Belajar dari Kota Surabaya Pengukuran Ku

Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif
untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota
M. Syaom Barliana(1), Beta Paramita(2), Dodit Ardian Pancapana(3) , Diah Cahyani(4)
(1)

Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.
Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kota Bandung, Jawa Barat
(4)
Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.
(2)

(3)

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengukur dan menguji perbedaan tingkat kualitas objektif kota
Bandung, Surakarta, dan Surabaya, serta merumuskan prioritas penataan kota berdasarkan
indikator kualitas kota. Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif,
dengan

pengukuran observasional dimensi fisik oleh ahli berdasarkan persepsi spasial, serta dianalisis
memakai uji kecenderungan dan uji beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas objektif
kota Surabaya sangat tinggi, Bandung rendah, dan Surakarta sedang. Namun demikian, uji
hipotesis memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan antara kualitas objektif kota Bandung
dengan Surakarta. Penelitian juga menghasilkan keluaran berupa usulan prioritas penataan kota
untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, berdasarkan indikator kualitas kota
Kata-kunci : kualitas objektif kota, pengukuran persepsi spasial, prioritas penataan kota

A. Pendahuluan
Artikel ini merupakan bagian dari keluaran
penelitian yang berjudul: “Arsitektur, Urbanitas,
dan Modal Sosial (Pengembangan Model

Penataan Kota
dan Pendidikan Budaya
Berkota bagi Penguatan
Modal Sosial
Masyarakat)”.
Artikel
ini

baru
mengungkapkan hasil penelitian awal (tahun
pertama)1, dengan fokus pada deskripsi hasil
pengukuran kualitas objektif kota.
Permasalahan dillatar-belakangi oleh realitas,
bahwa kota Surabaya, telah tumbuh menjadi
sebuah kota di Indonesia yang dianggap
berhasil. Berkat visi pembangunan walikota Tri
Rismarini, dan konsistensi dalam implementasi
penataan
kotanya,
Surabaya
diakui
keberhasilannya
sebagai:
kota
ramah
lingkungan; kota terbaik se Asia Pasifik dari
Citynet, untuk kategori ruang publik dan
partisipasi publik; juara satu tingkat nasional

dalam Penyelenggaraan Pemukiman Kategori
Kota Metropolitan;
penghargaan bidang
lingkungan hidup yakni Adipura, Adiwiyata,
dan kota dengan Pengelolaan Dana Alokasi

Khusus (DAK); dan berbagai penghargaan
lainnya.
Keberhasilan-keberhasilan
dalam
mengelola kota yang didukung partisipasi
waganya, patut menjadi bahan kajian untuk
ajang pembelajaran.
Di sisi lain, penting pula untuk melihat
keberhasilan itu, dari sisi dimensi kualitas fisik
kota. Terlebih lagi, jika keberhasilan kota itu
dibandingkan dengan “ketidakberhasilan” kota
yang lain, sehingga akan diperoleh hasil studi
komparasi yang menarik.
Kualitas kota menunjuk pada kualitas objektif

kota. Kualitas objektif kota didasarkan kepada
pengukuran dimensi fisik elemen-elemen
arsitektur kota. Ini untuk membedakan
dengan
kualitas
subjektif
kota,
yang
didasarkan kepada pengukuran berdasarkan
pengetahuan, perasaan, dan pengalaman
pengguna.
Memang, kota tidak semata-mata menyangkut
persoalan fisik, tetapi juga non fisik. Karena itu,
sebuah kota adalah suatu entitas yang hidup,
bahkan pun ketika berbicara tentang bentuk
kota (urban form). Namun demikian, berbicara
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 1

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota


tentang kualitas kota, tentu untuk pertamatama harus berbicara tentang kualitas fisik.
Demikianlah, ketika kita berbicara tentang
bentuk kota dengan parameter kota yang baik,
maka sesungguhnya kita berbicara tentang
kualitas kota dalam mewadahi kualitas hidup
warganya. Sekaitan dengan ini, Shirvani

(1985) menyatakan bahwa kualitas kota
paling tidak ditentukan oleh tiga faktor.
Pertama, kualitas fungsional, dalam arti
bahwa kualitas kota baik jika ruang-ruang
antar bangunan, sistem penghubung antar
bangunan, serta juga sistem penghubung
dengan kota lain, berfungsi dengan baik
pula. Kedua, kualitas visual, mencakup
estetika lingkungan, yaitu penampilan
arsitektur pada skala kawasan kota dan
bukan dilihat dari satuan bangunan. Ketiga,
kualitas lingkungan, terdiri atas kualitas fisik
dan non fisik yang menciptakan keamanan,

kesehatan, dan kenyamanan lingkungan.
Jenck and Burgess (2010), menyatakan
bentuk kota secara umum mencakup sejumlah
karakteristik fisik seperti ukuran, bentuk, skala,
peruntukan dan penggunaan lahan, tipe
bangunan, tata letak blok perkotaan,
distribusi ruang hijau, serta karakteristik
nonfisik seperti kepadatan yang membentuk
konfigurasi lingkungan sosial dan bentuk
interaksi sosial.
Sejalan
dengan
itu,
Ibrahim
(2000)
menyatakan,
bahwa
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap bentuk kota terdiri atas

beberapa variabel fisik yang secara langsung
dipengaruhi oleh lingkungan terbangun sendiri,
yaitu: ruang terbuka, hirarki jalan, pola
peruntukan, kota, distrik, garis sempadan
bangunan, kepadatan, layout, pola jalan,
ukuran blok, batas, nodes, jaringan ruang,
lebar jalan, wujud/bentuk blok, kesatuan,
massa, material, warna, focal point, bentuk,
landmark, irama, bentang langit, tekstur,
elevasi, pelingkup, variasi gerbang, skala
manusia, dan lain lain. Variabel fisik ini jika
dibandingkan dengan kriteria teoritik tentang
kota yang baik, akan menunjukkan tingkat
kualitas kota objektif.
Hal itu sejalan dengan parameter kualitas
objektif kota, yang menjadi indikator

2 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013

instrumen penelitian ini, yang merujuk kepada

konsep physical form criteria, dari Smith,
Nelischer,
Perkins (1997). Secara umum,
kategori kualitas fisik kota itu mencakup
aspek-aspek dimensi fisik berikut: Community:
general structure and pattern; Urban block:
general structure and pattern; Buildings:
general, civic, community, institutional,
commercial, industrial, residential; Streets:
general, byways, main streets, residential
streets,
laneways;
Parking:
general;
Pedestrian ways: general, sidewalks, formal
trails; Open space: general, primary areas,
secondary and tertiary areas, semi-public and
private areas; Vegetation: general; Feature
areas: natural resources, views.
Sejalan


dengan

itu,

Lynch

(1984),

merumuskan lima kategori yang menunjuk
pada teori tentang kualitas kota yang baik
(good city form). Kategori tersebut
mencakup vitality (kesehatan lingkungan),
sense (perasaan tentang tempat, identitas),
fit
(penyesuaian,
adaptasi),
access
(aksesibilitas untuk orang-orang, aktivitas,
sumber daya, tempat dan informasi) dan

control
(tanggungjawab
terhadap
lingkungan). Dalam konteks penelitian
keseluruhan, namun tidak dibahas dalam
artikel ini, konsep dari Lynch diadopsi
sebagai kualitas subjektif kota, berdasarkan
persepsi pengguna.

Gambar 1. Area penilaian kualitas objektif kota
Bandung

M. Syaom Barliana

Berdasarkan latar belakang itu, tujuan
penelitian ini adalah: menganalis indikator
yang menentukan kualitas kota; mengukur
tingkat kualitas objektif kota (berdasarkan
pengukuran fisik) kota Bandung, Solo, dan
Surabaya; menguji perbedaan antara kualitas

objektif antara kota Bandung, Solo, dan
Surabaya; merumuskan prioritas penataan
kota berdasarkan indikator kualitas kota.

Penelitian
ini
menggunakan
konsep
pengukuran berdasarkan persepsi spasial,
yaitu pengukuran kualitas objektif kota melalui
observasi terhadap elemen fisik kota oleh
pakar. Pengukuran dilakukan oleh tiga orang
ahli,
menggunakan pedoman observasi
dengan parameter kualitas berupa jawaban
optional tertutup dengan numerical rating
scale dan semantic differential scale.2
Disamping itu, dilakukan juga observasi onsite analysis, maps and photographic analysis.
Lokasi penelitian adalah inti pusat kota. Dalam
pelaksanaannya, setiap inti kota yang menjadi
lokasi penelitian, dibagi menjadi empat area
pengukuran. Dengan demikian setiap pakar,
akan melakukan pengukuran pada empat
area, sehingga secara keseluruhan, menjadi
12. Dalam analisis data, jumlah 12 ini menjadi
N sampel.

Gambar 2. Area penilaian kualitas obyektif Kota
Surabaya

Penelitian ini dilakukan pada tiga kota, yaitu
Bandung, Surakarta dan Surabaya. Pemilihan
objek penelitian ini didasarkan kepada
pertimbangan purposif, dengan alasan sebagai
berikut. Bandung dipilih dengan dugaan awal,
berdasarkan studi pendahuluan, merupakan
bentuk kota dan budaya berkota (urbanitas)
dengan kualitas relatif kurang baik. Surakarta,
dengan kepemimpinan dan visi dari Joko
Widodo
sebagai
walikota,
sedang
bertransformasi menjadi sebuah kota dengan
kualitas bentuk kota dan urbanitas yang baik.
Surabaya dipilih sebagai model pembanding
sebagai kota yang diakui keberhasilannya
oleh sejumlah kalangan.

B. Metode Peneltian
Ada bermacam cara untuk mengukur kualitas
fisik kota. Pengukuran yang paling objektif
tentu saja adalah pengukuran secara fisik,
melalui observasi langsung, petak demi petak,
lalu dibandingkan dengan parameter teoritik
standar kota yang dianggap berkualitas.
Namun demikian, untuk sebuah kota, yang
sedemikian luas, dengan banyak dimensi fisik,
pada prakteknya pengukuran semacam ini,
akan sangat sangat
mahal. Di sisi lain,
kualitas kota yang dirasakan warga tidak
melulu soal ukuran fisik, tetapi juga bersifat
persepsional. Atas dasar ini, dikembangkan
sejumlah parameter pengukuran kualitas kota
berdasarkan persepsi.

Gambar 3. Area penilaian kualitas obyektif kota
Surakarta

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 3

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota

Pusat kota menjadi pertimbangan utama
pemilihan lokasi studi. Meskipun pusat kota
tidak kemudian menjadi gambaran dari
kualitas kota secara keseluruhan, namun
dengan semua kelengkapan sarana dan
prasarana kota yang tersedia di pusat kota,
menjadikan pusat kota menjadi pilihan yang
terbaik untuk menilai kualitas kota. Pusat kota
identik dengan pusat pemerintahan, dimana
segala kebijakan salah satu penentu kualitas
kota berasal. Hal ini semakin memperkuat
pemilihan pusat kota sebagai lokasi studi.

Artinya, parameter bukan didasarkan pada
parameter teoritik masing-masing kota, tetapi
angka tetap mean ideal yang berlaku untuk
semua kota. Dengan demikian, sebagai contoh,
suatu indikator kota termasuk kualitas sangat
tinggi atau rendah hanya jika dibandingkan
dengan kota lainnya yang menjadi objek
penelitian.

Pusat pemerintahan, diwakili oleh kantor
walikota. Kota Bandung, letak kantor walikota
berada pada zona B, sementara kantor
walikota Surabaya berada di zona A Surabaya
dan zona A Surakarta untuk lokasi kantor
walikota Surakarta.

Tabel 1. Kriteria Penafsiran Pengukuran Deskriptif

Kriteria penafsiran
sebagai berikut:

tersebut,

dirumuskan

Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD

Seperti disebut di atas, indikator kualitas
objektif mengacu kepada parameter yang
dikembangkan
Smith, Nelischer,
Perkins
(1997), yaitu mencakup aspek-aspek dimensi
fisik berikut: Community, urban block,
buildings, streets, parking, pedestrian, open
space, vegetation
Untuk memberikan gambaran mengenai
masing-masing variabel kualitas objektif kota,
digunakan
analisis
deskriptif,
dengan
menampilkan data frekuensi, means, mode,
dan median. Selanjutnya dilakukan uji
kecenderungan untuk menafsirkan data
tersebut.
Penafsiran data melalui uji
kecenderungan didasarkan kepada means
masing-masing variabel (X) yang dibandingkan
dengan parameter Means Ideal (Mi) dan
Standard Deviasi
(SD).
Means Ideal
merupakan parameter tetap yang ditentukan
berdasarkan perhitungan: ½ x (nilai minimum
+ nilai maksimum). Nilai minimum adalah hasil
perkalian bobot nilai (1) dengan jumlah item
pertanyaan dalam lingkup indikator penelitian
dan variabel untuk keseluruhan.
Nilai maksimum adalah hasil perkalian bobot
nilai (4) dengan jumlah item.
Parameter
means ideal tersebut, mencakup skala
komparasi tiga kota, yaitu Bandung, Surabaya,
dan Surakarta.

4 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013

Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

Uji hipotesis perbedaan antar variabel
dilakukan melalui uji Tanda Wilcoxon.
Sementara itu, untuk melihat signifikasi
perbedaan antara variabel, dianalisis dengan
menggunakan
parameter:
(1)
Jika
probabilitas/nilai Sig (two-tailed) <
= 0.05,
maka perbedaan kedua variabel signifikan;
(2). Sebaliknya, jika nilai Sig > 0.05, maka
perbedaan antar kedua variabel tidak
signifikan.

C. Analisis dan Diskusi
1. Analisis Data Penelitian
Interpretasi hasil penelitian dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pada tabel 2, terlihat bahwa
untuk kualitas objektif kota, kota Bandung,
secara umum dapat disimpulkan termasuk
pada kategori rendah.
Jika dilihat pada masing-masing indikator,
tampak bahwa variasi kategori tersebar pada
semua indikator, dengan rincian sebagai
berikut. Kualitas sangat rendah tampak pada
indikator area parkir umum, jalan kecil,
pedestrian secara umum, pedestrian trotoar,
dan jalur sepeda.

M. Syaom Barliana

KO_total_Bandung
Ruang_Publik
Urban_Blok
Bangunan_Umum
Bangunan_Pemerintahan

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kualitas Objektif Kota - Bandung
Std.
N
Mean
Kesimpulan
Deviation Mi
12
371.67
51.18
405
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
12
51.75
9.34
55
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
30.42
2.75
30
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
48.75
4.99
47.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
19.08
2.35
20
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD

Bangunan_Komersial

12

21.42

3.20

17.5

Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD

Bangunan_Residensial

12

36.58

6.43

Jalan_Umum
Parkir_Umum
Jalan_Kecil
Jalan_Utama
Jalan_Perumahan
Gang
Pedestrian_Umum
Pedestrian_Trotoar
Jalur_Sepeda
Ruang_Terbuka_Umum
Ruang_Terbuka_Pusat_Kota

12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12

17.17
10.75
5.83
21.75
10.67
7.00
16.42
9.75
6.92
12.42
17.83

2.72
1.66
1.19
2.73
1.83
1.41
2.19
1.48
1.83
4.70
5.92

37.5
20
15
7.5
22.5
12.5
7.5
22.5
12.5
10
15

Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD

Vegetasi
Valid N (listwise)

12
12

29.67

5.58

17.5
32.5

Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD

Kualitas rendah tampak pada indikator jalan
umum, jalan perumahan, dan vegetasi.Kualitas
sedang atau cukup tinggi ruang publik, urban
blok,
bangunan
umum,
bangunan
pemerintahan,
bangunan
residensial
(perumahan),
jalan utama, gang,
ruang
terbuka secara umum, dan ruang terbuka inti
kota. Selanjutnya, hanya ada satu indikator
yang termasuk kategori kualitas tinggi, yaitu
bangunan komersial.

Selanjutnya, indikator yang termasuk kategori
kualitas sangat tinggi, yaitu ruang publik,
urban blok, bangunan komersial, jalan utama,
pedestrian trotoar, dan ruang terbuka pusat
kota.
Tabel 4, mempertunjukkan kualitas objektif
kota untuk kota Surakarta. Secara umum
dapat disimpulkan kualitas kota Surakarta
termasuk pada kategori sedang atau cukup
tinggi.

Hasil penelitian kualitas objektif kota, kota
Surabaya, dapat dilihat pada tabel 3. Secara
umum, tampak bahwa Surabaya termasuk
pada kategori sangat tinggi.
Jika dilihat pada masing-masing indikator,
tampak bahwa variasi kategori tersebar pada
semua indikator, namun tidak ada indikator
yang berkualitas sangat rendah.
Rinciannya adalah sebagai berikut. Kualitas
rendah tampak hanya pada indikator area
parkir umum. Kualitas sedang atau cukup
tinggi tampak pada indikator jalan jalan kecil,
jalan perumahan, gang, jalur sepeda, ruang
terbuka secara umum. Kualitas tinggi ada
pada
bangunan
umum,
bangunan
pemerintahan, bangunan perumahan, jalan
secara umum, pedestrian secara umum, dan
vegetasi.

Gambar 4. Lokasi Studi Bagian B Kota Bandung

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 5

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota

Ruang_Publik
Urban_Blok
Bangunan_Umum
Bangunan_Pemerintahan
Bangunan_Komersial
Bangunan_Residensial
Jalan_Umum
Parkir_Umum
Jalan_Kecil
Jalan_Utama
Jalan_Perumahan
Gang
Pedestrian_Umum
Pedestrian_Trotoar
Jalur_Sepeda
Ruang_Terbuka_Umum
Ruang_Terbuka_Pusat_Kota
Vegetasi
KO_Surabaya_Total
Valid N (listwise)

Tabel 3. Hasil Pengukuran Kualitas Objektif Kota - Surabaya
Std.
N
Mean
Kesimpulan
Deviation Mi
12
70.75
7.81 55
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
38.50
3.29 30
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
55.17
5.37 47.5
Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD
12
21.75
3.11 20
Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD
12
22.67
2.42 17.5
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
44.67
5.19 37.5
Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD
12
24.92
3.75 20
Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD
12
13.58
2.84 15
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
12
9.67
2.35 7.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
31.92
2.15 22.5
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
11.75
2.26 12.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
6.83
2.69 7.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
26.33
3.06 22.5
Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD
12
15.67
1.67 12.5
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
11.08
3.09 10
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
15.50
1.83 15
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
24.17
3.01 17.5
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
12
12

41.08
486.00

5.21
45.12

Jika dilihat pada masing-masing indikator,
tampak bahwa variasi kategori tersebar pada
semua indikator, namun tidak ada indikator
yang termasuk kategori tinggi.

32.5
405.00

Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

dan hipotesis alternatif diterima, yang
bermakna “terdapat perbedaan signifikan
antara kualitas kota Surabaya dengan
Surakarta”.

b. Diskusi Hasil Penelitian
Kualitas sangat rendah tampak pada indikator
area parkir umum, gang, jalan kecil, jalur
sepeda, dan ruang terbuka secara umum.
Kualitas rendah tampak pada indikator jalan
perumahan dan ruang terbuka pusat kota.
Kualitas sedang atau cukup tinggi terlihat pada
ruang publik, urban blok, bangunan umum,
bangunan pemerintahan, bangunan residensial,
jalan umum, jalan kecil, pedestrian secara
umum, pedestrian trotoar, dan vegetasi.
Selanjutnya, hanya ada satu indikator yang
termasuk kategori kualitas sangat tinggi, yaitu
jalan utama.
Hasil penelitian yang dijelaskan pada tabel 5,
memperlihatkan bahwa: (1) Hipotesis nol
ditolak dan hipotesis alternatif diterima, yang
berarti“terdapat perbedaan signifikan antara
kualitas kota Bandung dengan Surabaya”; (2)
Hipotesis nol diterima dan hipotesis penelitian
ditolak, yang berarti “tidak terdapat perbedaan
signifikan antara kualitas kota Bandung
dengan Surakarta”; (3) Hipotesis nol ditolak

6 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013

Berdasarkan hasil uji perbedaan, tampak tidak
ada perbedaan signifikan kualitas objektif kota
antara Bandung dengan Surakarta. Artinya,
sejumlah perbedaan dalam kualitas indikator
kualitas objektif kota dalam data deskriptif,
dapat diabaikan, karena secara umum kualitas
objektif kota Bandung dan Surakarta sama.
Sebaliknya, terdapat perbedaan signifikan

Gambar 5. Lokasi Studi Bagian D Kota Surabaya

M. Syaom Barliana

antara kualitas objektif kota Bandung dan
Surakarta dengan Surabaya. Sebelum uji
hipotesis perbedaan pun, sudah terlihat pada
data deskriptif, bahwa secara umum kualitas
objektif kota Surabaya berada pada kategori
sangat tinggi, sedangkan Bandung berkategori
rendah, dan Surakarta berkategori sedang.
Menarik untuk mendiskusikan lebih lanjut
gambaran tentang indikator-indikator kota
yang termasuk kualitas sangat tinggi pada
kota Surabaya.
Indikator yang termasuk
kategori kualitas sangat tinggi, yaitu ruang
publik, urban blok, bangunan komersial, jalan
utama, pedestrian trotoar, dan ruang terbuka
pusat kota, yang dapat dianalisis dan
dideskripsikan sebagai berikut.
Pertama, ruang publik. Sangat wajar jika hasil
pengukuran kualitas objektif, menempatkan
struktur dan pola ruang publik kota Surabaya
secara umum pada kategori sangat tinggi, jika
dibandingkan dengan kota Bandung dan
Surakarta.
Bandung dan Surakarta hanya termasuk
kategori sedang. Hasil observasi menunjukkan
bahwa ruang-ruang publik di pusat kota
Surabaya, terutama berkaitan dengan ruang
terbuka yang bisa diakses secara gratis oleh
masyarakat umum, sangat hidup. Masyarakat

Ruang_Publik
Urban_Blok
Bangunan_Umum
Bangunan_Pemerintahan
Bangunan_Komersial
Bangunan_Residensial
Jalan_Umum
Parkir_Umum
Jalan_Kecil
Jalan_Utama
Jalan_Perumahan
Gang
Pedestrian_Umum
Pedestrian_Trotoar
Jalur_Sepeda
Ruang_Terbuka_Umum
Ruang_Terbuka_Pusat_Kota
Vegetasi
KO_Surakarta_Total
Valid N (listwise)

merayakan keberadaan ruang publik itu,
bukan saja pada malam Minggu atau hari
Minggu dan hari-hari libur lainnya, pada pada
hari-hari biasa sepanjang minggu pun –
meskipun dengan intensitas yang menuruntetap terlihat aktivitas pengguna pada ruang
publik tersebut3.
Realitas itu bisa dipahami dengan menelaah
aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas
ruang publik. Ada sejumlah ruang publik di
kota Surabaya, diantaranya adalah Taman
Bungkul, Taman Pelangi, Taman Suryo (Balai
Kota), Taman Monumen Kapal Selam, Taman
Prestasi (Jl. Ketabang Kali), Taman Apasari
(didepan gedung Grahadi), Taman Sulawesi (Jl.
Sulawesi), Taman DR. Soetomo (Jl. DR.
SoetomoDarmo), Taman Mayangkara (di
depan Rumah Sakit Islam), Taman Ronggo
Lawe (Jl. GunungSari), Taman Buah (Jl.
Undaan).
Tempat yang paling diminati, tampaknya
adalah taman Bungkul 4 . Taman Bungkul
sendiri awalnya dibangun sebagai sarana
olahraga, pendidikan dan hiburan.Taman ini
dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas,
seperti trek skateboard dan sepeda, trek
jogging, alun-alun (dengan panggung terbuka
yang
disediakan
untuk
berbagaimacam
hiburan yang tampil secara langsung / live),
akses internet, telepon umum, area khusus

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Objektif Kota - Surakarta
Std.
Deviation Mi
N
Mean
Kesimpulan
12
54.00
11.02 55
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
28.92
2.71 30
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
41.25
4.49 47.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
24.08
2.97 20
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
18.75
3.14 17.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
41.67
3.03 37.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
20.33
2.46 20
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
9.92
1.38 15
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
12
9.50
1.57 7.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
26.83
2.66 22.5
Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD
12
10.50
2.43 12.5
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
12
5.75
0,75 7.5
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
12
21.00
5.74 22.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
12.92
3.34 12.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
5.33
1.72 10
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
12
11.75
1.86 15
Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD
12
15.00
3.10
17.5
Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD
12
33.58
4.21 32.5
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12
391.08
31.39 405.00
Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD
12

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 7

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota

Tabel 5. Hasil Uji Perbedaan Kualitas Objektif Kota
KO_Total_Surabaya - KO_Total_Surakarta - KO_Total_Surakarta KO_total_Bandung
KO_total_Bandung
KO_Total_Surabaya
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

-3.062a
.002

penjaja makanan (Pujasera) dan air keran siap
minum.

Gambar 5. Lokasi Studi Bagian C Kota Surakarta

Dapat diamati, bahwa taman ini memang
memenuhi syarat kualitas ruang publik yang
baik. Pertama, dari segi aksesibilitas bagi
keragaman berbagai kelompok masyarakat,
ruang publik ini sangat terbuka dimasuki oleh
berbagai kelompok masyarakat berbagai usia,

-1.020a
.308

-3.061b
.002

gender, status sosial dan ekonomi, dan lainlain.Taman ini juga didefinisikan dengan
batas-batas yang jelas oleh jalan utama dan
jalan sekunder, dengan jalur dan hirarki
sirkulasi yang jelas untuk masuk atau keluar
area maupun ketika di dalam area. Taman ini
juga dirancang dengan keragaman karakter
visual dan keseimbangan aksentuasi desain,
yang dibangun oleh perpaduan ragam
material; tataan lansekap furnitur; permainan
tinggi rendah tempat duduk, panggung, area
bermain; skala manusiawi; variasi warna dan
cahaya malam hari; serta keragaman dan
keteduhan vegetasi.
Dari segi ukuran, dengan banyaknya
pengguna, terutama pada saat musim puncak,
yaitu malam minggu dan malam libur lainnya,
taman ini terasa sesak. Artinya, ukuran area
publik ini tampaknya sudah terlalu kecil
dibandingkan dengan tingkat kepadatan
pengunjung.
Namun
demikian,
dengan
dimensi luas yang ada sekarang, taman ini
masih mampu mengakomodasi keragaman
perilaku pemakai. Paling tidak, yang diamati,
terdapat lebih dari lima aktivitas pemakai yang

Tabel 6. Prioritas Peningkatan Kualitas objektif kota: Surabaya
Indikator kualitas objektif kota

Kualitas saat ini Target peningkatan Level peningkatan
kualitas
kualitas

Parkir secara umum

Rendah

Sangat tinggi

Tiga

Jalan kecil

Sedang

Sangat tinggi

Dua

Jalan perumahan

Sedang

Sangat tinggi

Dua

Gang

Sedang

Sangat tinggi

Dua

Jalur sepeda

Sedang

Sangat tinggi

Dua

Ruang terbuka secara umum

Sedang

Sangat tinggi

Dua

Bangunan umum

Tinggi

Sangat tinggi

Satu

Bangunan pemerintahan

Tinggi

Sangat tinggi

Satu

Jalan secara umum

Tinggi

Sangat tinggi

Satu

Pedestrian secara umum

Tinggi

Sangat tinggi

Satu

Vegetasi

Tinggi

Sangat tinggi

Satu

8 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013

M. Syaom Barliana

dilakukan di taman ini dalam satu waktu yang
bersamaan, seperti duduk-duduk dan ngobrol,
kencan, membaca, makan-makanan ringan,
bermain musik atau ngamen, berfoto,
permainan anak-anak seperti sepeda, skate
board,
autopet, dan lain-lain.Berbagai
percampuran kegiatan ini, tanpa disadari,
tidak saling mengganggu dan tetap dalam
keseimbangan. Kegiatan inipun terbuka
dilakukan pada siang dan malam hari.
Dilihat dari skala kota, taman Bungkul
tampaknya merupakan bagian dari tataan kota
yang terkordinasi
dengan baik dalam
percampuran tata guna lahan. Dengan posisi
diantara jalan pada ketiga sisinya, maka
ketinggian
maksimum
bangunan
di
sekelilingnya tidak menjadi hambatan, baik
dari aspek visual maupun orientasi lingkungan.
Disamping itu, dengan banyaknya pohonan
dan vegetasi lainnya, taman ini pun cukup
responsif terhadap orientasi pada iklim mikro.
Dalam hal lain, berkaitan tingkat akomodasi
terhadap moda transportasi, taman ini cukup
akomodatif dan mudah dicapai, karena berada
di pusat kota dan jalan utama.
Kedua, urban blok. Urban blok berkaitan
dengan kualitas blok inti kota, yang ditentukan

oleh aspek-aspek berikut. Pedestrian inti kota
Surabaya, menjangkau atau melalui area
blokinti kota yang
luas, meskipun masih
mencakup pedestrian di jalan-jalan utama.
Lebar pedestrian trotoar rata-rata lebih dari
empat meter dengan kualitas menerus, dan
tidak
terputus-putus,
sehingga
cukup
memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki.
Artinya, pedestrian inti kota Surabaya cukup
mengakomodasi hak pejalan kaki, dan tidak
semata-mata berpihak pada kendaraan.
Sebagian trotoar juga mengakomodasi hak
kaum difabel, dengan memberi penanda
perbedaan penutup lantai dan raam. Dengan
demikian, secara umum, dibandingkan dengan
kota Bandung dan Surakarta, inti kota
Surabaya cukup memberi kemudahan dan
kenyamanan bagi pejalan kaki.
Dilihat dari segi setback bangunan, garis
sempadan bangunan dari batas jalan cukup
pendek (5-10 meter).
Namun demikian,
dengan lebar jalan utama dan lebar trotoar
yang cukup lebar, memberi ruang bernafas
dan jarak untuk mengalami kenyamanan
visual. Sekaitan dengan ini, beberapa segmen
inti
kota
juga
menampilkan
ekspresi
arsitektural yang cukup estetis.

Tabel 7. Prioritas Peningkatan Kualitas objektif kota: Bandung
Indikator kualitas objektif kota

Kualitas saat ini Target peningkatan Level peningkatan
kualitas
kualitas

Parkir secara umum

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Jalan kecil

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Pedestrian secara umum

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

pedestrian trotoar

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Jalur sepeda

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Jalan secara umum

Rendah

Tinggi

Dua

Jalan perumahan

Rendah

Tinggi

Dua

Vegetasi

Rendah

Tinggi

Dua

Ruang publik

Sedang

Tinggi

Satu

Urban blok

Sedang

Tinggi

Satu

Bangunan umum,

Sedang

Tinggi

Satu

Bangunan pemerintahan,

Sedang

Tinggi

Satu

Bangunan residensial

Sedang

Tinggi

Satu

Jalan utama

Sedang

Tinggi

Satu

Gang

Sedang

Tinggi

Satu

Ruang terbuka secara umum,

Sedang

Tinggi

Satu

Ruang terbuka inti kota

Sedang

Tinggi

Satu

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 9

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota

Tabel 8. Prioritas Peningkatan Kualitas objektif kota: Surakarta
Indikator kualitas objektif kota

Kualitas saat ini Target peningkatan Level peningkatan
kualitas
kualitas

Area parkir umum,

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Gang,

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Jalan kecil,.

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Jalur sepeda

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Ruang terbuka secara umum

Sangat rendah

Tinggi

Tiga

Jalan perumahan

Rendah

Tinggi

Dua

Ruang terbuka pusat kota

Rendah

Tinggi

Dua

Ruang publik

Sedang

Tinggi

Satu

Urban blok

Sedang

Tinggi

Satu

Bangunan umum

Sedang

Tinggi

Satu

Bangunan pemerintahan

Sedang

Tinggi

Satu

Bangunan residensial

Sedang

Tinggi

Satu

Jalan umum

Sedang

Tinggi

Satu

Jalan kecil

Sedang

Tinggi

Satu

Pedestrian secara umum

Sedang

Tinggi

Satu

Pedestrian trotoar

Sedang

Tinggi

Satu

Vegetasi

Sedang

Tinggi

Satu

Dari segi luasan inti kota, sebagai sebuah ibu
kota propinsi dan kota metropolitan yang terus
berkembang, ukuran blok area inti kota
berkembang meluas. Hal ini terjadi akibat
pengembangan
percampuran
kegiatan
ekonomi, sosial, dan budaya.
Sementara itu, lay out pola jalan inti kota
Surabaya cukup sesuai dengan konteks
lingkungan sekeliling, dengan pola grid dan
hirarki jalan yang didefinisikan secara jelas.
Jalan utama yang lebar, sebagian diantaranya
berupa jalan dua arah namun dipisahkan oleh
ruang terbuka hijau berupa boulevard yang
lebar (antara 4 – 6 meter), cukup memberi
karakter kota yang kuat. Namun demikian,
seperti banyak kota-kota lain di Indonesia,
Surabaya pun mengalami persoalan dalam hal
transportasi publik dan parkir. Alat transportasi
masih didominasi kendaraan pribadi, sehingga
kemacetan dan parkir di kedua sisi jalan,
masih
menjadi
masalah
yang
harus
diselesaikan.
Indikator kota dengan kualitas objektif sangat
tinggi lainnya, adalah area bangunan
komersial. Kualitas ini ditandai oleh keragaman
pilihan jenis hiburan yang dapat diakses oleh
masyarakat, baik jenis hiburan komersial
10 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013

maupun hiburan yang dapat diakses secara
gratis oleh publik. Antara lain, akses terhadap
ruang publik dengan tingkat partisipasi publik
yang sangat tinggi.
Demikian pula dengan keragaman pasar retail.
Di
Surabaya
terdapat
banyak
pusat
perbelanjaan, paling tidak ada 11 pasar
tradisional (besar) dan 15 mall 5 , dengan
sejumlah pasar tradisional kecil. Di inti kotanya
sendiri terdapat enam pasar tradisional 6 .
Keragaman jenis barang dan perbedaan
karakter, menyebabkan pasar dan mall ini
memiliki pangsa pasar yang berbeda.
Umumnya, retail ini memiliki keterkaitan
langsung
dengan
jalan,
sehingga
memudahkan akses bagi pengunjung.
Dilihat dari aspek kekhususan distrik, kota
Surabaya memiliki koridor komersial jalan
Tunjungan yang dapat diidentifikasi sebagai
koridor komersial bersejarah bagi kota
Surabaya. Meskipun dalam perkembangannya
kemudian, desain arsitektur modern yang
diterapkan pada mall dan pusat perbelanjaan
lainnya kurang terintegrasi dengan konteks
kualitas historis ini, koridor jalan Tunjungan
merupakan area komersial utama dengan
Tunjungan
Plaza
sebagai
pusatnya.

M. Syaom Barliana

Poerbantano 7 menyatakan bahwa kekhususan
koridor jalan Tunjungan lebih signifikan bila
dilihat dari sudut; kualitas sejarah, kualitas
estetika, kualitas sosial, dan kualitas
ilmu pengetahuan yang melekat padanya.
Berkaitan dengan industri non-toxic, observer
tidak melakukan pengukuran langsung dengan
melihat limbah industri yang ada di kota
Surabaya.
Namun
dengan
menelaah
kebersihan sungai dan kejernihan air sungai
yang membelah kota, maka dibandingkan
dengan Bandung dan Surakarta, pemerintah
dan masyarakat kota Surabaya dapat
disimpulkan cukup berhasil mengelola limbah
industri dan rumah tangga yang mencemari
sungai.
Diskusi berikutnya berkaitan dengan indikator
jalan utama, sebagian sudah disinggung di
atas. Kualitas objektif jalan utama kota juga
ditentukan oleh prinsip jalan masuk kota
Surabaya yang memberi kejelasan arah,
kualitas kerataan jalan yang bagus, hambatan
jalan yang minimal kecuali akibat kemacetan
dan sebagian parkir di kedua sisi jalan. Ukuran
jalan utama cukup lebar yaitu kebih dari dua
puluh meter untuk jalan dua arah yang
dipisahkan oleh boulevard taman hijau kota
hampir sepanjang jalan utama. Keberadaan
boulevard, pada satu sisi sangat membantu
artikulasi estetis jalan dan ruang terbuka hijau,
namun juga menjauhkan persilangan untuk
berputar kembali. Artikulasi bentuk bangunan
sepanjang utama, memang sangat beragam,
namun pada beberapa bagian jalan cukup
artikulatif menampilkan karakter arsitektur
modern.
Berkaitan dengan indikator pedestrian trotoar,
sebagian juga sudah disinggung di atas.
Dibandingkan dengan Bandung dan Surakarta,
kualitas objektif trotoar inti pusat kota
Surabaya memang jauh lebih baik. Lebar
trotoar antara 4 sampai 6 meter, sejajar
dengan
jalan,
dan
dengan
tingkat
kenyamanan yang cukup baik karena trotoar
tidak terputus-putus oleh jalan masuk ke
bangunan. Beberapa penggal jalan, memang
masih menghadapi persoalan okupasi oleh
aktivitas lain seperti pedagang kaki lima.
Namun dibandingkan dengan Bandung,
okupasi oleh pejalan kaki lima relatif lebih
sedikit.

Terakhir kualitas objektif sangat tinggi ada
pada indikator ruang terbuka inti kota. Seperti
telah dicatat di atas, Surabaya memperoleh
penghargaan sebagai kota terbaik se Asia
Pasifik dari Citynet, untuk kategori ruang
publik dan partisipasi publik. Hasil observasi
menunjukkan memang kualitas objektif ruang
terbuka memang sangat tinggi, hal ini ditandai
dengan inti kota yang sebagian berpusat pada
ruang terbuka hijau, serta menjadi pusat
estetika visual, seperti Taman Balaikota,
Taman Bungkul, dan boulevard sepanjang
jalan utama. Di beberapa bagian ruang
terbuka hijau tersedia koridor untuk rekreasi,
seperti di taman Bungkul, taman Pelangi,
taman Monumen Kapal Selam, dan disejumlah
taman kecil serta koridor jalan lainnya. Ruangruang terbuka yang sekaligus ruang publik ini,
dapat langsung diakses dari jalan utama, serta
sebagian menyediakan fasilitas untuk beragam
aktivitas seperti bermain, olahraga, wisata
kuliner, dan lain-lain. Dengan partisipasi publik
yang tinggi, lokasi-lokasi ruang publik itu
menjadi pusat komunitas untuk berinteraksi
sosial.
Berdasarkan perbedaan level kualitas objektif
Bandung, Surabaya, dan Surakarta, maka
dapat dianalisis, implikasi tingkat prioritas
indikator kota yang harus ditingkatkan
kualitasnya. Dengan pertimbangan penataan
kota yang berdimensi jangka pendek (lima
tahun), jangka menengah (10 tahun), dan
jangka panjang (20 - 25 tahun), maka
peningkatan kualitas indikator kota dapat
ditetapkan maksimum tiga level untuk
penataan jangka panjang.
Berdasarkan hal itu, pada kota Surabaya,
sasaran atau target peningkatan kualitas
indikator kota seharusnya adalah kategori
sangat tinggi pada semua indikator. Dengan
demikian, fokus peningkatan adalah pada
indikator yang masih rendah, sedang, dan
tinggi, seperti dinyatakan dalam tabel 6.
Untuk kota Bandung dan Surakarta, target
peningkatan kualitas dapat ditetapkan pada
kategori tinggi, dengan orientasi jangka waktu
pendek, menengah, dan panjang seperti
terlihat pada tabel 7 dan 8.

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 11

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota

D. Kesimpulan
Pertama, kota Surabaya secara umum
memiliki kualitas objektif kota sangat tinggi.
Jika dilihat per indikator kota, aspek dengan
kualitas sangat tinggi terdapat pada ruang
publik, urban blok, bangunan komersial, jalan
utama, pedestrian trotoar, dan ruang terbuka
pusat kota. Kualitas objektif kota Bandung dan
Surakarta tidak memiliki perbedaan signifikan,
termasuk kategori rendah sampai sedang.
Kedua, kualitas objektif kota sangat penting
untuk terus menerus ditingkatkan, dan ini
merupakan tanggung pemerintah daerah. Kota
Surabaya, dengan walikota yang memiliki visi
tentang
kota
yang
baik,
telah
membuktikannya. Di sisi lain, masyarakat
harus terus ditingkatkan keterlibatannya dalam
aktivitas komunitas untuk mencintai dan
menghargai kotanya, serta interaksi dan
interrelasinya di ruang publik.
Ketiga, pada kota Surabaya, sasaran atau
target peningkatan kualitas indikator kota
seharusnya adalah kategori sangat tinggi pada
semua indikator. Dengan demikian, fokus
peningkatan adalah pada indikator yang masih
rendah, sedang, dan tinggi. Untuk kota
Bandung dan Surakarta, target peningkatan
kualitas dapat ditetapkan pada kategori tinggi,
dengan orientasi jangka waktu pendek,
menengah, dan panjang

E. Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu penelitian ini,
terutama kepada sponsor dana penelitian
skema Strategis Nasional 2012, DiktiKemendikbud
RI.
Penghargaan
kami
sampaikan pula kepada serta para anggota
Komunitas Ontel, Komunitas Aleut, dan
Komunitas Sahabat Kota di Kota Bandung;
Komunitas Sepeda Onthel, Komunitas Solo
Kota Kita, Komunitas Kampung Kita, dan
Komunitas Rebon (Diskusi Arsitektur) di
Surakarta; Komunitas Kami Arsitek Jengki,
Komunitas Manic Street Walkers, Komunitas
Jurnalis Pecinta Lingkungan, Komunitas
Surabaya Tempo Doeloe di kota Surabaya,

12 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013

serta anggota masyarakat pengguna ruang
publik yang bersedia menjadi sampel
penelitian. Terimakasih pula kepada Bappeda
Kota Bandung, Surabaya, dan Surakarta, yang
telah mengijinkan kami untuk mengakses data
kebijakan penataan kota. Terakhir, kami
sampaikan terima kasih kepada rekan Adi
Ardiansyah dan kepada mahasiswa kami,
Intan, Rani, dan Siti yang telah membantu
dalam pengumpulan data lapangan.

Daftar Pustaka
Ibrahim, H. (2000). An analytical comparative
approach to the relationships between
spontaneus and vernacular settlement.
SEP. Egypt: Faculty of Engineering, Cairo
University. On Tamer Abdel Aziz and
Indjy M.Shawket / Energy Procedia 6
(2011) 228–235. On 1876–6102 © 2011
Published
by
Elsevier
Ltd.
doi:10.1016/j.egypro.2011.05.026
Jenks, Mike and Burgess, Rod
(2010)
Compact Cities : Sustainable Urban
Forms for Developing Countries. New
York : Spon Press

Lynch, Kevin (1984). Good City Form.
Cambrigde: The MIT Press
Poerbantanoe, Benny (1999). The Lost-City
dan Lost-Space karena Perkembangan
Pengembangan Tata Ruang Kota. Kasus:
Koridor Komersial Jalan Tunjungan,
Kotamadya Surabaya. Dimensi Teknik
Arsitektur VOL. 27, NO. 2, Desember
1999: 31 - 39.

Shirvani, Hamid (1985). The Urban Design
Process. New York: Van Nostrand
Reinhold Co
Smith, Tara., Nelischer, Maurice., Perkins,
Nathan (1997). Quality of an urban
community:
a
framework
for
understanding the relationship between
quality and physical form. Landscape and
Urban Planning 39 (1997) 229-241,
Elsevier Science Ltd.

Catatan Kaki
1

Penelitian dirancang untuk tiga tahun, dengan
fokus kepada permasalahan penataan kota besar

M. Syaom Barliana

dan pendidikan untuk menjadi warga kota yang
baik. Tujuan penelitian,
ingin mempertemukan
antara kebijakan dan implementasi kebijakan
pemerintah daerah dalam penataan kota dengan
kesadaran dan tindakan masyarakat dalam
mengapresiasi dan meningkatkan kualitas kotanya.
2
Observasi berdasarkan persepsi spasial ahli.
Artinya sebagai observer, pakar tidak melakukan
pengukuran langsung secara fisik. Misalnya, tentang
lebar pedestrian, observer tidak mengukur dengan
alat ukur meteran, tetapi berdasarkan perkiraan
visual persepsial saja. Pedoman observasional
dilengkapi dengan optional parameter tertutup
tentang kualitas kota objektif, sehingga observer
tinggal memilih parameter yang dianggap paling
tepat. Tidak dilakukan analisis induktif (validitas)
pada instrumen ini, karena pengukuran dilakukan
langsung oleh pakar, yaitu: (1) M. Syaom Barliana,
Guru Besar pada bidang Sosiologi Arsitektur,
Universitas Pendidikan Indonesia; (2) Diah Cahyani,
Magister Arsitektur dalam bidang Perumahan dan
Permukiman,
Dosen
Universitas
Pendidikan
Indonesia; (3) Adi Ardiansyah, Magister Arsitektur
bidang Perancangan Kota, Dosen Universitas
Pendidikan Indonesia.
3
Berkaitan dengan kualitas ruang publik dan
partisipasi masyarakat ini, kota Surabaya terpilih
sebagai kota terbaik se Asia Pasifik versi Citynet.
Warga dan pemerintah kota Surabaya dinilai proaktif
dalam
menghidupkan
aktivitas
publik
dan
perekonomian kota, sehingga berhak memperoleh
penghargaan City to City. Lihat: Kompas, Kamis 12
Juli 2012
4
Taman tersebut sendiri awalnya dibangun sebagai
makam untuk Mbah Bungkul. Mbah Bungkul,
merupakan “Sunan” atau yang menyebarkan agama
Islam pada saat itu di Pulau Jawa, seperti halnya:
Syah Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng
(Magelang), Sunan Tembayat(Klaten), KI Ageng
Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan
Prapen (Gresik), dll. Lihat: http://www.surabaya.
go.id/wisata
5
.Lihat: Info Pasar di Surabaya. http://pasar
surabaya.wordpress.com/pasar-dan-mall.
6
Surabaya Pusat adalah tempatnya pasar-pasar
berkumpul, karena setidaknya ada enam pasar
berada di wilayah ini. Pasar Bunga Kayaoon pilihan
lain untuk membeli bunga selain pasar Bunga
Bratang, Pasar Genteng menawarkan barang-barang
elektronik, Pasar Turi yang melegenda, Pasar
Blauran tempat wisata kuliner, Pasar Keputran, dan
Pasar Buah Widodaren yang merupakan pusat
penjualan buah-buahan tropis.
7
Lihat: Benny Poerbantanoe (1999). The Lost-City
dan
Lost-Space
karena
Perkembangan
Pengembangan Tata Ruang Kota. Kasus: Koridor
Komersial Jalan Tunjungan, Kotamadya Surabaya.
Dimensi Teknik Arsitektur VOL. 27, NO. 2, Desember
1999: 31 - 39.
Menurutnya: Kualitas sejarah,
koridor komersial jalan Tunjungan merupakan saksi

dan bukti perkembangan kota Surabaya. Di sini
telah nama tercatat tokoh dan peristiwa yang
mempunyai signifikansi sejarah bertaraf nasional.
Kualitas Estetika, karakter bangunan dikoridor
komersial jalan Tunjungan yang terbentuk dari
struktur koridor komersial sejak awal keberadaannya
telah membentuk karakter arsitektur yang unik dan
khas, yang diwakili oleh tiga langgam arsitektur,
yaitu; Empire style, Arsitektur Indische, Arsitektur
New Bouven. Ciri masing-masing langgam yang
dibentuk
oleh
elemen-elemen
arsitekturnya
mempunyai karakter yang khas dan unik sehingga
memberikan kualitas signifikansi yang tinggi bagi
kroridor ini secara keseluruhan. Kualitas Sosial.
Koridor komersial jalan Tunjungan sejak awal
keberadaannya hingga kini telah berperan sebagai
koridor sosial tempat orang meluangkan waktu,
berbelanja atau hanya sekedar lewat. Walaupun
kualitas tersebutmengalami fluktuasi sejalan dengan
perkembangan sejarah. Koridor ini sebagai bagian
penting dari kota Surabaya tetap memiliki
signifikansi sosial yang tinggi (ingat lagu; Rekayo
rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan). Kualitas Ilmu
Pengetahuan. Di koridor komersial jalan Tunjungan
terdapat beberapa tetenger sejarah yang menandai
perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Ini mewarnai koridor ini sebagai saksi sejarah
perkembangan kota Surabaya dan Perjuangan
Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadikannya
sebagai museum hidup yang dapat berfungsi
sebagai ajang pendidikan sekaligus kesenangan bagi
masyarakat kota.

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 13

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil badan usaha milik daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Tangerang (2003-2009)

19 136 149

Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

2 95 93

Aplikasi penentu hukum halal haram makanan dari jenis hewan berbasis WEB

48 291 143