Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2 ISSN 2086

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada
Suatu Refleksi School-Based Democracy Education
(Studi Kasus Pilkada Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara
Tahun 2010)
J. W. Batawi
jwbatawi@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesadaran siswa SLTA
sebagai pemilih pemula dalam pilkada dalam konteks berpolitik dan penerapan sekolah
sebagai laboratorium demokrasi (School Based Democracy Education). Penelitian
mengambil sampel siswa SLTA di wilayah Wasile sebanyak 35 responden dan wilayah
Maba sebanyak 40 responden. Wilayah Wasile mengambil 3 sekolah sedangkan
wilayah Maba sebanyak 6 sekolah yang berbeda. Responden adalah siswa yang telah
melakukan pemilihan/pencoblosan pada masa pilkada untuk memilih kepala dan wakil
kepala daerah di wilayah kabupaten Halmahera Timur (Haltim) tahun 2010. Penelitian
ini menggunakan metodologi observasi, wawancara langsung dan pengisian kuesioner.
Berdasakan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa tingkat

kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada menunjukan perbedaan yang
didasarkan pada pemahaman dan pengalaman belajar konsep berpolitik di tingkat
persekolahan. Sedangkan 60 persen siswa senang terdaftar sebagai pemilih pemula
dalam pilkada. Sebagai pemilih pemula, siswa dihadapkan pada persoalan psikologis
yaitu menempatkan jati diri dan pemahaman tentang belajar berpolitik yang banyak
dipengaruhi oleh pergaulan antar rekan sejawat dan lingkup persekolahan. Selain itu,
jika dipetakan dari tingkat kesadaran tidak terlepas dari pengalaman yang masih baru
dan awam sebagai pemilih pemula, sehingga peran guru dan lingkungan persekolahan
dapat dijadikan laboratorium demokrasi yang komprehensif. Hal ini menunjukan
bahwa kesadaran ikut aktif berpolitik telah menjadi kekuatan individu siswa dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Faktor-faktor yang menonjol dari tingkat
kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada dapat ditemukan dalam
daya kritis siswa seputar pemahaman makna berpolitik di diskusi kelas.
Kata kunci: kesadaran politik, pemilih pemula, pilkada, Halmahera Timur.



Dosen pada Program Studi PGSD Universitas Halmahera.

Page | 26


Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pada
umumnya
diterima
pendapat bahwa pendidikan dalam arti
luas bertujuan untuk mensosialisasikan
siswa ke dalam nilai, norma-norma dan
kebiasaan-kebiasaan
dasar
dari
masyarakatnya. Pendidikan sebagai
suatu
proses
dalam
berbagai

kesempatan, jauh lebih luas daripada
hasil lembaga persekolahan, mencakup
interaksi kemasyarakatan di masyarakat
itu sendiri.
Berkenaan dengan pendidikan
politik bagi siswa sebagai bagian
masyarakat pemilih pemula dalam
pilkada diharapkan dapat dijadikan
proses pembelajaran untuk memahami
kehidupan bernegara. Sebagaimana
diketahui bahwa pilkada merupakan
proses pergantian kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang secara sah
diakui hukum, serta momentum bagi
rakyat
untuk
secara
langsung
menentukan pasangan kepala daerah
dan wakil kepala daerah sesuai dengan

aspirasi/keinginan rakyat.
Dalam jalur pendidikan formal
sebagaimana kita ketahui dan alami
penanaman kesadaran politik dilakukan
baik melalui kegiatan-kegiatan intra
maupun ekstra kurikuler, sedangkan
dalam jalur non formal dan informal
proses tersebut berjalan melalui
komunikasi sosial secara timbal-balik,
di lingkungan keluarga, organisasiorganisasi kemasyarakatan serta forumforum kemasyarakatan lainnya

Kekeliruan pandangan umum
tentang politik terhadap siswa dapat
dipahami,
terutama
di
negara
berkembang seperti Indonesia. Bagi
siswa kekaburan tentang pandangan
politikmenjadi

besar
karena
pengalaman-pengalaman di masa lalu
dan praktek di kehidupan politik yang
lebih menampilkan aspek negatif
sehingga menumbuhkan citra yang
negatif pula. Misalnya masih adanya
fenomena politik uang (money politic)
atau politik praktis yang memaksakan
kehendak untuk kepentingan sesaatbagi
golongan politik tertentu. Hal ini berarti
aspek-aspek praktis dari sistem politik
yang berlaku lebih berpengaruh dalam
pembentukan persepsi kesadaran siswa
tentang budaya politik yang kurang
benar.
Pada saat ini rata-rata usia siswa
SLTA berkisar 16-18 tahun, adapun
kegiatan pilkada di beberapa daerah
mencakup pilkada untuk kepala daerah

tingkat kabupaten (bupati/walikota),
hingga gubernur. Dapat penulis
bayangkan berapa kali siswa yang
semula sebagai pemilih pemula akan
mengikuti
perhelatan
politik
di
daerahnya berkenaan dengan pilkada.
Jika dianalisis, maka seringnya
siswa terlibat dalam kegiatan berpolitik
akan
muncul
beberapa
kondisi
psikologis, diantaranya (1) kejenuhan
akibat kegiatan pilkada yang monoton
dan siswa sekedar dianggap sebagai
anak bawang yang belum tentu
aspirasi suaranya dapat didengar oleh

Page | 27

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

pemenang pilkada atau penguasa/pemda
setempat.
(2)
pembelajaran berpolitik hanya sesaat,
sehingga setelah perhelatan pilkada
selesai maka selesailah tugas mereka
sebagai anggota masyarakat dalam
berdemokrasi. Padahal pemahaman dan
etika berdemokrasi sangat diperlukan
sepanjang mereka sebagai warga negara
dan generasi penerus bangsa untuk
memajukan budaya politik yang terpuji.
Disinilah kita melihat betapa
perlunya mensosialisasikan kesadaran
politik bagi siswa dalam nilai-nilai,

norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan
dasar dalam kehidupan kemasyarakatan,
dimana kehidupan politik merupakan
salah satu seginya. Dan karena tujuan
yang demikian itu adalah juga
merupakan tujuan dari pendidikan, baik
formal maupun informal.
Kesenjangan
pendidikan
semakin melebar tatkala, orientasi
pandidikan itu sendiri masih berfokus
pada aspek kognitif, dan siswa lebih
banyak diperlakukan sebagai objek
pelengkap dalam proses pembelajaran.
apa yang mereka pelajari di kelas
kadang tidak sesuai dengan kehidupan
yang mereka jalani sebagai anggota
masyarakat,padahal mereka adalah
anggota masyarakat yang diharapkan
dapat memberikan kontribusi posotif

bagi ligkungannya. (Umberto, 2002: 42)
Memahami kesadaran politik
siswa sebagai pemilh pemula dalam
pilkada
perlu
kiranya
diaktualisasimelalui pembelajaran yang
melibatkan langsung diri siswa terhadap

fenomena sosial yang terjadi di
lingkungan anggota dan aktivitas
keluarga
(masyarakat)
dengan
pendekatan school-based democracy
educaton. Program ini pada intinya
mendekatkan materi pembelajaran
dengan objek sesungguhnya atau
pengkajian fenomena sosial secara
langsung (Polma, 1987 : 62). Dengan

demikian siswa akan terlibat langsung
dengan aktivitas masyarakat dan dirinya
sebagai obyek sekaligus subyek dalam
berdemokrasi.
Dengan memperhatikan latar
belakang tersebut, penulis terdorong
untuk mengkaji lebih dalam dan
memfokuskan pada bagaimana peran
sekolah terhadap fenomena siswa dalam
berdemokrasi, sebagai aset bangsa yang
memiliki visi dan misi budaya politik
yang terpiji. Adapun alasan sekolah
sebagai
tempat
yang
dapat
mengembangkan
pembelajaran
demokrasi, dikarenakan pada umumnya
lingkungan sekolah telah memiliki

unsur-unsur dasar demokrasi yang dapat
dikaji dan dipelajari dengan karakter
individu yang beragam. Selain itu
masyarakat sekolah dapat mewakili
sebagai miniatur kegiatan sosial, politik
dan
budaya
yang
utuh
bagi
pembelajaran
siswa
dalam
berdemokrasi.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka perumusan masalah
penelitian ini ditekankan pada sejauh
mana tingkat aktualisasi kesadaran
politik siswa sebagai pemilih pemula
Page | 28

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

terhadap pilkada dengan program
school-based Democracy Education.
Aspek kesadaran politik siswa dan
proses pembelajaran dikembangkan
dengan
memperhatikan
beberapa
indikator sebagai berikut.
1. Partisipasi
siswa
dalam
keterlibatannya secara langsung
dalam berpolitik sebagai bagian dari
tuntutan sistem demokrasi
2. Siswa
mengerti,
meresapi,
mendalami, dan menghayati nilainilai hidup kemasyarakatan dan
kenegaraan serta sistem organisasi
politik yang berlaku.
3. Sistem sosial siswa sebagai remaja
yang menggambarkan nilai-nilai dan
norma-norma dari kelompok sebaya
(peer group).
4. Implementasi dari praktek hidup
kenegaraan yang sesuai dan tidak
menyimpang dari nlai-nilai ideal
yang
siswa
terima
melalui
pendidikan politik maupun proses
sosialisasi dalam interaksi sosial.
5. Pemahaman
yang
memadai
mengenai pendidikan berpolitik
melalui program School-Based
Democracy Education.

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahn di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui tingkat kesadaran
siswa sebagai pemilih pemula
dalam pilkada
2. Memahami
karakteristik
pendidikan dan budaya politik

siswa sebagai pemilih pemula
dalam pilkada
3. Mengaktualisasi
pola
berdemokrasi di sekoah dan
kehidupan sehari-hari siswa
dalam lingkup persekolahan dan
masyarakat.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat untuk
pengembangan keilmuan dan perbaikan
pembelajaran demokrasi, terutama
dalam memasyarakatkan budaya politik
di kalangan siswa sebagai aset generasi
masa depan bangsa.
1. Bagi siswa: memahami konsepkonsep dasar demokrasi dan
memberikan pembelajaran yang
konkrit
yaitu
pengalamanpengalaman nyata, sehingga
siswa mampu sebagai obyek
juga
subyek
dalam
mengaktualisasikan
budaya
berpolitik yang terpuji

2. Bagi guru: diharapkan guru
dapat
mengoptimalkan
pembelajaran demokrasi sesuai
dengan tujuan kompetensi yang
diinginkan
dan
dapat
memecahkan berbagai masalah
materi pembelajaran demokrasi
yang sulit dikembangkan dengan
langsung melibatkan sumber
materi di lapangan serta
melakukan perbaikan-perbaikan
pembelajaran.
Page | 29

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini
akan memberikan sumbangan
yang
baik
terhadap
sekolahdalam rangka perbaikan
pembelajaran
berbasis
democracy education.
4. Bagi dinas terkait: sebagai bahan
pertimbangan
dalam
pengambilan keputusan untuk
pengembangan
pendidikan
demokrasi bagi generasi muda
untuk kegiatan pilkada

Kajian Teori
A. Pendidikan
dan
Kesadaran
Politik bagi Siswa
Dalam
pengertian
umum,
pendidikan
politik
adalah
cara
bagaimana suatu bangsa mentransfer
budaya politiknya dari generasi satu ke
generasi kemudian (Panggabean,1994 :
36 ). Sedangkan budaya politik adalah
keseluruhan nilai, keyakinan empirik,
dan
lambang
ekspresif
yang
menentukan terciptanya situasi di
tempat kegiatan politik terselenggara.
Pendidikan
politik
sebagai
proses penyampaian budaya politik
bangsa, mencakup cita-cita politik
maupun norma-norma operasional dari
sistem
organisasi
politik
yang
berdasarkan
nilai-nilai
Pancasila.
Pendidikan politik perlu ditingkatkan
sebagai kesadaran dalam berpolitik akan
hak dan kewajiban sebagai warga
negara, sehingga siswa diharapkan ikut

serta secara aktif dalam kehidupan
kenegaraan dan pembangunan.
Pendidikan
politik
mengupayakan
penghayatan
atau
pemilikan siswa terhadap nilai-nilai
yang meningkat dan akan terwujud
dalam sikap dan tingkah laku seharihari dalam hidup kemasyarakatan
termasuk hidup kenegaraan serta
berpartisipasi
dalam
usaha-usaha
pembangunan sesuai dengan fungsi
masing-masing. Dengan kata lain
pendidikan politik menginginkan agar
siswa berkembang menjadi warga
negara yang baik, yang menghayati
nilai-nilai dasar yang luhur dari
bangsanya dan sadar akan hak-hak dan
kewajibannya di dalam kerangka nilainilai tersebut.
Pendidikan dalam sistem yang
demokratis menempatkan posisi yang
sangat sentral.secara ideal pendidikan
dimaksudkan untuk mendidik warga
negara tentang kebajikan dan tanggung
jawab sebagai anggota civil society.
Pendidikan
dalam
arti
tersebut
merupakan suatu proses yang panjang
sepanjang usia seseorang untuk
mengembangkan diri. Proses tersebut
bukan hanya yang dilakukan dalam
lingkungan pendidikan formalseperti
sekolah tapi juga meliputi pendidikan
dalam arti yang sangat luas melibatkan
keluaga dan juga lingkungan sosial.
Lembaga-lembaga pendidikan harus
mencerminkan proses untuk mendidik
warga negara ke arah suatu masyarakat
sipil yang kondusif bagi berlangsungnya
demokrasi dan sebaliknya harus
dihindarkan sejauh mungkin dari unsurPage | 30

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

unsur yang memungkinkan tumbuhnya
hambatan-hambatan demokrasi (Riza
Noer
Arfani,1996:
64).
Namun
demikian di samping dibicarakan
masalah kesadaran berpolitik, maka
perlu pemahaman pula apa yang
dimaksud dengan pengertian budaya
politik, menurut Meriam Budiarjo
konsep budaya politik ini berdasarkan
keyakinan, bahwa setiap politik itu
didukung oleh suatu kumpulan kaidah,
perasaan dan orientasi terhadap tingkah
laku politik (Meriam Budiardjo
1982:17).

B. Kebudayaan
Remaja/Siswa
sebagai Pemilih Pemula dalam
Pilkada
Siswa atau remaja pada umumnya
memiliki suatu sistem sosial yang
seolah-olah menggambarkan bahwa
mereka
mempunyai
dunia
sendiri .dalam sistem remaja ini
terdapat kebudayaan yang antara lain
mempunyai nilai-nilai, norma-norma.
sikap serta bahasa tersendiri yang
berbeda dari orang dewasa. Dengan
demikian remaja pada umumnya
mempunyai persamaan dalam pola
tingkah laku, sikap dan nilai, dimana
pola tingkah laku kolektif ini dapat
berbeda dalam beberapa hal dengan
orang dewasa (Prijono, 1987: 52).
Nilai kebudayaan remaja antara lain
adalah santai, bebas dan cenderung pada
hal-hal yang informal dan mencari
kesenangan, oleh karena itu semua hal
yang kurang menyenangkan dihindari.
Di samping mencari kesenangan,

kelompok sebaya atau peer group
adalah penting dalam kehidupan
seorang remaja, sehingga bagi seorang
remaja perlu mempunyai kelompok
teman sendiri dalam pergaulan.
Masa pubertas merupakan tahap
permulaan perkembangan perasaan
sosial. Pada masa ini timbul keinginan
remaja untuk mempunyai teman akrab
dan sikap bersatu dengan temantemannya, sedangkan terhadap orang
dewasa mereka mejauhkan diri. peer
culture ini berpengaruh sekali selama
masa remaja sehingga nilai-nilai
kelompok
sebaya
mempengaruhi
kelakuan mereka. Seorang remaja
membutuhkan dukungan dan konsensus
dari kelompok sebayanya. Dalam hal ini
setiap penyimpangan nilai dan norma
kelompok akan mendapat celaan dari
kelompoknya, karena hubungan antara
remaja dan kelompoknya bersifat
solider dan setia kawan. Pada umumnya
para remaja atas kelompok-kelompok
yang lebi kecil berdasarkan persamaan
dalam minat, kesenangan atau faktor
lain.
Berkenaan dengan kapasitas kebudayan
remaja/siswa tersebut, setidaknya dapat
dijadikan
gambaran
pentingupaya
melihat peta demokrasi dan kesadaran
politik kalangan remaja di lingkungan
persekolahan sebagai bagian pemilih
pemula dalam pilkada. Menurut
Bambang, ada tiga tingkat materi yang
perlu ditanamkan dalam kurikulum
pendidikan. Ketiga materi tersebut
adalah penanaman hakekat pemilu yang
benar sehingga memunculkan motif
yang kuat bagi pemilih pemula untuk
Page | 31

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

mengikuti
pemilu,
pemahaman
mengenai
sistem
pemilu,
dan
pemahaman tentang posisi tawar politik.
(seminar Menggagas Partisipasi Aktif
Guru Dalam Peta Politik Indonesia di
Bandung 5 Ferbuari 2004).
Pemahaman perilaku politik
(Political Behavior) yaitu perilaku
politik dapat dinyatakan sebagai
keseluruhan tingkah laku aktor
politik dan warga negara yang telah
saling memiliki hubungan antara
pemerintah dan masyarakat antara
lembaga-lembaga pemerintah, dan
antara kelompok masyarakat dalam
rangka
proses
pembuatan,
pelaksanan
dan
penegakan
keputusan
politik.
Sedangkan
menurut Almond dan Verba yang
dimaksud budaya politik (Political
Culture) merupakan suatu sikap
orientasi yang khas warga negara
terhadap sistem politik dan aneka
ragam, serta sikap terhadap peranan
warga negara yang ada di dalam
sistem itu. Warga negara senantiasa
mengidentifikasi diri mereka dengan
simbol-simbol
dan
lembaga
kenegaraan berdasarkan orientasi
yang mereka miliki (Budiyanto,
2004: 103).

C. Pendidikan
Demokrasi
Lingkup Sekolah

di

Pendidikan Demokrasi adalah esensinya
pendidikan kewarganegaraan (PKn).
PKn itu sendiri bagian dari Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS). PIPS

memiliki tiga tradisi seperti dikatakan
oleh Barr, Barth dan Shermis (1937)
dalam Soemantri (2001:81) The Three
Social Studies Traditions yaitu: (a)
Social
Studies
as
Citizenship
Transmissions (Civic Education), (b)
Social Studies as Social Science, (c)
Social Studies as Reflective Inquiry .
Kaitan dengan tradisi pertama yaitu
social
studies
as
citizenship
transmission . menunjukan bahwa PIPS
sebagai Citizenship Education atau
Civic Education atau pendidikan
kewarganegaraan
(PKn).
Kewarganegaraan sebagai wahana
utama dan esensi dari pendidikan
demokrasi (CICED, 1999). Dengan kata
lain bahwa pendidikan demokrasi
sebagai
muatannya,
pendidikan
kewarganegaraan
sebagai
kendaraannya, sedangkan PIPS sebagai
jembatan pendidikan ilmu-ilmu sosial
yang bertujuan pendidikan. Kaitannya
dengan tradisi kedua social studies as
social science atau PIPS sebagai ilmuilmu sosial. Secara logika pendidikan
demokrasi itu sendiri merupakan
turunan dari ilmu politik yang bertujuan
pendidikan yang ditopang oleh ilmuilmu sosial secara interdisipliner,
walaupun terjadi tarik-menarik antara
PIPS perlu diajarkan secara terpadu dan
secara terpisah. Akhirnya terpisah.
Kaitan dengan tradisi ketiga social
studies as reflective inquiry bahwa
social studies cenderung unutk melatih
keterampilan reflective thinking (Barr
dkk, 1977:37). Diperkuat oleh Shirley
Engle pada tahun 1960 menerbitkan
sebuah buku yang berjudul Decision
Making: The Heart Of Social Studies
Page | 32

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

Instruction .
Secara
tegas
dan
merefleksikan gagasan John Dewey
tentang pendidikan berpikir kritis.
Dengan
kata
lain
pembelajaran
demokrasi di lingkup sekolah dapat:
meningkatkan
kemampan
siswa
menganalisis isu-isu demokrasi yang
muncul di masyarakat menambah
kemampuan
nalar
siswa
dalam
pengetahuan kemasyarakatan (sicioscientific reasoning), mengembangkan
keterampilan berpikir (higher-order
thinking skill), termasuk memecahkan
masalah,
mengambil
keputusan,

membuatmenganalisis
dan
kritis,
mengembangkan kesadaran peran siswa
dalam proses dari perubahan demokrasi,
membantu
siswa
mengakui
kompleksnya dari membuat keputusan
masalah
demokrasi,
menyediakan
kesempatan siswa untuk menguji
kemungkinan dampak demokrasi bagi
kehidupan dan perubahan masyarakat.
Dengan rujukan berbagi penjelasan
tentang pendidikan demokrasi dan
dampaknya pada perubahan sikap
siswa, dapat dijabarkan dalam alur
berikut

Page | 33

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

D. School-Based
Democracy
Education Model
Pendidikan demokrasi yang baik
adalah bagian dari pendidikan yang baik
secara umum.berkenaan dengan hal
tersebut disarankan Gandal dan Finn
(Saripudin,2001) perlu dikembangkan
model sekolah berbasis pendidikan
demokrasi. Terdapat 4 (empat) alternatif
bentuk dari model ini
1. Perhatian yang cermat diberikan
pada landasan dan bentukbentuk demokrasi
2. Adanya kurikulum yang dapat
menfasilitasi
siswa
untuk
mengeksplorasi bagaimana ide
demokrasi telah diterjemahkan
dalam
bentuk-bentuk
kelembagaan dan praktik di
berbagai belahan bumi dalam
berbagai kurun waktu. Dengan
demikian
siswa
akan
mengetahui dan memahami
kekuatan
dan
kelemahan
demokrasi dalamm berbagai
konteks ruang dan waktu.
3. Adanya
kurikulum
yang
memungkinkan siswa dapat
mengeksplorasi
sejarah
demokrasi di negaranya unutk
dapat
menjawab
persoalan
apakah kekuatan dan kelemahan
demokrasi yang diterapkan di
negaranya dalam berbagai kurun
waktu.
4. Tersedianya kesempatan bagi
siswa untuk memahami kondisi
demokrasi yang diterapkan di
negara-negara di dunia, sehingga
para siswa memiliki wawasan

yang luas tentang aneka ragam
sistem sosial demokrasi dalam
berbagai konteks.
Selain dari uraian tersebut di atas agar
dapat diupayakan dalam bentuk
kegiatan
ekstra
kulikuler
yang
bernuansa
demokrasi
serta
membudayakan budaya demokratis dan
menjadikan sekolah sebagai budaya
lingkungan yang demokratis serta
perlunya keterlibatan/penglibatan siswa
dalam kegiatan masyarakat. Sanusi
(Saripudin.U.,2001:56
)
juga
mengemukakan perlu dikembangkannya
pendidikan demokrasi yang bersifat
multidimensional yang memungkinkan
para siswa dapat mengembangkan dan
menggunakan
seluruh
potensinya
sebagai individu dan warga negara
dalam masyarakat bangsa-bangsa yang
demokratis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa
salah
satu
materi
pendidikan
kewarganegaraan dalam paradigma
barunya
yaitu
mengembangkan
pendidikan demokrasi mengemban tiga
fungsi pokok, yakni mengembangkan
kecerdasan
warganegara
(Civic
intellingence),
membina
tanggung
jawab warganegara (Civic Responbility)
dan mendorong partisipasi warganegara
(Civic Participation). Keccerdasan
warganegara yang dikembangkan untuk
membentuk waganegara yang baik
bukan hanya dalam dimensi rasional
melainkan juga dalam dimensi spiritual,
emosional
dan
sosial
sehingga
paradigma
baru
pendidikan
kewarganegaraan
bercirikan
multidimensional.
Page | 34

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

E. Tata Aturan Pilkada
Pilkada, meskipun di dalam
undang-undang 32 tahun 2004 yang
terdapat dalam pasal 56-119 tidak
memberikan definisi yang tegas tentang
pilkada, tetapi menurut hemat penulis
definisi pilkada dapat kita definisikan,
bahwa pilkada adalah singkatan dari
pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah (Gubernur dan wakilnya
di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota
dan wakilnya di tingkat kab/kota),
pilkada dapat juga diartikan sebagai
proses pergantian kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang secara sah
diakui hukum, serta momentum bagi
rakyat
untuk
secara
langsung
menentukan pasangan kepala daerah
dan wakil kepala daerah sesuai dengna
aspirasi/keinginan rakyat. Dalam hal ini
pilkada, meskipun salah satu produk
negara yang berlandaskan hukum
(Recht Staat) bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtstaat) namun
bukan berarti pilkada merupakan
parameter yang mutlak dalam rangka
memberikan suatu penilaian apakah
momentum
pilkada
benar-benar
demokratis,
disisi
lain
pilkada
merupakan
demokrasi
yang
proseduraldan belum menyentuh asas
demokrasi yang substansial yakni
lahirnya kualitas kepemimpinan yang
bersih, jujur, dan lain sebagainya.
Keterlibatan masyarakat dalam
momentum pilkada langsung menjadi
landasan
dasar
bagi
bangunan
demokrasi. Bengunan demokrasi tidak
akan
kokoh
manakala
kualitas
partisipasi
masyarakat
diabaikan.

Karena itu, proses demokratisasi yang
sejatinya menegakan kedaulatan rakyat
menjadi semu dan hanya menjadi
anjang rekayasa bagi mesin-mesin
politik tertentu. Format demokrasi pada
aras lokal (Pilkada) meniscayakan
adanya kadar dan derajat kualitas
partisipasi masyarakat yang baik.
Apabila demokrasi yang totalitas
bermetamorfosis menjadi konkrit dan
nyata, atau semakin besar dan baik
kualitas partisipasi masyarakat, maka
kelangsungan demokrasi akan semakin
baik pula. Demikian juga sebaliknya,
semakin kecil dan rendahnya kualitas
partisipasi masyarakat maka semakin
rendah kadar kualitas demokrasi
tersebut.
Pentingnya
pandidikan
demokrasi
memungkinkan setiap warga negara
dapat belajar demokrasi melalui praktek
kehidupan yang demokratis, dan untuk
membangun tatanan dan praksis
kehidupan demokrasi yang lebih baik di
masa mendatang (Saripudin,2001).
Dalam sejarah perkembangan
peraturan
perundang-undangan
pemerintah daerah sejak tahun 1945
mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan dimaksudkan untuk
mencari
bentuk
yang
dapat
mecerminkan aspirasi dan hingga sejak
reformasi lahirlah UUNo. 22 Tahun
1999 tentang pemerintahan daerah dan
tidak lama kemudiandisempurnakan
lagi oleh UU No. 3 tahun 2004. Dari
dua perubahan terakhir mengalami
perubahan yang cukup mendasar
dibandingkan
dengan
peraturan
perundangan pemerintahan yang pernah
Page | 35

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

terjadi, jika belum sesuai dengan
aspirasi masyarakat, maka yang perlu
dipertanyakan
kemudian
mungkin
sistem perundang-undangan ataukah
memang
mungkin
dari
tingkat
kesadaran masyarakat sebagian belum
memahaminya. Berikut disebutkan
Kepala Daerh dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004 yang kemudian diatur pendukung
peraturan
perundangan
lainseperti
peraturan pemerintah No. 6 Tahun 2005
& Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun
2005, tentang pemilihan, pengesahan
pengangkatan,
dan
pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Metodologi Penelitian
A. Definisi Konsepsional
Definisi
konsepsional
merupakan
pembatasan pengertian tentang hal-hal
yang
perlu
diamati.
Sedangkan
pengertian konsep itu sendiri adalah
suatu pemikiran umum mengenai suatu
masalah
atau
persoalan
(Koentjaraningrat,
1980).
Dari
pengertian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa konsep merupakan
pembatasan terhadap variabel-veriabel
penelitian untuk menentukan indikatorindikator yang akan diteliti. Dengan
demikian definisi konsepsional pada
Tingkat Kesadaran Politik Pemilih
Pemula dalam Pilkada adalah suatu
sikap
yang
ditentukan
adanya

kepedulian terhadap budaya berpolitik
yang baik dengan mengikutsertakan
secara
aktif
dalam
memaknai
pembelajaran
berpolitik
dan
memanfaatkannya
dengan
sikap
pengendalian
diri
melalui
pengembangan
pengalaman
yang
didapatkannya
untuk
bekal
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara.
B. Definisi Operasional
Menurut Koentjaraningrat (1980 76),
definisi operasional adalah unsur
penelitian yang memberikan pengertian
tentang cara mengubah konsep-konsep
yang berupa konstruk dengan kata-kata
yang menggambarkan perilaku gejala
yang dapat diamati dan dapat diuji serta
ditentukan kebenarannya oleh orang
lain.
Dengan demikian variabel dalam
penelitian ini mencakup kesadaran
politik dan pemaham siswa sebagai
pemilih
pemula
dalam
pilkada.
Sedangkan instrumen dikembangkan
berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku yang saling
peduli, yaitu: suatu nilai dari
perbuatan yang timbal balik
untuk
dapat
memperhatikan/menghiraukan
sesuatu/lingkungan.
2. Partisipasi aktif, yaitu: perihal
turut berperan serta di suatu
kegiatan secara giat/berusaha.
3. Kebermanfaatan yang diperolah
yaitu: sesuatu hal/keadaan yang
berguna untuk dicapai.
Page | 36

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

4. Akses dan kontrol sosial, yaitu:
pencapaian
pengendalian
berkenaan dengan masyarakat.
5. Dampak yang didapat dari
pengalaman, yaitu: pengaruh
kuat yang mendatangkan akibat
negatif
atau
positif
dari
pengalaman
yang
telah
didapatkannya.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa SLTA di daerah penelitian Wasile
dan Maba Kabupaten Halmahera Timur
Provinsi
Maluku
Utara
dengan
mengambil sampel daerah Wasile 3
sekolah. Pengambilan sampel dilakukan
melalui rancangan sampling menurut
kategori sampel acak sederhana. Jumlah

siswa yang terkait dengan penelitian
sebanyak 75 siswa, dimana mereka
telah mengikuti kegiatan pilkada pada
masa pemilihan/pencoblosan sebagai
pemilih pemula dalam pilkada di
daerahnya masing-masing.untuk guru
sebagai sampel sebanyak 27 orang dari
2 daerah ujicoba. Data kuesioner dari
siswa yang daat diidentifikasi dengan
baik sebanyak 48 responden. Sedangkan
alasan pengambilan daerah penelitian
yaitu wilayah Wasile dan Maba
Kabupaten Halmahera Timur Prov
Maluku Utara dikarenakan daerah
tersebut
telah
menyelenggarakan
pilkada dengan karakteristik sebagai
daerah kompleksitas pemilih pemula
yang potensial. Siswa dari sekolah yang
terlibat dalam penelitian ini antara lain:

Page | 37

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

D. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data sebagai bahan
dalam penelitian ini, akan dipergunakan
beberapa teknik pengumpulan data,
antara lain:
a. Library research, yaitu satu
penelitian
dengan
cara
mempelajari
dan
mengumpulkan
berbagai
bahan bacaan atau literatur,
dokumen serta media masa
yang
ada
hubungannya
dengan penulisan penelitian.
b. Field Work Research, yaitu
mengumpulkan data dari
penelitian yang dilakukan
secara langsung di lapangan.
Untuk
mempermudah
penelitian di lapangan, perlu
ditentukan
teknik
pengumpulan data agar yang
dihimpun dapat efektif dan
efisien.
Teknik
yang
dilakukan
menggunakan
metode sebagai berikut:
1. Interview

pilihan
jawaban
disediakan.

yang

telah

2. Observasi
Menurut Winarno Surakhmat
(1990) observasi adalah teknik
pengumpulan
data
dimana
peneliti
mengadakan
pengamatan terhadap gejala
yang diteliti yang dilaksanakan
dalam situasi yang khusus.
Observasi dalam penelitian ini
adalah peneliti dengan seksama
mengamati langsung terhadap
obyek dan sasaran penelitian
yaitu aktualisasi kesadaran siswa
sebagai pemilih pemula dalam
pembelajaran politik di kegiatan
pilkada.
3. Menurut Suharsimi Arikunto
(1993) dokumentasi adalah
mencari data mengenai sesuatu
hal atau variabel yang berasal
dari
pihak
lain
berupa
catatan,buku, surat kabar.
E. Metode Analisis Data

Menurut Hadi (1990) berpendapat
bahwa: interview adalah metode
pengumpulan data dengan cara
tanya jawab secara sepihak, yang
dikerjakan dengan sistematis, logis,
metodologis dan berlandaskan pada
tujuan penelitian. Adapun bentuk
wawancara yang dipergunakan
dalam penelitian berpedoman pada
kuesioner yang berstruktur atau
tertutup yang memuat pertanyaan
secara cermat dan terperinci dengan

Teknik analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian adalah
dengan menghitung standar deviasi.
Sedangkan untuk menggambarkan
variabelitas tingkat kesadaran politik
siswa sebagai pemilih pemula dalam
pilkada dipergunakan rumus sebagai
berikut:
1. Untuk
mencari
tingkat
kesadaran politik digolongkan:

Page | 38

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus
2013

a. Kesadaran politk yang
sangat baik (u+0.5.T)
b. Kesadaran politik baik
antara (u+0,25.T) dan
(u+0,5.T)
c. Kesadaran politik cukup
antara (u+0,5.T) dan
(u+0,25.T)
d. Kesadaran politik kurang
baik antara (u+0,5.T) dan
(u-0,25.T)
e. Kesadaran politik sangat
kurang baik