Spiritualitas Keislaman di Indonesia pdf

 

 

Spiritualitas Keislaman 
di Indonesia 

Christine Toelle 

2016 

M. Syahid Nurrahman 

ㅡ 
Pengertian 

 
cghtoelle@gmail.com 

 


Spiritualitas Keislaman dalam sejarah seni rupa Indonesia

dimulai dari masa awal seni rupa modern atau seni lukis baru
masuk ke perkembangan medan seni rupa Indonesia. Menurut
Yustiono (2004) dalam tabel Periodisasi Seni Rupa Modern
Indonesia, titik kemunculan seni Spiritual Keislaman adalah pada
akhir dekade 1970-an. Secara global, modernitas seringkali
dinilai menentang unsur-unsur seni religius, sedangkan kemajuan
estetika

yang

menentang

unsur-unsur

kemanusiaan

turut


berkembang di Barat. Namun dalam aplikasinya dapat dilihat
kenyataan-kenyataan dimana cukup banyak seniman modern
yang menggunakan spiritualitas sebagai jalur masuk untuk
mencapai kesenian yang tertingi, Vassily Kandinsky contohnya
mengakui keberadaan spiritualitas dalam seni rupa mampu
memperbaiki kebudayaan Barat yang kian bobrok, juga Piet
Mondrian

yang

mencoba

mensejajarkan

kanvasnya

dan

menggambarkan


tatanan

semesta

dalam

spiritual

dalam

bentuk-bentuk formal.
Di Indonesia sendiri, seni spiritual

adalah

bentuk

ekspresi

personal seniman mengenai apa yang dipercayainya, tentang

nilai-nilai atau hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Berkebalikan dengan seni religius yang menjadi sebuah bentukan
kolektif sebuah kepercayaan dari kaum manusia. Dalam konteks
seni modern, biasanya yang diangkat adalah seni religius, karena
lagi-lagi seni rupa modern mengangkat isu personal dan
kesendirian, bukan lagi budaya kolektif seperti seni tradisional.
Dalam perkembangannya, seni yang bernafaskan Islam dan
spiritual di Indonesia tidak banyak menemui resistensi, bahkan

kebanyakan perupa didalamnya merupakan menganut dan hasil
didikan ajaran modernis, seperti Ahmad Sadali dan AD Pirous.
Mengingat masa mahasiswa mereka yang dihabiskan di Bandung
sebagai kota kosmopolit, kota yang berorientasi pada kosmologi,
pada dunia dan tatanan universal, mencari kenyataan otonomi
seni. Namun memang nyatanya keberadaan berkesenian pada
masa modern sangat sulit dilepaskan dari kecenderungan akan
pengalaman personal, ketertarikan pribadi pada pengalaman
spiritual religius pun tetap terus ada dalam karya mereka. Justu
sebaliknya resistensi itu muncul sedikit pada kaitannya dengan
ajaran


Barat

yang

hedonistis

dan

materialistis.

Namun

mengesampingkan itu semua tetap dalam bidangan karya mereka
menghadirkan kecenderungan lukisan perupa modern, seperti
Ahmad Sadali dalam simbol-simbol formal kaligradi dalam karya
abstraknya. 

ㅡ 
Tokoh - Tokoh 


 

Beberapa perupa yang muncul dan dikenal dalam garis waktu

Spiritualitas Tauhid adalah Ahmad Sadali, A. D. Pirous, dan
Fadjar Sidik. Kebanyakan perupa yang mengangkat unsur
spiritualitas dalam karya-karyanya cenderung masuk kedalam
masa pertumbuhan seni lukis abstrak di Indonesia, usai tahun
1960-an. Ahmad Sadali sendiri, dikenal sebagai perupa dengan
kekentalan ajaran-ajaran Islami dalam karyanya, tahun 1963 ia
meninggalkan

aliran

abstrak

geometris.

Dalam


proses

kekaryaanya, Ahmad Sadali mengedepankan tiga unsur utama
dalam proses kekaryaannya, yakni rasa atau estetik, rasio atau
intelektualitas, dan iman. Gerakan spiritualitas dari Ahmad Sadali
berhasil memodernisasi seni Islam yang sesuai dengan ​Tazkiyyah

yang menaikan Islam sebagai kebudayaan menjadi bentuk yang
memunculkan keberadaan ruh, juga mengislamkan seni Modern,
atau ​Sibghah ​yang merelvansikan spiritualitas keislaman dalam

pemahaman modern yang sedang terjadi. Sadali sendiri muncul

dengan membawa beberapa inovasi seperti gaya abstrak meditatif
yang sudah muncul beberapa tahun sebelum spiritualitas
keislaman, juga membawa eksplorasi media baru seperti
penggunaan relief dan penggunaan warna emas (Yustiono, 2005)
A. D. Pirous dalam seni rupa Indonesia turut dikenal sebagai
pionir seni rupa keislaman, perkembangannya dimulai dalam

unsur-unsur seni rupa Islam seperti kaligrafi dan motif-motif
arabesque ​semenjak awal tahun 1070-an​. ​Dalam sebuah

wawancara, beliau menyatakan bahwa di akhir 1980 beliau
mencoba untuk turut merelevansikan karya-karya meditatifnya
kedalam ranah seni rupa modern, mengikuti prinsip ​sibghah ​.
Fadjar Sidik di sisi lain, merupakan representasi dari perupa seni
rupa keislaman yang cenderung memainkan abstraksi bentuk
dalam karya-karyanya. Fadjar Sidik cenderung menerapkan
abstraksi mengenai manusia dan alam dalam karya-karyanya,
mengikuti intuisi untuk mencari hasil spiritual. 

ㅡ 
Karya - Karya 

 

Karya-karya Ahmad Sadali yang menggambarkan abstrak
geometris sudah ditinggalkan dari tahun 1963. Kanvasnya
kemudian memperlihatkan warna-warna yang cemerlang dalam

bidang lebar tanpa bentukan figur apa pun, namun perkembangan
kemudian warna-warnanya mulai memunculkan warna-warna
yang lebih redup seperti oker, biru tua dan hitam. Contoh
beberapa

karyanya di bawah menggambarkan bagaimana

seringkali

unsur-unsur

gunungan

yang

seperti

mencerminkan

perlambangan ​kaabah ​dan


spiritualitas nampak pada

karya-karya lukisannya. Simbol-simbol segitiga yang sering
muncul dalam karya-karya Ahmad Sadali sering kali turut
menceritakan perlambangan hubungan manusia, alam, dan
Tuhan.
 
 

Gambar 1. Contoh karya Ahmad Sadali
(Sumber: archive.ivaa.org)

Gambar 2. Contoh karya Fadjar Sidik
(Sumber: archive.ivaa.org)

ㅡ 
Karakteristik 

 


Beberapa pemikir mengenai Seni Rupa Islam seperti Titus
Buckhardt dan Seyyed H. Nasr, memaparkan bahwa Seni Rupa

Islam akan selalu menampilkan nilai-nilai Tauhid dan tidak
menampilkan figur-figur kebendaan. Beberapa pemikir ini
menolak keberadaan seni rupa modern yang menentang
keruhanian dan mencapai spiritualitas yang naik ke atas, namun
turun pada kebendaan. Dalam konteks sejarahnya juga, seni
spiritual

di

Indonesia

selalu berada diluar arus utama,

dikarenakan induk dari seni rupa modern Indonesia masih berada
dari

pengaruh

budaya

mutakhir

Barat,

sehingga

secara

kelembagaan belum ada penyokong terbesarnya. Namun, secara
fakta minoritas, tahun 1970-an memang menjadi sebuah tahun
yang

sangat

menyokong

keberadaannya,

seperti

faktor

sosio-kultural dengan masih banyaknya jumlah santri yang masuk
dan lulus perguruan tinggi, wacana Internasional dari Iran atau
Pakistan yang juga mengembangan seni Islam.
Spiritualitas sendiri konteksnya di Indonesia tentu tidak muncul
dari

filsafat

yang sekuler, karena spiritualitas mengakui

keberadaan dimensi kebatinan, dan dimensi non-material dalam
realitas hidup. Kepercayaan akan keberadaan inilah yang
kemudian meyakini hubungan dengan dimensi yang transenden,
seperti tasawuf atau pada para Sufi di Islam, sama halnya dengan
kepercayaan transenden lain di kebanyakan agama. Secara
historis dahulu para Sufi mengangkat apa yang kita kenal
sekarang sebagai seni seperti tarian, musik dan zikir sebagai
upaya untuk mengalami pengalaman ketuhanan. Yustiono
meyakini, bahwa sungguhnya seni spiritual ini memiliki akar
yang jauh lebih dalam dari dugaan, sebuah akar dari tradisi
keagamaan yang berabad-abad, dan mampu dikembangkan
sebagai suatu wacana bagi landasan yang lebih kuat dalam
perkembangan budaya di Indonesia secara umum. Pertentangan
lain perihal seni spiritualitas dapat ditemui dalam ajaran Islam

bagi kesenian modern. Banyak pemikiran ahli-ahli seni rupa
Islam yang menyatakan pertentangan bagi mereka yang dengan
mudahnya mengangkat unsur-unsur religi kedalam karya seni
rupa

modernnya,

seperti

Ismail Al-Faruqi. Dalam skala

Internasional pun sesungguhnya seni rupa Islam pun masih cukup
sulit untuk di interpretasikan, seperti kata Kenneth M. George "
Seni Islam dan estetika islam bukanlah hal yang sudah jadi,
melainkan merupakan arena perdebatan,, konflik, dan, tentu saja,
kreativitas yang mendalam" (George, 2012 [2010]: 16).
Dalam pembahasannya juga cukup banyak hingga sekarang
pengamat seni yang membahas seni rupa bernafaskan Islam atau
berlandaskan Tauhid, seperti Harun Suaidi Isnaini yang dalam
tulisan kesarjanaannya mengangkat perihal isu Seni Rupa
Spiritual Islam dengan kutipan bahwa Al-Quran dan Hadits
sendiri tidak pernah menerangkan secara eksplisit prinsip-prinsip
estetika dalam ekspresi seni (Khoiri, 2002:178). Di dalam skripsi
ini juga diterangkan bahwa dua konsekuensi logis dari fakta
tersebut adalah bahwa pertama, tidak ada konsep estetika Islam
yang tunggal yang bisa digunakan sebagai landasan untuk
memberikan kritik pada seni rupa Islam, dan kedua adalah
kebebasan berkarya dan pengadopsian konsep serta unsur estetika
apapun ke dalam Seni Rupa Islam selama tidak bertentangan
dengan syariat.
Namun ada pula disertai dalam pembahasan Seni Rupa Islam ini
adalah resistensi mengenai nilai-nilai fundamental Islam yang
dinyatakan oleh kaum ulama terdahulu dapat diargumentasi oleh
ulama abad ke-20 yang mencoba arus restriksi tadi. Seperti A.
Hasan yang memfatwakan bahwa melukis atau membuat patung
itu halal asalkan tidak disembah, Hamka dalam tafsir Al-Azhar
juga menyatakan bahwa boleh saja kita membuat patung
pahlawan asalkan bukan untuk disembah. Kecenderungan
perkembangan

ini

juga

semakin

banyak

di

Arab

dan

negara-negara Timur Tengah lainnya. Bahkan secara teori pun
sudah ada buku berjudulkan Seni dalam Pandangan Islam sebagai
resume pandangan ulama modern dalam kreativitas seni, juga
diikuti pada tahun 1995 buku yang berjudul ​Contemporary Art in
the Islamic World.

Perkembangan dari kedua kecenderungan gaya ini terus
berkembang hingga wacana seni rupa kontemporer, perihal
kebaratan dan spiritualisme. Pertentangan dan eksotisme dari
kedua belah pihak memperlihatkan dinamisme yang begitu kuat
dalam perkembangan periodisasi wacana seni rupa Indonesia. Hal
seperti ini bahkan sudah dimulai dari kemunculan "Polemik
Kebudayaan"

tahun

1935-an

di

Indonesia

yang

merepresentasikan perkembangan Barat dan Timur atau Modern
dan Tradisional, yang kemudian tidak pula dapat kita lepaskan
dari proses terbentuknya medan seni rupa Indonesia. Dan
fenomena ini terus berulang menceritakan keberagaman kultur
dan ideologi politik Indonesia bahkan saat perancangan bentuk
dasar negara Pancasila kita. Banyak unsur ini dapat terus kita
amati dalam nilai keislaman yang tercermin dalam prinsip
Monoteisme Tauhid dalam sila pertama, nilai modernisme
sebagaimana tercantum dalam sila kedua dan keempat sebagai
kata lain dari Humanisme, Internasionalisme, dan demokrasi,
nilai kebangsaan yang terdapat pada sila ketiga yang dikatakan
Soekarno sebagai Nasionalisme, dan nilai Kerakyatan yang
tercantum pada sila kelima, atau Sosialisme (Yustiono 2005:
122).