SUMBER ILMU PENGETAHUAN STUDI KOMPERATIF
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
STUDI KOMPERATIF ISLAM DAN BARAT
By: Didin Chonyta (SIAI) _14750010_
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan
manusia,
(knowledge)
karena
pengetahuan
(natiqiyyah) adalah sebagai
adalah
bagian
adalah
buah
yang
dari
esensial-aksiden
"berfikir".
Berfikir
differentia (fashl) yang memisahkan manusia
dari sesama genus-nya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan
yang
dimilikinya.
Begitu
urgennya,
sehingga
ketika
pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia
yang
mencoba
merumuskan
mengkritisi,
solusinya.
Hal
mencari
ini
lah
tahu
yang
persoalannya
tampak
dalam
kemudian
perkembangan
pemikiran ke-Islaman.
Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia
Islam memiliki watak keilmuan yang stagnan atau statis. Para cendekiawan
muslim kontemporer berpendapat bahwa dalam Islam telah ada semacam
“indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan klasik. Mereka antara
lain
M.
Arkoun,
menurutnya
dalam
Islam
telah
terjadi
pensyakralan
pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar addiniyyah)1, hal ini karena wacana
Al-Qur’an
yang
interpretation)
semula
memberikan
bersifat
terbuka,
poly-interpretable
kemungkinan-kemungkinan
1
arti
yang
(multitidak
Sulhani, Muhammad Arkoun dan kajian pemikiran Islam, Jurnal DINIKA Vol:3, No:1
Januari 2004. H.101
1
terbatas, historis-spiritual, dan elastis, kini berubah menjadi bersifat tertutup,
final, a-historis dan kaku (rigid).
Al-Jabiri
yang
meneliti
secara
khusus
sistem-sistem
pengetahuan
yang dikembangkan dalam Islam, menemukan bahwa ummat Islam selama
ini
masih
sistem
terbelenggu
pengetahuan
dengan
‘irfani
sistem
dan
bāyani
burhāni.
yang
Sistem
dikontraskan
bāyani
yang
dengan
dominan
tersebut tidak lain merupakan warisan produk klasik yang telah berurat dan
berakar.2 Ia menyesalkan mengapa umat Islam masih saja terus mengadopsi
secara taken for granted tanpa adanya filterisasi, yang ia inginkan bukanlah
warisan seperti yang dipahami oleh nenek moyang kita dahulu atau seperti
yang termaktub dalam naskah-naskah kuno.
Berangkat dari kesadaran terhadap watak pemikiran Islam yang statis
tersebut, maka tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir muslim
liberal dan kritis, mereka antara lain Fazlur rahman (Pakistan), M. Syahrur
(Syiria),
Hamid
Yusuf
Abu
Qardawi
Zayd
(Qatar),
(Mesir)
dan
Ali
di
Jumu’ah,
Indonesia
Djamaluddin
ada
Hasby
dan
Nasrh
Ashsiddiqiey,
Munawir Sadzali, Ahmad Azhar Basyir dan Nurcholis Madjid, dan lain-lain.
Namun ide pemikiran brillian mereka berupa pemikiran ulang (reThingking)
dicemooh
atau
dan
pembaharuan
tak
jarang
(Tajdid)
diisolasikan
bukannya
dari
disambut,
percaturan
melainkan
pemikiran
Islam,
bahkan sampai vonis pada kekafiran berfikir, hal ini karena corak pemikiran
mereka yang dianggap liberal bahkan kafir.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas
kegelisahan
intelektual
mereka
memiliki
2
akar,
serta
bertumpu,
pada
Ketika al Jabiri melontarkan ide ini banyak menuai kritik dari berbagai pihak karena
terkesan tendensius dan sangat berbau klise. Lihat tulisan Muhammad Aunul Abid Shad an
Sulaiman Mapiase dalam buku Islam Garda depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
(Bandung : Mizan, 2001), hlm 305
2
permasalahan epistemologi. Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term
metodologi
ini
wacana-wacana
pada
dasarnya
modernitas.
memang
Epistemologi
menjadi
poros
adalah
sebuah
bagi
tumbuhnya
persoalan
yang
mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau
mengkaji
validitas
secara
filosofis
pengetahuan,
tentang
teori-teori
asal
dalam
mula,
ilmu
susunan,
metode-metode,
pengetahuan,
dan
segala
sesuatu yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.
Dengan demikian setelah para pemikir muslim di atas bergumul dan
bersentuhan
dengan
wacana
filsafat
keilmuan,
maka
wajar
jika
isu-isu
epistemologis telah melatarbelakangi, melahirkan, ide-ide radikal dan sikap
kritis dari mereka yang membawa pada kesadaran bahwa khazanah keilmuan
klasik sudah tidak begitu relevan lagi dengan kondisi mutakhir.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan Sumber pengetahuan dalam Islam?
2. Sebutkan sumber ilmu pengetahuan dari Barat?
3. Bagaimana metode dan analisis perbandingan sumber ilmu pengetahuan
antara Islam dan Barat?
C. Tujuan Masalah
1. Agar pembaca mengetahui Sumber pengetahuan dalam Islam.
2. Untuk memperjelas sumber ilmu pengetahuan dari Barat.
3. Untuk
mengetahui
metode
dan
analisis
pengetahuan antara Islam dan Barat.
3
perbandingan
sumber
ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam.
Epistemologi Islam yang berdiri di atas sumber naqliyyah (wahyu)
ini
tidak
juga
mengabaikan
aspek-aspek
`aqliyyah
yang
berasaskan
penyuburan akal dan perkembangan pemikiran manusia. Perbincangan
dalam Islam merupakan suatu acuan yang sepadu iaitu gabungan
ilmu
antara
akidah, syariah dan akhlak yang akhirnya membentuk tunjangan ilmu yang
bersifat saintifik dan kemanusiaan seperti ilmu sains, teknologi, ekonomi dan
yang lainya.3
Osman Bakar di dalam Classification of Knowledge in Islam telah
merumuskan
pandangan
al-Farabi
Kitab
dalam
Ihsa’
al-`Ulum
yang
menyatakan bahawa ilmu itu dibahagikan kepada lima bagian. Pertama
adalah sains matematik (the mathematical science) yang terdiri daripada
aritmetik, geometri, astronomi dan muzik. Yang kedua adalah sains fisik
(natural science). Seterusnya yang ketiga adalah metafizik (metaphysics) dan
pecahan-pecahannya. Yang keempat ialah sains Politik (political science).
Dan yang kelima adalah tentang sains atau falsafah undang-undang dan sains
skolastik (jurisprudence and dialetical theology)4
Ibn Khaldun di dalam bab terakhir Muqaddimah turut menyentuh
tentang persoalan epistemologi yang menjelaskan klasifikasi ilmu. Uraian
yang dibuat
oleh
Ibn Khaldun
dilihat
3
agak mendatar
di
mana
beliau
Basri Bin Husin, Beberapa Aspek Epistemologi:
Konsep, Tabiat Dan Sumber-Sumber
Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Jurnal Usuluddin, 11/9/2010) H.185
4
Osman Bakar (1998), Classification Of Knowledge in Islam, Cambridge, (UK: The Islamic
Texts Society) h. 137-147.
4
mengkategorikan
ilmu
yang
menjadi
tumpuan
manusia
itu
kepada
dua
bagian iaitu ilmu naqli dan ilmu `aqli.
Ibn Khaldun membagi ilmu naqli kepada dua bagian iaitu ilmu yang
bersumberkan wahyu dan ilmu yang tidak bersumberkan wahyu. Ilmu yang
bersumberkan wahyu
terdiri
daripada al-Qur’an
dan
al-Hadith.
Manakala
ilmu yang tidak bersumberkan wahyu pula terdiri daripada ilmu tafsir, ilmu
qira’at, ilmu hadith, ilmu usul fiqh, ilmu fiqh, ilmu fara’id, ilmu kalam, ilmu
tasawuf dan ilmu tafsir mimpi.5
Sementara
itu,
klasifikasi
ilmu
pada
pandangan
al-Ghazali
dilihat
agak kompleks, di mana beliau mengkasifikasikan ilmu berdasarkan kepada
kelompok; klasifikasi berdasarkan kepada tahap kewajiban sumber ilmu dan
klasifikasi berdasarkan fungsi sosial. Hal ini banyak dibincangkan oleh alGhazali
dalam
kitab
beliau
Ihya’
`Ulum
al-Din
dan
al-Risalah
al-
Ladunniyah.
Sedangkan Naquib Al-Attas mengatakan bahwa sumber ilmu pertama
adalah datangnya dari Allah (The Islamic view of nature has its roots in the
Quran, the very word of God and the basis of Islam6) sebagai karunia-Nya
yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut, hanya dapat diterima oleh
insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya. Yakni
dengan keihsananya dan hikmah sejati ibadah kepada tuhannya yang hak itu
dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada
kehendak dan karunia Allah juga.
5
Ibn Khaldun, `Abd al-Rahman (1996M./1417H.), Muqaddimah Ibn Khaldun, c. 3. Beirut:
Dar al-Fikr, h. 549-629.
6
Yasmeen Mahnaz Faruqi, Islamic view of nature and values: Could these be the answer to
building bridges between modern science and Islamic science, (Flinders University, School
of Education faru0001@flinders.edu.au, International Education Journal, 2007, 8(2), 461469. ISSN 1443-1475 © 2007 Shannon Research Press.) h. 465
5
Apa
yang
dikemukakan
oleh
Naquib
sesuai
dengan
kesepakatan
dikalangan muslim yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al‘Alaq ayat 1-5, diterima sebagai landasan bahwa Allah swt adalah sumber
segala ilmu. Mereka meyakini asal ilmu itu adalah Allah swt sendiri,
pencipta
alam
semesta
yang
diperuntukkan
bagi
hamba-Nya.
Selain
itu
sumber pengetahuan yang lainya berasal dari Intuisi, akal, wahyu, ilham,
pengalaman
dalam
dll.7
tataran
Sedangkan
sistemik
ilmuan
yang
adalah
disebut
peramu
manusia
butiran-butiran
dalam
nama-nama
ilmu
yang
disepakati bersama demi kemudahan menggalinya.
Sumber
epistemologi
Islam
kedua
adalah
Al-Qur’an.
Al-Qur'an
merupakan sumber ajaran Islam, yang disamping berfungsi sebagai hudan
(petunjuk) juga sebagai furqan (pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur
dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk dalam penerimaan
dan penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw.
Ringkasnya, al-Qur’an menjadi petunjuk dan konsultasi bagi ilmu
pengetahuan
Islam
yang
memiliki
kedudukan
tinggi
sebagai
sumber
sunnah.
Dalam
pengetahuan dibanding sumber-sumber pengetahuan yang lain.
Sumber
epistemologi
Islam
ketiga
adalah
mengomentari sunah ini Fazlur Rahman mengatakan:
“The second definitive source of Islam, afteer the Qur’an, is the sunna of the
prophet. The term sunna means the example or model for others to follow.
The sunna, therefore, purportdly gives is the precepts and actions of the
prophet Muhmmad outside the Qur’an”.
7
Intuisi menurut Al-Attas bukan hanya pemahaman langsung oleh banyak subyek yang
mengetahui tentang dirinya, dalam kondisi sadar, tentang diri orang lain, tentang dunia luar
tentang kebenaran, nilai, rasional, dan universal. Instuisi juga merupakan pemahaman,
langsung tanpa perantara tentang kebenaran agama, tentang realitas wujud tuhan, realitas
eksitensi sebagai lawan realitas esensi, Instuisi yg tertinggi adalah tentang wujud tuhan itu
sendiri. Lihat al-Attas, Prolegomena to the methaphisis of Islam an exposition of the
fundamental elemen of the worldview of Islam,( Kuala Lumpur, ISTAC, 1995) H.119
6
Sunnah
wajib
menurut
diamalkan.
Ia
para
berada
ulama
dipandang
pada
posisi
dari
setelah
segi
keberadaannya
dilihat
al-Qur’an
dari
kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qath’iy baik secara global maupun
rinci.
Di
samping
itu,
al-Qur’an
merupakan
pokok,
sedangkan
sunnah
merupakan cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dari
kenyataan ini, maka jumhur ulama menyatakan bahwa sunnah menempati
urutan kedua setelah al-Qur’an.
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab
yaitu wahyu Al-Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alasan bahwa semesta
adalah kitab yang tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat yang
perlu
dipahami
dengan
metodologi
masing-masing.
Al-Attas
memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa
penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir.8
Menilik kembali sumber sumber filsafat di dalam pengetahuan islam,
tokoh
berserta
pemikiranya
memiliki
andil
besar
dalam
perkembangan
Filsafat Islam. Due to this they defined philosophy as:9
Theoretical and Practical (Al-Kindi)
Based on certainty and opinion (Farabi)
Perfection of the human soul (Ibn Sina)
8
Al-Attas, the concept of education in Islam: A framework for an Islamic Education, (Kuala
Lumpur, ISTAC, 1991) H. 7 ff; Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir Al-Attas ini
dalam “the Question of Methodologhy in Islamic Science dalam tawhid and science: Essay
on the history and philosophy of Islamic science, (Penang dan Kuala Lumpur, Secretariat for
islamic Philosophy and science, Nurin Interprise, 19991) buku ini diterbitkan sesuai aslinya
dengan judul the history and philosophy of Islamic Science, (Cambrige, Islamic Text
society, 1999) H.13-38, penulis mendapatkan makalah ini dalam seminar Hamid Fahmy
Zarkasyi, Worldview Islam (asas Islamisasi ilmu social humaniora) H. 16
9
Ali raza tahir, Islam and Phylosophy (meaning and relationship), (Department of
Philosophy, University of the Punjab, Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research
In Business Copy Right © 2013 Institute of Interdisciplinary Business Research
1287
January 2013 Vol 4, No 2.) H. 1297
7
Relationship between theoretical aspect and practical dimensions (Ismaili)
Words and deeds in accordance with knowledge (Ikhwan al Safa)
Purification of the soul (Suhrawardi-Hikmat al ishraq)
Perfecting of the human soul (Mulla Sadra-Al-Hikmat al mutaaliyah)
Al-Syaibani mengatakan, bahwa pengalaman langsung, perhatian dan
pengamatan indera adalah sebagian dari sumber ilmu pengetahuan, banyak
lagi sumber lain yaitu renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan
tela’ah terhadap pengalaman. Pengalaman orang-orang terdahulu, perasaan,
rasa
hati,
akal
serta
bimbingan
Illahi.
Namun
sumber-sumber
tersebut
meskipun beragam bentuk jenisnya dapat dikembalikan kepada lima sumber
utama yakni indera, akal, intuisi, ilham dan wahyu Illahi.
Keberadaan
Taimiyyah
yang
sumber
membagi
pengetahuan
ilmu
empirik
pengetahuan
ini
kepada
diakui
dua
oleh
bagian,
Ibn
yakni
pengetahuan tentang segala yang ada (al-ilmu bi al-ka’inat) dan pengetahuan
tentang
agama
(al-ilmu
bi
al-din).
Ia
mengatakan
bahwa
dengan
menggunakan metode tajribiyyah (empirisme) pengetahuan tentang al-ilmu
bi al-ka’inat dapat diperoleh. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui
kebenaran,
kecuali
dengan
metode
ini.
Selanjutnya
ia
mengatakan
jika
silogisme dipisahkan dengan tajribiyyah maka tidak akan membawa kepada
kesimpulan atau atau pengetahuan yang benar. Dengan tajribiyyah ini lah
sebuah kebenaran paertikular dapat diketahui.
B. Sumber Ilmu Pengetahuan dari Barat
Dalam
tiga
babak
sejarahnya,
(periodesasi).
perkembangan
Pertama,
ilmu
sebelum
pengetahuan
15.00
tahun
dibagi
SM
dalam
(Sebelum
Masehi) dengan ciri utama manusia belajar dari alam sekitarnya. Manusia
menemukan cara-cara untuk tetap bertahan dengan cara mempelajari alam.
8
Dengan cara seperti itu, manusia mampu “menundukan” alam melalui daya
nalarnya yang pada saat itu masih dapat dikatakan terbatas. Sekitar 15.000 –
600 tahun SM, perioode awal, peradaban manusia telah mulai mengenal
membaca, menulis dan berhitung. Dalam kurun waktu yang relatif panjang
sejarah
peradaban
telah
banyak
melahirkan
para
filosof
terkenal
seperti
Sócrates, Aristóteles, Plato, Thales, Archimedes, Aristachus, dan lain-lain.
Pada masa ini telah dikenal apa yang disebut dengan logika deduktif dan
silogismo.
Kedua, periode atau abad pertengahan diwarnai oleh para pemikir
Arab-Islam yang membawa corak pemikiran berbasis agama dan moral. Pada
abad ini lahir para pemikir seperti Al-Kindi (Filosof Islam Pertama), Al
Khawarijmi (Aljabar), Al Idris (Astronomi), Ibnu Sina atau Avisena, Ibnu
Rusdi atau Averus, Umar Kayam, dan lain-lain.
Ketiga, abad modern. Pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang
pesat sebagai hasil interaksi berbagai ilmu pengetahuan yang disebut dengan
proses sistesa. Abad modern pun ditandai oleh paradigma positivisme yang
digagas
oleh
August
Comte
melalui
Sosiologi
Positif.
Comte
ingin
menegaskan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan berkembang
cepat apabila manusia melepaskan cara berpikir yang metafisi.10
Menurut
Jujun
S.Suria
sumantri
pengetahuan
tentang
ilmu
seyogyanya mencakup pengetahuan tentang apa yang dikaji ilmu, bagaimana
cara ilmu melakukan pengkajian, dan menyusun tubuh pengetahuannya, serta
untuk apa pengetahuan ilmiah yang telah disusun itu dipergunakan. Ketiga
hal tersebut dalam terminologi kefilsafatan dikenal dengan istilah ontologi
(apa),
epistemologi
(bagaimana),
dan
10
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar,
H.30
9
axiologi
(untuk
apa).
Dalam
(Jakarta; Raja grafindo persada, 2013),
operasionalisasinya persoalan filsafat ilmu tesebut pun masih memerlukan
”bantuan” ilmu lain, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Dalam epistemologi Barat, bagaimana cara memperoleh pengetahuan
dikenal dengan tiga paham: Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham
bahwa pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin
yang diolah oleh “akal”. Akal memegang peranan penting dalam, mengolah
informasi dari eksternal sehingga melahirkan pengetahuan. Rasionalisme ini
terbagi ke dalam dua aliran, yaitu rasionalisme idealis dan rasionalisme
realis.
Rasionalisme
pengetahuan
kita
idealis
dapat
berpegang
melampaui
teguh
kepada
pengalaman
keyakinan
panca
bahwa
indera
sejati.
Sedangkan rasionalisme realis berpendapat bahwa pengolahan pengetahuan
oleh rasio tidak terlepas dari obyek yang diamatinya “Rasio mengolah
pengalaman sambil meresap ke dalam obyek, sedangkan obyek itu sendiri
bukan hasil ciptaan sukma manusia”.
Melalui
rasio,
ilmuwan
dapat
melakukan
tiga
hal
penting
yang
menjadi basis pengembangan pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2) komparasi,
dan (3) kausalitas. Definisi melakukan proses pembatasan tentang sesuatu
yang disebut ”A” atau ”B”. Komparasi melakukan proses perbandingan
antara ”A” dan ”B”. Kausalitas dapat menjelaskan mana yang menjadi
”sebab” dan mana yang menjadi ”akibat”. Bebarapa tokoh penting yang
berada
dibalik
Descrates
paham
(1596-1650),
rasionalisme
Spinoza
ini
misalnya,
(1632-1677),
Leibniz
Augustinus,
Scotus,
(1646-1716),
Fichte
(1762-1814), Hegel (1770-1813), dan lain-lain.
Meskipun
gegap
gempita
rasionalisme
telah
mampu
menyedot
perhatian ilmuwan seantero dunia, di sisi lain banyak pula yang mengkritik
atau
membantahnya.
Bantahan
terhadap
rasionalisme
misalnya:
(1)
rasionalisme bersifat spekulatif, terlalu mengandalkan olahan rasio dan lalai
10
dalam pengujian yang dihubungkan dengan dunia nyata. (2) rasionalisme
cenderung
a-priori,
pembawaan
dalam
individual
arti
masalah
psikologis
(tanggapan-tanggapan
yang
pembawaan)
merupakan
akan
berbeda
pada diri setiap orang.
empirisme,
Kedua,
pengetahuan
yang
yaitu
diperoleh
Suatu
terbatas
paham
hanya
yang
pada
berpendapat
bahwa
pengalaman.
Dalam
perkembangannya empirisme ini terbagi dua, yaitu empirisme sensualisme
dan
empirisme
konsiensialisme.
Empirisme
sensualisme
yaitu
proses
perolehan pengetahuan yang hanya bertumpu pada pengalaman pancaindera
semata-mata.
Sensualisme
pancaindera
bersifat
mengemukakan
ini
memiliki
semu.
bahwa
keterbatasan,
Sedangkan
Keputusan
yang
bahwa
empirisme
diambil
dari
kebenaran
konsiensialisme
pengalaman
panca
indera berdasarkan pertimbangan penuh kesadaran, dalam arti pertimbangan
yang matang. Beberapa tokoh yang menjadi “dewa” dalam paham empirismo
ini misalnya John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), David Hume
(1711-1776), termasuk “kaum positivis” seperti August Comte (1798-1857).
Paham empiris ini pun tida lupus dari sasaran kritik dan bantahan. Di
antara bantahan yang tajam misalnya dapat dilihat pada: (1) Kebenaran yang
dilahirkan
sendiri
apakah
?
dan
hasil
(2)
pengamatan
Pengamatan
nyata
hanya
atau
keputusan
menghasilkan
si
pengamat
kenyataan
yang
memerlukan keputusan, sedangkan situasi psikis si pengamat akan akan
berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian bisa terjadi
sikap “a priori” sehingga keputusan antara seorang pengamat bisa berbeda
dengan pengamat lainnya
Ketiga, paham dualisme. Paham ini berusaha menggabungkan atau
mendamaikan
kedua
kutub
paham
yang
bersebrangan
secara
diameteral.
Paham ini berpendapat bahwa pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh kedua
11
instasnsi,
yaitu
rasio
dan
pengalaman
inderawi.
Rasio
dan
pengalaman
memiliki masing-masing keterbatasan yang tak terhindarkan, oleh karena itu
suatu proses yang mengkompromikan antara rasio dan pengalaman menjadi
jalan tengah yang paling ideal. Rasio atau akal tidak dapat menyerap
pengetahuan secara utuh tanpa pengalaman inderawi, sedangkan pengalaman
inderawi
saja
tidak
bisa
menghasilkan
pengetahuan
tanpa
diolah
secara
kreatif oleh rasio (otak).
Perbedaan
paradigma
pengetahuan
mangakibatkan
orientasi
keilmuan
yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang
berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material
hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan
mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas
nilai (value free).
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang
materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi
material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah
sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran
dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan.
Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”.
Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah
mendominasi
pemikiran
dunia.
Sehingga
muncul
persoalan-persoalan
baru
yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga
persoalan
yang
berdampak
pada
lingkungan,
Sumber
Ilmu
Pengetahuan
sosiologis,
psikologis
dan
sistem nilai.11
Tokoh-tokoh
yang
11
pertama,
Tokoh
Rasionalisme
diantaranya
Perspektif
yakni
Barat
Sokrates,
http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/sumber-ilmu-pengetahuan-paradigma.html
12
adalah
Plato,
Aristoteles, dan Rene Descartes. Dalam hal ini yang akan penulis uraikan
pernyataannya Aristoteles dan Rene Descartes. Aristoteles, mengungkapkan
bahwa rasio dapat menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat
sama sekali umum. Oleh karenanya rasio dapat “menjadi” segala sesuatu.
Rene Deskartes, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal
yang benar dan yang jelas. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu
pasti yang dapat dijadikan model secara dinamis.
Yang kedua, Tokoh Empirisme, saya cantumkan Thomas Hobes dan
John Locke. Thomas Hobbes, baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan
tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau dengan merasionalisasikan sebabakibat. John Locke, menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman
dan tidak lebih dari itu. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri,. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang
menerima
segala
membedakan
sesuatu
antara
yang
datang
dari
pengalaman.
pengalaman
dengan
pengetahuan
akal.
Locke
tidak
Satu-satunya
sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang
timbulnya karena pengalaman lahiriah (sensation) dank arena pengalaman
batiniah (reflection).
Kelebihan Ilmu Pengetahuan Barat dapat disimpulkan menjadi dua
yaitu rasionalis dan empiris. secara Rasional maksudnya adalah mampu
menyusun
system
kefilsafatan
yang
berasal
dari
manusia.
Umpamanya
logika, yang sudah ada sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan
kebenaran rasio diuji dengan verifikasi dan konsistensi logis. Kelebihan
rasionalisme adalah dalam hal
nalar dalam
menjelaskan penalaran yang
rumit, kemudian rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal
budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia. Kelebihan
13
Empirisme,
dalam
menurut
berpikir
kesejahteraan
saya
dan
dan
(penulis)
dapat
dapat
membuka
mewujudkan
kemandirian
serta
cakrawala
manusia
manusia
kepada
kehidupan
kedewasaan
dalam
menghadapai
problema hidup. Karena dengan cara berpikir empirislah maka manusia
dapat mengetahui asal usul dan sebab akibat yang terjadi dalam kehidupan di
dunia ini.
C. Analisis Perbandingan Sumber Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat
Klasifikasi
ilmu
menurut
perspektif
Islam
amat
berbeda
jika
dibandingkan dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat, di mana klasifikasi
ilmu
Islam,
pembagian
ilmunya
disusun
berdasarkan
keutamaan
dan
kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini dilihat
berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu dibagi berdasarkan
hierarki
yang
hanya
melihat
kepada
perspektif
dunia
semata-mata.
Berdasarkan kepada perspektif ini, umat Islam dinilai lebih komprehensif
dan teratur dalam mengklasifikasi ilmu yakni menggabungkan antara ilmu
wahyu dan ilmu akal.12
Menurut Naquib al-Attas hanya dengan hidayah (petunjuk) Allah_lah
sebuah
kebenaran
bisa
diperoleh
oleh
manusia,
bukan
dari
keraguan.
Pendapat Naquib ini sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat
dengan
ciri
skeptis
atau
keragu-raguan
(kesangsian).
Aliran
skeptisisme
(irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat diperkenalkan oleh
Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat modern”.
Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui melalui
metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak
12
Wan Mohd Nor Wan Daud (2005), Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti
Malaya, h. 92
14
ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada
kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali ilmu pasti.
Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada
dasarnya
hanya
menghasilkan
kebingungan
dan
( )إرتيابيههههه.
skeptisisme
Mengangkat keragu-raguan dan meraba-raba ke derajat ilmiah dalam hal
metodologi
suatu
unsur
Keraguan
)منههههالبحث ههه
(methodology,
epistemologis
ditinggikan
yang
posisinya
dan
memandang keraguan
istimewa
menjadi
dalam
metode
mengejar
sebagai
kebenaran.
epistemologis.
Melalui
metode inilah kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka akan
mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan, dan bahkan sesuatu
lainnya yang mengantarkan mereka berada pada kebenaran. Sesungguhnya,
tambah
Naquib,
yang
mengantarkan
kepada
kebenaran
adalah
hidayah
(petunjuk) Allah bukan keraguan.
Di dalam table ini dapat dibedakan sumber pengetahuan menurut
Islam dan Barat:
No
Sumber Pengetahuan Islam
Sumber pengetahuan Barat
1
Allah SWT (Relegion)
Rasionalisme
Petunjuk
menurunkan
al-Qur’an Melalui rasio, ilmuwan dapat
sebagai Huda li- nass
melakukan tiga hal penting yang
menjadi basis pengembangan
pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2)
komparasi, dan (3) kausalitas.
2
Al-Qu’ran
Empirisme
(sumber ilmu yang paling tertinggi
Dalam perkembangannya empirisme
setelah Tuhan)
ini terbagi dua, yaitu empirisme
sensualisme dan empirisme
konsiensialisme.
15
3
As-Sunnah
Dualisme
(sunnah adalah perkataan, perbuatan
Paham ini berpendapat bahwa
maupun pernyataan Nabi
pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh
Muhammad saw)
kedua instasnsi, yaitu rasio dan
pengalaman inderawi.
4
Akal
-
5
Intuisi
-
6
Wahyu
-
7
Indera
-
8
Ilham
-
Epistemologi Islam amat menekankan ilmu yang bertaraf keyakinan
dalam akhir sesuatu perkara yang mempunyai unsur-unsur kebenaran secara
mutlak.
Sesuatu
yang
benar
itu
seharusnya
mempunyai
elemen
yang
dipercayai kebenarannya secara yakin tanpa ada unsur keraguan, kesamaran
dan prasangka terhadapnya. Dalam arti kata yang lain, sesuatu yang diterima
sebagai benar itu adalah berasaskan kepada `ilm al-yaqin.
Konsep `ilm al-yaqin ialah ilmu yang boleh menbedahkan sesuatu
secara
jelas,
di
mana
sebarang
keraguan
dan
kemungkinan
wujudnya
kesilapan dan kesamaran (al-wahm) di sekitarnya tidak pernah difikirkan
oleh seseorang yang memiliki ilmu tersebut. `Ilm al-yaqin adalah ilmu yang
tidak
mungkin
ada
unsur
kekeliruan,
kesalahan
dan
kesamaran.
Istilah
‘yaqin’ adalah jauh berlawanan dengan ‘shak’, ‘wahm’ dan ‘dzann’. Konsep
‘yaqin’ ini amat ditekankan dalam epistemologi Islam, di mana hal-hal yang
16
melibatkan persoalan akidah Islam dan syariah memerlukan taraf keyakinan
yang tinggi dalam pencapaian sesuatu matlamat.13
Dalam
soal
akidah,
seorang
muslim
mempunyai
keyakinan
yang
tinggi dalam menyatakan ketauhidannya kepada Allah S.W.T. Keyakinan
terhadap
sesuatu
perkara
melibatkan
tiga
keyakinan
yang
bersangkutan
dengan ilmu manusia iaitu `ilm al-yaqin, `ayn al-yaqin dan haqq alyaqin.`Ilm al-yaqin adalah ilmu yang bersandarkan alasan atau kesimpulan
hasil dari kuasa manusia yang mengadilinya.
Ashraf bin Md. Hashim (2001), “Tahap Pembuktian di Dalam Kes-Kes Jenayah: Kajian
Perbandingan Antara Undang-Undang Islam”, Jurnal Syariah, Jil. 9. bil. 2, Julai 2001, h. 15.
13
17
BAB III
PENUTUP
Dari berbagai tulisan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Menurut Naquib Al-Attas sesuai dengan kesepakatan dikalangan muslim,
landasan teologis surah al-‘alaq ayat 1-5, diterima sebagai informasi
bahwa Allah itulah sumber segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada
manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri,
pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Selain itu
sumber ilmu pengetahuan dari Islam bersumber dari Al-Qur’an, Assunnah / hadist Nabi Muhammad SAW, Akal, Wahyu, ilham, Panca
indra, pengalaman, Intuisi dll.
2. Dalam epistemologi Barat, cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan
tiga
paham:
pendekatan
Pertama,
rasionalisme.
Suatu
paham
bahwa
pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin yang
diolah
oleh
“akal”.
berpendapat
bahwa
pengalaman.
pengetahuan
yang
paham
Ketiga,
menggabungkan
empirisme,
Kedua,
atau
yaitu
diperoleh
dualisme,
mendamaikan
Suatu
yang
hanya
pada
terbatas
Paham
kedua
paham
kutub
ini
berusaha
paham
yang
berbeda
jika
bersebrangan secara diameteral.
3. Klasifikasi
ilmu
menurut
perspektif
Islam
amat
dibandingkan dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat di mana dalam
klasifikasi
ilmu
Islam,
pembagian
ilmu
itu
disusun
berdasarkan
keutamaan dan kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan alSunnah. Ini dilihat berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu itu
dibagi berdasarkan hierarki yang hanya melihat kepada perspektif dunia
semata-mata. Berdasarkan kepada perspektif ini, umat Islam dilihat lebih
komprehensif
dan
teratur
dalam
mengklasifikasi
menggabungkan antara ilmu wahyu dan ilmu akal.
18
ilmu
yakni
Daftar pustaka
Ali
raza
tahir,
Islam
and
Phylosophy
(meaning
and
relationship),
(Department of Philosophy, University of the Punjab, Interdisciplinary
Journal Of Contemporary Research In Business Copy Right © 2013
Institute of Interdisciplinary Business Research
1287 January 2013
Vol 4, No 2.)
Ashraf bin Md. Hashim (2001), “Tahap Pembuktian di Dalam Kes-Kes
Jenayah: Kajian Perbandingan Antara Undang-Undang Islam”, Jurnal
Syariah, Jil. 9. bil. 2, Julai 2001
Basri Bin Husin, Beberapa Aspek Epistemologi:
Sumber-Sumber
Ilmu
Dalam
Tradisi
Islam,
Konsep, Tabiat Dan
(Jurnal
Usuluddin,
11/9/2010)
Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam (asas Islamisasi ilmu social humaniora),
Jurnal
Ibn Khaldun, `Abd al-Rahman (1996M./1417H.), Muqaddimah Ibn Khaldun,
c. 3. Beirut: Dar al-Fikr
Muhammad Aunul Abid Shad an
Sulaiman Mapiase, Islam Garda depan,
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung : Mizan, 2001)
Naquib Al-Attas, the concept of education in Islam: A framework for an
Islamic Education, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1991)
Naquib Al-Attas, Prolegomena to the methaphisis of Islam an exposition of
the fundamental elemen of the worldview of Islam,( Kuala Lumpur,
ISTAC, 1995)
19
Osman Bakar (1998), Classification Of Knowledge in Islam, Cambridge,
(UK: The Islamic Texts Society)
Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir Al-Attas ini dalam “the Question
of Methodologhy in Islamic Science dalam tawhid and science:
Essay
on the history and philosophy of Islamic science, (Penang dan Kuala
Lumpur,
Secretariat
for
islamic
Philosophy
and
science,
Nurin
Interprise, 1991) buku ini diterbitkan sesuai aslinya dengan judul the
history and philosophy of Islamic Science, (Cambrige, Islamic Text
society, 1999)
Soerjono
Soekanto,
Sosiologi
suatu
pengantar,
(Jakarta;
Raja
grafindo
persada, 2013)
Sulhani, Muhammad Arkoun dan kajian pemikiran Islam, Jurnal DINIKA
Vol:3, No:1 Januari 2004
Wan Mohd Nor Wan Daud (2005), Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya,tt)
Yasmeen Mahnaz Faruqi, Islamic view of nature and values: Could these be
the answer to building bridges between modern
science,
(Flinders
faru0001@flinders.edu.au,
University,
International
science and Islamic
School
Education
of
Journal,
8(2), 461-469. ISSN 1443-1475 © 2007 Shannon Research Press.)
http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/sumber-ilmu-pengetahuan
paradigma.html
20
Education
2007,
STUDI KOMPERATIF ISLAM DAN BARAT
By: Didin Chonyta (SIAI) _14750010_
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan
manusia,
(knowledge)
karena
pengetahuan
(natiqiyyah) adalah sebagai
adalah
bagian
adalah
buah
yang
dari
esensial-aksiden
"berfikir".
Berfikir
differentia (fashl) yang memisahkan manusia
dari sesama genus-nya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan
yang
dimilikinya.
Begitu
urgennya,
sehingga
ketika
pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia
yang
mencoba
merumuskan
mengkritisi,
solusinya.
Hal
mencari
ini
lah
tahu
yang
persoalannya
tampak
dalam
kemudian
perkembangan
pemikiran ke-Islaman.
Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia
Islam memiliki watak keilmuan yang stagnan atau statis. Para cendekiawan
muslim kontemporer berpendapat bahwa dalam Islam telah ada semacam
“indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan klasik. Mereka antara
lain
M.
Arkoun,
menurutnya
dalam
Islam
telah
terjadi
pensyakralan
pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar addiniyyah)1, hal ini karena wacana
Al-Qur’an
yang
interpretation)
semula
memberikan
bersifat
terbuka,
poly-interpretable
kemungkinan-kemungkinan
1
arti
yang
(multitidak
Sulhani, Muhammad Arkoun dan kajian pemikiran Islam, Jurnal DINIKA Vol:3, No:1
Januari 2004. H.101
1
terbatas, historis-spiritual, dan elastis, kini berubah menjadi bersifat tertutup,
final, a-historis dan kaku (rigid).
Al-Jabiri
yang
meneliti
secara
khusus
sistem-sistem
pengetahuan
yang dikembangkan dalam Islam, menemukan bahwa ummat Islam selama
ini
masih
sistem
terbelenggu
pengetahuan
dengan
‘irfani
sistem
dan
bāyani
burhāni.
yang
Sistem
dikontraskan
bāyani
yang
dengan
dominan
tersebut tidak lain merupakan warisan produk klasik yang telah berurat dan
berakar.2 Ia menyesalkan mengapa umat Islam masih saja terus mengadopsi
secara taken for granted tanpa adanya filterisasi, yang ia inginkan bukanlah
warisan seperti yang dipahami oleh nenek moyang kita dahulu atau seperti
yang termaktub dalam naskah-naskah kuno.
Berangkat dari kesadaran terhadap watak pemikiran Islam yang statis
tersebut, maka tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir muslim
liberal dan kritis, mereka antara lain Fazlur rahman (Pakistan), M. Syahrur
(Syiria),
Hamid
Yusuf
Abu
Qardawi
Zayd
(Qatar),
(Mesir)
dan
Ali
di
Jumu’ah,
Indonesia
Djamaluddin
ada
Hasby
dan
Nasrh
Ashsiddiqiey,
Munawir Sadzali, Ahmad Azhar Basyir dan Nurcholis Madjid, dan lain-lain.
Namun ide pemikiran brillian mereka berupa pemikiran ulang (reThingking)
dicemooh
atau
dan
pembaharuan
tak
jarang
(Tajdid)
diisolasikan
bukannya
dari
disambut,
percaturan
melainkan
pemikiran
Islam,
bahkan sampai vonis pada kekafiran berfikir, hal ini karena corak pemikiran
mereka yang dianggap liberal bahkan kafir.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas
kegelisahan
intelektual
mereka
memiliki
2
akar,
serta
bertumpu,
pada
Ketika al Jabiri melontarkan ide ini banyak menuai kritik dari berbagai pihak karena
terkesan tendensius dan sangat berbau klise. Lihat tulisan Muhammad Aunul Abid Shad an
Sulaiman Mapiase dalam buku Islam Garda depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
(Bandung : Mizan, 2001), hlm 305
2
permasalahan epistemologi. Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term
metodologi
ini
wacana-wacana
pada
dasarnya
modernitas.
memang
Epistemologi
menjadi
poros
adalah
sebuah
bagi
tumbuhnya
persoalan
yang
mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau
mengkaji
validitas
secara
filosofis
pengetahuan,
tentang
teori-teori
asal
dalam
mula,
ilmu
susunan,
metode-metode,
pengetahuan,
dan
segala
sesuatu yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.
Dengan demikian setelah para pemikir muslim di atas bergumul dan
bersentuhan
dengan
wacana
filsafat
keilmuan,
maka
wajar
jika
isu-isu
epistemologis telah melatarbelakangi, melahirkan, ide-ide radikal dan sikap
kritis dari mereka yang membawa pada kesadaran bahwa khazanah keilmuan
klasik sudah tidak begitu relevan lagi dengan kondisi mutakhir.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan Sumber pengetahuan dalam Islam?
2. Sebutkan sumber ilmu pengetahuan dari Barat?
3. Bagaimana metode dan analisis perbandingan sumber ilmu pengetahuan
antara Islam dan Barat?
C. Tujuan Masalah
1. Agar pembaca mengetahui Sumber pengetahuan dalam Islam.
2. Untuk memperjelas sumber ilmu pengetahuan dari Barat.
3. Untuk
mengetahui
metode
dan
analisis
pengetahuan antara Islam dan Barat.
3
perbandingan
sumber
ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam.
Epistemologi Islam yang berdiri di atas sumber naqliyyah (wahyu)
ini
tidak
juga
mengabaikan
aspek-aspek
`aqliyyah
yang
berasaskan
penyuburan akal dan perkembangan pemikiran manusia. Perbincangan
dalam Islam merupakan suatu acuan yang sepadu iaitu gabungan
ilmu
antara
akidah, syariah dan akhlak yang akhirnya membentuk tunjangan ilmu yang
bersifat saintifik dan kemanusiaan seperti ilmu sains, teknologi, ekonomi dan
yang lainya.3
Osman Bakar di dalam Classification of Knowledge in Islam telah
merumuskan
pandangan
al-Farabi
Kitab
dalam
Ihsa’
al-`Ulum
yang
menyatakan bahawa ilmu itu dibahagikan kepada lima bagian. Pertama
adalah sains matematik (the mathematical science) yang terdiri daripada
aritmetik, geometri, astronomi dan muzik. Yang kedua adalah sains fisik
(natural science). Seterusnya yang ketiga adalah metafizik (metaphysics) dan
pecahan-pecahannya. Yang keempat ialah sains Politik (political science).
Dan yang kelima adalah tentang sains atau falsafah undang-undang dan sains
skolastik (jurisprudence and dialetical theology)4
Ibn Khaldun di dalam bab terakhir Muqaddimah turut menyentuh
tentang persoalan epistemologi yang menjelaskan klasifikasi ilmu. Uraian
yang dibuat
oleh
Ibn Khaldun
dilihat
3
agak mendatar
di
mana
beliau
Basri Bin Husin, Beberapa Aspek Epistemologi:
Konsep, Tabiat Dan Sumber-Sumber
Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Jurnal Usuluddin, 11/9/2010) H.185
4
Osman Bakar (1998), Classification Of Knowledge in Islam, Cambridge, (UK: The Islamic
Texts Society) h. 137-147.
4
mengkategorikan
ilmu
yang
menjadi
tumpuan
manusia
itu
kepada
dua
bagian iaitu ilmu naqli dan ilmu `aqli.
Ibn Khaldun membagi ilmu naqli kepada dua bagian iaitu ilmu yang
bersumberkan wahyu dan ilmu yang tidak bersumberkan wahyu. Ilmu yang
bersumberkan wahyu
terdiri
daripada al-Qur’an
dan
al-Hadith.
Manakala
ilmu yang tidak bersumberkan wahyu pula terdiri daripada ilmu tafsir, ilmu
qira’at, ilmu hadith, ilmu usul fiqh, ilmu fiqh, ilmu fara’id, ilmu kalam, ilmu
tasawuf dan ilmu tafsir mimpi.5
Sementara
itu,
klasifikasi
ilmu
pada
pandangan
al-Ghazali
dilihat
agak kompleks, di mana beliau mengkasifikasikan ilmu berdasarkan kepada
kelompok; klasifikasi berdasarkan kepada tahap kewajiban sumber ilmu dan
klasifikasi berdasarkan fungsi sosial. Hal ini banyak dibincangkan oleh alGhazali
dalam
kitab
beliau
Ihya’
`Ulum
al-Din
dan
al-Risalah
al-
Ladunniyah.
Sedangkan Naquib Al-Attas mengatakan bahwa sumber ilmu pertama
adalah datangnya dari Allah (The Islamic view of nature has its roots in the
Quran, the very word of God and the basis of Islam6) sebagai karunia-Nya
yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut, hanya dapat diterima oleh
insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya. Yakni
dengan keihsananya dan hikmah sejati ibadah kepada tuhannya yang hak itu
dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada
kehendak dan karunia Allah juga.
5
Ibn Khaldun, `Abd al-Rahman (1996M./1417H.), Muqaddimah Ibn Khaldun, c. 3. Beirut:
Dar al-Fikr, h. 549-629.
6
Yasmeen Mahnaz Faruqi, Islamic view of nature and values: Could these be the answer to
building bridges between modern science and Islamic science, (Flinders University, School
of Education faru0001@flinders.edu.au, International Education Journal, 2007, 8(2), 461469. ISSN 1443-1475 © 2007 Shannon Research Press.) h. 465
5
Apa
yang
dikemukakan
oleh
Naquib
sesuai
dengan
kesepakatan
dikalangan muslim yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al‘Alaq ayat 1-5, diterima sebagai landasan bahwa Allah swt adalah sumber
segala ilmu. Mereka meyakini asal ilmu itu adalah Allah swt sendiri,
pencipta
alam
semesta
yang
diperuntukkan
bagi
hamba-Nya.
Selain
itu
sumber pengetahuan yang lainya berasal dari Intuisi, akal, wahyu, ilham,
pengalaman
dalam
dll.7
tataran
Sedangkan
sistemik
ilmuan
yang
adalah
disebut
peramu
manusia
butiran-butiran
dalam
nama-nama
ilmu
yang
disepakati bersama demi kemudahan menggalinya.
Sumber
epistemologi
Islam
kedua
adalah
Al-Qur’an.
Al-Qur'an
merupakan sumber ajaran Islam, yang disamping berfungsi sebagai hudan
(petunjuk) juga sebagai furqan (pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur
dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk dalam penerimaan
dan penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw.
Ringkasnya, al-Qur’an menjadi petunjuk dan konsultasi bagi ilmu
pengetahuan
Islam
yang
memiliki
kedudukan
tinggi
sebagai
sumber
sunnah.
Dalam
pengetahuan dibanding sumber-sumber pengetahuan yang lain.
Sumber
epistemologi
Islam
ketiga
adalah
mengomentari sunah ini Fazlur Rahman mengatakan:
“The second definitive source of Islam, afteer the Qur’an, is the sunna of the
prophet. The term sunna means the example or model for others to follow.
The sunna, therefore, purportdly gives is the precepts and actions of the
prophet Muhmmad outside the Qur’an”.
7
Intuisi menurut Al-Attas bukan hanya pemahaman langsung oleh banyak subyek yang
mengetahui tentang dirinya, dalam kondisi sadar, tentang diri orang lain, tentang dunia luar
tentang kebenaran, nilai, rasional, dan universal. Instuisi juga merupakan pemahaman,
langsung tanpa perantara tentang kebenaran agama, tentang realitas wujud tuhan, realitas
eksitensi sebagai lawan realitas esensi, Instuisi yg tertinggi adalah tentang wujud tuhan itu
sendiri. Lihat al-Attas, Prolegomena to the methaphisis of Islam an exposition of the
fundamental elemen of the worldview of Islam,( Kuala Lumpur, ISTAC, 1995) H.119
6
Sunnah
wajib
menurut
diamalkan.
Ia
para
berada
ulama
dipandang
pada
posisi
dari
setelah
segi
keberadaannya
dilihat
al-Qur’an
dari
kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qath’iy baik secara global maupun
rinci.
Di
samping
itu,
al-Qur’an
merupakan
pokok,
sedangkan
sunnah
merupakan cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dari
kenyataan ini, maka jumhur ulama menyatakan bahwa sunnah menempati
urutan kedua setelah al-Qur’an.
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab
yaitu wahyu Al-Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alasan bahwa semesta
adalah kitab yang tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat yang
perlu
dipahami
dengan
metodologi
masing-masing.
Al-Attas
memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa
penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir.8
Menilik kembali sumber sumber filsafat di dalam pengetahuan islam,
tokoh
berserta
pemikiranya
memiliki
andil
besar
dalam
perkembangan
Filsafat Islam. Due to this they defined philosophy as:9
Theoretical and Practical (Al-Kindi)
Based on certainty and opinion (Farabi)
Perfection of the human soul (Ibn Sina)
8
Al-Attas, the concept of education in Islam: A framework for an Islamic Education, (Kuala
Lumpur, ISTAC, 1991) H. 7 ff; Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir Al-Attas ini
dalam “the Question of Methodologhy in Islamic Science dalam tawhid and science: Essay
on the history and philosophy of Islamic science, (Penang dan Kuala Lumpur, Secretariat for
islamic Philosophy and science, Nurin Interprise, 19991) buku ini diterbitkan sesuai aslinya
dengan judul the history and philosophy of Islamic Science, (Cambrige, Islamic Text
society, 1999) H.13-38, penulis mendapatkan makalah ini dalam seminar Hamid Fahmy
Zarkasyi, Worldview Islam (asas Islamisasi ilmu social humaniora) H. 16
9
Ali raza tahir, Islam and Phylosophy (meaning and relationship), (Department of
Philosophy, University of the Punjab, Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research
In Business Copy Right © 2013 Institute of Interdisciplinary Business Research
1287
January 2013 Vol 4, No 2.) H. 1297
7
Relationship between theoretical aspect and practical dimensions (Ismaili)
Words and deeds in accordance with knowledge (Ikhwan al Safa)
Purification of the soul (Suhrawardi-Hikmat al ishraq)
Perfecting of the human soul (Mulla Sadra-Al-Hikmat al mutaaliyah)
Al-Syaibani mengatakan, bahwa pengalaman langsung, perhatian dan
pengamatan indera adalah sebagian dari sumber ilmu pengetahuan, banyak
lagi sumber lain yaitu renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan
tela’ah terhadap pengalaman. Pengalaman orang-orang terdahulu, perasaan,
rasa
hati,
akal
serta
bimbingan
Illahi.
Namun
sumber-sumber
tersebut
meskipun beragam bentuk jenisnya dapat dikembalikan kepada lima sumber
utama yakni indera, akal, intuisi, ilham dan wahyu Illahi.
Keberadaan
Taimiyyah
yang
sumber
membagi
pengetahuan
ilmu
empirik
pengetahuan
ini
kepada
diakui
dua
oleh
bagian,
Ibn
yakni
pengetahuan tentang segala yang ada (al-ilmu bi al-ka’inat) dan pengetahuan
tentang
agama
(al-ilmu
bi
al-din).
Ia
mengatakan
bahwa
dengan
menggunakan metode tajribiyyah (empirisme) pengetahuan tentang al-ilmu
bi al-ka’inat dapat diperoleh. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui
kebenaran,
kecuali
dengan
metode
ini.
Selanjutnya
ia
mengatakan
jika
silogisme dipisahkan dengan tajribiyyah maka tidak akan membawa kepada
kesimpulan atau atau pengetahuan yang benar. Dengan tajribiyyah ini lah
sebuah kebenaran paertikular dapat diketahui.
B. Sumber Ilmu Pengetahuan dari Barat
Dalam
tiga
babak
sejarahnya,
(periodesasi).
perkembangan
Pertama,
ilmu
sebelum
pengetahuan
15.00
tahun
dibagi
SM
dalam
(Sebelum
Masehi) dengan ciri utama manusia belajar dari alam sekitarnya. Manusia
menemukan cara-cara untuk tetap bertahan dengan cara mempelajari alam.
8
Dengan cara seperti itu, manusia mampu “menundukan” alam melalui daya
nalarnya yang pada saat itu masih dapat dikatakan terbatas. Sekitar 15.000 –
600 tahun SM, perioode awal, peradaban manusia telah mulai mengenal
membaca, menulis dan berhitung. Dalam kurun waktu yang relatif panjang
sejarah
peradaban
telah
banyak
melahirkan
para
filosof
terkenal
seperti
Sócrates, Aristóteles, Plato, Thales, Archimedes, Aristachus, dan lain-lain.
Pada masa ini telah dikenal apa yang disebut dengan logika deduktif dan
silogismo.
Kedua, periode atau abad pertengahan diwarnai oleh para pemikir
Arab-Islam yang membawa corak pemikiran berbasis agama dan moral. Pada
abad ini lahir para pemikir seperti Al-Kindi (Filosof Islam Pertama), Al
Khawarijmi (Aljabar), Al Idris (Astronomi), Ibnu Sina atau Avisena, Ibnu
Rusdi atau Averus, Umar Kayam, dan lain-lain.
Ketiga, abad modern. Pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang
pesat sebagai hasil interaksi berbagai ilmu pengetahuan yang disebut dengan
proses sistesa. Abad modern pun ditandai oleh paradigma positivisme yang
digagas
oleh
August
Comte
melalui
Sosiologi
Positif.
Comte
ingin
menegaskan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan berkembang
cepat apabila manusia melepaskan cara berpikir yang metafisi.10
Menurut
Jujun
S.Suria
sumantri
pengetahuan
tentang
ilmu
seyogyanya mencakup pengetahuan tentang apa yang dikaji ilmu, bagaimana
cara ilmu melakukan pengkajian, dan menyusun tubuh pengetahuannya, serta
untuk apa pengetahuan ilmiah yang telah disusun itu dipergunakan. Ketiga
hal tersebut dalam terminologi kefilsafatan dikenal dengan istilah ontologi
(apa),
epistemologi
(bagaimana),
dan
10
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar,
H.30
9
axiologi
(untuk
apa).
Dalam
(Jakarta; Raja grafindo persada, 2013),
operasionalisasinya persoalan filsafat ilmu tesebut pun masih memerlukan
”bantuan” ilmu lain, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Dalam epistemologi Barat, bagaimana cara memperoleh pengetahuan
dikenal dengan tiga paham: Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham
bahwa pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin
yang diolah oleh “akal”. Akal memegang peranan penting dalam, mengolah
informasi dari eksternal sehingga melahirkan pengetahuan. Rasionalisme ini
terbagi ke dalam dua aliran, yaitu rasionalisme idealis dan rasionalisme
realis.
Rasionalisme
pengetahuan
kita
idealis
dapat
berpegang
melampaui
teguh
kepada
pengalaman
keyakinan
panca
bahwa
indera
sejati.
Sedangkan rasionalisme realis berpendapat bahwa pengolahan pengetahuan
oleh rasio tidak terlepas dari obyek yang diamatinya “Rasio mengolah
pengalaman sambil meresap ke dalam obyek, sedangkan obyek itu sendiri
bukan hasil ciptaan sukma manusia”.
Melalui
rasio,
ilmuwan
dapat
melakukan
tiga
hal
penting
yang
menjadi basis pengembangan pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2) komparasi,
dan (3) kausalitas. Definisi melakukan proses pembatasan tentang sesuatu
yang disebut ”A” atau ”B”. Komparasi melakukan proses perbandingan
antara ”A” dan ”B”. Kausalitas dapat menjelaskan mana yang menjadi
”sebab” dan mana yang menjadi ”akibat”. Bebarapa tokoh penting yang
berada
dibalik
Descrates
paham
(1596-1650),
rasionalisme
Spinoza
ini
misalnya,
(1632-1677),
Leibniz
Augustinus,
Scotus,
(1646-1716),
Fichte
(1762-1814), Hegel (1770-1813), dan lain-lain.
Meskipun
gegap
gempita
rasionalisme
telah
mampu
menyedot
perhatian ilmuwan seantero dunia, di sisi lain banyak pula yang mengkritik
atau
membantahnya.
Bantahan
terhadap
rasionalisme
misalnya:
(1)
rasionalisme bersifat spekulatif, terlalu mengandalkan olahan rasio dan lalai
10
dalam pengujian yang dihubungkan dengan dunia nyata. (2) rasionalisme
cenderung
a-priori,
pembawaan
dalam
individual
arti
masalah
psikologis
(tanggapan-tanggapan
yang
pembawaan)
merupakan
akan
berbeda
pada diri setiap orang.
empirisme,
Kedua,
pengetahuan
yang
yaitu
diperoleh
Suatu
terbatas
paham
hanya
yang
pada
berpendapat
bahwa
pengalaman.
Dalam
perkembangannya empirisme ini terbagi dua, yaitu empirisme sensualisme
dan
empirisme
konsiensialisme.
Empirisme
sensualisme
yaitu
proses
perolehan pengetahuan yang hanya bertumpu pada pengalaman pancaindera
semata-mata.
Sensualisme
pancaindera
bersifat
mengemukakan
ini
memiliki
semu.
bahwa
keterbatasan,
Sedangkan
Keputusan
yang
bahwa
empirisme
diambil
dari
kebenaran
konsiensialisme
pengalaman
panca
indera berdasarkan pertimbangan penuh kesadaran, dalam arti pertimbangan
yang matang. Beberapa tokoh yang menjadi “dewa” dalam paham empirismo
ini misalnya John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), David Hume
(1711-1776), termasuk “kaum positivis” seperti August Comte (1798-1857).
Paham empiris ini pun tida lupus dari sasaran kritik dan bantahan. Di
antara bantahan yang tajam misalnya dapat dilihat pada: (1) Kebenaran yang
dilahirkan
sendiri
apakah
?
dan
hasil
(2)
pengamatan
Pengamatan
nyata
hanya
atau
keputusan
menghasilkan
si
pengamat
kenyataan
yang
memerlukan keputusan, sedangkan situasi psikis si pengamat akan akan
berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian bisa terjadi
sikap “a priori” sehingga keputusan antara seorang pengamat bisa berbeda
dengan pengamat lainnya
Ketiga, paham dualisme. Paham ini berusaha menggabungkan atau
mendamaikan
kedua
kutub
paham
yang
bersebrangan
secara
diameteral.
Paham ini berpendapat bahwa pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh kedua
11
instasnsi,
yaitu
rasio
dan
pengalaman
inderawi.
Rasio
dan
pengalaman
memiliki masing-masing keterbatasan yang tak terhindarkan, oleh karena itu
suatu proses yang mengkompromikan antara rasio dan pengalaman menjadi
jalan tengah yang paling ideal. Rasio atau akal tidak dapat menyerap
pengetahuan secara utuh tanpa pengalaman inderawi, sedangkan pengalaman
inderawi
saja
tidak
bisa
menghasilkan
pengetahuan
tanpa
diolah
secara
kreatif oleh rasio (otak).
Perbedaan
paradigma
pengetahuan
mangakibatkan
orientasi
keilmuan
yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang
berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material
hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan
mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas
nilai (value free).
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang
materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi
material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah
sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran
dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan.
Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”.
Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah
mendominasi
pemikiran
dunia.
Sehingga
muncul
persoalan-persoalan
baru
yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga
persoalan
yang
berdampak
pada
lingkungan,
Sumber
Ilmu
Pengetahuan
sosiologis,
psikologis
dan
sistem nilai.11
Tokoh-tokoh
yang
11
pertama,
Tokoh
Rasionalisme
diantaranya
Perspektif
yakni
Barat
Sokrates,
http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/sumber-ilmu-pengetahuan-paradigma.html
12
adalah
Plato,
Aristoteles, dan Rene Descartes. Dalam hal ini yang akan penulis uraikan
pernyataannya Aristoteles dan Rene Descartes. Aristoteles, mengungkapkan
bahwa rasio dapat menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat
sama sekali umum. Oleh karenanya rasio dapat “menjadi” segala sesuatu.
Rene Deskartes, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal
yang benar dan yang jelas. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu
pasti yang dapat dijadikan model secara dinamis.
Yang kedua, Tokoh Empirisme, saya cantumkan Thomas Hobes dan
John Locke. Thomas Hobbes, baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan
tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau dengan merasionalisasikan sebabakibat. John Locke, menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman
dan tidak lebih dari itu. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri,. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang
menerima
segala
membedakan
sesuatu
antara
yang
datang
dari
pengalaman.
pengalaman
dengan
pengetahuan
akal.
Locke
tidak
Satu-satunya
sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang
timbulnya karena pengalaman lahiriah (sensation) dank arena pengalaman
batiniah (reflection).
Kelebihan Ilmu Pengetahuan Barat dapat disimpulkan menjadi dua
yaitu rasionalis dan empiris. secara Rasional maksudnya adalah mampu
menyusun
system
kefilsafatan
yang
berasal
dari
manusia.
Umpamanya
logika, yang sudah ada sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan
kebenaran rasio diuji dengan verifikasi dan konsistensi logis. Kelebihan
rasionalisme adalah dalam hal
nalar dalam
menjelaskan penalaran yang
rumit, kemudian rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal
budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia. Kelebihan
13
Empirisme,
dalam
menurut
berpikir
kesejahteraan
saya
dan
dan
(penulis)
dapat
dapat
membuka
mewujudkan
kemandirian
serta
cakrawala
manusia
manusia
kepada
kehidupan
kedewasaan
dalam
menghadapai
problema hidup. Karena dengan cara berpikir empirislah maka manusia
dapat mengetahui asal usul dan sebab akibat yang terjadi dalam kehidupan di
dunia ini.
C. Analisis Perbandingan Sumber Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat
Klasifikasi
ilmu
menurut
perspektif
Islam
amat
berbeda
jika
dibandingkan dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat, di mana klasifikasi
ilmu
Islam,
pembagian
ilmunya
disusun
berdasarkan
keutamaan
dan
kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini dilihat
berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu dibagi berdasarkan
hierarki
yang
hanya
melihat
kepada
perspektif
dunia
semata-mata.
Berdasarkan kepada perspektif ini, umat Islam dinilai lebih komprehensif
dan teratur dalam mengklasifikasi ilmu yakni menggabungkan antara ilmu
wahyu dan ilmu akal.12
Menurut Naquib al-Attas hanya dengan hidayah (petunjuk) Allah_lah
sebuah
kebenaran
bisa
diperoleh
oleh
manusia,
bukan
dari
keraguan.
Pendapat Naquib ini sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat
dengan
ciri
skeptis
atau
keragu-raguan
(kesangsian).
Aliran
skeptisisme
(irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat diperkenalkan oleh
Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat modern”.
Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui melalui
metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak
12
Wan Mohd Nor Wan Daud (2005), Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti
Malaya, h. 92
14
ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada
kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali ilmu pasti.
Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada
dasarnya
hanya
menghasilkan
kebingungan
dan
( )إرتيابيههههه.
skeptisisme
Mengangkat keragu-raguan dan meraba-raba ke derajat ilmiah dalam hal
metodologi
suatu
unsur
Keraguan
)منههههالبحث ههه
(methodology,
epistemologis
ditinggikan
yang
posisinya
dan
memandang keraguan
istimewa
menjadi
dalam
metode
mengejar
sebagai
kebenaran.
epistemologis.
Melalui
metode inilah kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka akan
mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan, dan bahkan sesuatu
lainnya yang mengantarkan mereka berada pada kebenaran. Sesungguhnya,
tambah
Naquib,
yang
mengantarkan
kepada
kebenaran
adalah
hidayah
(petunjuk) Allah bukan keraguan.
Di dalam table ini dapat dibedakan sumber pengetahuan menurut
Islam dan Barat:
No
Sumber Pengetahuan Islam
Sumber pengetahuan Barat
1
Allah SWT (Relegion)
Rasionalisme
Petunjuk
menurunkan
al-Qur’an Melalui rasio, ilmuwan dapat
sebagai Huda li- nass
melakukan tiga hal penting yang
menjadi basis pengembangan
pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2)
komparasi, dan (3) kausalitas.
2
Al-Qu’ran
Empirisme
(sumber ilmu yang paling tertinggi
Dalam perkembangannya empirisme
setelah Tuhan)
ini terbagi dua, yaitu empirisme
sensualisme dan empirisme
konsiensialisme.
15
3
As-Sunnah
Dualisme
(sunnah adalah perkataan, perbuatan
Paham ini berpendapat bahwa
maupun pernyataan Nabi
pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh
Muhammad saw)
kedua instasnsi, yaitu rasio dan
pengalaman inderawi.
4
Akal
-
5
Intuisi
-
6
Wahyu
-
7
Indera
-
8
Ilham
-
Epistemologi Islam amat menekankan ilmu yang bertaraf keyakinan
dalam akhir sesuatu perkara yang mempunyai unsur-unsur kebenaran secara
mutlak.
Sesuatu
yang
benar
itu
seharusnya
mempunyai
elemen
yang
dipercayai kebenarannya secara yakin tanpa ada unsur keraguan, kesamaran
dan prasangka terhadapnya. Dalam arti kata yang lain, sesuatu yang diterima
sebagai benar itu adalah berasaskan kepada `ilm al-yaqin.
Konsep `ilm al-yaqin ialah ilmu yang boleh menbedahkan sesuatu
secara
jelas,
di
mana
sebarang
keraguan
dan
kemungkinan
wujudnya
kesilapan dan kesamaran (al-wahm) di sekitarnya tidak pernah difikirkan
oleh seseorang yang memiliki ilmu tersebut. `Ilm al-yaqin adalah ilmu yang
tidak
mungkin
ada
unsur
kekeliruan,
kesalahan
dan
kesamaran.
Istilah
‘yaqin’ adalah jauh berlawanan dengan ‘shak’, ‘wahm’ dan ‘dzann’. Konsep
‘yaqin’ ini amat ditekankan dalam epistemologi Islam, di mana hal-hal yang
16
melibatkan persoalan akidah Islam dan syariah memerlukan taraf keyakinan
yang tinggi dalam pencapaian sesuatu matlamat.13
Dalam
soal
akidah,
seorang
muslim
mempunyai
keyakinan
yang
tinggi dalam menyatakan ketauhidannya kepada Allah S.W.T. Keyakinan
terhadap
sesuatu
perkara
melibatkan
tiga
keyakinan
yang
bersangkutan
dengan ilmu manusia iaitu `ilm al-yaqin, `ayn al-yaqin dan haqq alyaqin.`Ilm al-yaqin adalah ilmu yang bersandarkan alasan atau kesimpulan
hasil dari kuasa manusia yang mengadilinya.
Ashraf bin Md. Hashim (2001), “Tahap Pembuktian di Dalam Kes-Kes Jenayah: Kajian
Perbandingan Antara Undang-Undang Islam”, Jurnal Syariah, Jil. 9. bil. 2, Julai 2001, h. 15.
13
17
BAB III
PENUTUP
Dari berbagai tulisan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Menurut Naquib Al-Attas sesuai dengan kesepakatan dikalangan muslim,
landasan teologis surah al-‘alaq ayat 1-5, diterima sebagai informasi
bahwa Allah itulah sumber segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada
manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri,
pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Selain itu
sumber ilmu pengetahuan dari Islam bersumber dari Al-Qur’an, Assunnah / hadist Nabi Muhammad SAW, Akal, Wahyu, ilham, Panca
indra, pengalaman, Intuisi dll.
2. Dalam epistemologi Barat, cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan
tiga
paham:
pendekatan
Pertama,
rasionalisme.
Suatu
paham
bahwa
pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin yang
diolah
oleh
“akal”.
berpendapat
bahwa
pengalaman.
pengetahuan
yang
paham
Ketiga,
menggabungkan
empirisme,
Kedua,
atau
yaitu
diperoleh
dualisme,
mendamaikan
Suatu
yang
hanya
pada
terbatas
Paham
kedua
paham
kutub
ini
berusaha
paham
yang
berbeda
jika
bersebrangan secara diameteral.
3. Klasifikasi
ilmu
menurut
perspektif
Islam
amat
dibandingkan dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat di mana dalam
klasifikasi
ilmu
Islam,
pembagian
ilmu
itu
disusun
berdasarkan
keutamaan dan kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan alSunnah. Ini dilihat berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu itu
dibagi berdasarkan hierarki yang hanya melihat kepada perspektif dunia
semata-mata. Berdasarkan kepada perspektif ini, umat Islam dilihat lebih
komprehensif
dan
teratur
dalam
mengklasifikasi
menggabungkan antara ilmu wahyu dan ilmu akal.
18
ilmu
yakni
Daftar pustaka
Ali
raza
tahir,
Islam
and
Phylosophy
(meaning
and
relationship),
(Department of Philosophy, University of the Punjab, Interdisciplinary
Journal Of Contemporary Research In Business Copy Right © 2013
Institute of Interdisciplinary Business Research
1287 January 2013
Vol 4, No 2.)
Ashraf bin Md. Hashim (2001), “Tahap Pembuktian di Dalam Kes-Kes
Jenayah: Kajian Perbandingan Antara Undang-Undang Islam”, Jurnal
Syariah, Jil. 9. bil. 2, Julai 2001
Basri Bin Husin, Beberapa Aspek Epistemologi:
Sumber-Sumber
Ilmu
Dalam
Tradisi
Islam,
Konsep, Tabiat Dan
(Jurnal
Usuluddin,
11/9/2010)
Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam (asas Islamisasi ilmu social humaniora),
Jurnal
Ibn Khaldun, `Abd al-Rahman (1996M./1417H.), Muqaddimah Ibn Khaldun,
c. 3. Beirut: Dar al-Fikr
Muhammad Aunul Abid Shad an
Sulaiman Mapiase, Islam Garda depan,
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung : Mizan, 2001)
Naquib Al-Attas, the concept of education in Islam: A framework for an
Islamic Education, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1991)
Naquib Al-Attas, Prolegomena to the methaphisis of Islam an exposition of
the fundamental elemen of the worldview of Islam,( Kuala Lumpur,
ISTAC, 1995)
19
Osman Bakar (1998), Classification Of Knowledge in Islam, Cambridge,
(UK: The Islamic Texts Society)
Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir Al-Attas ini dalam “the Question
of Methodologhy in Islamic Science dalam tawhid and science:
Essay
on the history and philosophy of Islamic science, (Penang dan Kuala
Lumpur,
Secretariat
for
islamic
Philosophy
and
science,
Nurin
Interprise, 1991) buku ini diterbitkan sesuai aslinya dengan judul the
history and philosophy of Islamic Science, (Cambrige, Islamic Text
society, 1999)
Soerjono
Soekanto,
Sosiologi
suatu
pengantar,
(Jakarta;
Raja
grafindo
persada, 2013)
Sulhani, Muhammad Arkoun dan kajian pemikiran Islam, Jurnal DINIKA
Vol:3, No:1 Januari 2004
Wan Mohd Nor Wan Daud (2005), Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya,tt)
Yasmeen Mahnaz Faruqi, Islamic view of nature and values: Could these be
the answer to building bridges between modern
science,
(Flinders
faru0001@flinders.edu.au,
University,
International
science and Islamic
School
Education
of
Journal,
8(2), 461-469. ISSN 1443-1475 © 2007 Shannon Research Press.)
http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/sumber-ilmu-pengetahuan
paradigma.html
20
Education
2007,