memadainya data yang menerangkan perihal tersebut. Namun, sebagian ahli sejarah meyakini bahwa hal ini tidak terlepas dari

  

  munculnya Gerakan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Rao pada abad ke-19 di daerah Tapanuli Selatan. Etnis Mandailing yang telah diislamkan kemudian dibawa ke daerah Rao Pasaman untuk diserahkan tanah.

  Migrasi etnis Mandailing tidaklah dilakukan secara serentak, mereka datang secara bergelombang atau bertahap. Puncaknya terjadi pada tahun 1953, dimana mereka datang secara menyelundup dan mengambil tanah penduduk setempat dengan sewenang-wenang. Penduduk asli mengalami rasa kekhawatiran karena lahan hutan dan tanah mereka dikuasai oleh pendatang. Hal ini menyulut terjadinya konflik karena bertentangan dengan adat-istiadat setempat.

  Di daerah Pasaman terdapat suatu aturan mengenai masalah kepemilikan serta penguasaan tanah. Ketentuan adat tersebut harus dipatuhi oleh penduduk asli (urang asa) maupun bagi penduduk pendatang (urang datang). Bagi penduduk pendatang jika ingin mendapatkan tanah ulayat terlebih dahulu ia harus menjadi kemenakan dari seorang ninik mamak dalam nagari dan harus disahkan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). Mereka harus bersedia mematuhi semua peraturan yang berlaku di nagari tersebut. Seperti ibarat pepatah, yakni: “adat diisi limbago

  

dituang , dimano aia disauak di sinan rantiang dipatah, dimano bumi dipijak di

sinan langik dijunjuang (adat diisi lembaga dituang, dimana air disauk di sana

  ranting dipatahkan, dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung)”.

  Rumusan yang hampir sama juga dinyatakan oleh Navis (1985:128) bahwa untuk menjadi orang Minangkabau diperlukan tata cara yang dinamakan 12 Gerakan Paderi adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam kehidupan tatanan beragama dan kemasyarakatan di Minangkabau yang dimulai pada tahun 1803 hingga tahun 1821.

  Gerakan Islamisasi ini dimotori oleh Tuanku Rao, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai mengisi adat: cupak diisi limbago dituang. Maksudnya, ialah apabila seseorang ingin menjadi orang Minangkabau, maka terlebih dahulu ia harus memenuhi aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam adat. Mereka diterima dan ditampung dalam struktur persukuan Minangkabau dan menjadi kemenakan di Minangkabau setelah membayar upeti adat dalam bentuk: uang, barang, hewan, atau tanda lainnya sesuai dengan kesepakatam masyarakat setempat.

  Kalau syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka sesuai dengan kewajiban terhadap kemenakan, si mamak akan memberikan tanah ulayat untuk digarap termasuk hutan dengan status hak pakai. Tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan, bila penduduk pendatang pindah dari nagari tersebut, tanah kembali menjadi hak nagari dan semua tanaman yang ada di atas tanah itu akan diganti oleh nagari.

  Atas dasar tersebut akhirnya dibuatlah suatu kesepakatan antara etnis Mandailing dengan etnis Minangkabau sebagaimana yang diilustrasikan dalam pepatah berikut:

  

“Sasangka balam jo katitiran. Bacampua Melayu jo Mandailing.

Angguak dibalam danguik dipuyuah. Balam maangguak didahan

kayu. Puyuah mandanguik di alang laweh. Samo mangaluah di

ateh bumi . Sando manyando kaduonyo. Bak aua jo tabiang

  (Sesangkar burung balam dengan burung ketitiran. Bercampur Melayu dengan Mandailing. Angguk dibalam dengut dipuyuh. Balam mengangguk di dahan kayu. Puyuh mendengut di padang luas. Sama mengeluh di atas bumi. Sandar-menyandar keduanya. Seperti aur dengan tebing)” Kesepakatan antara kedua etnis sebagaimana yang diungkapkan dalam ilustrasi di atas masih berlaku hingga sekarang. Adapun makna dari angguak

  

dibalam, danguik dipuyuah adalah bagaimana pun tingginya adat Mandailing yang ada di daerah Minangkabau ini, harus tunduk pada panji-panji adat alam Minangkabau. Sedangkan sasangka balam jo katitiran maksudnya etnis Mandailing dan etnis Minangkabau boleh tinggal di daerah yang sama, dengan adat-istiadat yang berbeda. Mereka pada dasarnya diperbolehkan untuk menggunakan adat-istiadatnya masing-masing. Namun seperti terjadi dualisme dalam etnis Mandailing yang sudah menjadi kemenakan suatu niniak mamak, ada yang tetap menggunakan adat-istiadatnya dan ada juga yang mengikuti adat- istiadat Minangkabau. Mereka yang terakhir ini kemudian lebih suka disebut sebagai “urang Minang”.

  Etnis Mandailing tersebut kemudian tinggal secara mengelompok di beberapa daerah di Pasaman. Mereka mayoritasnya mendiami wilayah Sontang, Koto Nopan, Cubadak, Simpang Tonang, Rabi Jonggor dan lainnya. Masing- masing daerah tersebut mempunyai karakteristik kebudayaan tersendiri. Misalnya saja daerah Simpang Tonang dan Cubadak yang notabennya memang dihuni oleh etnis Mandailing, namun dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengacu kepada adat istiadat Minangkabau berbeda dengan saudaranya di Rao dan Panti yang masih mempertahankan adat istiadat leluhur yang mereka bawa dari Tanah Mandailing.

2.2. Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang

  Tak ada yang mengetahui pasti kapan pertama kali etnis Mandailing

  

  

Bagi Barth (1988) kelompok etnis adalah suatu golongan sosial yang askriptif yang berkenaan

dengan asal-usul kelahiran dan daerah asal.

  bermigrasi membuka nagari ini. Namun, salah seorang natobang atau tetua kampung setempat meyakini bahwa nenek moyang mereka sudah mendiami

  

Nagari Simpang Tonang jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Seperti yang

  dituturkan oleh Pak Velma, salah seorang natobang Ampung Parik kepada penulis, yakni: “anyo sejarahna pak inda be diboto kok taon sadia, generasina pe

  pak madung bahat. Ma udokon di ho marratus taon ma nari kiro-

kiro mean ami di Pangtonang on, bahkan lobi mei arana jaman

Bolando sajo pak 350 taon di son. Sadangkon sabalun i pak

madung i son mei alak Mandailing i. Ima so inda dapot dihita

taonna (kalau sejarahnya sudah tidak diketahui lagi entah tahun

  berapa, generasinya pun sudah banyak. Seperti yang sudah saya katakan pada anda, sudah beratus tahun kami mendiami nagari Simpang Tonang ini bahkan lebih karena jaman penjajahan Belanda saja sudah 350 tahun. Jauh sebelum masa penjajahan itu orang Mandailing sudah mendiami wilayah ini. Itu lah kenapa kita tidak tahu pasti menganai tahunnya)”. Ketika penulis berada di lapangan penulis menemukan versi lain dari sejarah terbentuknya kanagarian ini. Penulis menemukan penuturan sejarah yang berbeda dari natobang Simpang Tonang. Penulis seperti menangkap ada suatu luka lama atau perselisihan di masa silam mengenai sejarah tersebut. Namun, di sini penulis tidak akan mengoyak kembali luka lama itu. Penulis berusaha memahami kondisi masyarakat di lapangan dan tidak mempertentangkan dua pendapat yang bertolak belakang tersebut.

13 Mandailing dalam kajian ini dikatakan sebagai suatu kelompok etnis atau suku bangsa.

  Menurut informasi yang penulis dapat dari media internet bahwasanya

  Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak merupakan suatu wilayah ulayat di

  bawah kepimpinan Rajo Sontang. Berbekal informasi tersebut, penulis bertolak ke Duo Koto pada akhir tahun 2012 lalu. Pada saat itu belum dilakukan pengangkatan Rajo Sontang yang baru. Penulis hanya berhasil menemui salah seorang pahompu (cucu) Rajo Sontang sebelumnya. Beliau pun tidak begitu paham akan sejarah terbentuknya nagari ini. Beliau merekomendasi kami untuk menjumpai orang yang lebih paham akan sejarah tersebut. Orang tersebut dikenal sebagai ujung lidah Rajo Sontang sebelumnya. Penulis berhasil menjumpai beliau di kediamannya yang sederhana di jorong Sarasah. Beliau pun membenarkan bahwasanya Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang ialah benar dalam satu tanah ulayat di bawah kekuasaan Rajo Sontang, sebagaimana yang dituturkannya kepada penulis sebagai berikut:

  “nari do ntong ita na marnagori, najolo inda di bawah kekuasaan ni Rajo Sontang. Harana pada jaman i inda pe ita mardeka.

  Unjung de Rajo Dubalang Pangtonang mangamuk tu au. Ulang ko

mangamuk ningku ho guru, oji, dung berpengalaman na bahat.

Golarna ho berpendidikan inda dong dope raja dubalang,

dubalang ni raja adong tai harana hamu mambantu bolanda on

mangalo bolanda sahinggo diangkat bolanda hamu Raja

Dubalang (sekarang kita yang ber-nagari, dulunya semua di bawah

  kekuasaan Rajo Sontang. Pada masa itu kita belum merdeka. Pernah Rajo Dubalang Simpang Tonang mengamuk pada saya. Jangan kau mengamuk kataku. Kau seorang guru, haji dan punya pengalaman yang banyak. Kau orang yang berpendidikan. Tidak pernah ada Raja Dubalang, dubalang raja yang ada tapi karena kalian memihak pada Belanda sementara kami di sini melawan Belanda, maka diangkat Belandalah kalian sebagai Raja Dubalang)”.

  Sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan, maka penulis menemukan bahwa terdapat dua perbedaan pendapat dalam penentuan sejarah terbentuknya daerah tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang ialah tanah ulayat di bawah pimpinan pucuk adat Rajo Sontang. Pendapat kedua menyatakan bahwa Nagari Cubadak di bawah kekuasaan Rajo Sontang sementara Nagari Simpang Tonang di bawah kekuasaan Rajo Dubalang. Pun demikian penulis tidak akan mempertentangkan kedua perbedaan pendapat tersebut dengan membela kepada satu pihak. Penulis pun baru tahu bahwa kedua nagari ini sebenarnya memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini juga dituturkan oleh Pak Velma, natobang Ampung Parik, sebagai berikut:

  

“jadi kiro-kiro hubunganna nari udokkon diho sebagai alak

sumondo-menyumondoi. Adong de bagas ni Rajo Sontang di

Pangduku tapi kalo wilayatna wilayat Rajo Dubalang do. Kalo

bagas godang ni Rajo Sontang di Sontang dei atau Sibodak. Bukan

nasodong bah tong hubunganna, contohna bahaso dot adatna

samo. Nari bolas idokon buriah tanah batas tanahna dot Cubadak

inda jelas. Harana na sangkibul de mulai mon najolo. Jadi najolo

halai namardalan manjalasi daerah i namalua tu Sibodak aaa ime

wilayah Rajo Sontang, kalo namalua tu Pangtonang on ime Rajo

Dubalang. Jadi kalo dianalisa diiba na Rajo Sontang Rajo

Dubalang on inda marpisah tutu dabo (jadi kira-kira hubanganya

  sekarang ialah sebagai orang sumando-menyumandoi.Buktinya ada rumah Rajo Sontang di Simpang Duku meskipun berada di tanah ulayat Rajo Dubalang. Rumah besar Rajo Sontang terdapat di Sontang atau Cubadak. Bukan tidak ada hubungan antara Simpang Tonang dan Cubadak, misalnya saja persamaan adat dan bahasanya. Sekarang dapat dikatkan batas wilayah dengan Cubadak tidaklah jelas. Karena dari dahulu kala merupakan satu kesatuan. Jadi dahulu kala mereka mencari berjalan mencari daerah yang keluar ke Cubadak aaa itulah wilayah Rajo Sontang, kalau yang keluar ke Pangtonang ini itulah Rajo Dubalang. Jadi kalau kita analisa, Rajo Sontang dan Rajo Dubalang ini tidak terlalu berpisah sekali)”.

  Untuk itu perlu kiranya penulis rasa menuliskan kembali bagaimana sejarah Simpang Tonang versi alak Simpang Tonang. Berbicara mengenai Nagari Simpang Tonang tidaklah lengkap jika belum membahas mengenai sejarah asal- usul terbentuknya nagari tersebut. Sepotong kisah mengenai Raja Gumanti Porang atau yang lebih dikenal dengan Rajo Dubalang merupakan suatu kisah asal-usul terbentuknya nagari Simpang Tonang yang masih melekat erat dalam ingatan beberapa orang natoras/ natobang di bagasan ampung atau tetua kampung. Salah satunya adalah Pak Melan (74).

  Beliau kemudian membuat salinan ringkas mengenai asal-usul nagari tersebut berdasarkan catatan tarombo yang beliau miliki. Menurut beliau, tidak semua orang paham akan sejarah asal-usul kampung halamannya meskipun dia seorang sarjana berpangkat.

  

“dilehen pe na asli nai jo nda malo ho manarjemahkonsa i arana

inda sarupo bahasona dohot bahaso ita nari (diberikan pun yang

  aslinya kepadamu tidak akan pandai kau menjelaskanya karena tidak serupa bahasanya dengan bahasa kita sekarang)”.

  Tarombo berjudul Sejarah Asal Usul Nagari Simpang Tonang tersebut

  dibuat dalam campuran bahasa Mandailing, Minangkabau, dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa serta ejaan lama. Adapun ringkasan isi tarombo tersebut adalah sebagai berikut:

  Pada zaman dahulu kala tersebutlah sejarah mengenai Raja Pidoli Mandailing Godang yang bergelar Rajo Gumanti Porang. Dari hasil perkawinannya dengan isterinya yang bernama Mancuom Godang, beliau mempunyai tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Pada masa itu kerajaan Pidoli diserang oleh orang dari Padang Gelugur. Kemudian Rajo Gumanti Porang dan perangkat kerajaan meninggalkan daerah tersebut menuju tempat yang aman. Maka sampailah mereka ke Lubuk Aro Tarok (di daerah Rao sekarang). Mereka pun berkembangbiak di sana.

  Dimasa kepemimpinan Sutan Bandaharo dilakukankanlah suatu perundingan dengan segenap perangkat desa, anak, cucu beserta kemenakan. Mereka merasa tidak enak terlalu lama menumpang di daerah orang. Atas dasar kesepakatan yang telah diperolah akhirnya Sutan Bandaharo memerintahkan seorang yang gagah berani bernama Dubalang Sirah Dado untuk untuk mencari tanah yang luas dan belum pernah dihuni orang lain.

  Dubalang Sirah Dado memulai perjalanannya ke arah Barat dari Sontang Panjang. Dari perjalanan naik bukit turun bukit tersebut ia mendapatkan suatu daerah yang berada di antara dua buah sungai (batang air). Di sana ia mendirikan rumah tempat beristirahat. Kemudian ia melanjutkan kembali perjalanannya tersebut. Perjalanan dimulainya dari Guo Balang Karau Pisang Hulu Air Papahan Tonang terus ke Bahudo Kariong lanjut ke Tinjawan Agam lalu ke Puncak Gunung Kulabu dan dari Bukit Tinjowan Koto Rajo hulu Air Tangharang lalu ke Bukit Ulai dan terus kembali ke rumahnya.

  Setelah menemukan wilayah tersebut maka ia kembali ke Sontang Panjang untuk memberitahukan hal tersebut kepada Sutan Bandaharo. Sutan Bandaharo kemudian membawa perangkat kerajaan beserta anak cucu kemenakannya untuk melihat daerah tersebut. Mereka tinggal di rumah Dubalang Sirah Dado yang dibangunnya saat itu. Setelah dinilainya bahwa daerah tersebut layak dijadikan suatu hunian, maka Dubalang Sirah Dado membawa mereka dan menunjukkan bukit-bukit yang dilaluinya lebih dulu untuk dijadikan batas wilayah. Kemudian disaat mereka menjelajah daerah tersebut mereka menemukan sebuah sungai yang airnya tenang, dari situlah asal kata Simpang Tonang diambil.

  Pada awal kedatangannya hanya ada dua marga saja yang terdapat di daerah tersebut. Marga Nasution dari pihak Sutan Bandaharo (sekarang dikenal dengan nama Raja Dubalang) dan marga Mais dari pihak Tompu Sereng (sekarang bergelar Saheto Gading). Tidak beberapa lama kemudian datang pula satu rombongan dari daerah Mandahiling bergelar sako Ajaran Tolang (sekarang bergelar Panghulu Mudo) bermarga Lubis. Mereka mendiami Kampung Tolang Dolok. Kemudian datang lagi rombongan lainnya dari daerah Mandahiling juga bernama Raja Mondang Tahi (marga Lubis) dengan temannya bernama Malin Mancayo (marga Batubara).

  Adapun orang-orang tersebut di atas disebut “Induk nan Barampek”, turun temurun sampai sekarang adalah:

  1. Tompu Sereng gelar Saheto Gading sebagai manti; ujung lidah kapalo sambah , anak kunci bilik dalam.

  2. Hajaran Tolang gelar Panghulu Mudo; nan akan mengambangkan Payung Rajo .

  3. Rajo Mondang Tahi bergelar Sutan Parang; diakui sanak oleh Rajo.

  4. Malin Mancayo gelar Gading Raja; nan mahatak manghidang nan kamangagiohkan .

  Dengan demikian cukuplah syarat untuk mendirikan nagari yaitu: didiami oleh empat suku (Raja Dubalang dengan suku Nasution, Tompu Sereng dengan suku Mais dan Ajaran Tolang dan Raja Mondang Tahi dengan suku Lubis dan Malin Mancayo dengan suku Batubara), ada tanah ulayat, ada pandam pakuburan dan ada sebuah pasar tempat berlangsungnya aktifitas perekonomian nagari. Kemudian diangat pula beberapa orang sebagai pengembang ajaran Islam atau yang dikenal dengan istilah ampek di khitabullah yakni: Imam Khatib, Bilal dan Malin.

  Selanjutnya datang pulalah kaum-kaum lain yang kemudian diberikan suatu kampung dan diangkat pulalah penghulunya. Adat yang dipakai di Nagari Simpang Tonang sesuai dengan adat Minangkabau yakni adat salingka nagari.

  

Hak bamilik harto ba nan punyo, sako jawek bajawek, pusako turun-temurun.

Barajo bahakim , bapucuak bulek. Adat tersebut masih tetap dilestarikan sampai

saat sekarang ini.

  Dari uraian tarombo asal-usul terbentuknya Nagari Simpang Tonang tersebut, maka dapat dipahami bahwasanya nenek moyang alak Simpang Tonang ialah para imigran yang berasal dari Mandailing Natal. Imigran tersebut datang secara mengelompok dalam beberapa tahap. Para pendatang tersebut berusaha untuk menjadi “Minang” dengan mengganti adat-istiadat yang mereka bawa. Meskipun daerah ini termasuk wilayah rantau Minangkabau, pada saat itu belum ada penduduk yang menghuninya.

  Jika ditelaah kembali sebenarnya tidak banyak perbedaan antara sejarah

  Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak. Kedua Nagari ini merupakan

  daerah temuan baru dari Kerajaan Sontang Panjang. Batasan-batasan yang terdapat di dalam tarombo tersebut bahkan dapat menjelaskan bahwasanya kedua

  

nagari ini dahulunya merupakan satu kesatuan. Persamaan adat-istiadat dan

  adanya bagas godang Rajo Sontang di Simpang Tonang adalah bukti lain bukti bahwa dahulunya nagari ini memiliki hubungan yang sangat dekat.

  Dahulu memang belum ada istilah nagari. Istilah ini populer pasca runtuhnya rezim Soeharto, yakni dengan diberlakukannya Otonomi Daerah tahun 2001. Hal inilah mungkin yang menyebabkan seakan-akan ada dua versi sejarah antara Simpang Tonang dan Cubadak. Dengan adanya pemberian hak otonomi daerah tersebut, akan memicu terjadinya penafsiran kembali sejarah kehidupannya untuk beragai kepentingan tertentu (Benda-Backmann dalam Ramsted, 2011:15- 36).

2.3. Komposisi Penduduk

  Berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman tahun 2012, jumlah penduduk Nagari Simpang Tonang adalah 12.587 jiwa, yang terdiri dari 5.700 jiwa penduduk laki-laki dan 6.887 jiwa penduduk perempuan. Jumlah rumah tangga adalah sebanyak 3.691 KK. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

  

Tabel 1

Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Berdasarkan Jorong Tahun 2013

  NO Jorong Luas Ha Penduduk

  1 Air Dingin 43.500 1.120

  2 Kelabu 40.700 1.675

  3 Tanjung Mas 41.850 1.574

  4 Perdamaian 43.950 1.248

  5 Tonang Raya 49.450 3.183

  6 Setia 45.350 2.128

  7 Sepakat 29.00 761

  8 Purnama 34.950 803 Jumlah 337.750 12.587

  Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang Dari tabel di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Jorong Tonang

  Raya merupakan jorong yang daerahnya paling luas dan paling banyak jumlah penduduknya. Hal ini disebabkan karena di jorong ini terdapat berbagai pusat keramaian seperti pasar, kantor wali nagari dan KAN.

  Berikut ini penulis jelaskan mengenai komposisi penduduk Simpang Tonang, yakni mengenai pengelompokan berdasarkan ciri-ciri tertentu seperti: usia, jenis kelamin, mata pencaharian, dan lain sebagainya. Dalam pembuatan deskripsi ini penulis memanfaatkan data statisik yang diperoleh dari Kantor Wali

  Nagari Simpang Tonang.

2.3.1. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

  Pengelompokan penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin ini bermanfaat untuk mengetahui perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang terdiri dari kategori penduduk usia produktif (berusia antara 15- 54 tahun) dan kategori penduduk usia non-produktif (berusia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan tabel berikut ini.

  Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

  Jenis Kelamin No Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 15-19 Tahun 673 780 1.453

  2 20-26 Tahun 678 807 1.485 3 27-40 Tahun 997 1.357 2.354 4 41-56 Tahun 1.174 1.564 2.738

  5

  57 Tahun ke atas 157 389 546 Jumlah 3.679 4.897 8.576

  Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kanagarian

  Simpang Tonang ini tergolong usia dewasa dan dapat dikategorikan usia produktif (15-56 tahun), selebihnya adalah penduduk usia non-produktif (57 tahun ke atas). Sementara data mengenai anak-anak berusia 0-14 tahun tidak tersedia.

  Penduduk usia produktif berjumlah sebanyak 8.030 orang dan sisanya sekitar 546 orang adalah usia non-produktif atau lanjut usia. Jika dipersentasikan yakni sekitar 93,6% berbanding 6,4%. Namun pada kenyataannya di lapangan ada

2.3.2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap manusia.

  64 1.087

  738

  penduduk usia produktif yang masih bersekolah dan penduduk usia non-produktif yang masih tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

  Setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Secara umum tingkat pendidikan di Nagari Simpang Tonang dapat dikatakan baik. Dari data yang didapat dari Kantor Wali Nagari Simpang Tonang bahwa tingkat pendidikan di daerah ini rata-rata mengenyam pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.

  

Tabel 3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

  No Keterangan Jumlah (orang)

  1 Lulusan Pendidikan Umum 1.

  Taman Kanak-Kanak 2. Sekolah Dasar 3.

SLTP 4. SLTA 5.

  86 314 127

  2 Lulusan Pendidikan Khusus 1.

  Pendidikan Pesantren 2. Madrasah 3. Pendidikan Keagamaan 4. Sekolah Luar Biasa 5. Kursus/ Keterampilan

  27

  • 97

  Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hanya sedikit saja penduduk yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTP. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan di kalangan masyarakat Simpang Tonang masih

  Akademi (D1-D3) 6. Sarjana (S1-S2)

tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena faktor ekonomi yakni kurangnya dana untuk membiayai sekolah karena mata pencaharian yang minim dan pengaruh gender dimana bagi sebagian dari mereka berpikir bahwa seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi karena setelah lulus mereka tetap akan menjadi seorang ibu rumah tangga. Hal ini tentu mempengaruhi pengetahuan mereka.

2.3.3. Jumlah Penduduk Mata Pencaharian Hidup

  Pada umumnya masyarakat Simpang Tonang bekerja di sektor pertanian unutk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini didukung oleh keadaan alamya yang subur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:

  

Tabel 4

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Hidup

  NO Keterangan Jumlah (Orang)

  1 Karyawan a.

  145 Pegawai Negeri Sipil b.

  3 ABRI c.

  4 Polisi d.

  15 Swasta

  2 Wiraswasta

  3 Tani 5140

  4 Pertukangan

  36

  5 Buruh Tani 943

  6 Pensiunan

  7 Nelayan

  8 Pengangguran/ pekerja tidak tetap Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang

  Di samping pertanian/perkebunan, terdapat juga usaha-usaha rumah tangga lain seperti: usaha perabot rumah tangga, pembuatan kerupuk udang, jaring babi, gula bargot (aren), apar besi, montir/bengkel, berjualan. Ada juga yang beternak ayam dan ikan sebagai penghasilan tambahan. Ikan-ikan jenis Mas dan Nila itu dipelihara mereka di dalam sebuah kolam atau masyarakat setempat menyebutnya dengan tobat.

2.3.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

  Sebagai suatu sistem kepercayaan dan keyakinan, agama bagi masyarakat setempat memiliki peranan yang teramat penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sistem nilai dan norma yang terdapat dalam ajaran agama ditempatkan dalam posisi teratas dalam menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang dihadapi oleh semua lapisan masyarakat. Masyarakat Simpang Tonang 100% beragama Islam, sehingga nilai-nilai Islami sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Termasuk mengenai masalah perkawinan, sehingga tidak pernah ditemukan kasus perkawinan campuran antara agama di daerah ini. Masyarakat Simpang Tonang mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, sebagaimana filsafat adat Minangkabau. Menurut Navis (1984), rumusan adat

  

basandi syarak syarak bansandi kitabullah mengandung konsekwensi

  bahwasanya adat-istiadat dan Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena saling mengisi. Hukum adat berdasarkan hukum Islam dan hukum Islam berdasarkan Al Qur’an. Dengan kata lain, segala aturan-aturan adat Minangkabau tidak boleh bertentangan dengan syariat-syariat Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW .

  

Tabel 5

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Per Jorong Jorong Islam Protestan Katolik Hindu Budha

  Kalabu 2 294 Tanjung Mas 667 Tonang Raya 1 764 Setia 616 Purnama 2 319 Sepakat 24 685

  Sumber: Kantor Departemen Agama Kabupaten Pasaman Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh masyarakat Simpang Tonang adalah pemeluk agama Islam. Segala aktifitas masyarakat selalu berpedoman pada kitab suci Al’quran dan hadis (segala perbuatan dan tingkah laku nabi). Nilai-nilai Islami sudah terinternalisasi pada jiwa masyarakat Simpang Tonang. Sebagai wujud dari spirit keberagamaan mereka senantiasa meramaikan mesjid setempat untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu secara berjama’ah. Apabila hari Jum’at tiba maka kaum laki-laki di sini datang berbondong-bondong mengenakan baju koko atau batik lengkap dengan kain sarungnya dan pecinya untuk menunaikan ibadah sholat Jum’at. Suasana keagamaan sangat tersasa ketika bulan Ramadhan menjelang dan pada saat perayan hari-hari besar agama Islam seperti: Maulid Nabi, Isra’ Miraj dan hari-hari besar lainnya. Masyarakat akan mengadakan berbagai rangkaian acara di masjid setempat dengan memasak

  

loming (lemang) sebagai penganan tradisionalnya. Kebetulan pada saat penulis

  berada di lapangan tengah diadakan acara peringatan Isra’ Miraj dan penyambutan bulan suci Ramadhan di Ampung Parik. Pada acara yang dihadiri oleh wali nagari Simpang Tonang tersebut, panitia yang tak lain adalah remaja mesjid mengadakan lelang amal dimana mereka yang tidak mampu menyumbangkan uang secara langsung dapat menyumbangkan barang-barang yang bernilai ekonomis. Ada satu lagi tradisi unik yang dimiliki masyarakat Simpang Tonang yakni ziarah massal untuk membersihkan pandam perkuburan sebelum memasuki bulan Ramadhan.

2.4. Pola Pemukiman

  Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan atau pun aktivitas sehari-harinya.

  Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya. Pola pemukiman merupakan persebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya.

  Babaliak ka nagari merupakan suatu peraturan daerah yang terdapat di

  Propinsi Sumatera Barat. Pasca diberlakukannya peraturan tersebut maka suasana perkampungan tradisional Minangkabau sengaja dihidupkan kembali sesuai dengan kearifan lokal yang telah ada semenjak lama. Perkampungan- perkampungan di Simpang Tonang terletak pada sebuah jorong. Ada delapan buah jorong yang terdapat di sepanjang kaki Gunung Kulabu. Kampung-kampung tersebut ada yang terletak di pinggir jalan raya, namun ada juga yang agak masuk ke dalam dengan sebuah gapura sebagai tandanya.

  Gambar 2. Rumah-Rumah Penduduk di Nagari Simpang Tonang Sumber: Dokumentasi Pribadi Secara umum pola pemukiman di Simpang Tonang bersifat mengelompok.

  Seseorang yang sudah menikah akan tinggal di lingkungan keluarga isterinya. Menurut Koentjaraningrat (1967:97-99), adat menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri ini disebut dengan isitlah uxorilokal. Rumah-rumah dibangun di pinggir jalan utama yang digunakan untuk menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya. Ada yang diatas bukit. Bahkan terkadang rumah-rumah tersebut terletak jauh dari jalan utama, yakni ditandai oleh simpang (gapura) dimana ada sebuah jalan kecil atau setapak yang menghubungkan rumah-rumah tersebut. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya tidak terlalu jauh. Kebanyakan bentuk rumah masyarakat setempat masih termasuk kategori semi permanen, namun ada juga beberapa rumah permanen yang terbuat dari beton.

  Rumah-rumah panggung itu terbuat dari kayu-kayu dengan warna hitam kecoklat- coklatan alami tanpa diberi pewarna cat lagi. Di bawah kolong rumah tersebut masyarakat memeilihara ayam dan itik. Bangunan rumah itu terdiri dari sebuah ruang utama, kamar, dan dapur yang dilengkapi dengan tataring atau tungku tempat memasak dengan kayu bakar. Tidak semua rumah warga yang dilengkapi sarana MCK, mereka biasanya memanfaatkan sungai, pancur masjid, jamban, atau menumpang di rumah tetangga lainnya. Pekarangan yang ditanami bunga- bungaan dan bumbu dapur itu menjadi penyatu antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pada sore hari mereka sering memanfaatkannya sebagai tempat untuk bersendagurau atau apabila panas terik masyarakat memanfaatkannya sebagai tempat untuk menjemur padi.

  Suasana malam di Simpang Tonang tidaklah segelap dulu kala. Dahulu masyarakat menggunakan lampu-lampu sederhana yang terbuat dari botol kaca bekas minuman dilengkapi dengan sumbunya. Ketika melakukan perjalanan malam mereka membawa colok (sejenis obor) dan waktu terang bulan adalah saat- saat yang dinanti. Suasana malam Simpang Tonang sekarang sudah lumayan terang benderang semenjak adanya program PLN masuk desa. Hanya saja ada sebagian desa yang begitu gelap saat pada malam hari, karena minimnya penerangan lampu dari setiap rumah yang ada. Listrik tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal seperlunya saja seperti: penerangan di rumah, untuk belajar anak- anak, sebagai sarana hiburan (menonton tayangan televisi) dan lain sebagainya.

  Warga sering mengeluh karena sering terjadinya pemadaman listrik yang tidak wajar dalam sehari.

2.5. Alak Simpang Tonang: Pengidentifikasian Diri dan Sistem Kekerabatan

2.5.1. Identitas Kultural dan Penegasan Diri

  Berbahasa Mandailing tetapi dalam keseharinnya mengenakan adat- istiadat Minangkabau, agaknya membuat sebahagian masyarakat rancu dalam menetapkan identitas dirinya. Meskipun mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Urang Minang” tetapi masyarakat lain melihat mereka bukan orang Minangbau. Hal ini disebabkan karena mereka berkomunikasi dengan bahasa Mandailing dan mereka memiliki rmarga seperti orang Mandiling, yakni: Lubis dan Nasution. Hal ini menimbulkan keraguan sebagian orang untuk mengatakan kelompok masyarakat tersebut adalah orang Minangkabau. Begitu juga dengan saudara mereka di Utara, mereka mengakui bahwa masyarakat tersebut memang berasal dari tanah Batak. Namun, mereka sudah tidak paham dan tidak menerapkan lagi adat-istiadat Batak (habatakon). Mereka kemudian dijuluki dengan istilah “na leplap” atau “dalle” yaitu etnis Batak yang tak paham adat- istiadat Batak.

  Keadaan demikianlah yang membuat mereka bangga menegaskan diri sebagai “Alak Pangtonang” atau orang Simpang Tonang. Mereka sadar bahwa kebudayaan mereka sebenarnya tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan Minangkabau dan kebudayaan Mandailing. Bagi mereka hidup bersama justru lebih penting daripada membahas perbedaan budaya yang ada. Bahkan demi bisa hidup survive, mereka menghilangkan marganya.

  Kebudayaan yang terbentuk pun merupakan perpaduan antara kebudayaan Mandailing dengan Minangkabau. Hal ini terlihat pada sistem kekerabatan, pemerintahan adat, bahasa dan juga seni masyarakat setempat. Dalam bidang kesenian misalnya, tidak ada lagi tortor dan gordang sambilan serta onang-onang

  

  yang menjadi masyarakat Mandailing. Di daerah ini lahir kesenian ronggeng

   dan dikia rapano .

  Sebagai pendatang etnis Mandailing pada generasi pertama berusaha untuk menjadi identik dengan etnis Minangkabau. Banyak kebudayaan Minangkabau yang mereka adopsi mereka, mulai dari bahasa, kebiasaan hidup, tradisi-tradisi budaya dan sebagainya. Hubungan mereka dengan bona pasogit atau daerah asal pun dapat dikatakan sudah terputus. Hal ini menyebabkan kebudayaan daerah asal sudah hampir terlupakan dan sudah amat jarang dilaksanakan, mereka pun tidak menggunakan marga dalam dokumen formalnya, sekalipun mereka tahu dan sadar atas marga mereka.

  Seiring dengan perkembangan zaman, tampaknya banyak dari generasi muda Simpang Tonang yang merasa aneh dengan keunikan identitas yang mereka miliki. Hal ini turut dipengaruhi oleh arus globalisasi yang membuat Nagari Simpang Tonang seperti tidak berbatas lagi. Alak Simpang Tonang telah akrab dengan media internet, televisi, telephone seluler, dan lain sebagainya. Dengan memanfaatkan media ini tentu mereka dapat mengakses berbagai informasi yang ada, salah satunya mengenai kebudayaan. Di samping itu dengan memanfaatkan 14 Ronggeng Pasaman merupakan satu tradisi lisan Minangkabau, berupa seni pertunjukan

  yang terdiri atas pantun, tari atau joget, dan musik. Kesenian ini biasanya ditampilkan pada hari besar Islam. Kesenian ini sangat berkembang di Nagari Cubadak dan Simpang Tonang Kabupaten Pasaman. 15 Kesenian ini biasanya dimainkan pada saat upacara-upacara adat seperti mengantarkan marahpulai dan upacara turun mandi. Kesenian ini dimainkan oleh tiga atau empat orang pemain dengan bernyanyi dan mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT sambil memukul sejenis rebana. Adapun kata-katanya diambil dari buku bersanji yang terdiri dari tiga irama yaitu: irama lagu ros, irama lagu sika, irama lagu rokibi.

  lancarnya sarana transportasi, tidak sedikit alak Simpang Tonang yang merantau ke daerah tetangga seperti Medan, Padang dan Pekanbaru. Di perantauan, alak Simpang Tonang bertemu dengan berbagai etnis lain dan etnis Mandailing yang masih mempertahankan adat-istiadatnya. Dari bahasa yang mereka gunakan ketika berkomunikasi di antara sesama alak Simpang Tonang, tentu etnis lain menganggap mereka adalah etnis Batak. Namun alak Simpang Tonang tidak suka disebut sebagai orang Batak karena dalam identitas tersebut terdapat berbagai

  

stereotype dan mereka adalah penganut agama Islam yang membuat mereka

  berbeda dari kebanyakan. Mereka merasa lebih dekat dengan saudara-saudaranya yang berasal dari Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan. Setelah menjalin interaksi dengan etnis lain ini maka ada rasa kegalauan identitas yang timbul dalam diri alak Simpang Tonang. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kebudayaan saudaranya yang berasal dari Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan itulah yang lebih benar sebagaimana mestinya. Di rantau pun tidak sedikit mereka menemukan jodoh yang masih mempertahankan adat Mandailing. Mereka pun akan mengadopsi adat serta kebudayaannya. Keberadaan ikatan para perantau pun turut merubah pola fikir alak Simpang Tonang mengenai identitasnya. Bahkan ada yang berfikiran ekstream untuk mengembalikan adat sumondo kepada adat

  

manjujur . Belakangan makin banyak yang mencoba untuk menguatkan identitas

  kemandailingannya. Misalnya saja penampilan kesenian tortor dan gordang sambilan Mandailing pada pelantikan Rajo Sontang beberapa waktu yang lalu. 16 Stereotype adalah pandangan atau penilaian mengenai sifat-sifat dan watak pribadi suatu

  individu atau golongan lain yang bersifat subjektif, tidak tepat, dan cenderung negatif karena tidak lengkapnya informasi yang didapatkan.

  

2.5.2. Sistem Kekerabatan dan Pergeseran Konsep Dalihan Natolu di

Simpang Tonang

  Berbicara mengenai sistem kekerabatan maka tidak akan lepas dari perkawinan sebagai pondasinya. Di samping merupakan suatu proses melanjutkan keturunan secara genealogi, perkawinan juga akan memperlebar jarak persaudaraan atau yang lebih dikenal dengan istilah kekerabatan. Bagi masyarakat Simpang Tonang sistem kekerabatan yang mereka anut ialah sistem kekerabatan

  

matrilineal (silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu)

Dokumen yang terkait

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

4 140 190

Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige)

10 115 91

Mahar dan PAENRE' Dalam Adat Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Bulukumba Sulawesi Selatan)

0 28 129

Perkawinan Satu Marga Dalam Adat Mandailing di Desa Huta Pungkut Persepektif Hukum Islam

0 29 132

View of Konstelasi Hukum Adat dan Hukum Islam di Masa Penjajahan

0 1 10

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN - Deskripsi Pertunjukan Tari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan

0 0 22

BAB II LOKASI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Letak Desa - Modifikasi Ulos Batak (Studi Etnografi Tentang Perubahan Fungsi dan Ekonomi Kreatif)

0 0 28

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah, Letak, dan Kondisi Geografis - Keberadaan Pertambangan Timah Di Dairi (Studi Etnografi Mengenai Tanggapan Masyarakat Desa Sopokomil Kecamatan Silima Punggapungga Dairi)

0 0 17

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN PANGARIBUAN 2.1. Letak dan Akses Menuju Pangaribuan - Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan

0 0 17

BAB II GAMBARAN UMUM 2.1 Letak Geografis, Luas Wilayah, Dan Lingkungan Alam 2.1.1 Letak Geografis - Sistem Berladang Menetap Orang Sakai di Desa Petani, Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis,Riau

1 0 21