Tinjauan Yuridis Pemberian Hak Tanggungan Dengan Akta Persetujuan Membuka Kredit Yang Terindikasi Cacat Hukum

(1)

  DAFTAR PUSTAKA

Usman Rachmadi,S.H. ,Pasal – Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Fuady Munir,S.H.,M.H.,LL.M. ,Hukum Perbankan Modern

Drs.C.S.T. Kansil,S.H. , Pokok – Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah

Perangin Effendi,S.H , Praktek Jual Beli Tanah

Adjie Habib ,S.H. M.hum , Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah

Perangin Effendi,S.H. , Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit

Soedjono, S.H. M.H. , Prosedur Pendaftaran Tanah

Undang – Undang tentang Pokok – pokok dasar Hukum Agraria / UUPA Nomor 5 Tahun 1960.

www.Kompas.com

www.Google.com

www.bni.co.id/idid/bankingservice/consumer/kartukredit/pembayarankartukredit


(2)

  BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Hak Tanggungan

Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria , berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu , untuk pelunasan utang tertentu , yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor – kreditor yang lainnya. 17

Secara singkat Hak Tanggungan ialah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu , yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor – kreditor yang lainnya.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 tersebut , terdapat unsur – unsur esensial , yang merupakan sifat dan ciri – ciri dari Hak Tanggungan , yaitu :

- Lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu . - Pembebanannya pada hak atas tanah.

- Berikut atau tidak berikut benda - benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah.

- Memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya .

      

17 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  69. 


(3)

 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :

“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah: “Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat


(4)

 

benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan.

Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Menurut Purwahid Patrik, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri :

- Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1); Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditor yang lain.

-Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7; Sifat ini merupakan salah


(5)

 

satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).

-Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.

Unsur pokok dari hak tanggungan, adalah sebagai berikut.

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4. Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.18

      

18 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  74. 


(6)

  B. OBYEK HAK TANGGUNGAN

Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria , yang wajib didaftar (syarat publisitas ) dan menurut sifatnya dapat di pindah – tangankan ( agar mudah dan pasti pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya ).19

Secara Normatif , obyek hak tanggungan telah disebutkan didalam pasal 4 dan pasal 27 Undang – Undang Hak Tanggungan , yaitu :

- 1. Hak Milik; - 2. Hak Guna Usaha; - 3. Hak Guna Bangunan;

- 4. Hak pakai atas tanah negara yang menurut suatu ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat di pindah – tangankan; .

-5 .Hak pakai atas tanah milik , yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah;

-6. Rumah susun dan Hak milik atas satuan rumah susun , yang didirikan diatas tanah hak pakai atas tanah negara ;

-7. Berikut atau tidak berikut bangunan, tanaman , dan hasil karya yang telah

      

   

19 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  78. 

   


(7)

 

ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang hak atas tanah .20

Objek Hak Tanggungan menjadi lebih luas jika dikaitkan dengan Pasal 12 Undang- Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 Undang – Undang Hak Tanggungan , yang menyatakan bahwa ketentuan Hak Tanggungan berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun. Hak jaminan atas rumah susun tersebut meliputi: a. Rumah susun yang berdiri atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai yang diberikan oleh negara; dan b. Hak milik atas satuan rumah susun yang bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang tersebut di atas.

Ada dua unsur mutlak daripada hak atas tanah yang dapat dijadikan Obyek Hak Tanggungan , yaitu :

1. Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum , dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan ( preferent ) yang diberikan kepada kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang di bebaninya , sehingga setiap orang dapat mengetahuinya ( asas publisitas ) , dan

2. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat di pindah tangankan , sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.21

      

20 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  79. 


(8)

 

Sehubungan dengan syarat itu dalam kaitan dengan ditunjukkannya hak pakai atas tanah negara sebagai Objek Hak Tanggungan , Undang – Undang Hak Tanggungan pada penjelasan memberikan Justifikasinya :

“ Hak Pakai atas tanah Negara yang dapat dipindah tangankan meliputi Hak Pakai yang diberikan kepada orang perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan di dalam keputusan pemberiannya. Walaupun di dalam pasal 43 Undang - Undang Dasar Pokok Agraria ditemukan bahwa untuk memindahtangankan Hak Pakai atas tanah Negara diperlukan izin dari pejabat yang berwenang , namun menurut sifatnya Hak Pakai itu memuat Hak untuk memindahtangakan kepada pihak lain. Izin yang diperlukan dari pejabat yang berwenang hanyalah berkaitan dengan persyaratan apakah penerima hak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang Hak Pakai “ .

Dengan di tunjuknya hak pakai tersebut sebagai Objek Hak Tanggungan , maka bagi para pemegang haknya, yang sebagian besar terdiri atas golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan hak milik atau hak guna bangunan , menjadi terbuka kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunmyainya sebagai jaminan.22

Adapun Pengaturan Hak Pakai (atas tanah hak milik) oleh Warga Negara Asing dari perspektif hukum tanah nasional.

      

21 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  92. 

22 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  93. 


(9)

 

Pada prinsipnya, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA. Dalam prinsip dasar UUPA juga dijelaskan bahwa sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 jo pasal 21 ayat 1 hanya Warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).

Orang asing (yang berkedudukan di Indonesia) hanya dapat mempunyai hak-hak atas tanah berupa : hak-hak pakai, hak-hak sewa, hak-hak guna bangunan, dan hak-hak guna usaha menurut UUPA. Dalam bagian Penjelasan Umum UUPA, disebutkan Dasar-Dasar Dari Hukum Agraria Nasional (poin 5) yaitu: “Orang-orang asing dapat mempunyai

tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga dengan badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik” (pasal 21 ayat 2).

Hak Pakai dapat dimiliki oleh orang asing berdasarkan:

1. keputusan pemberian hak tersebut oleh pejabat yang berwenang memberikannya

untuk properti yang dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah Negara, atau

2. dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah. Dengan demikian

hak dan kewajiban pemegang hak pakai, ditentukan berdasarkan hal-hal yang diatur, baik dalam surat keputusan pemberian haknya oleh pejabat yang berwenang ataupun perjanjian dengan pemilik tanah tersebut.

Hak Pakai diberikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Undang undang nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, jangka waktunya adalah selama 25 tahun dan sesudahnya dapat


(10)

 

diperpanjang kembali selama 20 tahun. Tetapi dengan berkembangnya jaman, jangka waktu hak pakai di usulkan untuk diperpanjang menjadi 70 tahun. Seperti halnya di negara lain seperti Singapura, kepemilikan tanah dengan status hak pakai, jangka waktunya hingga mencapai 80 tahun, begitupun juga di Malaysia hingga 70 tahun. Oleh karena itu, menurut hukum di Indonesia secara luas pihak yang berhak memperoleh tanah dengan status Hak Pakai antara lain:

- Warga Negara Indonesia (WNI),

- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

- Badan hukum yang didirikan menurut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,

- Serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Sehingga apabila terdapat status tanah Hak Milik yang ingin dikuasai oleh Warga Negara Asing (WNA), maka statusnya harus diturunkan terlebih dahulu menjadi Hak Pakai. Syaratnya yaitu membuat surat permohonan untuk penurunan hak dengan melampirkan Passport dan KITTAS/KIMS baru setelah itu menghadap ke notaris untuk dapat dilakukan transaksi jual-beli.23

Dengan demikian maka hak – hak atas tanah yang dengan Undang – Undang Hak Tanggungan ditunjuk sebagai Objek Hak Tanggungan ada Hak Milik , Hak Guna Usaha , Hak Guna Bangunan , dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindah tangankan . Sedangkan bagi Hak Pakai atas tanah Hak Milik dibuka kemungkinannya untuk di kemudian hari dijadikan jaminan utang dengan di

      


(11)

 

bebani Hak Tanggungan , jika telah dipenuhi persyaratannya. Hal ini berarti , telah terjadi perubahan prinsip dasar dalam pengaturan hak - hak atas tanah menurut Undang – Undang Pokok Agraria.24

C. Asas Dan Tujuan Hak Tanggungan Asas Hak Tanggungan :

- Hak Tanggungan memberikan kedudukan Hak yang diutamakan

Asas ini menyebutkan bahwa pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya. Yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku .

Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor. Dengan adanya pembebanan Hak Tanggungan tersebut maka kreditor menjadi preferen atas hasil

      

24 Rachmadi Usman,S.H., Pasalpasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah ,Penerbit Djambatan,Hal  94. 


(12)

 

penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan. Meskipun pada Penjelasan Umum UUHT tersebut tidak disebutkan apakah piutang-piutang Negara yang berkaitan dengan obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan saja, ataukah mengenai semua piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitor yang bersangkutan.25

- Hak Tanggungan tidak dapat di bagi - bagi

Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni Pertama Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuaiketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan bahwa:

Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanahyang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut,

      


(13)

 

sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secarautuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan

pada ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan,antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakankredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumahyang bersangkutan.

Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikansecara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.26

- Hak Tanggungan hanya dibebankan pada Hak atas tanah yang telah ada

      


(14)

 

Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada diatur dalam : Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukumterhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggunganpada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasansuatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalamhipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah batal .27

- Hak tanggungan dapat dibebankan selain dengan hak – hak lain nya yang berada di atas tanah tersebut

Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja padatanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan:

Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik

      


(15)

 

pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwayang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut28

- Hak Tanggungan dapat dibebankan pada tanah yang di kemudian hari ada Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitandengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.

lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam pengertian “yangbaru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yangdibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah(hak atas tanah) tersebut. Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di atas, dalamkenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH IPerdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satudengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan.

      

28 Ibid.   


(16)

 

Dengan katalain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitandengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebanipula dengan hipotek29

- Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accessoir

Hak Tanggungan hanya merupakan ikatan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.

Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yangdisebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasanUU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:

Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutanatau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan padasuatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahirandan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas,secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUNomor 4 ‘Tahun 1996.

      

29 Ibid.   


(17)

 

Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjianuntuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.30

- Hak Tanggungan dapat digunakan sebagai jaminan atas utang yang telah ada Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam

Pasal 3ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa: Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atauperjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-utang-piutang yang bersangkutan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di atas, St. RemySjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokokdan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukankemudian.Sehubungan dengan terjadinya Hak Tanggungan terhadap utang yang baruada, St. Remy Sjahdeini memberikan contoh, yaitu utang yang timbulsebagai akibat nonpayment L/C ekspor

      


(18)

 

oleh opening bank di luar negeri atas penyerahan dokumen-dokumen ekspor yang mengandung discrepancies (dokumen-dokumen yang diserahkan tidak sesuai dengansyarat-syarat yang ditentukan dalam L/C), sedangkan sementara itu negotiating/paying bank (I i dalam negeri telah mengambil alih dokumen-dokumen tersebut dan telah membayarkan utangnya kepada eksportir. Apabila karena nonpayment tersebut eksportir tidak mampu dengan seketika membayar kembali dana yang telah dibayarkan oleh negotiating/paying bank kepadanya itu dan terpaksa diutang, utang yang timbul adalah utang yang muncul kemudian setelah Hak Tanggungan dibebankan.Selain persyaratan yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat persyaratan yang lain, yaitu utang yang baru akan ada di kemudian hariharus telah diperjanjikan terlebih dahulu. St. Remy Sjahdeini menyatakan Mengingat ketentuan Pasal 3 ayat (1) di atas, adalah mutlak bahwa bankclan nasabah harus terlebih dahulu telah diperjanjikan di muka atas utangyang baru akan ada di kemudian hari yang timbul sebagai akibat pencairan bank garansi yang merupakan fasilitas dari bank yang telah diterima olehnasabah atau yang timbul sebagai akibat terjadinya payment atas L/Ceskspor yang diterima nasabah dari luar negeri melalui bank yangbersangkutan. Dengan kata lain, selain dari adanya garansi bank (Jaminanbank), dan Letter of Credit yang diteruskan oleh bank kepada eksportir,mutlak harus ada pula perjanjian kredit antara bank dan nasabah untuk menampung timbulnya utang nasabah debitor apabila garansi bank dicairkan atau apabila terjadinya payment terhadap L/C tersebut. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut merupakan stand-by-loan agreement. Sementara itu, sikap hipotek sama


(19)

 

dengan sikap yang terdapat dalam UUHT mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang yang akanadadi kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakanbahwa: Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana istilah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di dalam aktanya. Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di atas, maka penegasan dapat dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J. 1953, 578 yangmembenarkan bahwa hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang yangpada saat hipotek itu dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan debitor.31

- Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang

Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas bahwa HakTanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai ketentuandalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di atas, maka dalampenjelasan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut

      


(20)

 

dijamin dengan suatu Hak Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama.Bagaimana hubungan para kreditor satu dengan yang lain, diatur olehmereka sendiri, sedangkan dalam hubungannya dengan debitor danpemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor sendiri yang memberinya,mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan berlakunya asas ini, St. Remy Sjahdeini memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa:

Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa kreditor berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitor yangsama dengan masing-masing kreditor itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila sebelumnya (sebelum kredit diberikan oleh kreditor-kreditor itu) telah disepakati oleh semua kreditor. Kesemua kreditor bersama-sama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-masing kreditor (bank) kepada satu debitor yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari kesemua kreditor diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditor itu akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya. Masing-masing kreditor past akan soling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan terhadap kreditor yang lain.32

      


(21)

 

- Hak Tanggungan mengikuti objek siapapun Hak tanggungan tersebut berada.

Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan karena undang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan dibandingkandengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipunobjek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) inimerupakan materialisasi dari asas yang disebut

droit de suite atau zaakgevolg

Asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.”Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas, maka menurut MariamDaruz Badrulzaman bahwa :

Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan hak kebendaan(zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak. Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan


(22)

 

hak perorangan adalah relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentusaja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja. Secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik dari hak itu.

- Diatas Hak Tanggungan tidak dapat dilakukan sita oleh Pengadilan

Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St. RemySjahdeini mengatakan bahwa: Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri.Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuatbagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untukdidahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh St. Remy Sjahdeini di atas,maka dalam perkembangannya sebelum diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan putusannyaNomor 394k/Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya berbunyi bahwa barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara


(23)

 

tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik) tidakdapat diletakkan sita jaminan.33

- Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas Hak tanah tertentu

Asas yang berlaku terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga berlaku di dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara ituasas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukumyang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada padapemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal8 ayat (2) dinyatakan bahwa: Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk ituharus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Ibid., hlm. 42)Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa uraianyang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini bahwa: Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelasmengenai objek Hak

      


(24)

 

Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.Kata-kata “uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan ” dalamPasal 11 ayat (1) huruf e menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harussecara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”Beranjak dari uraian yang dikemukakan oleh St. Remy Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas “benda-benda yangberkaitan dengan tanah tersebut”, Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru akan ada,sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga karena baru akan ada di kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah ”34

- Hak Tanggungan wajib didaftarkan

Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar, hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan: Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajibmengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan danwarkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak

      


(25)

 

Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut padasertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa asas publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 KUHPerdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan tidakmempunyai kekuatan apa pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan Hipotek).

- Hak Tanggungan dapat diberikan disertai dengan janji – janji tertentu

Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut: Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain:

(a) janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan


(26)

 

(b) janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untukmengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecualidengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HakTanggungan

(c) janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HakTanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputiletak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji

(d) janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukanuntuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karenatidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang

(e) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untukmenjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji

(f) janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa,objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan

(g) janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknyaatau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu daripemegang Hak Tanggungan

(h) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya


(27)

 

apabila objek Hak Tanggungan dilepaskanhaknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untukkepentingan umum

(i) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;

(j) janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Berangkat dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas, maka menurut St. RemySjahdeini, janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji-janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).35

- Hak tanggungan tidak dapat diperjanjikan untuk dimiliki sendiri apabila Hak Tanggungan tersebut mengalami cidera janji

Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak bolehdiperjanjikan untuk dimilik sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur Pasal 12 U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji, batal demi

      


(28)

 

hukum. Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin.Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini”mengatakan: Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.

- Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti

Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal6


(29)

 

tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atauyang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat didalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek,pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalampemberian Hak Hipoteknya.Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6UUHT atau dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuatirahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan


(30)

 

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah.”36

D. Penyelenggaraan Hak Tanggungan

Tata cara penyelenggaraan Hak Tanggungan terdiri atas 2 ( dua ) Tahap ,

yaitu : 1. Tahap pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah ( PPAT ) , yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin . 2. Tahap pendaftaran yang dilakukan di kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya setempat .37

Dapat diperhatikan bahwa menurut Pasal 1 angka 4 Undang – Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah , akta pembebanan hak atas tanah , dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan .

Didalam Penjelasan Angka 7 ditegaskan bahwa dalam kedudukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4 , maka akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.

a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan .

Menurut Pasal 10 ayat (1) bahwa awal dari tahap pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu , yang dituangkan dalam perjanjian pelunasan utang

      

36 Ibid. 


(31)

 

tertentu . Sesuai dengan sifat acessoir dari Hak Tanggungan maka pemberian Hak Tanggungan harus merupakan ikutan dari perjanjian utang pokoknya , yaitu perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada dibawah pengampunan , yang di ikuti dengan pemberian Hak Tanggungan oleh pihak pengelola.38

Menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT pemberi Hak Tanggungan adalah : a. Perseorangan ,atau

b. Badan Hukum

Baik perseorangan maupun badan hukum harus memiliki wewenang untuk melaksanakan perbuatan atau tindakan hukum terhadap objek – objek Hak Tanggungan yang bersangkutan . Kewenangan tersebut harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan ( Pasal 8 ayat (2) ).

Sedangkan Pemegang Hak Tanggungan adalah : a. Perseorangan atau ,

b. Badan Hukum (yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang ( Pasal 9 ) ). Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu,

      


(32)

 

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.” 39

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang¬-undang No. 4 Tahun 1996).

Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

      

39 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata

Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 90-92.  


(33)

 

Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).

Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

- Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan;

- Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;

1. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.

2. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak tanggungan.


(34)

 

3. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang.

4. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.

5. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.


(35)

 

6. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.

7. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).40

      

40 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata

Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 90-92.  


(36)

  BAB IV.TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT YANG

TERINDIKASI CACAT HUKUM

A. Pengertian Cacat Hukum

Cacat hukum dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat dan tidak mengikat secara hukum.

Dalam konteks suatu putusan pengadilan, cacat hukum ini dikenal dengan istilah cacat formil. Cacat formil ini sehubungan dengan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Putusan niet ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hal. 811):

1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1)Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement);


(37)

 

3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;

4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya.41

B. Kredit Yang Terindikasi Cacat Hukum

Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur.

Kredit yang terindikasi cacat hukum adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya. Di dunia kartu kredit, kredit macet merupakan kredit bermasalah dimana pengguna kartu kredit tidak mampu membayar minimum pembayaran yang telah

      


(38)

 

jatuh tempo lebih dari 3 bulan .42 Contoh daripada bank yang memblokir kolektibilitas kredit yang lebih daripada 3 bulan ialah Bank BNI.43

Di dunia perbankan, kredit macet lebih dikenal dengan nama Non-Performing Loan (NPL) . NPL menjadi indikator dalam menilai kinerja suatu bank. Jika NPL rendah, maka bank tersebut terbilang sehat. Jika NPL tinggi maka resiko yang dipikul oleh bank tersebut tinggi. Jika NPL mereka diatas batas yang sudah diforecast sebelumnya maka bank tersebut bisa dibilang bermasalah.

Jika NPL terlalu tinggi diatas batas yang diforecast, keberlangsungan bank tersebut bisa terancam. Itu sebabnya bank senantiasa menjaga agar nilai NPL-nya selalu berada pada angka yang rendah jika ingin terus beroperasi. NPL ini bukan dinilai dari kinerja bank saja, namun terutama dari para debiturnya. Hal yang menjadi fokus utama kredit macet seringkali terjadi di kalangan para debitur. Hal ini dapat dihindari apabila debitur memiliki inisiatif untuk mengembalikan dana yang ada sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Kredit macet tidak menjadi masalah jika satu atau dua debitur saja yang tidak disiplin dalam membayar cicilan pinjaman kartu kredit mereka, tapi kalau jumlah pengguna kartu kredit yang banyak dalam waktu yang hampir bersamaan tidak membayar cicilan mereka maka NPL dari bank tersebut akan naik. Bank berusaha untuk mengontrol NPL mereka dengan lebih berhati-hati dalam meng-issue kartu

      

s42 https://www.cermati.com/artikel/kreditmacetpengertianilustrasidanefeknegatifnya  43 http://www.bni.co.id/idid/bankingservice/consumer/kartukredit/pembayarankartukredit.aspx 


(39)

 

kredit kepada pelanggan baru dan dengan menggenjot transaksi yang bersifat kebutuhan sehari - hari.

C. Penyelesaian Kredit Yang Terindikasi Cacat Hukum

Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini44:

1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

      


(40)

 

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji" (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan (hal. 122), dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2. Debitur keliru berprestasi;

3. Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.


(41)

 

Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.

Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai berikut45:

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;

      

45 Undang  Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda  Benda  Yang Berkaitan Dengan Tanah. 


(42)

 

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;

3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Sedangkan, penyelesaian melalui jalur hukum antara lain:

1. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara;

2. Melalui badan peradilan;

3. Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Oleh karena itu, memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih


(43)

 

dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.46

\

      


(44)

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Lahirnya undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

2. Bahwa dalam kenyataannya penyelesaian kredit macet yang dijamin dengan hak tanggungan adalah dalam prakteknya belum dimanfaatkan secara optimal oleh kalangan perbankan yang mengakibatkan bank tersebut tidak dapat memanfaatkan ketentuan pasal 6 Undang – Undang Hak Tanggungan.


(45)

  B. Saran

Penulis menyadari bahwa pengetahuan penulis sangat terbatas, akan tetapi penulis mencoba untuk memberikan saran dengan harapan semoga saran-saran ini nanti dapat bermanfaat, Saran-saran tersebut antara lain:

1. Untuk menghindari terjadinya kredit macet, maka dalam memberikan kredit sebaiknya pihak kreditur tetap harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, pembayaran, dan prospek usaha debitur berdasarkan prinsip 5C’ , 7P’ maupun 3R’.

2. Kredit yang diberikan pihak bank sebaiknya digunakan sepenuhnya oleh debitur sebagai modal usaha, dan membuat

perencanaan dengan baik sehingga dapat mengantisipasi segala resiko yang mungkin terjadi dikemudian hari.


(46)

  BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG

A. PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK INDONESIA

Kata ‘ Bank ‘ berasal dari bahasa Italy “ Banca “ yang berarti bence , yaitu suatu bangku tempat duduk . Sebab , pada zaman pertengahan , pihak Bankir Italy yang memberikan pinjaman – pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku – bangku di halaman pasar (Abdurrachman , A., 1991: 80 )11

Dalam suatu kamus , kata “ Bank ” diartikan sebagai : ( Webster , Noah , 1972 :146 )

1. Menerima deposito uang, custody , menerbitkan uang , untuk memberikan pinjaman dan diskonto , memudahkan penukaran fund

– fund tertentu dengan cek , notes , dan lain – lain , dan juga bank

memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga .

2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut .

3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat beroperasinya perusahaan perbankan .12

      

11 http://www.bi.go.id/id/tentangbi/uubi/Contents/Default.aspx 


(47)

 

Disamping itu , ada juga yang memberi arti kepada bank sebagai suatu institusi yang mempunyai peran yang sangat besar dalam dunia komersil , yang mempunyai wewenang untuk menerima deposito , memberikan pinjaman , dan menerbitkan promissory notes yang sering disebut dengan

bank bills atau bank notes . Namun dengan demikian , fungsi bank yang

orisinil adalah hanya menerima deposito berupa uang logam , plate , emas , dan lain – lain . ( Black , Henry Campell, 1968: 184 ) .

Dalam rangka mendorong pemberian kredit dan pembiayaan perbankan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM) , Bank Indonesia telah mewajibkan Bank Umum untuk memberikan kredit atau pembiayaan kepada UMKM , dengan tahapan pencapaian pada tahun 2013 dan tahun 2014 yang disesuaikan dengan kemampuan Bank Umum , pada tahun 2015 yang ditetapkan paling rendah 5% , tahun 2016 paling rendah sebesar 10% , tahun 2017 paling rendah sebesar 15% dan sejak tahun 2018 paling rendah 20% .13

Dalam penerapannya , masih terdapat kendala dalam penyaluran kredit atau pembiayaan UMKM yang antara lain disebabkan rendahnya akses UMKM untuk mendapatkan Kredit atau Pembiayaan dari perbankan . Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan untuk lebih meningkatkan penyaluran dana perbankan kepada UMKM.

Kebijakan peningkatan penyaluran dana perbankan terhadap UMKM tersebut dilakukan antara lain melalui bauran kebijakan terkait UMKM dengan

      


(48)

 

kebijakan makroprudensial mengenai giro wajib minimum berdasarkan loan to funding ratio, dan pemberian insentif bagi Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM .

Untuk mendukung peningkatan Kredit atau Pembiayaan UMKM tersebut , diperlukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan Usaha Mikro , Kecil , dan Menengah .

Masih terdapat kendala dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM yang antara lain disebabkan rendahnya akses UMKM untuk mendapatkan Kredit atau Pembiayaan dari Perbankan . Oleh karena itu , untuk lebih meningkatkan penyaluran Kredit Perbankan kepada UMKM dipandang perlu bauran kebijakan makroprudensial , yaitu kebijakan giro wajib minimum berdasarkan loan to funding ratio yang dikaitkan dengan pencapaian rasio kredit UMKM .

Adapun materi pengaturan terhadapan Bank Indonesia ini :

1. Bank Umum wajib memberikan pembiayaan Kredit UMKM yang pencapaiannya dilakukan secara bertahap .

2. Bank Umum konvensional harus menjaga rasio Kredit UMKM secara bulanan atas rasio Kredit UMKM sesuai tahapan yang telah di tentukan .

3. Pencapaian rasio pemberian Kredit UMKM Bank Umum Konvensional menjadi salah satu faktor untuk memperoleh insentif berupa kelonggaran batas atas loan to funding ratio target atau berupa pengurangan jasa giro.


(49)

 

4. Pemberian insentif lain kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM , berupa pelatihan kepada pejabat Kredit / Account Officer , pelatihan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil, fasilitasi dalam pemanfaatan peningkatan Kredit ( Credit Rating ) untuk Usaha Kecil dan Usaha Menengah , dan publikasi serta pemberian penghargaan (Award ). 5. Bank Umum wajib menyampaikan laporan realisasi pembeian Kredit atau

pembiayaan UMKM secara Online melalui Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bank Umu Syariah dan Unit Usaha Syariah.

6. Apabila laporan secara Online untuk laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing belum tersedia , Bank Umum wajib menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline .

7. Bank Indonesia menetapkan batas waktu terkait dengan penyampaian laporan , keterlambatan penyampaian laporan , dan tidak menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline .

8. Bank Umum syariah yang tidak mencapai rasio Pembiayaan UMKM sesuai tahapan yang di tetapkan, dikenakan pembinaan berupa kewajiban menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku UMKM yang sedang dan /atau belum pernah mendapatkan Pembiayaan UMKM .


(50)

 

10.Kantor cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Campuran dikenakan Sanksi administrative berupa teguran tertulis apabila menyalurkan kredit UMKM secara tidak langsung selain melalui kerjasama pola executing . 11.Bank Umum yang terlambat menyampaikan Laporan Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM pola executing secara offline dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp.1000.000,00 ( satu juta rupiah ) per hari kerja keterlambatan .

12.Bank yang tidak menyampaikan Laporan Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM pola executing secara offline dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayaar sebesar Rp.30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah ) . 13.Pengenaan sanksi tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan

laporan pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM .

14.Selain mengenakan sanksi di atas , Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada Otoritas Pengawas Bank untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan nya.14

Adapun pengertian kredit ialah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau megadakan suatu pinjaman dengan suatu janji , pembayaran akan dilaksanakan pada jangka waktu yang telah disepakati. 15

Pengertian kredit yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di Indonesia sebagaimana telah di atur didalam Undang – Undang Pokok Perbankan No.7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa criteria adalah penyediaan uang / tagihan yang dapat

      

14 Munir Fuady , Hukum Perbankan Modern , Bandung , Hlm 97. 

 


(51)

 

dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan / kesepakatan pinjam meminjam antara pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melaksanakan dengan jumlah bunga sebagai imbalan.

Adapun Prinsip – prinsip Kredit :

Untuk mendapatkan kredit harus melalui prosedur yang telah ditentukan oleh bank / lembaga keuangan. Agar kegiatan pelaksanaan perkreditan dapat berjalan dengan sehat dan layak, dikenal dengan 6 C yaitu :

a. Character ( kepribadian / Watak )

Character adalah tabiat serta kemauan dari pemohon untuk memenuhi kewajiban yang telah dijanjikan. Yang diteliti adalah sifat – sifat, kebiasaan, kepribadian, gaya hidup dan keadaan keluarga.

b. Capacity ( kemampuan )

Capacity adalah kesanggupan pemohon untuk melunasi kewajiban dari kegiatan usaha yang dilakukan atau kegiatan yang ditinjau dengan kredit dari bank. Jadi maksud dari penilaian kredit terhadap capacity ini untuk menilai sampai dimana hasil usaha yang diperolehnya akan mampu untuk melunasinya pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati.

c. Capital ( modal )

Capital adalah modal yang dimiliki calon debitur pada saat mereka mengajukan permohonan kredit pada bank.


(52)

 

Collateral adalah barang – barang yang diserahkan pada bank oleh peminjan atau debitur sebagai jaminan atas kredit yang diberikan. Barang jaminan diperlukan agar kredit tidak mengandung resiko.

e. Condition of Economic ( kondisi ekonomi )

Condition of Economic adalah situasi dan kondisi, sosial, ekonomi, budaya dan lainnya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk satu kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.

f. Constrain ( batasan atau hambatan )

Dalam penilaian debitur dipengaruhi oleh hambatan yang tidak memungkinkan sesorang melakukan usaha di suatu tempat.

Disamping formula 6 C di atas, masih ada prinsip kredit yang disebut 4 P, yaitu :

a. Personality

Personality yaitu penilaian bank tentang kepribadian peminjam seperti riwayat hidup, hobinya, keadaan keluarga ( istri / anak ), social standing ( pergaulan dalam masyarakat serta bagaimana masyarakat tentang diri si peminjam dan sebagainya ). b. Purpose

Bank dalam menilai si peminjam mencari dara tentang tujuan atau keperluan penggunaan kredit, dan apakah tujuan penggunaan kredit itu sesuai dengan line of business kredit bak bersangkutan.

c. Payment

Untuk mengetahui kemampuan debitur dalam mengembalikan pinjaman. Hal ini dapat diperoleh dari perhitungan tentan prospek kelancaran penjualan dan pendapatan sehingga dapat diperkirakan kemampuan pengembalian pinjaman ditinjau dari waktu jumlahnya.

d. Prospect

Prospect yaitu harapan usaha di masa yang akan datang dari calon debitur. Ini dapat diketahui dari perkembangan usaha si peminjam selama beberapa bulan atau tahun, perkembangan – perkembangan keadaan ekonomi atau usaha perdagangan


(53)

 

sektor usaha debitor, kekuatan keuangan perusahaan yang dilihat dari earning power ( kekuatan pendapatan / keuntungan ) di masa lalu dan perkiraan masa akan datang. Adapun Jangka Waktu Kredit antara lain :

Perbedaan jangka waktu kredit menurut peraturan Bank Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang berjangka waktu selama – lamanya satu tahun. Jadi pemakaiannya tidak melebihi satu tahun.

2. Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang jangka waktunya antara satu sampai tiga tahun.

3. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun.

B. TATA CARA PENGAJUAN KREDIT

Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam pengajuan kredit pada pihak bank: 1. Cara pengajuan permohonan kredit kepada pihak bank:

- Diajukan kepada kantor cabang pelaksana

- Mengisi daftar isian yang formulirnya sudah disediakan kantor cabang pelaksana yang bersangkutan.

- Memberikan keterangan lengkap dan benar(jujur) mengenai keadaan keuangan dan usaha pemohon.

2. Dokumen-dokumen yang paerlu dilampirkan dalam permohonan kredit - Akta pendirian perusahaan dan KTP

- Ijin usaha (SIUP) - NPWP


(54)

 

- Proposal usaha

3. Tahap-tahap pemrosesan permohonan kredit

setelah seorang pengusaha mengajukan permohonan kredit dan telah melengkapi segala dokumen yang dipersyratan maka kemudian pihak bank akan memproses permohonan tsb dengan tahapan sbg brikut :

1) Penelitian pendahuluan atas permohonan

- Memenuhi persyaratan sbagai pemohon atau tidak - Pemohon kredit dapat dipercaya atau tidak

- Pemohon memenuhi persyaratan pemohon atau tidak - Data dari pemohon lengkap atau tidak

- Sektor usaha yang dibiayai sudah jenuh/belum - Pemohon termasuk daftar hitam/ kredit macet/ buakn

- Sektor usaha / pemohon termasuk yang dapat dibiayai oleh bank/ tidak 2) Wawancara

3) Pemeriksaan ke tempat usaha

4) Meminta informasi mengenai pemohon dari bank 5) Penilaian atau analisis permohonan kredit meliputi: - ) Aspek umum yang terdiri dari :

- Izin atau akta pendirian usaha - Pemilik modal


(55)

 

- Informasi pihak ke 3

- ) Aspek manajemen yang terdiri dari : - Pengurus

- Jumlah personalia

- Jabatan rangkap di luar perusahaan

- Pemohon berwenang atau tidak mengajukan permohonan kredit - Kerapian administrasi

- Kebenaran data yang disimpan

- ) Aspek pemasaran yang terdiri dari : - Jenis barang yang di pasarkan

- Saluran distribusi

- Posisi pemohon terhadap perantara

- Rata-rata penjualan perbulan selama 6bulan terakhir - Cara pembayaran

- Rencana penjualan yang akan datang - Pembagian (share) pembiayaan pemohon - Konsumen akhir dan daerah pemasaran

- Rata-rata nilai kontak 3 tahun terakhir (khusus usaha konstruksi) - Nilai kontak yang sedang akan dilaksanakan (khusus usaha konstruksi) - ) Aspek teknik dan prosuksi/ pembelian yang terdiri dari : - Tempat usaha


(56)

 

- Keadaan peralatan

- Biaya penambahan mesin/ peralatan bangunan - Rencana prosuksi rata-rata perbulan

- Perbandingan rata-rata produksi dan rata-rata penjualan - Sumber bahan baku/ barang dagangan

- Jalur pembelian - Cara pembayaran - Peralatan yang tersedia

- Pengalaman atas jenis proyek yang akan dilaksanakan - Jadwal terima dan tingkat penyelesaian proyek

- ) Aspek kekurangan yang terdiri dari : - Kalkulasi biaya (menguntungkan/tidak) - Analisis pengunaan dana

- Analisis ratio, meliputi: likuiditas, aktivitas, rentabilitas 16

Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, bank biasanya meminta jaminan. Jaminan yang diminta oleh bank untuk kredit pemilikan rumah biasanya adalah rumah yang akan dibeli tersebut. Pada kredit pemilikan mobil, mobil yang akan dibeli itulah yang biasa dijadikan jaminan.

Sedangkan jaminan yang diminta untuk kredit usaha dan kredit serba guna, biasanya lebih bervariasi seperti tanah, rumah tinggal, ruko, apartemen, kendaraan, pabrik dan lain-lain. Jaminan yang kita ajukan biasanya dinilai kembali oleh tim

      


(57)

 

tersendiri dari bank. Apakah layak dijaminkan atau tidak. Ada juga bank yang menggunakan jasa penilai dari luar.


(58)

  BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut yang para pelaku nya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang – perseorangan dan badan hukum . Dengan meningkatnya kegiatanmeningkat juga keperluan akan tersedianya dana yang sebagian di peroleh melalui kegiatan perkreditan. Kredit merupakan suatu bentuk pengucuran dana yang telah di kenal oleh masyarakat pada umumnya.1

Bank merupakan suatu fasilitator yang dimana mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan peningkatan ekonomi pada masyarakat . Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi , yang dimana merupakan suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat lain yang membutuhkannya. Hal ini sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang letaknya pada pasa 1 ayat (2) yang berbunyi : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

      


(59)

 

kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat pada rakyat banyak “.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa salah satu fungi dari bank adalah memberikan kredit. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, hal ini dapat di lihat pada Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.2

Sebagimana dengan penjelasan pada Pasal 8 Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992, ditegaskan bahwa untuk memperoleh kredit , maka bank akan melakukan penilaian yang seksama terhadap watak daripada peminjam kredit , kemampuan modal , agunan , dan prospek usaha debitur tersebut .3

Peminjam uang menyebabkan timbulnya hutang yang harus di bayar oleh debitur menurut syarat – syarat yang telah ditetapkan dalam suatu pinjaman atau persetujuan membuka kredit tersebut. Seorang debitur yang mendapatkan kredit dari Bank merupakan seseorang yang dapat di percayai oleh bank tersebut sesuai dengan kemampuan debitur tersebut.

      

Sutarno, Aspek‐ aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,Alfabeta,Bandung,2004,hal.2. Habib Adjie,S.H.,M.Hum. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jamninan Atas 


(1)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Karunia-Nya dan telah memberikan penulis kekuatan serta kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ TINJAUAN YURIDIS

PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN DENGAN AKTA PERSETUJUAN MEMBUKA KREDIT YANG TERINDIKASI CACAT HUKUM ”

Selama penyusunan skripsi ini , penulis mendapatkan banyak bantuan , dukungan , semangat , saran , motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum., selaku

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,S.H,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan,S.H,M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

4. Bapak Dr.O.K.Saidin, S.H,M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

5. Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin,S.H,M.S,C.N., selaku Ketua Departemen Hukum Agraria serta Dosen Pembimbing I . Ucapan terima kasih sebesar – besarnya kepada Bapak yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaiaan skripsi ini serta waktu bimbingan yang


(2)

6. Bapak Affan Mukti,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II . Ucapan terima kasih sebesar – besarnya kepada Bapak yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaiaan skripsi ini serta waktu bimbingan yang diberikan agar skripsi ini selesai dengan baik;

7. Bapak Dr.Dedi Harianto,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis dari awal semester hingga akhir semester;

8. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

9. Teristimewa untuk keluarga terkasih penulis yaitu kedua orang tua penulis yang sangat penulis sayangi yaitu Kiesen (Papa) dan Sundary (Mama), serta keluarga besar penulis , terimakasih atas kasih saying , motivasi , kesabaran , pengorbanan , bantuan dan terutama doa kalian semua yang sangat berati bagi penulis , khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini ;

10.Teman – teman seperjuangan stambuk 2012 lainnya. Terimakasih atas waktu dan bantuannya kepada Penulis selama ini ;

11.Teman – teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu Herbert , Prawira , Felicia Laina , Therewensya Tiovanny atas bantuannya ;


(3)

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan . Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan . Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini . Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kia semua . Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan , 26 February 2016

KEVIN 120200100


(4)

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN DENGAN AKTA PERSETUJUAN MEMBUKA KREDIT YANG TERINDIKASI CACAT

HUKUM ABSTRAK

Kevin*

Prof.Dr.Muhammad Yamin,S.H.,M.S.,C.N.** Affan Mukti,S.H.,M.Hum***

Adanya aturan hokum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hokum bagi semua pihak dalam memanfaatkantanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit.

Untuk itu praktek pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa saja yang telah diatur dalam Undang – Undang Hak Tanggungan tersebut.

Permasalahan yang akan diteliti adalah tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan , serta hambatan – hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan beserta cara mengatasinya.

Metode yang akan digunakan adalah Metode penelitian empiris berdasarkan tinjauan yuridis terhadap Hak Tanggungan . Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan yaitu kredit perbankan mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang perekonomian terutama pengikatan jaminan kredit dengan jaminan

Hak Tanggungan yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum antara kedua belah pihak.

Kata Kunci : Kredit , Hak Tanggungan , Perbankan *Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing I,Staff pengajar di Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II,Staff pengajar di Fakultas Hukum USU


(5)

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

A.Latar Belakang………..4

B.Rumusan Masalah……….17

C.Tujuan Penelitian………...18

D.Manfaat Penelitian………18

E.Metode Penulisan………...18

F.Keaslian Penulisan………...22

G. Sistematika Penulisan………...23

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG A.Pemberian Kredit Oleh Bank Indonesia………...25

B.Tata Cara Pengajuan Kredit...29

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A.Pengertian Hak Tanggungan...34

B.Obyek Hak Tanggungan...38

C.Asas Dan Tujuan Hak Tanggungan...41

D.Penyelenggaraan Hak Tanggungan...60

BAB IV TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT YANG TERINDIKASI CACAT HUKUM A.Pengertian Cacat Hukum...66

B.Kredit Yang Terindikasi Cacat Hukum...67


(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan...74 B.Saran...75