Peran Media Massa dalam Demokrasi Menuru
PAPER
Peran Media Massa dalam Demokrasi Menurut Pandangan
Teori Sistem Autopoiesis Niklas Luhmann
NAMA : PUTRI WEDASARI
NIM : 13/359887/psp/4993
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sampai hari ini, demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang paling sempurna, jika
dibandingkan sistem politik yang lain, monarki dan otoriatan. Salah satu alasannya adalah,
bahwa hanya dengan demokrasilah resiko atas munculnya diktator-diktator yang membawa
kerusakan bisa dibendung (Suseno, 2006). Karena itu, dunia ini begitu diriuhkan dengan
perjuangan untuk mengambil alih hak politik dari rezim yang sentralistik menuju politik yang
desentralistik dan setara. Maka, serentetan perjuangan dan konflik yang berdarah-darah telah
terjadi demi perjuangan terhadap demokrasi. Kenapa demokrasi layak diperjuangkan? Sebab visi
utama demokrasi adalah pengakuan penuh kedaulatan rakyat atas negara, bukan kedaulatan yang
terpusat pada sekelompok rezim penguasa. Seperti yang diungkapkan oleh Warrant (dalam
Syahputra, 2013: 3), bahwa demokrasi adalah sebentuk pemerintahan oleh rakyat, dan dijalankan
untuk kepentingan rakyat. Di satu sisi, demokrasi memang menjanjikan harapan. Berbagai janji
seperti pengukuhan partisipasi warga negara atas suksesi kekuasaan dan pengambilan kebijakan,
termasuk perlindungan HAM, plurasime, serta kebebasan pers. Janji-janji itulah yang seolah
menjadi kunci-kunci yang menutup rapat keraguan kita atas niscayanya demokrasi. Akan tetapi
di sisi yang lain, demokrasi juga menyimpan sejumlah anomali. Adapun itu, artikulasi wacana
yang hangat diperbincangkan dan sepertinya belum akan selesai dalam tempo dekat, adalah
wacana tentang “gagalnya demokrasi dalam menyediakan kesejahteraan yang merata”. Contoh
paling dekat ada di negeri ini. Lima belas tahun setelah “prestasi” gemilang demokrasi
Indonesia, paling tidak sejak Reformasi 1998 dan pemilu presiden langsung tahun 2004, hingga
hari ini demokrasi Indonesia masih berjalan tertatih dan limbung. Persoalannya, demokrasi yang
sudah diperjuangkan itu, belumlah cukup terasa faedahnya bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan
persoalan riuh seperti korupsi, kebijakan yang tidak pro rakyat, dan krisis akibat liberalisme
ekonomi boleh dianggap sebagai luka atas demokrasi. Ironisnya, keadaan ini justru terjadi di
tengah upaya penguatan atas elemen-elemen dalam sistem negara demokrasi tengah digiatkan.
Berbagai aturan dan kebijakan kemudian dibuat untuk menguatkan fungsi, peran dan koordinasi
antar lembaga negara (eksekutif, legeslatif, dan yudikatif). Termasuk, tidak kalah pentingnya
yakni penguatan fungsi media massa (pers) melalui berbagai kebijakan, untuk menopang
kekuatan pers sebagai pilar demokrasi dalam tugasnya menjalankan kontrol sosial dan
kekuasaan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Setiap bidang ilmu mempunyai penganutnya, demikian pula dengan teori sistem. Teori sistem
mempunyai sejarah yang bervariasi dalam sosiologi. Teoritisi penganut sistem ini adalah Walter
Buckley dan Niklas Luhmann. Keduanya mempunyai sumbangan yang besar terhadap
perkembangan teori sistem sehingga teori ini dikenal luas dalam ilmu pengetahuan, khususnya
sosiologi.
Penjelasan tentang teori sistem yang terdapat dalam buku berjudul Teori Sosiologi Modern
(Ritzer dan Goldman, 2008) ini dimulai dengan beberapa pemikiran awal Walter Buckley tentang
sifat dari teori sistem. Menurut Buckley, sifat-sifat umum dari teori sistem antara lain :
1. Bersifat aplikatif karena diturunkan dari ilmu pasti (hard sciences), sehingga dapat diaplikasikan
ke semua ilmu sosial dan behavioral.
2. Teori sistem mengandung banyak tingkatan
3. Teori sistem tertarik pada keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial dan karenanya
beoperasi terhadap berbagai analisis dunia sosial.
4. Pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural dari segi
proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi.
5. Teori sistem secara inheren bersifat integratif.
Ada berbagai manfaat yang diambil dari teori sistem sosiologis Buckley, termasuk kosakata
umum antar berbagai ilmu alam dan ilmu sosial, kemampuannya untuk diaplikasikan
(applicability) pada level mikro maupun makro analisis dunia sosial secara keseluruhan, fokus
pada proses, perspektif integratif, dan orientasi dinamis. Lebih lanjut, variasi dari prinsip-prinsip
teori sistem didiskusikan, termasuk sejauh mana sistem itu terbuka atau tertutup, cenderung surut
(entropy), cenderung mengelaborasi struktur (negentropy), dicirikan oleh umpan balik (feedback), dan ciri-ciri proses yang membantu sistem mempertahankan diri (morphotasis) dan
tumbuh (morphogenesis). Buckley mengaplikasikan teori sistem untuk kesadaran, interaksi, dan
domain sosiokultural.
Teoritisi sistem paling terkemuka dewasa ini adalah Niklas Luhmann. Luhmann antara lain
melihat sistem sebagai self-referencing (referensi diri), sebagai kontingen (contingent) dan selalu
kurang kompleks daripada lingkungan. Sebagai referensi diri berarti kemampuan masyarakat
untuk merujuk pada dirinya sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuah sistem.
Lebih lanjut, kunci untuk memahami apa yang disebut Luhmann dengan sistem dapat ditemukan
dalam perbedaan antara sistem dan lingkungannya. Pada dasarnya, perbedaan antara keduanya
adalah pada kompleksitas (Complexity). Suatu sistem selalu kurang kompleks ketimbang
lingkungannya. Hal yang demikian ini memunculkan kontingensi yang juga berarti resiko (risk).
Implikasi dari kontingensi ini adalah munculnya fakta bahwa segala seuatu mungkin bisa
menjadi berbeda. Meskipun sistem tidak pernah sekompleks lingkungannya, sistem
mengembangkan subsistem-subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antara subsistem
untuk menangani lingkungan secara efektif. Jika tidak, sistem akan dikuasai oleh kompleksitas
lingkungan.
Kontribusi Luhmann yang terpenting adalah pemahamannya tentang sistem sebagai autopoietic.
Konsep autopoietic ini merujuk pada diversitas atau keragaman sistem-sistem dari sel biologis
sampai ke seluruh masyarakat dunia. Luhmann menggunakan istilah ini untuk menunjuk pada
sistem-sistem seperti, antara lain ekonomi, hukum, politik, saintifik, dan birokrasi. Sistem
autopoietic memiliki empat karakteristik sebagai berikut:
1. Sebuah sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri.
2. Sistem-sistem autopoietic mengorganisasikan diri (self-organizing) dalam dua cara- mereka
mengorganisasikan batas-batasnya sendiri, dan mengorganisasikan struktur internalnya.
3. Sistem autopoietic adalah self-referential. Misalnya, sistem ekonomi menggunakan harga
sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri. demikian pula, sistem hukum mempunyai
undang-undang yang mengacu pada sistem legal.
4. Sebuah sistem autopoietic adalah sistem tertutup. Ini berarti bahwa tidak ada kaitan langsung
antara sistem dengan lingkungannya. Sebaliknya sistem berhubungan dengan representasi dari
lingkungannya. Misalnya, sistem ekonomi dianggap merespon kebutuhan material dan keinginan
orang-orang; akan tetapi, kebutuhan dan keinginan itu mempengaruhi sistem ekonomi hanya
sejauh mereka dapat dipresentasikan dalam term uang. Konsekuensinya, sistem ekonomi
merespon dengan baik pada kebutuhan dan keinginan material orang kaya, tetapi merespon
secara buruk kepada kebutuhan dan keinginan orang miskin.
Luhmann berargumen bahwa masyarakat adalah sistem autopoietic. Ia memenuhi empat
karakteristik yang dikemukakan di atas, yaitu masyarakat menghasilkan elemen-elemen dasarnya
sendiri, membangun struktur dan batas-batasnya, self-referential, dan tertutup.
Pandangan sistem sebagai autopoietic dan tertutup terhadap lingkungan inilah yang membedakan
pendekatan Luhmann dari teoritisi sistem pendahulunya. Dua sistem dipilih Luhmann untuk
analisisnya, yakni sistem sosial dan sistem psikis. Sistem sosial terkena problem kontingensi
ganda (double contingency), yakni setiap komunikasi harus mempertimbangkan bagaimana
komunikasi itu diterima, tetapi bagaimana dia diterima akan tergantung kepada estimasi
penerima terhadap si komunikator. Karena itu, Luhmann berargumen bahwa komunikasi dapat
dikatakan “mustahil”, tetapi struktur sosial telah dikembangkan untuk membuat komunikasi
menjadi hal yang mungkin. Sedangkan sistem psikis merujuk pada kesadaran individu.
Sistem sosial dan psikis mempunyai properti yang sama. Keduanya bersandar pada makna
(meaning). Makna terkait erat dengan pilihan yang dibuat sistem. Sistem seperti sistem psikis
dan sosial yang mengandalkan pada makna adalah tertutup, karena pertama, makna selalu
mengacu kepada makna yang lain; kedua, hanya makna yang dapat mengubah makna;, ketiga,
makna biasanya menghasilkan lebih banyak makna. Makna membentuk batas-batas untuk
masing-masing sistem. Sistem psikis dan sistem sosial berevolusi bersama. Masing-masing
adalah lingkungan yang diperlukan untuk masing-masing sistem. Elemen-elemen dari sistem
makna psikis adalah representasi konseptual, sedangkan elemen-elemen dari sistem sosial adalah
komunikasi. Keduanya memproduksi makna masing-masing dari proses-prosesnya sendiri.
Dalam sistem psikis, makna dikaitkan dengan kesadaran, sedangkan dalam sistem sosial makna
dikaitkan dengan komunikasi. Selanjutnya, Luhmann membahas tentang evolusi. Secara ketat,
dapat dikatakan bahwa evolusi bukan sebuah proses, tetapi seperangkat proses yang dapat
dideskripsikan sebagai pelaksanaan tiga fungsi: variasi, seleksi, dan stabilisasi karakteristik yang
dapat direproduksi. Fungsi-fungsi ini merepresentasikan mekanisme konkret yang dengannya
evolusi itu beroperasi. Variasi adalah proses trial-and-error. Jika sebuah sistem menghadapi
problem yang unik, suatu variasi solusi mungkin akan berkembang untuk menangani gangguan
lingkungan. Beberapa dari solusi ini akan berhasil, dan lainnya mungkin tidak. Seleksi atas solusi
tertentu bukan berarti bahwa yang dipilih adalah solusi “terbaik”. Ini mungkin berarti bahwa
solusi tertentu adalah yang paling mudah untuk menstabilkan, atau dengan kata lain, solusi yang
paling mudah untuk mereproduksi struktur yang stabil dan tahan lama. Dalam sistem sosial,
stabilisasi ini biasanya menyangkut jenis diferensiasi baru yang memerlukan penyesuaian dari
semua bagian sistem kepada solusi baru. Proses evolusioner akan mencapai akhir temporer
hanya ketika stabilisasi telah selesai. Hal ini dapat dilihat dari evolusi yang terjadi di masyarakat,
termasuk sistem-sistem di dalamnya.
Dari sudut pandang teori Luhmann, ciri utama dari masyarakat modern adalah meningkatnya
proses diferensiasi sistem sebagai cara menghadapi kompleksitas lingkungannya. Diferensiasi di
dalam sistem adalah cara penanganan perubahan dalam lingkungan. Proses diferensiasi ini
berarti meningkatkan kompleksitas sistem, karena setiap subsistem dapat membuat hubungan
yang berbeda-beda dengan sistem lainnya. Ia lebih banyak menghasilkan variasi di dalam sistem
untuk merespon variasi di dalam lingkungan. Lebih banyak variasi yang dihasilkan oleh
diferensiasi bukan hanya akan menghasilkan respon yang lebih baik terhadapa lingkungan, tetapi
ia juga mempercepat evolusi. Ingat bahwa evolusi adalah proses seleksi dari variasi. Semakin
banyak variasi yang tersedia, semakin baik evolusinya.
Diferensiasi ini meningkatkan kompleksitas dari sistem melalui repetisi diferensiasi
antara sistem dan lingkungan di dalam sistem. Luhmann mengidentifikasi empat bentuk
diferensiasi, yaitu :
1. Segmentasi.
Diferensiasi segmentasi ini membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan kebutuhan untuk
memenuhi fungsi-fungsi yang identik secara terus-menerus.
2. Stratifikasi.
Diferensiasi ini adalah diferensiasi vertikal berdasarkan urutan atau status dalam sistem yang
dibayangkan sebagai hierarki. Setiap urutan memenuhi fungsi yang khusus dalam sistem.
3. Pusat-pingiran (center-periphery)
Diferensiasi ini merupakan kombinasi antara segmentasi dan stratifikasi.
4. Fungsional
Diferensiasi fungsional adalah bentuk diferensiasi yang paling kompleks dan bentuk yang
mendominasi masyarakat modern.
Yang terakhir inilah bentuk diferensiasi yang paling kompleks. Ia menghasilkan fleksibilitas
yang lebih besar, tetapi jika satu sistem yang didiferensiasi secara fungsional gagal melakukan
fungsinya, sistem secara keseluruhan mungkin akan ambruk. Lebih jauh adalah mungkin bahwa
masyarakat tidak akan memiliki subsistem yang terdiferensiasi secara fungsional yang mampu
(capable) menangani problem-problem penting. Karena Luhmann membayangkan masyarakat
sebagai sistem yang serba meliputi (all-encompassing), ia dapat diamati hanya dari dalam sistem
itu. Tidak ada sistem fungsional yang memiliki perspektif yang benar sendiri, semua perspektif
adalah sah. Meski demikian, Luhmann berusaha memprioritaskan pada pengetahuan sosiologis
dengan mengatakan bahwa tugasnya adalah mempelajari observasi pertama terhadap masyarakat
(legenda, mitos, dan sebagainya). Ringkasnya, teori Luhmann tentang masyarakat modern dan
konsepnya tentang masyarakat merupakan alat analitik yang sangat maju yang membuat
sosiologi dapat memperoleh perspektif segar tentang problem di masyarakat (di dalam sosiologi)
dewasa ini. Teori umum evolusi dan diferensiasi, dan pemikiran Luhmann tentang sistem
spesifik seperti sains dan ekonomi, membuka arah dan riset baru. perbedaan dasar antara sistem
dan lingkungan membuka kemungkinan riset interdisipliner baru yang didasarkan pada asumsi
bahwa kompleksitss adalah problem besar yang menghubungkan bidang-bidang terpisah dari
ilmu manusia dan ilmu alam.
BAB III
PEMBAHASAN
Demokrasi dalam Perspektif Sistemik Luhmann
Secara konseptual dari perspektif sistemik, idealnya setiap elemen dalam sistem negara
demokrasi akan menjalankan fungsinya masing-masing demi pencapaian tujuan negara
demokrasi itu sendiri. Sistem media massa kemudian memproduksi elemen-elemen yang
menyusun dirinya sendiri, Luhmann menyebut kecenderungan sistem yang seperti ini dengan
sebutan autopoietic. Konsep autopoietic pada awalnya dirujuk oleh Luhmann dari diversitas
sistem-sistem dalam sel biologis, kemudian Luhmann memakainya untuk melihat sistem-sistem
seperti, hukum, ekonomi, birokrasi, politik, saintifik, seni, hingga media massa. Dalam tulisan
ini, penulis tertarik untuk mengetengahkan terlebih dahulu sebuah karya dari Niklas Luhmann
dalam membaca realitas media massa, karya Luhmann itu adalah, Die Realitat der
Massenmedien (1996). Dalam karyanya ini, Luhmann melihat media massa sebagai bagian dari
sistem sosial di mana masyarakat bercermin dan menyandarkan referensi dirinya.
Luhmann berpendapat bahwa sistem media massa adalah seperangkat rekursif, yakni semacam
proses pendefinisian objek dengan diri sendiri sebagai cerminan. Alih-alih dideterminasi oleh
nilai-nilai eksternal seperti kebenaran, objektivitas, dan kontrol sosial, media massa menurut
Luhmann justru menerapkan kode internal dari dalam dirinya sendiri. Media massa kemudian
menciptakan batas tentang mana yang disebut informasi dan non-informasi, mereka menyeleksi
informasi menurut kriteria yang diciptakan dari lingkungan sendiri dan mengkomunikasikan
informasi tersebut menurut kriteria refleksif mereka sendiri. Ciri inilah yang menguatkan
argumentasi bahwa media massa adalah sistem autopoietic.
Sebelum berbicara banyak tentang media massa sebagai sistem autopoietic, ada baiknya
disampaikan karakteristik sistem autopoietic menurut Niklas Luhmann. Luhmann menyebutkan
empat karakteristik dalam sistem autopoietic, seperti yang disebutkan oleh Ritzer & Goodman
(2007, 244-246). Pertama, sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen dasar yang
membentuknya sendiri (self-creation). Kedua, sistem autopoietic mengorganisasikan diri (selforganizing), mengorganisasikan batas-batas dan struktur internalnya sendiri. Ketiga, sistem
autopoietic mengacu pada dirinya sendiri dengan menetapkan nilai yang relevan bagi dirinya
(self-referential). Keempat, sistem autopoietic adalah sistem tertutup, artinya sistem tidak ada
kaitan langsung dengan lingkungannya.
Empat karakteristik inilah yang menegaskan bahwa sistem bersifat autopoietic, yakni
memproduksi elemen, mengorganisasi batas dan struktur, mengacu pada nilai yang ia ciptakan
sendiri, serta tidak terkait secara langsung dengan lingkungannya. Karakteristik ini kemudian
dibawa oleh Luhmann untuk membaca realitas media massa. Jika demikian, apa yang terjadi di
dalam media massa dengan sistemnya yang autopoietic jika dikaitkan dengan sistem demokrasi.
Sementara, dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, media massa dianggap memiliki posisi
penting dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Oleh sebab itu, tulisan ini bermaksud melihat
fenomena autopoietic media massa tersebut dalam sistem negara demokrasi.
Pertama akan mengungkapkan fenomena autopoietic media massa dalam sistem negara
demokrasi Indonesia, kemudian membenturkan aspek fungsional media massa dalam negara
demokrasi pada kenyataan sistem autopoietic.
Kode Media Massa, di mana Publik dan Demokrasi?
Luhmann memakai istilah kode (code) untuk membedakan elemen-elemen yang termasuk dalam
sistem dan yang tidak termasuk di dalamnya. Menurut Luhmann, kode dipakai untuk
menetapkan kemungkinan dan membatasi bentuk komunikasi dalam sistem, sehingga bentuk
komunikasi tersebut bisa dilihat sebagai sebuah seleksi. Luhmann membahasakannya demikian:
Code taken as an artificial duplication of possibilities with the consequence that every element
can be presented as a selection. Kode dalam hal ini, juga bisa berarti sebuah bahasa atau “ide
pokok” yang dipakai oleh sebuah sistem, sehingga sistem tersebut berbeda dengan sistem-sistem
yang lain. Dalam sistem sains misalnya, kode yang dipakai adalah kebenaran (kontra
ketidakbenaran), sistem ekonomi memakai kode pembayaran (kontra non pembayaran), dan
hukum memakai kode legal (kontra illegal). Luhmann (2000: 17) menyebut bahwa kode dalam
sistem media massa terkait dengan pemisahan apa yang disebut informasi dan non informasi,
yang memungkinkan media massa memilih informasi dan mengkomunikasikannya menurut
kriteria mereka sendiri. Kode ini yang kemudian mendasari kerja media massa di dalam
masyarakat, informasi selanjutnya menjadi “positive value” yang memberi arahan bagi media
massa sebagai sebuah sistem dalam mereduksi kompleksitas terhadap lingkungannya. Dalam
artian, sebagai sebuah sistem, media massa telah melakukan simplifikasi atas kompleksitas
lingkungan. Luhmann berpendapat bahwa sistem punya kehendak sendiri dan selalu tidak lebih
kompleks dari lingkungannya (faktor eksternal) (Ritzer & Goodman, 2007: 243). Dalam melihat
sistem, adanya lingkungan (faktor eksternal) tidaklah bisa diabaikan. Jika membaca kembali
pada karya The Reality of Mass Media (2000), Luhmann menyebutkan bab yang diberi judul
“The Public”. Menariknya bab ini juga membahas secara sederhana dalam memahami apa yang
dimaksud dengan lingkungan, dan Luhmann mengungkapkan bahwa publik adalah bagian dari
kompleksitas lingkungan (environment) bagi media massa. Jika menurut Luhmann sistem tidak
akan sekompleks lingkungannya, maka media massa tentu saja tidak akan sekompleks
lingkungannya (publik, pasar, kondisi politik, dst). Tidak lupa, sistem autopoietic menurut
Luhmann bersifat tertutup, artinya lingkungan berhubungan dengan sistem sejauh penangkapan
atas representasinya. Maka, bisa disimpulkan bahwa publik bisa jadi lingkungan (environment)
bagi media massa, akan tetapi kompleksitasnya akhirnya direduksi sejauh hal itu terkait dengan
kode media massa (informasi/non informasi). Dari hal ini bisa ditangkap satu poin penafsiran
bahwa dalam sistem autopoietic media massa, publik ditempatkan hubungannya sejauh ia terkait
dengan produk-produk informasi media massa, Luhmann menyebutkan tiga kategori, News and
In-depth Reporting, Entertainment, Advertising.
Secara ideal dan tidak ada keraguan, bahwa tugas media massa adalah untuk berpihak pada
kepentingan publik. Maka, tidak heran jika media massa (pers) dianggap sebagai pilar ke empat
dalam demokrasi. Akan tetapi, kecenderungan autopoietic dalam sistem media massa, publik
ditempatkan relevansinya hanya sejauh mereka berhubungan dengan kode media massa
(informasi/non-informasi), dan sebagai sistem yang relatif “bebas” media massa pun berhak
menentukan mana yang ia anggap layak dan tidak layak untuk dijadikan informasi. Sampai di
sini, kita sudah memahami bahwa media massa sebagai sistem autopoietic memiliki kode
tersendiri
(informasi/non-informasi),
serta
dalam
kaitannya
dengan
publik
sebagai
lingkungannya, media massa punya kehendak untuk membatasi diri dari kompleksitasnya
terhadap publik sejauh hal itu relevan dengan kode mereka.
Dalam melihat kecenderungan informasi media massa dalam mewacanakan demokrasi, media
massa di Indonesia menurut Subono, dkk (2012) cenderung mewacanakan tradisi demokrasi
yang libertarian, dan inilah sebab di mana demokrasi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan
capaian untuk menciptakan kesejahteraan bagi publik (masyarakat). Dalam studinya itu, Oposisi
Demokratik di Era Mediasi-Massal Demokrasi (2012), Subono, dkk, melihat bahwa informasi
tentang demokrasi yang di mediasi oleh media massa, lebih mirip retorika belaka, dan justru
menunjukkan betapa gagalnya demokrasi (wacana yang dimediasi media massa) dalam
mengupayakan kesejahteraan. Dari pemaparan ini, bila dikaitkan bahwa media massa telah
mereduksi kompleksitas lingkungan (publik) sejauh hal itu relevan dengan kode mereka. Maka,
fenomena yang terjadi di media massa di Indonesia seperti yang diungkapkan, adalah reduksi
tentang kesejahteraan yang seharusnya menjadi bagian penting dalam wacana demokrasi yang
dimediasi oleh media massa. Jadi, sebagai sistem autopoietic, media massa telah menetapkan
kode tentang informasi, dan agar media massa tidak menjadi sekompleks lingkungannya
(publik), tentu sejumlah reduksi pun dilakukan. Sayangnya, dalam negara demokrasi seperti
Indonesia, media massa justru melakukan reduksi pada hal yang sangat penting bagi publik,
yakni “kesejahteraan”.
Kecenderungan reduksionis dan simplifikasi oleh media massa inilah, yang nampaknya
menguatkan alasan, bahwa Niklas Luhmann sendiri sebenarnya melancarkan kritik kepada
perilaku masyarakat yang memanfaatkan media sebagai cerminan. Luhmann mencermati
bagaimana masyarakat menggunakan media untuk mengetahui segala bentuk realitas, padahal
realitas di dalam media itu belum tentu terpercaya. Praktek konstruksi realitas di media itulah,
yang nampaknya melibatkan reduksi-reduksi tertentu. Maka, di dalam kecenderungan media
massa sebagai sistem autopoietic, yang terjadi justru adanya reduksi atas nilai demokrasi.
Demokrasi di Tengah Tumpang Tindih Orientasi Media Massa
Ketika memasuki era pasca Orde Baru hingga hari ini, ada semacam perayaan meriah atas
kebebasan pers dari belenggu rezim penguasa. Dulu, pers dituntut untuk bersikap santun dan
dilarang menyinggung perasaan rezim. Saat ini, pers begitu bebas mengungkapkan apapun, tidak
ada larangan untuk kritis bahkan marah kepada pemerintah. Dulu, kita masih bisa menyebut pers
dengan predikat-predikat heroik, tentu bagi mereka yang berani mengkritik kekuasaan rezim,
sebab saat itu asosiasi atas common enemy bagi pers masih begitu tampak, siapa lagi jika bukan
rezim penguasa. Dalam pandangan sosiolog, Briyan S. Turner (2006: 115-118), sistem
autopoietic dalam pemikiran Luhmann, telah menunjukkan bahwa sistem itu sendiri telah
berfungsi untuk mengurangi resiko atau “kegaduhan” dari lingkungan. Di tengah dominasi
wacana demokrasi libertarian yang dimediasi media massa, seperti yang disebut oleh Subono,
dkk (2012), tradisi demokrasi justru terancam oleh hilangnya antagonisme dan oposisi,
malangnya, demokrasi tanpa antagonisme dan oposisi justru menunjukkan adanya sebentuk
otoritarianisme dalam bentuk baru. Artinya, dalam keadaan ini, tidak terlihat usaha-usaha serius
yang dilakukan oleh media massa di Indonesia untuk melakukan kritik atas penciptaan
kesejahteraan. Akan tetapi, melihat fenomena autopoietic media massa di mana konstruksi
realitas dengan nilai-nilai yang dibangun oleh media massa itu sendiri yang justru mereduksi
nilai-nilai demokrasi, membawa persoalan bahwa sistem negara demokratatis ternyata
dikacaukan oleh kecenderungan sistem yang berkemauan berjalan sendiri. Luhmann sendiri
melihatnya sebagai semacam krisis dalam masyarakat modern, di mana media secara begitu
dipercaya secara naif oleh masyarakat sebagai sumber referensi diri, padahal kebenarannya telah
melalui serangkaian proses rekonstruksi yang barangkali tidak mengindahkan objektivitas.
Luhmann memang memberikan pandangan yang brilian atas kondisi krisis dalam sistem di
masyarakat modern. Akan tetapi, Luhmann masih melihat dari sisi bahwa kondisi chaos itu
terjadi karena sistem-sistem ‘dibiarkan bebas’ dan menetapkan kode-kode internalnya sendiri
tanpa mempertimbangkan aspek-aspek eksternal yang kompleks. Sayangnya, Luhmann tidak
melihat faktor-faktor lain yang mungkin relevan dalam melihat kecenderungan media massa
yang mereduksi nilai-nilai demokrasi.
BAB IV
KESIMPULAN
Niklas Luhmann secara cerdas telah menyajikan skema analisis dalam sistem masyarakat
modern, dalam melihat keadaannya yang serba berkehendak berdiri sendiri atau autopoietic,
sehingga tampaklah adanya kekacauan dalam sistem masyarakat modern. Akan tetapi, Luhmann
sebenarnya juga banyak dikritik karena analisisnya itu tidak membantu dalam mengupayakan
perbaikan atas kecenderungan yang dia perlihatkan sendiri. Luhmann, paling tidak telah
membantu dalam menganalisis adanya kekacauan dalam kondisi media massa di tengah sistem
demokrasi. Ketika kita masih percaya bahwa ada upaya-upaya yang mungkin dilakukan dalam
memperbaiki keadaan masyarakat di tengah demokrasi, maka media massa sebagai unit yang
tidak bisa diabaikan, harus dilibatkan dalam upaya itu. Secara ideal dalam iklim demokrasi,
media massa punya peran penting dalam mengupayakan terselenggaranya “market place of
ideas”. Terminologi itu bukan berarti ide-ide yang bersifat semena-mena mengacu pada konsep
ekonomi atau pasar, akan tetapi mengacu pada semacam wadah aspirasi bagi warga negara,
abstraksi ini disebut oleh Habermas dengan “delinguistified steering media”. Mengikuti
pemikiran Habermas dalam konsep public sphere, Richard Butsch (2007), menyebut bahwa
media massa secara ideal sebagai ruang publik, berarti wilayah yang netral di mana publik
memiliki akses dan kedudukan yang sama dalam berpartisipasi dalam wacana publik, sehingga
demokrasi yang dikonsultasikan secara rasional (demokrasi deliberatif) menjadi mungkin untuk
terselenggara. Akan tetapi, konsep ini agaknya masih jauh dari kenyataan. Mengingat, realitas
media massa di Indonesia masih diributkan dengan persoalan akumulasi capital dan kepentingan
politik tertentu, sehingga harapan bagi kepentingan publik belumlah cukup untuk terjawab. Salah
satu upaya riil yang mungkin dilakukan adalah pembatasan modal atau kepemilikan media.
Upaya ini dinilai cukup relevan di tengah determinasi orientasi ekonomi dan politik yang
menekan media massa. James Curran dalam Media and Power (2002) menyampaikan bahwa
pembatasan modal atau kepemilikan media (media penyiaran) adalah wujud dari upaya
demokratisasi media. Dalam keadaan ketika media berorientasi berlebih pada pasar atau
kepentingan oknum politik tertentu, bukan berarti kemudian media harus dikuasai oleh negara,
akan tetapi negara pun harus punya tindakan tegas dalam menyikapi hal ini. Prinsip
terpentingnya adalah, bagaimana mencari sintesis riil yang tepat untuk mencari keseimbangan
antara kepentingan masyarakat dan kemandirian media secara ekonomi, sebab itu tindakan tegas
dan berani menjadi penting, negara dan masyarakat haruslah terlibat secara sinergis. Keadaan ini
menjadi semacam pertaruhan atas nasib publik, sebab dari hari ke hari kepentingan publik terus
digerus oleh perilaku media massa yang keluar dari hakikat tugas dan fungsinya dalam negara
demokratis.
SARAN
a. Usaha yang kemudian relevan untuk mengupayakan adanya demokratisasi media.
Menyebutkan sejumlah indikator dalam demokratisasi media, diantaranya: akuntabilitas,
adequacy, dan akses. Akuntabilitas berarti tanggungjawab media atas pemenuhan kepentingan
publik. Sedangkan Adequacy, adalah kesanggupan media untuk menyiarkan informasi yang
berguna bagi publik (well information). Sementara akses, adalah jaminan atas jangkauan publik
terhadap media, baik mendapatkan informasi atau melakukan interaksi kritis-dialogis atas
informasi tersebut. Indikator-indikator ini boleh dibilang ideal, akan tetapi ia tidak akan cukup
berguna tanpa adanya upaya riil dalam memperbaiki realitas media massa.
b. Dengan membatasi modal atau kepemilikan, maka diharapkan akan terjadi persaingan yang
sehat di dalam sistem dan konstelasi media massa. Pada gilirannya, keadaan ini akan
menghadirkan angin segar bagi demokratisasi media di mana prinsip diversity of ownership
(keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) diterapkan.
KRITIK
Kritik pada Luhmann, terutama datang dari penerus tradisi kritis Madzhab Frankfurt, Jurgen
Habermas. Habermas mengungkapkan bahwa teori sosial seharusnya menyumbangkan sesuatu
yang positif bagi perbaikan kondisi masyarakat, bukan hanya memperlihatkan kekacauan sebagai
sesuatu yang tidak terpecahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Butsch, Richard (Ed.). 2007. Media and Public Sphere. New York: Macmillan.
Curran, James. 2002. Media and Power. London: Rouletdge
Luhmann, Niklas. 2000. The Reality of the Mass Media (Trans. Kathleen Cross). Cambridge:
Polity Press.
Ritzer, George and Douglas J. Goodman. , 2008. Modern Sociological Theory, 6th Edition
(Translated by Alimandan of Modern Sociological Theory, 6th Edition). Jakarta: Kencana
Subono, Imam, dkk. 2012. Oposisi Demokratik, di Era Mediasi-Massal Demokrasi. Jakarta: UI
Press.
Suseno, Franz Magnis. 2008. Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Yogyakarta: Impulse.
Syahputra, Iswandi. 2013. Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment
dalam Industri Televisi. Jakarta: Gramedia
Turner, Bryan S. 2006. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana Atas Islam
vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globali
Peran Media Massa dalam Demokrasi Menurut Pandangan
Teori Sistem Autopoiesis Niklas Luhmann
NAMA : PUTRI WEDASARI
NIM : 13/359887/psp/4993
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sampai hari ini, demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang paling sempurna, jika
dibandingkan sistem politik yang lain, monarki dan otoriatan. Salah satu alasannya adalah,
bahwa hanya dengan demokrasilah resiko atas munculnya diktator-diktator yang membawa
kerusakan bisa dibendung (Suseno, 2006). Karena itu, dunia ini begitu diriuhkan dengan
perjuangan untuk mengambil alih hak politik dari rezim yang sentralistik menuju politik yang
desentralistik dan setara. Maka, serentetan perjuangan dan konflik yang berdarah-darah telah
terjadi demi perjuangan terhadap demokrasi. Kenapa demokrasi layak diperjuangkan? Sebab visi
utama demokrasi adalah pengakuan penuh kedaulatan rakyat atas negara, bukan kedaulatan yang
terpusat pada sekelompok rezim penguasa. Seperti yang diungkapkan oleh Warrant (dalam
Syahputra, 2013: 3), bahwa demokrasi adalah sebentuk pemerintahan oleh rakyat, dan dijalankan
untuk kepentingan rakyat. Di satu sisi, demokrasi memang menjanjikan harapan. Berbagai janji
seperti pengukuhan partisipasi warga negara atas suksesi kekuasaan dan pengambilan kebijakan,
termasuk perlindungan HAM, plurasime, serta kebebasan pers. Janji-janji itulah yang seolah
menjadi kunci-kunci yang menutup rapat keraguan kita atas niscayanya demokrasi. Akan tetapi
di sisi yang lain, demokrasi juga menyimpan sejumlah anomali. Adapun itu, artikulasi wacana
yang hangat diperbincangkan dan sepertinya belum akan selesai dalam tempo dekat, adalah
wacana tentang “gagalnya demokrasi dalam menyediakan kesejahteraan yang merata”. Contoh
paling dekat ada di negeri ini. Lima belas tahun setelah “prestasi” gemilang demokrasi
Indonesia, paling tidak sejak Reformasi 1998 dan pemilu presiden langsung tahun 2004, hingga
hari ini demokrasi Indonesia masih berjalan tertatih dan limbung. Persoalannya, demokrasi yang
sudah diperjuangkan itu, belumlah cukup terasa faedahnya bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan
persoalan riuh seperti korupsi, kebijakan yang tidak pro rakyat, dan krisis akibat liberalisme
ekonomi boleh dianggap sebagai luka atas demokrasi. Ironisnya, keadaan ini justru terjadi di
tengah upaya penguatan atas elemen-elemen dalam sistem negara demokrasi tengah digiatkan.
Berbagai aturan dan kebijakan kemudian dibuat untuk menguatkan fungsi, peran dan koordinasi
antar lembaga negara (eksekutif, legeslatif, dan yudikatif). Termasuk, tidak kalah pentingnya
yakni penguatan fungsi media massa (pers) melalui berbagai kebijakan, untuk menopang
kekuatan pers sebagai pilar demokrasi dalam tugasnya menjalankan kontrol sosial dan
kekuasaan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Setiap bidang ilmu mempunyai penganutnya, demikian pula dengan teori sistem. Teori sistem
mempunyai sejarah yang bervariasi dalam sosiologi. Teoritisi penganut sistem ini adalah Walter
Buckley dan Niklas Luhmann. Keduanya mempunyai sumbangan yang besar terhadap
perkembangan teori sistem sehingga teori ini dikenal luas dalam ilmu pengetahuan, khususnya
sosiologi.
Penjelasan tentang teori sistem yang terdapat dalam buku berjudul Teori Sosiologi Modern
(Ritzer dan Goldman, 2008) ini dimulai dengan beberapa pemikiran awal Walter Buckley tentang
sifat dari teori sistem. Menurut Buckley, sifat-sifat umum dari teori sistem antara lain :
1. Bersifat aplikatif karena diturunkan dari ilmu pasti (hard sciences), sehingga dapat diaplikasikan
ke semua ilmu sosial dan behavioral.
2. Teori sistem mengandung banyak tingkatan
3. Teori sistem tertarik pada keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial dan karenanya
beoperasi terhadap berbagai analisis dunia sosial.
4. Pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural dari segi
proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi.
5. Teori sistem secara inheren bersifat integratif.
Ada berbagai manfaat yang diambil dari teori sistem sosiologis Buckley, termasuk kosakata
umum antar berbagai ilmu alam dan ilmu sosial, kemampuannya untuk diaplikasikan
(applicability) pada level mikro maupun makro analisis dunia sosial secara keseluruhan, fokus
pada proses, perspektif integratif, dan orientasi dinamis. Lebih lanjut, variasi dari prinsip-prinsip
teori sistem didiskusikan, termasuk sejauh mana sistem itu terbuka atau tertutup, cenderung surut
(entropy), cenderung mengelaborasi struktur (negentropy), dicirikan oleh umpan balik (feedback), dan ciri-ciri proses yang membantu sistem mempertahankan diri (morphotasis) dan
tumbuh (morphogenesis). Buckley mengaplikasikan teori sistem untuk kesadaran, interaksi, dan
domain sosiokultural.
Teoritisi sistem paling terkemuka dewasa ini adalah Niklas Luhmann. Luhmann antara lain
melihat sistem sebagai self-referencing (referensi diri), sebagai kontingen (contingent) dan selalu
kurang kompleks daripada lingkungan. Sebagai referensi diri berarti kemampuan masyarakat
untuk merujuk pada dirinya sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuah sistem.
Lebih lanjut, kunci untuk memahami apa yang disebut Luhmann dengan sistem dapat ditemukan
dalam perbedaan antara sistem dan lingkungannya. Pada dasarnya, perbedaan antara keduanya
adalah pada kompleksitas (Complexity). Suatu sistem selalu kurang kompleks ketimbang
lingkungannya. Hal yang demikian ini memunculkan kontingensi yang juga berarti resiko (risk).
Implikasi dari kontingensi ini adalah munculnya fakta bahwa segala seuatu mungkin bisa
menjadi berbeda. Meskipun sistem tidak pernah sekompleks lingkungannya, sistem
mengembangkan subsistem-subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antara subsistem
untuk menangani lingkungan secara efektif. Jika tidak, sistem akan dikuasai oleh kompleksitas
lingkungan.
Kontribusi Luhmann yang terpenting adalah pemahamannya tentang sistem sebagai autopoietic.
Konsep autopoietic ini merujuk pada diversitas atau keragaman sistem-sistem dari sel biologis
sampai ke seluruh masyarakat dunia. Luhmann menggunakan istilah ini untuk menunjuk pada
sistem-sistem seperti, antara lain ekonomi, hukum, politik, saintifik, dan birokrasi. Sistem
autopoietic memiliki empat karakteristik sebagai berikut:
1. Sebuah sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri.
2. Sistem-sistem autopoietic mengorganisasikan diri (self-organizing) dalam dua cara- mereka
mengorganisasikan batas-batasnya sendiri, dan mengorganisasikan struktur internalnya.
3. Sistem autopoietic adalah self-referential. Misalnya, sistem ekonomi menggunakan harga
sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri. demikian pula, sistem hukum mempunyai
undang-undang yang mengacu pada sistem legal.
4. Sebuah sistem autopoietic adalah sistem tertutup. Ini berarti bahwa tidak ada kaitan langsung
antara sistem dengan lingkungannya. Sebaliknya sistem berhubungan dengan representasi dari
lingkungannya. Misalnya, sistem ekonomi dianggap merespon kebutuhan material dan keinginan
orang-orang; akan tetapi, kebutuhan dan keinginan itu mempengaruhi sistem ekonomi hanya
sejauh mereka dapat dipresentasikan dalam term uang. Konsekuensinya, sistem ekonomi
merespon dengan baik pada kebutuhan dan keinginan material orang kaya, tetapi merespon
secara buruk kepada kebutuhan dan keinginan orang miskin.
Luhmann berargumen bahwa masyarakat adalah sistem autopoietic. Ia memenuhi empat
karakteristik yang dikemukakan di atas, yaitu masyarakat menghasilkan elemen-elemen dasarnya
sendiri, membangun struktur dan batas-batasnya, self-referential, dan tertutup.
Pandangan sistem sebagai autopoietic dan tertutup terhadap lingkungan inilah yang membedakan
pendekatan Luhmann dari teoritisi sistem pendahulunya. Dua sistem dipilih Luhmann untuk
analisisnya, yakni sistem sosial dan sistem psikis. Sistem sosial terkena problem kontingensi
ganda (double contingency), yakni setiap komunikasi harus mempertimbangkan bagaimana
komunikasi itu diterima, tetapi bagaimana dia diterima akan tergantung kepada estimasi
penerima terhadap si komunikator. Karena itu, Luhmann berargumen bahwa komunikasi dapat
dikatakan “mustahil”, tetapi struktur sosial telah dikembangkan untuk membuat komunikasi
menjadi hal yang mungkin. Sedangkan sistem psikis merujuk pada kesadaran individu.
Sistem sosial dan psikis mempunyai properti yang sama. Keduanya bersandar pada makna
(meaning). Makna terkait erat dengan pilihan yang dibuat sistem. Sistem seperti sistem psikis
dan sosial yang mengandalkan pada makna adalah tertutup, karena pertama, makna selalu
mengacu kepada makna yang lain; kedua, hanya makna yang dapat mengubah makna;, ketiga,
makna biasanya menghasilkan lebih banyak makna. Makna membentuk batas-batas untuk
masing-masing sistem. Sistem psikis dan sistem sosial berevolusi bersama. Masing-masing
adalah lingkungan yang diperlukan untuk masing-masing sistem. Elemen-elemen dari sistem
makna psikis adalah representasi konseptual, sedangkan elemen-elemen dari sistem sosial adalah
komunikasi. Keduanya memproduksi makna masing-masing dari proses-prosesnya sendiri.
Dalam sistem psikis, makna dikaitkan dengan kesadaran, sedangkan dalam sistem sosial makna
dikaitkan dengan komunikasi. Selanjutnya, Luhmann membahas tentang evolusi. Secara ketat,
dapat dikatakan bahwa evolusi bukan sebuah proses, tetapi seperangkat proses yang dapat
dideskripsikan sebagai pelaksanaan tiga fungsi: variasi, seleksi, dan stabilisasi karakteristik yang
dapat direproduksi. Fungsi-fungsi ini merepresentasikan mekanisme konkret yang dengannya
evolusi itu beroperasi. Variasi adalah proses trial-and-error. Jika sebuah sistem menghadapi
problem yang unik, suatu variasi solusi mungkin akan berkembang untuk menangani gangguan
lingkungan. Beberapa dari solusi ini akan berhasil, dan lainnya mungkin tidak. Seleksi atas solusi
tertentu bukan berarti bahwa yang dipilih adalah solusi “terbaik”. Ini mungkin berarti bahwa
solusi tertentu adalah yang paling mudah untuk menstabilkan, atau dengan kata lain, solusi yang
paling mudah untuk mereproduksi struktur yang stabil dan tahan lama. Dalam sistem sosial,
stabilisasi ini biasanya menyangkut jenis diferensiasi baru yang memerlukan penyesuaian dari
semua bagian sistem kepada solusi baru. Proses evolusioner akan mencapai akhir temporer
hanya ketika stabilisasi telah selesai. Hal ini dapat dilihat dari evolusi yang terjadi di masyarakat,
termasuk sistem-sistem di dalamnya.
Dari sudut pandang teori Luhmann, ciri utama dari masyarakat modern adalah meningkatnya
proses diferensiasi sistem sebagai cara menghadapi kompleksitas lingkungannya. Diferensiasi di
dalam sistem adalah cara penanganan perubahan dalam lingkungan. Proses diferensiasi ini
berarti meningkatkan kompleksitas sistem, karena setiap subsistem dapat membuat hubungan
yang berbeda-beda dengan sistem lainnya. Ia lebih banyak menghasilkan variasi di dalam sistem
untuk merespon variasi di dalam lingkungan. Lebih banyak variasi yang dihasilkan oleh
diferensiasi bukan hanya akan menghasilkan respon yang lebih baik terhadapa lingkungan, tetapi
ia juga mempercepat evolusi. Ingat bahwa evolusi adalah proses seleksi dari variasi. Semakin
banyak variasi yang tersedia, semakin baik evolusinya.
Diferensiasi ini meningkatkan kompleksitas dari sistem melalui repetisi diferensiasi
antara sistem dan lingkungan di dalam sistem. Luhmann mengidentifikasi empat bentuk
diferensiasi, yaitu :
1. Segmentasi.
Diferensiasi segmentasi ini membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan kebutuhan untuk
memenuhi fungsi-fungsi yang identik secara terus-menerus.
2. Stratifikasi.
Diferensiasi ini adalah diferensiasi vertikal berdasarkan urutan atau status dalam sistem yang
dibayangkan sebagai hierarki. Setiap urutan memenuhi fungsi yang khusus dalam sistem.
3. Pusat-pingiran (center-periphery)
Diferensiasi ini merupakan kombinasi antara segmentasi dan stratifikasi.
4. Fungsional
Diferensiasi fungsional adalah bentuk diferensiasi yang paling kompleks dan bentuk yang
mendominasi masyarakat modern.
Yang terakhir inilah bentuk diferensiasi yang paling kompleks. Ia menghasilkan fleksibilitas
yang lebih besar, tetapi jika satu sistem yang didiferensiasi secara fungsional gagal melakukan
fungsinya, sistem secara keseluruhan mungkin akan ambruk. Lebih jauh adalah mungkin bahwa
masyarakat tidak akan memiliki subsistem yang terdiferensiasi secara fungsional yang mampu
(capable) menangani problem-problem penting. Karena Luhmann membayangkan masyarakat
sebagai sistem yang serba meliputi (all-encompassing), ia dapat diamati hanya dari dalam sistem
itu. Tidak ada sistem fungsional yang memiliki perspektif yang benar sendiri, semua perspektif
adalah sah. Meski demikian, Luhmann berusaha memprioritaskan pada pengetahuan sosiologis
dengan mengatakan bahwa tugasnya adalah mempelajari observasi pertama terhadap masyarakat
(legenda, mitos, dan sebagainya). Ringkasnya, teori Luhmann tentang masyarakat modern dan
konsepnya tentang masyarakat merupakan alat analitik yang sangat maju yang membuat
sosiologi dapat memperoleh perspektif segar tentang problem di masyarakat (di dalam sosiologi)
dewasa ini. Teori umum evolusi dan diferensiasi, dan pemikiran Luhmann tentang sistem
spesifik seperti sains dan ekonomi, membuka arah dan riset baru. perbedaan dasar antara sistem
dan lingkungan membuka kemungkinan riset interdisipliner baru yang didasarkan pada asumsi
bahwa kompleksitss adalah problem besar yang menghubungkan bidang-bidang terpisah dari
ilmu manusia dan ilmu alam.
BAB III
PEMBAHASAN
Demokrasi dalam Perspektif Sistemik Luhmann
Secara konseptual dari perspektif sistemik, idealnya setiap elemen dalam sistem negara
demokrasi akan menjalankan fungsinya masing-masing demi pencapaian tujuan negara
demokrasi itu sendiri. Sistem media massa kemudian memproduksi elemen-elemen yang
menyusun dirinya sendiri, Luhmann menyebut kecenderungan sistem yang seperti ini dengan
sebutan autopoietic. Konsep autopoietic pada awalnya dirujuk oleh Luhmann dari diversitas
sistem-sistem dalam sel biologis, kemudian Luhmann memakainya untuk melihat sistem-sistem
seperti, hukum, ekonomi, birokrasi, politik, saintifik, seni, hingga media massa. Dalam tulisan
ini, penulis tertarik untuk mengetengahkan terlebih dahulu sebuah karya dari Niklas Luhmann
dalam membaca realitas media massa, karya Luhmann itu adalah, Die Realitat der
Massenmedien (1996). Dalam karyanya ini, Luhmann melihat media massa sebagai bagian dari
sistem sosial di mana masyarakat bercermin dan menyandarkan referensi dirinya.
Luhmann berpendapat bahwa sistem media massa adalah seperangkat rekursif, yakni semacam
proses pendefinisian objek dengan diri sendiri sebagai cerminan. Alih-alih dideterminasi oleh
nilai-nilai eksternal seperti kebenaran, objektivitas, dan kontrol sosial, media massa menurut
Luhmann justru menerapkan kode internal dari dalam dirinya sendiri. Media massa kemudian
menciptakan batas tentang mana yang disebut informasi dan non-informasi, mereka menyeleksi
informasi menurut kriteria yang diciptakan dari lingkungan sendiri dan mengkomunikasikan
informasi tersebut menurut kriteria refleksif mereka sendiri. Ciri inilah yang menguatkan
argumentasi bahwa media massa adalah sistem autopoietic.
Sebelum berbicara banyak tentang media massa sebagai sistem autopoietic, ada baiknya
disampaikan karakteristik sistem autopoietic menurut Niklas Luhmann. Luhmann menyebutkan
empat karakteristik dalam sistem autopoietic, seperti yang disebutkan oleh Ritzer & Goodman
(2007, 244-246). Pertama, sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen dasar yang
membentuknya sendiri (self-creation). Kedua, sistem autopoietic mengorganisasikan diri (selforganizing), mengorganisasikan batas-batas dan struktur internalnya sendiri. Ketiga, sistem
autopoietic mengacu pada dirinya sendiri dengan menetapkan nilai yang relevan bagi dirinya
(self-referential). Keempat, sistem autopoietic adalah sistem tertutup, artinya sistem tidak ada
kaitan langsung dengan lingkungannya.
Empat karakteristik inilah yang menegaskan bahwa sistem bersifat autopoietic, yakni
memproduksi elemen, mengorganisasi batas dan struktur, mengacu pada nilai yang ia ciptakan
sendiri, serta tidak terkait secara langsung dengan lingkungannya. Karakteristik ini kemudian
dibawa oleh Luhmann untuk membaca realitas media massa. Jika demikian, apa yang terjadi di
dalam media massa dengan sistemnya yang autopoietic jika dikaitkan dengan sistem demokrasi.
Sementara, dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, media massa dianggap memiliki posisi
penting dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Oleh sebab itu, tulisan ini bermaksud melihat
fenomena autopoietic media massa tersebut dalam sistem negara demokrasi.
Pertama akan mengungkapkan fenomena autopoietic media massa dalam sistem negara
demokrasi Indonesia, kemudian membenturkan aspek fungsional media massa dalam negara
demokrasi pada kenyataan sistem autopoietic.
Kode Media Massa, di mana Publik dan Demokrasi?
Luhmann memakai istilah kode (code) untuk membedakan elemen-elemen yang termasuk dalam
sistem dan yang tidak termasuk di dalamnya. Menurut Luhmann, kode dipakai untuk
menetapkan kemungkinan dan membatasi bentuk komunikasi dalam sistem, sehingga bentuk
komunikasi tersebut bisa dilihat sebagai sebuah seleksi. Luhmann membahasakannya demikian:
Code taken as an artificial duplication of possibilities with the consequence that every element
can be presented as a selection. Kode dalam hal ini, juga bisa berarti sebuah bahasa atau “ide
pokok” yang dipakai oleh sebuah sistem, sehingga sistem tersebut berbeda dengan sistem-sistem
yang lain. Dalam sistem sains misalnya, kode yang dipakai adalah kebenaran (kontra
ketidakbenaran), sistem ekonomi memakai kode pembayaran (kontra non pembayaran), dan
hukum memakai kode legal (kontra illegal). Luhmann (2000: 17) menyebut bahwa kode dalam
sistem media massa terkait dengan pemisahan apa yang disebut informasi dan non informasi,
yang memungkinkan media massa memilih informasi dan mengkomunikasikannya menurut
kriteria mereka sendiri. Kode ini yang kemudian mendasari kerja media massa di dalam
masyarakat, informasi selanjutnya menjadi “positive value” yang memberi arahan bagi media
massa sebagai sebuah sistem dalam mereduksi kompleksitas terhadap lingkungannya. Dalam
artian, sebagai sebuah sistem, media massa telah melakukan simplifikasi atas kompleksitas
lingkungan. Luhmann berpendapat bahwa sistem punya kehendak sendiri dan selalu tidak lebih
kompleks dari lingkungannya (faktor eksternal) (Ritzer & Goodman, 2007: 243). Dalam melihat
sistem, adanya lingkungan (faktor eksternal) tidaklah bisa diabaikan. Jika membaca kembali
pada karya The Reality of Mass Media (2000), Luhmann menyebutkan bab yang diberi judul
“The Public”. Menariknya bab ini juga membahas secara sederhana dalam memahami apa yang
dimaksud dengan lingkungan, dan Luhmann mengungkapkan bahwa publik adalah bagian dari
kompleksitas lingkungan (environment) bagi media massa. Jika menurut Luhmann sistem tidak
akan sekompleks lingkungannya, maka media massa tentu saja tidak akan sekompleks
lingkungannya (publik, pasar, kondisi politik, dst). Tidak lupa, sistem autopoietic menurut
Luhmann bersifat tertutup, artinya lingkungan berhubungan dengan sistem sejauh penangkapan
atas representasinya. Maka, bisa disimpulkan bahwa publik bisa jadi lingkungan (environment)
bagi media massa, akan tetapi kompleksitasnya akhirnya direduksi sejauh hal itu terkait dengan
kode media massa (informasi/non informasi). Dari hal ini bisa ditangkap satu poin penafsiran
bahwa dalam sistem autopoietic media massa, publik ditempatkan hubungannya sejauh ia terkait
dengan produk-produk informasi media massa, Luhmann menyebutkan tiga kategori, News and
In-depth Reporting, Entertainment, Advertising.
Secara ideal dan tidak ada keraguan, bahwa tugas media massa adalah untuk berpihak pada
kepentingan publik. Maka, tidak heran jika media massa (pers) dianggap sebagai pilar ke empat
dalam demokrasi. Akan tetapi, kecenderungan autopoietic dalam sistem media massa, publik
ditempatkan relevansinya hanya sejauh mereka berhubungan dengan kode media massa
(informasi/non-informasi), dan sebagai sistem yang relatif “bebas” media massa pun berhak
menentukan mana yang ia anggap layak dan tidak layak untuk dijadikan informasi. Sampai di
sini, kita sudah memahami bahwa media massa sebagai sistem autopoietic memiliki kode
tersendiri
(informasi/non-informasi),
serta
dalam
kaitannya
dengan
publik
sebagai
lingkungannya, media massa punya kehendak untuk membatasi diri dari kompleksitasnya
terhadap publik sejauh hal itu relevan dengan kode mereka.
Dalam melihat kecenderungan informasi media massa dalam mewacanakan demokrasi, media
massa di Indonesia menurut Subono, dkk (2012) cenderung mewacanakan tradisi demokrasi
yang libertarian, dan inilah sebab di mana demokrasi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan
capaian untuk menciptakan kesejahteraan bagi publik (masyarakat). Dalam studinya itu, Oposisi
Demokratik di Era Mediasi-Massal Demokrasi (2012), Subono, dkk, melihat bahwa informasi
tentang demokrasi yang di mediasi oleh media massa, lebih mirip retorika belaka, dan justru
menunjukkan betapa gagalnya demokrasi (wacana yang dimediasi media massa) dalam
mengupayakan kesejahteraan. Dari pemaparan ini, bila dikaitkan bahwa media massa telah
mereduksi kompleksitas lingkungan (publik) sejauh hal itu relevan dengan kode mereka. Maka,
fenomena yang terjadi di media massa di Indonesia seperti yang diungkapkan, adalah reduksi
tentang kesejahteraan yang seharusnya menjadi bagian penting dalam wacana demokrasi yang
dimediasi oleh media massa. Jadi, sebagai sistem autopoietic, media massa telah menetapkan
kode tentang informasi, dan agar media massa tidak menjadi sekompleks lingkungannya
(publik), tentu sejumlah reduksi pun dilakukan. Sayangnya, dalam negara demokrasi seperti
Indonesia, media massa justru melakukan reduksi pada hal yang sangat penting bagi publik,
yakni “kesejahteraan”.
Kecenderungan reduksionis dan simplifikasi oleh media massa inilah, yang nampaknya
menguatkan alasan, bahwa Niklas Luhmann sendiri sebenarnya melancarkan kritik kepada
perilaku masyarakat yang memanfaatkan media sebagai cerminan. Luhmann mencermati
bagaimana masyarakat menggunakan media untuk mengetahui segala bentuk realitas, padahal
realitas di dalam media itu belum tentu terpercaya. Praktek konstruksi realitas di media itulah,
yang nampaknya melibatkan reduksi-reduksi tertentu. Maka, di dalam kecenderungan media
massa sebagai sistem autopoietic, yang terjadi justru adanya reduksi atas nilai demokrasi.
Demokrasi di Tengah Tumpang Tindih Orientasi Media Massa
Ketika memasuki era pasca Orde Baru hingga hari ini, ada semacam perayaan meriah atas
kebebasan pers dari belenggu rezim penguasa. Dulu, pers dituntut untuk bersikap santun dan
dilarang menyinggung perasaan rezim. Saat ini, pers begitu bebas mengungkapkan apapun, tidak
ada larangan untuk kritis bahkan marah kepada pemerintah. Dulu, kita masih bisa menyebut pers
dengan predikat-predikat heroik, tentu bagi mereka yang berani mengkritik kekuasaan rezim,
sebab saat itu asosiasi atas common enemy bagi pers masih begitu tampak, siapa lagi jika bukan
rezim penguasa. Dalam pandangan sosiolog, Briyan S. Turner (2006: 115-118), sistem
autopoietic dalam pemikiran Luhmann, telah menunjukkan bahwa sistem itu sendiri telah
berfungsi untuk mengurangi resiko atau “kegaduhan” dari lingkungan. Di tengah dominasi
wacana demokrasi libertarian yang dimediasi media massa, seperti yang disebut oleh Subono,
dkk (2012), tradisi demokrasi justru terancam oleh hilangnya antagonisme dan oposisi,
malangnya, demokrasi tanpa antagonisme dan oposisi justru menunjukkan adanya sebentuk
otoritarianisme dalam bentuk baru. Artinya, dalam keadaan ini, tidak terlihat usaha-usaha serius
yang dilakukan oleh media massa di Indonesia untuk melakukan kritik atas penciptaan
kesejahteraan. Akan tetapi, melihat fenomena autopoietic media massa di mana konstruksi
realitas dengan nilai-nilai yang dibangun oleh media massa itu sendiri yang justru mereduksi
nilai-nilai demokrasi, membawa persoalan bahwa sistem negara demokratatis ternyata
dikacaukan oleh kecenderungan sistem yang berkemauan berjalan sendiri. Luhmann sendiri
melihatnya sebagai semacam krisis dalam masyarakat modern, di mana media secara begitu
dipercaya secara naif oleh masyarakat sebagai sumber referensi diri, padahal kebenarannya telah
melalui serangkaian proses rekonstruksi yang barangkali tidak mengindahkan objektivitas.
Luhmann memang memberikan pandangan yang brilian atas kondisi krisis dalam sistem di
masyarakat modern. Akan tetapi, Luhmann masih melihat dari sisi bahwa kondisi chaos itu
terjadi karena sistem-sistem ‘dibiarkan bebas’ dan menetapkan kode-kode internalnya sendiri
tanpa mempertimbangkan aspek-aspek eksternal yang kompleks. Sayangnya, Luhmann tidak
melihat faktor-faktor lain yang mungkin relevan dalam melihat kecenderungan media massa
yang mereduksi nilai-nilai demokrasi.
BAB IV
KESIMPULAN
Niklas Luhmann secara cerdas telah menyajikan skema analisis dalam sistem masyarakat
modern, dalam melihat keadaannya yang serba berkehendak berdiri sendiri atau autopoietic,
sehingga tampaklah adanya kekacauan dalam sistem masyarakat modern. Akan tetapi, Luhmann
sebenarnya juga banyak dikritik karena analisisnya itu tidak membantu dalam mengupayakan
perbaikan atas kecenderungan yang dia perlihatkan sendiri. Luhmann, paling tidak telah
membantu dalam menganalisis adanya kekacauan dalam kondisi media massa di tengah sistem
demokrasi. Ketika kita masih percaya bahwa ada upaya-upaya yang mungkin dilakukan dalam
memperbaiki keadaan masyarakat di tengah demokrasi, maka media massa sebagai unit yang
tidak bisa diabaikan, harus dilibatkan dalam upaya itu. Secara ideal dalam iklim demokrasi,
media massa punya peran penting dalam mengupayakan terselenggaranya “market place of
ideas”. Terminologi itu bukan berarti ide-ide yang bersifat semena-mena mengacu pada konsep
ekonomi atau pasar, akan tetapi mengacu pada semacam wadah aspirasi bagi warga negara,
abstraksi ini disebut oleh Habermas dengan “delinguistified steering media”. Mengikuti
pemikiran Habermas dalam konsep public sphere, Richard Butsch (2007), menyebut bahwa
media massa secara ideal sebagai ruang publik, berarti wilayah yang netral di mana publik
memiliki akses dan kedudukan yang sama dalam berpartisipasi dalam wacana publik, sehingga
demokrasi yang dikonsultasikan secara rasional (demokrasi deliberatif) menjadi mungkin untuk
terselenggara. Akan tetapi, konsep ini agaknya masih jauh dari kenyataan. Mengingat, realitas
media massa di Indonesia masih diributkan dengan persoalan akumulasi capital dan kepentingan
politik tertentu, sehingga harapan bagi kepentingan publik belumlah cukup untuk terjawab. Salah
satu upaya riil yang mungkin dilakukan adalah pembatasan modal atau kepemilikan media.
Upaya ini dinilai cukup relevan di tengah determinasi orientasi ekonomi dan politik yang
menekan media massa. James Curran dalam Media and Power (2002) menyampaikan bahwa
pembatasan modal atau kepemilikan media (media penyiaran) adalah wujud dari upaya
demokratisasi media. Dalam keadaan ketika media berorientasi berlebih pada pasar atau
kepentingan oknum politik tertentu, bukan berarti kemudian media harus dikuasai oleh negara,
akan tetapi negara pun harus punya tindakan tegas dalam menyikapi hal ini. Prinsip
terpentingnya adalah, bagaimana mencari sintesis riil yang tepat untuk mencari keseimbangan
antara kepentingan masyarakat dan kemandirian media secara ekonomi, sebab itu tindakan tegas
dan berani menjadi penting, negara dan masyarakat haruslah terlibat secara sinergis. Keadaan ini
menjadi semacam pertaruhan atas nasib publik, sebab dari hari ke hari kepentingan publik terus
digerus oleh perilaku media massa yang keluar dari hakikat tugas dan fungsinya dalam negara
demokratis.
SARAN
a. Usaha yang kemudian relevan untuk mengupayakan adanya demokratisasi media.
Menyebutkan sejumlah indikator dalam demokratisasi media, diantaranya: akuntabilitas,
adequacy, dan akses. Akuntabilitas berarti tanggungjawab media atas pemenuhan kepentingan
publik. Sedangkan Adequacy, adalah kesanggupan media untuk menyiarkan informasi yang
berguna bagi publik (well information). Sementara akses, adalah jaminan atas jangkauan publik
terhadap media, baik mendapatkan informasi atau melakukan interaksi kritis-dialogis atas
informasi tersebut. Indikator-indikator ini boleh dibilang ideal, akan tetapi ia tidak akan cukup
berguna tanpa adanya upaya riil dalam memperbaiki realitas media massa.
b. Dengan membatasi modal atau kepemilikan, maka diharapkan akan terjadi persaingan yang
sehat di dalam sistem dan konstelasi media massa. Pada gilirannya, keadaan ini akan
menghadirkan angin segar bagi demokratisasi media di mana prinsip diversity of ownership
(keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) diterapkan.
KRITIK
Kritik pada Luhmann, terutama datang dari penerus tradisi kritis Madzhab Frankfurt, Jurgen
Habermas. Habermas mengungkapkan bahwa teori sosial seharusnya menyumbangkan sesuatu
yang positif bagi perbaikan kondisi masyarakat, bukan hanya memperlihatkan kekacauan sebagai
sesuatu yang tidak terpecahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Butsch, Richard (Ed.). 2007. Media and Public Sphere. New York: Macmillan.
Curran, James. 2002. Media and Power. London: Rouletdge
Luhmann, Niklas. 2000. The Reality of the Mass Media (Trans. Kathleen Cross). Cambridge:
Polity Press.
Ritzer, George and Douglas J. Goodman. , 2008. Modern Sociological Theory, 6th Edition
(Translated by Alimandan of Modern Sociological Theory, 6th Edition). Jakarta: Kencana
Subono, Imam, dkk. 2012. Oposisi Demokratik, di Era Mediasi-Massal Demokrasi. Jakarta: UI
Press.
Suseno, Franz Magnis. 2008. Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Yogyakarta: Impulse.
Syahputra, Iswandi. 2013. Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment
dalam Industri Televisi. Jakarta: Gramedia
Turner, Bryan S. 2006. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana Atas Islam
vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globali