Filsafat sebagai Ilmu yang Dinamis

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA
Mata Kuliah : Pengantar Studi Filsafat
Dosen
: Dr. Simon Petrus L. Tjahjadi (rek.)
bagian: Dr. A. Setyo Wibowo
Nama
: Alberto Ernes
NPM
:0227810114
Filsafat sebagai Ilmu yang Dinamis
Pengantar
Filsafat seringkali dipandang sebagai sebuah ilmu yang “sulit”. Hal ini dikarenakan filsafat selalu
berusaha mendapatkan jawaban yang sejati dengan cara berpikir yang rasional, metodis, sistematis,
memberi tanggapan kritis melalui kritik, menuntut sebuah tanggapan melalui alasan yang rasional dan
objektif, serta bertanggungjawab, melakukan perdebatan bahkan menentang pandangan ilmu-ilmu
pengetahuan lain. Berdasarkan pandangan inilah, penelusuran secara mendalam mengenai ciri filsafat
dapat menjadi sebuah pembahasan yang menarik. Dalam tulisan sederhana ini akan dibahas mengenai ciri
filsafat sebagai ilmu yang kritis, dialektis, dan historis. Ketiga ciri ini memperlihatkan filsafat sebagai
ilmu yang senantiasa bergerak secara dinamis. Tulisan akan ditutup dengan tanggapan atas ketiga ciri
filsafat ini dalam konteks budaya Timur. Perbedaan antara budaya Barat dan Timur tidak berarti bahwa
kedua budaya ini bergerak dalam arah yang berbeda, namun keduanya bergerak menuju proses pencarian

kebenaran secara bersama-sama.
Ciri Kritis Filsafat
Filsafat memiliki ciri kritis. Ciri kritis filsafat mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi eksternal
yang dapat ditemukan ketika filsafat berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya dan
mengajaknya untuk “beranjak” dari kemapanannya dengan cara bertanya dan mempertanyakan sesuatu
secara terus-menerus dan tidak pernah berhenti. Kemudian, dimensi internal yang dapat ditemukan ketika
filsafat selalu merasa tidak puas diri, selalu siap mempertanyakan diri, dan tidak pernah “berhenti” dalam
mencapai sebuah kebenaran.
Ciri kritis filsafat yang terlihat begitu jelas adalah selalu mencari sesuatu yang mendasar
(fundamental), selalu bertanya dan mencari sesuatu untuk mendapatkan jawaban yang rasional secara
objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.1 Dalam dimensi eksternal, ilmu-ilmu pengetahuan lain
mempunyai bidang-bidang kajian dan metodenya masing-masing yang sangat spesifik, namun ilmu
pengetahuan ini tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab berbagai pertanyaan di luar objek kajiannya,
seperti siapakah manusia, dlsb. Berdasarkan hal inilah, filsafat berperan sebagai ilmu yang mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang manusia secara rasional dan bertanggung
jawab. Dari hal ini terlihat bahwa filsafat mengajak ilmu-ilmu lain untuk keluar dan beranjak dari
kemapanannya.
Kemudian dalam dimensi internal yang merupakan karakter dialektisnya yang terlihat dalam
usaha pencarian jawaban secara terus-menerus dengan menggunakan metode yang tidak terbatas. Filsafat
terbuka atas berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan jawaban. Sifat

keterbukaan atau ‘kerendahan hati’ ini memiliki arti bahwa filsafat dapat mendebat suatu pendapat dan
memberi jawaban tetapi pandangan dan jawabannya juga dapat didebat/mau (terbuka) menerima kritik.
Dengan ciri ini, filsafat berusaha untuk tidak menjadi sebuah ideologi yang mengandung unsur
1 Hal ini semakin ditegaskan oleh Magnis dalam Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,
hal 10 dengan kutipan: “berbeda dengan jawaban spontan dan jangka pendek, filsafat berusaha
memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, artinya terbuka terhadap
segala sangkalan dan berani memberikan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban
yang diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.”

1

kemutlakan dan tidak dapat dipertanyakan, tetapi menjadi sebuah usaha kritik ideologi. Filsafat menjadi
sebuah ilmu yang tidak cepat puas diri, tidak cepat menganggap selesai suatu perkara melainkan selalu
terbuka untuk memulai perdebatan baru atas suatu perkara dan permasalahan terhadap suatu hal. Ciri
kritis filsafat ini kemudian diejawantahkan dalam ciri dialektis dan historis filsafat.
Ciri Dialektis Filsafat
Filsafat memiliki ciri dialektis. Ciri dialektis filsafat ini akan dibahas dalam dua tokoh filsuf, yaitu
Platon dan Hegel. Dialektis ini berasal dari akar kata “dia-legein” yang berarti melalui kata-kata atau
perbincangan. Dialektika menjadi sebuah proses pencarian kebenaran melalui dialog-dialog antar
pandangan yang ada. Dalam buku Lysis, dialektika Platon nampak dalam mencari arti persahabatan.

Perdebatan dimulai dari pandangan bahwa persahabatan merupakan relasi antara “sesuatu yang sama”
kemudian “sesuatu yang berlawanan” dan terus menerus berlanjut hingga mencapai sebuah pandangan
bahwa dalam persahabatan, relasi yang ingin dicapai bukanlah relasi antara dua orang, melainkan relasi
kepada pihak ketiga. Akan tetapi, pandangan ini bukanlah sebuah pandangan yang final. Hingga akhir
bukunya, Platon tetap tidak dapat menemukan arti dari persahabatan (mencapai jalan buntu atau aporia).
Namun, melalui proses dialog ini terjadi sebuah pemurnian ide dari yang sekadar inderawi dan partikular
menjadi idea yang murni dan noetik. Pencarian arti persahabatan mulai memasuki ranah abstraksi (relasi
dengan pihak ketiga).
Dalam konsep dialektika Hegel, tidak ada bidang-bidang realitas maupun bidang-bidang
pengetahuan yang terisolasi dan semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran.
Menurut Hegel, dialektika adalah sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya
dengan berupa negasi dan melalui negasi inilah kita dapat maju dan mencapai keutuhan serta dapat
menemukan diri sendiri. Dari dialektika menurut Hegel inilah dapat dilihat bahwa dialektika ini
memandang apa pun yang ada sebagai “kesatuan dari apa yang berlawanan”, sebagai “perkembangan
melalui langkah-langkah yang saling berlawanan”, sebagai “hasil dari, dan unsur dalam, sebuah proses
yang maju lewat negasi atau penyangkalan”. Kata negasi menjadi kata kunci dalam dialektika menurut
Hegel, karena menurut Hegel, “gerak pemikiran itu sendiri selalu ber-negasi.”
Struktur dasar dialektika terlihat bukan dalam susunannya yang triadik (berstruktur tiga: tesis,
antitesis, sintesis), melainkan menggunakan susunan yang dual (berstruktur dua: tesis dan antitesis dan
antitesis antitesisnya, dst.). Sebuah pandangan (tesis) dinegasi sehingga menghasilkan sebuah antitesis

yang kemudian dinegasi kembali sehingga menjadi antitesis antitesisnya, dst. Proses penegasian ini
mempunyai kekhasan, yaitu bahwa apa yang dinegasi tidak dihancurkan atau ditiadakan, melainkan yang
disangkal hanyalah segi yang salah, tetapi kebenarannya tetap diangkat dan dipertahankan.
Dalam sebuah proses penegasiannya, Hegel menawarkan sebuah logika “organis” dengan istilah
khusus “pelampauan sekaligus pelestarian” (overcome and preserved). Momen-momen pengangkatan
inilah yang disebut dengan istilah aufheben. Konsep dialektika Hegel bergerak dari sesuatu yang abstrak
dan menuju ke yang konkret. Kebaikan konkret ini didapat dari proses penegasian kebaikan abstrak
(momen I) sehingga menjadi kebaikan konkret partikular (momen II) yang kemudian juga dinegasikan
kembali menjadi sebuah kebaikan konkret yang universal (momen konkret) yang disadari dengan
sungguh segala konsekuensinya.
Ciri Historis Filsafat
Filsafat memiliki ciri historis. Ciri historis ini tidak terlepas dari ciri kritis dan dialektis filsafat
kerena ciri historis filsafat ini dapat dikatakan sebagai gabungan ciri kritis dan dialektis filsafat. Dalam
ciri historis ini yang ditekankan adalah kronologis waktu. Yang dimaksudkan kronologis waktu ini adalah
bentuk penghargaan kronologis dengan peninjauan ulang/kembali pemikiran-pemikiran para filsuf
2

sebelumnya. Dalam peninjauan ulang ini diberikan tanggapan dan kritik atasnya. Bentuk tanggapan dan
kritik ini terlihat dari cara Aristoteles dalam menyusun teori empat (4) causa-nya. Dari hal ini terlihat
bahwa Aristoteles perlu “mengutip” pemikiran pendahulunya secara runut (berdasarkan urutan waktu

mereka hidup) yang memberi tekanan pada causa material, efisien, dan formal. Pemikiran ini kemudian
dikritik dan ditanggapi oleh Aristoteles dengan menambahkan causa finalis sebagai ciri khas Aristoteles.
Hal ini juga nampak dalam usaha Plotinus menyusun ajarannya. Ia banyak dipengaruhi oleh Platon,
Anaxagoras, Aristoteles, dll.
Tidak hanya pemikiran para pemikir sebelumnya dan situasi zaman yang mempengaruhi filsafat.
Dialog dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya atau diskursus juga turut mempengaruhi filsafat. Dan
melalui diskursus inilah filsafat menyadari, mengambil, dan menghargai temuan-temuan ilmu-ilmu lain
secara kritis.
Kemudian, ciri historis filsafat ini yang tidak hanya mengandung unsur kritis, namun juga
dialektis. “Ia tidak pernah mulai dari nol. Metodenya selalu bersifat dialogal atau menurut ungkapan
tradisional dialektik.”2 Dari kalimat tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa filsafat tidak pernah
memulai sesuatu dari nol, melainkan selalu berdasarkan pemikiran-pemikiran yang sudah ada, namun
ditanggapi serta dikritik melalui cara yang berbeda-beda namun khas dari tiap perjalanan waktu. Pada
Platon, tanggapan dan kritik dilakukan melalui dialog atau diskusi antara guru dan murid. Pada
Aristoteles, metode dialektis merupakan hasil pengumpulan, penjumlahan, dan penilaian kritik dari
semua opini yang didapatkan tentang suatu masalah yang dikemukakan. Dari hal ini dapat dilihat bahwa
ciri historis berkaitan erat dengan ciri kritis dan ciri dialektis.
Tanggapan
Saya sebagai orang Timur melihat dan menyikapi filsafat yang mempunyai ciri kritis, dialektis,
dan historis sebagai ilmu yang dinamis. Ciri-ciri filsafat ini dapat dikatakan selalu memperbarui dirinya

dan berkembang dengan metode-metode yang dimilikinya. Ciri kritis yang dimiliki mampu membuat
filsafat mempunyai cara pandang yang baru terhadap sesuatu melalui diskusi dan dialog dalam sebuah
diskursus yang dapat dikatakan sudah mencapai kemapanannya dan dapat memperkaya ilmu filsafat dan
ilmu pengetahuan lainnya. Ciri dialektis yang dimiliki mampu membuat filsafat semakin diperkaya
melalui sangkalan berupa negasi pada bagian yang salah saja, namun yang benar tetap dipertahankan.
Kemudian, ciri historis yang selalu merujuk kepada peninjauan kembali pemikiran-pemikiran para filsuf
melalui cara mengkritisi dengan kritik dan berusaha mendapatkan jawaban yang pasti dengan cara
dialog/dialektis.
Menurut saya, ketiga ciri filsafat ini dirasa akan sangat sulit untuk diterapkan dan diwujudkan
dalam budaya Timur. Hal ini dikarenakan dalam budaya Timur masih memegang dan menjaga
keharmonisan/adanya sebuah harmoni agar tidak terjadi perdebatan yang dapat menggoncangkan,
merusak, bahkan menghancurkan harmoni tersebut. Budaya Timur berupaya untuk tetap dan senantiasa
menjaga harmoni tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang dapat menghancurkan harmoni tersebut
dengan cara menghindari cara berpikir yang kritis dengan mengkritik. Berbeda dengan budaya Barat
yang senantiasa berpikir secara kritis untuk memberi pandangan yang baru dan berusaha untuk mencapai
sebuah kebenaran, dsb. Akan tetapi, kondisi ini tidak berarti bahwa budaya Timur tidak dapat bersikap
kritis dan melakukan sebuah dialog dalam sebuah diskursus untuk mendapatkan pandangan yang baru
serta mencapai sebuah kebenaran. Kenyataannya adalah bahwa budaya Timur berbeda dengan budaya
Barat, namun perlu dilihat juga bahwa kedua budaya ini senantiasa terus menerus bergerak untuk
mencapai sebuah kebenaran dengan caranya masing-masing dan berbeda-beda.


Daftar Pustaka
2 Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri, Hal 16.

3

Anh, To Thi. Eastern and Western Cultural Values: Conflict or Harmony. California: USA, 1974.
Aristotle. Metaphysics I.
Gregory, John. The Neoplatonists: a Reader. New York: Routledge, 1992.
Hartman, Robert S (transl). Reason in History: A General Introduction to Philosophy of History. The
Liberal Arts Press Inc., 1837.
Leahy, Louis. Siapakah Manusia?. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
___________. Manusia, Sebuah Misteri. Jakarta: Gramedia, 1989.
Mueller, Gustav Emil (transl.). Hegel Encyclopedia of Philosophy. New York: Philosophical Library,
1959.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia, 1984.
___________________. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Wibowo, A. Setyo. Mari Berbincang Bersama Platon: Persahabatan (Lysis). Jakarta: Ipublishing, 2009.
_________________. “Persahabatan Selalu Segitiga: Platon dalam Lysis” Basis 01-02 (2014): 14-23.


4

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Perancangan media katalog sebagai sarana meningkatkan penjualan Bananpaper : laporan kerja praktek

8 71 19

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62