Komun dalam Komunikasi atau Bagaimana Te

Komun dalam “Komunikasi,” atau Bagaimana Teologi ( Kr isten) Dapat
Belajar dar i Komunikasi tentang Peper angan Rohani?1
Oleh:

Hizkia Yosie Polimpung2

Communicate

Pr onunciation :/ k əˈmjuːnɪkeɪt/
1 share or exchange infor mation, news, or ideas:
t he pr isoner was for bidden t o communicate with his family

[with object] impart or pass on (information, news, or ideas): he communicated his findings to t he inspect or

[with object] convey or transmit (an emotion or feeling) in a non-ver bal way: t he abilit y of good t eacher s t o
communicat e t heir own ent husiasm; his sudden fear communicated itself

succeed in conveying one's ideas or in evoking under standing in other s: a polit ician must have t he abilit y t o
communicat e

(of two people) be able to share and under stand each other 's thoughts and feelings: we don't seem t o be

communicat ing — we need a br eak fr om each ot her
Origin:
ear ly 16th centur y: fr om Latin communicat - 'shar ed', fr om the verb communicar e, fr om communis (see common)

Common

er tanyaan yang ingin saya jaw ab melalui ar tikel singkat ini cukup seder hana: apa

P

yang dapat komunikasi ajar kan bagi teologi? Mengamati model-model komunikasi 3
yang dominan ber kembang baik di masyar akat dan dunia akademik—sedar i

model

linier ,

inter aksional,

tr ansaksional


sampai

kontekstual

dan

kondisional 4—maka akan seger a didapati kesan yang secar a implisit ter sir at

Makalah disampaikan pada kuliah umum Pr ogr am Pascasar jana Sekolah Tinggi Teologia Inalta, Kelapa
Gading, Jakar ta, 20 Agustus 2011.
2 Penulis adalah pengajar tidak tetap pada STT Inalta. Sehar i-hari sebagai peneliti di PACIVIS Center for
Global Civil Society Studies, Univer sitas Indonesia. Saat ini sedang menyusun diser tasi tentang teologi tatadunia dar i per spektif psikoanalisis di Pr ogram Doktoral Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Univer sitas Indonesia.
3 Jika “k” dalam kata komunikasi ter cetak kapital, “K,” maka yang saya maksudkan adalah Komunikasi
sebagai suatu disiplin khusus. Sebaliknya, ia adalah fenomena yang tentangnya ar tikel ini didedikasikan.
4 Liter atur/ buku-teks komunikasi pada umumnya hanya membahas empat model per tama. Model kelima,
model kondisional, saya tambahkan setelah melihat kecender ungan teor itik kontempor er , ter utama yang
saya acu di sini, seper ti sekelompok teor itisi media bar u (new media) yang ter gabung dalam Institute of
Netw or k Cultur e, Univer sitas Amster dam, pimpinan Geer t Lovink. Kelompok ini sukses menyebar pengar uh
sampai selur uh dunia. Tokoh-tokoh simpatisan lainnya, selain saya sendir i, seper ti Jodi Dean, Alexander

1

Hal.

*Sumber : Oxfor d English Dictionary (http:/ / oxfor ddictionaries.com)

1 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

Pr onunciation :/ ˈkɒmən/
2 shared by, coming fr om, or done by two or more people, gr oups, or things:
t he t wo r epublics' common bor der
pr oblems common to bot h communit ies

belonging to or involving the whole of a community or the public at lar ge:
common land
Origin:
Middle English: fr om Old Fr ench comun (adjective), fr om Latin communis

bahw a hakikat komunikasi adalah ter sampainya pesan dengan “baik.” Kata “baik” di sini
mengacu pada, sekaligus menjadi medan evolusi bagi, seder et teor isasi baik dar i dalam

(dan luar ?) 5 disiplin Komunikasi itu sendir i. Satu gugus teor i ter tentu akan cender ung
mengukur “baik” dalam ar tian pr oses dan pr osedur yang semestinya, sementar a gugus
teor i lainnya lebih secar a pr agmatis menekankan sampai atau tidaknya pesan yang sesuai
dengan sebagaimana ia dimaksudkan oleh pengir imnya. Gugus-gugus teor itik ter bar u pun
belum benar -benar mampu mengesankan standar “baik” lainnya di luar kor idor oper mengoper pesan.

Apa yang menjadi kar akter istik par adigmatik model-model ini, sekaligus yang
belum mampu dilampauinya, adalah sifat instr umentalistik. Kar ena ber laku par adigmatik,
dengan demikian mempengar uhi baik konsepsi dan pr aktik, instr umentalisme komunikasi
hanya memandang komunikasi

sebagai

alat/ instr umen, layaknya tukang ledeng

memper lakukan kunci inggr is, dan koki memper lakukan pisau dapur . Per lakuan ini
dilakukan sedar i filosofi, teor isasi bahkan sampai per akitan per kakas.6 Par adigma

dipandang sebagai penghuni tahta pusat dan ber daulat atas selur uh proses komunikasi.
Tidak ada yang salah dengan kecender ungan par adigmatik seper ti ini. Namun jauh-jauh

har i Mar tin Heidegger memper ingatkan, bahw a par adigma seper ti ini (bahasa dia,
teknologisme) r aw an jatuh pada per budakan alam dan or ang lain, sejauh keduanya
dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan egois.

Galloway, Nick Dyer -Withefor d, Tiziana Ter r anova, dst. Singkatnya, model kondisional melihat komunikasi
sebagai pengkondisian bagi suatu sistem eksploitasi kapitalisme global, tanpa memandang apa pesan yang
dikomunikasikan; ter jadinya komunikasi itu sendir i yang penting, seper ti apa komunikasi itu ter jadi: tidak
penting. Untuk daftar bacaan model ini, silakan lihat silabus saya untuk mata kuliah Kekuatan Jar ingan
Infor masi Global yang saya ampu (ber sama Ibu Suzie Sudar man) di Depar temen Hubungan Inter nasional,
Univer sitas Indonesia: http:/ / ui.academia.edu/ HizkiaPolimpung/ Teaching/ manage.
5 Louis Althusser dan Jur gen Haber mas, misalnya, yang menteor ikan komunikasi dengan ber angkat dar i
filsafat.
6 Mar shal McLuhan, misalnya, dengan jelas menekankan ini bahwa media adalah kepanjangan dar i manusia
(extensions of man) : mikr ofon mer upakan kepanjangan suar a; kamer a sur veillance mer upakan kepanjangan
mata, per ekam mer upakan kepanjangan otak, dst. Lihat kar ya-kar yanya Under standing Media: The Extensions
of Man (1964), juga buku-ber gambar nya, The Medium is the Massage: An Inventor y of Effects (1967).

Hal.

kar akter istik lainnya, yaitu antr opo-sentr isme (manusia-sentr ik). Manusia akhir nya


2 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

instr umentalistik ini secar a ber samaan, sekalipun tidak kentar a, menyembunyikan suatu

Saya tidak akan mengelabor asi ini lebih jauh, kar ena memang bukan ini yang ingin
saya t ekankan. Sebagaimana judul di atas, saya ingin memetik pelajar an dar i komunikasi
dar i sudut pandang teologi. Teologi, t heos (tuhan) dan logos (ilmu), dapat secar a minimal
diar tikan sebagai suatu kajian yang menelisik t entang kondisi-kondisi yang dimana Tuhan,
sebagai yang absolut, hadir menyatakan dir i dan kuasanya. Memandang komunikasi
sebagai kondisi bagi kehadir an Tuhan, dengan demikian memandangnya secar a t eologis,
akan ber implikasi pada penggeser an par adigma yang mendasar inya tadi (antr oposentr isme dan instr umentalisme). Hal ini musti dilakukan kar ena selama manusia ber ada
pada pusat per hatian, analisis teologis tidak akan benar -benar mampu “melihat” Tuhan.

Per geser an par adigma ini nantinya akan mengubah nadir teor i-teor i yang ada,
sekalipun subst ansi teor inya tidak ber ubah. Ar tinya, par adigma ini akan menjadi ker angka
dimana, bagaimana dan kemana teor i-teor i yang sudah ada, dan yang nantinya t er us
ditelor kan, tadi diletakkan sekaligus diar ahkan. Teor i apapun, saat par adigmanya digeser ,
akan ber ubah secar a fundamental. Hal ini demikian semenjak adalah par adigma yang


pr aktik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahw a mengubah teor i secar a fundamental
tidaklah

cukup

dengan

melakukan

falsifikasi

empir ik, mengungkap

kepentingan

ter sembunyi, at au pembongkar an basis asumsi dar i teor i ter sebut. Lebih dar i itu, ia
mensyar atkan apa yang saya sebut sebagai ‘sabotase par adigmatik’.

Dar i r elasi sosial ke komun, via logika


Komunikasi, sebagaimana nukilan dar i kamus Oxfor d di atas, sebagai suatu pr oses
per tukar an ide, pesan maupun infor masi, telah dan akan selalu mensyar atkan suatu r elasi
sosial. Implikasinya dalam, yaitu bahw a tanpa suatu r elasi sosial, maka komunikasi adalah
mustahil. Jelas di sini bahw a komunikasi mendapat suatu kondisi yang memungkinkannya
dar i suatu r elasi sosial. Komunikasi tidak bisa ber langsung secar a lugu sebagaimana
diaspir asikan par adigma-par adigma dominan tadi. Tidak bisa pula seolah-olah tanpa r elasi
sosial yang mendahuluinya, tiba-tiba saja subyek ber komat-kamit atau ber pandang-

Hal.

manifestasi dan aplikasi pr aktik; tanpa par adigma, teor isasi menjadi mustahil—apalagi

3 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

memungkinkan keselur uhan bangunan teor itik yang nantinya menginspir asikan selur uh

pandangan sembar i menger nyitan dahi satu sama lain dan tiba-tiba— simsalabim!— pesan
sampai. Secar a analitis, apabila ingin benar -benar mendapatkan gambar an obyektif
mengenai suatu per istiw a komunikasi, maka adalah r elasi sosial yang layak mendapat
fokus per hatian par a analis.


Lalu, apa dan bagaimanakah ter bentuknya r elasi sosial itu? Saya kir a ini per tanyaan
dasar yang seger a ter lontar . Banyak teor itisi yang sudah mencoba menjaw ab ke ar ah situ.
Ada yang melihatnya sebagai r elasi str uktur al-linguistik, baik secar a gr amatikal ( langue)
maupun simbolik (kata, tanda, par ole, dst), yang mengemban tugas sebagi mediator untuk
membahasakan (mer epr esentasikan ke dalam bahasa) apa yang hendak diutar akan. Yang

lain melihatnya sebagai ekspr esi r elasi kelas yang t impang dimana kelas bor juasi (pemilik
modal) menggunakan pr oses-pr oses komunikasi untuk mengeksploitasi kelas pr oletar
(yang tidak memiliki modal dan ter paksa mempeker jakan dir i pada bor juasi). Ada pula
yang mencoba melihatnya sebagai r elasi kekuasaan, yaitu antar a mer eka yang memiliki
pr ivilese/ kedudukan lebih tinggi yang ter legitimasi secar a mor il (dan ser ingkali ilmiah)

dst.

Daftar pendekatan dalam tr adisi Komunikasi yang saya sajikan di atas bisa
diter uskan sampai ber lembar -lembar . Namun sayangnya bukan par ade teor i yang ingin
saya lakukan disini. Yang menjadi kesibukan saya di sini adalah tentang kondisi apa yang
memungkinkan suatu komunikasi—bahkan dengan seanter o teor i-teori tentangnya—
ber langsung. Namun demikian, penting untuk ditekankan bahw a hal ini lantas bukan

ber ar ti teor i-teor i tadi menjadi tidak r elevan dan mesti dikesampingkan. Sama sekali
bukan! Malah sebaliknya, teor i-teor i tadi ingin saya letakan sebagai suatu hasil, output atau
luar an dar i suatu pr oses yang t er jadi dar i r elasi sosial yang notabene menjadi pr a-kondisi
bagi kemungkinan keber langsungan komunikasi (ent ah itu yang ber ikutnya t er w ar nai
secar a bahasa, kelas atau kekuasaan). Yang ingin saya utak-atik di sini adalah
par adigmanya, dan bukan teor i-teor i yang dimungkinkannya. Sehingga yang saya lakukan

Hal.

teor i lain mencoba mendekati dalam ker angka per bedaan identitas kultur al, jender , seks,

4 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

dan or ang yang dicoba disingkir kan atas basis legitimasi mor il (dan ilmiah) ter sebut. Teor i-

di sini bukanlah “t hr owing t he baby out wit h t he dir t y wat er ”: kar ena apa gunanya
mensabotase par adigma jika t eor inya lantas dibuang?

Lalu apakah r elasi sosial ter sebut yang mendahului r elasi-r elasi sosial di atas?
Sebelum menjaw ab per tanyaan ini, per lulah ter lebih dahulu dipikir kan per soalan metode:

bagaimana memikir kan r elasi sosial yang mengkondisikan r elasi-r elasi sosial yang ada?
Memikir kan hal ini secar a ser ius hanya akan menghantar kan analisis pada suatu par adoks:
mungkinkah memikir kan r elasi sosial sebelum r elasi sosial pada kenyat aan bahw a sang
analis—kita—telah mau tidak mau, suka tidak suka, ter per angkap pada r upa-r upa r elasi
sosial yang ada. Misalkan, bagaimana mengetahui r elasi sosial sebelum ada r elasi bahasa?
Jika akses analisis ke r ealita adalah melalui bahasa (bahkan saat ini yang saya ketikkan
adalah manifestasi alfabet-digital dar i suatu sistem bahasa; dan dalam membacanya anda
juga disyar atkan memahami bahasa yang saya pakai!), maka bagaimana mungkin
mengakses r ealitas yang pr a- atau bahkan a-bahasa? Mustahil!

untuk mencapai aksioma univer sal, atau seder hananya, asumsi yang sudah tidak
diper tanyakan lagi. Aksioma tidak selalu har us secar a empir ik benar at au bisa diver ifikasi;
ia cukup benar secar a logis. Aksioma ini, akhir nya menjadi tidak lebih hanya sebagai hipotesis, suatu tesis/ simpulan sement ar a yang har us ter us-mener us dibuktikan secar a
kongkr it melalui elabor asi pr aktik eksper iment al.

Maka, mencoba mengaplikasikan

dalam

konteks r elasi

yang mengkondisikan

komunikasi dalam ber bagai r upanya, didapat suatu pembalikan logika seder hana sebagai
ber ikut:

 Jika ada ket er bahasaan , maka t elah lebih dahulu ada kebisuan , dalam ar ti tidak
ter epr esentasikan oleh bahasa.

Lagi-lagi, kata Logika dengan “L” besar menandakan suatu disiplin, sementar a sebaliknya mer upakan
suatu kata benda.
7

Hal.

Logika7, bahkan logika seder hana, dalam hal ini postulasi. Postulat adalah metode univer sal

5 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

Di sinilah sedikit sentuhan tr ik metodologis bisa membantu. Kali ini dar i disiplin

 Jika ada ket impangan , maka telah lebih dahulu ada kesetar aan, dalam ar ti tidak
ter atr ibutasikan oleh kepemilikan kapital yang nantinya menjadi justifikasi
penindasan.

 Jika ada penyingkir an , maka telah lebih dahulu ada ko-pr esensi (co-pr esence) , dalam
ar ti hadir ber sama dalam suatu r uang ter tentu.
Intinya seder hana: jika ada per bedaan , maka telah ter lebih dahulu ada kesamaan . Inilah
kar akter isitik r elasi sosial dasar iah komunikasi. Inilah komun dar i komunikasi, yang
memungkinkan ter ciptanya r elasi-r elasi sosial seper ti misalnya bahasa, kelas dan kuasa.
‘Komun’ (Ing., common ; Pr a., commun ; Lat ., communis) 8 mengisyar atkan suatu kondisi
dimana sekelompok makhluk (or ang, hew an, alam) ber bagi suatu keber samaan.

Status ‘keber samaan’ di sini adalah sebagai obyek yang dimiliki-secar a-ber sama (shar ed
in common), sehingga akan ter amat sangat memiskinkan apabila obyek ini dipahami

semata-mata sebagai suatu benda kongkr it. Malahan, obyek komun tidak sehar usnya
diar tikan dar i ke- benda-annya, melainkan sifat / ajekt if-nya: yaitu sifatnya yang dimiliki-

kar ena obyek yang dimiliki-secar a-ber sama inilah komun ada.

Kembali pada komunikasi, komun sebagai r elasi dasar iah sekaligus titik aw al yang
memungkinkan komunikasi adalah selalu tentang ber bagi kesamaan dalam ber bagai
r upanya: ber bagi kebisuan yang tak ter per ikan bahasa; ber bagi keset ar aan pr a-atr ibutasi
kepemilikan; ber bagi kehadir an-ber sama/ ko-pr esensi dalam satu r uang ter tentu. Inilah
komun: ialah yang menjadikan tidak r elevan selur uh per bedaan dan ketidak-set ar aan,
ter utama dalam pr oblem kali ini, yang dipr asyar atkan komunikasi; ia jugalah yang pada
gilir annya akan menjadikan mustahil ter jadi, bahkan sekedar untuk ter pikir kan, selur uh
eksploitasi, diskr iminasi, dominasi dan penyingkir an ber dasar kan per bedaan dan ketidaksetar aan ter sebut.

8

Di sini saya menyer ap (secar a mentah) kata dar i bahasa Per ancisnya.

Hal.

komun adalah selalu tr ansitif (yi., ber obyek), melainkan juga sebaliknya: kar ena dan hanya

6 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

secar a-ber sama. Hal ini ber ikutnya tidak hanya membaw a kit a pada kesimpulan bahw a

Dar i tr ik logika seper ti ini, maka akan muncul car a bar u dalam memahami r elasi-r elasi
sosial tadi yaitu, sebagaimana t elah saya singgung diatas, sebagai suatu akibat—dan
penyebab akibat ini adalah suatu pr oses deviasi (pelencengan). Deviasi yang dimaksud di
sini tidak, jangan, dan memang sama sekali bukan dalam kategor i mor al absolut yang
memiliki konotasi bur uk; deviasi di sini har us tetap dilihat sebagai konsekuensi logis.
Memikir kan deviasi adalah seseder hana seper ti memikir kan bahw a telah ter jadi sesuatu
yang mengganggu kondisi aw al sehingga menyebabkan kondisi yang sekar ang ini. Sehingga
memahami komunikasi sebagai r elasi sosial—linguistik, kelas, kuasa—sama saja melihat
komunikasi sebagai suatu deviasi. Ya! Komunikasi pada hakikatnya adalah suatu deviasi!
Pr asyar at fundamental dar i komunikasi adalah ketidak-setar aan. Apa ar tinya? Saya kir a
menunjukkan dengan jelas bahw a komun telah-selalu hilang dar i komunikasi. Sehingga
kata ‘komun’ dalam ‘komunikasi’ tidak lebih dar i tr ik r etor is ilusif untuk menyamar kan
kondisi bahw a dalam komunikasi, obyek yang dimiliki-secar a-ber sama tidak lagi dimilikisecar a ber sama.9

pr esensi, atau singkatnya kesamaan ini adalah memang univer sal, namun b u k a n dalam
ar tian yang tr ansenden mengaw ang-aw ang. Univer salitas di sini adalah univer salitas yang
imanen , dalam ar ti inher en ter dapat pada r elasi sosial ter sebut. Univer salitas ini didapat

bukan dar i keper cayaan buta sebagai ungkapan pasr ah yang sangat tipis dengan kemalasan
dan kepengecutan ber juang mencar i kebenar an; ia didapat dar i ger ak aktif dan militan
untuk mengubah keadaan secar a paksa! Univer salitas ini melampaui segala kemungkinan
dan kepengapan situasi yang ada. Dengan demikian, univer salit as ini t idak ada di langit ; ia
adalah Tuhan di bumi— Tuhan yang t elah-selalu ada t inggal (dw ell) di ant ar a kit a.
Implikasinya, melihat komunikasi secar a teologis sama saja melihat bagaimana komunikasi
sebagai suatu pengkondisian bagi hadir nya Tuhan di bumi; dan semenjak status Tuhan

Dar i pembacaan seper ti ini, maka saya kir a adalah suatu lelucon apabila mengir a komunikasi dapat
diar tikulasikan dalam kondisi kesetaraan seper ti yang masih diyakini—sampai tar af keimanan buta—mer eka
yang per caya pada konsep r uang publik (public spher e).
9

Hal.

Penting untuk saya gar is-baw ahi tebal-tebal di sini bahw a kebisuan, kesetar aan, ko-

7 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

Komunikasi, t eologi dan peper angan mer ebut komun kembali

yang univer sal ini sama dengan st atus komun—yang telah hilang seir ing dengan
munculnya komunikasi—maka dapat dir umuskan suatu per an t eologis bagi komunikasi,
yaitu mer ebut komun kembali!

Memahami Tuhan di bumi, atau Tuhan yang imanen, bukankah ini yang dimaksudkan
malaikat kepada par a mur id Yesus yang hanya bisa menganga melihat Yesus per lahanlahan ter angkat ke sur ga: “Hai or ang-or ang Galilea, mengapakah kamu ber dir i melihat ke
langit? Yesus ini, yang ter angkat ke sor ga meninggalkan kamu, akan dat ang kembali
dengan car a yang sama seper ti kamu melihat Dia naik ke sor ga” (Kis. 1: 10-11).

Jika benar Tuhan ada di antar a kita, lalu mengapa kita masih melihat ke “langit”?—tidak
ada apa-apa di sana. Tuhan bisa diakses kapan saja, di mana saja! Tidak per lu pula ia har us
dimediasi oleh r upa-r upa mediasi, mulai bar ang-bar ang (yang dianggap) sakr al, minyakminyakan, asesor is per hiasan, bahkan sampai bahasa-bahasa doa puitis (atau yang dibuatbuat?). Bukankah ini yang dihar apkan Tuhan saat ia menur unkan api r oh kudus pada

sehingga ia telah mengar uniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap or ang yang per caya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan ber oleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).

Syar atnya hanya satu, per ubahan par adigma pikir , per ubahan logika! Bukankah ini
yang juga dihar apkan Hukum Kasih yang ter sohor itu—“kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu, dan dengan segenap jiw amu, dan dengan segenap pikir anmu” (Mat. 22:
37)—dengan “mengasihi dengan segenap pikir an” ? Mengakses Tuhan melalui pikir an
adalah memikir kan apa yang t idak t er pikir kan. Bukankah Paulus memaksudkan yang

demikian ini dalam sur atnya kepada jemaat di Filipi—“[ J] adi akhir nya, saudar a-saudar a,
semua yang benar , semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang
manis, semua yang sedap didengar , semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji,
pikir kanlah semuanya itu” (Flp. 4:8)?

Hal.

pember itaan kabar suka-cita bahw a “kar ena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,

8 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

Pentakost a? (Kis. 2)—yaitu supaya setiap or ang diber i kuasa untuk mengemban

Pikir an dan logika memainkan per an penting dalam aksesi kepada iman, sekalipun hati
dan jiw a juga tidak bisa dir emehkan, kar ena pembalikan logika sebagaimana saya
demonstr asikan di at as mer upakan sat u-sat unya jalan yang bisa dilakukan manusia
r asional untuk mengakses kebenar an yang sama sekali tidak dikenal dunia devian har i ini,
dunia dimana komun sudah ter ampas. Kebenar an ini asing bagi dunia komunikasi yang
ter cir ikan sebagai r elasi linguistik, kelas dan kuasa. Suatu kebenar an yang per sis seper ti
yang ber ulang kali diper ingatkan sejak Nabi Yesaya sampai Rasul Paulus, “[ y] ang tidak
per nah dilihat oleh mata, dan tidak per nah didengar oleh telinga, dan yang tidak per nah
timbul di dalam hati manusia” (Yes. 64:4; Kis. 2:9).

Tuhan lepas dar i r elasi per bedaan, r elasi kelas dan r elasi kuasa. Lantas untuk apa
melihat ke atas, menunggu datangnya Tuhan? Tuhan sudah tur un, dan jika ia diimani
secar a aktif, ia akan menyatakan dir inya. Iman tidak dapat diver ifikasi secar a empir is, ia
hanya dapat “diver ifikasi” (jika kat a ini masih r elevan digunakan), bahkan sekaligus
sebagai

satu-satunya jalan

mendapatkannya, secar a logis. Bukankah

ini

sudah

diper lukan adalah subyek-subyek militan yang taat dan setia kepada keyakinan imannya
dan memper juangkannya untuk memer angi segala deviasi yang telah mer enggut komun
har i ini. Ini saatnya untuk mer ayakan kedat angan Tuhan di dunia.

Tuhan datang ke dunia untuk memimpin manusia yang per caya padanya (dan memang
kepada hanya yang demikian saja) dalam peper angan r ohani. Peper angan r ohani, bukanlah
menumpas habis or ang-or ang yang ber beda (secar a suku, agama, r as, golongan,
kepentingan politik, kelas, dst.). Peper angan r ohani, ber angkat dar i pemikir an logika
imanen tadi, adalah peper angan untuk mengkonfr ontasi selur uh pr oses-pr oses deviasional
yang menyebabkan umat manusia ter cer abut dar i komun: ter pecah-pecah, ter adu-domba,
saling menindas satu sama lain seper ti yang har i ini sedang ter jadi. Ketimpangan,
diskr iminasi, ketidak-set ar aan yang ker ap

menghiasi

pelatar an

media infor masi-

komunikasi cetak, digital, visual dan jejar ing kita har i-har i ini bukanlah tanpa penyebab—
ia adalah akibat deviasi sist emik! Ia bukan semata-mata akibat dar i keser akahan,

Hal.

yang kita har apkan dan bukti dar i segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr . 11:1)? Yang

9 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

diimplikasikan dalam definisi pur ba iman dar i Paulus sebagai “dasar dar i segala sesuatu

kur angnya kepemimpinan, kendor nya supr emasi hukum, dst. Lebih dar i itu, semuanya
mer upakan efek dar i pengkondisian sistemik yang deviasional. Pengkondisian sistemik
inilah

yang

semestinya

diper angi.

Bukankah

ini

yang

dimaksud

Paulus

saat

memper ingatkan bahw a “per juangan kita bukanlah melaw an dar ah dan daging, tet api
melaw an pemer intah-pemer intah, melaw an penguasa-penguasa, melaw an penghulupenghulu dunia yang gelap ini, melaw an r oh-roh jahat di udar a.”

Lalu bagaimanakah ber per ang dengan ber angkat dar i logika imanensi ini? Atau lebih
tepatnya, apa yang har us dilakukan set elah mengubah logika, menentukan aksioma
keset ar aan, dan ber juang dengan ber angkat dar i keteguhan iman akan aksioma ter sebut?
Untuk ini, Yesus, dengan member i dir i disalibkan, member i contoh par adigmat ik ( dan
bukan contoh mentah-mentah bahw a or ang har us disalib untuk melaw an!) yang baik, yaitu
ber per ang dengan car a yang t ak t er pahami . Pelajar an par adigmatik per law anan Yesus

adalah bahw a Ia, dengan member i dir i disalibkan, tidak hanya melaw an maut alias r ezim

it u dilakukan!10 Yesus masuk ke jantung sistem dan menghujamnya dengan telak. Yang

dilakukan Yesus tidak hanya menumpas sistem per budakan dosa, lebih dar i itu, Ia juga
menghajar sistem yang memungkinkan sistem per budakan dosa ter sebut. Yesus mampu
keluar dar i dan ber balik melaw an anggapan umum tentang per law anan yang mungkin ,
sebagaimana disediakan oleh sistem ber pikir dominan seper ti misalnya yang diolokolokkan

or ang Yahudi

kepadanya saat

disalib:

memanggil

sebatalion

malaikat,

menggunakan kuasa Allah untuk tur un dar i salib, dst. (Mat. 27: 39-44; Mr k. 15:29-32; Luk.
23:35-39).

10 Sistem yang saya maksud telah-selalu melakukan mekanisme ber tahan yang demikian: ia mengantisipasi
per law anan telak (dan bukan yang sekedar menggelitik) padanya dengan menyediakan, mengatur dan
kemudian mensosialisasikan kor idor kemungkinan (field of possibility) per law anan ter hadapnya. Akibatnya
per law anan yang dilangsungkan masih dalam kor idor kemungkinan ter sebut, nasibnya cuma satu: gagal.
Per lawanan yang telak adalah per lawanan yang per tama-tama keluar dar i kor idor kemungkinan (dengan
demikian masuk pada dimensi ketidak-mungkinan) dan ber balik melawan sistem yang menyediakan kor idor
kemungkinan ter sebut. Inilah yang dilakukan Yesus.

Hal.

pengkondisian yang membat asi jangkauan kemungkinan car a per lawanan t er hadap sist em

10 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

penindasan sang Iblis. Lebih dar i itu, dengan member i dir i disalibkan, Yesus melawan sist em

Ber paling kepada ide-ide muluk nan melangit tentang hak asasi manusia dan
kemanusiaan univer sal—bukan dalam ar tian logis, melainkan ekstr a-ter est er ial dar i “dunia
lain”—atau sekedar pada ide-ide munafik (hipokr it) sehar i-har i seper ti ‘kasihan’, ‘iba’, dan
keder maan filantr opis (char it y) , seper ti yang ker ap disuntikkan r angsangannya oleh
ber bagai r upa r ealit y show dan film-film seper ti Laskar Pelangi, adalah mengulangi
kebodohan menyedihkan mur id-mur id Yesus yang hanya bisa menganga dungu sembar i
mengantar kenaikan gur unya dengan tatapan lugu. (Penting: baca catatan kaki!) 11
Ber har ap ada or ang diluar sana—pemimpin ideal yang ber kar akter istik, ber gelar lulusan
“luar neger i,” ber pakaian dan ber atr ibut r elijius—sama saja mengingkar i dan menolak
kenyataan bahw a api Pantekosta telah dihinggapkan pada kita semua sehingga kita semua
memiliki segala potensialitas yang dibutuhkan untuk memer angi seanter o musuh.

Mengikuti teladan Yesus bukanlah menjiplak mentah-mentah yang ter ter a dalam
Alkitab. Namun yang lebih penting adalah memetik t eladan par adigmat ik dar inya dan

“har i ini” seabad yang lalu, atau sew indu yang lalu. “Har i ini” ber bicar a tentang suatu
kondisi kekinian yang “aktual ter jadi” (act ually exist ing). Tanpa pendasar an pemahaman
tentang tentang apa yang secar a aktual sedang ter jadi—misr epr esentasi, ketimpangan,
penyingkir an: singkatnya per ampasan komun—maka Alkitab tidaklah lebih sebagai

Ter amat penting untuk diklar ifikasi! Saya katakan munafik, kar ena secara psikoanalitis, per asaanper asaan ini menyembunyikan suatu hasrat nar sisisme-egois yang sama sekali kontr adiktif dengan efek
filantr ofis-der maw an yang ditampakkannya. Contohnya, iba kepada or ang miskin, menyembunyikan dua
lapis kemunafikan: per asaan iba muncul kar ena seseor ang mer asa lebih “ber untung,” sehingga ia mer asa
ber dosa dan akan sangat kejam jika tidak membagi keber untungan ter sebut melalui ber sedekah/ ber amal.
Tidak ada yang salah. Melainkan dimensi hipokr it seger a ter asa: or ang melakukan sedekah dan amal ter sebut
semata-mata untuk menghilangkan per asaan ber salah tadi— dan bukan maksud tulus membantu. Hipokrisi
kedua adalah bahwa tindakan amal tadi adalah ungkapan malas yang ber sangkutan untuk benar -benar
“membantu” or ang miskin tadi. Di katakan malas kar ena ia tidak per nah mau secara militan ber pikir r uwet
untuk melihat kondisi-kondisi apa yang membuat or ang ter sebut ter miskinkan. (Kemalasan ini tentunya
ter ima kasih kepada kultur instan, praktis, pr agmatis yang mewar nai kehidupan sosial hari ini). Absennya
militansi par adigma pikir ini membuat amal/ sedekah tadi tidak akan mampu benar -benar menolong si
miskin. Hal ini tidak hanya dalam ar tian mengentaskannya dar i kondisi yang mempr oduksi si miskin ter sebut
dan par a miskin lainnya, melainkan juga melawan kondisi ter sebut yang notabene mer upakan pr oses deviasi
yang mer ebut komun, suatu kondisi yang membuat kita (yang mer asa “ber untung”) dan si miskin (yang
“malang”) setar a, suatu pr oses yang membuat si miskin har usnya juga “ber untung”—atau sebaliknya, yang
membuat kita har usnya juga “malang.”
11

Hal.

spesifik secar a t empor al. Konsekuensinya, “har i ini” satu milenium lalu ber beda dengan

11 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

mener apkannya dalam kehidupan har i ini. Ke-har i-ini-an ber bicar a t entang aktualitas yang

skr iptur a antik yang tidak memiliki r elevansi har i ini. Akibatnya, par a pembaca Alkitab
akan ber akhir pada kesimpulan a la Dan Br ow n, yaitu Yesus ber hubungan seksual dengan
Mar ia. Memper lakukan teladan Yesus sebagai t eladan par adigmat ik , maka akan membuat
or ang untuk kembali ke per gumulan dan pender itaannya sehar i-har i—Ya! Anda har us
mender ita!—dan ber per ang dar i sana.

Dengan ber bekal logika imanen ini, saya kembali ke per gumulan saya di aw al, yaitu
komunikasi. Kembali ke model komunikasi konvensional yang mengimplikasikan suatu
hakikat bahw a komunikasi mer upakan suatu alat penyampai pesan. Bagaimana per an
komunikasi dalam teologi setelah elabor asi teladan par adigmatik Yesus tadi? Apakah teor iteor i tadi lantas dibuang begitu saja kar ena justr u menjustifikasi misr epr esentasi,
eksploitasi dan diskr iminasi? Dengan tegas saya jaw ab: tidak! Teor i-teor i komunikasi tadi
hanya per lu digeser par adigmanya. Refor mulasi teologis bagi par adigma teor i-teor i
komunikasi pada gilir annya akan memposisikan komunikasi sebagai pr oses untuk

per tebal imanmu dan tunggu apa lagi?—ber siaplah ber per ang! Rebut kembali komun!”

Selamat datang di Teologi Imanen. Tuhan member kati.

Hal.

mengapa engkau ber dir i melihat ke langit? Tuhanmu ada di antar amu. Pakai logikamu,

12 — Komun dalam “Komunikasi” — Hizkia Yosie Polimpung

menepuk pundak or ang-or ang di sekitar kita sembar i ber kata, “hai saudar a-saudar iku,