Evaluasi Koefisien Dan Laju Inbreeding Pada Kuda Militer Di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) Parongpong, Bandung
EVALUASI KOEFIS
MILITER DI D
(DENKAVK
DEPARTEMEN ILMU INS
ISIEN DAN LAJU
INBREEDING
PADA
I DETASEMEN KAVALERI BERKUDA
VKUD) PARONGPONG, BANDUNG
SKRIPSI DIAN DINARWATI
U PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERN FAKULTAS PETERNAKAN
NSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
A KUDA
DA
(2)
ii
RINGKASAN
DIAN DINARWATI. D14070283. 2011. Evaluasi Koefisien dan Laju Inbreeding
pada Kuda Militer di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) Parongpong, Bandung. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS
Kuda merupakan salah satu ternak yang memiliki peranan penting bagi manusia, salah satunya adalah sebagai kuda kavaleri, kuda yang digunakan sebagai sarana kelengkapan militer. Terbatasnya jumlah pejantan dalam populasi kuda di Denkavkud dapat mengakibatkan terjadinya inbreeding sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan produktivitas. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan nilai koefisien dan laju inbreeding kuda militer yang dipelihara di Denkavkud.
Penelitian ini dilaksanakan pada Juli sampai dengan Agustus 2010 di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) TNI-AD Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data primer berupa informasi struktur populasi, kuda yang cacat akibat kelainan genetik dan manajemen perkawinan. Selain itu juga digunakan data sekunder berupa data bobot badan dan tinggi pundak anak kuda yang baru lahir dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir serta catatan silsilah dari Buku Register Kuda (BRK) di Denkavkud. Jumlah kuda yang digunakan untuk mengevaluasi inbreeding sebanyak 55 ekor dari Kinak dan 24 ekor dari Kikav. Analisis data koefisien inbreeding
dihitung berdasarkan pendekatan Allendorf dan Luikart (2008) menggunakan metode analisis silsilah, sedangkan perhitungan laju inbreeding per generasi berdasarkan pendekatan Wiener (1994) menggunakan metode struktur populasi.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rataan nilai koefisien
inbreeding di Kinak dan Kikav masing-masing 0,099 dan 0,091, sedangkan laju
inbreeding masing-masing sebesar 2,89% dan 0,34% per generasi. Koefisien
inbreeding di Kinak dan Kikav termasuk kategori sedang. Kisaran nilai koefisien
inbreeding terendah sebesar 0,016 dan tertinggi 0,281. Rataan tinggi pundak dan bobot lahir anak kuda dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir masing-masing sebesar 90,656±4,097 cm dan 38,551±3,060 kg. Dalam populasi ini tidak ditemukan tekanan inbreeding, karena nilai koefisien dan laju inbreeding di Denkavkud tidak menurunkan rataan tinggi pundak dan bobot lahir anak kuda.
(3)
iii
ABSTRACT
Evaluation of Coefficient and Inbreeding Rate of Military Horse in Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) Parongpong, Bandung
Dinarwati, D., Jakaria and P. H. Siagian
This research was conducted to evaluate the inbreeding coefficient and its rate of military cavalry horse were reared by Denkavkud. There are totally 55 horses from Kinak and 24 horses from Kikav were observed as the sample size. The inbreeding coefficient was calculated using of pedigree analysis and inbreeding rate per generation based on the population structure. The result of inbreeding coefficient was 0,099 and 0,091 for Kinak and Kikav population while the inbreeding rate was 2,89% and 0,34% per generation, respectively. Mean of withers height and birth weight foals in last decade was 90,656±4,097 cm and 38,551±3,060 kg. Coefficient and inbreeding rate in Denkavkud didn’t decrease withers height and birth weight foals. There is no depression inbreeding, because it is following by selection.
(4)
iv
EVALUASI KOEFISIEN DAN LAJU
INBREEDING
PADA KUDA
MILITER DI DETASEMEN KAVALERI BERKUDA
(DENKAVKUD) PARONGPONG, BANDUNG
DIAN DINARWATI D14070283
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
(5)
v
Judul : Evaluasi Koefisien dan Laju Inbreeding pada Kuda Militer di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) Parongpong, Bandung Nama : Dian Dinarwati
NIM : D14070283
Menyetujui,
Mengetahui:
Tanggal Ujian : 28 Februari 2011 Tanggal Lulus:
Pembimbing Utama,
(Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si) NIP. 19660105 199303 1 001
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS) NIP. 19460825 197711 1 001
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc) NIP. 19591212 198603 1 004
(6)
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 17 Agustus 1989 dari pasangan Bapak Drs. Djaya Saputra dan Ibu Dra. H. Dewi Jubaedah. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara.
Pendidikan Penulis dimulai dari TK Budi Asih I Majalengka pada tahun 1994-1995. Selanjutnya Penulis memulai pendidikan dasar pada SDN Majalengka Wetan III dari kelas 1 hingga kelas 3 yaitu pada tahun 1995-1998. Saat kelas 4 penulis pindah ke SD Unggulan Majalengka yang kini berganti nama menjadi SDN Majalengka Wetan VII hingga lulus kelas 6 yaitu pada tahun 2001. Penulis lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Majalengka pada tahun 2004, dan dilanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Majalengka yang diselesaikan pada tahun 2007. Pada tahun 2007, Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif di berbagai organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Departemen Budaya, Olahraga dan Seni di Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2008/2009, lalu menjabat sebagai Sekretaris Umum di Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2009/2010. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak, Teknologi Pengolahan Daging dan Pemuliaan Ternak. Penulis juga sering menjadi pengisi acara sebagai penari dalam berbagai acara di kampus, dan aktif di berbagai kepanitiaan baik tingkat universitas maupun nasional.
(7)
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmannirrohiim,
Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Sang Khalik pemilik seiisi alam semesta, Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis memperoleh kemudahan dalam penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Koefisien dan Laju Inbreeding pada Kuda Militer di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) Parongpong, Bandung“. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang senantiasa istiqomah berjuang di jalan-Nya.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 bertempat di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) Parongpong, Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai koefisien dan laju inbreeding
per generasi pada kuda militer yang dipelihara di Denkavkud sehingga diharapkan hasilnya dapat menjadi acuan dalam penyusunan program pemuliabiakan atau
breeding program berikutnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini disamping berguna bagi para pembaca, juga dapat menambah ilmu pengetahuan terutama di bidang pemuliaan ternak. Penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendorong, membantu dan mengizinkan untuk mempergunakan bagian atau materi-materi yang digunakan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
(8)
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
LEMBAR PENGESAHAN ... v
RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Kuda (Equus Caballus) ... 3
Penyebaran Kuda ... 3
Klasifikasi ... 5
Kuda Lokal Indonesia ... 6
Kuda Jawa ... 7
Kuda Sumatera ... 7
Kuda Sumba ... 8
Karakteristik Kuda ... 8
Sifat Kualitatif ... 9
Sifat Kuantitatif ... 10
Kuda Kavaleri ... 11
Sistem Perkawinan ... 12
Biak Setara (Assortative mating) ... 13
Biak Luar (Outbreeding) ... 14
Biak Dalam (Inbreeding) ... 15
Koefisien Inbreeding ... 16
Laju Inbreeding ... 17
MATERI DAN METODE ... 18
Lokasi dan Waktu ... 18
Materi ... 18
Prosedur ... 18
Analisis Data ... 19
(9)
ix
Laju Inbreeding ... 20
Bobot Badan dan Tinggi Pundak Anak Kuda yang Baru Lahir ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
Kondisi Umum Denkavkud ... 21
Kuda Kavaleri Denkavkud ... 26
Inbreeding Kuda Denkavkud ... 27
Koefisien Inbreeding ... 27
Laju Inbreeding ... 35
Performans Bobot Lahir dan Tinggi Pundak Kuda Denkavkud .... 36
Pengendalian Perkawinan ... 41
KESIMPULAN DAN SARAN ... 44
Kesimpulan ... 44
Saran ... 44
UCAPAN TERIMAKASIH ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
(10)
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Populasi Kuda Tahun 2004 s/d 2008 di Indonesia (dalam ekor) ... 4
2. Tinggi Pundak dan Bobot Anak Kuda Berdasarkan Umur dan Bangsa yang Berbeda ... 10
3. Ukuran Bagian Tubuh Kuda Dewasa Berdasarkan Total Populasi 11 4. Perhitungan Koefisien Inbreeding dari Individu X ... 20
5. Jumlah dan Jenis Pakan Kuda Australia (Thoroughbred) di Denkvakud ... 23
6. Jumlah dan Jenis Pakan Kuda di Denkvakud ... 24
7. Diagram Alur B. Raflesia ... 30
8. Diagram Alur B. Lasiah ... 30
9. Diagram Alur B. Anggrek ... 30
10.Nilai Koefisien Inbreeding Kuda di Kinak ... 31
11.Nilai Koefisien Inbreeding Kuda di Kikav ... 32
12.Kategori Nilai Koefisien Inbreeding di Denkavkud ... 33
13.Kuda yang Bukan Inbred di Kinak dan Kikav ... 34
14.Nilai Laju Inbreeding per Generasi ... 35
15.Rataan Tinggi Pundak dan Bobot Lahir Kuda Denkavkud (2000 s/d 2009) ... 38
16.Sistem Perkawinan Pejantan G. Boliohutu untuk Meningkatkan Homozigositas ... 41
17.Sistem Perkawinan Pejantan G. Fujiyama untuk Meningkatkan Homozigositas ... 42
18.Sistem Perkawinan Pejantan G. Fujiyama untuk Meningkatkan Inbreeding ... 42
19.Sistem Perkawinan Pejantan G. Boliohutu untuk Menghindari Inbreeding ... 43
20.Sistem Perkawinan Pejantan Sir Tristan untuk Menghindari Inbreeding ... 43
(11)
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Silsilah dalam Bentuk Alokade dan Tanda Panah ... 19
2. Profil Kuda Pejantan di Denkavkud ... 23
3. Pakan Hijauan Kuda ... 24
4. Pakan Konsentrat Kuda ... 24
5. Teknik Pelatihan Kuda Remonte Dasar ... 25
6. Teknik Pelatihan Kuda Remonte Lanjutan ... 26
7. Bentuk Alokade Silsilah B. Raflesia ... 29
8. Diagram Panah B. Raflesia ... 30
9. Kelainan Knocked Kneed pada G. Parikesit ... 37
10.Grafik Rataan Tinggi Pundak Anak Kuda Selama Sepuluh Tahun Terakhir ... 39
11.Grafik Rataan Bobot Lahir Anak Kuda Selama Sepuluh Tahun Terakhir ... 40
(12)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Identitas Individual Kuda Kinak ... 50
2. Identitas Individual Kuda Kikav ... 51
3. Kondisi Umum Denkavkud ... 52
4. Perhitungan Nilai Koefisien Inbreeding Kuda di Kinak ... 53
(13)
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kuda merupakan salah satu hewan ternak yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Ditemukan lima macam hubungan yang penting antara manusia dan kuda, yakni sebagai bahan makanan, berperang, olahraga/rekreasi, keperluan pertanian secara luas dan sebagai alat pengangkutan. Kepemilikan ternak kuda juga dapat memberikan status sosial yang lebih tinggi pada pemiliknya (Parakkasi, 1986). Fungsi kuda sebagai alat pengangkutan saat ini mengalami penurunan karena tergeser oleh alat transportasi berteknologi tinggi seperti sepeda motor, mobil atau angkutan umum lain. Pemanfaatan kuda saat ini lebih cenderung sebagai sarana olahraga ataupun sarana kelengkapan perangkat militer seperti kuda kavaleri.
Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) TNI-AD Parongpong, Bandung merupakan salah satu kesatuan militer di Indonesia yang memanfaatkan kuda. Sejak tahun 1950, Denkavkud mengembangkan kuda sebagai pasukan kavaleri yang dipelihara secara intensif. Hingga saat ini, Denkavkud menyelenggarakan pembinaan dan pendidikan kuda militer dan personel, menyiapkan satuan kavaleri berkuda untuk Kodam, menyelenggarakan peternakan kuda serta menyelenggarakan tugas–tugas protokoler dan pengembangan olahraga berkuda nasional.
Kuda yang digunakan memiliki keterampilan khusus yang diberikan melalui latihan yang diajarkan oleh pelatih. Bangsa kuda yang terdapat di Denkavkud kebanyakan merupakan kuda hasil persilangan antara betina lokal (kuda Jawa) dengan pejantan Thoroughbred. Jumlah total kuda yang terdapat di Denkavkud hingga Juli 2010 adalah 196 ekor yang pemeliharaannya dibagi dalam dua tempat yaitu Kompi Kavaleri (Kikav) dan Kompi Peternakan (Kinak). Pengembangan pembibitan kuda kavaleri dipusatkan di Kinak, dengan struktur populasi yang terdiri atas 3 ekor stud, 8 ekor foals, 4 ekor colt, 16 ekor gelding, 18 ekor filly, 32 ekor
mare, 15 ekor dewasa betina, 2 ekor pony dan 7 ekor kuda tua (afkir).
Dari 105 ekor populasi kuda yang terdapat di Kinak, hanya tiga ekor yang digunakan sebagai pejantan. Keterbatasan jumlah pejantan tersebut dikhawatirkan terjadi tekanan inbreeding pada populasi yang dapat menyebabkan penurunan performa baik produksi maupun reproduksi dan juga menimbulkan beberapa
(14)
2 kelainan (abnormalitas) yang merugikan. Evaluasi koefisien inbreeding, laju
inbreeding dan pengaruhnya terhadap bobot lahir dan tinggi pundak anak kuda yang baru lahir di Denkavkud perlu dilakukan mengingat berbagai anggapan mengenai kerugian akibat dari tekanan inbreeding yang mungkin terjadi.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran nilai koefisien dan laju
inbreeding per generasi pada kuda militer yang dipelihara di Denkavkud Parongpong, Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan program perkawinan kuda militer yang tepat di Denkavkud, Parongpong, Bandung.
(15)
3
TINJAUAN PUSTAKA Kuda (Equus Caballus)
Kuda telah didomestikasi sekitar 6.000 tahun yang lalu di area padang rumput luas yang kini dikenal sebagai Rusia Selatan dan Ukraina. Sejak saat itu, kuda memiliki peranan penting dalam perkembangan peradaban. Tidak ada hewan lain yang dapat berperan dalam pertumbuhan proses sosial dan pengembangan politik seperti kuda (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Kuda pertama kali digunakan sebagai sumber pangan, untuk perang dan olahraga, serta alat pengangkutan. Kuda tersebut digunakan sebagai alat transportasi cepat untuk mengangkut orang dan memindahkan muatan yang berat. Saat itu, kuda berperan penting dalam perang, pengiriman surat, pengendali ternak lain, pertanian, pemungutan hasil panen hutan dan pertambangan (Bogart dan Taylor, 1983).
Menurut Ensiklopedia Indonesia (1992), penjinakan kuda di Asia sudah dimulai kira-kira 2.500 tahun sebelum masehi. Sekitar 2.000 tahun sebelum masehi bangsa Yunani, Babilonia dan China telah membuat catatan mengenai kuda. Seribu tahun kemudian kuda peliharaan sudah digunakan di hampir seluruh Eropa, Asia dan Afrika Utara sampai pada zaman modern. Pada saat itu, kuda dipakai untuk menarik kereta perang kemudian sebagai hewan tunggangan. Kerajaan Arab dan Mongolia didirikan berkat adanya barisan kuda dan kuda mempunyai arti penting dalam peperangan pada abad pertengahan. Kemudian kuda terutama digunakan untuk pengangkutan dan pekerjaan di usaha peternakan dan pertanian serta ranch.
Penyebaran Kuda
Penyebaran kuda dimulai dari Amerika Utara kearah Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Afrika yang terjadi sekitar satu juta tahun yang lalu pada akhir zaman es (9.000 SM). Sekitar abad ke-16 penjelajah Spanyol mendarat di Mexico dengan membawa 16 ekor kuda kemudian kuda ini berkembang dan menyebar di wilayah Amerika (Edward, 1994). Tiga subspesies kuda liar hidup saat itu, yaitu Tarpan Stepa (Equus przewalskii gmelini), Tarpan Hutan (E. p. silvaticus), dan kuda liar atau Kuda Przewalskii (E. p. przewalskii). Kuda jinak diturunkan dari ketiga kuda liar ini dan diberi nama ilmiah Equus przewalskii caballus atau yang biasa digunakan hanyalah nama Equus caballus (Ensiklopedia Indonesia, 1992). Menurut Bowling
(16)
4 dan Ruvinsky (2000), kariotipe kuda yang sudah didomestikasi terdiri atas 64 kromosom (13 autosom metasentris, 18 pasang autosom akrosentris dan sepasang kromosom seks).
Populasi kuda di seluruh dunia pada tahun 1998 mencapai sekitar 62 juta ekor, tidak termasuk 14,6 juta bagal dan 43 juta keledai (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Di Indonesia, berdasarkan basis data Direktorat Jenderal Peternakan (2010), jumlah populasi kuda dari tahun 2004-2008 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Populasi Kuda Tahun 2004 s/d 2008 di Indonesia (dalam ekor)
No. Pulau Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1. Sumatera 17.619 13.871 13.404 13.469 11.348
2. Jawa 56.058 46.161 49.603 50.083 39.510
3. Bali 692 582 468 453 321
4. Nusa Tenggara 172.422 174.351 177.228 176.762 182.016
5. Kalimantan 893 801 837 806 732
6. Sulawesi 139.205 140.009 144.884 147.762 146.058
7. Maluku 8.592 8.854 8.956 9.590 10.663
8. Papua 1.818 2.079 2.262 2.156 2.216
Total 397.299 386.708 397.642 401.081 392.864
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2010)
Bangsa kuda dianggap sebagai hewan yang berkaitan dengan lokasi geografis tempatnya dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara khusus (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Kuda Arab dapat dianggap sebagai cikal bakal berbagai kuda di dunia. Keturunan kuda Arab antara lain terdapat di India, Iran, Irak, Amerika, Spanyol, Meksiko, Inggris dan berbagai negara lain. Biasanya kuda Arab disilangkan dengan kuda domestik yang ada sehingga menghasilkan bangsa baru. Kehadiran kuda Arab di Inggris semenjak abad XVII, menurunkan kuda pacu unggul yang kemudian dinamakan The English Thoroughbred tersebar di seluruh dunia dan digunakan sebagai kuda pacu (Soehardjono, 1990).
(17)
5
Klasifikasi
Keluarga kuda (Equidae), famili mamalia berkuku ganjil mencakup: kuda (Equus przewalskii), keledai (E. asinus), keledai liar Asia atau setengah keledai (E. hemionus), zebra stepa (E. quagga), zebra gunung (E. zebra) dan zebra grevy (E. grevyi). Hewan-hewan ini, kecuali pola bergaris zebra, semuanya mirip baik secara fenotipe maupun anatomi (Ensiklopedia Indonesia, 1992). Menurut Mills dan Nankervis (1999), ternak kuda diklasifikasikan secara ilmiah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia (hewan)
Filum : Chordata (bertulang belakang) Kelas : Mammalia (menyusui)
Ordo : Perissodactyla (berteracak tidak memamah biak) Famili : Equidae
Genus : Equus
Spesies : Equus caballus
Pengelompokan kuda kemudian berkembang pesat berdasarkan berbagai hal seperti kemampuan dalam beraktivitas (temperamen) yaitu cold blood, hot blood dan
warm blood, berdasarkan ukuran fisik dan proporsi tubuh seperti light horses, draught horse dan ponies, dan berdasarkan jenis aktivitas seperti work horses dan
sport horses (Bowling dan Ruvinsky, 2000; Edward, 1994). Selain itu, Ensminger (1991) menjelaskan bahwa kuda dapat diklasifikasikan menjadi tipe ringan, berat dan poni berdasarkan ukuran, bentuk tubuh dan kegunaannya. Kuda tipe ringan mempunyai tinggi 1,45-1,7 m saat berdiri, bobot badan 450-700 kg dan sering digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik ataupun kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih cepat dibanding kuda tipe berat. Kuda tipe berat mempunyai tinggi 1,45-1,75 m saat berdiri dengan bobot badan lebih dari 700 kg dan biasa digunakan untuk pekerja. Kuda poni memiliki tinggi kurang dari 1,45 m saat berdiri dan bobot badan 250-450 kg.
Menurut Blakely dan Bade (1991), beberapa istilah digunakan untuk menyatakan jenis kelamin, umur atau keadaan seekor kuda yaitu:
Stallion : kuda jantan yang belum kawin berumur lebih dari tiga tahun
Stud : kuda jantan yang digunakan untuk perkawinan
(18)
6
Filly : kuda betina muda sampai umur tiga tahun yang untuk perkawinan
Gelding : kuda jantan yang dikastrasi
Colt : kuda jantan sampai umur tiga tahun
Foal : kuda jantan atau betina yang umurnya dibawah satu tahun
Weanling : kuda muda jantan atau betina yang baru saja disapih
Kuda Lokal Indonesia
Penduduk asli Indonesia telah beternak kuda sebelum kedatangan bangsa Eropa. Peternakan kuda pada saat itu belum memenuhi persyaratan teknis beternak, karena kuda hidup di alam bebas dan sangat tergantung pada alam. Akibatnya peternakan kuda rakyat menghasilkan kuda dengan kualitas yang rendah (Soehardjono, 1990). Menurut Jacoeb (1994), pada abad ke-7, muncul beberapa kerajaan maritim di Indonesia yang memiliki armada niaga dan perang yang kuat. Perkembangan kekuatan maritim tersebut mempercepat usaha pengembangbiakan dan penyebaran kuda hampir ke seluruh kepulauan Indonesia antara lain ke Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke pulau-pulau kecil lain. Perkembangan agama Islam di Indonesia juga ikut mempengaruhi perkembangan kuda. Sambil menyebarkan agama Islam, mereka memperkenalkan jenis kuda yang mereka bawa dari negeri asalnya sehingga para penduduk menyilangkan dengan kuda asli Indonesia untuk mendapatkan jenis kuda yang memiliki kualitas lebih baik.
Tinggi badan kuda yang terdapat di Indonesisa berkisar antara 1,15-1,35 m, sehingga tergolong dalam jenis poni. Bentuk kepala umumnya besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup serta daun telinga kecil. Ciri-ciri lain, bentuk leher tegak dan lebar. Tengkuk kuat, punggung lurus dan pinggul kuat. Letak ekor tinggi dan berbentuk lonjong, dada lebar, sedang tulang rusuk berbentuk lengkung serasi. Kaki berotot kuat, kening dan persendiannya baik, sedangkan bentuk kuku kecil dan berada diatas telapak yang kuat. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikap yang kurang serasi (kurang baik), karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan dengan kaki belakang (Jacoeb, 1994).
Indonesia terkenal memiliki cukup banyak jenis kuda lokal yang selalu dikembangkan oleh sebagian rakyat sebagai hewan kesayangan atau hewan pembantu mencari nafkah keluarga. Jenis kuda yang terdapat di Indonesia dinamai berdasarkan daerah asal kuda tersebut, seperti Kuda Makassar, Sumba, Flores,
(19)
7 Timor, Jawa (Priangan), Kuningan, Gorontalo (Minahasa), Bima, Sumatera, Lombok dan Roti (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Kuda Jawa
Menurut Jacoeb (1994), kuda Jawa ditemukan di Pulau Jawa sekitar abad tujuh belas, dibentuk melalui persilangan antara kuda lokal dengan kuda Arab dan Barbarian. Kavaleri Belanda menggunakan kuda ini untuk melancarkan operasi militer antara lain untuk menumpas perlawanan Diponegoro (1825-1830). Saat ini kuda Jawa tidak memiliki konformasi yang sama dengan kuda Arab, akan tetapi memiliki ketahanan terhadap cuaca panas yang tinggi seperti kuda Arab. Daya tahan serta stamina untuk berlari dalam jarak jauh juga diturunkan oleh Kuda Arab, meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil (Kingdom, 2006).
Tinggi kuda Jawa sekitar 1,15 m dan bertemperamen labil. Kuda ini dikenal jinak dan berkuku lembek (Jacoeb, 1994). Kuda Jawa cukup tangguh dan kuat meskipun memiliki ukuran tubuh kecil, mempunyai kepala yang khas dengan telinga panjang dan mata yang cerdas, leher pendek dan berotot serta dada lebar dan dalam. Pertulangan dapat dinyatakan baik tetapi kurang begitu berkembang dengan tulang
cannon yang panjang (Kingdom, 2006).
Kuda Sumatera
Kuda Sumatera terdiri atas lima jenis yaitu Kuda Padang, Mangatas, Batak, Agam dan Gayo. Jenis kuda yang terbaik adalah kuda Batak yang diternakkan di daerah Toba dan Karo. Tubuhnya serasi, dengan sifat tidak terlalu binal dan memiliki daya tahan yang kuat serta mampu mengangkut dua penumpang. Tinggi kuda jantan rata-rata 1,25-1,50 m dan yang betina 1,25 m. Bentuk kepala agak besar dengan leher lebar dan pendek. Rambut kepala kasar dan berdiri. Kakinya langsing dan berbulu di bagian persendian. Ciri-ciri lain, berahang besar, leher bagian bawah sempit, tulang bahu berbentuk lurus dan bentuk tulang punggung melengkung. Kuda ini banyak digemari dan berfungsi sebagai kuda tarik (Jacoeb, 1994).
Jenis kuda Sumatera lain hampir mirip dengan kuda Batak, berbentuk agak besar. Kuda Agam dan Gayo bertubuh kecil dan bersifat jinak. Jenis kuda ini menyebar ke daerah Aceh, sedangkan kuda Batak ke Deli (Sumatera di bagian
(20)
8 Timur), Singapura dan Malaysia. Di tempat-tempat itu dikenal dengan nama kuda Deli (Jacoeb, 1994).
Kuda Sumba
Kuda Sumba berpinggang agak tinggi dan merupakan keturunan kuda Australia yang pernah dimasukkan ke kota Rendeh, pulau Sumba. Kuda Sumba dianggap sebagai jenis kuda yang baik untuk kuda pacu, maka pada tahun 1984 pejantan-pejantan kuda unggul diekspor ke pulau Jawa, Singapura dan Malaysia (Straits Settlements), Manila dan Mauritius (Afrika Timur). Akibatnya hanya disisakan pejantan yang berkualitas rendah, sehingga mutu peternakan kuda merosot. Kuda Sumba terdiri dari dua jenis bentuk, yaitu kuda yang memiliki tubuh kecil di daerah selatan dan timur serta kuda yang berbentuk agak besar di daerah utara dan barat (Soehardjono, 1990).
Kuda Sumba atau sering disebut kuda Sandel memiliki penampilan yang primitif, tinggi sekitar 1,27 m, perbandingan kepala lebih besar daripada badan dan bagian kepala lebih mengarah tipe Mongolian dengan leher yang pendek. Konformasi kuda Sumba tidak sempurna tetapi bagian punggung sangat kuat (Edwards, 1994). Kuda ini merupakan kuda terbaik di Indonesia dan termasuk kuda ringan (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Karakteristik Kuda
Kuda adalah hewan yang bersifat sosial dan bersemangat tinggi. Kuda lebih banyak digunakan untuk kepentingan olahraga, bekerja atau dimanfaatkan tenaganya dan rekreasi, bukan sebagai bahan pangan. Pengangkutan dengan kuda masih ditemukan di banyak daerah yang belum dapat dilalui oleh kendaraan bermotor karena belum mempunyai jalan raya untuk kendaraan bermotor (Parakkasi, 1986). Dalam menarik beban, kuda kecil mampu menarik beban 77% berat tubuhnya, sedangkan kuda besar 68% (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Kuda memiliki kemampuan belajar yang baik dalam mengenal suatu obyek (Kilgour dan Dalton, 1984). Kuda makan jerami dan rumput meskipun kuda bukanlah ruminansia. Kuda termasuk hewan monogastrik yang memiliki caecum
(21)
9 sehingga dapat memanfaatkan hijauan dan diubah menjadi zat-zat gizi yang dapat diserap (Blakely dan Bade, 1991).
Dalam suatu kelompok kuda betina yang permanen (sekelompok kuda terdiri atas kuda betina dewasa dan anak-anak kuda yang dipimpin oleh seekor kuda jantan) terbentuk suatu hubungan sosial yaitu yang dipimpin seekor kuda jantan dan terbentuk suatu hubungan sosial kuda betina yang berhubungan tetap hanya dengan seekor pejantan yang memimpin kelompok tersebut (Mills dan Nankervis, 1999). Kuda jantan yang memimpin dan menguasai sekelompok kuda betina, akan melindungi kuda betina dewasa yang merupakan bagian kelompoknya dari gangguan kuda jantan lain khususnya selama masa estrus (Kilgour dan Dalton, 1984).
Sifat Kualitatif
Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen dan bersifat tidak aditif. Sifat kualitatif meliputi warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk sangat mudah dibedakan tanpa harus diukur (Noor, 2008). Sifat kualitatif lebih banyak diatur atau ditentukan oleh genotipe individu sehingga peranan faktor lingkungan sangat kecil (Martojo, 1992). Sifat kualitatif pada kuda diantaranya warna kulit, tanda di kepala dan tanda di kaki. Warna kuda dinilai berdasarkan pertimbangan warna kulit dan warna di beberapa point, seperti di bagian moncong, ujung telinga, surai, ekor dan kaki bagian lutut ke bawah (The Pony Club, 1993).
Menurut The Pony Club (1993), warna dasar pada kulit kuda diantaranya hitam (seluruh badan berwarna hitam), cokelat (kulit berwarna cokelat gelap atau hampir hitam dengan warna cokelat di bagian point), bay (kulit berwarna cokelat dan
point warna hitam. Light, bright dan dark merupakan variasi warnanya), chesnut
(Kuning jingga atau cokelat kemerahan, termasuk surai dan ekor. Light, dark dan
liver chesnut merupakan variasinya), grey (warna antara putih dan hitam. Iron grey
untuk kuda yang cenderung hitam, dappled grey untuk kuda yang memiliki corak melingkar berwarna cerah diantara kulit yang gelap, flea-bitten grey untuk yang memiliki rambut berwarna gelap menumpuk sehingga nampak berbintik, light grey
untuk dominan warna putih), dun (biasanya memiliki point berwarna hitam dan beberapa nampak seperti zebra di bagian tungkai), roan (terdapat warna bulu merah diantara bulu-bulu putih. Variasi warna diantaranya strawberry roan, red roan, blue roan). Piebald (bercak putih tidak beraturan pada warna dasar yang lebih gelap),
(22)
10
skewbald (corak putih dan beberapa warna selain hitam yang tidak teratur), totol-totol (tipe warna yang dikenal diantaranya leopard, blanket dan snowflake), palomino (badan berwarna merah tembaga, pirang atau kekuningan namun warna surai dan ekornya lebih muda) dan warna ganjil yang tidak sesuai dengan warna standar.
Istilah yang sering muncul untuk tanda putih di kepala yaitu star, stripe, blaze, white face, snip, wall eye, star & stripe, star, stripe & snip, dan bald. Istilah untuk tanda di kaki yaitu white pastern, while to fetlock, while to half-cannon, stocking, sock, ermine, coronet, ankle, dan white outside heels (The Pony Club, 1993; Ensminger, 1991).
Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak gen yang aksinya bersifat aditif, dominan dan epistatik serta bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (non-genetik), menghasilkan ekspresi fenotipik sebagai sifat kuantitatif tersebut (Noor, 2008; Martojo, 1992). Keragaman sifat kuantitatif bersifat kontinyu berkisar diantara nilai minimum dan maksimum serta menggambarkan suatu distribusi normal (Martojo, 1992). Sifat kuantitatif pada kuda diantaranya ukuran tinggi dan bobot badan, laju pertumbuhan, kecepatan lari dan banyak sifat lain. Pada Tabel 2 disajikan ukuran tinggi pundak dan bobot badan anak kuda berdasarkan perbedaan umur dan bangsa.
Tabel 2. Tinggi Pundak dan Bobot Anak Kuda Berdasarkan Umur dan Bangsa yang Berbeda
Bangsa
Umur 6 Bulan Umur 12 Bulan Umur 18 Bulan Berat
(kg)
Tinggi (cm)
Berat (kg)
Tinggi (cm)
Berat (kg)
Tinggi (cm)
Shetland pony 52 86 73 94 83 97
Quarter horse 44 84 66 91 80 95
Anglo-Arab 45 83 67 92 81 95
Arabian 46 84 66 91 80 95
Thoroughbred 46 84 66 90 80 95
Percheron 40 79 59 89 74 92
(23)
11 Pengukuran tinggi dilakukan dari permukaan tanah hingga titik tertinggi pundak. Manfaat dari tinggi badan diantaranya sebagai salah satu informasi deskripsi kuda, membantu pembagian kelas kuda berdasarkan tujuan penampilan, indikator ukuran yang ditawarkan dalam katalog penjualan, dan indikator pendugaan ukuran baju, sadel atau kebutuhan aksesoris kuda (The Pony Club, 1993). Pengukuran beberapa bagian tubuh pada kuda dewasa juga diperlukan untuk mengetahui konformasi tubuh. Pengukuran tubuh kuda di Denkavkud telah dilakukan oleh Prajoga dan Tunisa (2007) yang diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ukuran Bagian Tubuh Kuda Dewasa Berdasarkan Total Populasi
Deskripsi Statistik
Throatlatch – pundak
Pundak – pinggul
Pinggul – pangkal ekor
Pundak – perut
Permukaan tanah - perut Jarak (cm)
Rataan 64,87 71,10 37,27 66,87 77,92
Ragam 38,94 41,70 58,00 8,58 13,97
Standar
deviasi 6,24 6,46 7,62 2,93 3,74
Maksimum 78,00 88,50 51,00 79,00 85,00 Minimum 50,00 54,00 21,00 61,00 68,00 Koef.
Keragaman 9,62 9,08 20,08 4,38 4,80
Keterangan: Jumlah sampel = 57 ekor Sumber : Prajoga dan Tunisa (2007)
Seekor kuda betina mencapai dewasa kelamin pada umur sekitar 12-15 bulan, sedangkan untuk kuda jantan dewasa kelamin dicapai pada umur sekitar 24 bulan. Kuda yang dipelihara secara intensif, perkawinan pertama biasa dilakukan pada saat kuda betina berumur 2-3 tahun dan jantan 3-4 tahun (Blakely dan Bade, 1991). Kuda betina akan berahi setiap 21 hari sekali jika tidak dalam keadaan bunting. Kebanyakan kuda betina hanya memproduksi satu anak per kelahiran (Bogart dan Taylor, 1983). Lama kebuntingan berkisar antara 315-350 hari dengan rata-rata 335 hari (Kilgour dan Dalton, 1984).
Kuda Kavaleri
Menurut Parakkasi (1986), sejak zaman dahulu kala, Raja Fir’aun telah mengenal pasukan kavaleri. Sampai sekarang, angkatan bersenjata Indonesia memiliki pasukan kavaleri yang sebelumnya dikenal dengan Pasukan Kuda Beban
(24)
12 (PKB) yang digunakan untuk mengangkut peluru, mortir dan alat-alat peperangan lain di daerah operasi. Kavaleri berasal dari bahasa Latin, caballus dan bahasa Perancis chevalier yang berarti kuda. Istilah kavaleri mengacu kepada pasukan berkuda, namun dalam perkembangan zaman, kavaleri bertempur dengan menggunakan lapis baja (Pussenkav TNI-Angkatan Darat, 2010).
Di Indonesia, pada abad VII Masehi, dengan berdiri kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu dan Budha, peranan kuda telah ikut menentukan kehidupan kerajaan itu, antara lain, sebagai sarana angkutan dari ibukota kerajaan ke daerah pedalaman. Selain itu juga dipakai sebagai kendaraan perang dan kendaraan raja untuk berburu maupun tampil dalam parade. Kuda dipakai sebagai sarana dalam perang, diantaranya untuk tunggangan para prajurit dan untuk mengangkut peralatan perang, seperti pelanting batu atau sekelompok pasukan pemanah (Soehardjono, 1990). Syarat kuda kavaleri TNI-AD diantaranya memiliki warna bulu yang gelap dan polos, dapat membawa beban minimal 100 kg, kuat, tidak cacat fisik, ketahanan tubuh baik, dan telah lulus pelatihan kuda militer (Prajoga dan Tunisa, 2007).
Sistem Perkawinan
Perkawinan hewan dapat terjadi secara acak (random mating) atau terarah (assortative mating) (Allendorf dan Luikart, 2008). Perkawinan secara acak terjadi apabila setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk kawin dengan lawan jenis (jenis kelamin yang berbeda). Artinya, setiap individu mempunyai kebebasan untuk memilih pasangan. Hal ini akan terjadi jika ternak masih sering dilepas dalam padang penggembalaan (Minkema, 1993). Pada kebanyakan ternak, perkawinannya diatur oleh manusia agar mendapatkan keturunan yang lebih baik daripada tetua. Maka sebagai akibat dari adanya perkawinan yang terprogram dan terarah ini, komposisi genetik dalam populasi dapat diperkirakan akan berubah (Hardjosubroto, 2001).
Pada sebagian besar populasi ternak, mobilitas dari individu adalah terbatas. Ternak mempunyai tendensi kawin (dikawinkan) dengan individu disekitarnya, sehingga perkawinan tidak dapat berlangsung acak. Struktur dari suatu populasi tidak hanya ditentukan oleh besaran dari frekuensi gen penyususn beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, tetapi dapat ditentukan oleh sistem perkawinan dari tetua (Minkema, 1993).
(25)
13 Sistem pembiakan dibagi kedalam tiga kelompok utama, yaitu: biak setara (assortative mating), biak dalam (inbreeding), dan biak luar (outbreeding). Biak setara adalah ketika hewan yang dikawinkan dipilih atas dasar kemiripan tampak luarnya atau kemiripan fenotipik (Martojo, 1992). Perkawinan antara dua individu yang masih mempunyai hubungan keluarga disebut sebagai perkawinan biak dalam atau inbreeding. Persilangan antara dua individu ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disebut persilangan luar atau outbreeding (Hardjosubroto, 2001). Menurut Yatim (1991), inbreeding menghasilkan keturunan dari perkawinan sekerabat. Outbreeding menghasilkan keturunan dari perkawinan tidak sekerabat.
Inbreeding menghasilkan individu homozigot tinggi, sedangkan outbreeding
menimbulkan individu heterozigot tinggi.
Biak Setara (Assortativemating)
Biak setara adalah ketika hewan yang dikawinkan dipilih atas dasar kemiripan fenotipik. Kebalikannya yang dikenal dengan “disassortative mating” diterjemahkan dengan istilah biak tidak setara. Biak setara akan mempengaruhi frekuensi genotipe karena dikawinkan berdasarkan fenotipe yang merupakan ekspresi dari genotipe. Dalam hal ini, generasi turunan akan mengalami peningkatan homozigositas walaupun efeknya tidak sekuat efek yang ditimbulkan inbreeding. Hal ini terjadi karena perkawinannya sama sekali tidak didasarkan pada genotipe hewan dan hanya berdasarkan fenotipe. Manfaat lain dari biak setara adalah memberi kesempatan kawin kepada fenotipe yang ekstrim atau yang menyimpang daripada rata-rata (Martojo, 1992).
Cara pembiakan setara merupakan cara yang paling sederhana, bahkan merupakan cara primitif yang telah diterapkan oleh nenek moyang kita sejak mereka mulai menjinakkan hewan. Dalam hal ini terdapat empat kemungkinan utama dalam pelaksanaan perkawinan, misal pada biak setara ternak besar kawin dengan ternak besar menghasilkan anak yang bertubuh besar, ternak kecil kawin dengan ternak kecil menghasilkan anak yang bertubuh kecil, dan ternak sedang kawin dengan ternak sedang menghasilkan anak yang memiliki ukuran tubuh sedang, sedangkan pada biak tidak setara, ternak besar kawin dengan ternak kecil akan menghasilkan anak yang memiliki ukuran tubuh sedang. Keempat cara perkawinan ini merupakan
(26)
14 cara sederhana bagi peternak untuk menghasilkan perubahan pada fenotipik ternak, terutama untuk sifat kuantitatif (Martojo, 1992).
Biak Luar (Outbreeding)
Outbreeding adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh daripada rataan hubungan kekerabatan kelompok asal ternak (Noor, 2008). Outbreeding umumnya sengaja dilakukan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dan mengurangi akibat inbreeding dengan jalan memasukkan darah baru yang merupakan sekelompok ternak (umumnya pejantan) yang didatangkan dari luar kelompok sehingga mempunyai hubungan keluarga yang jauh. Sistem seleksi dan
outbreeding dapat dianjurkan untuk kebanyakan ternak bibit terutama untuk sifat-sifat yang sebagian besar dipengaruhi oleh gen-gen dengan efek aditif dan heritabilitas tinggi (Martojo, 1992).
Persilangan merupakan bagian dari sistem perkawinan outbreeding yang dilakukan antara dua bangsa yang berbeda. Persilangan secara genetik bertujuan untuk menaikkan persentase heterozigositas, sehingga dapat meningkatkan variasi genetik (Allendorf dan Luikart, 2008). Menurut Noor (2008), persilangan yang tergolong outbreeding ada tiga macam, yaitu persilangan antargalur (Linecrossing), persilangan antarbangsa (Crossbreeding) dan persilangan antarspesies. Beberapa manfaat dari outbreeding yaitu penggabungan dua sifat bangsa yang berbeda ke dalam satu bangsa silangan, pembentukan bangsa baru, grading up dan pemanfaatan heterosis (Hardjosubroto, 2001).
Outbreeding semakin banyak menimbulkan variasi genetik (Yatim, 1991).
Outbreeding dengan seleksi yang sering disebut seleksi massa paling efektif untuk mengubah frekuensi gen-gen dengan pengaruh aditif. Outbreeding dengan seleksi dapat dianggap sebagai suatu sistem yang diharapkan untuk menghasilkan kemajuan terus-menerus (walaupun sering lambat) dengan resiko minimum mendapat hasil yang tidak diinginkan (Warwick et al., 1990).
Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik daripada rataan performa tetua untuk sifat-sifat tertentu. Hal ini disebut hybrid vigour yang nilainya dapat diukur dan pengukuran ini disebut sebagai heterosis. Heterosis dinyatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua yang purebred
(27)
15 (Noor, 2008). Menurut Martojo (1992), pengaruh heterosis sering bersifat aditif dan multiplikatif, oleh karena itu, untuk sifat-sifat yang sebagian besar dipengaruhi oleh gen-gen dengan efek aditif dengan heritabilitas tinggi, suatu sistem seleksi dan
outbreeding dapat dianjurkan untuk kebanyakan kelompok ternak bibit.
Biak Dalam (Inbreeding)
Biak dalam (inbreeding) adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok tempat ternak tersebut (Noor, 2008). Perkawinan inbreeding
akan menyebabkan kehilangan variasi genetik (Allendorf dan Luikart, 2008). Kedua individu yang dikawinkan secara inbreeding tersebut akan mempunyai moyang bersama beberapa generasi ke atas. Dengan demikian, keturunan dari hasil perkawinan inbreeding ini akan mempunyai dua gen pada lokus yang identik dengan gen moyang bersama (Hardjosubroto, 2001).
Menurut Warwick et al. (1990), ternak dianggap berkerabat bila mempunyai nenek-moyang yang sama pada 4-6 generasi pertama. Ternak yang tidak mempunyai moyang bersama pada empat sampai enam generasi pertama dari silsilahnya dianggap mempunyai kekerabatan yang sama seperti kekerabatan antara ternak-ternak acak dalam populasi. Inbreeding merupakan proses yang seimbang dan menyebabkan fiksasi gen-gen yang tidak disukai sama cepatnya dengan gen-gen yang disukai.
Inbreeding mengakibatkan peningkatan derajat homozigositas dan pada saat yang bersamaan menurunkan derajat heterozigositas. Sebagai contoh, jika terdapat 1.000 lokus heterozigot dalam populasi, maka akan berubah menjadi 750 gen yang tetap heterozigot setelah satu generasi kawin dengan saudara dekatnya (Rahmanovic
et al., 2008). Peningkatan frekuensi homozigot resesif dapat menyebabkan peluang gen lethal muncul lebih besar, juga akan mengakibatkan penurunan performans atau produksi ternak. Peristiwa penurunan produksi ternak sebagai akibat perkawinan silang dalam disebut sebagai tekanan inbreeding (Hardjosubroto, 2001). Tekanan
inbreeding terjadi karena peningkatan homozigositas atau pengurangan heterozigositas (Allendorf dan Luikart, 2008).
Dampak dari tekanan inbreeding pada ternak sudah banyak dilaporkan, salah satunya menurut Sudono (1999) bahwa dampak inbreeding yang buruk pada sapi
(28)
16 perah seperti penurunan laju pertumbuhan (rata-rata sekitar 1,25-5% untuk setiap 10% kenaikan inbreeding), penurunan efisiensi produksi (misal: sapi sulit menjadi bunting, jarak antara beranak panjang dan kematian embrio), penurunan vitalitas sehingga banyak kematian pada anak-anak sapi mencapai 4,20% untuk setiap 10% kenaikan inbreeding, produksi susu menurun karena inbreeding sebanyak 95 kg untuk setiap satu persen kenaikan inbreeding, dan timbul berbagai faktor lethal, yang pada sistem perkawinan lain tidak timbul, misalnya hydrocephalus, hernia umbicalis,
dan bull dog calf.
Menurut Sudono (1999), bentuk lain dari inbreeding terdapat dua macam, yaitu: Clossed breeding (perkawinan antarkeluarga yang dekat sekali hubungannya, misal antara saudara sekandung atau antara tetua (bapak atau induk) dan anaknya).
Linebreeding (perkawinan antarkeluarga yang dipusatkan pada individu tertentu yang disenangi). Tujuan penggunaan sistem linebreeding adalah untuk menghasilkan keturunan yang memiliki kesamaan gen dengan salah satu tetua yang unggul (Noor, 2008).
Inbreeding tidak selalu menuju pada pemunculan karakter buruk. Karakter buruk hanya akan muncul jika memang ada alel buruk pada suatu keturunan. Jika alel buruk tersebut tidak ditemukan, inbreeding tidak menimbulkan efek negatif. Perkawinan sedarah ini baik untuk individu yang bergalur murni yang tidak memiliki gen resesif (Yatim, 1991). Menurut Noor dan Seminar (2009), dalam bidang pemuliaan teknik inbreeding ini biasanya dipakai untuk membentuk galur murni. Dalam bidang pertanian dan peternakan banyak galur murni yang berguna dan berproduksi tinggi telah dihasilkan melalui penggunaan teknik ini.
Koefisien Inbreeding. Tingkat inbreeding dapat diukur dengan menghitung nilai koefisien inbreeding pada suatu individu dengan menggunakan silsilah keluarga (Noor dan Seminar, 2009). Akibat genetik dan fenotipik dari perkawinan individu yang berkerabat dapat diketahui dengan mengukur derajat kekerabatan antara ternak-ternak dan harapan genetik dari perkawinan ternak-ternak dengan macam-macam derajat kekerabatan. Ukuran-ukuran ini paling tepat dinyatakan dengan koefisien hubungan kekerabatan dan silang dalam dari Allendorf dan Luikart (2008). Koefisien ini adalah ukuran persentase peningkatan homozigositas dari ternak-ternak inbred
(29)
17 dapat digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat
inbreeding tersebut. Koefisien ini dapat pula digunakan untuk mengukur penurunan derajat heterosigositas suatu individu relatif terhadap tetuanya pada populasi yang sama (Noor, 2008).
Koefisien inbreeding (F) adalah kemungkinan suatu individu mengalami
autozygous (menerima dua alel yang sama pada lokus identik yang diturunkan tetuanya). Nilai F berkisar antara 0 (tidak kawin sedarah sama sekali) hingga 1 (kawin sedarah total) (Allendorf dan Luikart, 2008). Umumnya koefisien inbreeding
suatu individu adalah setengah dari koefisien kekerabatan individu tersebut dengan tetuanya. Jadi, perhitungan koefisien inbreeding pada dasarnya adalah mengalikan koefisien kekerabatan dengan setengah. Ternak-ternak bersaudara kandung memiliki koefisien inbreeding 25%. Ternak-ternak yang bersaudara tiri memiliki koefisien
inbreeding 12,5% (Noor, 2008). Salah satu cara penghitungan koefisien inbreeding
menurut Rahmanovic et al. (2008) adalah dengan membuat silsilah klasik individu, lalu dibuat diagram anak panah. Nilai koefisien inbreeding dihitung dengan rumus berdasarkan moyang bersama.
Menurut Noor dan Seminar (2009), dalam bidang peternakan, apabila koefisien inbreeding telah mencapai angka tertentu (biasanya sekitar 30%), maka perkawinan sekerabat berikutnya akan meningkatkan fenomena tekanan inbreeding. Setiap peningkatan koefisien inbreeding sebesar 5%, maka akan berakibat terhadap penurunan produksi yang sangat signifikan, peningkatan kematian dan peningkatan frekuensi munculnya cacat. Penurunan performa ini diduga berhubungan dengan perubahan metabolisme akibat gen-gen resesif terkumpul.
Laju Inbreeding. Dalam populasi ternak yang berjumlah besar dan pada peternakan rakyat tidak dapat diharapkan ketersediaan silsilah mengenai individu-individu, oleh karena itu ada cara lain yang tidak mempersoalkan F pada individu tetapi rataan peningkatan F untuk seluruh populasi (Martojo, 1992). Dalam keadaan ini, laju
inbreeding yang meningkat dalam populasi dapat diduga secara kasar dari jumlah jantan yang digunakan sebagai pejantan dan jumlah betina yang telah dikawinkan serta jumlah ternak muda atau yang akan masuk kedalam populasi sebagai ternak dewasa pada tahun berikutnya, baik jantan maupun betina (Wiener, 1994; Martojo, 1992).
(30)
18
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) TNI-AD Parongpong, Jl. Kolonel Masturi km. 7 Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat pada Juli sampai dengan Agustus 2010.
Materi
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis dan kalkulator. Data yang digunakan adalah data primer berupa informasi struktur populasi, kuda yang cacat akibat kelainan genetik dan manajemen perkawinan. Selain itu juga digunakan data sekunder berupa data bobot badan dan tinggi pundak anak kuda yang baru lahir dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir serta catatan silsilah dari Buku Register Kuda (BRK) di Denkavkud. Kuda yang menjadi sampel adalah semua kuda remaja di setiap kompi, yaitu kuda umur 1-3 tahun baik jantan maupun betina.
Prosedur
Data primer didapatkan dengan cara pengamatan langsung di lokasi penelitian dan wawancara dengan pemelihara, staf, dokter hewan yang terdapat disana. Data sekunder didapatkan melalui catatan atau recording yang dimiliki pihak Denkavkud berupa Buku Register Kuda (BRK), kemudian silsilah dianalisis untuk perhitungan koefisien inbreeding pada setiap individu (Fx), sedangkan laju
inbreeding dihitung berdasarkan data struktur populasi yaitu jumlah pejantan, calon pejantan dan induk.
Jumlah total kuda yang terdapat di Denkavkud adalah 196 ekor dan terbagi ke dalam dua unit, yaitu 91 ekor kuda di Kompi Kavaleri (Kikav) dan 105 ekor di Kompi Peternakan (Kinak). Stuktur populasi dalam Kikav terdiri dari 37 ekor kuda betina, 43 ekor jantan kebiri dan satu ekor kuda jantan yang hanya memiliki satu testis. Berdasarkan populasi tersebut, sampel diambil dari kuda umur satu sampai dengan tiga tahun, sehingga didapat delapan ekor kuda dari populasi Kikav.
Populasi kuda dalam Kinak terdiri dari 3 ekor stud, 8 ekor foals, 4 ekor colt, 16 ekor gelding, 18 ekor filly, 32 ekor mare, 15 ekor dewasa betina, 2 ekor pony dan 7 ekor kuda tua (afkir). Sampel yang digunakan adalah kuda umur satu sampai dengan tiga tahun, sehingga sampel yang diperoleh dari Kinak berjumlah 22 ekor.
(31)
19 X
B
A
{
{
DC
D C
Masing-masing kuda dianalisis berdasarkan silsilahnya, jika terdapat tetuanya yang
inbred, maka ditambahkan nilai koefisien inbreeding dari tetua tersebut.
Analisis Data Koefisien Inbreeding
Penghitungan koefisien inbreeding menggunakan metode analisis silsilah yang dikembangkan oleh Allendorf dan Luikart (2008). Langkah pertama menggambar silsilah, dimana setiap individu hanya muncul satu kali, dibuat dalam bentuk alokade dan tanda panah (Gambar 1). Selanjutnya, dianalisis silsilah leluhur (moyang) dari induk dan pejantannya. Jika tidak memiliki moyang bersama, individu tersebut bukanlah hasil perkawinan sedarah, dan nilai koefisien inbreeding (Fx) = 0. Namun, jika memiliki moyang bersama, telusuri semua silsilah dari mulai orangtua individu tersebut, lalu menuju moyang bersama dan kembali lagi ke orangtua yang lain dari individu tersebut (Tabel 4).
Koefisien inbreeding dari individu dihitung dengan menentukan n, yaitu banyaknya individu dalam alur (tidak termasuk individu yang diperhatikan) yang terdiri dari moyang bersama dari tetua yang kawin sedarah (inbred). Nilai koefisien
inbreeding dihitung dengan rumus (Allendorf dan Luikart, 2008): F = [(½n+1) (1+FCA)]
Keterangan : F = Nilai koefisien inbreeding
n = Banyaknya garis dalam alur FCA = Koefisien moyang bersama
Sebagai contoh, perhitungan koefisien inbreeding dari seekor ternak X yang dihasilkan dari satu generasi perkawinan saudara kandung dimana moyang bersamanya bukan inbred dapat digambarkan sebagai berikut:
{
Gambar 1. Silsilah dalam Bentuk Alokade dan Tanda Panah
Sumber: Warwick et al. (1990)
X
A
B
C
D B
(32)
20 Tabel 4. Perhitungan Koefisien Inbreeding dari Individu X
Moyang Bersama Lintasan N n’ n+n’+1 Kontribusi
C A – C – B 1 1 3 (½)3 = 0,125
D A –D – B 1 1 3 (½)3 = 0,125
Jumlah 0,25*
Keterangan: *Nilai koefisien inbreeding Fx = 0,25 x 100% = 25% Sumber: Warwick et al. (1990)
Laju Inbreeding
Laju inbreeding per generasi dihitung dengan rumus yang dikembangkan oleh Wiener (1994):
Laju Inbreeding = +
Keterangan: Nm = Jumlah pejantan dan calon pejantan Nf = Jumlah betina yang dapat dikawinkan
Bobot Badan dan Tinggi Pundak Anak Kuda yang Baru Lahir
Pengukuran tinggi pundak menggunakan tongkat ukur sederhana yang telah diberi skala atau penggaris kayu dengan cara mengukur tinggi dari permukaan tanah hingga pundak, sedangkan bobot badan diketahui dengan melakukan penimbangan. Data yang digunakan adalah data kelahiran selama sepuluh tahun terakhir, kemudian data tersebut dirata-ratakan dengan rumus (Walpole, 1993):
Keterangan:
µ : Rataan sampel xi : Data sejumlah i
(33)
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Denkavkud
Indonesia memiliki beberapa satuan divisi TNI-AD, antara lain: 1. Pussenkav yang terletak di Bandung sebagai Pusat Kesenjataan Kavaleri, 2. Pusdikkav yang terletak di Padalarang sebagai Lemdik (Lembaga Pendidikan) yang mencetak prajurit-prajurit kavaleri, 3. Denkavkud yang terletak di Parongpong, Bandung Barat sebagai satuan tempur berkuda, juga sebagai sekolah berkuda atau yang lebih dikenal dengan pendidikan untuk kuda (Remonte) dan 4. Satuan setingkat Batalyon yaitu Detasemen dan Kompi yang tersebar diseluruh pelosok di Indonesia, sebagai satuan tempur berkendaraan tank maupun panser yang bertugas mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Nilareswati, 2009).
Detaseman Kavaleri Berkuda (Denkavkud) berada di Jalan Kolonel Masturi, Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Letak Denkavkud sekitar 15 km dari pusat Kota Bandung dengan ketinggian antara 1.200 s/d 1.400 mdpl. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 23-27 oC dan pada malam hari berkisar antara 17-20 oC (Kurniawan, 2004). Denkavkud memiliki lahan seluas kurang lebih 100 ha, yang diantaranya diperuntukkan sebagai kantor, asrama dan rumah dinas, kandang kuda, lapangan berkuda, lahan pertanian dan pastura untuk kebutuhan pakan kuda. Selain itu juga terdapat beberapa fasilitas penunjang seperti manisi (lapangan indoor) baik sebagai tempat melatih kuda maupun untuk melatih siswa-siswa menunggang kuda, walk trot area, cross country area dan makam kuda.
Populasi kuda di Denkavkud dibagi ke dalam dua tempat yaitu Kompi Kavaleri (Kikav) dan Kompi Peternakan (Kinak). Kuda yang termasuk ke dalam Kikav adalah kuda yang telah lulus remonte dasar untuk kemudian dijadikan sebagai kuda tunggang. Namun, untuk menjaga performans, semua kuda jantan Kikav dikebiri dan kuda betina tidak diperbolehkan bunting. Pengeberian kuda jantan memiliki berbagai tujuan, diantaranya untuk meminimalisasi adanya proses perkawinan liar di luar program yang telah dibuat, untuk memudahkan pelatih dalam mendidik kuda saat remonte dan untuk menghindari kekhawatiran kuda lari dari lintasan ketika melihat kuda betina estrus. Begitupun dengan kuda betina, tidak
(34)
22 diperbolehkan kawin karena jika bunting kuda tersebut tidak dapat digunakan secara optimal sebagai kuda tunggang.
Upaya pembibitan dipusatkan di Kinak dan pengawinan kuda hanya boleh dilakukan oleh karyawan Kinak. Setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis karyawan Kinak melakukan deteksi estrus dan mengawinkan kuda yang sedang estrus dengan pejantan berdasarkan warna bulu. Deteksi estrus sangat penting dilakukan pada kuda, agar perkawinan yang akan dilaksanakan dapat terjadi dengan sempurna. Pendeteksian kuda estrus ini menggunakan kuda jantan yang berfungsi sebagai
teaser dengan sistem teasing pen. Deteksi estrus dilakukan pada pagi hari sebelum kuda betina yang ada dalam kandang dilepaskan di padang penggembalaan atau pastura. Menurut Meadows et al. (2003), teasing sudah banyak dilakukan oleh hampir setiap peternakan. Beberapa faktor penting dalam pendeteksian estrus, diantaranya manajemen, ternak teaser, sistem teasing, sistem penilaian teasing dan beberapa hal lain. Pengawinan berdasarkan warna bulu bertujuan agar anak yang dihasilkan memiliki warna yang polos sebagai syarat menjadi kuda kavaleri.
Teknik pengawinan kuda yang dilakukan di Kinak adalah kawin alam. Menurut Morel (2008), kawin alam merupakan sistem pengawinan yang sangat baik dengan laju kebuntingan tinggi. Kuda pejantan (stud) yang dimiliki Denkavkud saat ini adalah, G. Boliohutu (Kuda G1 Australia), G. Fujiyama (Asal Kazakhtan) dan Sir Tristan (Asal Australia), sedangkan kuda induk berasal dari kuda tunggang yang sudah tidak sesuai untuk dijadikan kuda tunggang lagi ataupun kuda yang tidak pernah lulus remonte. Syarat menjadi kuda induk adalah tidak memiliki cacat fisik, tidak memiliki penyakit yang menurun, memiliki warna yang polos tidak bercorak, dan memiliki umur yang cukup yaitu lebih dari tiga tahun. Masing-masing kuda pejantan yang terdapat di Denkavkud disajikan pada Gambar 2.
Pakan yang diberikan pada kuda di Denkavkud adalah hijauan dan konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah African star grass (Cynodon nlemfluensis) (Gambar 3) dan konsentrat berbentuk pellet dengan merk dagang Vital dan Haras (Gambar 4). Konsentrat Haras digunakan untuk pakan kuda Australia (Thoroughbred), sedangkan konsentrat Vital digunakan untuk kuda lainnya (selain kuda Australia). Frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi, sore, dan malam hari. Pakan tambahan juga diberikan, seperti pada kuda
(35)
23 pejantan setiap setelah kawin diberi telur ayam mentah sebanyak 500 g. Jumlah dan jenis pakan yang diberikan pada kuda di Denkavkud disajikan dalam Tabel 5 dan 6.
Gambar 2. Profil Kuda Pejantan di Denkavkud
Tabel 5. Jumlah dan Jenis Pakan Kuda Australia (Thoroughbred) di Denkvakud
Jenis Kuda Konsentrat* (kg) Rumput (kg) Tambahan** (kg)
Pejantan 4 25 1,7
Induk (Bunting & Laktasi) 4 25 1,7
Remaja/anak 4 8 1,7
Keterangan: *Konsentrat merk dagang Haras **Dedak gandum
a. G. Fujiyama
(36)
24 Tabel 6. Jumlah dan Jenis Pakan Kuda di Denkvakud
Jenis Kuda Konsentrat* (kg) Rumput (kg) Tambahan
Pejantan 4 25 Telur 500 gr
Sedang remonte 4 30 Pastura
Kavaleri 3,5 25 Pastura
Induk (siap kawin, bunting, laktasi)
3,5 25 Pastura
Remaja/anak 3,5 8 Pastura
Keterangan: *Konsentrat merk dagang Vital
Gambar 3. Pakan Hijauan Kuda
Gambar 4. Pakan Konsentrat Kuda
a. African Star Grass b. Pastura
(37)
25 Kuda di Denkavkud terdiri atas kuda tunggang militer dan kuda peternakan. Kuda tunggang adalah kuda yang telah lulus pendidikan tahap remonte dasar sehingga kuda tersebut relatif sudah jinak dan mudah diatur, sedangkan kuda peternakan meliputi kuda yang belum lulus remonte, anak kuda, induk kuda, dewasa betina kuda dan pejantan. Kuda dewasa betina merupakan sebutan untuk kuda yang berumur lebih dari tiga tahun, namun tidak pernah lulus remonte, memiliki cacat atau sifat yang tidak baik sehingga tidak cocok dijadikan sebagai induk. Selain itu, kuda tersebut tidak dimasukkan ke dalam kandang afkir karena umurnya yang masih tergolong muda. Kuda yang masuk kandang afkir adalah kuda tua yang sudah tidak produktif, biasanya berumur lebih dari 20 tahun.
Remonte adalah program pelatihan kuda yang menitikberatkan pada pendayagunaan kuda agar dapat ditunggang dan memiliki kemampuan militer dengan baik. Penyelenggaraan pembinaan dan pendidikan kuda militer di Denkavkud dilakukan dalam dua tahap yaitu remonte dasar (agar memiliki kemampuan tunggang) selama enam bulan (Gambar 5), kemudian remonte lanjutan (agar memiliki kemampuan militer) selama tiga bulan (Gambar 6). Syarat kuda mengikuti
remonte diantaranya memiliki fisik yang baik, sempurna dan tidak cacat, memiliki warna bulu yang polos, umur minimal tiga tahun dan tinggi badan minimal 140 cm.
Materi pendidikan dalam remonte dasar meliputi pengenalan dan pemasangan alat remonte, longeing, pembebanan punggung kuda, pengenalan air, bunyi-bunyian (ledakan), sinar (kilat cahaya), api dan asap, serta melintasi rintangan dasar (kavaleti). Materi yang dipelajari saat remonte lanjutan adalah melintasi rintangan (rintangan buatan dari bambu, api, dan alam), pengenalan keramaian (siang dan malam hari), pelatihan baris-berbaris, penanganan huru-hara, tiarap kuda, ketahanan, renang, dan pembiasaan gerakan taktik kavaleri (Nilareswati, 2009).
(38)
26 Gambar 6. Teknik Pelatihan Kuda Remonte Lanjutan
Kuda Kavaleri Denkavkud
Detasemen Kavaleri Berkuda Pussenkav TNI AD berawal sejak adanya kuda hasil rampasan selama perang kemerdekaan pada akhir Desember 1949 dan awal tahun 1950 di pulau Jawa. Sebanyak 20 ekor kuda diperoleh dari Eks KNIL yang ahli merawat serta mendidik kuda. Komandan Pusat Kavaleri, Letkol Kav K.G.P.H. Soerjo Soejarso mengusulkan kepada KSAD sebagai langkah pertama untuk membentuk satu Eskadron Kavaleri Berkuda yang didalamnya termasuk Remonte
Kuda, disamping Pasukan Kavaleri Mekanis yang telah ada sebagai bagian dari kesenjataan Kavaleri Angkatan Darat. Pimpinan AD kemudian mengeluarkan instruksi KSAD No.18/KSAD/Instr/1953 tanggal 18 Maret 1953 tentang satuan Eskadron Kavaleri Berkuda dan ditetapkan sebagai hari jadi Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) (Pusat Kesenjataan Kavaleri, 2010).
Kuda yang berukuran tinggi serta berkualitas baik sangat dibutuhkan untuk keperluan olahraga berkuda dan militer, sehingga diusahakan pemuliaan kembali dari kuda yang ada. Pada tahun 1957, Pusat Kavaleri AD mengadakan pembelian kuda baru dari Australia sebanyak 178 ekor untuk menambah jumlah kuda, yang dipimpin oleh Kapten Kav Karepoan (Pusat Kesenjataan Kavaleri, 2010). Pada tahun 1958 dan tahun-tahun berikutnya, kuda unggul didatangkan dari Australia, Eropa, dan Pakistan untuk kemudian disilangkan dengan kuda lokal atas upaya pimpinan Angkatan Darat serta pemerintah (Soehardjono, 1990).
Menurut Soehardjono (1990), antara tahun 1955-1970 pemerintah telah mendatangkan kuda jantan dan betina asal Australia yang kemudian dibagi-bagikan kepada TNI AD dan pemerintah daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan
(39)
27 Sumatera Barat. Kuda milik Pussenkav AD dan Angkutan AD, yang dikenal diantaranya Dark Chevallier, Jarada, Satria, Prabu Hario, Farouk, Tiger dan
Kantong. Namun, kebanyakan kuda keturunannya tidak berhasil sebagai kuda pacu, tetapi lebih cenderung sebagai kuda tunggang. Kemungkinan pejantan tersebut bukan dari darah 100% pacu, melainkan halfbred (50% kuda pacu).
Kemudian pada tahun 1967 dilakukan pembelian kuda baru dari Pakistan sebanyak 80 ekor, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kav Pandu Subono (Pusat Kesenjataan Kavaleri, 2010). Menurut Soehardjono (1990), pada tahun 1983 Panglima Angkatan Darat telah menghadiahkan dua ekor kuda pejantan jenis luar negeri (tunggang), berasal dari Peternakan Kuda Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD di Parongpong, Bandung ke berbagai daerah dengan harapan agar dihasilkan jenis baru yang berkualitas baik. Pejantan Kantong ditempatkan di Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam dan Kabilah Boy ditempatkan di Kabupaten Solok.
Saat ini, kebanyakan kuda yang berada di Denkavkud merupakan hasil persilangan antara kuda lokal Priangan dengan pejantan yang didatangkan dari luar negeri. Pejantan tersebut sengaja didatangkan dari Australia, Kazakstan dan Arab. Pada saat pemerintahan Presiden Soeharto, tepatnya tanggal 16 Oktober 1996 didatangkan dua ekor pejantan dari Kazakstan, namun yang masih hidup hingga saat ini hanya satu ekor yang bernama G. Fujiyama. Kemudian pada tanggal 27 November 2008 pemerintah mendatangkan kuda Thoroughbred dari Australia sebanyak delapan ekor yaitu dua ekor pejantan (Monaco dan Sir Tristan), tiga ekor induk, satu induk bunting dan dua anak kuda. Namun, saat ini sudah dua ekor kuda yang mati, satu ekor pejantan (Monaco) dan satu ekor induk.
Selain digunakan sebagai kuda militer, Kavaleri AD juga menggunakan kuda untuk mengikuti berbagai perlombaan olahraga pacuan kuda, seperti pada tahun 2005 mengikuti kejuaraan Trengganu Endurance RAID CII 120 km Seri I dan II di Malaysia. Sejak tahun 2005 hingga saat ini kuda Kavaleri TNI-AD masih mengikuti kejuaraan berkuda Asia Pasifik Eventing di Australia. Pada tahun 2006 juga mengikuti ASIAN GAMES di Doha Qatar dalam cabang olahraga berkuda (Pusat Kesenjataan Kavaleri, 2010) dan saat PORDA (Pekan Olahraga Daerah) Jawa Barat 2010, cabang pertandingan olahraga berkuda diselenggarakan di Denkavkud, Parongpong, Bandung.
(40)
28 Inbreeding Kuda Denkavkud
Inbreeding adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok tempat ternak tersebut berada (Noor, 2008). Kedua individu yang dikawinkan secara
inbreeding tersebut akan mempunyai moyang bersama pada beberapa generasi ke atas, sehingga informasi mengenai silsilah keturunannya sangat diperlukan. Sistem pencatatan silsilah di Denkavkud sudah sangat baik. Identitas asal keturunan ditulis dengan rinci dalam Buku Register Kuda (BRK) sampai delapan generasi. Menurut Cervantes et al. (2007), nilai koefisien inbreeding bergantung pada kualitas informasi silsilah khususnya pada generasi awal yang terdaftar.
Koefisien Inbreeding
Pengukuran derajat inbreeding biasanya menggunakan indikator nilai koefisien inbreeding yang dapat dihitung dengan dua cara, yakni ditilik dari sudut individu dan dari sudut populasi (Elrod dan Stansfield, 2002). Perhitungan nilai koefisien inbreeding ini dihitung dengan metode analisis silsilah yaitu dengan menelusuri leluhur dari induk dan pejantan. Jika tidak memiliki moyang bersama, individu tersebut bukanlah hasil perkawinan sedarah, sehingga nilai Fx = 0. Namun, jika memiliki moyang bersama, ditelusuri semua silsilah dari mulai orangtua individu tersebut, lalu menuju moyang bersama dan kembali lagi ke orangtua yang lain dari individu tersebut (Allendorf dan Luikart, 2008).
Data silsilah yang terdapat dalam BRK sudah berupa diagram alokade (Gambar 7). Data silsilah tersebut kemudian dianalisis untuk mencari moyang bersama dan selanjutnya dibuat diagram panah (Gambar 8). Pembuatan diagram panah harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Nama suatu individu hanya boleh disebutkan satu kali (tidak boleh diulang) dan untuk memudahkan analisis, diperbolehkan untuk menggunakan inisial dari nama individu tersebut. Nama yang digunakan dalam perhitungan ini menggunakan insial huruf pertama kuda tersebut. Jika diagram panah sudah berhasil dibuat, selanjutnya pembuatan diagram alur berdasarkan jalur lintasan yang terdiri dari moyang bersama dari tetua yang inbred. Kontribusi dari masing-masing alur dihitung dengan rumus untuk mendapatkan nilai koefisien inbreeding (Tabel 7, 8 dan 9). Berikut adalah contoh perhitungan dari B. Raflesia.
(41)
29 Gambar 7. Bentuk Alokade Silsilah B. Raflesia
P. 90-08 B. Anggrek Jragem 149 cm P. 75-21 G. Ciremai Jragem 154 cm P. 79-03 B.Lembana Jragem 134 cm P.07-09 B. Raflesia Jragem 134 cm P.93-30 G.Boliohutu Hitam 155 cm Revelrex 279/KTO/ LN/1985 P.84-14 B. Lasiah Dawuk 150 cm A. 175 108 M. 62-79 P. 67-04 P.70-15 Domingus Dawuk P.79-09 Dirgahayu Hitam A.55-01 Chevaliere Hitam P.59 -04 Napas A.55-01 Chevaliere P.60-06 Hitam A.54-20 Hitam A.139 Merah A.175 Farouk A.177 Merah P. 61-01 G. Kantong A. 55-01 Chevalier P. 61-05 Merah P. 73-09 Hitam A. 55-01 A. 125
(42)
30 Gambar 8. Diagram Panah B. Raflesia
Tabel 7. Diagram Alur B. Raflesia
Tabel 8. Diagram Alur B. Lasiah
Tabel 9. Diagram Alur B. Anggrek
Berdasarkan hasil analisis, Jika terdapat tetuanya yang dinyatakan inbred, maka ditambahkan sebagai data sampel, sehingga jumlah sampel dari Kinak menjadi 55 ekor kuda dan jumlah sampel dari Kikav menjadi 24 ekor kuda. Nilai koefisien
inbreeding masing-masing individu di Kinak dan Kikav berdasarkan hasil perhitungan seperti di atas disajikan pada Tabel 10 dan 11.
Lintasan n Kontribusi
R B – L – Di – Che – Ci – A R 6 (½)6 = 0,016 R B – L – Di – Che – Lm – A R 6 (½)6 = 0,016 R B – L – Do – K – Che – Ci – A R 7 (½)7 = 0,008 R B – L – Do – K – Che – Lm – A R 7 (½)7 = 0,008 R B – L – Do – P.61 – F – P.60 – Lm – A R 8 (½)8 = 0,004
Fx 0,051
Lintasan n Kontribusi
L Do – K – Che– Di L 4 (½)4 = 0,062
L Di – P.73 – Li – Che– K – Do L 6 (½)6 = 0,016
Fx 0,078
Lintasan n Kontribusi
A Ci – Che – Lm A 3 (½)3 = 0,125
Fx 0,063
Ci L
Do K Che
Di
A B R
P.60
Lm F
(1)
58
Fx B. SaluyuFx B. Kasmaran Fx B. Gelenye
Fx B. Kemuning
Fx B. Magiwi
s). B. Kasmaran
t). B. Kemuning
Lintasan
n
Kontribusi
S Me – P.64 – Che– L – P.73 – J S
6
(½)
6=
0,016 S Me – K – Che – L– P.73 – J S
6
(½)
6=
0,016Fx
0,032
Lintasan
n
Kontribusi
G Ci – Che – P.64 –Me – S – T G
6
(½)
6=
0,016Fx
0,016
Lintasan
n
Kontribusi
Ks B – L – Do – K – Me – S – T – G Ks
8
(½)
8=
0,004 Ks B – L – Do – K – Che –P.64 – Me – S – T – G Ks
10
(½)
10=
0,001 Ks B – L – Do – K – Che –Ci – G Ks
7
(½)
7=
0,008 Ks B – L – Do – K – Che –L – P.73 – J – S – T – G Ks
11
(½)
11=
0,0005 Ks B – L – Di – Che – Ci –G Ks
6
(½)
6=
0,016 Ks B – L – Di – Che – P.64– Me – S – T – G Ks
9
(½)
9=
0,002 Ks B – L – Di – Che – L –P.73 – J – S – T – G Ks
10
(½)
10=
0,001 Ks B – L – Di – P.73 – J –S – T – G Ks
8
(½)
8=
0,004Fx
0,036
Lintasan
n
Kontribusi
K B – L – Do – M – PK
5
(½)
5=
0,031 K B – L – Do – K –Mw – M – P K
7
(½)
7=
0,008 K B – L – Di – Che –K – Do – M – P K
8
(½)
8=
0,004 K B – L – Di – Che –K – Mw – M – P K
8
(½)
8=
0,004Fx
0,047
Lintasan
n
Kontribusi
M Do – K – Mw M 3
(½)
3=
0,125Fx
0,125
L
Do
K
Che
Di
P.64
Ci
G
B
Ks
Me
S
T
P.73
J
L
L
Do
K
Che
Di
Mw
M
P
B
K
(2)
59
Fx B. BakungFx B. Oxytropis
Fx B. Edelwis
u). B. Bakung
v). B. Oxytropis
Lintasan
n
Kontribusi
Bk B – L – Di – P.73 – Li – Kr – CB – P Bk 8
(½)
8=
0,004 Bk B – L – Do – K – Che – Li – Kr – CB – P Bk 9(½)
9=
0,002 Bk B – L – Di – Che – Li – Kr – CB – P Bk 8(½)
8=
0,004 Bk B – L – Di – P.73 – J – P.75 – G – P Bk 8(½)
8=
0,004 Bk B – L – Do – P.61 – F – P.63 – P.75 – G – P Bk 9(½)
9=
0,002Fx
0,016
Lintasan
n
Kontribusi
E Y – Che – K – M –D – S E
6
(½)
5=
0,031 E Y – P.61 – Che – K– M – D – S E
7
(½)
7=
0,008Fx
0,023
Lintasan
n
Kontribusi
O B – L – Do – K – M – D – S – E O 8
(½)
8=
0,004 O B – L – Do – K – Che – Y – E O 7(½)
7=
0,002 O B – L – Do – K – Che – P.61 – Y – E O 8(½)
8=
0,004 O B – L – Di – Che – Y – E O 6(½)
6=
0,004 O B – L – Di – Che – P.61 – Y – E O 7(½)
7=
0,002 O B – L – Di – P.73 – J – D – S – E O 8(½)
8=
0,002 O B – L – Di – P.73 – Li – Che – Y – E O 8(½)
8=
0,002 O B – L – Di – P.73 – Li – Che –P.61 – Y – E O 9(½)
9=
0,002Fx
0,049
K
Do
L
B
Bk
Che
Di
Li
P.73
Kr
CB
P
F
P.61
P.63
P.75
G
J
M
P.73
P.61
Y
E
B
O
L
Do
K
Che
Di
Li
(3)
60
Fx B. PanikiFx B. Seruni
Fx B. Merbabu
Fx B. Suji
Lampiran 5. Perhitungan nilai Koefisien
Inbreeding
Kuda di Kikav
a). B. Paniki
b). B. Seruni
c). G. Merbabu
Lintasan
n
Kontribusi
P B – L – Do – Dn –Bd – G P
6
(½)
6=
0,016 P B – L – Do – K – E –M – G P
7
(½)
7=
0,008 P B – L – Di – Che – K– E – M – G P
8
(½)
8=
0,004 P B – L – Di – Che –Ci – M – G P
7
(½)
7=
0,008 P B – L – Di – Che –P.63 – Dn – Bd – G P
8
(½)
8=
0,004 P B – L – Di – Che – K– Do – Dn – Bd – G P
9
(½)
9=
0,002Fx
0,041
Lintasan
n
Kontribusi
S G – A – SS – T S 4(½)
4=
0,031Fx
0,063
Lintasan
n
Kontribusi
M B – L – Do – K – Kr –CB – S M
7
(½)
7=
0,008 M B – L – Do – K – Che– Li – Kr – CB – S M
9
(½)
9=
0,002 M B – L – Do – K – Che– P – S M
7
(½)
7=
0,008 M B – L – Do – P.61 – F– G – P – S M
8
(½)
8=
0,004 M B – L – Di – Che – K– Kr – CB – S M
8
(½)
8=
0,004 M B – L – Di – Che – Li– Kr – CB – S M
8
(½)
8=
0,004 M B – L – Di – Che – P– S M
6
(½)
6=
0,016Fx
0,045
Lintasan
n
Kontribusi
S CB – Kr – K – Che
– P S
5
(½)
5=
0,031 S CB – Kr – Li – Che– P S
5
(½)
5=
0,031Fx
0,063
P
B
M
G
E
Bd
Dn
Ci
P.63
L
Do
K
Che
Di
SS
A
T
G
S
L
Do
K
Che
Di
P.61
CB
Kr
S
B
M
Li
P
F
(4)
61
Fx B. VieraFx B. Tongkeng
Fx B. Mega
Fx B. Redoura
Fx B. Clincing Fx B. Aster Fx B. Clincing
Fx B. Suplir
Fx B. P.63
d). G. Viera
e). G. Redoura
f). B. Suplir
Lintasan
n
Kontribusi
V B – L – Do – K – Che– Ci – T V
7
(½)
7=
0,008 V B – L – Do – K – Che– M – Mr – T V
8
(½)
8=
0,004 V B – L – Do – K – Che– P.62 – M – Mr – T V
9
(½)
9=
0,002 V B – L – Di – Che – Ci– T V
6
(½)
6=
0,016 V B – L – Di – Che – M– Mr – T V
7
(½)
7=
0,008 V B – L – Di – Che –P.62 – M – Mr – T V
8
(½)
8=
0,004Fx
0,041
Lintasan
n
Kontribusi
T Ci – Che – M – Mr T 4
(½)
4=
0,063 T Ci – Che – P.62 – M –Mr T
5
(½)
5=
0,031Fx
0,094
Lintasan
n
Kontribusi
M Che – P.62 M 2(½)
2=
0,250Fx
0,250
Lintasan
n
Kontribusi
- -
-Fx
0
Lintasan
n
Kontribusi
C Ci – A C 2(½)
2=
0,250 C Ci – Che – K – M –A C
5
(½)
5=
0,031Fx
0,281
Lintasan
n Kontribusi
A Ci – Che – K – M A 4(½)
4=
0,063Fx
0,063
Lintasan
n
Kontribusi
- -
-Fx
0
Lintasan
n Kontribusi
P.63 A.72 – Che P.63 2(½)
2=
0,250Fx
0,250
C
F
R
A
M
K
Ci
Che
Do
D
P
F
S
Che
K
A.72
P.63
L
Do
K
Che
Di
Mr
T
B
V
P.62
M
(5)
62
Fx B. KandakaFx B. Sikas Fx B. Nirwana
Fx B. Rampai
g). G. Kandaka
Lintasan
n
Kontribusi
K B – L – Do – Rn – W – N K 6
(½)
6=
0,016 K B – L – Do – K – M – Rn – W – N K 8(½)
8=
0,004 K B – L – Do – K – M – D – Sm – R – N K 9(½)
9=
0,002 K B – L – Do – K – M – D – Sm – W – N K 9(½)
9=
0,002 K B – L – Do – K – Che – P.64 – M – Rn – W – N K 10(½)
10=
0,001 K B – L – Do – K – Che – P.64 – M – D – Sm – R – N K 11(½)
11=
0,0005 K B – L – Do – K – Che – P.64 – M – D – Sm – W – N K 11(½)
11=
0,0005 K B – L – Do – K – Che – P.63 – Si – R – N K 9(½)
9=
0,002 K B – L – Do – K – Che – P.67 – P.73 – J – D – Sm – R – N K 12(½)
12=
0,0002 K B – L – Di – Che – P.64 – M – Rn – W – N K 9(½)
9=
0,002 K B – L – Di – Che – P.64 – M – D – Sm – R – N K 10(½)
10=
0,001 K B – L – Di – Che – P.64 – M – D – Sm – W – N K 10(½)
10=
0,001 K B – L – Di – Che – P.63 – Si – R – N K 8(½)
8=
0,004 K B – L – Di – Che – P.67 – P.73 – J – D – Sm – R – N K 11(½)
11=
0,0005Fx
0,036
Lintasan
n
Kontribusi
Si K – Che – P.63 Si 3(½)
3=
0,125Fx
0,125
Lintasan
n
Kontribusi
N W – Sm – R N 3(½)
3=
0,125 N W – Rn – M – D – Sm– R N
6
(½)
6=
0,016 N W – Rn – M – K – Si –R N
6
(½)
6=
0,016 N W – Rn – M – P.64 –Che – P.63 – Si – R N
8
(½)
8=
0,004 N W – Rn – M – P.64 –Che – K – Si – R N
8
(½)
8=
0,004 N W – Rn – Do – K – Si– R N
6
(½)
6=
0,016 N W – Rn – Do – K –Che – P.63 – Si – R N
8
(½)
8=
0,004Fx
0,184
Lintasan
n
Kontribusi
R Sm – D – M – K – Si R
5
(½)
5=
0,031 R Sm – D – M – K –Che – P.63 – Si R
7
(½)
7=
0,008 R Sm – D – M – P.64 –Che – P.63 – Si R
7
(½)
7=
0,008 R Sm – D – M – P.64 –Che – K – Si R
7
(½)
7=
0,008Fx
0,055
Si
M
Rn
W
N
B
K
L
Do
K
Che
Di
R
Sm
D
P.64
J
P.73
P.67
(6)
63
Fx B. RinduyFx B. Simles
h). B. Simles
Lintasan
n
Kontribusi
Rn M – K – Do Rn 3
(½)
3=
0,125 Rn M – P.64 – Che – K – Do Rn 5(½)
5=
0,031Fx
0,156
Lintasan
n
Kontribusi
S B – L – Do – K – Si – R S 6