Pelajaran dari Kasus Din Minimi

60

KOLOM

Pelajaran dari Kasus Din M

S

etelah setahun lebih angkat senjata, pada 29
Desember 2015 Din Minimi dan puluhan eks
kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
menyerahkan diri. Hal ini mengakhiri perlawanan mereka yang uniknya ditujukan kepada
Pemerintah Aceh ketimbang Pemerintah Pusat. Sejak itu
perdebatan yang terus mencuat adalah seputar berhaktidaknya kelompok ini memperoleh amnesti. Padahal,
pemberian amnesti hanyalah penyelesaian atas status hukum kelompok ini, bukan atas akar masalah yang mendasari perlawanan mereka. Akar masalah itu sendiri terletak pada ketegangan sosial-politik terkait reintegrasi dan
transformasi eks kombatan. Seharusnya hal terakhir ini
mendapat perhatian yang lebih besar agar siklus kekerasan
tidak terjadi di Aceh.

Awalnya Kekecewaan Ekonomi
Tindakan kelompok Din Minimi mengangkat senjata semula didorong oleh kekecewaan ekonomi atas kegagalan program reintegrasi menyediakan rumah, lahan

pertanian dan pekerjaan kepada eks kombatan dan korban
konflik. Di sisi lain, mereka disuguhi kemewahan hidup
para pemimpin dan rekan mereka yang memiliki akses
kekuasaan. Karena itu, saat mendeklarasikan gerakannya
pada 9 Oktober 2014, Din Minimi menegaskan bahwa
pihaknya mengangkat senjata bukan untuk memusuhi
aparat keamanan, melainkan “melawan pemerintah
[Aceh] yang hanya memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan kehidupan rakyatnya’’.
Gubernur Zaini bereaksi keras terhadap aksi perlawanan ini. Alih-alih membuka dialog, pemenang pilkada
2012 yang penuh kekerasan ini meminta aparat keamanan
bertindak tegas. Hal ini diaminkan oleh Polda Aceh yang
segera menggelar operasi represif. Di tengah kejaran pihak Polri, pada 23 Maret 2015 kelompok Din Minimi
membunuh dua staf intelijen TNI. Anehnya, insiden ini
justru membuat TNI gencar melakukan persuasi. Danrem Liliwangsa mengunjungi rumah orang tua Din Minimi, sementara Pangdam Iskandar Muda menelepon Din
Minimi dan membujuknya turun gunung. Aroma persaingan di antara TNI dan Polri tidak bisa ditutupi lagi.
Pada tahap ini, persoalan telah kian pelik. Lembaga
kajian IPAC pimpinan Sidney Jones melaporkan, pada
akhir Desember 2014 Din Minimi dihubungi “Ayah
Oh’’, perantauan Aceh di Norwegia yang merupakan
aktivis ASNLF--lembaga sempalan GAM yang menolak

perdamaian Helsinki 2005. Selain membicarakan donasi
pembelian senjata, entah kesepakatan apa lagi yang
mereka buat. Laporan itu juga menyebut kontak Din
Minimi dengan Tgk. Mukhtar, sosok di balik kasus kamp
militer untuk pelatihan teroris di Jantho, Aceh Besar.

GATRA 16 MARET 2016

Aksi kelompok Din Minimi pada perkembangannya
telah menarik banyak pihak untuk “mengail di air keruh’’.
Hal ini meningkatkan posisi tawar dan makna simbolik
gerakan ini, dan memungkinkan pendefinisian ulang
tuntutan-tuntutan mereka. Begitulah, kelompok ini berhasil menaikkan level pertaruhannya saat menegosiasikan
penyerahan diri mereka. Selain tuntutan awal penuntasan
program reintegrasi dan pemberdayaan ekonomi, mereka
menuntut sejumlah persyaratan lain yang memiliki bobot politik yang kental, seperti pemberian amnesti,
pengusutan korupsi di Aceh oleh KPK, dan pengerahan
pemantau independen pada pilkada 2017. Kasus Din
Minimi tidak lagi sebatas kekecewaan ekonomi!


Preseden Sejarah
Kasus Din Minimi bukanlah gerakan perlawanan
pasca-konflik yang pertama di Aceh. Ia memiliki preseden
jauh lebih awal, yakni pada gerakan Sayid Ali Assegaf.
Gerakan ini terjadi pada Maret 1948, tepat dua tahun
usai Perang Cumbok dan rangkaian revolusi sosial yang
menyertainya (Januari-Maret 1946).
Seperti diketahui, revolusi sosial 1946 ini berhasil
menumbangkan kekuasaan uleebalang dan menobatkan
para tokoh ulama modernis dan pemuda Pesindo pada
tampuk kepemimpinan, baik di lingkungan eksekutif,
legislatif, maupun militer. Dengan demikian, lahirlah
rezim PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Aceh.
Namun belum lama memerintah, elite penguasa baru ini
segera diterpa badai kecaman dan perlawanan.
Dalam konteks Aceh, kejatuhan elite lama ternyata
segera disusul oleh deligitimasi elite baru. Hal ini terjadi da-

61


Mohamad
Shohibuddin

n Minimi

Kandidat PhD pada Universitas
Amsterdam, Belanda; meneliti dinamika
perdamaian di Aceh untuk topik
disertasinya

masyarakat Aceh, di samping faktor ketegangan pusatdaerah (Ibrahimy 2001).

GATRA/ARGY PRADYPTA

Pelajaran Penting

lam tempo cukup pendek dan penuh kekerasan. Begitulah,
ketegangan internal dalam struktur sosial Aceh yang memuncak pada revolusi sosial 1946 telah melahirkan eksesekses negatif, seperti penahanan dan pembunuhan di luar
proses hukum (bahkan hingga jauh seusai revolusi sosial),
proses penyelesaian harta benda rampasan yang partisan,

dan sebagainya. Pada saat yang sama, gairah revolusi telah
memupus peluang untuk rekonsiliasi dan pengungkapan
sejarah. Situasi inilah yang dua tahun kemudian memicu
gerakan Sayyid Ali yang menggoyang rezim PUSA, meski
akhirnya dapat dipatahkan Tgk. Daud Beureueh yang
menjabat Gubernur Militer. Para pemimpin gerakan ini
ditangkap dan dipenjarakan hanya sehari sebelum aksi
massa dilaksanakan pada 4 November 1948.
Pada 21 Desember 1949, abolisi umum diberikan
oleh Pemerintah Pusat, baik kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam revolusi sosial 1946 maupun para
uleebalang dan oposan rezim PUSA yang selama ini ditawan. Namun, tanpa ada kebijakan untuk mengatasi
akar ketegangan sosial di Aceh, antagonisme di antara kedua kubu tetap membara. Hal ini segera menemukan ajang pertikaian baru, yaitu pada tarik menarik
otonomi Aceh selama transisi ketatanegaraan dari
RIS ke RI (1949-1950)--dengan pihak PUSA ngotot
mempertahankan provinsi Aceh, sementara para penentang PUSA mendukung pembubarannya. Ajang pertikaian baru ini pada gilirannya melatari siklus kekerasan
berikutnya, yaitu Pemberontakan Darul Islam pada 21
September 1953. Pemberontakan yang dipimpin Tgk.
Daud Beureueh ini, dengan demikian, turut dilatari
oleh ketegangan internal yang telah lama ada di antara


Tiga pelajaran berharga dapat dipetik dari dua kasus
perlawanan terhadap pemerintah Aceh ini.
Pertama, belajar dari siklus kekerasan di Aceh
pasca kolonial--revolusi sosial 1946, perlawanan Sayyid
Ali 1948, dan pemberontakan Darul Islam 1953--faktor
ketegangan internal di tubuh masyarakat Aceh ternyata
memainkan peran yang penting dalam memicu konflik
baru. Demikian pula, kasus Din Minimi ini--dan sebelumnya kasus bentrokan sesama eks kombatan GAM
dalam pilkada 2006 dan 2012 serta pileg 2014--juga
memperlihatkan kegentingan dari ketegangan internal
di Aceh pasca MoU Helsinki 2005. Akar dan dinamika ketegangan lokal ini haruslah ditangani demi menghindarkan potensi kekerasan baru yang lebih besar di
masa depan.
Kedua, pergolakan pasca-konflik di Aceh juga menunjukkan bagaimana soal kekerasan politik, korupsi
dan dominasi ekonomi merupakan hal sensitif yang di
sekitarnya sentimen ketidakpuasan dapat dikobarkan.
Gerakan Sayyid Ali menentang rezim PUSA dan gerakan
Din Minimi melawan rezim Zaini-Muzakir berada di pusaran sentimen ketidakpuasan ini. Hal ini membuktikan
bahwa di Aceh banyak orang mau mengambil risiko paling
berat sekalipun untuk menjadikan rasa ketidakadilan ini

sebagai basis mobilisasi perlawanan.
Ketiga, pemberian abolisi umum pada 1949 membuktikan bahwa siklus kekerasan tidak berhasil diputus
karena akar masalahnya tidak dijawab. Sama halnya,
dalam kasus Din Minimi, pemberian amnesti semata
juga tidak menjawab akar persoalan yang justru diangkat
kelompok ini sebagai dasar perlawanan mereka. Bukankah
yang mereka gugat adalah ketidakberesan (juga korupsi)
dalam program reintegrasi dan distribusi tanah kepada
eks kombatan dan korban konflik? Bukankah komisi
penyelesaian klaim harta benda (salah satu mandat MoU
Helsinki) tidak kunjung terbentuk? Bukankah kekerasan
politik selama pilkada 2012 dan pileg 2014 tidak pernah
diungkap (yang mendasari tuntutan kelompok ini atas
kehadiran pemantau independen pada pilkada 2017
mendatang)?
Tiga pelajaran ini menunjukkan bahwa kasus Din
Minimi menuntut solusi yang lebih mendasar ketimbang
sekedar amnesti. Dan solusi itu untuk porsi cukup
besar terletak pada penanganan akar-akar dan sejarah
panjang antagonisme internal di dalam masyarakat Aceh.

Termasuk, dan terutama, penyelesaian ketegangan dan
proses demokratisasi di tubuh GAM sendiri.

16 MARET 2016 GATRA

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

2 95 93