presentation permasalahan HAM dalam poli

Permasalahan Hak Asasi
Manusia dalam Politik
Otonomi Daerah di
Indonesia
Anggota Kelompok :
1. Durotun Nafiah
2. Eko Sunarsih

8111416085
8111416210



Kewenangan dalam menjalankan otonomi daerah



Aspek-aspek otonomi daerah




Politik otonomi daerah melanggar hak asasi manusia



Studi kasus tentang otonomi daerah khusus papua

Kewenangan dalam menjalankan otonomi daerah



Otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Ketentuan pada pasal 1 ayat (6) jo (12) Undang-Undang Nomor.23 Tahun 2014
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah, yaitu:


Pasal 1 ayat (6) “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.”



Pasal 1 ayat (12) “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Aspek-aspek otonomi daerah
Makna hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan,
pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnyabahwa otonomi daerah pada
prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu:
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari
pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka
pemerintahan nasional.

3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama
kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.

Politik otonomi daerah melanggar
hak asasi manusia


Sistem hukum memikul tanggung jawab utama untuk menjamin
dihormatinya hak dan kewajiban yang timbul karena hak yang
bersangkutan. Sasaran utama dalam sistem politik ialah memuaskan
kepentingan kolektif dan perorangan, meskipun sistem hukum dan
sistem politik dapat dibedakan namun banyak yang masih adanya
peraturan yang tumpang tindih yang menimbulkan konflik. Adanya
peraturan daerah yang bermasalah serta peraturan yang tidak pro
terhadap rakyat, maka aplikasi politik hukum dalam pembuatan Perda
harus selaras dengan teori tujuan hukum itu sendiri

Pembatalan perda bermasalah telah memperoleh landasan hukum dalam
Undang-undang Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal

251 ayat 1-3 Undang-Undang Nomer.23 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa:
(1)Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
(2)Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(3)Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan
Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau
peraturan bupati/wali kota.

Studi kasus mengenai
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya
pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana
diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garisgaris Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2.
Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi

Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain
menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus
tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi
Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Kekerasan seperti yang terjadi di Paniai sudah sering terjadi di Papua.
Menurut catatan Kontras terdapat sejumlah kasus kekerasan di Papua yang
tidak jelas penyelesaiannya, antara lain: Kasus Teminabuan (1966-1967),
Peristiwa Kebar 26 Juli 1965, Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan Operasi
Militer 1965 - 1969. Kemudian peristiwa penghilangan paksa di Sentani
1970, Operasi Militer di Paniai sepanjang 1969 - 1980, Operasi Militer di
Jaya Wijaya dan Wamena Barat kurun 1970 - 1985, kasus pembunuhan di
Timika kurun 1994 - 1995, kasus pembunuhan di Tor Atas Sarmi kurun
1992, penghilangan paksa Aristoteles Masoka, pembunuhan Opinus Tabuni
dan banyak kasus lainnya yang belum terdokumentasikan dengan baik.



Perkembangan politik dan keamanan Papua dapat dipahami dari tiga isu
utama:


pertama, internasionalisasi Papua.
Kedua, penyelesaian masalah-masalah HAM.
Ketiga, perkembangan dan implementasi Otonomi Khusus (Otsus Papua).

Terdapat dua hal utama yang perlu segera ditangani untuk memperbaiki
kondisi HAM Papua:
pertama, penyelesaian isu HAM secara menyeluruh bukan hanya mengenai
hak-hak sipil dan politik, melainkan juga hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. Isu HAM ini terkait dengan persoalan investasi di Papua yang
berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan juga berada di wilayah
tanah adat.
Kedua, penyelesaian tiga kasus kekerasaan yakni Wamena, Wasior, Paniai
harus segera dilakukan untuk membuktikan kesungguhan Pemerintah
Indonesia dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keamanan
Papua

TERIMA KASIH