Pembangunan Masyarakat Dalam Era Globali
Pembangunan Masyarakat Dalam Era Globalisasi Bangsa
Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Pendahuluan
Dalam era pembangunan bangsa, memang perlu adanya upaya
mencari berbagai alternatif dalam menunjang terwujudkan pembangunan
yang berkesinambungan. Apakah dalam aspek SDM, ataukan
infrasturukturnya yang ada.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengurai beberapa hal, yaitu:
sedikit masalah arti pembangunan itu sendiri, bagaimana karakternya,
dan ruang lingkup publik yang bebas bagaimana berdemokratis serta
Pluralisme dan Multikulturalisme yang penuh toleransi.
.
Arti Pembangunan menurut Hasan Alwi (2002;103) adalah:”…sebuah
proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah
negara berkembang…”. Sehubungan dengan pembangunan daerah
berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah tentu sangat erat
hubungannya dengan pembinaan masyarakat yang lebih maju dari masamasa sebelumnya. Karena harapan pembangunan ini tidak sekedar di
perkotaan, melainkan juga pedesaan sangat diimpikan masyarakat.
Arti Masyarakat menurut: Shadily (1980), Harsono (1997) Darlan
(2002) adalah:”…sekumpulan manusia yang saling berinteraksi dalam
suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan tujuan satu sama
lainnya…”. Dengan demikian interaksi masyarakat dalam suatu wilayah
pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah
adanya sifat saling menghormati, saling menghargai satu sama lain.
Walau masyarakat Dayak berbeda suku, agama dan keyaninan. Tapi juga
saling Bantu membantu satu sama lain, bergotong royong adalah budaya
masyarakat sejak nenek moyang.
Arti Kearifan asal katanya arif, menurut Hasan Alwi (2002;65)
adalah:”…dalam melakukan sesuatu dengan secara bijaksana, cerdik dan
pandai, dan berilmu…”. Atau istilah lain:”harati” Untuk membangunan
tanpa ada pemihakan terhadap kelompok tertentu.
Arti Karakter, menurut: Moeliono (1989; 389) dan Poerwadarminta
(1986) Norsanie Darlan, (2011) menyebutkan:"...sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain...".
Sedangkan menurut: Esau dan Yakub (2010) dalam kamus umum
bahasa Indonesia, adalah:"...karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain...". Kemudian Leonardo A. Sjamsuri (2010) dalam bukunya
"'Kariama
Versus
Karakter"
mengatakan
bahwa
karakter
adalah:"...merupakan siapa ands sesungguhnya...". Sedangkan karakter
dalam arti PLS, menurut Sutaryat (2010) bahwa:"...dalam menyusun
kurikulum bersifat fleksibelitas bagi pamong belajar, tutor, instruktur
dapat dilaksanakan dengan musyawarah dengan WB dan dalam
penggunaan metoda pembelajaran yang bersifat partisipatif...". Hal ini
menunjukkan kepada kegunaan dan keunggulan suatu produk manusia.
Dengan demikian karakter yang dimaksudkan adalah sikap yang jujur,
rendah hati, sabar, tutus ikhlas dan sopan dalam pergaulan. Artinya tidak
berkarakter atau tabiat yang keras. Sebagai tenaga yang dalam jabatan
fungsional, tentu harapan kita semua punya karakter yang santun, murah
hati, berwawasan luas dan bisa mengayomi kepada semua orang.
Termasuk anak didiknya.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di
Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial
yang subur yang berazaskan moral Pancasila yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan
dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat
manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan
intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi
pembangunan masyarakat yang kritis.
Walaupun ide-ide masyarakat terhadap kearifan lokal menurut:
Hidayat, (2008) bertolak dari:”... konsep civil society, namun ide-ide itu
juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan, budaya tinggi
yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu
Indonesia...”.
Pernyataan, Komaruddin Hidayat (1999: 267) bahwa:”... dalam
wacana di Indonesia, istilah “pembangunan masyarakat” kali pertama
diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbukukan
dalam nama yayasan yang Pendidikannya...”. Secara “semantik” artinya
kira-kira ialah, sebuah excellent [paramount] yang misinya ialah untuk
membangun sebuah peradaban, “Pembaharuan Pendidikan. Selanjutnya,
ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih
luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut: Nurcholish Madjid (2000: 80) dalam Hidayat (2008)
bahwa:”... pembangunan masyarakat merupakan masyarakat yang sopan,
beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik...”. Menurutnya
pembangunan masyarakat dalam semangat modern tidak lain dari civil
society, karena kata ”pembangunan” menunjuk makna peradaban atau
kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar pembangunan masyarakat dan
substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka
Dawam
Raharjo
(2000)
dalam
Hidayat
(2008)
berpendapat
bahwa:”...substansi pembangunan masyarakat dalam istilah civil
society di dunia Barat adalah suatu konsep pembangunan masyarakat...”.
Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah pembangunan
masyarakat yang digali dari khazanah sejarah bangsa. Senada dengan hal
ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pembangunan
masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam
dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Sementara itu, Emil Salim dalam Hidayat (2008) adalah:”...sebagai
ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa
masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia...”. Wujud
pembangunan masyarakat ini sesungguhnya telah tertanam dalam
masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok
masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama
dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi
pembangunan masyarakat telah lama ada dalam etika sosial politik
masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat
Indonesia.
Semangat
berbudaya, sosial politik yang mengedepankan
mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan
politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol.
Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam
menyelesaikan permasalahan adalah merupakan salah satu prosedur
demokrasi yang substantif bagi pembangunan bangsa di daerah.
Karakteristik
Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah
disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat
madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat madani
merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah
masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa
Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib alAttas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer
dari Malaysia tentang Masyarakat Madani…”.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut:
Hidayat, (2008) adalah:”... di Indonesia menggambarkan masyarakat
madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan
dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat
manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan
intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi
masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan masyarakat
bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam
konsep budaya tinggi melayu yang juga terdapat dalam sejarah Asia
Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.
Menurut Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008)
bahwa:”...masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan,
beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara yang baik...”.
Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain dari
civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban
atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan
substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka
Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam
dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society
dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali
dari khazanah sejarah. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak
membedakan antara pemangunan masyarakat yang lahir dari khazanah
sejarah dan peradaban dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa
atau peradaban Barat.
Ruang Publik yang Bebas
Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam
mewujudkan pembangunan masyarakat. Pada ruang publik yang bebaslah
individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksitransaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan
dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,
maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus
diperhatikan. Dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam
tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga
negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan
kepentingan umum.
Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep
bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada
terjadi perselisihan yang berarti. Bahkan tingginya kekerabatan karena
adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu
sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh
masyarakat lain terhadap budaya ”huma betang” ini.
Demokratis
Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi
berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual
maupun
kolektif
yang
bertanggung
jawab,
sehingga
tercipta
keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan
sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi
penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi
saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya mereka yang saling
menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang pada
komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika
seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta
dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan.
Selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat
setempat.
Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di
masyarakat, menurut: Blum, (2001: 19) dan Ahimsa-Putra, (2009:2)
yakni:”... kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbedabeda. Sementara itu multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga
masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam
kelompok masyarakat yang bersangkutan maupun dalam masyarakat
lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang
didasarkan
pada
minat
untuk
mempelajari
dan
memahami
(understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan
(valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu
diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam
kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah
pemahaman, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi.
Selain hal di atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004)
adalah:”...di masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang
sangat tinggi harganya. Karena sejak masa lampau, tidak pernah ada
perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma Betang” walau sudah
menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai, saling
menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa
abad silam, membuat suatu cerminan budaya yang sangat tinggi dan
dihormati...”.
Perselisihan bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat
kejadian yang juga terjadi hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat, Lampung dan di DKI pada etnis yang sama. Hal itu
adalah sebuah peristiwa pada titik puncak sama dengan daerah lain,
bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini, betul-betul tidak
bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya
filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ langit di junjung....”. Sementara
etnis lain tak ternah.
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam
pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai
dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut
dengan kearifan lokal di ”huma Betang” ini, seperti: perbedaan
kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau
terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah turun temurun,
yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual
keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan
berupa: beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para
penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka
dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilahkan untuk dimasak
oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang
ke desa mereka.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran
dalam 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh
kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai contoh 20 tahun lebih ke masa
lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya. Sulit
mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang
tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan darah,
ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat tinggi.
Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar
sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut
oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa
dan tolong menolong. Dan disinilah salah satu toleransi filosafi ”Huma
Betang ” kita.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari
kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, di saat mereka mau
melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Sehingga mereka pendatang
usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal
antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah kost untuk
kaum pendatang.
http://norsanie.blogspot.co.id/2012/12/pembangunan-masyarakat-dalamera.html
Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Pendahuluan
Dalam era pembangunan bangsa, memang perlu adanya upaya
mencari berbagai alternatif dalam menunjang terwujudkan pembangunan
yang berkesinambungan. Apakah dalam aspek SDM, ataukan
infrasturukturnya yang ada.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengurai beberapa hal, yaitu:
sedikit masalah arti pembangunan itu sendiri, bagaimana karakternya,
dan ruang lingkup publik yang bebas bagaimana berdemokratis serta
Pluralisme dan Multikulturalisme yang penuh toleransi.
.
Arti Pembangunan menurut Hasan Alwi (2002;103) adalah:”…sebuah
proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah
negara berkembang…”. Sehubungan dengan pembangunan daerah
berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah tentu sangat erat
hubungannya dengan pembinaan masyarakat yang lebih maju dari masamasa sebelumnya. Karena harapan pembangunan ini tidak sekedar di
perkotaan, melainkan juga pedesaan sangat diimpikan masyarakat.
Arti Masyarakat menurut: Shadily (1980), Harsono (1997) Darlan
(2002) adalah:”…sekumpulan manusia yang saling berinteraksi dalam
suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan tujuan satu sama
lainnya…”. Dengan demikian interaksi masyarakat dalam suatu wilayah
pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah
adanya sifat saling menghormati, saling menghargai satu sama lain.
Walau masyarakat Dayak berbeda suku, agama dan keyaninan. Tapi juga
saling Bantu membantu satu sama lain, bergotong royong adalah budaya
masyarakat sejak nenek moyang.
Arti Kearifan asal katanya arif, menurut Hasan Alwi (2002;65)
adalah:”…dalam melakukan sesuatu dengan secara bijaksana, cerdik dan
pandai, dan berilmu…”. Atau istilah lain:”harati” Untuk membangunan
tanpa ada pemihakan terhadap kelompok tertentu.
Arti Karakter, menurut: Moeliono (1989; 389) dan Poerwadarminta
(1986) Norsanie Darlan, (2011) menyebutkan:"...sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain...".
Sedangkan menurut: Esau dan Yakub (2010) dalam kamus umum
bahasa Indonesia, adalah:"...karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain...". Kemudian Leonardo A. Sjamsuri (2010) dalam bukunya
"'Kariama
Versus
Karakter"
mengatakan
bahwa
karakter
adalah:"...merupakan siapa ands sesungguhnya...". Sedangkan karakter
dalam arti PLS, menurut Sutaryat (2010) bahwa:"...dalam menyusun
kurikulum bersifat fleksibelitas bagi pamong belajar, tutor, instruktur
dapat dilaksanakan dengan musyawarah dengan WB dan dalam
penggunaan metoda pembelajaran yang bersifat partisipatif...". Hal ini
menunjukkan kepada kegunaan dan keunggulan suatu produk manusia.
Dengan demikian karakter yang dimaksudkan adalah sikap yang jujur,
rendah hati, sabar, tutus ikhlas dan sopan dalam pergaulan. Artinya tidak
berkarakter atau tabiat yang keras. Sebagai tenaga yang dalam jabatan
fungsional, tentu harapan kita semua punya karakter yang santun, murah
hati, berwawasan luas dan bisa mengayomi kepada semua orang.
Termasuk anak didiknya.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di
Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial
yang subur yang berazaskan moral Pancasila yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan
dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat
manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan
intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi
pembangunan masyarakat yang kritis.
Walaupun ide-ide masyarakat terhadap kearifan lokal menurut:
Hidayat, (2008) bertolak dari:”... konsep civil society, namun ide-ide itu
juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan, budaya tinggi
yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu
Indonesia...”.
Pernyataan, Komaruddin Hidayat (1999: 267) bahwa:”... dalam
wacana di Indonesia, istilah “pembangunan masyarakat” kali pertama
diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbukukan
dalam nama yayasan yang Pendidikannya...”. Secara “semantik” artinya
kira-kira ialah, sebuah excellent [paramount] yang misinya ialah untuk
membangun sebuah peradaban, “Pembaharuan Pendidikan. Selanjutnya,
ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih
luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut: Nurcholish Madjid (2000: 80) dalam Hidayat (2008)
bahwa:”... pembangunan masyarakat merupakan masyarakat yang sopan,
beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik...”. Menurutnya
pembangunan masyarakat dalam semangat modern tidak lain dari civil
society, karena kata ”pembangunan” menunjuk makna peradaban atau
kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar pembangunan masyarakat dan
substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka
Dawam
Raharjo
(2000)
dalam
Hidayat
(2008)
berpendapat
bahwa:”...substansi pembangunan masyarakat dalam istilah civil
society di dunia Barat adalah suatu konsep pembangunan masyarakat...”.
Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah pembangunan
masyarakat yang digali dari khazanah sejarah bangsa. Senada dengan hal
ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pembangunan
masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam
dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Sementara itu, Emil Salim dalam Hidayat (2008) adalah:”...sebagai
ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa
masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia...”. Wujud
pembangunan masyarakat ini sesungguhnya telah tertanam dalam
masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok
masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama
dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi
pembangunan masyarakat telah lama ada dalam etika sosial politik
masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat
Indonesia.
Semangat
berbudaya, sosial politik yang mengedepankan
mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan
politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol.
Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam
menyelesaikan permasalahan adalah merupakan salah satu prosedur
demokrasi yang substantif bagi pembangunan bangsa di daerah.
Karakteristik
Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah
disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat
madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat madani
merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah
masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa
Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib alAttas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer
dari Malaysia tentang Masyarakat Madani…”.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut:
Hidayat, (2008) adalah:”... di Indonesia menggambarkan masyarakat
madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan
dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat
manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan
intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi
masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan masyarakat
bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam
konsep budaya tinggi melayu yang juga terdapat dalam sejarah Asia
Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.
Menurut Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008)
bahwa:”...masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan,
beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara yang baik...”.
Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain dari
civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban
atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan
substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka
Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam
dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society
dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali
dari khazanah sejarah. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak
membedakan antara pemangunan masyarakat yang lahir dari khazanah
sejarah dan peradaban dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa
atau peradaban Barat.
Ruang Publik yang Bebas
Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam
mewujudkan pembangunan masyarakat. Pada ruang publik yang bebaslah
individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksitransaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan
dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,
maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus
diperhatikan. Dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam
tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga
negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan
kepentingan umum.
Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep
bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada
terjadi perselisihan yang berarti. Bahkan tingginya kekerabatan karena
adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu
sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh
masyarakat lain terhadap budaya ”huma betang” ini.
Demokratis
Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi
berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual
maupun
kolektif
yang
bertanggung
jawab,
sehingga
tercipta
keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan
sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi
penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi
saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya mereka yang saling
menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang pada
komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika
seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta
dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan.
Selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat
setempat.
Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di
masyarakat, menurut: Blum, (2001: 19) dan Ahimsa-Putra, (2009:2)
yakni:”... kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbedabeda. Sementara itu multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga
masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam
kelompok masyarakat yang bersangkutan maupun dalam masyarakat
lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang
didasarkan
pada
minat
untuk
mempelajari
dan
memahami
(understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan
(valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu
diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam
kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah
pemahaman, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi.
Selain hal di atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004)
adalah:”...di masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang
sangat tinggi harganya. Karena sejak masa lampau, tidak pernah ada
perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma Betang” walau sudah
menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai, saling
menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa
abad silam, membuat suatu cerminan budaya yang sangat tinggi dan
dihormati...”.
Perselisihan bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat
kejadian yang juga terjadi hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat, Lampung dan di DKI pada etnis yang sama. Hal itu
adalah sebuah peristiwa pada titik puncak sama dengan daerah lain,
bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini, betul-betul tidak
bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya
filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ langit di junjung....”. Sementara
etnis lain tak ternah.
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam
pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai
dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut
dengan kearifan lokal di ”huma Betang” ini, seperti: perbedaan
kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau
terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah turun temurun,
yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual
keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan
berupa: beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para
penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka
dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilahkan untuk dimasak
oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang
ke desa mereka.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran
dalam 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh
kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai contoh 20 tahun lebih ke masa
lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya. Sulit
mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang
tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan darah,
ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat tinggi.
Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar
sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut
oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa
dan tolong menolong. Dan disinilah salah satu toleransi filosafi ”Huma
Betang ” kita.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari
kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, di saat mereka mau
melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Sehingga mereka pendatang
usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal
antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah kost untuk
kaum pendatang.
http://norsanie.blogspot.co.id/2012/12/pembangunan-masyarakat-dalamera.html