Produksi Fast Fashion Hubungan Asimetris
Produksi Fast Fashion : Hubungan Asimetris antara Bisnis Fashion terhadap
Kesejahteraan Pekerja Bangladesh
Fitri Handayani
071411231027
ABSTRACT
Power and Poverty has a complex relationship, but also simple. Complex because it includes everything in
the world, and the simplicity that lies in the linkage relationship itself. Over the years, new changes emerge
and replace the old values that are considered to be no longer implemented. Time changes lead the world
community to the new lifestyle where everything can be done quickly, practical, and tend to be instant. This
encourages the existence of exploration and innovation in every single aspect of life. The concept of fastfashion has become an important part of today’ international companies acting in the fashion industry. The
globalization has a great impact on this quite new phenomenon. Consumers demand high fashion products
and the challengers for the companies are to get the latest trend into the market in the right time. The
increased demand form the consumers are leading to short product life cycles. The more mass production is,
the more natural and manpower resources that needed. This article will review more about the implications
of the trend of Fast Fashion, the clothes we wear, the people who make these clothes, and their impact on
the world by describing how strong the relationship between power and poverty and also its consequences
considering behind the concept of low-cost clothing itself.
Kata Kunci: Fast Fashion, Demand, Consequences, Power & Poverty, Global Phenomenon.
ABSTRAK
Kekuasaan dan kemiskinan yang meluas di seluruh dunia memiliki keterkaitan yang kompleks namun juga
sederhana. Kompleks karena mencakup segala hal di dunia, dan kesederhanaan yang terletak pada
hubungan keterkaitan itu sendiri. Seiring dengan perkembangan waktu, perubahan-perubahan baru pun
turut bermunculan dan mengganti nilai-nilai lama yang dianggap sudah tak dapat lagi diimplementasikan.
Perubahan waktu tersebut menghantarkan masyarakat dunia pada gaya hidup yang serba praktis dan
canggih, dimana semuanya dapat dilakukan secara cepat dan cenderung instan. Inilah yang kemudian
mendorong adanya eksplorasi dan inovasi pada segala aspek kehidupan. Merambat pada dunia mode,
kemunculan frase Fast Fashion Clothing menjadi fenomena global. Tingginya permintaan akan jumlah
produksi pakaian tersebut secara tidak langsung mempengaruhi rantai produksi dan proses panjang yang
1
harus dilakukan. Semakin massal produksi pakaian-pakaian tersebut, semakin banyak sumber daya alam
dan tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada sisi lain, biaya dan waktu yang tak sedikit pun tentunya sangat
krusial bagi rantai produksi yang panjang. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai implikasi tren
Fast Fashion, pakaian yang kita kenakan, orang-orang yang membuat pakaian, dan dampaknya pada dunia
ini dengan mengupas seberapa kuatnya keterkaitan diantara power & poverty beserta konsekuensi mahal
dibalik konsep low-cost clothing itu sendiri.
Keywords : Fast fashion, permintaan, konsekuensi, Kekuatan & Kemiskinan, Fenomena Global.
Proses globalisasi dunia secara konstan semakin meningkat dan membuat sekat diantara negara-negara dunia
semakin menipis. Suatu fenomena mampu menghubungkan banyak negara di dunia yang kemudian
menghantarkan banyak perusahaan untuk bekerjasama dibawah naungan pasar global. Hal ini
mengakibatkan perbesaran jumlah perusahaan-perusahaan internasional yang turut andil dalam lingkungan
global (Stiglitz 2007). Keikutsertaan pada tingkat global memang memiliki banyak keuntungan namun
tantangan perubahan dan kompetisi pasar berada pada tingkatan yang lebih tinggi pada pasar global.
Kompetisi yang sangat tinggi khususnya pada pergerakan industri yang cepat kemudian terepresentasikan
oleh siklus hidup yang pendek dan permintaan konsumen yang dapat berubah-ubah dalam jangka beberapa
minggu bahkan dapat semalaman (Sheridan et al. 2006). Industri fashion adalah suatu sektor yang memiliki
kekhasan pada siklus hidup produk yang pendek, volatilitas tinggi, dan tingkat pembelian yang tinggi.
Industri fashion termasuk kedalam salah satu the most globalized sectors di dunia dan selalu memiliki
turnover setiap tahunnya dengan jumlah yang mencapai hingga multimilyaran (Jackson & Shaw 2016).
Sehingga terbilang bahwa fashion memengan peran pemimpin pada perkembangan global.
Industri pakaian dan fashion telah berkembang secara signifikan terutama selama 20 tahun terakhir.
Dinamika perubahan industri fashion telah memaksa ritel-ritel untuk menekan biaya dan mengusung konsep
low-cost clothing namun tetap mengutamakan fleksibilitas dalam desain, kualitas, dan kecepatan pemasaran
serta strategi untuk mempertahankan proposisi menguntungkan didalam perkembangan permintaan pasar
(Merlin 2001; Christopher et al. 2004). Secara tradisional, para ritel fashion menggunakan jaringan mereka
untuk melakukan survey permintaan pelanggan dan menerka-nerka tren fashion ready-to-wear atau tren
pakaian siap pakai yang akan menaikkan penjualan mereka. Inilah yang kemudian disebut sebagai konsep
fast fashion. Namun dalam beberapa tahun terakhir dapat terlihat bahwa para ritel fashion saling bersaing
dengan yang lainnya dengan memastikan kecepatan pada pasar dengan kemampuan mereka untuk
menyediakan fashion tren yang cepat melalui fashion show dan runways.
Para ritel mengkreditkan penerapan ‘quick fashion’ sebagai hasil dari proses dalam jangka waktu yang tidak
dapat diprediksi diantara proses desain dan konsumsi pakaiannya (Bruce & Daly 2006). Pasar fashion
2
dewasa ini sangat kompetitif dan memiliki kebutuhan rentang waktu yang konstan agar dapat ‘menyegarkan’
kembali produk-produk mereka sehingga diperlukan pula langkah bagi para ritel untuk memperpanjang
jumlah ‘musim’ fashion dimana frekuensi seluruh barang dagangan berubah (Bruce & Daly 2006). Dengan
munculnya koleksi kecil barang dagangan, ritel fashion secara tidak langsung mendorong konsumen untuk
mengunjungi toko mereka lebih sering lagi dengan ide ‘Here today, Gone tomorrow.” Hal ini mengindikasi
siklus hidup dunia fashion yang lebih pendek. Fast fashion terbukti dapat meningkatkan rate penjualan
karena terkesan lebih murah dan cepat jika dibandingkan dengan high fashion yang mahal namun hanya
dapat dijangkau oleh kaum menengah keatas meskipun jika dihitung secara keseluruhan, fast fashion lebih
menguras konsumen untuk selalu merasa haus dalam membeli pakaiannya.
ZARA dan H&M Sebagai Pionir Industri Fast Fashion
Tak mahal namun berkualitas. Prinsip itulah yang kemudian diangkat oleh dunia industri pakaian ditengah
tuntutan pola hidup masyarakat dunia yang serba praktis sebagai ajang prestisius dalam pengembangan
manufakturnya. Frasa “Fast Fashion” merujuk pada koleksi low-cost clothing didasarkan pada tren fashion
terbaru yang mampu menjadi jalan pilihan konsumen terutama generasi muda tanpa perlu mengeluarkan
biaya yang tinggi agar dapat menikmati gaya hidup yang luxurious. Hal ini secara langsung juga memicu
para konsumen khususnya penikmat fashion untuk selalu mengikuti tren mode terbaru. Salah satu contoh
sederhananya dapat terlihat pada kunci sukses ZARA, sebuah perusahaan ritel garmen terbesar di dunia
dengan produksi 840 juta garmen setiap tahunnya setiap tahunnya yang tidak memajang produknya dalam
waktu yang lama dengan menargetkan para konsumen untuk tidak menunda pembelian baju yang mereka
inginkan agar tidak kehilangan kesempatan untuk membelinya (Sekaran & Bougie 2009). Hal ini jelas
berkontradiksi dengan produk high-cost fashion seperti PRADA, Jimmy Choo, GUESS, atau Kate Spade
yang cenderung affordable bagi orang menengah keatas.
Visi ZARA terletak pada pentingnya konsumen, model bisnis, desain, produksi, distribusi, dan penjualan
melalui jaringan ritel yang luas (ZARA Company 2011). ZARA merupakan rantai fashion yang tersebar di
77 negara dengan lebih dari 1483 toko-toko yang terletak di kota-kota besar di dunia. ZARA menggunakan
aliran informasi dari masing-masing cabang tokonya untuk menyampaikan keinginan dan permintaan
pelanggan mereka yang menyelaraskan permintaan tersebut untuk membantu membentuk ide-ide desain dan
tren fashion yang akan diaplikasikan kedepannya sehingga tingkat penjualan pun akan meningkat dan secara
tidak langsung membentuk trend dan perkembangan taste pada dunia Fashion karena beberapa perusahaan
baju pun berkiblat pada ZARA (ZARA 2011). Konsep ini disebutkan sebagai kunci sukses ZARA dalam
menangkap trend dan selera dari berbagai macam orang, budaya, dan generasi yang memiliki nilai-nilai
yang berbeda, namun berbagi keiginan yang sama pada dunia fashion. ZARA menjadi contoh perusahaan
fast fashion yang tepat karena telah sukses mengembangkan rantai pasokan dengan cepat dan fleksibel.
3
Perusahaan ZARA sendiri dapat mendesain, memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk baru hanya
dalam hitungan 15 hari. Hal ini membawa kemungkinan bagi ZARA untuk menawarkan desain dan fasion
yang up-to-date selaras dengan permintaan konsumen Ferdows et al. 2004). Tujuan dari ZARA sendiri
bukanlah untuk mendapatkan skala ekonomik namun mereka lebih suka menghasilkan dalam batch kecil
dimana pabrik-pabrik memprioritaskan kualitas sebelum memaksimalkan output (Ferdows et al. 2004).
ZARA memiliki integrasi rantai pasukan secara vertical yang membuat kemungkinan produksi barang baru
dengan jangka waktu yang pendek yang sejalan dengan tuntutan fast fashion.
Selain ZARA, H&M juga merupakan perusahaan fashion yang terkoneksi secara kuat dengan konsep Fast
Fashion. Dalam menciptakan koleksi, H&M memprioritaskan pemahaman dan pemenuhan permintaan
pelanggan yang tinggi. Apapun yang diinginkan oleh pelanggan adalh kunci bagi seluruh proses yang
dimulai dari ide-ide pembuatan produk baru hingga proses pembelian barang oleh para pelanggan. Proses
penciptaan dan perencanaan untuk koleksi yang berbeda dibuat secara terpusat (The H&M Way 2016).
Strategi H&M ketika memulai bekerja pada koleksi baru terletak pada desainer, pembuat pola dan pembeli
setuju pada tren yang menjadi simpanan koleksi fashion milik H&M di musim mendatang. Tahap
selanjutnya adalah untuk mencoba mencari keseimbangan atau titik tengah pada perbedaan gaya, dasar-dasar
modern, fashion yang tengah menjadi trend an high fashion.
Agar dapat membangun susunan produk-produk H&M yang diletakkan pada kombinasi yang baik yang
mencakup perbedaan gaya dan jumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil final. Tren yang telah tercipta
pada musim sebelumnya kemudian dikombinasikan pada tren musim kedepannya dengan memperhatikan
mode, warna, dan lainnya (Idea and Design 2011). Permintaan pelanggan pada tiap toko yang berbeda dan
pasar merupakan dasar bagi berbagai produk. Baik ZARA dan H&M juga memperhatikan titik peletakan
lokasi toko atau cabang tokonya karena masing-masing lokasi memberikan pengaruh pada pendistribusian
produk. Produk high fashion kerap diproduksi dalam jumlah terbatas di toko-toko yang terletak di kota-kota
besar (Planning the range 2011). Namun produk dasar seperti kemeja, blouse, jaket, celana diproduksi dalam
volume yang lebih besar dan didistribusikan ke banyak toko (Hayes & Jones, 2006). Kunci konsep dari
ZARA dan H&M adalah untuk mendapatkan produk yang tepat untuk toko yang tepat pada waktu yang tepat
sehingga pelanggan selalu melihat sesuatu yang menarik dan baru setiap kali mereka datang ke toko. Kunci
konsep ini juga menjadi tantangan bagi ZARA dan H&M serta setiap perusahaan fast fashion di ranah high
fashion.
Konsep Pos-Fordisme dalam Industri Fast Fashion
Pada titik ini dapat terlihat keselarasan konsep ZARA dan H&M dengan konsep Pos-Fordisme yang dimana
terdapat pola pemanfaatan kapital secra efisien dan inovatif yang diperkuat dengan perkembangan teknologi
4
informasi. Pernyataan penulis ini berbasis pada sistem survey yang dilakukan oleh pihak pusat ZARA dan
H&M kepada seluruh toko cabang yang tersebar di dunia mengenai keinginan dan permintaan masingmasing pelanggan. Negara tidak lagi berperan sebagai aktor dominan dalam ranah perekonomian karena
Pos-Fordisme cenderung mementingkan perbaikan pasar sebagai fokus utama dan dengan aktor-aktor non
negara yang lebih mendominasi yakni perusahaan multinasional lintas negara (Castells 1996). Implementasi
yang dilakukan oleh ZARA dan H&M bergantung pada inovasi dalam teknologi sebagai faktor utama
jalannya perusahaan mereka dan didasari pada produksi yang fleksibel yakni bergantung pada demand dari
para pelanggan. Para pekerja di kedua perusahaan fast fashion tersebut dapat mengerjakan banyak hal
sekaligus seperti menentukan ide-ide desain, memulai proses desain, hingga memperkirakan tren mode
kedepannya. Selanjutnya ZARA dan H&M juga melakukan proses internasionalisasi yakni menebarkan
cabangnya di berbagai negara di dunia khususnya pada kota-kota besar di negara-negara tersebut. Konsep
ZARA dan H&M tidak lagi terbatas pada permintaan dalam sebuah negara namun meluas. Dalam PosFordisme, dorongan-permintaan atau demand-driven lebih menentukan daripada dorongan-penawaran atau
supply-driven (Markantonatou 2007). Kompetisi atau persaingan antar perusahaan lebih banyak berkutat
pada faktor non-harga namun dengan perbaikan kualitas dan tampilan bagi sebuah produk individual dengan
sikap responsif pada pelanggan.
Sejalan dengan konsep Pos-Fordisme, konsep fashion ini sejatinya berkaitan erat dengan adanya
Multinational Corporation atau perusahaan multinasional yang menjadi aktor integrasi perekonomian dunia
sebagai bentuk akibat dari fitur globalisasi yang mendorong perdagangan internasional menjadi perdagangan
yang terbuka dan kompleks (Thun 2008). Perdagangan internasional tidak menjadi hal yang baru sehingga
Pos-Fordisme dan MNC kerap dianggap sebagai konsep yang mengulang model produksi sebelumnya
dengan perlunya bahan baku yang diimpor dari negara periferi, penciptaan dan produksi dilakukan di negara
pusat, dan pendistribusian yang kemudian dilakukan secara global (Thun 2008). Perusahaan seperti ZARA
dan H&M mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai liberal kapitalisme yang terkategorikan oleh
Magdoff (1978) menjadi tiga yakni yang pertama adalah expand continuously yang dicontohkan pada fakta
bahwa ZARA dan H&M telah menyebar cabang perusahaannya di 77 lebih negara dunia dan akan terus
bertambah setiap tahunnya. Kedua adalah akumulasi kapital yang terfokus pada sentral perusahaan. Ketiga
adalah menerapkan asumsi bahwa pasar dunia fashion terus berkembang dan terintegrasi yang
mengharuskan perusahaan tersebut untuk menyediakan elemen dan substansi penting bagi sistem
produksinya. Pada titik ini terlihat bahwa ZARA, H&M, dan perusahaan-perusahaan Fast Fashion lainnya
secara jelas menerapkan konsep Pos-Fordisme. Sistem ekonomi informasional pun jelas diterapkan pada
perusahaan-perusahaan tersebut karena produktifitas dan daya saing pada setiap unit perusahaan atau cabang
sangat bergantung pada kemampuan masing-masing untuk menghasilkan, memproses, dan menerapkan
pengetahuan secara efisien bedasarkan infprmasi yang ada (Castels, 1996).
5
Konsumen menjadi lebih menuntut dan menyebabkan ritel fashion terpaksa untuk menyediakan produk yang
tepat pada waktu yang tepat pula di pasar. Dalam dunia digital dimana informasi dan tren baru dapat diakses
dengan mudah di seluruh dunia dengan kecepatan tinggi, konsumen cenderung memiliki lebih banyak
pilihan dan berbelanja lebih sering. Perubahan gaya hidup karena faktor sosiokultural dan butuhnya esensi
unik pada masing-masing merk memaksa ritel fashion untuk memperbaharui barang secara terus menerus
untuk berurusan dengan meningkatnya kompetisi di pasar. Tuntutan konstan konsumen memiliki dampak
proses ‘peramalan’ dan perencanaan produk bergeser ke mereplikasi desain terkenal dari gaya dan majalah
mode serta penggalangan fashion show dalam skala kecil namun sering (Rosenblum 2015).
Pengaruh Demand terhadap Perkembangan Negara Penyedia Outsourcing
Dorongan permintaan pelanggan yang tinggi oleh fast fashion yang selalu mengejar target pemasaran yang
berganti-ganti dalam hitungan bulan, minggu, bahkan hari, membuat perusahaan-perusahaan yang
mengangkat mode fashion tersebut untuk melebarkan jaringan outsourcing atau sumber daya diluar
negaranya. Meskipun mengusung konsep ‘cepat’ namun fast fashion tetaplah butuh untuk melewati proses
panjang yang bertahap untuk memproduksi satu helai pakaian. Rantai proses pakaian dimulai dari
ketersediaan bahan baku, mempersiapkan ornament, hingga sampai pada tahap produksi dan distribusi. Hal
ini yang kemudian menjadikan perusahaan fashion internasional untuk menjaring pabrik-pabrik di negara
berkembang. Alasannya cukup sederhana, yakni karena upah buruh di negara-negara berkembang terhitung
relatif murah jika harus dibandingkan di industri negara maju. Bangladesh merupakan salah satu industri
pakaian yang mendasarkan industri garmen sebagai divisi ekspor utama dan sumber utama devisa
negaranya. Negara ini bahkan menduduki peringkat eksportir garmen yang terbesar kedua di dunia setelah
China yang memberikan suplai garmen kepada perusahaan-perusahaan multinasional dunia. Saat ini negara
tersebut telah menghasilkan milyaran produk garmen yang terekspor hingga penjuru dunia meski pada satu
sisi negara ini juga terkenal dengan kekurangan kesejahteraan buruh pakaiannya. Rendahnya tingkat
kesejahteraan buruh garmen Bangladesh menjadi paradoks tersendiri mengingat sektor industri pakaian
adalah lahan kehidupan masyarakat Bangladesh yang sebelumnya telah mengalami masa peralihan dari
lahan-lahan pertanian hingga memasuki era industrialisasi (Hossain 2002, 84). Fakta membuktikan bahwa
industri garmen menyumbangkan kurang lebih 194 triliun rupiah setiap tahunnya dengan kisaran 79% dari
pendapatan negara tersebut. Bangladesh memiliki lebih dari 5000 pabrik garmen dengan lebih dari 3 juta
pekerja secara keseluruhan dan 80% dari pekerja tersebut adalah perempuan (Rashid 2002, 109).
Pembeli dari industri garmen Bangladesh adalah kelompok yang heterogen dan mencakup pedagang,
department store, cabang retail high street, dan utamanya adalah merk fashion terkemuka sepeti H&M dan
ZARA (Quddus & Rashid dalam Kabeer & Mahmud 2004, 142). Pemilik perusahaan garmen di Bangladesh
kerap terjebak dalam tuntutan permintaan pembeli pada industri global yang secara konsekuen mengalami
6
fluktuasi terkait mode fashion yang selalu berubah-ubah sehingga menciptakan ketidakpastian yang ekstrim
pada proses produksi. Para pekerja dipaksa untuk bekerja dalam atmosfir yang penuh ketidakpastian karena
persaingan yang intens (Kabeer & Mahmud 2004, 143). Pemilik pabrik ditantang untuk mampu
menanggung banyak resiko seperti membayar kain bahkan sebelum pabrik tersebut menerima pembayaran
untuk pesanan. Apabila pembeli tidak puas dengan pengiriman atau karena pengiriman terlambat, maka
perusahaan harus mengurangi harga dalam rangka untuk memastika bahwa produk tersebut tetap terjual dan
mampu menutupi hutang perusahaan dan membayar para tenaga kerja. Disisi lain tidak ada yang dapat
menjamin bahwa pesanan akan datang secara teratur atau pengiriman kain dapat diterima oleh para pembeli
(Kabeer & Mahmud 2004, 143).
Teori Modern World System dalam Ekonomi Politik Internasional
Fenomena tersebut dapat dikaji melalui studi Ekonomi Politik Internasional melalui teori Modern World
System. Gilpin (1987) menyebutkan bahwa Teori Modern World System merupakan teori yang menganggap
bentuk kapitalisme yang menciptakan kelas-kelas sosial sebagai sebuah fenomena global. Ekonomi Politik
Internasional dianggap memiliki tatanan dan struktur yang hierarki yang terbagi menjadi core dan periphery.
Kecenderungan negara periphery adalah sebagai penyedia sumber daya yang tereksploitasi oleh negara core
atau perusahaan milik negara core yang memiliki kedudukan sebagai puncak pada kemampuan industrialnya
sedangkan negara periphery hanya mampu memproduksi bahan mentah atau bahan setengah jadi sebelum
dijual kepada MNC negara core tersebut. Pada kasus fast fashion dapat terlihat signifikansi teori Modern
World System dimana perusahaan multinasional seperti ZARA dan H&M yang notabene merupakan
perusahaan negara core memiliki hubungan erat dengan Bangladesh sebagai negara periphery. Hubungan
tersebut bukan terjalin secara ekuivalen karena Bangladesh dijadikan subordinasi MNCs sebagai sumber
kekayaan outsourcing negara core. Permintaan dari ZARA dan H&M tentulah sangat mempengaruhi
produksi Bangladesh yang sejatinya berupaya untuk merubah roda perekonomiannya dan mewujudkan
perekonomian yang lebih baik.
Wallerstain mengungkapkan bahwa dasar teori ini adalah dinamika ekonomi politik internasional sebagai
sebuah satuan dari beberapa sistem budaya. Modern World System menganalisa asal usul, struktur dan fungsi
pada sebuah sistem (Gilpin 1987, 67). Teori Modern World System adalah hasil pemikiran dari teori Marxis.
Meskipun begitu, kedua teori ini memiliki kecenderungan yang berbeda antar satu dengan lainnya. Di satu
sisi Marxis memandang struktur kelas domestik sedangkan Modern World System lebih memperhatikan
hirarki internasional, struggle of states, serta kelas-kelas ekonomi. Teori Modern World System mengkritik
pandangan marxis yang menganggap bahwa kapitalisme bertujuan untuk membangun dunia karena pada
dasarnya penerapan sistem kapitalis hanya akan menguntungkan negara-negara maju saja dan merugikan
negara-negara berkembang atau negara yang termasuk kedalam periphery (Gilpin 1987, 68).
7
Keterkaitan dan Problematika Tatanan Kelas Sosial Dunia dalam Industri Garmen
Umumnya apabila suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi maka secara tidak langsung kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat akan terakomodir dan terpenuhi secara ideal. Untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi, maka pemerintah harus memberlakukan liberalisasi ekonomi agar pemasukan arus investasi asing
dapat dipermudah sekaligus dapat mengangkat tingkat produktivitas ekonomi negara. Pemerintah
Bangladesh berharap bahwa hal tersebut dapat mereduksi angka kemiskinan dengan tingginya kuantitas arus
investasi asing berbentuk Foreign Direct Investment atau FDI (Kabeer & Mahmud 2011, 140). Akan tetapi
upaya ambisi pemerintah Bangladesh hanya sekedar terbatas pada penghapusan tingkat kemiskinan yang
ekstrim saja dengan mengabaikan aspek-aspek krusial lainnya seperti keamanan manusia, kesejahteraan
buruh dan kesejahteraan masyarakat yang sejatinya adalah kunci utama pada keberhasilan pertumbuhan
ekonomi Bangladesh menuju tingkat yang lebih baik. Seharusnya dengan populasi penduduk yang padat,
jumlah industri garmen yang mencapai lebih dari 5000 dengan pekerja buruh sebanyak lebih dari 3 juta yang
mencakup 70% populasi Bangladesh, privilise demographic dividen dapat diwujudkan. Dividen demografi
adalah kombinasi rendahnya biaya hidup dengan kepadatan jumlah populasi penduduk dan upah buruh
industri pakaian yang dijamin oleh para industri pakaian di Bangladesh (Rashid 2002, 109-10). Namun
kenyataan dan ekspektasi memang tidak selalu sejalan. Upah buruh di Bangladesh masih terhitung sangat
kecil bahkan tidak dapat memenuhi tingkat kesejahteraan yang memadai dan layak. Bangladesh masih
menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan upah buruh industri termurah di dunia yakni sebesar 0.25
dollar Amerika per jam. Hal ini jelas mencerminkan bahwa kesejahteraan buruh industri di Bangladesh
terbilang buruk bahkan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan kehidupan lainnya
yang fundamental keluarga seperti pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan makanan (Kadeer
& Mahmun 2004, 145). Ironis memang ketika pekerja pakaian kesulitan dalam membeli pakaian itu sendiri.
Kenyataan ini bukanlah sebuah hal yang baru melainkan fenomena berkepanjangan yang tidak kunjung
berakhir yang telah dimulai sejak tahun 1990-an. Selain kesejahteraan dalam bidang pendapatan, industri
garmen Bangladesh juga terkategorikan sebagai The World Most Hazardous Garment Industrial atau
Industri Garment ter-bahaya di dunia. Tingginya permintaan perusahaan multinasional yang bergerak pada
bidang fashion negara core menyebabkan para perusahaan garmen Bangladesh terlalu terfokus pada
pemenuhan permintaan dibandingkan dengan pemenuhan kewajiban standar industrial seperti keamanan,
keselamatan, dan prosedur pekerjaan. Kelalaian pemenuhan standar kewajiban industrial pada perusahaan
garmen Bangladesh dapat terlihat pada contoh kasus robohnya bangunan Rana Plaza pada 24 April 2013
silam. Lebih dari 1100 manusia, utamanya pekerja wanita tewas dan ribuan lainnya luka-luka saat insiden
robohnya bangunan Rana Plaza terjadi di kota Dhaka, Bangladesh. Bangunan tersebut menjadi tempat tiga
perusahaan garmen yakni New Wave Bottoms, Phantom dan Ether Tex. Kerobohan bangunan ini disebabkan
8
oleh konstruksi bangunan yang dibentuk ilegal, dibangun hingga empat lantai melebihi izin perencanaan
pembangunan yang diajukan pada pemerintah setempat. Media setempat sempat melaporkan adanya
keretakan pada bangunan tersebut sehari sebelum insiden itu terjadi dan meminta evakuasi untuk menutup
bangunan. Alih-alih menuruti himbauan, para pekerja garmen justru tidak mendengarkan peringatan tersebut
dan memilih untuk tetap bekerja karena tuntutan dari pemimpin perusahaan yang diakibatkan oleh
permintaan produksi yang tinggi. Pihak manajemen perusahaan Ether Tex bahkan dilaporkan mengancam
para pekerja untuk tidak membayar upah bulanannya apabila mereka mendengarkan himbauan itu. Dua dari
pabrik di gedung sebelumnya telah diaudit oleh BSCI atau Business Social Compliance Initiative, sebuah
organisasi kepemimpinan bisnis yang gidunakan oleh lebih dari 1000 ritel merk terkemuka. Namun resiko
audit ini masih belum teridentifikasi dan tidak ada upaya pencegahan yang dilakukan.
Pada titik ini penulis melihat bahwa tatanan Ekonomi Politik Internasional berbasis pada teori Modern
World System yang membagi struktur sosial negara-negara dunia menjadi core dan periphery memang
sengaja dijaga dan diimplementasikan. Dengan adanya instabilitas tersebut, ZARA, H&M, dan ritel fashion
lainnya yang notabene berasal dari negara-negara core kapitalis dapat bergantung kepada negara periphery
seperti Bangladesh sebagai penunjang sumber bahan bakunya tanpa mengkhawatirkan biaya yang mahal dan
proses yang tidak diinginkan. Hal ini didasarkan pada tingginya rasa kebutuhan negara periphery untuk
memperbaiki tingkat perekonomiannya sehingga cenderung berani untuk mengambil segala resiko tanpa
mempertimbangkan peluang yang sejatinya dapat mereka terapkan dan dapat mengangkat tingkat
perekonomian mereka lebih baik lagi. Adanya perusahaan kapitalis sama sekali tidak berkontribusi terhadap
perbaikan perkembangan negara berkembang bahkan justru beralih menjadi momok tersendiri bagi para
pekerjanya karena dengan tingginya permintaan produksi, industri garmen yang mewadahi mereka membuat
para pekerjanya terpacu untuk menyelesaikan produk dalam hitungan yang cepat bahkan hingga hitungan
hari.
Hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan mereka khususnya pada keberlangsungan pekerjaan
mereka. Dengan adanya tuntutan permintaan, para pengusaha menjadi terfokus pada produksial, menjadikan
mereka seolah-olah mengenakan kacamata kuda terhadap kesejahteraan tenaga kerjanya. Ironisnya, untuk
mengejar target produk, para pengusaha beralih untuk mengesampingkan keselamatan dan kelayakan tempat
bekerja. Insiden Rana Plaza di kota Dhaka, Bangladesh merupakan salah satu bukti nyata kelalaian pemilik
perusahaan industri yang diakibatkan oleh ambisi untuk memenuhi permintaan ritel fashion kapitalis. Lebih
dari tiga juta pekerja dengan mayoritas perempuan dipekerjakan pada industri garmen dengan tingkat upah
terendah kedua di dunia. Minimnya opsi alternatif ketenagakerjaan diiringi dengan perluasan kemiskinan
menjadikan perempuan-perempuan tersebut terpaksa untuk menerima pekerjaan yang dilakukan pada tempat
yang tidak layak dan tidak memenuhi standar kesehatan dan keamanan. Bahkan Presiden Barrack Obama
pun menegaskan bahwa Bangladesh tidak mengambil langkah-langkah yang diwajibkan dalam pemenuhan
9
hak-hak pekerja internasional dalam kongres yang dilaksanakan tiga bulan setelah tragedi tersebut terjadi
(BBC 2015)
Jelas bahwa masalah keamanan yang dihadapi industri garmen Bangladesh merupakan masalah yang serius
dan meluas, terkecuali apabila adanya tindakan yang dapat mengkoordinasi lebih dari 3 juta pekerja
Bangladesh agar mereka tidak membuat pakaian secara terus menerus tanpa memperhatikan resiko
kehidupannya. Meskipun dapat terbilang saat ini banyak sekali pembicaraan mengenai hal tersebut,
sayangnya hal itu tidak diiringi dengan tindakan atau aksi perubahan. Berbagai pertemuan internasional
diselenggarakan, namun lagi-lagi hanya diisi oleh orang-orang yang saling menyalahkan satu sama lain
mengenai kegagalan industri tersebut. Penulis beropini bahwa para brands dan retail fashion juga harus
menerima tanggung jawab meskipun mereka secara tidak langsung memiliki pabrik yang memproduksi
barang-barang mereka, para ritel dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk mencegah insiden seperti itu
seperti memastikan apakah industri garmen yang mereka pekerjakan telah memenuhi prasyarat legal atau
tidak. Ritel juga harus memverifikasi bahwa pabrik yang akan bekerjasama dengan mereka telah
menggunakan standar praktek yang layak serta berkenan membangun fasilitas perbaikan. Pemilik pabrik pun
harus berkomitmen untuk memfasilitasi dan mendukung siklus manajemen keselamatan berdasarkan
kesepakatan manajemen dan serikat pekerja. Pemerintah Bangladesh harus memainkan peran penting dalam
jangka panjang yakni perubahan yang berkelanjutan dengan memperbaharui undang-undang dan
melaksanakan peraturan, meningkatkan inspeksi pabrik dan membangun kerangka tripartite yang diperlukan
untuk hubungan seimbang antara buruh dan pemangku kepentingan.
Kesimpulan
Siklus hidup produk pendek di industri fashion telah memaksa perusahaan busana untuk merasionalisasi
rantai pasokan mereka dan strategi fast fasion menjadi fenomena penting untuk bertahan di industri fashion.
Fast fashion dapat terdeskripsikan dalam hal fleksibilitas, efektifitas dan pemenuhan permintaan pelanggan.
Permintaan pelanggan ini menciptakan jenis baru dalam strategi dalam industri fashion untuk
mengembangkan kecepatan agar dapat memenuhi permintaan. Tingginya angka permintaan dari konsumen
juga disebabkan oleh konsep “Here today, Gone tomorrow” yang ditanamkan oleh perusahaan-perusahaan
mode tersebut. ZARA dan H&M adalah dua diantara ratusan ritel fashion yang terfokus pada konsep fast
fashion yang dimana menargetkan demand konsumen sebagai strategi pemasarannya. Namun seiring dengan
konsep cepat dan fleksibel yang ditawarkan pada fast fashion, nyatanya upaya perwujudannya tetap diiringi
oleh proses panjang yang berlangsung bertahap dari yang semulanya hanya sebuah bahan baku berupa
kapas, yang kemudian dikembangkan menjadi benang, benang menjadi kain, barulah kemudian menjadi
sehelai pakaian. Belum lagi jika pakaian tersebut membutuhkan ornamen-ornamen dan aksesoris penunjang
yang juga berarti masih ada proses produksi lain yang ditempuh. Makin banyak pakaian yang diproduksi,
10
makin tinggi pula sumber daya yang diperlukan dan tenaga kerja untuk menghasilkan hal itu. Disisi lain,
rantai produksi yang begitu kompleks membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara
strategis yang dilakukan oleh ritel fashion kenamaan untuk dapat mewujudkan hasil pakaian yang cepat
dengan harga terjangkau adalah menjalin kemitraan perdagangan dengan negara berkembang sebagai
outsourcingnya. Alasannya sederhana, karena biaya produksi pabrik negara berkembang jauh lebih
terjangkau jika dibandingkan pabrik di negara maju.
Dengan adanya tuntutan produksi yang banyak itu, pada akhirnya pabrik garmen di negara berkembang
yakni Bangladesh harus berpikir keras untuk menekan segala kemungkinan buruk yang terjadi seperti
penolakan desain kain, ekstensi waktu atau pemotongan waktu, hingga deadline produksi secara cepat. Para
pemilik pabrik garmen Bangladesh kemudian menjadi lalai dalam menjaga prioritas keselamatan dan
kesejahteraan pekerja hanya karena target-target yang ditentukan oleh perusahaan besar itu. Hal inilah yang
kemudian penulis lihat sebagai wujud implementasi teori World Modern System yang dimana dunia terbagi
menjadi kelas-kelas sosial, menciptakan aktor kapitalis tidak sebagai senjata perbaikan negara berkembang
tapi justru pihak yang mengeksploitasi negara berkembang itus ecara habis-habisan. Insiden robohnya Rana
Plaza di Dhaka, Bangladesh menjadi bukti terbesar pada kelalaian pihak industri hanya karena target
pencapaian yang ditetapkan oleh pihak kapitalis yang bahkan merenggut ribuan nyawa pekerja. Ironinya
adalah dibalik konsep low-cost fast clothing tersebut, masih ada harga yang sangat mahal untuk dibayarkan.
Referensi
Buku
Castells, Manuell, 1996. “The Informational Economy and the Process of Globalization”. Dalam The Rise of
the Network Society. Oxford: Basil Blackwell Ltd., pp.66-150.
Dunford, Michael, 2000. “Globalization and Theories of Regulation”. Dalam Global Political Economy:
Contemporary Theories. London: Routlledge, pp. 143-167.
Fernie, J. & Sparks, L. (2004) Logistics and Retail Management: insights into current practice and trends
from leading experts, Kogan Page Limited, London
Gilpin, Robert, 1987. “The Dynamics of International Political Economy”, dalam The Political Economy of
International Relations. Princeton : Princeton University Press, pp. 65-117.
Hossain, I. (2002). “Export processing zones in Bangladesh and industrial relations”. Chapter 7 in Muqtada,
M. et al. (eds), Bangladesh: Economic and Social Challenges. of Globalisation, study prepared for the
ILO, Geneva, UPL, Dhaka.
Kabeer, Naila Simeen Mahmud. 2004. “Rags, Riches and Women Workers: Export-Oriented Garment
Manufacturing in Bangladesh”. Dalam Chains Final. Dhaka : Dhaka Press.
Magdoff, Harry, 1978. “The Multinational Corporation and Development—A Contradiction?” dalam
Imperialism: From the Colonial Age to the Present. New York: Monthly Review Press, pp. 165-197.
11
Stiglitz, J. (2007) Fungerande Globalisering, Daidalos, Sweden.
Thun, Eric, 2008. “The Globalization of Production”. Dalam Global Political Economy.
Oxford: Oxford
University Press, pp. 346-372.
Quddus, M. and Rashid, S. (2000). “Entrepreneurs and economic development: The remarkable story of
garment exports from Bangladesh”. University Press Limited, Dhaka.
Artikel
Doyle, S., Moore C & Morgan L, (2006) Supplier management in fast moving fashion retailing, dalam
Journal of Fashion Marketing and Management, Vol 10. No 3. pp 272-281.
Dutta, D. (2002), Retail at the speed of fashion, Third Eyesight Articles
Ferdows, K & Lewis, M.A & Machuca, J.A.D (2004) Rapid-fire fulfillment, Harvard Business Review Vol.
82, No 11. pp 104-110.
Hayes, S & Jones, N (2006) Fast fashion: a financial snapshot, Journal of Fashion Marketing and
Management, Vol. 10, No. 3, pp. 282-300
Jacobs, D (2006) The promise of demand chain management in fashion, Journal of Fashion Marketing and
Management, Vol 10. No 1. pp 84-96.
Artikel Jurnal Online
Markantonatou, Maria. 2007. “The Ideal-typical Transition from Fordism to Post-Fordism: A Neopositivist
Problem Setting” dalam European Research Studies,Volume X, Issue (1 2)
Rosenblum, Paula. 2015. Fast Fashion Has Completely Disrupted Apparel Retail. [online]. Tersedia:
http://www.forbes.com/sites/paularosenblum/2015/05/21/fast-fashion-has-completely-disruptedapparel-retail/#682070e718b6. Diakses pada 24 Juni 2016.
Lain-Lain
The H&M Way. 2016. Living by Our Values and Guidelines Every Day. [online] dalam:
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwic2N_OucXNAhUGO
hQKHc-kC5cQFggdMAA&url=https%3A%2F%2Fabout.hm.com%2Fcontent%2Fdam%2Fhm
%2Fabout%2Fdocuments%2Fen%2Fhm-way%2FHM
%2520Way_en.pdf&usg=AFQjCNEAU5L_siGoq6yeXakXRAk2EyOxBg&sig2=RmUDtP3zcHXasn
SCH4Pg3g. diakses pada 23 Juni 2016.
From
Idea
to
store,
2016.
Tersedia:
http://about.hm.com/us/abouthm/factsabouthm/fromideatostore__fromideatostore.nhtml. Diakses pada
26 Juni 2016
Idea
12
and
design.
2011.
Tersedia:
http://about.hm.com/us/abouthm/factsabouthm/fromideatostore/ideaanddesign__fromideatostoreideaa
nddesign.nhtml. Diakses pada 24 Juni 2016.
Zara Company,. 2011. Tersedia: http://www.zara.com/webapp/wcs/stores/servlet/category/11712/en/zaraS2011/11112/About%2Bus. Diakses pada 24 Juni 2016.
13
Kesejahteraan Pekerja Bangladesh
Fitri Handayani
071411231027
ABSTRACT
Power and Poverty has a complex relationship, but also simple. Complex because it includes everything in
the world, and the simplicity that lies in the linkage relationship itself. Over the years, new changes emerge
and replace the old values that are considered to be no longer implemented. Time changes lead the world
community to the new lifestyle where everything can be done quickly, practical, and tend to be instant. This
encourages the existence of exploration and innovation in every single aspect of life. The concept of fastfashion has become an important part of today’ international companies acting in the fashion industry. The
globalization has a great impact on this quite new phenomenon. Consumers demand high fashion products
and the challengers for the companies are to get the latest trend into the market in the right time. The
increased demand form the consumers are leading to short product life cycles. The more mass production is,
the more natural and manpower resources that needed. This article will review more about the implications
of the trend of Fast Fashion, the clothes we wear, the people who make these clothes, and their impact on
the world by describing how strong the relationship between power and poverty and also its consequences
considering behind the concept of low-cost clothing itself.
Kata Kunci: Fast Fashion, Demand, Consequences, Power & Poverty, Global Phenomenon.
ABSTRAK
Kekuasaan dan kemiskinan yang meluas di seluruh dunia memiliki keterkaitan yang kompleks namun juga
sederhana. Kompleks karena mencakup segala hal di dunia, dan kesederhanaan yang terletak pada
hubungan keterkaitan itu sendiri. Seiring dengan perkembangan waktu, perubahan-perubahan baru pun
turut bermunculan dan mengganti nilai-nilai lama yang dianggap sudah tak dapat lagi diimplementasikan.
Perubahan waktu tersebut menghantarkan masyarakat dunia pada gaya hidup yang serba praktis dan
canggih, dimana semuanya dapat dilakukan secara cepat dan cenderung instan. Inilah yang kemudian
mendorong adanya eksplorasi dan inovasi pada segala aspek kehidupan. Merambat pada dunia mode,
kemunculan frase Fast Fashion Clothing menjadi fenomena global. Tingginya permintaan akan jumlah
produksi pakaian tersebut secara tidak langsung mempengaruhi rantai produksi dan proses panjang yang
1
harus dilakukan. Semakin massal produksi pakaian-pakaian tersebut, semakin banyak sumber daya alam
dan tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada sisi lain, biaya dan waktu yang tak sedikit pun tentunya sangat
krusial bagi rantai produksi yang panjang. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai implikasi tren
Fast Fashion, pakaian yang kita kenakan, orang-orang yang membuat pakaian, dan dampaknya pada dunia
ini dengan mengupas seberapa kuatnya keterkaitan diantara power & poverty beserta konsekuensi mahal
dibalik konsep low-cost clothing itu sendiri.
Keywords : Fast fashion, permintaan, konsekuensi, Kekuatan & Kemiskinan, Fenomena Global.
Proses globalisasi dunia secara konstan semakin meningkat dan membuat sekat diantara negara-negara dunia
semakin menipis. Suatu fenomena mampu menghubungkan banyak negara di dunia yang kemudian
menghantarkan banyak perusahaan untuk bekerjasama dibawah naungan pasar global. Hal ini
mengakibatkan perbesaran jumlah perusahaan-perusahaan internasional yang turut andil dalam lingkungan
global (Stiglitz 2007). Keikutsertaan pada tingkat global memang memiliki banyak keuntungan namun
tantangan perubahan dan kompetisi pasar berada pada tingkatan yang lebih tinggi pada pasar global.
Kompetisi yang sangat tinggi khususnya pada pergerakan industri yang cepat kemudian terepresentasikan
oleh siklus hidup yang pendek dan permintaan konsumen yang dapat berubah-ubah dalam jangka beberapa
minggu bahkan dapat semalaman (Sheridan et al. 2006). Industri fashion adalah suatu sektor yang memiliki
kekhasan pada siklus hidup produk yang pendek, volatilitas tinggi, dan tingkat pembelian yang tinggi.
Industri fashion termasuk kedalam salah satu the most globalized sectors di dunia dan selalu memiliki
turnover setiap tahunnya dengan jumlah yang mencapai hingga multimilyaran (Jackson & Shaw 2016).
Sehingga terbilang bahwa fashion memengan peran pemimpin pada perkembangan global.
Industri pakaian dan fashion telah berkembang secara signifikan terutama selama 20 tahun terakhir.
Dinamika perubahan industri fashion telah memaksa ritel-ritel untuk menekan biaya dan mengusung konsep
low-cost clothing namun tetap mengutamakan fleksibilitas dalam desain, kualitas, dan kecepatan pemasaran
serta strategi untuk mempertahankan proposisi menguntungkan didalam perkembangan permintaan pasar
(Merlin 2001; Christopher et al. 2004). Secara tradisional, para ritel fashion menggunakan jaringan mereka
untuk melakukan survey permintaan pelanggan dan menerka-nerka tren fashion ready-to-wear atau tren
pakaian siap pakai yang akan menaikkan penjualan mereka. Inilah yang kemudian disebut sebagai konsep
fast fashion. Namun dalam beberapa tahun terakhir dapat terlihat bahwa para ritel fashion saling bersaing
dengan yang lainnya dengan memastikan kecepatan pada pasar dengan kemampuan mereka untuk
menyediakan fashion tren yang cepat melalui fashion show dan runways.
Para ritel mengkreditkan penerapan ‘quick fashion’ sebagai hasil dari proses dalam jangka waktu yang tidak
dapat diprediksi diantara proses desain dan konsumsi pakaiannya (Bruce & Daly 2006). Pasar fashion
2
dewasa ini sangat kompetitif dan memiliki kebutuhan rentang waktu yang konstan agar dapat ‘menyegarkan’
kembali produk-produk mereka sehingga diperlukan pula langkah bagi para ritel untuk memperpanjang
jumlah ‘musim’ fashion dimana frekuensi seluruh barang dagangan berubah (Bruce & Daly 2006). Dengan
munculnya koleksi kecil barang dagangan, ritel fashion secara tidak langsung mendorong konsumen untuk
mengunjungi toko mereka lebih sering lagi dengan ide ‘Here today, Gone tomorrow.” Hal ini mengindikasi
siklus hidup dunia fashion yang lebih pendek. Fast fashion terbukti dapat meningkatkan rate penjualan
karena terkesan lebih murah dan cepat jika dibandingkan dengan high fashion yang mahal namun hanya
dapat dijangkau oleh kaum menengah keatas meskipun jika dihitung secara keseluruhan, fast fashion lebih
menguras konsumen untuk selalu merasa haus dalam membeli pakaiannya.
ZARA dan H&M Sebagai Pionir Industri Fast Fashion
Tak mahal namun berkualitas. Prinsip itulah yang kemudian diangkat oleh dunia industri pakaian ditengah
tuntutan pola hidup masyarakat dunia yang serba praktis sebagai ajang prestisius dalam pengembangan
manufakturnya. Frasa “Fast Fashion” merujuk pada koleksi low-cost clothing didasarkan pada tren fashion
terbaru yang mampu menjadi jalan pilihan konsumen terutama generasi muda tanpa perlu mengeluarkan
biaya yang tinggi agar dapat menikmati gaya hidup yang luxurious. Hal ini secara langsung juga memicu
para konsumen khususnya penikmat fashion untuk selalu mengikuti tren mode terbaru. Salah satu contoh
sederhananya dapat terlihat pada kunci sukses ZARA, sebuah perusahaan ritel garmen terbesar di dunia
dengan produksi 840 juta garmen setiap tahunnya setiap tahunnya yang tidak memajang produknya dalam
waktu yang lama dengan menargetkan para konsumen untuk tidak menunda pembelian baju yang mereka
inginkan agar tidak kehilangan kesempatan untuk membelinya (Sekaran & Bougie 2009). Hal ini jelas
berkontradiksi dengan produk high-cost fashion seperti PRADA, Jimmy Choo, GUESS, atau Kate Spade
yang cenderung affordable bagi orang menengah keatas.
Visi ZARA terletak pada pentingnya konsumen, model bisnis, desain, produksi, distribusi, dan penjualan
melalui jaringan ritel yang luas (ZARA Company 2011). ZARA merupakan rantai fashion yang tersebar di
77 negara dengan lebih dari 1483 toko-toko yang terletak di kota-kota besar di dunia. ZARA menggunakan
aliran informasi dari masing-masing cabang tokonya untuk menyampaikan keinginan dan permintaan
pelanggan mereka yang menyelaraskan permintaan tersebut untuk membantu membentuk ide-ide desain dan
tren fashion yang akan diaplikasikan kedepannya sehingga tingkat penjualan pun akan meningkat dan secara
tidak langsung membentuk trend dan perkembangan taste pada dunia Fashion karena beberapa perusahaan
baju pun berkiblat pada ZARA (ZARA 2011). Konsep ini disebutkan sebagai kunci sukses ZARA dalam
menangkap trend dan selera dari berbagai macam orang, budaya, dan generasi yang memiliki nilai-nilai
yang berbeda, namun berbagi keiginan yang sama pada dunia fashion. ZARA menjadi contoh perusahaan
fast fashion yang tepat karena telah sukses mengembangkan rantai pasokan dengan cepat dan fleksibel.
3
Perusahaan ZARA sendiri dapat mendesain, memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk baru hanya
dalam hitungan 15 hari. Hal ini membawa kemungkinan bagi ZARA untuk menawarkan desain dan fasion
yang up-to-date selaras dengan permintaan konsumen Ferdows et al. 2004). Tujuan dari ZARA sendiri
bukanlah untuk mendapatkan skala ekonomik namun mereka lebih suka menghasilkan dalam batch kecil
dimana pabrik-pabrik memprioritaskan kualitas sebelum memaksimalkan output (Ferdows et al. 2004).
ZARA memiliki integrasi rantai pasukan secara vertical yang membuat kemungkinan produksi barang baru
dengan jangka waktu yang pendek yang sejalan dengan tuntutan fast fashion.
Selain ZARA, H&M juga merupakan perusahaan fashion yang terkoneksi secara kuat dengan konsep Fast
Fashion. Dalam menciptakan koleksi, H&M memprioritaskan pemahaman dan pemenuhan permintaan
pelanggan yang tinggi. Apapun yang diinginkan oleh pelanggan adalh kunci bagi seluruh proses yang
dimulai dari ide-ide pembuatan produk baru hingga proses pembelian barang oleh para pelanggan. Proses
penciptaan dan perencanaan untuk koleksi yang berbeda dibuat secara terpusat (The H&M Way 2016).
Strategi H&M ketika memulai bekerja pada koleksi baru terletak pada desainer, pembuat pola dan pembeli
setuju pada tren yang menjadi simpanan koleksi fashion milik H&M di musim mendatang. Tahap
selanjutnya adalah untuk mencoba mencari keseimbangan atau titik tengah pada perbedaan gaya, dasar-dasar
modern, fashion yang tengah menjadi trend an high fashion.
Agar dapat membangun susunan produk-produk H&M yang diletakkan pada kombinasi yang baik yang
mencakup perbedaan gaya dan jumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil final. Tren yang telah tercipta
pada musim sebelumnya kemudian dikombinasikan pada tren musim kedepannya dengan memperhatikan
mode, warna, dan lainnya (Idea and Design 2011). Permintaan pelanggan pada tiap toko yang berbeda dan
pasar merupakan dasar bagi berbagai produk. Baik ZARA dan H&M juga memperhatikan titik peletakan
lokasi toko atau cabang tokonya karena masing-masing lokasi memberikan pengaruh pada pendistribusian
produk. Produk high fashion kerap diproduksi dalam jumlah terbatas di toko-toko yang terletak di kota-kota
besar (Planning the range 2011). Namun produk dasar seperti kemeja, blouse, jaket, celana diproduksi dalam
volume yang lebih besar dan didistribusikan ke banyak toko (Hayes & Jones, 2006). Kunci konsep dari
ZARA dan H&M adalah untuk mendapatkan produk yang tepat untuk toko yang tepat pada waktu yang tepat
sehingga pelanggan selalu melihat sesuatu yang menarik dan baru setiap kali mereka datang ke toko. Kunci
konsep ini juga menjadi tantangan bagi ZARA dan H&M serta setiap perusahaan fast fashion di ranah high
fashion.
Konsep Pos-Fordisme dalam Industri Fast Fashion
Pada titik ini dapat terlihat keselarasan konsep ZARA dan H&M dengan konsep Pos-Fordisme yang dimana
terdapat pola pemanfaatan kapital secra efisien dan inovatif yang diperkuat dengan perkembangan teknologi
4
informasi. Pernyataan penulis ini berbasis pada sistem survey yang dilakukan oleh pihak pusat ZARA dan
H&M kepada seluruh toko cabang yang tersebar di dunia mengenai keinginan dan permintaan masingmasing pelanggan. Negara tidak lagi berperan sebagai aktor dominan dalam ranah perekonomian karena
Pos-Fordisme cenderung mementingkan perbaikan pasar sebagai fokus utama dan dengan aktor-aktor non
negara yang lebih mendominasi yakni perusahaan multinasional lintas negara (Castells 1996). Implementasi
yang dilakukan oleh ZARA dan H&M bergantung pada inovasi dalam teknologi sebagai faktor utama
jalannya perusahaan mereka dan didasari pada produksi yang fleksibel yakni bergantung pada demand dari
para pelanggan. Para pekerja di kedua perusahaan fast fashion tersebut dapat mengerjakan banyak hal
sekaligus seperti menentukan ide-ide desain, memulai proses desain, hingga memperkirakan tren mode
kedepannya. Selanjutnya ZARA dan H&M juga melakukan proses internasionalisasi yakni menebarkan
cabangnya di berbagai negara di dunia khususnya pada kota-kota besar di negara-negara tersebut. Konsep
ZARA dan H&M tidak lagi terbatas pada permintaan dalam sebuah negara namun meluas. Dalam PosFordisme, dorongan-permintaan atau demand-driven lebih menentukan daripada dorongan-penawaran atau
supply-driven (Markantonatou 2007). Kompetisi atau persaingan antar perusahaan lebih banyak berkutat
pada faktor non-harga namun dengan perbaikan kualitas dan tampilan bagi sebuah produk individual dengan
sikap responsif pada pelanggan.
Sejalan dengan konsep Pos-Fordisme, konsep fashion ini sejatinya berkaitan erat dengan adanya
Multinational Corporation atau perusahaan multinasional yang menjadi aktor integrasi perekonomian dunia
sebagai bentuk akibat dari fitur globalisasi yang mendorong perdagangan internasional menjadi perdagangan
yang terbuka dan kompleks (Thun 2008). Perdagangan internasional tidak menjadi hal yang baru sehingga
Pos-Fordisme dan MNC kerap dianggap sebagai konsep yang mengulang model produksi sebelumnya
dengan perlunya bahan baku yang diimpor dari negara periferi, penciptaan dan produksi dilakukan di negara
pusat, dan pendistribusian yang kemudian dilakukan secara global (Thun 2008). Perusahaan seperti ZARA
dan H&M mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai liberal kapitalisme yang terkategorikan oleh
Magdoff (1978) menjadi tiga yakni yang pertama adalah expand continuously yang dicontohkan pada fakta
bahwa ZARA dan H&M telah menyebar cabang perusahaannya di 77 lebih negara dunia dan akan terus
bertambah setiap tahunnya. Kedua adalah akumulasi kapital yang terfokus pada sentral perusahaan. Ketiga
adalah menerapkan asumsi bahwa pasar dunia fashion terus berkembang dan terintegrasi yang
mengharuskan perusahaan tersebut untuk menyediakan elemen dan substansi penting bagi sistem
produksinya. Pada titik ini terlihat bahwa ZARA, H&M, dan perusahaan-perusahaan Fast Fashion lainnya
secara jelas menerapkan konsep Pos-Fordisme. Sistem ekonomi informasional pun jelas diterapkan pada
perusahaan-perusahaan tersebut karena produktifitas dan daya saing pada setiap unit perusahaan atau cabang
sangat bergantung pada kemampuan masing-masing untuk menghasilkan, memproses, dan menerapkan
pengetahuan secara efisien bedasarkan infprmasi yang ada (Castels, 1996).
5
Konsumen menjadi lebih menuntut dan menyebabkan ritel fashion terpaksa untuk menyediakan produk yang
tepat pada waktu yang tepat pula di pasar. Dalam dunia digital dimana informasi dan tren baru dapat diakses
dengan mudah di seluruh dunia dengan kecepatan tinggi, konsumen cenderung memiliki lebih banyak
pilihan dan berbelanja lebih sering. Perubahan gaya hidup karena faktor sosiokultural dan butuhnya esensi
unik pada masing-masing merk memaksa ritel fashion untuk memperbaharui barang secara terus menerus
untuk berurusan dengan meningkatnya kompetisi di pasar. Tuntutan konstan konsumen memiliki dampak
proses ‘peramalan’ dan perencanaan produk bergeser ke mereplikasi desain terkenal dari gaya dan majalah
mode serta penggalangan fashion show dalam skala kecil namun sering (Rosenblum 2015).
Pengaruh Demand terhadap Perkembangan Negara Penyedia Outsourcing
Dorongan permintaan pelanggan yang tinggi oleh fast fashion yang selalu mengejar target pemasaran yang
berganti-ganti dalam hitungan bulan, minggu, bahkan hari, membuat perusahaan-perusahaan yang
mengangkat mode fashion tersebut untuk melebarkan jaringan outsourcing atau sumber daya diluar
negaranya. Meskipun mengusung konsep ‘cepat’ namun fast fashion tetaplah butuh untuk melewati proses
panjang yang bertahap untuk memproduksi satu helai pakaian. Rantai proses pakaian dimulai dari
ketersediaan bahan baku, mempersiapkan ornament, hingga sampai pada tahap produksi dan distribusi. Hal
ini yang kemudian menjadikan perusahaan fashion internasional untuk menjaring pabrik-pabrik di negara
berkembang. Alasannya cukup sederhana, yakni karena upah buruh di negara-negara berkembang terhitung
relatif murah jika harus dibandingkan di industri negara maju. Bangladesh merupakan salah satu industri
pakaian yang mendasarkan industri garmen sebagai divisi ekspor utama dan sumber utama devisa
negaranya. Negara ini bahkan menduduki peringkat eksportir garmen yang terbesar kedua di dunia setelah
China yang memberikan suplai garmen kepada perusahaan-perusahaan multinasional dunia. Saat ini negara
tersebut telah menghasilkan milyaran produk garmen yang terekspor hingga penjuru dunia meski pada satu
sisi negara ini juga terkenal dengan kekurangan kesejahteraan buruh pakaiannya. Rendahnya tingkat
kesejahteraan buruh garmen Bangladesh menjadi paradoks tersendiri mengingat sektor industri pakaian
adalah lahan kehidupan masyarakat Bangladesh yang sebelumnya telah mengalami masa peralihan dari
lahan-lahan pertanian hingga memasuki era industrialisasi (Hossain 2002, 84). Fakta membuktikan bahwa
industri garmen menyumbangkan kurang lebih 194 triliun rupiah setiap tahunnya dengan kisaran 79% dari
pendapatan negara tersebut. Bangladesh memiliki lebih dari 5000 pabrik garmen dengan lebih dari 3 juta
pekerja secara keseluruhan dan 80% dari pekerja tersebut adalah perempuan (Rashid 2002, 109).
Pembeli dari industri garmen Bangladesh adalah kelompok yang heterogen dan mencakup pedagang,
department store, cabang retail high street, dan utamanya adalah merk fashion terkemuka sepeti H&M dan
ZARA (Quddus & Rashid dalam Kabeer & Mahmud 2004, 142). Pemilik perusahaan garmen di Bangladesh
kerap terjebak dalam tuntutan permintaan pembeli pada industri global yang secara konsekuen mengalami
6
fluktuasi terkait mode fashion yang selalu berubah-ubah sehingga menciptakan ketidakpastian yang ekstrim
pada proses produksi. Para pekerja dipaksa untuk bekerja dalam atmosfir yang penuh ketidakpastian karena
persaingan yang intens (Kabeer & Mahmud 2004, 143). Pemilik pabrik ditantang untuk mampu
menanggung banyak resiko seperti membayar kain bahkan sebelum pabrik tersebut menerima pembayaran
untuk pesanan. Apabila pembeli tidak puas dengan pengiriman atau karena pengiriman terlambat, maka
perusahaan harus mengurangi harga dalam rangka untuk memastika bahwa produk tersebut tetap terjual dan
mampu menutupi hutang perusahaan dan membayar para tenaga kerja. Disisi lain tidak ada yang dapat
menjamin bahwa pesanan akan datang secara teratur atau pengiriman kain dapat diterima oleh para pembeli
(Kabeer & Mahmud 2004, 143).
Teori Modern World System dalam Ekonomi Politik Internasional
Fenomena tersebut dapat dikaji melalui studi Ekonomi Politik Internasional melalui teori Modern World
System. Gilpin (1987) menyebutkan bahwa Teori Modern World System merupakan teori yang menganggap
bentuk kapitalisme yang menciptakan kelas-kelas sosial sebagai sebuah fenomena global. Ekonomi Politik
Internasional dianggap memiliki tatanan dan struktur yang hierarki yang terbagi menjadi core dan periphery.
Kecenderungan negara periphery adalah sebagai penyedia sumber daya yang tereksploitasi oleh negara core
atau perusahaan milik negara core yang memiliki kedudukan sebagai puncak pada kemampuan industrialnya
sedangkan negara periphery hanya mampu memproduksi bahan mentah atau bahan setengah jadi sebelum
dijual kepada MNC negara core tersebut. Pada kasus fast fashion dapat terlihat signifikansi teori Modern
World System dimana perusahaan multinasional seperti ZARA dan H&M yang notabene merupakan
perusahaan negara core memiliki hubungan erat dengan Bangladesh sebagai negara periphery. Hubungan
tersebut bukan terjalin secara ekuivalen karena Bangladesh dijadikan subordinasi MNCs sebagai sumber
kekayaan outsourcing negara core. Permintaan dari ZARA dan H&M tentulah sangat mempengaruhi
produksi Bangladesh yang sejatinya berupaya untuk merubah roda perekonomiannya dan mewujudkan
perekonomian yang lebih baik.
Wallerstain mengungkapkan bahwa dasar teori ini adalah dinamika ekonomi politik internasional sebagai
sebuah satuan dari beberapa sistem budaya. Modern World System menganalisa asal usul, struktur dan fungsi
pada sebuah sistem (Gilpin 1987, 67). Teori Modern World System adalah hasil pemikiran dari teori Marxis.
Meskipun begitu, kedua teori ini memiliki kecenderungan yang berbeda antar satu dengan lainnya. Di satu
sisi Marxis memandang struktur kelas domestik sedangkan Modern World System lebih memperhatikan
hirarki internasional, struggle of states, serta kelas-kelas ekonomi. Teori Modern World System mengkritik
pandangan marxis yang menganggap bahwa kapitalisme bertujuan untuk membangun dunia karena pada
dasarnya penerapan sistem kapitalis hanya akan menguntungkan negara-negara maju saja dan merugikan
negara-negara berkembang atau negara yang termasuk kedalam periphery (Gilpin 1987, 68).
7
Keterkaitan dan Problematika Tatanan Kelas Sosial Dunia dalam Industri Garmen
Umumnya apabila suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi maka secara tidak langsung kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat akan terakomodir dan terpenuhi secara ideal. Untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi, maka pemerintah harus memberlakukan liberalisasi ekonomi agar pemasukan arus investasi asing
dapat dipermudah sekaligus dapat mengangkat tingkat produktivitas ekonomi negara. Pemerintah
Bangladesh berharap bahwa hal tersebut dapat mereduksi angka kemiskinan dengan tingginya kuantitas arus
investasi asing berbentuk Foreign Direct Investment atau FDI (Kabeer & Mahmud 2011, 140). Akan tetapi
upaya ambisi pemerintah Bangladesh hanya sekedar terbatas pada penghapusan tingkat kemiskinan yang
ekstrim saja dengan mengabaikan aspek-aspek krusial lainnya seperti keamanan manusia, kesejahteraan
buruh dan kesejahteraan masyarakat yang sejatinya adalah kunci utama pada keberhasilan pertumbuhan
ekonomi Bangladesh menuju tingkat yang lebih baik. Seharusnya dengan populasi penduduk yang padat,
jumlah industri garmen yang mencapai lebih dari 5000 dengan pekerja buruh sebanyak lebih dari 3 juta yang
mencakup 70% populasi Bangladesh, privilise demographic dividen dapat diwujudkan. Dividen demografi
adalah kombinasi rendahnya biaya hidup dengan kepadatan jumlah populasi penduduk dan upah buruh
industri pakaian yang dijamin oleh para industri pakaian di Bangladesh (Rashid 2002, 109-10). Namun
kenyataan dan ekspektasi memang tidak selalu sejalan. Upah buruh di Bangladesh masih terhitung sangat
kecil bahkan tidak dapat memenuhi tingkat kesejahteraan yang memadai dan layak. Bangladesh masih
menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan upah buruh industri termurah di dunia yakni sebesar 0.25
dollar Amerika per jam. Hal ini jelas mencerminkan bahwa kesejahteraan buruh industri di Bangladesh
terbilang buruk bahkan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan kehidupan lainnya
yang fundamental keluarga seperti pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan makanan (Kadeer
& Mahmun 2004, 145). Ironis memang ketika pekerja pakaian kesulitan dalam membeli pakaian itu sendiri.
Kenyataan ini bukanlah sebuah hal yang baru melainkan fenomena berkepanjangan yang tidak kunjung
berakhir yang telah dimulai sejak tahun 1990-an. Selain kesejahteraan dalam bidang pendapatan, industri
garmen Bangladesh juga terkategorikan sebagai The World Most Hazardous Garment Industrial atau
Industri Garment ter-bahaya di dunia. Tingginya permintaan perusahaan multinasional yang bergerak pada
bidang fashion negara core menyebabkan para perusahaan garmen Bangladesh terlalu terfokus pada
pemenuhan permintaan dibandingkan dengan pemenuhan kewajiban standar industrial seperti keamanan,
keselamatan, dan prosedur pekerjaan. Kelalaian pemenuhan standar kewajiban industrial pada perusahaan
garmen Bangladesh dapat terlihat pada contoh kasus robohnya bangunan Rana Plaza pada 24 April 2013
silam. Lebih dari 1100 manusia, utamanya pekerja wanita tewas dan ribuan lainnya luka-luka saat insiden
robohnya bangunan Rana Plaza terjadi di kota Dhaka, Bangladesh. Bangunan tersebut menjadi tempat tiga
perusahaan garmen yakni New Wave Bottoms, Phantom dan Ether Tex. Kerobohan bangunan ini disebabkan
8
oleh konstruksi bangunan yang dibentuk ilegal, dibangun hingga empat lantai melebihi izin perencanaan
pembangunan yang diajukan pada pemerintah setempat. Media setempat sempat melaporkan adanya
keretakan pada bangunan tersebut sehari sebelum insiden itu terjadi dan meminta evakuasi untuk menutup
bangunan. Alih-alih menuruti himbauan, para pekerja garmen justru tidak mendengarkan peringatan tersebut
dan memilih untuk tetap bekerja karena tuntutan dari pemimpin perusahaan yang diakibatkan oleh
permintaan produksi yang tinggi. Pihak manajemen perusahaan Ether Tex bahkan dilaporkan mengancam
para pekerja untuk tidak membayar upah bulanannya apabila mereka mendengarkan himbauan itu. Dua dari
pabrik di gedung sebelumnya telah diaudit oleh BSCI atau Business Social Compliance Initiative, sebuah
organisasi kepemimpinan bisnis yang gidunakan oleh lebih dari 1000 ritel merk terkemuka. Namun resiko
audit ini masih belum teridentifikasi dan tidak ada upaya pencegahan yang dilakukan.
Pada titik ini penulis melihat bahwa tatanan Ekonomi Politik Internasional berbasis pada teori Modern
World System yang membagi struktur sosial negara-negara dunia menjadi core dan periphery memang
sengaja dijaga dan diimplementasikan. Dengan adanya instabilitas tersebut, ZARA, H&M, dan ritel fashion
lainnya yang notabene berasal dari negara-negara core kapitalis dapat bergantung kepada negara periphery
seperti Bangladesh sebagai penunjang sumber bahan bakunya tanpa mengkhawatirkan biaya yang mahal dan
proses yang tidak diinginkan. Hal ini didasarkan pada tingginya rasa kebutuhan negara periphery untuk
memperbaiki tingkat perekonomiannya sehingga cenderung berani untuk mengambil segala resiko tanpa
mempertimbangkan peluang yang sejatinya dapat mereka terapkan dan dapat mengangkat tingkat
perekonomian mereka lebih baik lagi. Adanya perusahaan kapitalis sama sekali tidak berkontribusi terhadap
perbaikan perkembangan negara berkembang bahkan justru beralih menjadi momok tersendiri bagi para
pekerjanya karena dengan tingginya permintaan produksi, industri garmen yang mewadahi mereka membuat
para pekerjanya terpacu untuk menyelesaikan produk dalam hitungan yang cepat bahkan hingga hitungan
hari.
Hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan mereka khususnya pada keberlangsungan pekerjaan
mereka. Dengan adanya tuntutan permintaan, para pengusaha menjadi terfokus pada produksial, menjadikan
mereka seolah-olah mengenakan kacamata kuda terhadap kesejahteraan tenaga kerjanya. Ironisnya, untuk
mengejar target produk, para pengusaha beralih untuk mengesampingkan keselamatan dan kelayakan tempat
bekerja. Insiden Rana Plaza di kota Dhaka, Bangladesh merupakan salah satu bukti nyata kelalaian pemilik
perusahaan industri yang diakibatkan oleh ambisi untuk memenuhi permintaan ritel fashion kapitalis. Lebih
dari tiga juta pekerja dengan mayoritas perempuan dipekerjakan pada industri garmen dengan tingkat upah
terendah kedua di dunia. Minimnya opsi alternatif ketenagakerjaan diiringi dengan perluasan kemiskinan
menjadikan perempuan-perempuan tersebut terpaksa untuk menerima pekerjaan yang dilakukan pada tempat
yang tidak layak dan tidak memenuhi standar kesehatan dan keamanan. Bahkan Presiden Barrack Obama
pun menegaskan bahwa Bangladesh tidak mengambil langkah-langkah yang diwajibkan dalam pemenuhan
9
hak-hak pekerja internasional dalam kongres yang dilaksanakan tiga bulan setelah tragedi tersebut terjadi
(BBC 2015)
Jelas bahwa masalah keamanan yang dihadapi industri garmen Bangladesh merupakan masalah yang serius
dan meluas, terkecuali apabila adanya tindakan yang dapat mengkoordinasi lebih dari 3 juta pekerja
Bangladesh agar mereka tidak membuat pakaian secara terus menerus tanpa memperhatikan resiko
kehidupannya. Meskipun dapat terbilang saat ini banyak sekali pembicaraan mengenai hal tersebut,
sayangnya hal itu tidak diiringi dengan tindakan atau aksi perubahan. Berbagai pertemuan internasional
diselenggarakan, namun lagi-lagi hanya diisi oleh orang-orang yang saling menyalahkan satu sama lain
mengenai kegagalan industri tersebut. Penulis beropini bahwa para brands dan retail fashion juga harus
menerima tanggung jawab meskipun mereka secara tidak langsung memiliki pabrik yang memproduksi
barang-barang mereka, para ritel dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk mencegah insiden seperti itu
seperti memastikan apakah industri garmen yang mereka pekerjakan telah memenuhi prasyarat legal atau
tidak. Ritel juga harus memverifikasi bahwa pabrik yang akan bekerjasama dengan mereka telah
menggunakan standar praktek yang layak serta berkenan membangun fasilitas perbaikan. Pemilik pabrik pun
harus berkomitmen untuk memfasilitasi dan mendukung siklus manajemen keselamatan berdasarkan
kesepakatan manajemen dan serikat pekerja. Pemerintah Bangladesh harus memainkan peran penting dalam
jangka panjang yakni perubahan yang berkelanjutan dengan memperbaharui undang-undang dan
melaksanakan peraturan, meningkatkan inspeksi pabrik dan membangun kerangka tripartite yang diperlukan
untuk hubungan seimbang antara buruh dan pemangku kepentingan.
Kesimpulan
Siklus hidup produk pendek di industri fashion telah memaksa perusahaan busana untuk merasionalisasi
rantai pasokan mereka dan strategi fast fasion menjadi fenomena penting untuk bertahan di industri fashion.
Fast fashion dapat terdeskripsikan dalam hal fleksibilitas, efektifitas dan pemenuhan permintaan pelanggan.
Permintaan pelanggan ini menciptakan jenis baru dalam strategi dalam industri fashion untuk
mengembangkan kecepatan agar dapat memenuhi permintaan. Tingginya angka permintaan dari konsumen
juga disebabkan oleh konsep “Here today, Gone tomorrow” yang ditanamkan oleh perusahaan-perusahaan
mode tersebut. ZARA dan H&M adalah dua diantara ratusan ritel fashion yang terfokus pada konsep fast
fashion yang dimana menargetkan demand konsumen sebagai strategi pemasarannya. Namun seiring dengan
konsep cepat dan fleksibel yang ditawarkan pada fast fashion, nyatanya upaya perwujudannya tetap diiringi
oleh proses panjang yang berlangsung bertahap dari yang semulanya hanya sebuah bahan baku berupa
kapas, yang kemudian dikembangkan menjadi benang, benang menjadi kain, barulah kemudian menjadi
sehelai pakaian. Belum lagi jika pakaian tersebut membutuhkan ornamen-ornamen dan aksesoris penunjang
yang juga berarti masih ada proses produksi lain yang ditempuh. Makin banyak pakaian yang diproduksi,
10
makin tinggi pula sumber daya yang diperlukan dan tenaga kerja untuk menghasilkan hal itu. Disisi lain,
rantai produksi yang begitu kompleks membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara
strategis yang dilakukan oleh ritel fashion kenamaan untuk dapat mewujudkan hasil pakaian yang cepat
dengan harga terjangkau adalah menjalin kemitraan perdagangan dengan negara berkembang sebagai
outsourcingnya. Alasannya sederhana, karena biaya produksi pabrik negara berkembang jauh lebih
terjangkau jika dibandingkan pabrik di negara maju.
Dengan adanya tuntutan produksi yang banyak itu, pada akhirnya pabrik garmen di negara berkembang
yakni Bangladesh harus berpikir keras untuk menekan segala kemungkinan buruk yang terjadi seperti
penolakan desain kain, ekstensi waktu atau pemotongan waktu, hingga deadline produksi secara cepat. Para
pemilik pabrik garmen Bangladesh kemudian menjadi lalai dalam menjaga prioritas keselamatan dan
kesejahteraan pekerja hanya karena target-target yang ditentukan oleh perusahaan besar itu. Hal inilah yang
kemudian penulis lihat sebagai wujud implementasi teori World Modern System yang dimana dunia terbagi
menjadi kelas-kelas sosial, menciptakan aktor kapitalis tidak sebagai senjata perbaikan negara berkembang
tapi justru pihak yang mengeksploitasi negara berkembang itus ecara habis-habisan. Insiden robohnya Rana
Plaza di Dhaka, Bangladesh menjadi bukti terbesar pada kelalaian pihak industri hanya karena target
pencapaian yang ditetapkan oleh pihak kapitalis yang bahkan merenggut ribuan nyawa pekerja. Ironinya
adalah dibalik konsep low-cost fast clothing tersebut, masih ada harga yang sangat mahal untuk dibayarkan.
Referensi
Buku
Castells, Manuell, 1996. “The Informational Economy and the Process of Globalization”. Dalam The Rise of
the Network Society. Oxford: Basil Blackwell Ltd., pp.66-150.
Dunford, Michael, 2000. “Globalization and Theories of Regulation”. Dalam Global Political Economy:
Contemporary Theories. London: Routlledge, pp. 143-167.
Fernie, J. & Sparks, L. (2004) Logistics and Retail Management: insights into current practice and trends
from leading experts, Kogan Page Limited, London
Gilpin, Robert, 1987. “The Dynamics of International Political Economy”, dalam The Political Economy of
International Relations. Princeton : Princeton University Press, pp. 65-117.
Hossain, I. (2002). “Export processing zones in Bangladesh and industrial relations”. Chapter 7 in Muqtada,
M. et al. (eds), Bangladesh: Economic and Social Challenges. of Globalisation, study prepared for the
ILO, Geneva, UPL, Dhaka.
Kabeer, Naila Simeen Mahmud. 2004. “Rags, Riches and Women Workers: Export-Oriented Garment
Manufacturing in Bangladesh”. Dalam Chains Final. Dhaka : Dhaka Press.
Magdoff, Harry, 1978. “The Multinational Corporation and Development—A Contradiction?” dalam
Imperialism: From the Colonial Age to the Present. New York: Monthly Review Press, pp. 165-197.
11
Stiglitz, J. (2007) Fungerande Globalisering, Daidalos, Sweden.
Thun, Eric, 2008. “The Globalization of Production”. Dalam Global Political Economy.
Oxford: Oxford
University Press, pp. 346-372.
Quddus, M. and Rashid, S. (2000). “Entrepreneurs and economic development: The remarkable story of
garment exports from Bangladesh”. University Press Limited, Dhaka.
Artikel
Doyle, S., Moore C & Morgan L, (2006) Supplier management in fast moving fashion retailing, dalam
Journal of Fashion Marketing and Management, Vol 10. No 3. pp 272-281.
Dutta, D. (2002), Retail at the speed of fashion, Third Eyesight Articles
Ferdows, K & Lewis, M.A & Machuca, J.A.D (2004) Rapid-fire fulfillment, Harvard Business Review Vol.
82, No 11. pp 104-110.
Hayes, S & Jones, N (2006) Fast fashion: a financial snapshot, Journal of Fashion Marketing and
Management, Vol. 10, No. 3, pp. 282-300
Jacobs, D (2006) The promise of demand chain management in fashion, Journal of Fashion Marketing and
Management, Vol 10. No 1. pp 84-96.
Artikel Jurnal Online
Markantonatou, Maria. 2007. “The Ideal-typical Transition from Fordism to Post-Fordism: A Neopositivist
Problem Setting” dalam European Research Studies,Volume X, Issue (1 2)
Rosenblum, Paula. 2015. Fast Fashion Has Completely Disrupted Apparel Retail. [online]. Tersedia:
http://www.forbes.com/sites/paularosenblum/2015/05/21/fast-fashion-has-completely-disruptedapparel-retail/#682070e718b6. Diakses pada 24 Juni 2016.
Lain-Lain
The H&M Way. 2016. Living by Our Values and Guidelines Every Day. [online] dalam:
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwic2N_OucXNAhUGO
hQKHc-kC5cQFggdMAA&url=https%3A%2F%2Fabout.hm.com%2Fcontent%2Fdam%2Fhm
%2Fabout%2Fdocuments%2Fen%2Fhm-way%2FHM
%2520Way_en.pdf&usg=AFQjCNEAU5L_siGoq6yeXakXRAk2EyOxBg&sig2=RmUDtP3zcHXasn
SCH4Pg3g. diakses pada 23 Juni 2016.
From
Idea
to
store,
2016.
Tersedia:
http://about.hm.com/us/abouthm/factsabouthm/fromideatostore__fromideatostore.nhtml. Diakses pada
26 Juni 2016
Idea
12
and
design.
2011.
Tersedia:
http://about.hm.com/us/abouthm/factsabouthm/fromideatostore/ideaanddesign__fromideatostoreideaa
nddesign.nhtml. Diakses pada 24 Juni 2016.
Zara Company,. 2011. Tersedia: http://www.zara.com/webapp/wcs/stores/servlet/category/11712/en/zaraS2011/11112/About%2Bus. Diakses pada 24 Juni 2016.
13