289189626 Konsep IMO muncul setelah bencana kapal Titanic docx

Konsep IMO muncul setelah bencana kapal Titanic. Berdasarkan standar modern, rancangan Titanic
membuatnya sangat rapuh. Sekat-sekat kedap airnya tidak dipasang hingga atas lambung kapal karena
para insinyur perancangnya menghitung bahwa air laut tidak akan mampu masuk ke atas kapal apabila
kapal bermuatan wajar. Ketika Titanic menabrak gunung es, perhitungan ini terbukti sangat salah. Dan
ketika para penumpang mulai meninggalkan kapal, terlihat jelas bahwa sekoci-sekoci penyelamat tidak
cukup tersedia. Alhasil, banyak nyawa dan materi hilang dalam tragedi ini.

Pada saat itu, setiap negara memiliki peratuuran sendiri mengenai standar rancangan kapal, konstruksi
dan peralatan keselamatannya. Inter-Governmental Maritime Consultative Organization (IMCO) dibentuk
sebagai jawaban atas tragedi Titanic, tapi tertunda perwujudannya ketika Perang Dunia I meletus. Ketika
perang berakhir, IMCO dihidupkan kembali dan menghasilkan sekumpulan peraturan mengenai
pembangunan kapal dan keselamatannya yang disebut Safety Of Life At Sea (SOLAS) atau Keselamatan
Jiwa di Laut. Setiap tahun, SOLAS terus dimodifikasi dan dimodernisasi untuk beradaptasi dengan
perubahan teknologi dan peristiwa-peristiwa baru di laut.

IMCO pada akhirnya berubah menjadi IMO. IMO secara berkala membuat peraturan (seperti
International Regulations for Preventing Collisions at Sea atau Peraturan Internasional untuk
Menghindari Tabrakan di Laut) yang didukung oleh badan-badan klasifikasi dan surveyor maritim untuk
memastikan ketaatan setiap kapal terhadap peraturan yang berlaku. Port State Control authority (atau
Otorita Pengawas Pelabuhan Negara) didirikan untuk memberikan kekuasaan kepada penjaga pantai
(Amerika Serikat: US Coast Guard, Indonesia: KPLP [Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai]) untuk

menginspeksi kapal-kapal berbendera asing yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan negara tersebut.
Sebuah Memorandum of Understanding (Protokol) telah ditanda-tangani oleh beberapa negara untuk
menyatukan prosedur Port State Control di antara negara-negara tersebut.

Tahukah Anda Sejarah K3 Muncul?
Selama ini Anda selalu mendengan promosi tentang K3 dan bahkan masih ada orang yang tidak
mengetahui apa itu K3 tetapi hanya ikut mengucapkan K3, K3 danK3 bahkan meneriakkan Utamakan
K3 :-) .
Supaya lebih mengerti dan mengetahui tentang K3, kali ini saya posting mengenai sejarah Keseleamatan,
Kesehatan Kerja (K3). Saya yakin kebanyakan dari Anda belum tahu mengapa K3 yang sekarang ini ada
dan bagaimana asal mula K3 terbentuk dan sejak kapankah K3 ini diterapkan.
Sejarah perkembangan K3 mulai dari zaman pra-sejarah sampai dengan zaman modern sekarang secara
ringkas adalah sebagai berikut :
a. Zaman Pra-Sejarah
Pada zaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic) dimana manusia yang hidup pada zaman ini telah
mulai membuat kapak dan tombak yang mudah untuk digunakan serta tidak membahayakan bagi
mereka saat digunakan. Disain tombak dan kapak yang
mereka buat umumnya mempunyai bentuk yang lebh besar proporsinya pada mata kapak atau ujung
tombak. Hal ini adalah untuk menggunakan kapak atau tombak tersebut tidak memerlukan tenaga yang
besar karena dengan sedikit ayunan momentum yang

dihasilkan cukup besar. Disain yang mengecil pada pegangan dimaksudkan untuk tidak membahayakan
bagi pemakai saat mengayunkan kapak tersebut.
b. Zaman Bangsa Babylonia (Dinasti Summeria) di Irak
Pada era ini masyarakat sudah mencoba membuat sarung kapak agar aman dan tidak membahayakan
bagi orang yang membawanya. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal berbagai macam peralatan
yang digunakan untuk membantu pekerjaan mereka. Dan semakin berkembang setelah ditemukannya
tembaga dan suasa sekitar 3000-2500 BC. Pada tahun 3400 BC masyarakat sudah mengenal konstruksi
dengan menggunakan batubata yang dibuat proses pengeringan oleh sinar matahari. Pada era ini
masyarakat sudah membangunan saluran air dari batu sebagai fasilitas sanitasi. Pada tahun 2000 BC
muncul suatu peraturan “Hammurabi” yang menjadi dasar adanya kompensasi asuransi bagi pekerja.
c. Zaman Mesir Kuno

Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Fir’aun banyak sekali dilakukan pekerjaan-pekerjaan
raksasa yang melibatkan banyak orang sebagai tenaga kerja. Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa
Raja Ramses II dilakukan pekerjaan
pembangunan terusan dari Mediterania ke Laut Merah. Disamping itu Raja Ramses II juga meminta para
pekerja untuk membangun “temple” Rameuseum. Untuk menjaga agar pekerjaannya lancar Raja Ramses
II menyediakan tabib serta pelayan untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
d. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah Hippocrates. Hippocrates berhasil

menemukan adanya penyakit tetanus pada awak kapal yang ditumpanginya.
e. Zaman Romawi
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai memperkenalkan adanya gangguan kesehatan
yang diakibatkan karena adanya paparan bahan-bahan toksik dari lingkungan kerja seperti timbal dan
sulfur. Pada masa pemerintahan Jendral Aleksander
Yang Agung sudah dilakukan pelayanan kesehatan bagi angkatan perang.
f. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan
sehingga menyebabkan cacat atau meninggal. Masyarakat pekerja sudah mengenal akan bahaya vapour
di lingkungan kerja sehingga disyaratkan
bagi pekerja yang bekerja pada lingkungan yang mengandung vapour harus menggunakan masker.
g. Abad ke-16

Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus Aureolus Theophrastus Bombastus von
Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Paracelsus mulai memperkenalkan
penyakit-penyakit akibat kerja terutama yang dialama oleh pekerja tambang. Pada era ini seorang ahli
yang bernama Agricola dalam bukunya De Re Metallica bahkan sudah mulai melakukan upaya
pengendalian bahaya timbal di pertambangan dengan menerapkan prinsip ventilasi.
h. Abad ke-18
Pada masa ini ada seorang ahli bernama Bernardino Ramazzini (1664 – 1714) dari Universitas Modena di

Italia, menulis dalam bukunya yang terkenal : Discourse on the diseases of workers, (buku klasik ini masih
sering dijadikan referensi oleh para ahli K3

sampai sekarang). Ramazzini melihat bahwa dokter-dokter pada masa itu jarang yang melihat hubungan
antara pekerjaan dan penyakit, sehingga ada kalimat yang selalu diingat pada saat dia mendiagnosa
seseorang yaitu “ What is Your occupation ?”.
ramazzini melihat bahwa ada dua faktor besar yang menyebabkan penyakit akibat kerja, yaitu bahaya
yang ada dalam bahan-bahan yang digunakan ketika bekerja dan adanya gerakan-gerakan janggal yang
dilakukan oleh para pekerja ketika bekerja (ergonomic
factors).
i. Era Revolusi Industri (Traditional Industrialization)
Pada era ini hal-hal yang turut mempengaruhi perkembangan K3 adalah :

Penggantian tenaga hewan dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru ditemukan sebagai
sumber energi.
Penggunaan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia
Pengenalan metode-metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya bidang industri kimia dan
logam).
Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang lebih besar berkembangnya industri yang ditopang
oleh penggunaan mesin-mesin baru.

Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa pembakaran.

j. Era Industrialisasi (Modern Idustrialization)
Sejak era revolusi industri di ata samapai dengan pertengahan abad 20 maka penggnaan teknologi
semakin berkembang sehingga K3 juga mengikuti perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat
pelindung diri, safety devices. dan interlock dan alat-alat
pengaman lainnya juga turut berkembang.
k. Era Manajemen dan Manjemen K3

Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak tahun 1950-an hingga sekaran. Perkembangan ini
dimulai dengan teori Heinrich (1941) yang meneliti penyebabpenyebab kecelakaan bahwa umumnya
(85%) terjadi karena faktor manusia (unsafe act)

dan faktor kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition). Pada era ini berkembang system automasi
pada pekerjaan untuk mengatasi masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap faktor manusia.
Namun system otomasi menimbulkan masalah-masalah manusiawi yang akhirnya berdampak kepada
kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing unit
pekerjaan. Sejalan dengan itu Frank Bird dari International Loss Control Institute (ILCI) pada tahun
1972 mengemukakan teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa factor manajemen

merupakan latar belakang penyebab yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Berdasarkan
perkembangan tersebut serta adanya kasus kecelakaan di Bhopal tahun
1984, akhirnya pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep keterpaduan system manajemen K3
yang berorientasi pada koordinasi dan efisiensi penggunaan sumber daya. Keterpaduan semua unit-unit
kerja seperti safety, health dan masalah lingkungan
dalam suatu system manajemen juga menuntut adanya kualitas yang terjamin baik dari aspek input
proses dan output. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya standar-standar internasional seperti ISO
9000, ISO 14000 dan ISO 18000.
l. Era Mendatang
Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak hanya difokuskan pada permasalahan K3 yang ada
sebatas di lingkungan industri dan pekerja. Perkembangan K3 mulai menyentuh aspek-aspek yang
sifatnya publik atau untuk masyarakat luas.
Penerapan aspek-aspek K3 mulai menyentuh segala sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk
menjaga harkat dan martabat manusia serta penerapan hak asazi manusia demi terwujudnya kualitas
hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja lebih bayak
berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang merupakan perwujudan aspek-aspek K3.

Kata SOLAS adalah singkatan dari "Safety of Life at Sea" lebih lengkapnya adalah International
Convention for Safety of Life at Sea. Kalau di artikan ke dalam bahasa indonesia kurang lebih kata
"SOLAS" ini artinya adalah "Keselamatan Jiwa di Laut ". Pekerjaan sebagai pelaut memiliki resiko yang

cukup tinggi dan yang paling berat dan tidak bisa diduga adalah karena faktor alam. Seperti misalnya
CUACA DI LAUT yang buruk, angin yang sangat kencang serta gelombang yang tinggi. Walaupun demikian
faktor lain seperti peralatan mesin serta SDM juga tak kalah pentingnya berkaitan dengan keselamatan
Kapal.

SOLAS merupakan ketentuan yang sangat penting bahkan mungkin paling penting karena berkenaan
dengan keselamatan kapal-kapal dagang dan juga yang paling tua. Pada Versi yang pertama telah

disetujui oleh 13 negara dalam tahun 1914, yaitu setelah terjadinya peristiwa Tenggelamnya Kapal
Titanic yang terjadi pada tahun 1912.

Kalau mengingat perjalanan sejarah dari SOLAS ini sempat mengalami perubahan-perubahan. Dalam
dunia pelayaran dan perkapalan ada Badan Internasional yang sangat berperan mengenai SOLAS yaitu
IMCO. Kepanjangan dari IMCO (Inter-Governmental Maritime Consultative Organization), adalah suatu
badan internasional (organisasi internasional), yang pada tahun 1959 sudah mengambil alih beberapa
konvensi yang telah di tetapkan, termasuk di dalamnya adalah mengenai Safety of Life at Sea
(Keselamatan Jiwa di Laut) tahun 1948 dan Prevention of the Pollution of the Sea by Oil (Pencegahan
Polusi di Laut oleh Minyak) tahun 1954.

Pada saat dilangsungkannya konperensi IMCO untuk yang pertama kali yaitu pada tahun 1960, Pada

konferensi tersebut telah menghasilkan "International Convention on the Safety of Life at Sea" tahun
1960, dan mulai diberlakukan pada tahun 1965.

Selanjutnya dengan memperhatikan dan melihat perkembangan-perkembangan yang sudah terjadi,
negara-negara yang sudah melakukan penandatangan (contracting governments), satu diantaranya
adalah negara Indonesia, dan agar dapat mengembangkan keselamatan waktu dilaut agar bisa lebih baik,
maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam SOLAS sering dirubah atau ditambah.

Pada waktu konperensi yang diselenggarakan oleh IMCO tersebut (Inter-Governmental Consultative
Organization), sekarang dikenal dengan IMO (International Maritime Organization), telah dihasilkan
dengan apa yang disebut sebagai Protokol (merupakan dokumen mengenai hal-hal yang sudah disetujui
secara resmi).

Kemudian atas undangan dari IMCO, di kota London negara Inggris, mulai dari tanggal 21 Oktober tahun
1974 sampai tanggal 1 November tahun 1974 telah diselenggarakan Konperensi yang dihadiri oleh 65
utusan negara penan-datangan, itu belum termasuk peninjau yang berasal dari negara-negara yang
bukan penandatangan dan peninjau dari organisasi-organisasi dari non-pemerintah.

Dan hasil dari konperensi IMCO tersebut adalah SOLAS 1974 atau International Convention for the Safety
of Life at Sea of 1974. Walaupun sering terjadi perubahan dan juga adanya penambahan peraturanperaturan (regulations) hendaknya kita tidak perlu khawatir, karena inti/dasar dari isi (pokok) dari SOLAS


adalah sama, artinya SOLAS tahun 1960, SOLAS untuk tahun 1974 dan SOLAS di tahun 1997 isi pokoknya
sama, hanya terdapat beberapa perubahan atau penambahan saja.

Kemudian pada tahun 1948, the United Nations Maritime Conference telah menyetujui untuk
membentuk sebuah badan internasional. Hal ini dimaksudkan hanya semata-mata untuk hal-hal
(persoalan) kelautan dan untuk mengkoordinasi tindakan-tindakan yang diambil oleh negara-negara.

Badan internasional itu adalah IMCO (Inter-Governmental Maritime Consultative Organization),
bertempat di kota London. IMCO lahir pada tahun 1958 dan mulai aktif tahun 1959. Beberapa
ketentuan-ketentuan mulai diambil alih, diantaranya ialah Safety of Life at Sea of 1948 dan Prevention of
the Pollution of the Sea by Oil of 1954.

Pada tahun 1982 IMCO berubah menjadi IMO (International Maritime Organization).

Tujuan utama dari IMO diantaranya adalah untuk menentukan standar yang dapat diterima, serta
membangun ketentuan internasional yang sangat berhubungan dan berkaitan dengan perkapalan,
memonitor implementasinya oleh pemerintah-pemerintah, membuatnya selalu terkini (up to date)
sejalan dengan kemajuan teknologi.


Saat dilangsungkannya konperensi yang pertama kali pada tahun 1960, di kota London negara Inggris,
yang menghasilkan International Convention on the Safety of Life at Sea 1960 dan mulai diberlakukan
pada tahun 1965. Sesuatu yang penting lainnya pada waktu itu adalah International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships yang dihasilkan tahun 1973, yang kemudian digabungkan (corporated)
dalam Convention of 1978, yang akhirnya terkenal sebagai MARPOL 73/78.

Peraturan Safety Of Life At Sea ( SOLAS )

Peraturan Safety Of Life At Sea (SOLAS) adalah peraturan yang mengatur keselamatan
maritim paling utama. Demikian untuk meningkatkan jaminan keselamatan hidup dilaut
dimulai sejak tahun 1914, karena saat itu mulai dirasakan bertambah banyak kecelakaan
kapal yang menelan banyak korban jiwa dimana-mana. Pada tahap permulaan mulai
dengan memfokuskan pada peraturan kelengkapan navigasi, kekedapan dinding penyekat
kapal serta peralatan berkomunikasi, kemudian berkembang pada konstruksi dan peralatan
lainnya.
Modernisasi peraturan SOLAS sejak tahun 1960, mengganti Konvensi 1918 dengan
SOLAS 1960 dimana sejak saat itu peraturan mengenai desain untuk meningkatkan faktor
keselamatan
kapal
mulai

dimasukan
seperti
:
desain
konstruksi
kapal
permesinan
dan
instalasi
listrik
pencegah
kebakaran
alat-alat
keselamatan
- alat komunikasi dan keselamatan navigasi
Usaha penyempurnaan peraturan tersebut dengan cara mengeluarkan peraturan tambahan
(amandement) hasil konvensi IMO, dilakukan berturut-turut tahun 1966, 1967, 1971 dan
1973. Namun demikian usaha untuk memberlakukan peraturan-peraturan tersebut secara
Internasional kurang berjalan sesuai yang diharapkan, karena hambatan procedural yaitu
diperlukannya persetujuan 2/3 dari jumlah Negara anggota untuk meratifikasi peratruran
dimaksud, sulit dicapai dalam waktu yang diharapkan.
Karena itu pada tahun 1974 dibuat konvensi baru SOLAS 1974 dengan prosedur baru,
bahwa setiap amandement diberlakukan sesuai target waktu yang sudah ditentukan,
kecuali ada penolakan 1/3 dari jumlah Negara anggota atau 50 % dari pemilik tonnage yang

ada di dunia. Kecelakaan tanker terjadi secara beruntun pada tahun 1976 dan 1977, karena
itu atas prakarsa Presiden Amerika Serikat JIMMY CARTER, telah diadakan konfrensi
khusus yang menganjurkan aturan tambahan terhadap SOLAS 1974 supaya perlindungan
terhadap Keselamatan Maritim kebih efektif.
Pada tahun 1978 dikeluarkan komvensi baru khusus untuk tanker yang dikenal dengan
nama “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP 1978)” yang merupakan
penyempurnaan dari SOLAS 1974 yang menekankan pada perencanaan atau desain dan
penambahan peralatan untuk tujuan keselamatan operasi dan pencegahan pencemaran
perairan.
Kemudian diikuti dengan tambahan peraturan pada tahun 1981 dan 1983 yang
diberlakukan bulan September 1984 dan Juli 1986. Peraturan baru Global Matime
Distress and Safety System (GMDSS) pada tahun 1990 merupakan perubahan mendasar
yang dilakukan IMO pada sistim komunikasi maritim, dengan menfaatkan kemajuan
teknologi di bidang komunikasi sewperti satelit dan akan diberlakukan secara bertahap dari
tahun 1995 s/ 1999.
Konsep dasar adalah, Badan SAR di darat dan kapal-kapal yang mendapatkan berita
kecelakaan kapal (vessel in distress) akan segera disiagakan agar dapat membantu
melakukan koordinasi pelaksanaan operasi SAR.
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 22.09
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar

International Maritime Organization ( IMO )

Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan pelayaran, PBB dalam
koperensinya pada tahun 1948 telah menyetujui untuk membentuk suatu badan
Internasional yang khusus menangani masalah-masalah kemaritiman. Badan tersebut
dibentuk pertama kali dengan nama Inter Govermental Maritime Consuktative
Organization ( IMCO ). Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasi
tersebut baru diakui secara Internasional. Kemudian berubah nama menjadi International
Maritime Organization ( IMO ) sejak tanggal, 22 Mei 1982.
Empat tahun sebelim INO diberlakukan secara Internasional yakni pada tahun 1954 Marine
Pollution Convention sudah mulai diberlakukan tetapi baru pada tahun 1959 secara resmi di
administrasikan dan di sebar luaskan oleh IMO.
International Maritime Organization ( IMO ) berkedudukan di London, dengan alamat 4
Albert Embankment yang merupakan satu-satunya Badan Spesialisasi PBB yang
bermarkas di Inggris. Sedang Paripurna IMO disebut Assembly melakukan pertemuan
tahunan satu kali dalam selang waktu dua tahun dan biasanya diadakan pada bulan
September atau Oktober. Pertemuan tahunan yang diadakan yang disebut Council,
anggotanya terdiri dari 32 negara yang dipilih oleh sidang Assembly dan bertindak sebagai
Badan Pelaksana harian kegiatan IMO. IMO adalah Badan Organisasi yang menangani
masalah teknis dan sebagian besar kegiatannya dilaksanakan oleh beberapa Komite.
The Marine Safety Committee ( MSC )
Merupakan komite yang paling senior dan khusus menangani pekerjaan yang berhubungan
dengan masalah keselamatan dan teknik. Memiliki beberapa Sub committee sesuai tugas
masing-masing.
Marine Environment Protection Committee ( MEPC )
Dibentuk oleh IMO Assembly pada tahun 1973 dengan tugas mengkoordinir kegiatan
pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang asalnya dari kapal. Sub Committee
dari Bulk Chemicals merupakan juga sub committee dari MEPC kalau menyangkut masalah
pencemaran.
The Technical C0-Operation Committee
Tugasnya mengkoordinir bantuan teknik dari IMO di bidang maritime terutama untuk negara
berkembang. Komite teknik ini merupakan komite pertama dalam organisasi PBB yang
diakui sebagai bagian dari konvensi.
Badan ini dibentuk tahun 1975 dan merupakan agen pertama PBB yang membentuk
technical cooperation dalam bentuk struktur organisasi. Tujuannya adalah menyediakan
program bantuan untuk setiap Negara terutama negara berkembang untuk meratifikasi dan
kemudian melaksanakan peraturan yang dikeluarkan oleh IMO.
IMO menyediakan tenaga bantuan konsultan di lapangan dan petunjuk dari Headquarters
kepada pemerintah yang memintanya untuk melakukan training keselamatan kerja maritim
dan pencegahan pencemaran terhadap ABK bagian deck, mesin dan personil darat. Melalui
Komite ini IMO melakukan seminar dan workshop dibeberapa negara setiap tahun dan
sudah mengerjakan banyak proyek bantuan teknik di seluruh dunia. Proyek ambisius yang
dilakukan Komite ini adalah mendirikan “The World Maritime University” di Malmo Swedia

pada tahun 1983, dengan tujuan untuk mendidik dan menyediakan tenaga trampil dalam
bidang keselamatan dan lingkungan maritim, dari Negara berkembang yang sudah
mempunyai latar belakang pendidikan yang mencukupi di negara masing-masing.
Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh ± 300 tenaga dari
berbagai negara termasuk para penterjemah ke dalam 6 bahasa yang diakui dapat
digunakan berkomunikasi dalam sidang komite, yakni bahasa inggris, Perancis, Rusia,
Spanyol, Arab, China dan 3 bahasa teknis
Tugas dan Pekerjaan IMO
Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja dilaut termasuk
keselamatan pelayaran dan pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan
perairan.
Seperti halnya SOLAS 74/78 diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden No. 65 tahun 1980 dan MARPOL 73/78 dengan Keputusan Presiden No. 46 tahun
1986. Kedua Keputusan Presiden tersebut sudah tercakup dalam UU No. 21 tahun 1992
tentang Pelayaran.
Konvensi-konvensi IMO paling penting yang sudah dikeluarkan adalah sebagai berikut :
- Safety Of Life At Sea ( SOLAS ) Convention 1974/1978
- Marine Pollution Prevention ( MARPOL ) Convention 1973/1978
- Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers
(SCTW) Convention 1978 termasuk beberapa amandements dari setiap konvensi.
Dalam ketiga konvensi tersebut digariskan peraturan keselamatan kerja di laut,
pencegahan pencemaran perairan dan persyaratan pengetahuan dan ketrampilan minimum
yang harus dipenuhi oleh awak kapal.
SOLAS Convention, menangani aspek keselamatan kapal termasuk konstruksi, navigasi
dan komunikasi.
MARPOL Convention, menangani aspek lingkungan perairan khusus untuk pencegahan
pencemaran yang asalnya dari kapal, alat apung lainnya dan usaha penanggulangannya.
STCW Convention, berisi persyaratan minimum pendidikan atau training yang harus
dipenuhi oleh ABK (Anak Buah Kapal) untuk bekerja di atas kapal sebagai pelaut.
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 22.19
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar

Dampak dan Antisipasi Indonesia Terhadap Perobahan STCW 1978

Pendahuluan:
Indonesia secara resmi menjadi anggota IMO sejak tanggal 18 Januari 1961, dan selama ini
senantiasa aktif dalam mengikuti semua kegiatan IMO. Sebagai anggota IMO yang sudah lama,
pengukuhan kedudukan Indonesia di IMO adalah menjadi anggota Dewan IMO (Member of
IMO Council) karena dalam forum sidang Dewan inilah kepentingan nasional dapat banyak
terakomodir dan ikut menentukan kebijakan-kebijakan organisasi.
Indonesia pertama kali mencalonkan dan terpilih menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1973,
untuk periode keanggotaan 1974 – 1975. Dua periode keanggotaan berikutnya, yaitu 1976-1977
dan 1978-1979 Indonesia masih terpilih sebagai anggota Dewan IMO. Indonesia mengalami
kegagalan mencalonkan diri pada 2 periode berikutnya yaitu periode keanggotaan 1980-1981
dan 1982-1983. Pada sidang Assembly ke 13 yaitu pada tahun 1983, Indonesia terpilih kembali
menjadi anggota Dewan IMO, dan selalu terpilih sampai saat ini (15 periode berturut-turut).
Pada pemilihan angota Dewan pada sidang Assembly ke 25 tahun 2007, ranking Indonesia naik
secara significant dibandingkan dengan tahun-than sebelumnya. Pada tahun 2005, Indonesia
hanya menempati ranking ke 8 dari 20 anggota Dewan kategori c, namun pada tahun 2007
menduduki ranking 4 (mendapat 113 suara), dan hanya terpaut 1 suara dibanding dengan ranking
ke 2 dan 3 (Bahama dan Cyprus memperoleh 114 suara). Pada sidang Assembly ke 26 tahun
2009 dukungan terhadap Indonesia lebih meningkat yaitu menjadi 132 dan menduduki peringkat
ke 3 setelah Singapura dan Cyprus. Hal ini menunjukkan kepercayaan negara lain terhadap
Indonesia makin meningkat. Dengan meningkatnya jumlah negara yang mendukung Indonesia
ini, maka tugas Indonesia di kancah internasional semakin berat karena harus menunjukkan
kemampuan dan dedikasinya terhadap organisasi secara consistent. Upaya-upaya diplomasi dan
peningkatan kinerja dibidang teknis untuk ikut serta meningkatkan keselamatan dan keamanan
maritim serta perlindungan lingkungan laut adalah merupakan tugas dan tangung jawab yang
tidak ringan bagi Indonesia. Untuk itu diperlukan kerja-sama semua pihak yang terkait, antar
kementerian, baik dalam pengaturan maupun pelaksanaan teknis.
Tidak kalah pentingnya peran para stake-holder seperti operator kapal, badan-badan usaha di
sub-sektor transportasi laut serta masyarakat luas pengguna jasa transportasi laut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang eksistensinya telah diakui berdasarkan
ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea,
1982), pengakuan eksistensi sebagai negara maritim terbesar dalam berbagai forum internasional
masih tetap diperlukan, termasuk dalam forum Sidang Council dan Sidang Assembly di IMO.
Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 15 (lima belas) Konvensi IMO, yang merupakan
aturan di bidang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut, dan merupakan satusatunya negara di Asia Tenggara yang paling banyak meratifikasi Konvensi IMO, serta telah

memperoleh banyak manfaat dalam rangka menjaga keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan laut di wilayah perairan Indonesia.
Adanya perobahan terhadap peraturan2 internasional melalui instrumen2 IMO tentu saja akan
menimbulkan dampak dan konsekuensi bagi setiap negara yang meratifikasi, sehingga perlu
adanya upaya2 untuk mengantisipasi dampak perobahan tersebut, agar dapat melaksanakan
setiap konvensi yang telah diratifikasi secara penuh dan bertanggung jawab.
Sekilas tentang International Maritime Organization (IMO)
International Maritime Organization (IMO) adalah merupakan salah satu badan khusus
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah-masalah kemaritiman. Didirikan
berdasarkan Konvensi pembentukannya pada tanggal 6 Maret 1948 di Jenewa dan mulai berlaku
pada tanggal 17 Maret 1958. IMO melaksanakan sidang pertama kalinya pada tahun 1959. Pada
awal pembentukannya bernama Inter-Governomental Maritime Consultative Organization
(IMCO). Sejak tanggal 1 Mei 1982 namanya berobah menjadi International Maritime
Organization, di singkat IMO. Pada saat ini IMO bermarkas di: 4 Albert Embankment, London
SE1 7SR, United Kingdom.
Sekretariat IMO di pimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang di pilih setiap 4 tahun sekali,
dibantu oleh para Direktur yang memimpin setiap Devisi. Divisi pada sekretariat IMO yaitu:
1.
Maritime
Safety
Division,
2.
Marine
Environment
Protection
Division,
3.
Legal
Affairs
and
International
Relation
Division,
4.
Conference
Division,
5.
Technical
Co-operation
Division,
dan
6. Administrative Division
Pada saat ini (2010) anggota IMO terdiri dari 169 negara termasuk Indonesia, ditambah 3 negara
anggota assiciate (Associate Member).
Struktur Organisasi IMO dalam pengambilan keputusan, dilaksanakan melalui forum sidang
Assembly, sidang Council dan 5 sidang Committee, yaitu: Maritime Safety Committee (MSC),
Marine Environment Protection Committee (MEPC), Legal Committee (LEG), Technical
Cooperation Committee (TCC) dan Facilitation Committee (FAL).
1. Assembly atau Majelis IMO, merupakan lembaga tertinggi IMO (IMO highest GoverningBody) yang terdiri dari seluruh negara anggota IMO, yang saat ini berjumlah 169 negara,
bersidang sekali dalam dua tahun pada jadwal reguler, atau Setiap saat bila dianggap perlu.
Assembly bertanggung jawab untuk menentukan program kerja, voting anggaran dan
menentukan pengaturan keuangan dalam organisasi. Assembly juga bertugas melaksanakan
pemilihan anggota Dewan (Council).
2.
Council, atau Dewan IMO adalah semacam “Governing Body” dalam IMO yang
melaksanakan tugas-tugas organisasi IMO di antara dua masa Sidang Majelis. Dewan IMO
merupakan badan executive di bawah Assembly, bertanggung jawab melaksanakan pengawasan
terhadap
kerja
organisasi.
Tugas-tugas
lain
dari
Dewan
yaitu:
a.
Meng-koordinasi-kan
kegiatan
badan-badan
IMO
yang
lain,
b. Memperhatikan rancangan anggaran dan program kerja yang harus disampaikan kepada

sidang
Assembly,
c. Menerima laporan dan usulan dari Committee dan organ IMO yang lain serta dari Negaranegara anggota untuk diteruskan ke Assembly dengan beberapa masukan dan rekomendasi yang
tepat.
d. Mengusulkan dan memilih calon Sekretaris Jenderal, yang kemudian di syahkan dalam sidang
Assembly.
e. Melakukan upaya pengaturan dan kerja sama dengan berbagai organisasi di luar IMO, yang
kemudian disyahkan melalui sidang Assembly.
Dewan IMO beranggotakan 40 negara anggota IMO (sejak 7 Nopember 2002). Dari ke 40
negara anggota Dewan IMO tersebut terbagi dalam 3 kategori yaitu:
a. Kategori “a”, terdiri dari 10 negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional
terbesar
dan
sebagai
penyedia
angkutan
laut
internasional
terbesar,
b. Kategori “b”, terdiri dari 10 negara yang mewakili kepentingan maritime terbesar dalam
menyediakan
“International
Ship-borne
Trade”,
c. Kategori “c”, terdiri dari 20 negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam angkutan laut
atau navigasi, dan mencerminkan perwakilan yang adil secara geografis.
Pemilihan anggota Dewan IMO dilaksanakan 2 tahun sekali, yaitu pada saat dilaksanakan sidang
Assembly. Negara-negara anggota yang ingin menjadi anggota Dewan wajib menyampaikan
surat kepercayaan (credentialletter) ke Sekretaris Jendral IMO untuk mencalonkan diri pada
kategori yang mereka inginkan. Pada saat sidang Assembly, Negara-negara yang mencalonkan
sebagai anggota Dewan IMO akan diminta untuk menyampaikan pandangan umum dan tujuan
pencalonannya, sebelum pemilihan dilaksanakan.
3.
Committee, adalah bagian tubuh IMO yang mengolah aturan2 produk IMO untuk
disampaikan
ke
sidang
Dewan.
Terdapat
5
Committee
yaitu:
a. Maritime Safety Committee (MSC), yaitu komite yang menangani pengaturan2 masalah
keselamatan dan keamanan pelayaran (maritime safety and security) seperti: keselamatan
navigasi, stabilitas kapal, konstruksi pembangunan kapal, komunikasi maritime, keamanan
maritime
dari
anccaman
perompakan
di
laut
dan
sejenisnya.
b. Marine Environmet Protection Committee (MEPC), komite yang menangani pengaturan2
tentang perlindungan terhadap pencemaran laut, termasuk pencemaran udara dari kapal2 laut.
c. Legal Committee (LEG), yaitu komite yang menangani tentang pengesahan aturan2 yang
akan
diberlakukan
oleh
IMO.
d. Technical Cooperation Committee (TCC), yaitu komite yang mempunyai tugas untuk
membahas negara2 yang memerlukan bantuan teknis dalam kaitannya dengan implementasi
instrumen2
IMO.
e. Facilitation Committee (FAL), yaitu komite yang menangani masalah pengaturan
permasalahan dokumen2 yang harus dibawa oleh kapal-kapal, membantu menjembatani antar
negara dalam implementasi instrumen2 IMO sehingga tidak terjadi kerancuan serta upaya
menghindari adanya keterlambatan operasi kapal-kapal berkaitan dengan dokumentasi kapal
yang masuk wilayah negara lain.
Dalam bekerja, Komite (Committee) membentuk sub-sub komite (Sub-Committee) yaitu:
a.
Bulk Liquids and Gases (BLG), yang bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai pemadatan dan transportasi muatan cair dan gas secara curah dengan menggunakan
kapal-kapal laut, termasuk bahan2 kimia dan cairan untuk penanganan polusi laut (dispersant).

b.
Carriage of Dangerous Goods, Solid Cargoes and Containers (DSC), bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai pemadatan dan transportasi muatan berbahaya,
muatan
kering
dan
peti
kemas,
c.
Fire Protection (FP), bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai
pencegahan
kebakaran
di
kapal-kapal,
d.
Radio-communications and Search and Rescue (COMSAR) bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai komunikasi radio di kapal dan pengaturan tentang
SAR
(Search
and
Rescue
=
pencarian
dan
pertolongan),
e.
Safety of Navigation (NAV) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai alat bantu navigasi dan alur-alur pelayaran untuk keselamatan pelayaran serta aturan
pencegahan
tubrukan
di
laut,
f.
Ship Design and Equipment (DE) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai bangunan kapal dan semua peralatan di kapal berkaitan dengan keselamatan operasi
kapal,
g.
Stability and Load Lines and Fishing Vessels Safety (SLF) bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai perhitungan stabilitas kapal, lambung timbul, dan
ketentuan
keselamatan
kapal-kapal
penangkap
ikan,
h.
Standards of Training and Watchkeeping (STW) bertugas membuat rancangan-rancangan
ketentuan mengenai pendidikan, pelatihan dan sertifikasi untuk para pelaut dan pihak-pihak yang
bekerja
pada
sector
maritim.
i.
Flag State Implementation (FSI) bertugas membuat rancangan-rancangan ketentuan
mengenai pelaksanaan instrument-instrumen IMO di negara-ngara anggota IMO dan neggaranegara bukan anggota IMO.
Oleh karena keterbatasan waktu sidang yang telah di jadwalkan, dalam sidang-sidang committee
dan sub-committee selalu dibentuk kelompok kerja (Working-Group), kelompok korespondensi
(Correspondence-Group) atau kelompok drafting (Drafting-Group). Sering kali, dilaksanakan
pula sidang-sidang antar waktu (Intersessional meeting) bilamana diperlukan (jadwal sidang
IMO tahun 2010 terlampir).
Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978 dan Seafarers
Training, Certification and Watchkeeping (STCW) 1995
Sebelum pemberlakuan STCW, rambu2 internasional kompetensi bagi pelaut setingkat perwira,
dituangkan ke dalam konvensi SOLAS (Safety of Life at Sea) pada Bab V (Safety of
Navigation), dan beberapa ketentuan untuk awak kapal bukan setingkat perwira, diatur oleh
masing2 negara anggota IMO.
Mengingat makin kompleksnya permasalahan yang timbul terhadap faktor keselamatan
pelayaran yang disebabkan oleh ketidak-pastian kompetensi pelaut dan tidak adanya
keseragaman diantara negara anggota IMO dalam melaksanakan pendidikan kepelautan, maka
negara-negara anggota IMO sepakat untuk membuat konvensi internasional, khusus untuk
mengatur
kompetensi
bagi
mereka
yang
akan
bekerja
di
kapal.
Maka dibentuklah sub-komite yang membahas tentang rancangan STCW tersebut. Dinamakan
sub-komite STW (Standards of Training and Watchkeeping). Setelah melalui beberapa sesi
sidang sub-komite STW, setelah mendapat pengesahan pada sidang MSC (Maritime Safety
Committee) dan pengukuhan pada sidang Council, maka pada tanggal 7 Juli 1978 rancangan

STCW dapat diterima oleh semua anggota IMO melalui sebuah Diplomatic Conference, dan
pada tanggal 28 April 1984, STCW 1978 diberlakukan secara penuh. Indonesia meratifikasi
STCW 1978 melalui Kepres 60 tahun 1986.
Dalam perjalanannya, STCW mengalami perobahan dari tahun ke tahun. Perobahan
(amendment) yang terbesar terjadi pada tahun 1995, dengan diadopsinya konvensi yang di
dalamnya terdapat Seafarer’s Training, Certification and Watchkeeping (STCW 1995), yang
tidak terpisahkan dengan konvensi STCW 1978.
Dengan diberlakukannya STCW 1995, diharapkan terdapat keseragaman dalam pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan kepelautan secara internasional, karena STCW 1995 tidak hanya
mengatur secara umum ketentuan batas kompetensi pelaut, namun berisi tentang kurikulum dan
sylabus yang wajib (mandatory) serta yang disarankan (recommended) dalam melaksanakan
pendidikan dan pelatihan kepelautan, yang meliputi: competence, subject area, understanding,
dan profeciency. Termasuk metode bagaimana mengukur kompetensi yang diharapkan.
Dengan keseragaman pelaksanaan diklat kepelautan tentunya diharapkan kompetensi pelaut
secara internasional dapat setara, paling tidak pada tingkat batas minimal untuk menjamin
keselamatan pengoperasian kapal dapat di ukur secara lebih baik.
Selanjutnya sidang-sidang STW masih berlangsung tiap tahun untuk mengakomodir adanya
kesulitan dan kerancuan yang mungkin timbul dalam melaksanakan STCW. Maka pada sidang
STW ke 38 tahun 2007 muncullah agenda sidang dengan judul “Comprehensive review to the
STCW” yang merupakan agenda sidang untuk merevisi STCW secara menyeluruh, mengingat
terlalu banyaknya kerancuan yang terdapat pada STCW yang ada pada saat itu. Puncak dari
revisi menyeluruh tersebut adalah pada sidang STW 41 tahun 2010 dengan diterimanya
rancangan perobahan STCW dan setuju untuk dibawa ke sidang Diplomatic Conference di
Manila pada bulan Juni 2010.
Dampak dan antisipasi indonesia terhadap amendments STCW
Sejak diberlakukannya STCW 1978 pada 28 April 1984, pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai hal untuk dapat mensejajarkan pelaut Indonesia dengan pelaut negara lain dan dapat
diterima secara internasional. Maka pada tahun 1986 pemerintah Indonesia memutuskan untuk
meratifikasi STCW 1978 dengan segala konsekuensinya.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia sangat memperhatikan perobahan2 yang terjadi pada
STCW, termasuk upaya keras sehingga Indonesia masuk kedalam “IMO White-list” pada sidang
Assembly ke 21 bulan November 1998, dimana Indonesia termasuk salah satu negara anggota
IMO yang pertama kali masuk ke dalam “IMO White-list”.
Menempatkan Atase Perhubungan di KBRI London adalah juga merupakan keinginan kuat
pemerintah Indonesia untuk tetap mengawal perobahan terhadap instrumen2 IMO, termasuk
perobahan terhadap STCW (Tugas Pokok dan Fungsi Atase Perhubungan London selengkapnya
dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan nomor 37 tahun 2007).

Di dalam STCW, terdapat 3 (tiga) pihak (party) yang sangat berkompeten agar STCW dapat
dilaksanakan dengan baik yaitu: Pemerintah (Administration), Perusahaan Pelayaran (Shipping
company), dan Diklat Maritim (Education and Training Institution). Dengan perobahan2 STCW,
tentunya pihak2 tersebut di atas telah menerima dampaknya.
Pemerintah mempunyai tugas untuk merobah peraturan2 yang terkait dengan perobahan pada
STCW, agar dapat menjamin keselamatan pelayaran di dunia internasional, dan pelautnya dapat
diterima secara internasional.
Perusahaan Pelayaran memiliki tugas untuk mengawaki kapalnya sesuai dengan STCW,
sehingga memiliki kewajiban memberikan pelatihan2 tambahan kepada awak kapalnya agar
kompetensinya sesuai dengan ketentuan STCW.
Diklat Maritim memiliki tugas untuk melakukan perobahan2 terhadap kurikulum dan sylabus
diklat, serta meningkatkan kualitas instruktur/pengajar dan fasilitas diklatnya sesuai dengan
ketentuan
STCW.
Antisipasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan adanya
perobahan2 STCW (dan instrumen hukum IMO lainnya), adalah dengan berpartisipasi aktif pada
sidang2 yang dilaksanakan, mulai dari sidang Sub-komite, sidang-sidang komite, dan sidang2
kelompok korespondensi. Partisipasi aktif disini adalah bahwa delegasi Indonesia yang hadir
pada sidang2 IMO telah dibekali dengan materi2 sidang untuk siap berdikusi dengan delegasi
dari negara lain. Jadi tidak hanya mendengar dan mencatat hasil sidang.
Konsep dan usulan perobahan ketentuan, pada umumnya diawali pada sidang2 sub-komite. Pada
tahapan ini, apabila pemerintah Indonesia mencermati setiap agenda sidang secara sungguh2,
maka pemerintah Indonesia akan dapat berpartisipasi banyak terhadap upaya perobahan
ketentuan yang sedang dan akan di bahas, dan dapat menyampaikan usulan2 yang
menguntungkan Indonesia, serta mampu menolak usulan2 yang merugikan Indonesia, sehingga
mampu mengurangi kesulitan dalam implementasinya pada waktu perobahan tersebut
diberlakukan.
Masalah lain yang perlu menjadi perhatian Indonesia
Pada paragraph ini pemapar ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan perkembangan
diskusi pada sidang2 di IMO dan perkembangan di lapangan:
1.
Pada sidang2 IMO sub komite STW beberapa sesi belakangan ini terdapat upaya
diadakannya Seafarers Ship’s Representative (SSR), yaitu salah satu awak kapal, yang ditunjuk
untuk mengawasi/memonitor tindakan yang dilakukan baik oleh perusahaan pelayaran maupun
pimpinan di kapal terhadap keselamatan kerja awak kapal. Diskusi ini sampai dengan sidang
STW 41 awal tahun 2010 yang lalu sudah sampai kepada drafting rancangan ketentuannya. Hal
ini akan berdampak pada diklat maritim agar menyiapkan kurikulum dan sylabus untuk calon
SSR nantinya, karena seseorang yang ditunjuk sebagai SSR wajib memiliki sertifikat yang
menunjukkan kemampuannya sebagai SSR.
2.
Munculnya berbagai kapal-kapal yang memerlukan pengoperasian khusus yang menuntut
operator2 yang memiliki kompetensi yang memadai, adalah merupakan tugas dan tanggung

jawab pemerintah Indonesia untuk menyediakan fasilitas diklat dan perangkat peraturannya, agar
para pelaut Indonesia mampu bersaing dengan pelaut asing lainnya. Sebagai contoh adalah
maraknya pengoperasian kapal2 Anchor Handling Tug Supply (AHTS) dan Dynamic Positioning
System (DPS) serta Special Purpose Ships (SPS). Kecakapan khusus perlu dimiliki oleh para
pelaut Indonesia tersebut agar mampu mengisi kesempatan2 yang ada. Hal ini dapat dilakukan
apabila dari pihak pemerintah (Administrtion) maupun diklat maritim (Education and Training
Institite) mampu mengantisipasi dan melakukan persiapan2 secara awal, mulai dari penyusunan
peraturan, penyediaan sarana dan prasarana, serta tenaga pengajar/instrukturnya.
3.
Bahwa pada tahun 2008, IMO mencanangkan kampanye “Go to sea” dengan harapan
kekurangan pelaut pada saat ini dapat segera dapat diatasi. Dilain pihak, perusahaan pelayaran
enggan untuk menerima calon pelaut sebagai ‘cadet’ dengan beberapa pertimbangan finansial,
sehingga banyak ‘cadet’ di atas kapal dipekerjakan sebagai awak-kapal. Dari kesulitan mencari
kapal untuk praktek berlayar, juga ditemukan beberapa bukti bahwa terdapat beberapa taruna
diklat maritim yang terpaksa harus melakukan praktek berlayar di kapal-kapal yang tidak
memenuhi ketentuan minimal sesuai dengan sertifikat yang akan diperoleh, yaitu tidak
memenuhi fungsi-fungsi sesuai ketentuan STCW dan standard mutu (Quality Standards System)
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Sudah cukup lama, beberapa negara yang
menyediakan tenaga pelaut juga mengeluh dengan tidak tersedianya akomodasi yang layak untuk
‘cadet’ yang sedang melakukan praktek berlayar. Untuk mengatasi kendala yang ada, kiranya
keberadaan kapal latih untuk mendukung pencapaian pendidikan dan pelatihan kepelautan adalah
merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda.
Kesimpulan dan saran
1.
Setiap negara yang meratifikasi suatu konvensi internasional, memiliki kewajiban untuk
melaksanakannya secara penuh (full and complete), termasuk perobahan yang terjadi atas
konvensi yang di ratifikasi (melalui proses penerimaan perobahan atau Acceptance).
2.
Sebagai anggota IMO dan terlebih menjadi anggota dewan IMO, Indonesia telah
melakukan langkah2 partisdipatif dalam menyikapi perobahan peraturan internasional, namun
kiranya masih perlu lebih meningkatkan partisipasi aktif dalam penyusunan instrumen2 IMO
melalui sidang2 dan kegiatan lain terkait dengan kepentingan nasional RI (Republik Indonesia).
3.
Mengingat kepentingannya, maka partisipasi aktif tidak hanya oleh pemerintah saja, tetapi
juga merupakan tanggung jawab semua pihak (negeri dan swasta) yang terkait dengan industri
maritim, serta masyarakat luas pengguna jasa anggutan laut.
4.
Menyadari adanya perobahan peraturan berawal dari suatu ‘konsep’ yang diajukan dan
dibahas pada tingkat sidang sub-komite, maka Indonesia perlu memperhatikan rencana
perobahan mulai dari tingkat awal, yaitu pada sidang-sidang sub-komite, dan mengawalnya
secara konsisten agar konvensi yang kemudian diimplementasikan, dapat sejalan dengan
kepentingan nasional Indonesia.
Sumber : Tulisan dari Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 19.09
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 1 komentar

Amandemen Stcw 2010 : Apa Yang Perlu Anda Ketahui

Telah secara luas diketahui bahwa IMO mengadakan Konferensi Diplomatik di Manila, Filipina,
pertengahan tahun 2010 untuk membahas amandemen STCW. Banyak orang yang tidak
mengetahui pada tingkat apa revisinya dan realitas implementasinya di balik hal tersebut. Untuk
meluruskan hal-hal tersebut mari kita lihat apa yang telah terjadi langkah demi langkah.
Amandemen
STCW
Manila.
Pada 25 Juni 2010, Organisasi Maritim Internasional (IMO) serta stakeholder utama lainnya
dalam dunia industry pelayaran dan pengawakan global secara resmi meratifikasi apa yang
disebut sebagai "Amandemen Manila" terhadap Konvensi Standar Pelatihan untuk Sertifikasi
dan Tugas Jaga bagi Pelaut (STCW) dan Aturan terkait. Amandemen tersebut bertujuan untuk
membuat STCW selalu mengikuti perkembangan jaman sejak pembuatan dan penerapan
awalnya pada tahun 1978, dan amandemen selanjutnya pada tahun 1995.
Mulai
Berlakunya.
Amandemen Konvensi STCW akan diterapkan melalui prosedur penerimaan dengan pemahaman
yang telah disepakati yang mengisyaratkan bahwa perubahan tersebut sudah harus diterima
paling lambat 1 Juli 2011 KECUALI bila lebih dari 50% dari para pihak terkait STCW menolak
perubahan yang demikian. Sebagai hasilnya, Amandemen STCW ditetapkan mulai berlaku pada
tanggal
1
Januari
2012.
Tujuan
Amandemen
STCW.
Hal-hal berikut menguraikan perbaikan-perbaikan kunci yang diwujudkan melalui
Amandemen
baru,
yaitu:
1. Sertifikat Kompetensi & Endorsement-nya hanya boleh dikeluarkan oleh Pemerintah sehingga
mengurangi
kemungkinan
pemalsuan
sertifikat
kompetensi.
2. Pelaut yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan sesuai Standar medis umum untuk pelaut
dari satu negara dapat berlaku di kapal yang berasal dari negara lain tanpa menjalani

pemeriksaan
medis
ulang.
3.
Persyaratan
revalidasi
sertifikat
dirasionalisasi
untuk
kepentingan
pelaut.
4. Pengenalan metodologi pelatihan modern seperti pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran
berbasis
web.
5. Jam istirahat bagi pelaut dikapal diselaraskan dengan persyaratan Maritime Labor Convention
ILO/MLC (Konvensi Buruh Maritim ILO) 2006, dengan maksud untuk mengurangi kelelahan.
6. Memperkenalkan persyaratan-persyaratan tambahan untuk menghindari alkohol dan
penyalahgunaan
zat
terlarang.
7. Kompetensi dan kurikulum baru harus terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi
modern
dan
kebutuhan
riil
dilapangan.
8.
Pelatihan
penyegaran
dibahas
dengan
layak
dalam
konvensi.
Beberapa hal pokok terkait amandemen STCW 2010, adalah sebagai berikut :
Bab
I
Ketentuan
Umum.
• Peraturan I / 2: Hanya Pemerintah yang dapat mengeluarkan Certificate of Competency (COC)
dan
menyediakan
database
elektronik
untuk
verifikasi
keaslian
sertifikat.
• Peraturan I / 3: Persyaratan Near Coastal Voyage dibuat lebih jelas, termasuk principal yang
mengatur pelayaran dan melakukan "kegiatan usaha" dengan Pihak yang terkait (negara bendera
dan
negara
pantai).
• Peraturan I / 4: Penilaian/pemeriksaan Port State Control (PSC) terhadap pelaut yang
melaksanakan tugas jaga dan standar keamanan - "Harus memenuhi Standar keamanan" dalam
daftar.

Peraturan
I
/
6:
Pedoman
e-learning
(pembelajaran
elektronik)
• Peraturan I / 9: standar Medis diperbaharui sejalan dengan Persyaratan ILO MLC.
• Peraturan I/11: Persyaratan revalidasi dibuat lebih rasional dan termasuk persyaratan revalidasi
atas
endorsement
sertifikat
kapal
tanker.
• Peraturan I/14 : Perusahaan bertanggung jawab terhadap pelatihan penyegaran pelaut di kapal
mereka
STCW
Bab
II,
Level
Dukungan
Bab Dua adalah bagian Departemen Dek. Perubahan utama dalam Bab II adalah penambahan
Pelaut Trampil (Able Seafarers/AB) – Deck Rating. Ini terpisah dari Rating yang melaksanakan
tugas jaga Navigasi (Rating Forming Part of a Navigational Watch / RFPNW).
Berdasarkan persyaratan untuk bekerja dikapal, penting bagi pelaut untuk mendapatkan
kualifikasi RFPNW sebisa mungkin pada awal sekali dari karir mereka. Pelaut tidak secara
otomatis mendapat kualifikasi AB sampai kualifikasi RFPNW telah dipenuhi dan lisensi tersebut
harus mendapatkan sertifikat pengukuhan (endorsement) AB. Ini akan membutuhkan pelatihan
dan pengujian serta akan menjadi pasal baru yang disebut A-II / 5.
STCW
Bab
II,
Level
Operasional
dan
Manajemen.
Untuk Electronic Chart Display and Information System / ECDIS (Peta dan Sistim Informasi
Elektronik), perlu pelatihan bagi semua Perwira Dek untuk semua kapal yang dilengkapi dengan
ECDIS. Pelatihan ECDIS dilaksanakan sama seperti pelatihan ARPA ataupun GMDSS, dimana
ada pembatasan dalam STCW yaitu seseorang tidak boleh bekerja di kapal dengan perlengkapan
tersebut jika ia tidak memiliki sertifikat ECDIS.

Pada 2012 hampir semua kapal dengan bobot mati lebih dari 200 ton akan diatur di bawah
hukum yang terpisah untuk memiliki peralatan ECDIS. Secara otomatis, setiap Perwira Dek
dikapal berbobot lebih dari 200 ton akan membutuhkan pelatihan ECDIS. Akan ada dua tingkat
ECDIS, yakni operasional dan manajemen dengan tanggung jawab yang berbeda dari masingmasingnya. Manajemen SDM yang bertugas di anjungan kapal, Pelatihan Tim Kerja dan
Kepemimpinan akan diwajibkan baik di tingkat operasional maupun manajemen.
STCW
Bab
III,
Mesin
Perubahan utama dalam Bab III adalah penambahan Pelaut Trampil bagian Mesin (Engine
Rating). Ini terpisah dari rating yang melaksanakan tugas jaga mesin. Banyak negara hanya
memiliki level rating yang melaksanakan tugas jaga (Rating Forming Part of a Enginee Watch /
RFPEW), dan untuk pelaut trampil pemula dibagian mesin disyaratkan memiliki sertifikat
RFPEW sesuai ketentuan STCW. Ini akan membutuhkan pelatihan dan pengujian dan akan
menjadi pasal baru yang disebut A-III/5.
Pasal A-III/1 akan diformat ulang dan diatur kembali. Anda tidak lagi perlu melakukan pela