Studi Postkolonial Pertanian Indonesia d

Studi Postkolonial : Pertanian Indonesia dan Kedaulatan Pangan
(Oleh : Fajar, Mahasiswa Agroteknologi, Fakultas Pertanian UMP)
Berbicara mengenai Indonesia kita tak akan bisa lepas dari julukannya sebagai
negara agraris. Namun nyatanya menjadi negara agraris saja bukan jaminan
masyarkat Indonesia akan makmur dalam hal pangan. Terbukti kasus kelaparan
dan gizi buruk masih kerap terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani ini. Ironis memang, di negerinya para petani ini justru
krisis pangan menjadi persoalan yang kerap melanda.
Kenangan "indah" mengenai swasembada pangan [penulis lebih suka mengatakan
swasembada beras] pada tahun 1984 lalu terus saja diputar sebagai penghibur
masyarakat yang sedang kehausan akan kata Kedulatan Pangan. Sektor pertanian
selalu menjadi sektor yang seksi dan menjadi sasaran para capres saat kampanye
sebagai jualan utama mereka. Berbagai kampus, baik swasta maupun negeri telah
membuka fakultas pertanian. Berbagai macam seminar dan workshop terus
menerus secara simultan mengulas upaya-upaya pemenuhan pangan dan
“penyelamatan” sektor pertanian. Bahkan seremonia Hari Pangan setiap tahun
diagendakan sebagai “hari besar” di berbagai intansi pertanian. Namun nyatanya
kedaulatan pangan masih menjadi mimpi di negeri subur ini. Apa sebabnya?
Pertanian Indonesia dalam kacamata postkolonial
Teori postkolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008:

120). Postkolonial dapat pula dipandang sebagai rancangan teoritis untuk
mendekonstruksi pandangan kaum Kolonialis Barat (disebut negera penjajah)
yang merendahkan masyarakat jajahannya. Postkolonial bukan semata-mata teori
melainkan suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak kesadaran besar yang
harus dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan
berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang
berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Mari kita tengok ke belakang, Indonesia sebagai negeri yang subur dan makmur
telah menjadi incaran dan eksploitasi para penjajah. Selama ratusan tahun kita
dijajah dan dirampok oleh bangsa lain dalam bingkai kolonialisme. Mereka
mengeruk kekayaan alam negeri ini dan menjadikan rakyat negeri ini budak di
negeri sendiri. Selama dijajah, masyarakat bangsa ini terus ditekan dan dicekoki
anggapan bahwa bangsa barat adalah bangsa yang unggul, dan memandang
bangsanya sendiri sebagai bangsa yang lemah dan miskin pengetahuan. Praktis
sebagai bangsa terjajah, rakyat Indonesia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
menolak operasi cuci otak yang dilakukan penjajah tersebut. Kalaupun mencoba
melawan sudah pasti akan diberangus oleh para penjajah. Setelah sekian lama,
pola pikir semacam itu telah merasuki masyarakat negeri ini, menyebabkan
perlawanan terus melemah hingga akhirnya bangsa ini takluk pada penjajah.

Kondisi masyarakat Indonesia sekarang masih mengindikasikan bahwa
cengkraman kolonial masih melekat dan mempangaruhi mental dan pikiran
masyarakat Indonesia. Banyaknya orang Indonesia yang masih beranggapan
bahwa barat lebih baik dalam segala hal adalah bukti sederhananya. Kita masih
berkiblat pada barat dalam hal apapun dan menganggap bahwa yang berasal dari
barat itu hebat dan membanggakan. Sebagai contoh, tanpa perlu pikir panjang
sebagian besar masyarakat kita akan memilih spageti, apel washington, dan soft
drink [dengan didasari kesadaran bahwa makanan yang berasal dari barat adalah
makananya orang hebat dan lebih bergengsi] ketimbang memilih nasi tiwul (nasi
yang berasal dari ubi kayu), apel malang, ataupun dawet. Hal ini tentunya juga
menunjukan bahwa para elit pemerintahan masih terjajah mentalnya sehingga
lebih memilih membuat kebijakan impor pangan ketimbang melakukan
optimalisasi produksi pangan dalam negeri. Itu semua adalah bukti bahwa
sejatinya kita masih terjajah, tentu bukan penjahan represif dengan senjata,
melainkan penjajahan mental dan kesadaran sehingga kita tunduk pada hegemoni
mereka.
Praktik-praktik kolonial penjajah kini diwariskan pada orang kaya dan pemimpinpemimpin bangsa ini sehingga cita-cita sebagai bangsa yang berdaulat belum
dapat tercapai meski hampir 70 tahun kita merdeka. Betapa tidak, eksploitasi

buruh dan kesenjangan ekonomi adalah bukti nyatanya. Sekedar Informasi yang

penulis dapatkan dari Suroto seorang pakar ekonomi koperasi yanga juga Ketua
Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) mengatakan bahwa
Angka Gini Rasio Indonesia kini di angka 0,43 di mana angka ini adalah angka
tertinggi semenjak Indonesia merdeka 69 tahun lalu. Tingginya Indeks Gini
tersebut menunjukan adanya kesenjangan luar biasa antara si kaya dan si miskin.
Eksploitasi kaum kaya pada masyarakat miskin ini persis seperti apa yang
penjajah lakukan tempo dulu, dimana kaum miskin (sebagai kaum yang terjajah
oleh bangsanya sendiri) tertindas baik secara marteri, psikologi, maupun hak-hak
politik.
Pemerintah melalui kebijkan-kebijakannya juga banyak merugikan masyarakat
negeri ini. Maraknya kasus impor yang berujung pada dipenjaranya oknumoknum pemerintah adalah bukti bahwa mereka telah mewarisi mental kolonial
sehingga tega membuat rakyatnya menderita hanya demi kekayaan pribadi dan
golongan. Pada praktiknya, pemerintahan sekarang dengan penjajah juga masih
mirip. Jika dulu para penjajah mengambil produk mentah untuk diolah di
negaranya dan dijual kembali, maka pemerintah saat ini juga mengekspor produk
mentah ke luar negeri sebelum kembali ke negeri ini dalam bentuk olahan dengan
harga berkali-kali lipat.
Kedaulatan pangan, jauh panggang dari api
“Kedualatan pangan”, sebuah kata yang amat mudah diucapkan tetapi negeri ini
begitu kesulitan mewujudkanya. Semenjak surplus beras 1984 lalu, praktis kita

hanya menjadi negara pengimpor beras, tak hanya beras, kedelai, bawang merah,
garam, daging sapi, dan berbagai macam komoditas lainya juga kita impor. Meski
setiap terpilih pemerintahan baru menteri pertaniannya selalu menjanjikan surplus
pangan

di

masa

pemerintahanya,

namun

nyatanya

hingga

berkali-kali

pemerintahan berganti, suprlus pangan yang dijanjikan belum mewujud.

Sebenarnya kalau mau jujur, persoalan kedaulatan pangan hanya persoalan
kemauan. Sudah tidak diperdebatkan lagi bahwa tanah negeri ini subur adanya.

Hingga Koes Ploes menggambarkan “...tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Jika saja ada kemauan dengan disertai realisasi yang jelas dari seluruh stakeholder
dan elemen bangsa maka kedauatan pangan adalah hal yang memang seharusnya
kita raih. Sekarang bagaimana mungkin kita bermimpi untuk berdaulat secara
pangan, jika masyarakatnya (sebagai konsumen) selalu menganggap produk
impor lebih baik dari produk dalam negeri. Bagaimana mungkin kedaulatan
pangan terwujud jika pemerintahnya saja selalu mendiskrimanasi sektor pertanian.
Sektor pertanian selalu kalah penting dari sektor politik kekuasaan yang syarat
akan kepentingan pribadi, lihat saja kasus perebutan kekuasaan KAPOLRI yang
menyedot perhatian elit penguasa hingga lupa bahwa di Papua sana harga gula
masih berkisar antara Rp. 100.000-150.000/kg (m.jpnn.com). Bagaiamana
mungkin kita berangan-angan untuk mewujudkan kedaultan pangan jika
pemerintah selalu mengutamakan impor dengan segudang alasanya dibanding
membuat kebijakan optimalisasi produk dalam negeri sembari menerapkan
proteksi pada petani agar petani tak “dijajah” oleh mereka para kapital bermodal
besar. Menurut berita yang penulis baca pada kanal ekonomi di liputan6.com pada
tahun 2013 saja pemerintah mengimpor 17 miliar kg bahan pokok senilai Rp.

104,9 triliun. Dan yang lebih menggemaskan, komoditas yang diimpor adalah
komoditas yang juga dihasilkan di dalam negeri seperti kentang, teh, cengkeh,
jagung, hingga beras. Tentu akan berbeda ceritanya jika pemerintah mau
memangkas jumlah impor dan mengalokasikan sisa anggaranya untuk membantu
petani memproduksi sendiri komoditas-komoditas di atas. Jika cara seperti itu
terus dilakukan bukan tak mungkin, dalam beberapa tahun ke depan kita menjadi
pengekspor berbagai komoditas di atas, tentu berupa produk yang sudah diolah
agar bernilai tambah lebih.
Langkah yang sekirnya bisa ditempuh
1.

Perubahan paradigma
Perubahan pardigma merupakan langkah yang teramat penting untuk
mencapai kedaulatan pangan sebagaimana telah dicita-citakan. Perubahan ini
penting untuk merubah pola pikir masyarakat yang sudah terlanjur

menganggap bahwa produk impor itu berkelas dan menomor duakan produk
dalam negeri, untuk menata kembali kebijakan dan praktik yang tidak tepat di
masa lalu, dan untuk memulihkan kembali kerusakan yang telah terjadi di
dalam sistem ketahanan pangan nasional maupun daerah. Perubahan

paradigma ini sekaligus dibutuhkan dalam keseluruhan konsep, kebijakan dan
strategi pembangunan nasional akan saling mendukung dan terintegrasi satu
sama lain.
2. Diversifikasi adalah kunci
Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai banyak keragaman,
termasuk dari potensi setiap daerahnya. Upaya-upaya pemenuhan pangan
harus memperhatikan keunggulan komparatif tiap-tiap daerah, sehingga
yang terjadi bukan penyamaragaman seperti saat ini. Di mana padi adalah
sumber bahan pokok di daerah yang sebenarnya potensinya bukan padi,
mekanisasi pertanian menjadi tolak ukur keberhasilan pertanian sehingga
mengabaikan kemampuan wilayah dalam mengadopsi teknologi tepat
guna, dan berbagai pandangan sempit lainya yang memandang rendah
pentingnya menjaga ketersediaan pangan berbasis potensi lokal. Rasanya
sulit untuk berpikir kita dapat berdaulat secara pangan jika sumber pangan
lokal kita abaikan dan justru mengimpor pangan dari luar negeri sebagai
jalan keluarnya.
3. Revitalisasi konstitusi dan kebijakan
Kerap kali pemerintah tidak tegas dalam menjalankan amanat konstitusi,
misalkan saja perlindungan lahan pertanian terhadap alih fungsi yang
sudah jelas diatur dalam UU No. 41 th 2009. Kebijakan impor yang kini

dilakukan juga mesti bertahap dikurangi dengan dibarengi pemberdayaan
petani dalam negeri sebagai penghasil pangan nasional dll. Selain itu,
pemerintah semestinya mengupayakan agar negara hadir dalam setiap
permasalahan petani dan pertanian, bukan malah menyerahkan semuanya
pada mekanisme pasar.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22