Politik Internasional Nuklir Strategi docx

Nama : Elik Candra
NIM : 201210360311063
Kelas : HI-B

Senjata Nuklir dalam Studi Hubungan Internasional: Nuchlear Strategy

Pendahuluan
Isu nuklir Iran telah membawa dunia kepada ketegangan keamanan
internasional. Banyak analisis yang menyatakan bahwa kepemilikan senjata pemusnah
massal ini apabila tidak segera dilucuti akan sangat membahayakan bagi keamanan
internasional.1 Hal inilah yang menyebabkan Barat, terutama Amerika, sangat menekan
Iran. Amerika yang dulunya adalah pasangan erat dalam pembangunan nuklir Iran 2,
telah curiga dan menganggap bahwa pengembangan nuklir yang dilakukan Iran adalah
untuk tujuan perang. Di awal tahun 2007 perseteruan ini memulai babak yang baru.
Dewan Keamanan PBB yang dimotori oleh Amerika secara aklamasi mulai menerapkan
sanksi bagi Iran.
Terlepas dari isu krisis nuklir Iran, motivasi dan ambisi kepemilikan
program nuklir oleh negara-negara di dunia sendiri dapat dilihat dari efektifnya senjata
ini pada saat digunakan masa Perang Dunia II. Dua kota besar di Jepang, Hiroshima dan
Nagasaki, diluluh lantahkan Amerika dalam sekejap menggunakan senjata ini. Nuklir
dipercaya dapat dijadikan sebagai senjata yang ampuh dalam menghadapi berbagai

masalah yang datang dari luar yang mengancam keamanan kepentingan nasional suatu
negara. Selain itu, penggunaan senjata nuklir adalah untuk mencapai kepentingan dalam
politik internasional yang muncul seiring dengan penggunaan strategi nuklir dalam
pembuatan kebijakan luar negeri. Namun ada pertentangan yang muncul dari
1 Anak Agung Banyu Perwita, “Nuklir Iran dan Keamanan Internasional” KOMPAS, 18 April 2006.
2 Sejak tahun 1957 Iran dan Amerika memiliki hubungan yang erat. Teknologi pengembangan nuklir Iran
sendiri sebenarnya didapat dari Amerika, yaitu ketika Iran dibawah pemerintahan Shah Reza Pahevi
membangun rektor nuklir untuk pembangkit listrik. Hubungan yang mesra ini semakin dipererat dengan
adanya perjanjian kerjasama nuklir sebagai bagian dari program “Atom for Peace” Amerika Serikat. Akan
tetapi pasca terjadinya Revolusi Islam Iran 1979 dibawah Imam Khomeini, ideologi Iran yang dulunya
sekuler berubah menjadi Islam dan tidak lagi pro dengan Amerika. Dari sini, kepentingan Amerika pun
sulit masuk ke Iran dan mulai terjadi ketegangan diantara keduanya.

penggunaan nuklir ini. Nuklir tidak bisa digunakan karena tidak ada jaminan
keselamatan dalam pengembangannya serta terlalu berbahaya. Dilain pihak, dengan
adanya nuklir adalah mampu menjadi sebuah senjata yang tidak tertandingi.
Pandangan terakhir inilah kemudian yang menyebabkan negara-negara di
dunia saling berlomba-lomba mengembangkan nuklir pada dewasa ini. Kepemilikan
teknologi dan senjata nuklir ini pada akhirnya akan memunculkan berbagai
kemungkinan reaksi bahkan dilema yang menegangkan sistem internasional seperti apa

yang terjadi isu nuklir Iran.
Nuklir sebagai Strategi dan Senjata
Sebagai instrumen kebijaksanaan nasional, persenjataan merupakan salah
satu ciri teknik yang penting, yang berguna untuk mencapai atau mempertahankan
tujuan nasional. Hal ini lakukan dengan mempengaruhi orientasi, peranan, sasaran, dan
tindakan negara lain.3 Ledakan bom atom pertama di New Mexico, tanggal 16 Juli
1945, merupakan awal era baru yang menarik dan berbahaya dalam sejarah umat
manusia. Sementara itu, ditahun yang sama kedua bom atom dijatuhkan di Hiroshima
dan Nagasaki. Korban yang langsung tewas sekitar 100.000 dan tidak terhitung jumlah
korban yang terluka. Jika dibuat perbandingan, kehancuran yang ditimbulkan akibat
oleh perang nuklir jika terjadi pada tahun 1980-an tidak bisa dikalkulasikan.
Hal ini tentunya berkaitan dengan perkembangan teknologi militer yang
memberi pengaruh penting terhadap tatanan dan proses sistem politik. Senjata nuklir
dan sistem peluncuran peluru kendalai jarak jauh merupakan perkembangan
persenjataan yang terus-menerus dikembangkan serta memiliki pengatuh penting
terhadap sisitem internasional, unit politik, serta hubungan di antara unit-unit itu.
Meskipun perkambangan teknologi nuklir terus berkembang, tidak berarti bahwa
persenjataan konvensional menjadi kadaluwarsa, karena negara yang memiliki nuklir
masih terbatas sekali, bahkan beberapa negara yang memiliki kekuatan nuklir masih
mampertahankan angkatan bersenjatanya


dengan senjata konvensional dalam

menghadapi provokasi terbatas.4
3 Ambarwati, dkk. Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta:
Rajawali Press, 2010, hlm. 95.
4 K. J. Holsti. Politik Internasional Suatu Kerangka Analisi. trj., Bandung: Binacipta, 1990, hlm. 389-39.
dikutip pleh Ibid., hlm. 96.

Kekuatan daya ledak senjata nuklir memberi pengaruh penting terhadap
sistem internasional. Kondisi ini sangat jauh berbeda ketika Perang Dunia I dimana
negara yang terlibat perang tidak mampu menghancurkan atau menimbulkan kerusakan
terhadap wilayah, kapasitas industri, atau rakyat negara lawan tanpa terlebih dahulu
menghancurkan angkatan perangnya. Akan tetapi dengan adanya nuklir, perusakan atau
penghancuran total negara lawan tanpa terlebeh dahulu harus mengalahkan angkatan
bersenjatanya sangat mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan nuklir memberikan
kemudahan untuk meluncurkan serangan melintasi benua dengan cepat. Sementara itu,
secara tradisional kekuatan militer suatu negara merupakan atribut untuk membedakan
negara tersebut dengan negara lain, apakah ia negara besar atau negara kecil. Akan
tetapi sejak Perang Dunia II, perbedaan antara negara besar dengan negara kecil telah

diukur berdasarkan pemilikan senjata nuklir. Nuklir yang dijadikan senjata utama
negara dalam perang dianggap sebagai penentu utama kemenangan.
Perkembangan dan terjadinya revolusi teknologi ini lah yang telah mengeser
perombakan stategi dalam militer. Teori mengenai strategi senjata nuklir telah
berkembang sejak 1940-an sampai 1980-an. Berbeda dengan yang yang lain, revolusi
nuklir menimbulkan ancaman yang tidak terduga daripada senjata-senjata militer yang
pernah ada sebelumnya.5 Penggunaan nuklir sebagai senjata militer diindikasikan
sebagai strategi yang bersifat politis.6 Strategi nuklir condong pada deklarasi politik
daripada strategi yang bersifat praktis.
Bila berbicara mengenai senjata nuklir, maka konsep deterrence adalah hal
yang penting untuk dikaji. Pada dasarnya deterrence adalah konsep untuk menangkal
adanya provokasi dan agresi secara defensif dengan kepemilikan senjata penghancur
massal ini. Apa yang terjadi ketika Perang Dingin dimana Amerika dan Russia sebagai
pihak yang berkonflik tidak mengutamakan kontak secara langsung. Mereka justru
bersifat defensif dengan senjata nuklir dijadikan sebagai opsi penangkalan terjadinya
perang. Nuklir hanya akan digunakan apabila pihak musuh telah menyerang terlebih
dahulu. Hal ini kemudian menghadirkan satu hal yang essensial dalam konsep
5 Gray, Collin S. 2007. “The Cold War, II: the Nuclear Revolution”, dalam War, Peace and International
Relations: an Introduction to Strategic History, New York: Routledge, pp. 205.
6 Gray mengatakan, “Nuclear weapons have not retired strategy, but strategic reasoning has certainly

helped to confine the writ of those weapons in defence plans.”(Gray, 1999: 307). Oleh karena itu apa
yang disebut sebagai “senjata nuklir” menurut Gray (2007) tidak dapat dijelaskan secara gampang.

deterrence, yaitu mengetahui siapa musuh sebenarmya.7 Konsep deterrence yang terlihat
pada Perang Dingin ini kemudian dikenal dengan nuclear umbrella. Dalam konsep ini,
suatu negara dapat saja mendapatkan perlindungan nuklir tanpa harus dimilikinya.hal
ini terlihat bagaimana Amerika melindungi sekutunya dengan kapabilitas nuklir yang
dimiliki. Sekalipun tidak ada kewajiban secara eksplisit untuk menggunakan senjata
nuklir dalam membela sekutu yang diserang, kemungkinan untuk melakukannya tetap
ada, sehingga konsep ini dianggap memiliki nilai deterrence terhadap lawan potensial.
Sekalipun Perang Dingin telah berakhir, hal ini tidak serta merta kemudian
mengakhiri penggunaan nuklir dalam membentuk politik luar negeri negara pemilik
nuklir. Bagi Amerika khususnya, nuklir tetap dipandang sebagai hal yang penting dalam
pembentukan politik luar negeri. Nuklir bagi Amerika dapat dianggap membantu dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Strategi deterrence nuklir pada hakikatnya adalah
bertujuan untuk memberikan sebuah intimidasi dan ancaman tersembunyi pada negara
lain. Hal ini berdasar pula pada strategi Sun Tzu win without war yaitu kemenangan
sesungguhnya adalah kemenangan yang diraih tanpa berperang. Satu negara tidak lagi
harus melakukan pelucutan senjata secara langsung untuk menaklukkan negara lain,
namun dengan sekedar memiliki nuklir akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri.

Mengapa Harus Nuklir?
Negara akan berusaha untuk mengembangkan nuklir jika mereka tidak
memiliki alternatif lain dalam menghadapi sebuah ancaman militer yang sangat serius
bagi keamanan mereka. Jika hal ini tidak bisa dilakukan, maka negara akan merasa
lebih baik untuk tidak mengembangkannya. Richard Betts menjelaskan terdapat yang
perlu diingat mengenai kemungkinan nukir pada masa sekarang, yaitu peran dari senjata
nuklir ini dalam konflik internasional telah berubah. Senjata nuklir bukan lagi menandai
siapa yang lebih unggul dalam bidang teknologi, melainkan senjata ini menjadi senjata
bagi pihak yang lemah, baik negara maupun kelompok-kelompok yang tidak begitu
dominan.8 Isu nuklir tidak hanya menyangkut mengenai permasalahan militer akan
tetapi juga mengenai kesepakatan politik dari berbagai kelompok kepentingan di dalam
negerinya.
7 Betts, Richard K. 1998. “The New Threat of Mass Destruction”, Foreign Affairs, Vol. 77, No. 1, pp. 34.
8 Betts, Richard K. Ibid., pp. 27

Scott D. Sagan memaparkan tiga pendekatan yang menjelaskan mengapa
negara lebih memilih nuklir sebagai pertahanannya.9 Pertama, the security model yang
berfokus pada upaya negara untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dari ancaman
pihak asing terutama dari ancaman nuklir. Dasar dari pemikiran ini adalah pemikiran
realis dimana negara harus mampu menjaga keamanan negaranya sendiri. Ancaman

yang ditimbulkan oleh senjata nuklir mendorong setiap negara untuk meningkatkan
kemampuannya guna mengimbangi negara lain yang mengembangkan nuklir dengan
melahirkan deterrence. Negara kuat dapat memaksakan kepentingannya untuk
memperoleh kepentingan nasionalnya dengan mengembangkan nuklir. Akan tetapi, bagi
negara-negera yang lemah akan lebih memilih jalan aman dengan membentuk aliansi
kepada negara-negara yang memiliki nuklir sehingga ia terhindat dari ancaman
kehancuran yang disebabkan oleh nuklir.
Pemanfaatan nuklir sebagai alat politik serta tarik-menarik kepentingan
antar elit politik adalah dasar dari pendekatan kedua, yaitu the domestic politic.
Pendekatan ini menjelaskan bahwa suatu kelompok elit mampu mempengaruhi arah
kebijakan suatu negara untuk menggunakan nuklirnya demi kepentingan kelompok
tersebut. Pendekatan selanjutnya adalah the norms model yang berfokus pada
penggunaan nuklir sebagai simbol modernitas serta identitas suatu bengsa di dunia
internasional. Pengambilan keputusan mengenai penggunaan nuklir mencerminkan
perilaku negara di dunia internasional. Hal ini dikarenakan lewat proses pengambilan
keputusan ini membentuk identitas dan simbolisasi tertentu bagi negara tersebut. Dalam
hal ini arah kebijakan suatu negara tidak ditentukan oleh pemimpin bangsa atau elit
politik, akan tetapi oleh norma yang berlaku.
Davis dan Gray menjelaskan bahwa NPT atau Nuclear Non-Proliferation
Treaty telah efektif secara legal pada tahun 1970 yang kemudian diperbaharui pada

tahun 1995 dan mewajibkan penandatanganan traktat ini untuk berkomitmen melucuti
senjata nuklir. Sekalipun begitu, tidak satupun negara nuklir percaya bahwa pelucutan
merupakan hal yang dapat diterapkan. Hal inilah yang menyebabkan negara cenderung
untuk mempertahankan nuklir yanh dimilikinya.10
9 Scott, D. Sagan, Why Do States Build Nuclear Weapon?: Three Models in Search of a Bomb:
Internasional Security, Vol. 21,No. 3. (Winter, 1996-1997), pp. 54-86.
10 Gray dan Morgan dalam John Bayliss et. al. Strategy in Contemporary World. pp. 264.

Ada beberapa kemungkinan dalam konteks politik yang menempatkan
senjata nuklir memiliki kegunaan, yang menjadikannya sebagai jaminan atas ancaman
yang nantinya akan datang menyerangnya. Secara teknis, senjata nuklir ini merupakan
ancaman yang kredibel dalam usaha untuk menghindarkan agar lawan tidak melakukan
tekanan lebih keras atau mengancam keamanan nasional negaranya. Deterrence nuklir
dapat saja tidak berjalan, akan tetapi negara manapun yang diketahui memiliki nuklir
akan diperlakukan dengan “lebih hormat”.11
Keengganan dari negara-negara untuk melucuti nuklirnya selain itu juga
disebabkan oleh munculnya negara-negara baru yang giat meningkatkan kapabilitasnya
dalam pengembangan nuklir dan dianggap berusaha bahkan memiliki senjata nuklir
maupun tipe senjata pemusnah massal lainnya.
Kesimpulan

Nuklir sebagai senjata militer jika diaplikasikan dalam peperangan memicu
adanya dampak yang tidak terprediksi dan dapat menimbulkan kritis stabilitas. Namun,
terbentuknya kestabilan selama Perang Dingin juga mengidentifikasikan adanya
stabilitas nuklir dari kedua negara hegemoni, yaitu Amerika dan Russia. Revolusi nuklir
melahirkan strategi militer baru dari agresi ke bentuk defense.
Unsur strategis dari kepemilikan nuklir antara negara yang memiliki nuklir
dengan negara yang juga memiliki nuklir adalah menyentuh pada sebuah bentuk
kerasionalitasan, dimana sangat tidak mungkin negara menginginkan terjadinya perang
nuklir. Pada akhirnya tujuan perang pun tidak tercapai dan justru kehancuran besarlah
yang didapatkan. Disinilah letak dimana nuklir menjadi sebuah kapabilitas yang harus
diimbangi dengan kecerdasan. Saat sebuah negara yang memiliki nuklir dengan segala
kerasionalitasannya, ia harus memiliki strategi untuk ‘menggandeng’ negara lain yang
notabene tidak memiliki nuklir.
Dapat dimengerti bahwa kepemilikan nuklir dari suatu negara menjadi
sebuah hal yang menimbulkan berbagai respon internasional. Kapabilitas nuklir sebagai
alat deterrence juga melahirkan berbagai kontroversi, kesepakatan antar negara, serta
mengungkap strategi nuklir, bahwasanya nuklir tidak hanya dijadikan sebagai sebuah
11 Ibid.,

unsur srategis karena terjadinya perang. Akan tetapi, penggunaan nuklir sebagai

deterrence dianggap efektif untuk mengatur tindakan dari negara lain. Selain itu, ini
menjadi sebuah indikator yang jelas untuk menentukan kecerdasan dan power dari
sebuah negara.