dinaikkan hingga 200 mg selama tak ada efek samping. Lekopenia, anemia, trombositopenia adalah efek samping Azatioprin yang harus dipantau 2 minggu sekali dalam 6 minggu pertama dan selanjutnya sebulan sekali. Evaluasi terapi dilakukan setelah 4-6 bulan.
Secara teoritis pemberian kolhisin bertujuan untuk menghambat pembentukan kolagen atau fibrosis. Efektivitas pemberian kolhisin pada FPI, hingga kini belum dapat dibuktikan, namun efek samping berat kolhisin juga relatif jarang. Oleh karena itu, kolhisin tetap
dicoba diberikan pada kasus-kasus kegagalan pemberian kortikosteroid dengan dosis oral 1-2x0,6 mg. pemberian kolhisin bisa dikombinasi atau tidak dengan imunosupresan.
2.6.2 Sarkoidosis paru
Sarkoidosis adalah penyakit inflamasi multiorgan yang etiologiantigen penyebabnya belum diketahui. Antigen yang telah diproses oleh makrofag dipresentasikan kepada sel limfosit T sehingga teraktivasi dan mengeluarkan interleukin-1 yang akan mengaktifkan
limfosit CD4 untuk mengeluarkan interleukin-2, sehingga terjadi : 1 kemotaksis, yang menarik sel limfosit dari sirkulasi ke tempat pembentukan granuloma, 2 mitogenesis, stimulasi sel limfosit T sehingga berproliferasi di tempat pembentukan granuloma.
Kompartementalisasi sel-sel inflamasi pada paru mengakibatkan gambaran limfositopenia pada darah tepi dan CD4 lymphocyte-rich alveolitis alveolitis limfositik.
Dari semua organ, sarkodiosis paru dan kelenjar limfe intratoraks adalah yang tersering. Berbeda dengan granuloma karena tuberkulosis, granuloma pada sarkoidosis tidak ditemukan perkijuan. Penyebab sarkoidosis sampai saat ini belum diketahui dengan
jelas. Diduga sarkodiosis disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus. Faktor genetik nampaknya berperan kareba sarkoidosis sering ditemukan pada kelompok kluster keluarga. Kembar monozigot sering terkena secara bersama-sama, daripada kembar heterozigot.
Faktor gangguan pengaturan sistem imun nampaknya berperan karena antinuclear antibody ANA, rheumatoid factor RF, hipergamaglobulinemia, dan berbagai kompleks imun bisa ditemukan pada sarkodiosis. Faktor lingkungan termasuk infeksi diduga
sebagai pencetus sarkoidosis karena ditemukan kecenderungan pengelompokkan kejadian pada waktu atau musim yang sama, juga pekerjaan yang sama. Walaupun hingga kini belum ada yang terbukti, di antara infeksi yang dicurigai adalah mikobakteria dan
berbagai virus. Sebagaimana pada infeksi tuberkulosis ada uji kulit dengan tunerkulin, pada sarkoidosis ada uji kulit Kveim-Stilzbach. Pada uji ini
disuntikkan suspensi jaringan sarkoid secara intradermal. Setelah 1-14 minggu, bila positif akan terbentuk papul keras yang bila dibiopsi akan menunjukkan adanya granuloma. Sayangnya reagen untuk uji ini tida luas diperjualbelikan.
Dua pertiga pasien sarkoidosis tidak bergejala dan ditemukan secara tidak sengaja ketika foto rontgen toraks. Gejala tersering adalah batuk dan sesak napas. Batuk umumnya tidak produktif dan bisa berat. Sesak napas biasanya progresif perlahan-lahan. Bila batuk
produktif biasanya suda terjadi fibrokistik yang merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan bronkiektasis dan infeksi berulang.
Pada sarkoidosis bisa terjadi keadaan akut dimana terjadi eritema nodosum, dan adenopati hilus yang disebut dengan sindrom Sjorgen yang biasanya disertai dengan demam, poliartritis, uveitis. Eritema nodosum yang terjadi biasanya dalam bentuk nodul
merah, nyeri, berdiameter beberapa sentimeter. Poliartritis seringkali menyerang kaki, mata kaki, lutut dan terkadang mengenai pergelangan tangan dan siku.
Pada sarkoidosis dapat ditemukan alergi kulit yang menyebabkan negatif palsu pada uji yang didasarkan pada hipersensitivitas tipe lambat, termasuk uji tuberkulin.
Terapi sarkoidosis masih mengandalkan kortikosteroid hingga sekarang. Pada sarkoidosis paru, prednison dapat diberikan 40 mghari selama 2 minggu lalu diturunkan 5 mghari setiap 2 minggu hingga mencapai 15 mghari. Dosis 15 mghari dipertahankan
hingga 6-8 bulan, lalu diturunkan lagi 2,5 mghari tiap 2-4 minggu sampai obat dapat dihentikan. Selama dosis obat diturunkan bertahap, evaluasi terhadap kemungkinan kekambuhan harus selalu dilakukan.
Sarkoidosis fibrokistik dapat berkomplikasi bronkiektasis, misetoma dan hemoptisis. Aspergilus fumigatus adalah koloni yang tersering ada, akan tetapi umumnya akan sembuh sendiri dan tak memerlukan terapi anti jamur. Ada yang menganjurkan pemberian
steroid dosis rendah dan antibiotik kronik dengan menggilirkan jenisnya untuk mengurangi gejala bronkiektasis dan hemptisis. Sarkoidosis paru dapat menyebabkan korpumonale. Terapi yang diberikan pada keadaan ini mencakup suplementasi oksigen,
diuretik dan bronkodilator. Antibiotik harus segera diberikan bila terdapat infeksi bronkitis atau bronkiektasis yang mencetuskan kekambuhan.
Pada kasus refrakter terhadap steoid, metotreksat menjadi alternatif dengan cara pemberian dosis rendah sekali seminggu. Azatioprin, klorambusil, dan siklofofamid telah dicoba untuk sarkoidosis dengan hasil yang tak menentu. Penelitian dengan
siklosporin telah terbukti mengecewakan dalam terapi sarkoidosis. Transplantasi paru atau transplantasi jantung-paru menjadi alternatif terbaru yang masih harus dikembangkan protokolnya bagi
sarkoidosis paru lanjut. Pada sedikit kasus, granuloma masih bisa timbul kembali pada paru yang telah ditransplantasi.
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager
] plugin from www.ProfProjects.com | Page 1014 |
2.6.3 Pneumonitis hipersensitivitas HP atau extrinsic allergic alveolitis EAA suatu sindrom akibat inhalasi antigen berulang terutama partikel organik seperti bakteri
termofilik, protein avian, jamur dan bahan kimia. Apabila terjadi interaksi dengan antigen maka akan terdapat kompleks imun yang terdeposisi di paru reaksi Arthus dan terdapat produksi antibodi IgG dan IgM di paru. Pembentukan granuloma terjadi akibat
infiltrasi makrofag dan limfosit ke dalam dinding bronkiolus dan dinding alveoli. Pneumonitis hipersensitivitas ditandai dengan kelainan yang terjadi pada suatu kelompok kluster, orang yang memiliki lingkungan
atau pekerjaan yang sama. Oleh karena itu Pneumonitis hipersensitivitas bukanlah reaksi idiosinkrasi orang tertentu akibat paparan zat tertentu. Peradangan paru akibat masuknya zat ke saluran napas secara individual, seperti misalnya hipersensitivitas pada suatu
orang tertentu akibat cairan bilas bronkus saat bronkoskopi, tidak digolongkan pada Pneumonitis hipersensitivitas. Beberapa contoh Pneumonitis hipersensitivitas antara lain adalah bagasosis di Lousiana Amerika Serikat, penyakit paru operator mesin mesin
operators lung, penyakit paru petani farmers lung disease= FLD, penyakit penggemar burung birds fanciers disease= BFD di Eropa dan Amerika, penyakit peternak merpati pigeon breader disease=PBD di Meksiko dan Amerika Serikat, paru ventilator,
Pneumonitis hipersensitivitas musim panas Jepang Japanese Summer ? type hypersensitivity Pneumonia Gambaran klinik PH bisa akut atu kronik. Pada kondisi akut, sesak napas, batuk kering, mialgia, menggigil, diaforesis, sakit kepala
dan malaise. Dapat timbul 2-9 jam pasca paparan. Puncak gejala akan tampak antara 6-24 jam dan akan berkurang sendiri tanpa terapi umumnya dalam 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai demam, takipneu, ronki di kedua basal dan bisa sianosis.
Sebagaimana umumnya pada PPI, pada PH akut gambaran radiologi didominasi oleh gambaran radiodensitas nodular tidak berbatas tegas, dengan daerah ground glass atau bahkan konsolidasi. Sedangkan pada PH kronik, garis-garis radiodensitas yang
menggambarkan fibrosis lebih menonjol dan bercampur dengan bayangan nodular. Gambaran ini terutama ada di lobus atas. Pada CT scan terutama HRCT, pasien dengan PH kronik akan menunjukkan nodul sentrilobular multiple dengan diameter 2-4 mm
dengan daerah-daerah ground glass. Daerah ground glass ini lebih mendominasi di lobus bawah. Berbeda dari sarkoidosis, nodul pada PH tidak menempel pada pleura atau berkas bronkovaskular.
Bisa ditemukan lekositosis dengan netrofilia dan limfopenia di darah tepi. Pada bilasan brunkus terdapat netrofilia. Walaupun disebut hipersensitivitas atau reksi alergi tetapi pada PH terdapat eosinofilia atau peningkatan IgE. Tanda peradangan non spesifik
seperti LED atau CRP bisa meningkat. Terdapat peningkatan IgG, IgM dan IgA terhadap zat yang menimbulkan perangsangan di dalam serum dan cairan bronkus.
Untuk menegakkan diagnosis PH digunakan kriteria mayor dan minor tabel 1. Diagnosis PH tegak bila semua kriteria mayor harus terpenuhi dan minimal terdapat 4 kriteria minor serta penyakit lain yang serupa telah disingkirkan.
Jenis PH dan lokasi geografis PH membedakan prognosis dari PH. Misalnya penyakit peternak merpati di Eropa memiliki prognosis yang baik, tetapi di Meksiko penyakit yang sama memiliki kematian dalam 5 tahun mencapai 30 .
Kriteria mayor Kriteria minor
- Ada bukti paparan antigen yang sesuai, baik dari anamnesis maupun pemeriksaan antibodi serum - Gejala yang sesuai dengan PH
- Kelainan radiologi atau histologi yang sesuai PH
- Ronki kedua basal paru - Kapasitas difusi paru menurun
- Hipoksemia arteri, baik karena latihan atau saat istirahat
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager
] plugin from www.ProfProjects.com | Page 1114 |
- Kelaianan histologi paru yang sesuai dengan PH - Adanya peningkatan suhu, lekosit, perubahan radiologi atau peningkatan gradient alveolar-arteri ditandai dengan
penurunan PaO2 setelah adanya paparan alamiah dengan antigen yang diduga - Limfositosis dari cairan lavase bronkus
Penatalaksanaan penyakit ini dimulai dari menjauhkan pasien dari paparan. Bila belum terjadi fibrosis yang luas, kelainan umumnya akan membaik dalam beberapa hari hingga sebulan. Balum ada penelitia formal akan penggunaan steroid, tetapi prednion atau
prednisolon sering digunakan pada PH dengan dosis 40-60 mg hari sampai 2 minggu lalu diturunkan bertahap dalam waktu 1-2 bulan. Penggunaan steroid tampaknya mempercepat pengurangan peradangan aktif sehingga perbaikan klinis lebih cepat. Tetapi
steroid tidak berguna pada proses kronis fibrosis yang sudah terjadi, sehingga setelah 6 bulan, saat tanpa steroid pun peradangan aktif sudah berkurang, keadaan paru tidak akan berbeda antara yang mendapat steroid dan yang tidak mendapat steroid
2.6.4 Pneumonitis radiasi