Pembebasan Perempuan Dalam Kajian Islam

Pembebasan Perempuan di Dalam Kajian Islam

Begitu banyak kasus kekerasan

apalagi melibatkan kekerasan

terhadap perempuan, kelompok minoritas dan etnis. Kelompok atau
individu yang mengalami kekerasan biasanya hidup dalam ketakutan yang
sewaktu-waktu

menyadari

bahwa

kehidupan

mereka

bisa

dirusak,


dipermalukan bahkan dihancurkan. Kekerasan berawal dari ketidakadilan
yang

terjadi

secara

sistemik

dalam

kultur

masyarakat.

Beberapa

kelompok mendominasi serta melakukan interpretasi terhadap keputusankeputusan
berpendapat


dalam
bagi

masyarakat

sehingga

masing-masing

individu.

meredupkan
Dalam

kebebasan

tatanan

sosial-


patriarkal, perempuan tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan
dalam membuat keputusan. Kehidupan perempuan semasa kecil akan
sangat bergantung pada Ayahnya
bergantung

pada

suaminya.

sementara ketika dewasa

Dominasi

patriarki

dalam

akan


masyarakat

memaksa para perempuan hidup dalam ketidakadilan gender dan Islam
seringkali dituduh melakukan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan.
Sebuah

tuduhan

terhadap

Islam

yang

terkesan

berlebihan

tanpa


mempertimbangkan relevansi ajaran Islam dalam konteks dimana dan
kapan ajaran tersebut diterapkan.
Salah satu teolog muslim asal India, Asghar Ali Engineer menjawab
tuduhan-tuduhan miring terhadap Islam. Asghar melihat agama islam
sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Semangat
yang secara eksplisit terlihat ketika Nabi Muhammad melakukan proses
pembebasan dari ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi di
Arab saat itu. Salah satu upaya Nabi Muhammad mengatasi tatanan
masyarakat yang tidak adil adalah dengan pemenuhan hak-hak istimewa
bagi para perempuan, yang sebelumnya posisi perempuan berada pada
tingkatan yang paling rendah. Jika sebelumnya masyarakat Arab memiliki
kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan karena rasa malu,
maka Nabi Muhammad melarang tradisi tersebut. Ini merupakan konsep
paling revolusioner bagi perempuan Arab yang untuk pertama kalinya
mendapatkan banyak hak-hak istimewa setelah sebelumnya berada pada
posisi yang sangat lemah. Konsep revolusioner bukan saja berdampak

bagi perempuan Arab, namun juga bagi perempuan-perempuan di seluruh
dunia.
Dari sinilah Aghar Ali Engineer kemudian merevitalisasi nilai-nilai

yang terkandung dalam ajaran agama Islam, yaitu dengan penafsiran
ulang beberapa ayat, khususnya yang berkaitan dengan kesetaraan
gender. Misalnya dalam QS Al-Nisa: 34
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukul lah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Perlu diperhatikan bahwa ajaran-ajaran di dalam Al-Qur’an memiliki
relevansi dengan zaman sekarang karena Al-Qur’an bersifat normatif
sekaligus

pragmatis.

Sehingga


ajaran-ajaran

tersebut

tidak

dapat

dilepaskan dari konteks zaman ketika diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada saat ayat ini turun, kebebasan perempuan sangat dibatasi, sehingga
laki-laki

lah

yang

perkembangan

menghidupi


zaman,

dengan

mereka.
perubahan

Namun
struktur

seiring

dengan

sosial

dimana

perempuan menghidupi keluarganya dan menjadi teman kerja laki-laki

maka perempuan mendapat banyak hak yang sebelumnya tidak pernah
mereka bayangkan. Selain itu, Nabi menetapkan bahwa perempuan
adalah seorang entitas hukum menurut haknya. Ia dapat menikah atau
bercerai dengan bebas; ia dapat mewarisi dan berhak memiliki barang; ia
dapat menjaga dan memelihara anak-anaknya. Sehingga sangatlah jelas
jika Islam memberikan hak yang sama bagi perempuan seperti pada dua
ayat berikut ini :
“dan para wanita mempunyai hak yang sembang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf,” (Al-Baqaroh: 228) “dan sesungguhnya laki-laki dan
wanita yang menyerahkan diri dan laki-laki dan wanita yang taat, laki-laki dan
wanita yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang
khusyuk, laki-laki dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang
berpuasa, laki dan wanita yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita
banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

Dua ayat diatas menunjukkan bahwa islam tidak mendiskriminasi
perbedaan gender. Diskriminasi gender justru berasal dari stigma dan
kultur masyarakat yang sistemik yang lebih didominasi laki-laki. Dalam
kerangka ini, Asghar menggali nilai-nilai yang terdapat dalam ayat-ayat

Al-Qur’an sebagai tonggak menuju teologi pembebasan Islam serta
menjawab tuduhan miring yang dilontarkan terhadap ajaran-ajaran Islam.
Tidak berlebihan jika kita juga menyebut Asghar sebagai teolog serta
feminis yang membagi pemikiran pembebasan terhadap ketidakadilan
serta

merevitalisasi

nilai-nilai

dalam

ajaran

Islam

dan perjuangan

kemanusiaan. Maka dalam konteks masa kini, masa ketika Islam menjadi
agama mayoritas di Indonesia, sosok perempuan yang kita kenal adalah

perempuan

yang

mandiri,

pintar

dan

membebaskan.

Perempuan

menggunakan caranya sendiri dalam memperjuangkan kebebasannya,
bukan dengan ikut dalam kancah peperangan atau dengan mengangkat
senjata namun dengan ikut serta memajukan pendidikan para penerus
bangsa,

membesarkan

anak-anak

dengan

penuh

kasih

sayang,

mengeliminasi ketidakadilan dalam kultur masyarakat demi masa depan
yang lebih baik.