Dinamika Agama Lokal di Indonesia Islam

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang sudah terlembaga, tetapi juga kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh sebelum negara Indonesia ada.

Pada era Orde Baru berdasarkan GBHN paham keagamaan lokal digolongkan ke dalam aliran kepercayaan. Pada waktu itu pembinaan aliran kepercayaan diarahkan agar kembali kepada induk agamanya masing‐masing. Maka pada waktu itu pula ada kebijakan, agama/kepercayaan lokal untuk digabungkan dengan agama yang ajarannya mendekati. Berbagai agama/kepercayaan lokal seperti Kaharingan (Dayak), Aluk Todolo (Toraja) digabungkan ke dalam agama Hindu dan agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama Buddha, sedangkan agama sunda wiwitan, agama Samin dan aliran kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. Dengan kebijakan pemerintah yang pada waktu itu sangat represif, maka demi menyelamatkan diri mereka dengan sangat terpaksa menerima penggabungan tersebut.

Dengan berakhirnya Era Orde Baru dan munculnya Era Reformasi, maka hal‐hal yang tadinya tertutup, mulai terbuka. Mereka yang tadinya tidak berani menyuarakan aspirasinya, kini mulai berani menyuarakan tuntutannya. Diantara tuntutannya ialah, mereka ingin agama/kepercayaan lokal mereka diakui terpisah dari agama induknya, karena menurut mereka dari segi ajaran sangat jauh berbeda. Dengan demikian muncullah tuntutan agar agama/kepercayaan lokal

Dinamika Agama Lokal di Indonesia Dinamika Agama Lokal di Indonesia

luas, meskipun Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah dua tahun berturut‐turut (tahun 2010 dan tahun 2011) melakukan penelitian tentang agama lokal. Oleh sebab itu pada tahun 2012 ini penelitian tersebut dilanjutkan kembali dengan fokus masalah pelayanan hak‐hak sipil mereka.

Secara yuridis, agama lokal berhak memperoleh jaminan hak hidup dan pelayanan hak sipil dari negara pasal

29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata kepercayaan dalam pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multi‐ interpretasi yang dampaknya tidak sederhana. Bagi aliran kebatinan (kepercayaan) seperti; Sapto Dharma, Sumarah, Subud dan Pangestu yang merupakan aliran kepercayaan utama yang keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata ”kepercayaan” dianggap merupakan pengakuan negara terhadap aliran kebatinan itu setaraf dengan agama yang dilayani pemerintah.

Dalam penjelasan Pasal 1 UU N0. 1 /PNPS /1965 disebutkan bahwa terdapat 6 (enam) agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confusius). Ini tidak berarti bahwa agama ‐agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto, atau Taoism dilarang di Indonesia. (Kementerian Agama RI,

2 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012 : 184).

Undang ‐Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) khususnya pasal 64 ayat (1) juga tidak melarang agama‐agama lain selain yang secara faktual dan sosiologis dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Namun, dalam ketentuan pasal 64 ayat (2) UU Adminduk dinyatakan bahwa : “Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang‐Undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

Oleh karena itu meskipun agama/kepercayaan lokal seperti yang telah disebutkan diatas, tampaknya mengalami stagnasi, namun komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal sebenarnya mengalami perkembangan pasang surut. Hal itu terkait dengan adanya perubahan‐perubahan di dalam dirinya sendiri, maupun perubahan yang diakibatkan karena adanya perkembangan di sekitarnya. Faktor politik juga seringkali turut mempengaruhi perubahan‐perubahan tersebut.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan sistem agama/ kepercayaan lokal dan persebaran pemeluknya ?

2. Bagaimana dinamika relasi sosial pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya?

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

3. Bagaimana realisasi hak yuridis pengikut agama/ kepercayaan lokal, terutama menyangkut pelayanan hak‐ hak sipil, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU Adminduk No. 23 tahun 2006 (Akte kelahiran, Identitas agama dalam KTP, Pencatatan pernikahan dan tempat pemakaman)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menggali informasi tentang perkembangan komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal dan persebarannya, baik menyangkut paham dan keyakinan, pengikut, organisasi maupun tradisi.

2. Menelusuri kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap komunitas pengikut agama/kepercayaa lokal, terutama terkait dengan pelayanan hak‐hak sipilnya sebagai warga Negara, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan( Akte kelahiran, Identitas agama dalam KTP dan Pencatatan pernikahan maupun tempat pemakamannnya).

3. Menelusuri dinamika relasi sosial komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi kepada pimpinan Kementerian Agama dan pihak ‐pihak lain yang terkait dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan pemerintah terhadap hak‐hak sipil pengikut agama/kepercayaan lokal.

4 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

E. Definisi Operasional

Agama/kepercayaan lokal adalah agama yang berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah tertentu. Agama lokal nusantara, memiliki berbagai nama, yang lazim digunakan di tempat mereka hidup sehari‐hari.

Agama asli nusantara adalah agama lokal, yang lahir dan tumbuh di nusantara, jauh sebelum adanya agama Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik, dan Kristen. Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum adanya agama‐agama tersebut di atas, telah ada agama lokal yang jauh lebih tua. Ciri‐ciri utama agama lokal adalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, gotong royong dan saling menghormati hubungan antara sesama manusia, alam dan Tuhan. Masyarakat penganut agama/kepercayaan lokal menyebut nama agama‐agama mereka sesuai dengan bahasa masing‐masing.

Setelah Indonesia merdeka, kesadaran untuk mengembangkan agama/kepercayaan lokal tumbuh berkembang sesuai UUD dan kebijakan Pemerintah terkait dengan agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada tahun 1965 muncul PNPS yang menyebutkan beberapa agama yang hidup dan dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Disamping itu terdapat kelompok‐kelompok keagamaan/kepercayaan lokal yang pada masa Orde Baru diintegrasikan kepada agama‐agama induknya, kebijakan pemerintah terhadap penganut agama lokal juga diarahkan kembali ke agama asal. Namun bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki latar belakang ajaran pada agama besar, pembinaannya ditangani oleh Kemendikbud.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

F. Metodologi Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dalam tradisi sosiologi/antropologi, menggambarkan realitas sosial, penelitian ini bersifat deskriftif analitik tidak menggunakan model thick description dari Geertz, yaitu model yang lebih menekankan penggalian makna dari pada sekedar menggali pola atau hukum keteraturan (Geerts, 1973:5‐7).

Jenis Data yang Dihimpun

Adapun data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Data yang terkait dengan perkembangan komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal, baik menyangkut paham dan keyakinan, organisasi maupun tradisi, digali melalui observasi, wawancara dengan pihak‐pihak yang dipandang mempunyai kompetensi dan penggalian dokumen yang relevan.

Data yang terkait dengan perkembangan kebijakan politik pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap pengikut agama/kepercayaan lokal, terutama menyangkut pelayanan hak‐hak sipilnya, digali melalui undang‐undang dan regulasi di bawahnya, termasuk peraturan daerah.

Data yang terkait dengan dinamika relasi sosial pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya, digali dari pandangan komunitas kepercayaan lokal

terhadap masyarakat di luarnya dan juga sebaliknya.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan melalui beberapa cara antara lain: 1) kajian pustaka dengan

6 Dinamika Agama Lokal di Indonesia 6 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

2) wawancara mendalam(indepth interview); 3) observasi lapangan.

Kajian pustaka dilakukan di beberapa perpustakaan untuk mempelajari buku‐buku hasil penelitian yang ada kaitannya dengan masalah yang kita teliti.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap pihak yang terkait dengan penelitian ini antara lain: pimpinan kelompok paham keagamaan lokal yang diteliti, pengikutnya, pemerintah daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan pariwisata daerah, pimpinan ormas keagamaan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, aparat pemerintah setempat (Kantor Kementerian Agama, Kantor catatan sipil, Kantor Urusan Agama, Camat, Lurah/Kades, Kejaksaan/ intelegen, Kepolisian, Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem).

Sedangkan observasi lapangan dilakukan antara lain mengenai aktivitas sehari‐hari pengikut paham keagamaan lokal, tradisi yang mereka jalankan serta interaksi sosial antara pengikut dan bukan pengikut, memperhatikan perkembangan agama/kepercayaan lokal, baik sebelum dan sesudah mengalami perkembangan hingga kini.

G. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Komunitas yang masih memelihara kepercayaan agama lokal di Indonesia jumlahnya sangat banyak, seperti penelitian agama lokal yang pernah dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2010 adalah: 1) Paham Madrais di Cigugur Kuningan; 2) Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Masade/Islam Kaum Tua di Sulawesi Utara;

3) Paguyuban Sumarah sebelum dan sesudah Pasca Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Reformasi di Yogyakarta; 4) Sapto Dharmo di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; 5) Aluk To Dolo di Tana Toraja Sulawesi Selatan; 6) Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan Tengah; 7) Boda Sasak di Lombok Utara.

Selain itu penelitian agama/kepercayaan lokal yang juga telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 adalah: 1) Komunitas Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan; 2) Komunitas Parmalim di Sumatera Utara; 3) Komunitas Samin di Kabupaten Blora Jawa Tengah; 4) Komunitas Kampung Naga diTasikmalaya;

5) Komunitas Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu di Indramayu Jawa Barat; dan 6) Komunitas Suku Anak Dalam di Jambi.

Sedangkan penelitian pada tahun 2013 ini melanjutkan penelitian‐penelitian sebelumnya, namun lokasi agama/kepercayaan lokalnya berbeda, dengan permasalahan yang sama, tetapi fokus penekanannya pada pencatatan perkawinan, identitas agama dalam KTP dan akte kelahiran serta tempat pemakamannya. Agama‐agama lokal yang dikaji meliputi:

1) Agama/Kepercayaan Merapu di Sumba NTT; 2) Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun di Sukabumi Jawa Barat; 3) Agama/Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy di Desa Kanekes Lebak Banten; 4) Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan Lombok Utara NTB;

5) Agama/Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung; 6) Agama/ Kepercayaan Buhun orang Kranggan Jati Sampurna Kota Bekasi Jawa Barat; 7) Agama/Kepercayaan Masyarakat Kampung Dukuh Dalam;

Agama/Kepercayaan lokal tersebut dipilih dengan pertimbangan; (1) paham keagamaan/kepercayaan tersebut

8 Dinamika Agama Lokal di Indonesia 8 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

tradition) , seperti: kelahiran, kematian/pemakaman, perkawinan, dan lain sebagainya; (4) mempunyai dinamika yang menarik, baik terkait dengan sikap politik pemerintah terhadap mereka, maupun terhadap lingkungan sosial dimana komunitas itu berada.

H. Studi Kepustakaan

Kajian terkait agama/kepercayaan lokal yang pernah dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2012, yaitu:

1) Komunitas Parmalim, secara umum telah mengalami stagnasi. Namun tradisi adat mereka dapat dipertahankan oleh para pengikutnya. Kebijakan pemerintah menyangkut pelayanan hak‐hak sipilnya belum mencerminkan implementasi dari UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sampai hari ini belum tertera di kolom kartu tanda penduduk (KTP) yang mencantumkan agama mereka. Akte kelahiran dan pencatatan nikah juga belum dilayani oleh pemerintah meskipun sudah ada perintah dari Undang‐Undang. Relasi sosialnya dengan masyarakat luar terutama terhadap agama mainstream sangat baik dan sangat toleran;

2) Kepercayaan Suku Anak Dalam, telah mengalami perubahan, mereka yang semula tidak menganut agama apapun, sebagian sudah menjadi mu’alaf muslim dan ada juga yang masuk Kristen. Pemerintah belum melakukan

Dinamika Agama Lokal di Indonesia Dinamika Agama Lokal di Indonesia

3) Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Jawa Barat. Komunitas tersebut sejak awal sudah mengalami perubahan baik dari segi nama maupun ajaran mereka. Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka menghadapi tantangan yang terjadi karena kondisi sosial yang berubah.Pemerintah setempat belum melakukan pendataan terhadap komunitas tersebut. Selama ini menurut keterangan camat Losarang (Ahmad Midan) mengatakan komunitas agama lokal baru mengurus KTP ketika beliau baru mau melakukan pernikahan, karena menurutnya KTP itu tidak penting. Salah satu penyebab keengganannya untuk memenuhi hak sipil mereka karena adanya keharusan mengisi kolom agama, sementara mereka tidak mengikatkan diri pada salah satu agama maupun organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Relasi sosial terhadap internal maupun eksternalnya cukup baik.

4) Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Penduduk Kampung Naga mayoritas beragama Islam. Islam sebagai agama mayoritas penduduk, diterima dan diakomodasi dalam tradisi budaya masyarakat Kampung Naga dengan warna etnik Sunda. Pencatatan perkawinannya dilakukan di KUA Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, karena masyarakatnya beragama Islam.Untuk pencatatan akte

10 Dinamika Agama Lokal di Indonesia 10 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

5) Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora Jawa Tengah, Pada era reformasi hingga kini komunitas Samin memperoleh kebijakan yang spesifik, seperti identitas agama dalam KTP boleh ditulis Samin atau boleh dikosongkan/tanda setrip dan akte kelahiran dilayani sama dengan penduduk lainnya. Dalam masalah perkawinan, pemerintah belum memberikan payung hukum, sehingga mereka masih melakukan berdasarkan hukum adat dan masih menunggu payung hukum dari pemerintah.Relasi sosial sesama komunitas Samin cukup baik dan akrab bahkan saling membantu dalam kebutuhan hidup sehari‐ hari. Tetapi relasi sosial dengan kelompok mainstream tidak terlihat karena komunitas Samin hidup mengelompok seakan‐akan membuat komunitas tersendiri dan mereka jarang ke luar rumah kecuali pergi ke kebun dan keladang.

6) Kepercayaan Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, penganut agama lokal ini hingga sekarang masih bertahan. Mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, tidak menuntut apa yang tidak menjadi hak mereka. Identitas agama dalam KTP dituliskan agama Hindu untuk mencari keselamatan dan ketentraman.Masalah perkawinan mengikuti cara‐cara agama Hindu, yaitu calon pengantin laki‐laki mendatangi Petugas Pembantu Pencatat Perkawinan.Relasi sosialnya terjadi interaksi terhadap sesama golongan apapun yang ada di sekitarnya.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

I. Kerangka Teori

Menurut para antropolog dan sosiolog, agama merupakan sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan dalam tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang suci dan gaib. “Dari pengertian tersebut maka terjadinya perubahan Paham dan keyakinan keagamaan sangat dimungkinkan. Perubahan tersebut disebabkan karena perbedaan‐perbedaan interpretasi dan cara pandang dalam memahami situasi‐situasi yang terus berubah atau ilmu pengetahuan yang berkembang” (Abdurrahman Mas ‘ud, 2009).

Perbedaan interpretasi ajaran atau doktrin sebuah agama/kepercayaan lokal mengakibatkan timbulnya perbedaan keyakinan, faham atau aliran keagamaan. Jadi secara teoritis dan praktis perbedaan interpretasi terhadap doktrin agama yang menimbulkan aliran agama baru pada tingkat pemahaman pada prinsipnya tidak bisa dihindarkan terutama karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, pemahaman dan pengamalan serta perkembangan budaya masyarakat.

Sistem kepercayaan yang dianut tidak disebut berasal dari Tuhan, tetapi sebagai produk kebudayaan manusia itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz (1981), agama pada dasarnya merupakan produk kebudayaan. Karena itu, sebuah sistem keyakinan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan masyarakatnya. Persoalannya adalah bagaimana posisi individu dan komunitas pengikut agama/kepercayaan lokal dalam statusnya sebagai warga Negara diperlakukan. Hal ini terkait dengan kebijakan sebuah Negara mengenai status kewarganegaraan masyarakatnya.

12 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

AGAMA/KEPERCAYAAN MERAPU DI SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh : Wakhid Sugiyarto

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Sumba Selayang Pandang

Penelitian agama Marapu dilaksanakan di daratan Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur atau disebut ‘Bumi Marapu” tepatnya di Kabupaten Sumba Barat. Bumi Marapu adalah sebutan lain bagi Tana Humba atau Sumba untuk keseluruhan daratan Sumba.

Agama Marapu sebagai agama komunitas masyarakat daratan Sumba hingga kini masih tetap eksis, meskipun secara administrasi kependudukan mereka sudah semakin terdesak dan digantikan sebagai orang Kristen dan Katolik. Menurut informan dari pihak Kristen dan Katolik, hal itu dipandang sebagai cara adaptasi, agar mereka dapat berperan sejajar dengan warga negara Indonesia lainnya di seluruh Sumba dalam aspek kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi dan politik.

Di sepanjang pantai timur hingga pantai barat tersimpan misteri agama Marapu dan rumah‐rumah adat yag menjulang tinggi diperbukitan maupun di ngarai, altar megalit dan batu kuburan keramat yang nampak menghiasi setiap depan rumah, pojok ruang kota, kampung (kabisu) dan dusun (paraingu) kiri kanan sepanjang jalanan trans Sumba. Di tengah‐tengah kota Waikabubak sebagai ibukota Kabupaten Sumba Barat, juga dapat disaksikan kampung‐ kampung adat dengan rumah‐rumah adat joglo yang tinggi menjulang beratapkan ilalang. Keberadaanya menjadi obyek wisata bagi turis‐turis asing, meskipun bagi kita sendiri malah menjadi simbol peninggalan peradaban jaman batu yang harus segera ditinggalkan.

14 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Rumah ‐rumah itu di dalamnya bercampur aduk antara penyimpanan bahan makanan, tempat memasak, tidur, buang hajat, kandang babi, kandang kerbau, anjing dan gudang menjadi sesuatu yang mengesankan adalah lokasi yang jorok itu dibanggakan dan diperlihatkan kepada para turis. Kondisi lingkungan perkampungan adat yang terkesan jorok itu, bisa saja menurut kita memerlukan rehabilitasi total, supaya lingkungan berubah menjadi lingkungan yang sehat, dalam hal ini tentu saja harus melibatkan Pemerintah Daerah, karena hal tersebut memerlukan dana besar. Tetapi bagi para penghuninya, kondisi lingkungan seperti itu ternyata sama sekali tidak mengganggu kehidupan sehari‐harinya, mereka bisa hidup dengan tenang, seperti tidak ada problem apapun berkaitan dengan kondisi lingkunganya.

Kondisi Geografis dan Demografis

Kondisi daratan tanah pulau Sumba secara topografis terdiri dari perbukitan, lahan daratan rendah yang landai dan bertingkat ‐tingkat. Wilayahnya bersuhu tinggi sehingga mengakibatkan batu‐batuan menjadi mudah lapuk. Jenis tumbuhan yang dapat tumbuh pada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa, aren dan sebagainya. Sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi, babi, kuda dan anjing sesuai dengan keadaan alamnya.

Masyarakat Sumba umumnya bermata pencarian sebagai petani ladang, sedikit sawah basah, tadah hujan dan peternak. Kebiasaan bertani dan beternak diwariskan oleh nenek moyang sejak zaman dulu. Sekalipun pulau Sumba dikelilingi lautan luas, namun sedikit orang Sumba yang menjadi nelayan tradisional, sebagaimana orang‐orang Bima, Bugis dan Jawa.

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Jumlah penduduk di Pulau Sumba ada sekitar 699.686 jiwa. Dilihat dari persebaran jumlah penduduknya adalah Sumba Barat Daya, 290.539 jiwa, Sumba Timur 232.237 jiwa, Sumba Barat 113.189 jiwa, dan Sumba Tengah 63.721 jiwa. Di Sumba Barat kepadatan penduduknya 153 jiwa/km2, terdiri dari laki‐laki 58.638 jiwa dan perempuan 54.551 tergabung dalam 256.963 Kepala Keluarga. Penduduk terpadat adalah Kecamatan Kota Waikabubak yaitu 29.494 jiwa; Loli 27.785 jiwa; Tana Righu 18.000 jiwa; Lamboya 16.097 jiwa; Wanokaka 14.375 jiwa dan Kecamatan Lamboya Barat berpenduduk 7.438 jiwa (Kabupaten Sumba Dalam Angka, 2012).

16 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

TEMUAN HASIL PENELITIAN

Kehidupan Sosial Keagamaan

Secara umum Provinsi NTT masih memperlihatkan lima (5) agama besar yang dilayani Pemerintah, sementara Khong Huchu belum tampak prosentasenya. Namun, sesungguhnya, di seluruh wilayah NTT masih banyak penganut agama lokal, tetapi dilihat dari data BPS, tidak nampak, sehingga tidak ada data resmi jumlah penganut agama lokal di seluruh Provinsi NTT.

Secara administratif, penduduk Sumba Barat mayoritas memeluk agama Kristen 69.406 jiwa, Katolik 23.483 jiwa, Islam 9.291 jiwa dan Hindu 199 jiwa (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2012). Berdasarkan data lainnya jumlah umat Kristen 55.635 jiwa, umat Katolik 22.084 jiwa, umat Islam 8.543 jiwa, umat Hindu 198 jiwa dan umat Marapu sebanyak 24.198 jiwa (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2010).

Menurut informan, dari kalangan bangsawan dan elit politik Sumba maupun orang‐orang penting di Sumba mengatakan bahwa sebahagian dari kami masih taat menjalankan ritual Marapu, meskipun sebagian besar lainnya sudah ke gereja. Hal ini sebagaimana dinyatakan juga oleh Rambu Sama Pati, yang masih seorang darah biru di Sumba Barat, adik kandung dari Bupati Sumba Tengah Umbu Sappi Pateduk, mengatakan bahwa dirinya dan umumnya para politisi dan birokrat meskipun sudah Kristen, tetap masih menjalankan tradisi Agama Marapu. (diolah dari hasil wawancara dengan Rambu Sama Pati, 12 April 2013). Dari hasil wawancara dan FGD, diperoleh informasi, bahwa para pendeta, guru, Dinas Pendidikan dan Pemerintah telah membuat jebakan mematikan keberadaan komunitas agama

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Marapu, yaitu dengan menggiring anak‐anak usia sekolah ke sebuah kandang yang sudah disiapkan dan tidak ada pilihan lainya, mereka harus memiliki surat babtis di semua jenjang pendidikan. Anak‐anak usia sekolah itu termasuk orang tuanya, masuk ke agama Kristen/Katolik, sementara yang mereka kehendaki adalah dididik sesuai agama Marapu.

Alasan menggiring anak‐anak usia sekolah ke kandang agama Kristen atau Katolik, ternyata cukup logis, yaitu bahwa di sekolah harus ada pelajaran agama, bahkan nilai agama minimal harus 6. Jika anak murid sekolah tidak ada nilai pelajaran agamanya maka siswa tersebut tidak akan naik kelas di semua jenjang pendidikan. Sementara itu, agama Marapu yang memang mayoritas itu masih dipandang bukan sebagai agama, karena tidak ada kitabnya, sehingga tidak dapat diajarkan dan tidak dapat disusun kurikulumnya, tidak ada gurunya, dan tidak ada pula pengawas agama Marapu. Satu‐ satunya jalan yaitu harus diajarkan dengan ajaran agama formal yang ada, yaitu Kristen atau Katolik. Sementara itu berkaitan dengan hak pendidikan agama bagi anak itu, terikat dengan agama apa yang dianut oleh siswa. Jika agamanya Kristen, maka didatangkanlah guru agama Kristen, dan jika siswanya beragama Katolik, maka didatangkanlah guru agama Katolik. Untuk mengetahui kebutuhan itu, maka satu‐ satunya jalan adalah dengan surat wajib babtis dari pendeta Kristen ataupun Katolik, sehingga sekolah tidak dipersalahkan oleh siapapun, karena pendidikan agama yang diberikan kepada siswa sudah sesuai dengan siswa yang telah memiliki surat babtis dari gereja. Jika tidak di babtis, berarti siswa tersebut tidak bisa sekolah dan tidak bisa menjadi pegawai negeri, tentara, polisi dan sebagainya yang mensyaratkan dalam KTP‐nya harus ada agama formal.

18 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Informan lain mengatakan bahwa dahulu ia ketika masuk Sekolah Dasar diharuskan memiliki surat babtis yang dikeluarkan oleh Gereja, jika tidak, maka ia tidak dapat sekolah. Oleh karena itu ia terpaksa minta surat babtis kepada pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) agar bisa bersekolah. Sementara itu sampai hari ini, ia tidak pernah tahu di dalam gereja itu ada apa. (diolah dari hasil wawancara dengan Weny Dela Kondo, 13 April 2013).

Informan lainnya juga mengatakan, bahwa memang salah besar ketika semua lembaga pendidikan negeri dan swasta di semua jenjang mengharuskan calon siswa untuk memiliki surat babtis dari pendeta di gereja. Sebab masalah keyakinan tidak boleh dipaksakan seperti itu dan masalah agama merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar yang tidak bisa diganggu gugat. Persoalanya adalah bahwa agama Marapu ini tidak ada kitab suci tertulisnya, sehingga timbul kesulitan jika kelompok lain ingin membuktikan bahwa Marapu adalah agama. Karena semua orang setidaknya 85% masyarakat ber‐KTP sebagai umat Kristen/Katolik, tetapi seluruh perjalanan hidupnya masih bernilai sebagai orang Marapu. Oleh karena itu tidak heran jika semua gereja sepi pada hari minggu, karena sebagian besar orang masih beragama Marapu. Komunitas Marapu menjadi komunitas tak berdaya berhadapan dengan definisi agama yang diberikan oleh orang lain, pemerintah dan para agamawan lain, karena pemerintah tetap menempatkan Marapu sebagai aliran kepercayaan dan bukan sebagai agama. Cita ‐cita untuk mendirikan lembaga adat Marapupun masih terkendala oleh desakan para pendeta agar pemerintah jangan sampai melegalkan Marapu sebagai agama, karena akan mengancam posisi mayoritas Kristen di Kabupaten Sumba

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Barat. Pendirian Lembaga Adat sudah langsung mendapat kecurigaan dan reaksi dari para pendeta Kristen dan Katolik, karena ia tahu bahwa dengan pendirian lembaga adat Marapu akan menjadi langkah awal dari pengukuhan Marapu sebagai agama. Dan merekapun mengetahui bahwa begitu Marapu dikukuhkan sebagai agama, maka sebagian besar penduduk akan berpindah ke agama Marapu. Hasilnya adalah amanat kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi komunitas adat Marapu, yaitu sebuah kantor yang representatif bagi lembaga adat tersebut dan sekaligus menjadi pusat informasi yang berkaitan dengan Marapu. Sementara ini, informasi berkaitan dengan Marapu di bawah kewenangan Dinas Pariwisata, yang menurut Lele sama sekali tidak paham seluk beluk kepercayaan dan adat Marapu. Bahkan pegawainya malah menjadi guide bagi wisatawan dan bukan menyiapkan paket ‐paket dan inovasi pariwisata, dan dengan jengkelnya Lele Dapa Wole mengatakan, pegawai di Dinas pariwisata termasuk kepala Dinasnya hanya makan gaji buta. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wolu dan Ana Angelina Lele, 1 Mei 2013).

Sampai hari ini ada ketentuan bahwa setiap siswa ketika akan mendaftarkan dirinya ke sekolah di semua jenjang harus memiliki surat babtis dan itu masih berlaku. Merekapun seolah ‐olah masuk Kristen dengan surat babtis itu, tetapi sesungguhnya dalam kehidupan dari lahir hingga matinya masih dengan cara kepercayaan, nilai dan rasa agama Marapu, termasuk Lele Dapa Wole dan Ana Angelia Lele. Alasan bersedia di babtis dengan nama Kristen dan ber‐KTP Kristen juga diilhami oleh kenyataan lapangan, bahwa jika tidak memiliki surat babtis itu, maka anak‐anak dari keluarga Marapu tidak dapat bersekolah dan bekerja disektor

20 Dinamika Agama Lokal di Indonesia 20 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Agama Islam sudah diperkenalkan kepada orang‐ orang Sumba beberapa abad yang lalu oleh orang‐orang dari Bima, tetapi belum mampu menembus blokade tradisi Marapu yang sangat kuat di masyarakat. Hal ini adalah karena perbedaanya terlalu banyak, bisa dikatakan 180 derajat bertentangan dengan Islam, sementara mereka tidak mau ada konflik secara agama. Tidak seperti misalnya kaum Paderi di Sumatra Barat dan Tapanuli Selatan, di mana kelompok Paderi atau kelompok Islam pembaharu melakukan perang total melawan kaum adat. Jika di Sumatra Barat Kaum Paderi perang melawan kaum adat yang sudah muslim, sementara di Tapanuli Selatan Kaum Paderi perang melawan kaum Malim. Korban dari kedua belah pihak sangat besar, apalgi kaum adat kemudian berkianat yaitu dengan meminta bantuan Belanda, sementara kaum Malim banyak menjadi korban pembersihan oleh karena tradisi Malim yang bertentangan dengan prinsip keagamaan kaum Islam pembaharu.

Ketidakmampuan menembus kaum adat Marapu ini menyebabkan pemeluk Islam sampai hari ini masih sangat terbatas di kalangan suku Sumba. Islam hanya banyak

21

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

dipeluk di kalangan suku Bima dan beberapa orang Arab seperti di Sumba Timur dan Tambolaka. Barulah sekitar tahun 1990 ‐an orang‐orang Jawa muslim mulai berdatangan yang akhirnya ikut meramaikan dinamika kehidupan keagamaan muslim di daratan Sumba. Orang Jawa di Sumba dikenal sebagai pekerja keras, tabah menghadapi kesulitan, ulet dan sabar, jujur dan dapat dipercaya, dermawan dan suka beramal shalih, apalagi untuk pembangunan rumah ibadah, dan mereka rajin bersedekah kepada orang‐orang Sumba di pedesaan. Mereka setiap beberapa bulan sekali mengirim sembako ke pedesaan muallaf dalam jumlah besar, seperti ke Mamboro, Lamboya, dan Wanokaka yang akhirnya juga diikuti oleh orang‐orang Bima. Masa depan agama Islam cukup baik di Sumba meskipun Kristen dan Katolik serta Pemerintah telah berkomplot melakukan planting curch, yaitu mendiamkan wajib surat babtis bagi anak usia sekolah yang ingin bersekolah di semua jenjang pendidikan. Sayang banyak pula di antara orang Jawa yang merantau ke Waikabubak ini tidak menjalankan shalat, meskipun rajin ikut pengajian paguyuban Jawa yang jumlahnya ada 5 kelompok majelis taklim. (diolah dari hasil wawancara dengan Pua Monto Umbu Ney, 23 April 2013).

Sebagai umat beragama tentu saja memiliki banyak rumah ibadat yang dipergunakan untuk sembahyang atau menghadap Yang Kuasa, begitupun umat beragama di kabupaten Sumba Barat. Agama Marapu memiliki 5 tempat ibadat secara khusus. Sementara yang umum adalah dimana saja ia mempunyai keperluan, di situ ia sembahyang atau dalam bahasa Marapunya adalah Noppa memohon kepada Amaholu Amarawi. Rumah ibadat agama Marapu ini bukan sebuah gedung megah dengan berbagai asesoris arsitektur

22 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

modern, tetapi hanya sebuah tanah lapang kemudian di salah satu sisinya sebelah barat terdapat menara batu sebagai simbol untuk menuju kepada yang disembah yaitu Amaholu Amarawi. Itulah sebabnya, orang di luar Marapu memahami bahwa Marapu hanyalah kepercayaan yang menyembah kepada batu atau berhala, sementara dalam prakteknya batu itu simbol Marapu belaka, sebagaimana umat Kristen di dalam gerejanya terdapat patung Yesus atau Katolik yang didalamnya ada patung Yesus dan Bunda Maria dan dalam Islam versi tradisional ada wasilah. Oleh karena itu pertanyaan Lele adalah apa bedanya Marapu dengan Nasrani, Khonghuchu, Budha dan Hindu yang secara kasat mata juga menyembah patung. Tetapi jika bertanya kepada yang bersangkutan, benarkah ia menyembah patung Buddha, patung Yesus dan Bunda Maria? Yang membedakan antara Kristen, Katolik, Buddha dan Konghchu dengan agama Marapu adalah bahwa Kristen, Katolik, Buddha dan Konghchu kitab sucinya tertulis secara jelas, sehingga siapapun bisa belajar dan mengacu kepada kitab suci itu. Sementara, sistem kepercayaan, ritual, dan tradisi agama Marapu yang jauh lebih banyak dan padat makna dibandingkan dengan yang disebut di atas, tetapi tidak ada kitab suci tertulisnya. Semua praktek keagamaanya mengalir begitu saja dari generasi ke generasi melalui tutur dan tradisi yang terus terpelihara hingga hari ini. Tidak ada perubahan apapun dalam peraktek keagamaan Marapu, karena begitu ada perbedaan dengan yang sebelumnya langsung ada yang mengingatkannya. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele Dapa Wollu, 1 Mei 2013).

Dalam kehidupan keagamaan, umat Kristen memiliki gereja 168 buah yang terpencar di berbagai kecamatan. Seperti

Dinamika Agama Lokal di Indonesia Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Sementara itu umat Katolik memiliki gereja 8 buah, memiliki SD Katolik Santa Ana 1 buah, SMP Katolik Santo Yusuf dan 1 SMA Katolik Santo Yusuf. Umat Islam memiliki

13 buah masjid yang letaknya terpencar di berbagai kecamatan terutama di Kecamatan Kota Waikabubak, kecamatan Tana Righu dan Kecamatan Wanokaka, sedangkan agama lainnya tidak memiliki rumah ibadat.

Sejarah Marapu

Masyarakat di daratan Sumba pada umumnya sampai hari ini masih beragama Marapu, meskipun secara administratif sebagai umat Kristen dan Katolik. Beberapa

24 Dinamika Agama Lokal di Indonesia 24 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Amaholuamarawi adalah kelancangan. Penyebutan Amaholuamarawi pun tidak sering dilakukan, yang disebut adalah sifat‐sifatnya Amaholuamarawi saja, sehingga posisi para roh leluhur, utamanya roh para rato rumatta adalah menjadi wasilah atau perantara dalam setiap peribadatan dan upacara ritualnya (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013).

Ada lagi yang melihat kata mera dan appu, kata mera artinya “serupa” dan appu artinya “nenek moyang”, jadi Marapu adalah serupa dengan nenek moyang atau kata Marapu berasal dari kata ma yang artinya “yang” dan rappu yang artinya “mengkristal ke dasar” yang diartikannya

Dinamika Agama Lokal di Indonesia Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Sementara itu dalam doa‐doanya, mereka selalu meyebut Mekah dan Madinah. Di mana mereka percaya bahwa jika jasad telah dikuburkan, sementara jiwanya telah berada di tempat yang disediakan oleh Tuhan Yang Mahaesa yaitu di Makkah dan Madinah. Jiwa yang berada di Makkah dan Madinah itu kemudian menjadi wasilah dan dapat menjadi penghubung antara manusia dengan Amahol Amarawi , Tuhan Yang Maha Esa. Amaholu Amarawi adalah kekuatan supra natural yang berpribadi atau pun tidak yang tampil dalam berbagai bentuk dan juga dapat berarti suci, sakti, mulia sehingga harus dihormati dan tak dapat diperlakukan sembarangan.(diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013 dan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013).

Sistem Kepercayaan dan Mitos dalam Komunitas Marapu

Sebagaimana dipahami dalam kajian antropologi, bahwa sistem kepercayaan dalam suatu religi mengandung bayangan manusia tentang wujud dunia gaib, malaikat, makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai hidup dan mati serta kesusastraan suci dan sebagainya. Orang Sumba menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan

26 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para roh‐ roh, makhluk‐makhluk halus dan kekuatan‐kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupanya, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib ini orang Sumba menyandarkan diri serta memohon agar disampaikan permintaanya atau do’a‐ do’anya kepada Amaholu Amarawi. Orang Sumba memiliki kepercaaan kepada malaikat yang memiliki tugas masing‐ masing dan memiliki tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memwasilahkan semua permintaanya kepada Tuhan. Para malaikat dan roh‐roh para Rato biasanya tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali bila sedang ada upacara tertentu. Para arwah leluhur yang memiliki wasilah itu sangat dimuliakan, dihormati, selalu disebut dalam doa’anya dan dipercaya sebagai lindi papakalangu ‐ketu papajualangu (titian yang menyeberang‐ kan, kaitan yang menjulurkan, perantara/ wasilah) antara manusia dengan Amaholu Amarawi (Tuhan Yang Membuat Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu inilah yang telah menerima nuku ‐ hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu (roh leluhur) adalah makhluk‐makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan dan kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat‐sifat lebih unggul. Mereka juga terdiri dari jenis pria dan wanita dan berpasangan sebagai suami istri. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde,

26 April 2013, Rato Rumatta 25 April 2013, Daniel Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Mesa Kallo, Amaniga dan Lele Dapa Wolu 22‐ 27 April 2013 dan lihat FD. Wellem, 2004 : 33‐ 90).

Di antara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal‐bakal dari kabihu ‐kabihu/marga/klan/kanilah/suku.

Marapu ‐ marapu ini dibedakan antara Marapu Rato dengan Marapu. Marapu rato ialah marapu yang turun dari langit dan merupakan leluhur dari marapu lainnya. Sedangkan Marapu ialah arwah leluhur yang menjadi cikal‐bakal dari suatu kabihu/suku tertentu. Adapun kata‐kata sifat yang ditujukan untuk menyebut Amaholu Amarawi antara lain : Pencipta Manusia, Yang Membentuk dan Membuat Manusia, Yang Menumbuhkan dan Yang Menjadikan, Pencipta Langit dan Bumi, Yang Tidak Disebut Namanya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya, Jiwa dan Roh Yang Maha Esa, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya, Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia dan sebagainya. Sifat‐sifat Amaholuamarawi ini selalu disebut dalam setiap do’a dalam sembahyang maupun dalam do’a‐ do’a ketika memulai persembahan, memulai tanam, memulai panen dan seterusnya. Mereka tidak mau menyebut nama Tuhan dengan sia‐sia atau sembarangan, dan merasa tidak pantas menyebut Amaholu Amarawi. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013).

Selain kepada para Marapu (para roh rato dan nenek moyang), orang Sumba juga percaya bahwa di dunia gaib penuh dengan makhluk‐makhluk halus, seperti patau tana, mamarungu, maranongu, katiku kamawa dan bumbu. Patau tana adalah roh‐roh halus yang dapat berasal dari manusia,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka

28 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

menjadi penghuni pohon‐pohon besar, batu‐batu besar, gua‐ gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang‐orang yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh‐roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh‐pesuruh para marapu. Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa lalu orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang. Roh halus sederajat dengan mamarungu ialah maranongu. Akan tetapi, maranongu mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013).

Katiku kamawa adalah makhluk halus lainnya yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari manusia dan tidak diketahui asa‐usulnya. Penampilan katiku kamawa ini berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya berguling‐guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di pohon‐pohon besar atau di pohon mangga. Adapun bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun suka mengganggu

29

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung‐ gunung atau di tempat‐tempat sunyi. Orang Sumba percaya bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan gaib dalam gejala‐ gejala dan hal‐hal luar biasa yang dapat berupa gejala‐gejala alam, tokoh‐tokoh manusia, bagian‐bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh‐tumbuhan, benda‐benda dan suara‐suara yang luar biasa. Gejala‐gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Sumba menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka. Tokoh‐tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para rato, karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib, yaitu dengan mengucapkan mantra‐mantra tertentu. Ilmu gaib (puhi) yang dilakukan oleh para rato untuk mendatangkan hujan ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu. Seorang rato ketika menjalanan ilmu gaib yang bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di hutan hijau dan tebing batu, yaitu para marapu yang dipuja oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra‐mantra (tundu wara)

30 Dinamika Agama Lokal di Indonesia 30 Dinamika Agama Lokal di Indonesia

Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain (terutama laki‐laki), maka dianggap akan membawa sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan kepada orang lain. Karena itu, wanita yang sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat‐tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah. Bagian tubuh manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air

31

Dinamika Agama Lokal di Indonesia

ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal‐pegal yang diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang tumbuh di batu‐batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya. Binatang yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara lain; burung wangi (burung hantu), kuu (burung alap‐alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Sumba karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing). Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara‐upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan, dapat dilihat melalui hati babi. Kerbau merupakan binatang yang biasa dikorbankan pada upacara‐upacara keagamaan, terutama pada upacara perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut kepercayaan, kerbau‐kerbau korban itu merupakan

32 Dinamika Agama Lokal di Indonesia