Pemilihan umum di Indonesia (1)

Pemilihan umum di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari seri:

Politik dan
pemerintahan
Indonesia

Pancasila
UUD 1945

Legislatif[tampilkan]
Eksekutif[tampilkan]
Yudikatif[tampilkan]
Inspektif[tampilkan]
Daerah[tampilkan]
Pemilihan
umum[tampilkan]
Partai politik[tampilkan]


Negara lain · Atlas

Portal politik




lihat

bicara

sunting



Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota
lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres),
yang semula dilakukan olehMPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga

pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian daripemilu diadakan
pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai
bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan
anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Daftar isi
[sembunyikan]



1 Sejarah



2 Asas



3 Jadwal




4 Komponen sistem pemilu [4]



5 Penetapan hasil pemilu



6 Jumlah kepimpinan yang dipilih rakyat



7 Hasil pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat



8 Jumlah partai politik di Indonesia




9 Pemilihan umum anggota lembaga legislatif
o

9.1 Pemilu 1955

o

9.2 Pemilu 1971

o

9.3 Pemilu 1977-1997

o

9.4 Pemilu 1999

o


9.5 Pemilu 2004

o

9.6 Pemilu 2009

o

9.7 Pemilu 2014
10 Pemilihan umum presiden dan wakil presiden


o

10.1 Pemilu 2004

o

10.2 Pemilu 2009


10.3 Pemilu 2014

o


11 Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah



12 Lihat pula



13 Referensi



14 Pranala luar


Sejarah[sunting | sunting sumber]
Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014

Asas[sunting | sunting sumber]
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.


"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak
boleh diwakilkan.



"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki
hak menggunakan suara.



"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak

manapun.



"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh
si pemilih itu sendiri.

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari
"Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan
sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat
memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang sama terhadap
peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta
atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta
pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Jadwal[sunting | sunting sumber]
Posisi

Tipe


Presiden dan

2014

Presiden
(Juli &
September)
DPD&DPR
(April)

Ya

2015

2016

2017

Tidak


Tidak

2018

2019

Presiden (10
September)
DPD&DPR
(10 Juli)

Ya

Posisi

2014

2015


2016

2017

2018

2019

wakil presiden

DPD

DPR

Gubernur dan
wakil gubernur

Riau,
Lampung,
Jatim,
Maluku,
Malut

Sumbar,
Jambi,
Bengkulu,
Sulteng,
Kepri,
Sulbar
Kalteng,
Kaltim, Sulut

Walikota/Bupati
dan wakil
walikota/bupati

Aceh, Babel,
Jakarta,
Banten,
Gorontalo,
Pabar

Sumut,
Sumsel,
Jabar, Jateng,
Bali, NTB,
NTT, Kalbar,
Kalsel,
Kaltara,
Sulsel, Sultra,
Papua, Sultim

Riau,
Lampung,
Jatim,
Malteng,
Malut, Jatra,
Keplam

Variasi

Jika RUU Pemilu disahkan menjadi UU Pemilu maka:[1][2][3]
Posisi

Tipe

2014

2015

2016

2017

2018

2019[2][3]

Presiden (Juli &
September)
DPD&DPR
(April)

Tidak

Presiden (10
September)
DPD & DPR
(10 Juli)

Ya

Tidak

Ya

Presiden dan wakil
presiden

DPD

DPR

Gubernur dan wakil
gubernur

Riau, Lampung,
Jatim, Maluku,

Sumbar, Jambi,
Bengkulu, Kepri,

Sulteng,

Jakarta

Sumsel,

Lampung,
Gorontalo,

Posisi

2014

Malut

Walikota/Bupati dan
wakil
walikota/bupati

2015

2016

Kalteng, Kaltim,
Sulut

Sulbar

Variasi

2017

2018

Bali

Variasi

2019[2][3]

Jambi

Tidak

Keterangan:
1. Tahun 2019 Pemilihan Umum dilakukan serentak untuk semua jenis di seluruh wilayah.
2. Pilkada pada tahun 2017 serta 2018 dimundurkan dan tahun 2020 serta 2021 dimajukan
pada tahun 2019 serta Setiap Tahun yang variasi.
Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan umum untuk semua jenis digelar serentak pada
tahun 2019 nanti pilkada setiap tahun yang bervariasi. [2][3]

Komponen sistem pemilu
Pemil
u

Terbuka/tertutup

1955

[4]

[sunting | sunting sumber]

Distrik/proporsional/campuran

proporsional

1971

1977

1982
tertutup
1987

1992

1997

1999

distrik

Pemil
u

Terbuka/tertutup

Distrik/proporsional/campuran

2004

2009

terbuka

campuran

2014

Penetapan hasil pemilu[sunting | sunting sumber]
Putaran
pertama

Pemilihan

Presiden dan wakil
presiden

Putaran
kedua

Keterangan

syarat calon diajukan dimana partai politik
memilki batas ambang 25% kursi parlemen atau
20% suara sah

Minimal 50%
Minimal 50%

Kepala daerah dan
wakil kepala daerah

Minimal 30%

DPR

Suara
terbanyak
(batas ambang 3,5%)

n/a

DPRD
Suara
terbanyak
DPD

Jumlah kepimpinan yang dipilih rakyat[sunting | sunting
sumber]
Pemilihan

Total

Presiden

2

Gubernur

64

Pemilihan

Total

Walikota/Bupati

1022

DPR

560

DPRD

100 per kabupaten/kota

DPD

4 per provinsi

DPRA

70

DPRP

50

Hasil pemilihan umum Dewan Perwakilan
Rakyat[sunting | sunting sumber]
Tahun

Pemenang

Partai
politik

Jumlah kursi
(dalam
persen)

Tempat kedua

Partai
politik

Jumlah kursi
(dalam
persen)

Tempat ketiga

Partai
politik

Jumlah kursi
(dalam
persen)

1955

PNI

57 (22.17%)

Masyumi

57 (22.17%)

NU

45 (17.51%)

1971

Golkar

360 (65.55%)

NU

56 (21.79%)

Parmusi

24 (9.33%)

1977

Golkar

232 (64.44%)

PPP

99 (38.52%)

PDI

29 (8.05%)

1982

Golkar

242 (67.22%)

PPP

94 (26.11%)

PDI

24 (6.66%)

1987

Golkar

299 (74.75%)

PPP

61 (15.25%)

PDI

40 (10%)

Tahun

Pemenang

Partai
politik

Jumlah kursi
(dalam
persen)

Tempat kedua

Partai
politik

Jumlah kursi
(dalam
persen)

Tempat ketiga

Partai
politik

Jumlah kursi
(dalam
persen)

1992

Golkar

282 (70.5%)

PPP

62 (15.5%)

PDI

56 (14%)

1997

Golkar

325 (76.47%)

PPP

89 (22.25%)

PDI

11 (2.75%)

1999

PDIP

153 (33.12%)

Golkar

120 (25.97%)

PPP

58 (12.55%)

2004

Golkar

128 (23.27%)

PDIP

109 (19.82%)

PPP

58 (10.55%)

2009

Demokrat

150 (26.79%)

Golkar

107 (19.11%)

PDIP

95 (16.96%)

2014

PDIP

109 (19.5%)

Golkar

91 (16.3%)

Gerindra

73 (13%)

Jumlah partai politik di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Tahun

Jumlah

1955

tidak terbatas

1971

10

1977

3

1982

1987

Tahun

Jumlah

1992

1997

1999

48

2004

24

2009

38

2014

12

Pemilihan umum anggota lembaga legislatif[sunting | sunting
sumber]
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 11 kali pemilu anggota lembaga legislatif
yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014.

Pemilu 1955[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante
Indonesia 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota
DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di
bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:


Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,



Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul
Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia
1971

Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu
ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi
masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional
Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik
(yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan
Karya.

Pemilu 1977-1997[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia
1977, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota
DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992,
dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. PemiluPemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini
seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975,
Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu
tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia
1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu
1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan
suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu,
yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman
Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk
terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD,
sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Indonesia 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,
rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk
mewakili kepentingan daerah.

Pemilu 2009[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Indonesia 2009

Pemilu 2014[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Indonesia 2014

Pemilihan umum presiden dan wakil
presiden[sunting | sunting sumber]
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu
2004.

Pemilu 2004[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden
dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil
mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang
diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan
Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum
pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian
kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilu 2009[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang YudhoyonoBoediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara
60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad
Jusuf Kalla-Wiranto.

Pemilu 2014[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia 2014
Pilpres 2014 diselenggarakan pada 9 Juli 2014. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil
menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan suara sebesar 53,15%, mengungguli
pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim
pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai
Kartanegara pada 1 Juni 2005.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


Daftar partai politik Indonesia



KPU



Panwaslu

Referensi[sunting | sunting sumber]
1.

^ [1] Pilkada digelar serentak

2.

^ a b c [2] Pileg dan Pilpres digelar serentak

3.

^ a b c [3] Pileg dan Pilpres digelar serentak

4.

^ Komponen sistem pemilu (halaman 54)

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


(Indonesia) Situs web Komisi Pemilihan Umum



(Indonesia) CETRO (Centre fo Electoral Reform)



(Indonesia) Pemilu Indonesia

PERBEDAAN PEMILU 1955-REFORMASI


Posted by: andikaprimayoga on: November 10, 2009
In: surat | Uncategorized
Tinggalkan sebuah Komentar



PERBANDINGAN PELAKSANAAN PEMILU ORDE LAMA, ORDE BARU
DAN REFORMASI
I.PENGERTIAN PEMILU

1.
1.
1.
2.
3.

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah
pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga
pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian
menimbang butir a sampai c disebutkan:
Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah
negara yang berkedaulatan rakyat;
Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil
rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan
suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: “pemilihan umum
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia yang
berdasarkan pancasila dan undang-undangn 1945.
PemilihanUmum, selanjutnyadisebutPemilu, adalahsaranapelaksanaankedaulatanrakyatyang
dilaksanakansecaralangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, danadildalamNegara
KesatuanRepublikIndonesia berdasarkanPancasiladanUndang-UndangDasarNegara
RepublikIndonesia Tahun1945.
AsasPemilu: Pemiludilaksanakansecaraefektifdanefisienberdasarkanasaslangsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, danadil.
II.

SISTEM PEMILU

A. Sistem perwakilan distrik (single member constituency)
Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang paling tua dan didasarkan pada persatuan
geografis, dimana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.
B.Sistem Proporsional
Sistem Proporsional adalah seluruh wilayah merupakan satu kesatuan. Jadi seperti partai kecil yang
memiliki suara di Papua, Kalimantan, dan lain-lain, bisa dijumlahkan, sehingga Sistem Proporsional
memungkinkan partai-partai kecil berkiprah di parlemen. Jika mereka kalah di wilayah pemilihan
tertentu, partai-partai kecil tidak otomatis gugur, karena masih ada akumulasi suara sisa yang
memungkinkan mereka memperoleh kursi di DPR.
C.sistem gabungan
Sistem Gabungan merupakan sistem yang menggabungkan sistem distrik dengan proporsional

III. PEMILU ORDE LAMA
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan
hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16
Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum





























1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan
juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan
penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur
tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April
1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti
bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12
Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Tokoh partai PNI
Dr. Tjipto Mangunkusumo
Mr. Sartono
Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
Mr Sunaryo
Soekarno
Moh. Hatta
Gatot Mangkuprojo
Soepriadinata
Maskun Sumadiredja
Amir Sjarifuddin
Wilopo
Ali Sastroamidjojo
Djuanda Kartawidjaja
Mohammad Isnaeni
Supeni
Sanusi Hardjadinata
Sukmawati Soekarno
Agus Supartono Supeni
Tokoh Partai Masyumi
KH Hasyim Asy’arie
KH Wahid Hasjim,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),
Muhammad Natsir,
Syafrudin Prawiranegara,
Mr. Mohammad Roem,
KH. Dr. Isa Anshari,
Kasman Singodimedjo,
Dr. Anwar Harjono,
Tokoh Partai NU
1. Syeikh Nawawi al-Bantani
2. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
3. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi
4. Syeikh Ahmad Khatib Sambas
5. Syeikhona Kholil Bangkalan
6. Kyai Abdullah Termas
7. KH. Hasyim As’ari
8. KH. Wahab Hasbullah
9. KH. Bisri Syamsuri
10. KH. Wahid Hasyim
11. KH. Ahmad Siddiq
12. KH. As’ad Syamsul Arifin
13. KH Saifuddin Zuhri
14. KH. Maksum Ali
15. KH. Zainul Arifin

16. KH TURAICHAN KUDUS
17. KH Agus Maksum Jauhari
18. KH. Bisri Mustafa
19. KH. Asnawi Kudus
20. KH. Abbas Djamil Buntet
Tokoh partai PKI
Mr. Amir Syarifuddin, Maruto Darusma, Tan Ling Djie, Abdulmajid ,Muso,dan Setiadjit

Pemilu 1955

1.
2.

3.
4.













Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi
mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi
menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15
daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat,Sumatera Selatan, Sumatera
Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan,
dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi
hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya.
Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi
secara nasional tak terjadi.
Berikut hasil Pemilu 1955:
Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)
Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)
Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)
Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara (16%)

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanyaAS$70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
sukses transmigrasi
sukses KB
sukses memerangi buta huruf
sukses swasembada pangan
pengangguran minimum
sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
sukses Gerakan Wajib Belajar
sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde
Baru











semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat
munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin)
kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
“Penembakan Misterius” (petrus)
tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada
masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde
Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.

Pemilu di Masa Reformasi
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi
menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur
politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik,
telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai
dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara
siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI
P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan
kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu
1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi
partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil
dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan
bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan,
bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan
ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif
dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara
Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam
dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima
kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah
Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih
60,95 persen.

Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai
sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik
bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan
legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga
punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis
(sinetron, lawak, penyanyi) yang tergiur untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.

Selain artis, banyak partai politik merekrut academic-celebrity sebagai kandidat mereka.[1] Daftar
terbuka memungkinkan seorang kandidat mendapat contrengan lebih banyak ketimbang calon
lainnya dalam partai yang sama. Bagi partai politik, populernya seorang caleg membuat pilihan
pemilih terfokus kepada partainya ketimbang kepada partai-partai politik lain.
Di Indonesia pula, undang-undang pemilu yang terakhir mensyaratkan setiap partai politik
menyertakan minimal 30% kandidat perempuan. Hal ini membuka kemungkinan yang lebih besar
bagi perempuan untuk menjadi legislator. Namun, di sisi lain partai politik sangat selektif terhadap
caleg perempuan: Hanya caleg perempuan yang memenuhi kriteria tertentu (cantik, populer,
akademik) yang benar-benar masuk ke dalam 30% kandidat partai mereka. Tingkat persaingan
antar caleg perempuan lebih besar ketimbang antar caleg laki-laki.
Pemilihan umum merupakan mekanisme penting dalam sebuah negara, terutama yang
menggunakan jenis sistem politik Demokrasi Liberal. Pemilihan Umum yang mendistribusikan
perwakilan kepentingan elemen masyarakat berbeda ke dalam bentuk representasi orang-orang
partai di parlemen. Sebab itu, pemilihan sebuah sistem pemilihan umum perlu disepakati bersama
antara partai-partai politik yang terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan pemerintah.
Indonesia telah menyelenggarakan 9 kali pemilihan umum. Khususnya untuk pemilihan anggota
parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis Proporsional, yang kadang berbeda dari
satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti
jumlah penduduk, jumlah partai politik, trend kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem
politik yang tengah berlangsung.

Sebelum dilakukan pembahasan atas sistem pemilu yang pernah
diterapkan di Indonesia, ada baiknya dijelaskan jenis-jenis sistem pemilu
yang banyak dipakai di dunia. Penjelasan hanya dititikberatkan pada
kategori-kategori umum dari setiap jenis sistem pemilu. Untuk melihat
peta sistem pemilu, perhatikan bagan di bawah ini sebagai berikut :[2]
--->pict 1
juta sampai dengan 3 juta, beroleh 45 kursi; (4) provinsi berpenduduk > 3
juta sampai dengan 5 juta, beroleh 55 kursi; (5) provinsi berpenduduk > 5
juta sampai dengan 7 juta, beroleh 65 kursi; (6) provinsi berpenduduk > 7
juta sampai dengan 9 juta, beroleh 75 kursi; (7) provinsi berpenduduk > 9
juta sampai dengan 12 juta, beroleh 85 kursi; dan (8) provinsi
berpenduduk
>
12
juta
beroleh
100
kursi.
Sementara itu, untuk DPRD II (Kota/Kabupaten) berlaku ketentuan:[18] (1)
Daerah pemilihan DPRD II adalah kecamatan atau gabungan kecamatan;
(2) Kabupaten atau kota berpenduduk sampai dengan 100 ribu beroleh 20
kursi; (3) Kabupaten atau kota berpenduduk > 100 ribu sampai dengan
300 ribu beroleh 25 kursi; (4) Kabupaten atau kota berpenduduk > 300

ribu sampai dengan 400 ribu beroleh 35 kursi; (5) Kabupaten atau kota
berpenduduk > 400 ribu sampai dengan 500 ribu beroleh 40 kursi, dan (6)
Kabupaten atau kota berpenduduk > 500 ribu beroleh 45 kursi.
Dengan demikian, pada Pemilu 2004, total kursi untuk DPR, DPRD I, dan
DPRD II sebagai berikut: (1) Kursi DPR
memperebutkan 550 kursi; (2)
Kursi DPRD I memperbutkan 1.780 kursi; dan (3) Kursi DPRD II
memperbutkan
13.665
kursi.
Sistem Proporsional dicirikan adanya Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
Bilangan ini berbeda antar satu daerah dengan daerah lain, bergantung
pada jumlah total penduduknya. Cara pembagian BPP bagi setiap partai
politik dibagi ke dalam dua tahap.Tahap pertama terdiri atas prosesproses: (1) menghitung total suara sah masing-masing parpol; (2)
menghitung BPP dengan cara total suara sah masing-masing parpol dibagi
jumlah kursi yang diperebutkan di daerah tersebut; (3) menghitung suara
sah tiap parpol dibagi dengan BPP; (4) parpol yang suaranya melebihi BPP
otomatis langsung mendapat kursi, dan (5) Parpol yang suaranya melebihi
BPP tetapi belum cukup untuk kursi jadi beroleh sisa suara.
Setelah perhitungan tahap pertama selesai dilakukan, lalu dilanjutkan
oleh tahap kedua, yang