QS pada bakteri Gram-negatif QS pada bakteri Gram-positif

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS tida, dihasilkan oleh bakteri Gram-positif, umumnya digunakan un- tuk komunikasi dalam spesies yang sama intraspecies communication, among Gram-positive bacteria , dan juga dikelompokan ke dalam AI-1; iii furanocyl borate diester, dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies inter- species communication baik sesama Gram-negatif atau Gram-positif atau antara Gram-positif dengan Gram-negatif dan sebaliknya, AI ini dikelompokan ke dalam AI-2; dan iv autoinducer-3 AI-3, struk- turnya belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan epinephrine suatu sistem sinyal sel-inang mamalia, AI-3 dilaporkan terdapat pada Eschericia coli O157:H7. 10,11,12 Selain itu, ada juga sistem AI yang lain yang belum jelas struktur dan mekanismenya. 7 Sejumlah contoh AI disajikan pada Gambar 1. 13 Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser AI dari beberapa spesies bakteri: a be- berapa turunan acyl-homoserine lactone AHL dari sejumlah bakteri Gram-negatif; b oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; c g-butryolactones dari Strep- tomyces griseus; dan d AI -2 dari Vibrio harveyi dan Salmonella typhymurium 13 mekanisme Umum Quorum Sensing Ada tiga komponen penting dalam pengaturan QS pada bakteri yaitu i sintesa molekul sinyal atau sintesa AI, ii akumulasi molekul sinyal, dan iii pengenalan molekul sinyal. 14

1. QS pada bakteri Gram-negatif

QS pada bakteri Gram-negatif melibatkan dua komponen gen protein pengatur yaitu protein R dan protein AI. Molekul sinyal atau AI yang diproduksi oleh sel-sel secara individu tidak ber- pengaruh apa-apa terhadap transkripsi gen target, baru akan berpengaruh jika telah mencapai jumlah minimal tertentu men- capai quorum tertentu. Dengan kata lain, jika densitas populasi sel rendah maka konsentrasi AI yang dihasilkan juga rendah, pada kondisi non-quorum ini konsentrasi AI belum cukup untuk mengaktifkan protein R, sehingga akan terjadi proses akumulasi AI yang sejalan dengan penambahan jumlah populasi bakteri. Akan tetapi jika populasi atau densitas sel telah mencapai jumlah minimal atau quorum tertentu, maka AI yang dihasilkan juga akan cukup untuk mengaktifkan protein R, pada kondisi quorum ini, AI akan membentuk kompleks dengan protein R, kompleks AI- protein R ini akan mengaktifkan terjadi transkripsi dan translasi gen pada gen target Gambar 2. 6 Contoh umum QS pada bakteri Gram-negatif adalah proses bioluminescence pada V. fischeri Gam- bar 3. 15 Gambar 2. Mekanisme QS pada bakteri Gram-negatif 6 Gambar 3. Mekanisme QS pada Vibrio fischeri 15

2. QS pada bakteri Gram-positif

Berbeda dengan bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif meng- gunakan senyawa oligopeptida sebagai sinyal komunikasi. 13 Selain itu juga melibatkan dua komponen sensor berupa histidin kinase yang terikat pada membran sel, sensor histidin kinase tersebut ber- fungsi sebagai reseptor. 13 Sebagai contoh, QS pada Staphylococcus aureus Gambar 4. 13 QS pada S. aureus diatur oleh sinyal komunika- si yang disebut autoinducing peptide atau AIP dan dua sensor kinase berupa protein AgrB dan AgrC, yang masing-masing dikodekan oleh gen agrB dan agrC. Gen argD akan mengekspresikan protein AgrD, protein AgrD ini diekspor keluar membran melalui sensor kinase AgrB pada membran, selain itu protein AgrB juga akan me- nambahkan cincin thiolactone pada AgrD dan memodifikasi pro- tein tersebut sehingga membentuk autoinducing peptide AIP yang merupakan peptida siklik. Selanjutnya AIP akan dikenali oleh sensor kinase kedua yaitu AgrC sehingga membentuk kompleks AgrC-AIP. Kompleks AgrC-AIP akan memfasilitasi terjadinya fos- forilasi pada protein AgrA sehingga terbentuk AgrA~P, akibatnya AgrA berada dalam keadaan aktif. AgrA~P akan menginduksi terekspresinya gen regulator RNA yang disebut RNAIII. RNAIII ini akan menekan ekspresi faktor-faktor pelekatan sel dan akan menginduksi ekspresi faktor-faktor sekresi. AgrA~P atau AgrA yang teraktivasi ini juga akan menginduksi ekspresi gen agrBDCA. Proses ini akan meningkatkan jumlah AIP sejalan dengan pertam- bahan jumlah sel sehingga membentuk suatu quorum. 13 24 Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS Gambar 4. Mekanisme QS pada bakteri Gram-positif, Staphylococcus au- reus. P2 dan P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA dan RNAIII 13 3 QS yang melibatkan AI-2 QS yang melibatkan AI-1 AHSL dan oligopeptida terjadi pada kebanyakan bakteri yang sama spesiesnya. Akan tetapi AI-1 ti- dak cukup memadai jika bakteri dalam kondisi multispesies atau dalam komunitas tertentu yang terdiri dari berbagai spesies yang berbeda. 12 Sejumlah bakteri baik Gram-negatif ataupun Gram-posi- tif, memiliki tambahan sinyal komunikasi lain yaitu AI-2. Berbeda dengan AI-1 yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar spe- sies yang sama, AI-2 ini berfungsi sebagai alat komunikasi antar spesies yang berbeda jenis. Bagi bakteri yang hidup dalam suatu komunitas populasi yang beragam, misalnya pada multi-spesies bio- films , AI-2 tidak hanya berguna untuk merespon akibat perubahan jumlah densitas pada spesies yang sama, akan tetapi juga dapat di- gunakan untuk merespon jumlah densitas spesies lain yang hadir dalam komunitas tersebut. 16 Gambar 5a. QS hibrid pada Vibrio harvey i8 Pada V. harveyi, sintesa AI-2 tergantung kepada sintesa protein LuxS yang disandikan oleh gen luxS. Homologi gen luxS terdapat pada berbagai bakteri Gram-negatif ataupun Gram-positif Tabel 2. 17 Artinya bakteri-bakteri yang terdapat pada Tabel 2 tersebut dapat berkomunikasi dengan spesies lainnya dengan menggunakan AI-2 sebagai sinyal komunikasinya, sehingga AI-2 ini disebut juga se- bagai “bahasa umum” atau “bahasa universal” pada bakteri. Pada kenyataannya, sering kali bakteri melakukan QS secara berseri atau secara paralel yang melibatkan AI-1 dan AI-2 secara bergantian atau bersamaan, seperti pada V. harveyi dan Bacillus subtilis Gam- bar 5. 18 Sistem QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2 sering di-sebut juga QS hibrid. Gambar 5b. QS hibrid pada Bacillus subtilis 18 QS hubungannya dengan Patogenisitas Bakteri Tabel 1 dan 2 menyajikan sejumlah aktivitas bakteri yang dikendalikan oleh sistem QS. Dari Tabel tersebut bisa dilihat bahwa sejumlah proses patogenitas bakteri patogen manusia dikendalikan oleh QS, misalnya ekspresi gen-gen yang terlibat dalam virulensi, pembentukan biofilm, serta resistensi terhadap suatu antimikroba. Jadi jelas terjadi hubungan kuat antara QS dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri. Salah satu yang paling populer adalah patogenisitas pada Pseu- domonas aeruginosa penyebab cystic fibrosis. 19 QS pada P. aeruginosa diken- dalikan oleh dua AI-1 yaitu N-3-oxododecanoyl-L-homoserine lactone OdDHL yang mengatur ekspresi elaste, eksotoksin A, protein LasA, protease alkalin, neuraminidase, serta sekresi protein dan kedua adalah N-butanoyl-L-homoserine lactone BHL yang mengatur ekspresi protease alkalin, elastase, haemolysin, pyocyanin, cyanida HCN, aktivitas staphylo- lytic, lectins, chitinase serta sekresi protein, kesemuanya itu merupakan faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas P. aeruginosa. 20 Biofilm merupakan sebuah komunitas mikroorganisme baik se- jenis ataupun berlainan jenis yang menempel pada suatu permukaan. Biofilm menyebabkan lebih dari 80 penyakit infeksi dan lebih kurang dari 65 infeksi nosokomial disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang dalam biofilm. 21,22 Sejumlah penyakit infeksi yang dise- babkan atau dipengaruhi oleh pembentukan biofilm adalah plak gigi dan dental caries, periodontitis, cystic fibrosis pneumonia, infective endocar- ditis, muscle skeletal infections, necrotizing fasciitis, osteomielitis, meloido- sis, infectious kidney stones, bacterial endocarditis, airway infections, otitis media, biliary tract infections, chronic bacterial prostatitis dan infeksi yang disebabkan karena adanya kontak dengan alat-alat kesehatan seperti intravenous catheters, artificial joints dan contact lenses. Penelitian selan- jutnya, dilaporkan bahwa hampir semua biofilm bakteri dikendalikan oleh sistem QS dan berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi. 23 Pencegahan Quorum Sensing QS Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotik untuk mengen- dalikan penyakit infeksi bakteri. Akan tetapi, seringkali menyebabkan resistensi pada bakteri tersebut, apalagi kalau patogen itu membentuk biofilm yang sukar ditembus oleh antibiotik karena terlindungi oleh 25 Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS extracellular polymeric substance EPS. Deng- an memahami proses QS, maka kita dapat mengembangkan cara pengendalian bakteri yang tidak selalu ber- basis antibiotik, yaitu dengan cara pendeka- tan pencegahan QS. Sebenarnya bakteri patogen tidak meng- hasilkan faktor-faktor virulen yang pada gilirannya tidak me- nimbulkan infeksi, jika bakteri patogen itu populasi atau densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pence- gahan QS berarti juga mencegah bakteri berkumpul atau ber-quorum, artinya kita tidak berusaha memberantas atau membunuh bakteri itu selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit. Pencegahan QS ditujukan untuk merusak sistem komunikasi bakteri sehingga massa bakteri tidak berkumpul. Dengan mencegah bakteri untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi pada bakteri tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau pen- yakit. Pencegahan QS dapat dilakukan dengan cara penggunaan sen- yawa atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau merusak QS yang sudah terjadi. Senyawa atau molekul yang bisa memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa anti-QS telah banyak dilaporkan baik yang diisolasi dari alam atau- pun yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari AI dan furanone yang diisolasi dari alga merah Delisea pulchra. 24,25 Ar- tikel terbaru dan relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh Ni et al. 26 Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 1 se- nyawa pendegradasi atau degradator, adalah golongan senyawa-se- nyawa yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lain- nya, golongan ini biasanya adalah enzim, misalnya enzim laktonase yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; 2 senyawa antagonis; dan 3 senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkom- petisi dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR, senyawa analog AI termasuk ke dalam kelompok ini. Skema umum mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan pada Gambar 6. Gambar 6a. Skema umum pencegahan QS degradasi senyawa AI Gambar 6b. Skema umum pencegahan QS kompetisi Gambar 6c. Skema umum pencegahan QS antagonis Gambar 6 a senyawa AI didegradasi oleh senyawa degradator misalnya enzim laktonase, akibatnya tidak terjadi kompleks AI- LuxR, sehingga tidak terjadi transkripsi gen target. Pada Gambar 6 b, senyawa kompetitor akan bersaing dengan AI untuk mem- bentuk kompleks AI-LuxR, jika senyawa kompetitor atau senyawa analog AI menang maka akan terjadi kompleks analog AI-LuxR, akan tetapi kompleks ini tidak dikenali oleh gen target akibatnya tidak terjadi transkripsi gen target. Sedangkan pada Gambar 6 c, senyawa antagonis, senyawa antagonis akan mengkelat senyawa AI sehingga AI tidak dikenali lagi oleh protein LuxR, atau jika senyawa antagonis berikatan dengan protein LuxR akan mengaki- batkan melawan kerja LuxR secara berlawanan atau antagonistik, akibatnya kompleks senyawa antagonis dengan LuxR tidak dapat menempel pada gen target yang pada akhirnya tidak terjadi tran- skripsi pada gen target tersebut. Potensi Disain anti-QS Fenomena QS yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri ditambah dengan semakin meningkatnya masalah resistensi pada sejumlah bakteri patogen, memberikan kerangka kerja baru bagi para ahli yang bergerak dalam bidang pencarian dan pembuatan obat baru. Gambar 7 merupakan con- toh target yang berpotensi untuk disain pencarian atau pembuatan anti-QS untuk obat. 27 Sebenarnya, disain anti-QS bisa dimulai dari tahapan sintesa AI, kita bisa melalukan penghambatan langsung pada sintesa AHL atau AIP atau AI-2 misalnya dengan mendisain senyawa yang dapat menghambat penggabungan asam lemak den- gan acyl-ACP acyl carrier protein. Bisa juga dilakukan pada tahap Dengan memahami proses QS, maka kita dapat mengembangkan cara pengendalian bakteri yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu dengan cara pendekatan pencegahan QS. 26 Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS transfer AI keluar membran dengan cara memblokir AI supaya tidak dapat disekresikan ke luar membran. Tentu saja masih banyak potensi- potensi lain yang bisa jadi bahan pemikiran bagi para ahli untuk mend- isain anti-QS untuk kepentingan pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit. Secara umum disain obat baru untuk pencegahan penyakit yang disebabkan oleh aktivitas QS dapat dilakukan dengan memper- hatikan ligan-ligan dan reseptor-reseptor yang terlibat dalam QS itu sendiri. 28 Pencarian dan modifikasi anti-QS dari bahan alampun semakin banyak dilakukan. Senyawa furanone yang dilaporkan mempunyai aktivitas anti-QS dan diisolasi dari alga merah D. pulchra, 25 ternya- ta toksik terhadap manusia, hal ini mendorong sejumlah ahli untuk mencari senyawa anti-QS dari bahan-bahan alam yang aman dikon- sumsi. Sejumlah ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat menghambat QS. Penulis telah melaporkan bahwa extract vanila dan vanillin yang merupakan senyawa yang diisolasi dari ekstrak vanilla ternyata bisa menghambat QS pada Chromobacterium violacein dan menghambat produksi faktor-faktor virulensi yang dikendalikan oleh QS pada Pseu- domonas aeruginosa . 29,30 Gambar 7. Target yang berpotensi untuk pencegahan QS 27 Kesimpulan Pengetahuan baru tentang QS memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai labo- ratorium, baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan pada pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS selanjutnya diharapkan untuk dapat digunakan sebagai obat baru. Banyak perusahaan farmasi di luar negri, mengalokasikan sejumlah dana untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat dipe- roleh bahan pengendali bakteri yang baru anti-QS. Sejumlah kan- didat senyawa anti-QS sudah banyak dilaporkan, akan tetapi baru sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersial- kan dan aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik umum yang ada dipasaran. Sejalan dengan itu, dengan dikumandangkannya slogan kembali ke alam back to nature dan menghindari efek samping kurang baik dari penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga di- arahkan ke bahan alam senyawa biologis, baik bahan alam asal darat terestrial atau darat maupun bahan alam asal laut marine. Indonesia sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kes- empatan untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis un- tuk anti-QS. Dengan bahasan artikel ini diharapkan dapat mendorong peneliti dan perusahaan farmasi Indonesia untuk turut serta dalam pencarian senyawa biologis untuk anti-QS dari bahan alam asli Indo- nesia. Daftar Pustaka 1. Fuqua WC, Winans SC, Greenberg EP. Quorum sensing in bacteria-the LuxR- LuxI family of cell density-responsive transcriptional regulators. J Bacteriol 1994; 1762:269-75 2. Thomasz A, Mosser JL. On the nature of the pneumococcal activator sub- stance. Proc Natl Acad Sci USA 1966; 55:625-32 3. Nealson KH, Platt T, Hasting JW. Cellular control of the synthesis and activity of the bacterial luminescent system. J Bacteriol 1970; 1041:313-22 4. Eberhard A, Burlingame AL, Kenyon GL, et al. Structural identification of au- toinducer of Photobacterium fischeri luciferase. Biochemistry 1981; 20:2444- 9 5. Engebrecht J, Nealson K, Silverman M. Bacterial bioluminescence: isolation and genetic analysis of functions from Vibrio fischeri. Cell 1983; 32:773-81 6. de Kievit TR, Iglewski BH. Bacterium quorum sensing in pathogenic relation- ships. Infect Immun 2000; 689:4839–49 7. Swift S, Downie JA, Whitehead NA, Barnard AML, Salmon GPC, Williams P. Quorum sensing as a population-density-dependent determinant of bacterial physiology. Adv Microb Physiol 2001; 45:199–270 8. Miller MB, Bassler BL. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol 2001; 55:165-99 9. Kruppa M. Quorum sensing and Candida albicans. Mycoses 2009; 521:1-10 10. Whitehead PM, Barnard AML, Slater H, Simpson NJL, Salmond GPC. Quorum- sensing in gram-negative bacteria. FEMS Microbiol Rev 2001; 25:365-404 11. Sperandio V, Torres AG, Giron JA, Kaper JB. Bacteria-host communications: the language of hormones. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100:8951-6 12. Schauder S, Bassler BL. The languages of bacteria. Genes Dev 2001; 15:1468- 80 13. Waters CM, Bassler BL. Quorum sensing: cell-to-cell communication in bacte- ria. Annu Rev Cell Dev Biol 2005; 21:319-46 14. Leonard BA, Podbielski A. Emerging density dependent control system in gram-positive cocci. In: Dunny GM, Winans SC, editors. Cell-cell signaling in bacteria. Washington, D.C: ASM Press; 1999.p.315-31 15. Brenner K, Haseltine E, Tracewell C. Genetic circuits and synthetic ecosystems: Quorum sensing and genetic circuit design [on line] [cited 2009 Jan 29] 11: [2 screens]. Available from: http:www.che.caltech.edugroupsfhaquorum. html 16. Taga ME, Semmelhack JL, Bassler BL. The LuxS-dependent autoinducer AI-2 controls the expression of an ABC transforter that functions in AI-2 uptake in Salmonella typhimurium. Mol Microbiol 2001; 42:777-93 17. Federle MJ, Bassler BL. Interspecies communication in bacteria. J Clin Invest 2003; 112:1291–9 18. Henke JM, Bassler BL. Bacterial social engagements. TREND Cell Biol 2004; 1611:649-56 19. Geisenberger O, Givskov M, Riedel K, HÖiby N, Tummler B, Eberl L. Production of N-acyl-L-homoserine lactones by P. aeruginosa isolates from chronic lung infection associated with cystic fibrosis. FEMS Microbiol Lett 2000; 184:273- 8 20. Finch RG, Pritchard DI, Bycroft BW, Williams P, Stewart GSAB. Quorum sens- ing: a novel target for anti-infective therapy. J Antimicrob Chemother 1998; 42:569-71 21. Schachter B. Slimy business—the biotechnology of biofilms. Nat Biotechnol 2003; 21:361-5 22. Douglas LJ. Medical importance of biofilms in Candida infections. Rev Iberoam. Micol 2002; 193:139-43 23. Rice D, McDougald D, Kumar N, Kjelleberg S. The use of quroum-sensing blockers as therapeutic agents for the control of biofilm-associated infections. Curr Opin Investig Drugs 2005; 62:178-84 24. Smith KM, Bu Y, Suga H. Induction and inhibition of Pseudomonas aeruginosa quroum sensing by synthetic autoinducer analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9 25. Hentzer M, Wu H, Andersen JB, Riedel K, Rasmussen TB, Bagge N, et al. At- tenuation of Pseudomonas aeruginosa virulence by quorum sensing inhibi- tors. The EMBO J 2003; 2215:3803-15 26. Ni N, Li M, Wang J, Wang B. Inhibitors and antagonists of bacterial quorum sensing. Med Res Rev 2009; 291:65-124 27. Whitehead NA, Welch M, Salmond GPC. Transgenic plants expressing an en- zyme that degrades microbial signaling molecules show promise in control- ling damage caused by bacterial infection. Nat Biotechnol 2001; 19:735-6 28. Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK, Schwartz RC, Sucic NT, et al. Bac- terial communicarion “quorum sensing” via ligands and receptors: a novel pharmacologic target for the design of antibiotic drugs. J Pharmacol Exp Ther 2005; 3122:417-423 29. Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. Inhibition of bacterial quorum sensing by vanilla extract. Lett Appl Microbiol 2006; 42:637-41 30. Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. Vanillin inhibits quorum sensing - regulated virulence factors production of Pseudomonas aeruginosa. Curr Microbiol In press 27 Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS 66 28 abstrak. Gap junction intercellular communication GJIC berperan dalam pertukaran metabolit dan ion antar sel. Berbagai zat kimia dapat mempengaruhi pembentukan GJIC di membran dan menyebabkan perubahan komunikasi interseluler se- hingga Ion, metabolit, dan zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal pada jaringan akibatnya terjadi gangguan pada integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur dan terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian didapatkan penurunan GJIC pada tumor yang sedang berkembang. Peran GJIC pada lesi metastasis masih kontroversial.GJIC dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi dan bermetastasis pada tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor. Kartika Widayati Taroeno-Hariadi SubBagian Hematologi dan Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta SMF Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Pendahuluan Sel secara individual memiliki perlengkapan untuk dapat berfungsi mandiri, namun hidup dan perilaku sel tersebut tergantung pada sel- sel dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis dan kelang- sungan keutuhan seluler tergantung pada hubungan interseluler. 1 Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki perangai yang ber- beda dari sel-sel di sekitarnya dan tumbuh di luar kendali homeostasis normal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan komunikasi in- terseluler yang memelihara homeostasis normal terganggu pada ber- bagai tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertum- buhan tumor. 1 Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komu- nikasi melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua, melalui kontak sel. Berbeda dengan komunikasi interseluler melalui hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diiden- tifikasi, komunikasi interseluler melalui cara kontak sel sukar dii- dentifikasi apa yang dikomunikasikan dan efek komunikasi tersebut. Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler melalui kloning cDNA yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen terpenting pada kontak sel adalah gap junction intercellular communica- tion GJIC. 1,2 Tulisan ini dibuat untuk membantu memahami peranan GJIC dalam memelihara homeostasis dan pertumbuhan sel, konsekuensi adanya gangguan GJIC, peranan GJIC pada proses karsinogenesis, dan aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker. Komunikasi interseluler melalui gjiC Antar satu sel dengan sel terdekat terdapat suatu saluran yang memungkinkan terjadi kontak langsung dan transfer ion, metabo- lit, molekul seperti: kalium, cAMP, inositol triphosphate, calcium, yang disebut GJIC. 1,3-5 GJIC mampu menghantarkan molekul bila memiliki ukuran 1000 dalton. 1 Pada jaringan yang berbeda, struktur penyusun GJIC juga tidak sama. Meskipun strukturnya berbeda, pada umumnya GJIC terdiri dari 6 subunit hexamer protein connexin yang membentuk satu hemichannel connexon pada tiap sisi membran sitoplasma. Con- nexon hemichannel dari masing-masing sitoplasma yang berdekatan akan melekat membentuk channel saluran. Channel ini bisa membuka menutup dengan cara merapatkan connexin pada tiap connexon. 6 Connexin memiliki untaian tetap dan untaian variabel. Letak con- nexin ini pada membran dijelaskan sebagai berikut: akhiran amino dan karboksi terdapat pada sitoplasma, dan protein melekuk 2 kali pada membran memberikan gambaran seperti huruf M, dengan 2 regio eks- traseluler dan 3 regio sitoplasma. Gambar 1. Skema GJIC pada membran lipid bilayer dan topologi connexin 1 GJIC dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pembu- luh darah dan otot skelet. Beberapa connexin menunjukkan spesifisi- tas ekspresi pada jaringan tertentu, namun juga sebaliknya beberapa jaringan dan sel-sel penyusunnya juga bisa mengekspresikan berbagai connexin yang berbeda. 1,2 Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS 29 Tabel 1. Ekspresi gena connexin 2 Connexin Klas Jaringan Tipe Sel Cx26 Cx30.3 Cx31 Cx31.1 Cx32 Cx33 Cx37 Cx40 Cx43 Cx45 Cx46 Cx50 β β β β β α α α α α α α hepar, ginjal, lien, testes, paru, lambung, otak, pankreas, kulit, kelenjar pineal kulit kulit, testes epitel skuamosa terstratiikasi, kulit, testes hepar, otak, ginjal, lien, uterus, testes, paru, lambung, usus halus testes vaskuler, jantung, otak, lam- bung, usus halus, lien, ginjal, uterus, ovarium, paru, kulit vaskuler, jantung, ginjal, uterus, ovarium, paru, usus halus jantung, otak, otot polos, ginjal, uterus, ovarium, testes, paru, lambung, usus halus, kulit, lensa, kornea, tulang, plasenta paru, jantung, otak, ginjal, usus halus lensa, hati, ginjal, saraf perifer lensa, kornea, jantung hepatosit, neuron, kerati- nosit, pinealosit keratinosit keratinosit hepatosit, oligodendrosit, neuron, sel epitel tiroid, sel Schwann sel Sertoli sel endotel, miosit, kerati- nosit sel endotel, serabut Purkinje miosit, otot polos, astrosit, sel endotel ibroblas, ke- ratinosit, sel ependima sel Leydig, makrofag, os- teosit, sel B pankreas, sel folikuler dan epitel tiroid, sel trofoblas serabut lensa, sel Schwann serabut lensa, sel-sel epitel, katup AV Penyusunan connexon dan gap junction dimulai dengan sel kontak melalui cellular adhesion molecules CAMs. Kontak suatu sel dengan sel lain memerlukan suatu adhesion molecule molekul pelekat. Terdapat korelasi antara ekspresi CAMs dan protein gap junctions. Adanya adhe- sion molecule menginduksi ekspresi GJIC, dengan asumsi bahwa kon- tak interseluler menginduksi terbentuknya saluran gap junction. Tran- feksi E-cadherin pada sel line dengan defisiensi komunikasi dan tidak mengekspresikan CAMs akan berakibat induksi GJIC pada klonal yang mengekspresikan E-cadherin. 2,7 Transfeksi LCAM pada sel yang tidak mampu berkomunikasi akan menginduksi ekspresi GJIC disertai fosforilasi connexin endogen Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Fosforilasi connexin ini memegang peranan penting dalam ekspresi GJIC. Masing-masing untai connexin memiliki pola fosforilasi tertentu sehingga memiliki regulasi ekspresi dan fungsi yang berbeda. Cx32 mengalami fosforilasi oleh cAMP, protein kinase C PKC dan Ca 2+ calmodulin dependent protein kinase II, sementara Cx43 hanya di- fosforilasi oleh PKC dan mitogen-activated protein kinase. Abnormalitas pada proses fosforilasi connexin ini ternyata akan menyebabkan ken- dali pertumbuhan sel menjadi berubah. Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama pada residu seri- ne , residu threonine, dan residu tyrosine yang terletak pada akhiran karboksil Carboxyl-terminal=CT. Fosforilasi ini dibutuhkan untuk menyusun dan memfungsikan GJIC. 6 Faktor pertumbuhan, kinase protein onkogen, hormon, dan mediator inflamasi berperan pada GJIC melalui proses fosforilasi domain protein CT asam amino 236-382. Beberapa kinase yang mempengaruhi GJIC berhasil diidentifikasi ter- masuk Protein Kinase C PKC Ser 368 and Ser 372, mitogen-activated protein kinase s MAPKs Ser 255, Ser 279, and Ser 282, cdc2cyclinB Ser 255, dan casein kinase I Ser 325, Ser 328, dan Ser 330. 8 Proses perpindahan connexin menuju membran plasma juga pen- ting untuk keutuhan dan fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel dengan Cx43 yang gagal mencapai membran plasma merupakan sel dengan defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi translokasi Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Dengan demikian meskipun protein GJIC tetap ada pada berbagai jenis tumor namun tidak diproses dengan benar dan tidak ditransportasikan untuk membentuk GJIC. 2 Hemichannel biasanya dalam keadaan tertutup dan pada saat ter- buka berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal parakrin seperti ATP, glutamat, NAD + , dan prostaglandin. Hemichan- nel menutup pada konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstrase- luler. Saluran akan membuka bila terjadi penurunan kadar kalsium ekstraseluler, depolarisasi membran yang kuat, stimulasi mekanik, ekstraseluler UTP, penghambatan metabolik, infeksi shigela, dan pe- ningkatan kalsium sitoplasma. Beberapa kinase dan asam arakidonat diketahui mampu memodulasi GJIC. 6 GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Con- nexin akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin pro- teasomal pathway . Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homo- meric adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama dan connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon yang berbeda pada sel yang berbeda ikatan heterotypic. Dengan demi- kian sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat membentuk saluran fungsional dengan beberapa connexin dan tidak dengan connexin yang lainnya. 2,9 gjiC dan Karsinogenesis Pertumbuhan sel yang tidak teratur merupakan ciri khas tumor, se- hingga tidak mengejutkan bahwa sel-sel kanker menunjukkan adanya GJIC yang abnormal. GJIC abnormal terjadi pada GJIC homolog dan GJIC heterolog. 10 GJIC homolog melakukan komunikasi antar sel yang serupa. 2 Pada sel-sel tumor GJIC tipe ini sering terganggu namun ada juga beberapa tumor yang mempertahankan kadar GJIC homolog yang sama seperti sel-sel normal. Hilangnya GJIC tipe homolog di antara sel-sel kanker itu sendiri akan m e n i n g k a t k a n h e t e r o g e n i t a s sehingga sel-sel dengan fenotipe paling ganas yang akan mendomi- nasi populasi. GJIC hete- rolog terganggu pada beberapa tu- mor berdasarkan bukti bahwa sel- sel tumor tidak b e r k o m u n i k a s i dengan sel-sel normal di seki- tarnya. Sel kanker memerlukan per- tumbuhan tanpa gangguan dari sel-sel normal di sekitarnya karena itu dibutuhkan p e n g h a m b a t a n pada GJIC tipe heterolog. Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama pada residu serine, residu threonine, dan residu tyrosine yang terletak pada akhiran karboksil Carboxyl- terminal=CT. Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS 30 Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya pada kultur sel- sel epitel kanker hati pada tikus, dan tumor hati pada manusia. 11,12 Sementara itu pada tumor metastasis atau anak sebar, peran GJIC masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog dan reekspresi dari adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metasta- sis dengan endotel kapiler dan tempat baru untuk metastasis. Pada daerah metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC dan adhesion molecule lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer. 13 Down Regulation gjiC oleh agen Pe- numbuh Tumor Tumor-Promoting Agents, onkogen, dan faktor Pertum- buhan Banyak bukti menunjukkan bahwa agen pe- numbuh tumor mampu menghambat GJIC. GJIC pada kultur sel dapat dihambat secara reversibel oleh forbol ester sehingga trans- fer molekul dan ion terganggu. Bukti in vivo diperlukan karena kompleksitas komunikasi inteseluler tidak bisa semuanya ditiru se- cara in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati menurunkan gap junction dan menghambat GJIC pada hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang mendahului perubahan ke arah ganas yaitu promosi tumor. 2 Beberapa onkogen dan faktor pertumbu- han juga menghambat GJIC, seperti onkogen retroviral v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps, onko- gen virus DNA polioma-middle T, SV-40 T, HPV 16 E5 dan onkogen seluler c-src, C-Ha- ras, c-erbB2. Faktor pertumbuhan dan hor- mon yang menghambat GJIC adalah fibrob- last growth factor, platelet derived growth factor, transforming growth factor B, epidermal growth factor dan testosterone . 2 Kaitan antara Down Regulation gjiC Dan Karsinogenesis Ada 3 proses yang terlibat pada abnormalitas GJIC di kanker yaitu: 1. abnormalitas GJIC pada tumor, 2. down regulation GJIC oleh agen penumbuh tumor atau gen penum- buh tumor, dan 3. up-regulation GJIC oleh penghambat karsinogenesis. Riset pada syrian hamster embrio SHE membuktikan adanya kore- lasi antara penghambatan GJIC dengan peningkatan transformasi sel oleh phorbol ester. 14,15 Namun penghambatan GJIC tidak tampak deng- an agen penumbuh tumor lain. Penurunan ekspresi Cx26 dan Cx43 juga terlihat pada karsinoma skuamosa kulit tikus. 16 Penghambatan GJIC lebih merupakan faktor penyerta penting pada karsinogenesis namun bukan menjadi faktor utama. mekanisme molekuler yang Terlibat dalam Penghambatan gjiC pada Tumor yang Diinduksi Karsinogen Karena GJIC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agen penumbuh tumor, onkogen, dan faktor pertumbuhan, dipikirkan adanya suatu me- kanisme pengaturan pada GJIC yang menjadi sasaran dari faktor-faktor tersebut. GJIC dapat dimodulasi melalui beberapa mekanisme baik yang terlibat pada mekanisme pengaturan protein seperti transkripsi, stabilisasi mRNA, kontrol translasi, fosforilasi post-translation ataupun mekanisme lain seperti translokasi ke membran sitoplasma, adhesion molecule , matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, faktor penentu membuka dan menutupnya channel, serta mutasi gen connexon. 2,17,18 Modulasi post-translation merupakan mekanisme utama perubahan GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Pro- tein Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum dan sesu- dah penambahan karsinogen TPA, namun bentuk fosforilasi meng- alami perubahan sehingga protein connexin terletak pada sitoplasma, tidak pada membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC. 2 Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin dan adhesion molecule cell . Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat pen- ting bagi Cx43 untuk membentuk fung- sional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga menjelaskan mengapa GJIC pada kerati- nosit tikus sangat tergantung Ca 2+ karena E-cadherin merupakan sel yang tergan- tung pada Ca 2+ . Ekspresi E-cadherin sangat menurun pada tumor kulit tikus selama perkembangan invasive dan metatasis. Penurunan ekspresi dan mutasi E-cadherin juga ditemukan pada berbagai jenis kanker pada manusia. 2,19 GJIC membutuhkan mekanisme pengena- lan sel yang memadai. Tumor tidak mampu membentuk GJIC heterolog dengan sel-sel normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel hepar tikus bertumor dikultur bersamaan dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC he- terolog. Dapat disimpulkan bahwa sel-sel homolog mempunyai suatu mekanisme un- tuk mengenali sel-sel sejenis di antara mere- ka, dan mekanisme pengenalan ini tidak ada di antara sel-sel normal dan sel tumor. 2,20 Supresi Tumor oleh Connexin Adanya percobaan transfeksi over expres- sion cDNA connexin pada sel tumor mem- buktikan bahwa GJIC fungsional mampu menekan tumorigenesis pada beberapa tipe sel-sel yang mengalami transformasi. Fibroblast sel-sel tikus, sel glioma, sel-sel rhabdomyosarcoma manusia yang ditrans- formasikan secara kimiawi, mengalami defisiensi Cx43, dan setelah ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tu- mor dan perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 pada sel-sel hepatoma manusia, dan Cx26 pada HeLa cell yang berasal dari sel-sel servikal uteri. Jadi tampaknya efek connexin pada pengham- batan pertumbuhan sel bersifat selektif menurut spesifikasi connexin tersebut. 2,24 Connexin dan apoptosis 21 Perubahan molekul yang terlibat pada pengaturan proses kematian sel melalui apoptosis penting pada karsinogenesis. Connexin menjadi molekul target modulasi apoptosis. Connexin yang tetap berada pada sitoplasma dan tidak diekspresikan pada membran sel kehilangan fungsinya dalam komunikasi antar sel dan mungkin berperan pada per- tumbuhan tumor. Connexin sitoplasma ini sering dijumpai pada tumor. Mutasi pada regio ekstraseluler dan transmembran connexin akan menyebabkan connexin tetap berada pada sitoplasma dan kehilangan fungsinya dalam pengaturan pertumbuhan tumor, namun salah satu penelitian lain menyebutkan bahwa mutasi salah satu regio ekstrase- luler lain pada connexin menyebabkan lokalisasi ke sitoplasma namun fungsi penghambatan tumor oleh Cx43 tersebut tidak terganggu. Jadi, pengaturan pertumbuhan tumor pada Cx43 tidak tergantung pada fungsi GJIC. Connexin sitoplasma mampu mengontrol pertumbuhan tumor melalui pengaruhnya pada ekspresi gen yang mengatur fungsi- fungsi sel kanker. Jadi, lokasi connexin pada sitoplasma atau membran plasma memiliki fungsi yang berbeda antara sel kanker dan sel normal. Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin menghambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang belum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada plasma membran. Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS 31 Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin meng- hambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang be- lum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada plasma membran. Dihipotesiskan bahwa peran connexin pada apop- tosis ini di antaranya melalui pengaturan pada protein. famili Bcl-2. Connexin pada sitoplasma memiliki signaling pathway yang berbeda dari connexin pada plasma membran. Transduksi sinyal connexin mem- butuhkan interaksi dengan protein-protein intraseluler lain. Huang dkk menemukan penurunan ekspresi Bcl-2 pada sel-sel ganas yang ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi pada sel-sel nontransfeksi. 22 Gen connexin mengatur ekspresi gen lain pada tumor sel. Tanaka dkk juga menemukan bahwa sel-sel tumor prostat yang ditransfeksikan Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian si- klus sel pada fase G2M, penurunan ekspresi Bcl-2, dan peningkatan apoptosis. 23 Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin dan mungkin penurunan fungsi. mekanisme Kontrol Pertumbuhan negatif oleh Connexin 2 GJIC membentuk saluran antar sel untuk penyebaran atau dispersi fak- tor intraseluler terlarut guna mengontrol pertumbuhan sel. Faktor ini melewati GJIC heterolog antara sel-sel normal dengan sel yang menga- lami transformasi dan menghambat pertumbuhan sel-sel yang menga- lami transformasi. Jika GJIC memiliki efek pada pertumbuhan sel, maka tentunya ada perubahan pada siklus sel, namun ternyata peran GJIC pada siklus sel masih belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan, bahwa GJIC hilang pada saat aktivitas mitosis dan pada saat terjadi perubahan stabilitas mRNA. GJIC juga menurun di antara waktu mitosis dan nonmitosis sel-sel granulosa tikus imortal. Namun GJIC juga muncul pada fase antara mitosis dan interfase kultur fibroblas, dan kadar transcript con- nexin meningkat selama fase S. Pada sel-sel yang mengalami transformasi dan ditransfeksikan Cx43 akan terjadi penurunan ekspresi gen yang terlibat pada siklus sel seperti cyclin A, D1, D2 dan CDK5, CDK6. Sel glioma yang ditransfeksikan dengan Cx43 dikultur bersama- sama dengan sel-sel glioma yang tidak ditransfeksi. Percobaan ini un- tuk melihat apakah transfeksi Cx43 mampu mengubah pertumbuhan sel melalui GJIC heterolog. Hasil penelitian menunjukkan sel glioma membentuk gap junction dengan sel-sel yang ditransfeksi Cx43, dan ter- jadi penurunan tingkat proliferasi. Jadi GJIC mampu memodulasi pertumbuhan sel melalui peruba- han ekspresi gen. Peran dan aplikasi Connexin atau gjiC Terhadap Kemo- prevensi dan Terapi Kanker Banyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin lebih menyerupai gen penekan tumor, maka transfeksi gen connexin akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu bystander effect dan pengendalian pertumbuhan sel. Jadi efek terapi kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. Terapi yang diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan pada sel-sel di sekitarnya melalui GJIC sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh pada sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase dari Herpes simplex virus HSV-tk. Sel HeLa HSV-tk ini akan mati oleh ganciclovir karena ganciclovir diaktifkan oleh HSV-tk; namun sel-sel HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk tk- tetap hidup karena ganciclovir tidak aktif pada jenis sel ini. Namun bila digunakan sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junc- tion Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ na- mun juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir toksik yang difosforilasi oleh HSV-tk ditransfer melalui GJIC ke sel- sel tk-. Contoh lain adalah pada terapi tumor otak dengan transfeksi gen tymidine kinase dari HSV HSV-tk. Sel-sel yang ditransfeksikan dengan gen HSV-tk dan juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh ganciclovir karena GJIC masih berfungsi normal. Kesimpulan GJIC berperan menjaga homeostasis normal dan kendali pertumbu- han sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis tumor terjadi gangguan ekspresi connexin. Gangguan ini bisa berupa down regulation protein connexin karena gangguan fosforilasi. Terjad- inya gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh kendali sel-sel di sekitarnya, dan gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi, GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau memo- dulasi efek kemoterapi melalui bystander effect. Daftar Pustaka 1. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis Carcinogenesis 1990; 7:1051-8 2. Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinoge- nesis 1996; 176:11990-213 3. Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4Suppl.:239-266 4. Lawrence TS, Beers WH, and Gilula NB. Hormonal stimulation and cell com- munication in cocultures. Nature 1978; 272:501-6 5. Saez JC, Conner JA, Spray DC and Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to cal- cium ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12 6. De Vuyst E, Decrock E, De Bock M, Yamasaki H, Naus CC, Evans WH, et al. Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46 7. Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regu- lation of connexin 43-mediated gap junctional intercellular communication by Ca 2+ in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991; 114:545-55 8. Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junc- tional communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:1171–86 9. Bruzzone R, White TW, dan Paul DL. Connections with connexins: the mo- lecular basis of direct intercellular signaling. Eur J Biochem 1996; in press 2381:1-27 10. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis Carcinogenesis 1990; 7:1051-8 11. Mesnil M dan Yamasaki H. Selective gap-junctional communication capacity of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogen- esis.1988; 9:1499-502 12. Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et al. Altered homologous and heterologous gap-junctional intercellular com- munication in primary human liver tumors associated with aberrant protein localization but not gene mutation of connexin 32. Int J Cancer 1994; 56: 87-94 13. Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak, et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:429–33 14. Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular com- munication and enhancement of morphological transformation of syrian ham- ster embryo cells by TPA. Use of TPA-sensitive and TPA-resistant cell lines. Carcinogenesis 1985; 6:899-902 15. Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction of morphological transformation of hamster embryo cells with no effect on gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14 16. Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13 17. Musil LS, Goodenough DA. Biochemical analysis of connexin43 intracellular transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell Biol 1991; 115:1357-74 18. Unwin PN, Ennis PD. Calcium-mediated changes in gap junction structure: evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66 19. Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102 20. Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular commu- nication in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84 21. Kanczuga-Koda. L, Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Con- nexin 26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal can- cer. World J Gastroenterol 2005:1110:1544-8 22. Huang RP, Hossain MZ, Huang R, Gano J, Fan Y, Boynton AL. Connexin 43 cx43 enhances chemotherapy-induced apoptosis in human glioblastoma cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8 23. Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apopto- sis and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep 2004; 11:537-541 Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS 32 Ketua Pusat Diabetes dan Lipid RS Dr. Cipto MangunkusumoFakultas Kedokteran, Universitas Indonesia D i bagian Metabolik dan Endokrinologi nama Prof. Slamet Suyono su- dah tidak asing lagi. Beliau seka- rang ini masih menjabat sebagai Ketua di Pusat Diabetes dan Li- pid di RSCMFKUI, dan merupa- kan salah satu tokoh yang turut mengembangkan Pusat Diabetes dan Lipid ini. Bahkan beliau juga sempat secara khusus mengikuti training mengenai Lipid pada tahun 1968 yang diadakan di Pe- rancis, di mana pada saat itu Li- pid merupakan sesuatu hal yang baru di bidang Penyakit Dalam. Pusat Diabetes dan Lipid Ja- karta merupakan badan yang bersifat multidisiplin. Badan ini menangani masalah diabetes dan lipid, yang kegiatannya meliputi 3 bidang, yaitu pelayanan, pene- litian dan penyuluhan. Pada nama pusat itu tercantum kata lipid, karena lipid merupakan salah satu faktor penyakit jan- tung koroner PJK. Pada kesempatan kali ini, kami mewawancarai beliau dise- la-sela jadwal Prof. Slamet yang padat. Berikut hasil wawancara kami dengan Prof. Slamet Suyono. Redaksi MEDICINUS RM: Apakah memang sedari kecil Prof. Slamet sudah bercita-cita menjadi seorang dokter? Prof. Slamet Suyono SS: Sebetulnya waktu kecil saya tidak bercita-cita menjadi seorang dokter. Walaupun keluarga saya terutama dari keluarga ayah saya banyak yang menjadi dokter. Ketika saya masuk SD pun saya masih belum tahu apa cita- cita saya sebenarnya. Hanya saja waktu di sekolah dulu saya lebih menyukai bi- dang eksakta. Saya selalu mempunyai ni- lai-nilai yang bagus pada mata pelajaran eksakta tersebut terutama pada pelajaran Kimia. Kemudian ketika saya lulus SMA saya mengikuti 2 tes penerimaan maha- siswa, yang pertama di Farmasi Institut Teknologi Bandung ITB dan yang ke- dua di Kedokteran Universitas Indonesia UI. Ternyata dua-duanya diterima. Tapi karena dorongan yang begitu kuat dari orangtua untuk masuk kedokteran UI maka sayapun akhirnya memilih kuliah di kedokteran. Jadi tradisi dokter saya lanjutkan di keluarga saya. Dan pada akhirnya sayapun sangat menyukai bi- dang ini dan alhamdullilah studi saya di kedokteran berhasil dan tidak ada halang- an apapun. RM: Sekarang ini Prof. Slamet sudah menjadi seorang yang ahli dalam bidang Endokrinologi. Apa yang menyebabkan Prof. Slamet akhirnya memilih bidang tersebut? SS: Endokrinologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari hormon dalam tubuh dari ubun-ubun sampai ujung kaki, tidak terbatas pada organ tubuh secara sentral tapi menyeluruh. Jadi ketertari- kan saya nomor satu pada saat itu adalah karena hal itu, yaitu mengobati seorang manusia se- cara keseluruhan. Jadi, ketika saya lulus kedokteran pada ta- hun 1963, saya mengambil spe- sialis penyakit dalam. Setelah saya berkecimpung di penyakit dalam, saya lalu berpikir se- pertinya saya lebih tertarik lagi di endokrinologi. Kembali lagi karena saya ingin mengobati pasien secara holistik atau kese- luruhan. Pada waktu itu saya banyak merawat pasien-pasien diabetes dan tiroid. Ketertari- kan saya di bidang endokrin ini salah satunya juga adanya pe- ngaruh figur Prof. Utoyo Suka- ton yang menjadi panutan buat saya. Prof. Utoyo Sukaton da- hulu adalah Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam dan Kepala Sub- bagian Metabolik dan Endokrin juga sebagai pendiri bagian Metabolik dan Endokrinologi. Ketika saya menyele- saikan spesialis penyakit dalam, akhirnya Prof. Utoyo meminta saya untuk menjadi staff-nya. Kemudian pada tahun 1968 saya diki- rim ke Perancis untuk mengikuti training bidang baru, yaitu tentang Lipid. Di In- donesia pada tahun tersebut belum ada ahli mengenai Lipid. Adapun training yang saya ikuti di Perancis pada waktu itu adalah “Training on Hyperlipidemia and Endocrinology” . Jadi saya belajar di sana untuk Lipid-nya selama lebih kurang 10 bulan. Dan dari sinilah saya mulai terta- rik di bidang Lipid karena ingin mengo- bati pasien secara keseluruhan dan itu ha- nya terdapat pada bidang endokrinologi dalam artian tidak terpaku pada organ tertentu saja. Ketika ingin belajar di Pe- Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED I CINUS 33 racis saya mengetahui bahwa di sana itu tidak banyak orang Perancis yang bisa ba- hasa Inggris maka sebelum saya mengiku- ti training di sana saya mengikuti kursus bahasa Perancis terlebih dahulu di Indo- nesia. Saya mengikuti kursus mulai dari nol sampai bisa berbahasa Perancis dalam kurun waktu selama 3 bulan. Sehingga ketika saya ke Perancis, saya sudah bisa berbahasa Perancis dan terkadang men- jadi penerjemah buat teman-teman ketika berada di sana. RM: Prestasi apa saja yang pernah Prof. Slamet dapatkan selama ini dan apa yang paling membanggakan Prof. Slamet sela- ma menjalani profesi dokter? SS: Banyak orang yang mengatakan kalau saya jadi pembicara dalam suatu acara simposium atau acara ilmiah lainnya, apa yang saya sampaikan tidak muluk-muluk jadi saya bicara to the point. Sekarang ini banyak sekali orang-orang pintar, dan biasanya mereka itu banyak yang ingin menunjukkan kepintarannya dan merasa tahu banyak hal. Padahal belum tentu audien bisa menerima apa yang dia sam- paikan. Audien itu kan ingin menimba ilmu. Jadi prinsip saya, kalau kita bicara seperti berbicara dalam suatu simposium kita harus ada transfer of knowledge. Untuk transfer of knowledge kita harus membuat suatu ikatan batin antara siapa yang kita ajak bicara. Untuk itu persiapan sebelum- nya untuk menjadi pembicara adalah saya harus tahu terlebih dahulu siapa audien saya nantinya apakah itu orang awam, mahasiswa kedokteran, dokter umum, dokter spesialis atau setingkat professor. Sehingga kita harus memberikan tehnik penjelasan yang baik dalam arti supaya dapat diterima 100 apa yang kita sam- paikan kepada audien. Oleh sebab itu se- tiap kali saya menjadi pembicara, penya- jian dalam satu slide tidak terlalu penuh, tapi saya buat sedikit-sedikit sehingga akan gampang untuk dimengerti dan saya juga menggunakan tambahan animasi pada slide yang saya buat sendiri. Tentu- nya pembuatan slide ini juga harus kreatif sehingga tampilan slide tidak terlalu mo- noton dan membosankan bagi audien. Hal lainnya, selama saya menjadi Ketua di Pusat Diabetes dan Lipid di RSCM FKUI, saya selalu memberikan kebebas- an kepada staff saya sehingga dengan ber- jalannya waktu, mereka menjadi sangat berkembang dan ikut pula mengembang- kan bagian Metabolik dan Endokrinologi ini. Hal inilah yang membuat saya bangga kepada mereka. Satu hal lagi, anak saya yang terkecil juga sudah menjadi spesialis penyakit dalam mengikuti jejak saya. RM: Kegiatan ilmiah apa saja yang pernah Prof. Slamet ikuti selama ini? SS: Sebenarnya saya sudah pensiun pada tahun 2002, tetapi alhamdullilah saya masih dipakai untuk konsultasi atau se- bagai penasehatlah untuk yang muda- muda di sini. Saya juga masih diberikan ruang kerja pribadi di sini. Karena itulah saya jadi tidak terlalu pikun karena justru saya makin sibuk karena setiap minggu saya selalu mempunyai kegiatan. Kadang- kadang menjadi pembicara untuk acara simposium atau kegiatan ilmiah. Saya di- minta sharing pengalaman ilmiah kepada yang muda-muda. Itulah yang menyebab- kan saya masih berkecimpung di dunia ilmiah ini walaupun usia saya sudah 71,5 tahun. RM: Bisa ceritakan hobi Prof. Slamet sen- diri apa ya? SS: Dalam hobi, saya bagi 2. Ketika saya kecil hobi saya adalah olahraga bulutang- kis. Sejak saya SD sampai SMA-pun saya masih main bulutangkis. Sejak berkuliah di kedokteran sekitar tahun 1957 saya berhenti bermain bulutangkis karena ber- bagai kesibukan perkuliahan. Kemudian baru tahun 1972 saya kembali bermain bulutangkis kembali karena ajakan teman sampai tahun 2005. Terakhir saya bertan- ding dengan anak-anak muda ketika umur saya sudah di atas 68 tahun. Karena terlalu bersemangat dalam bertanding saya mengalami cedera lutut. Berselang 6 bulan kemudian badan saya merasa tidak enak karena sudah lama tidak berolah- raga akhirnya saya memilih olahraga re- nang. Dan ketika saya berenang tiba-tiba ada yang terasa sakit dan saya merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi pada jan- tung saya. Akhirnya, besoknya pun saya periksakan diri, dan hasilnya sangat bu- ruk sekali. Dan saya harus menjalani be- dah by pass pada jantung saya sekitar 3,5 tahun yang lalu. Dan dari situlah saya benar-benar menghentikan hobi bermain bulutangkis. Dan hobi olahraga saya beru- bah menjadi berenang. Sampai saat ini, saya masih menjalani renang setidaknya 2x dalam seminggu. Semenjak pembeda- han jantung itu saya jadi merubah lifestyle. Hobi lain saya, yaitu dansa. Saya mengiku- ti klub dansa antar dokter-dokter sampai sekarang. Dan yang terakhir adalah hobi jalan-jalan bersama cucu. RM: Terus apa nih yang membuat Prof. Slamet selalu tampak segar dan fit? SS: Turunan keluarga saya banyak yang terkena penyakit jantung dan kolesterol. Waktu operasi dikatakan oleh dokter bahwa pembuluh darah saya jelek sekali. Banyak sekali aterosklerosisnya. Dokter yang menangani saya pada saat itu me- ngatakan bahwa operasi ini bukan menye- lesaikan masalah tapi yang bisa menyele- saikannya hanyalah anda sendiri, yaitu saya harus merubah lifestyle. Kemudian saya berpikir bahwa apa yang dikatakan beliau ada benarnya juga. Jadi dahulu kalau saya terlalu over confidence dalam arti saya merasa sehat dan tidak mengalami kelu- han apa-apa sampai umur 68 tahun tetapi satu hal yang tidak saya sadari bahwa life- style itu pusatnya adalah makanan. Dulu saya sangat menyukai makanan dari da- ging kambing. Tapi kemudian saya beralih banyak makan sayuran dan buah-buahan serta untuk proteinnya saya makan ikan yang serba direbus. Terkadang saya juga makan ayam hanya dagingnya saja tapi dengan porsinya yang sedikit. Dan yang utama selalu menggunakan “JAMU” alias jaga mulut saya untuk tidak memakan makanan yang dahulu sangat saya sukai. Saya berusaha untuk menjaga pola hidup saya dengan menjaga pola makan, tidak stres dan olahraga yang teratur. Terlambat sih sebenar-nya karena saya baru memu- lainya saat berumur 68 tahun ketika saya harus menjalani pembedahan jantung. Tapi saya kira lebih baik terlambat dari- pada tidak sama sekali. Bahkan sekarang ini saya menjadi lebih baik dan fit dari se- belumnya. RM: Kegiatan apa yang biasa dokter laku- kan di waktu luang akhir pekanhari li- bur? SS: Yang pasti olahraga, pergi bersama cucu saya setiap akhir pekan. Pokoknya saya harus ketemu mereka bagaimanapun juga. Cucu saya sekarang sudah 6 orang. Saya juga tetap hobi makan ketika ada waktu luang tapi tentunya hobi makan yang sekarang ini berbeda dengan yang dulu. RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan dilingkungan sekitar Prof. Slamet untuk mananamkan pola hidup sehat? SS: Itu tadi, jangan hanya bicara tapi di- contohkan juga ke orang-orang sekitar saya. Saya juga sudah mencontohkan ke- pada teman, pasien dan keluarga saya. Bahkan banyak dari teman-teman saya yang berkonsultasi kepada saya karena mereka melihat sendiri kalau saya keliha- tan lebih sehat dan fit. Padahal usia saya sudah 71 tahun. Dan saya selalu menga- MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 34 takan kepada mereka supaya “JAMU” atau jaga mulut dan banyak makan sayur serta buah-buahan serta tentu saja melaku- kan olahraga yang teratur. Walaupun saya sendiri termasuk terlambat dalam meru- bah lifestyle saya. Untuk merubah lifestyle, awalnya tidak mudah dan terasa berat tapi saya selalu niatkan dalam hati bahwa saya harus merubah kebiasaan saya yang dulu se- perti makan keju, makan daging merah. Sekarang ini saja orang-orang muda ba- nyak yang sudah terkena diabetes, jan- tung, stroke dan itu dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat karena pe- rubahan pola makan seperti senang me- makan makanan siap saji. RM: Harapan dokter di pekerjaan dan kehidupan pribadi dokter untuk 5 tahun mendatang? SS: Yang pasti ingin tetap sehat dan saya berusaha menjadi orang yang sebijaksana mungkin. Kadang-kadang dulu itu, saya sering meletup-letup emosi nya. Sekarang saya lebih meredam emosi saya. Dalam pekerjaan untuk 5 tahun yang akan datang, yaitu di bagian Metabolik dan Endokrin RSCMFKUI ini saya berharap makin maju dan mengalami perubahan yang lebih baik lagi. Dan di bagian ini juga terus terlibat dalam peningkatan ke- sehatan terutama dalam hal pencegahan melalui penerangan kepada masyarakat bagaimana cara hidup yang sehat. RM: Saat ini penyakit-penyakit di bidang Endokrinologi yang paling sering diha- dapi apa ya Prof.? SS: Yang paling banyak adalah yang per- tama diabetes dan kedua tiroid. Diabetes di Indonesia sudah ada data sekarang dari Departemen Kesehatan DEPKES, yaitu kalau di kota besar prevalensinya orang yang terkena diabetes sekitar 12. Itu ni- lai yang cukup besar menurut saya. Tapi kemudian tahun 2008 kemarin keluar data gabungan dari kota dan pedesaan di selu- ruh Indonesia disurvey dan ternyata pen- derita diabetes di Indonesia sebesar 5,7. Untuk kasus tiroid juga banyak di Indo- nesia. Penyebabnya karena stres sehingga timbulah hipertiroid. RM: Penatalaksanaan penyakitnya sendiri bagaimana ya? SS: Sampai sekarang untuk diabetes, kita sudah membuat guideline untuk penatalak- sanaan diabetes karena kita mempunyai PERKENI Perkumpulan Endokrinologi Indonesia dan PERSADIA Persatuan Diabetes Indonesia sehingga guideline ini digunakan merata di seluruh Indonesia. Bahkan di Depok sendiri sudah melaku- kan upaya pencegahan diabetes kurang lebih 7 tahun mulai tahun 2001 dengan melibatkan DEPKES. RM: Bisa ceritakan pengalaman suka maupun duka selama menjalani profesi dokter? SS: Saya sangat menikmati profesi saya meskipun kerjanya berat. Pengalaman yang baik itu adalah saya merasa sangat puas sekali apabila kita melihat pasien itu sembuh dari penyakitnya dari pengo- batan yang diberikan. Jawabannya klise barangkali ya. Tapi memang betul kalau kita melihat pasien sembuh rasanya se- nang sekali. Dan biasanya mereka akan berterimakasih kepada saya padahal saya tidak mengharapkan terimakasih tersebut. Saya juga suka bilang kepada pasien saya bahwa yang menyembuhkan penyakit itu bukan saya tapi Allah SWT. Saya ini ha- nya sebagai penyambung tangan dengan ilmu-ilmu yang saya pelajari. Hubungan saya dengan pasien tentunya tidak selalu manis tapi juga ada pahitnya terutama bila berhadapan dengan pa- sien-pasien yang sulit. Malahan si pasien belum apa-apa sudah mendikte dan dia merasa bahwa dia lebih pinter dari dok- ternya. Apalagi zaman sekarang ini orang dengan mudah bisa browsing di internet untuk mencari informasi penyakit-pe- nyakit tertentu sehingga mereka merasa sudah mengetahui pengobatannya. Tapi hal itu alhamdullilah masih bisa ditangani dengan memberikan penjelasan yang baik tentang penyakit dan pengobatannya ke- pada pasien. RM: Apa harapan Prof. Slamet, khususnya untuk dokter-dokter muda di Indonesia? SS: Saya berharap dokter-dokter muda ini harus bisa menemukan cara-cara baru pengobatan atau pencegahan terhadap penyakit-penyakit dan bisa menemukan vaksin untuk mencegah penyakit-penyakit yang kita takutkan. Dan juga penelitian- penelitian para dokter muda ini harus kita pacu dan biaya yang tentu saja didukung kalau bisa oleh pemerintah. Karena untuk melakukan suatu penelitian itu memerlu- kan biaya yang sangat besar. GLH MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 35 P ada tanggal 20 Desember 2008, diadakan acara round table discussion “Update Management in Dengue Hemor- rhagic Fever” yang diadakan di Hotel Borobudur, ruang Timor, Jakarta Pusat. Acara dibuka den- gan sambutan dari Ketua PAPDI JAYA DR. dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV, FACC. Diskusi dimulai oleh modera- tor Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH dengan menekankan bahwa penyakit DBD merupakan penyakit yang perlu diwaspadai. Menurut Dr. Tunggul D Situmo- rang, SpPD, KGH, patofisiologi demam berdarah sampai saat ini tidak banyak berubah sedangkan untuk diagnosis kita sekarang mengenal NS1 antigen. Kemudian acara dilanjutkan dengan presentasi dari Dr. Leo- nard Nainggolan, SpPD, KPTI, yaitu tentang: Patofisiologi dan Diagnosis De- mam Berdarah Dengue” Dr. Leonard memulai sharing materi dengan memaparkan epi- demiologi infeksi dengue secara global, sampai pada distribusi se- rotype , dan jumlah kasus demam berdarah dengue DBD secara lokal. Di mana kasus infeksi de- ngue secara global semakin me- luas. Kemudian secara lokal, di Indonesia dari tahun 2004-2007 di mana kasus DBD semakin meningkat. Akan tetapi BMS ber- harap kasus DBD menurun apa- bila PSN-DBD berhasil. Apabila kita bisa mengetahui patofisiologi demam berdarah dengan baik, umumnya kita tidak akan kecolongan. Karena fase kri- tis Cuma pada jam ke-24 - 48, asal- kan pasien datang belum shock. Ada falsafah yang mengatakan jika terjadi kasus demam berdarah pre-shock tetapi meninggal, maka hal ini merupakan kesalahan dok- ter. Patogenesis DBD bermacam- macam. Ada yang menerangkan bahwa virulensi virus yang sang- at berperan terhadap severity of disease . Ada juga teori peranan mediator, apoptosis, genetik, dan antibody dependent enhancement . Sebagian ahli menganut antibody dependent enhancement , di mana infeksi virus dengue yang kedua dengan serotype virus yang ber- beda akan memberikan mani- festasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada akhirnya men- jelaskan akan adanya gangguan hemostasis, permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma. Nyamuk membutuhkan da- rah untuk mematangkan telurnya, tidak hanya darah manusia, darah sapi juga bisa. Jadi sapi juga bisa mengalami DBD. Virus dengue membutuhkan waktu kira-kira 10 hari untuk bereproduksi. Kemu- dian nyamuk yang mengandung virus menggigit manusia sehat. Virus dengue akan ada untuk se- lamanya dalam tubuh virus sam- pai nyamuk mati. Patofisiologi: Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Me- nurut antibody dependent enhance- ment , antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi semacam opsonisasi untuk mem- fasilitasi virus menempel ke per- mukaan makrofag dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan me- lepaskan monokin, sitokin, hista- mine, dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel me- lebar, selanjutnya terjadi keboco- ran cairan intravaskular ke ruang eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi hipovolemia, hemokon- sentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral. Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu sediri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel. Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi. Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit yang dipan- tau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output dan hemostasis. Dari peng- alaman dokter, apabila tidak terja- di pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak meng- akibatkan kematian pasien. Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler ter- gantung ukuran celah endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kom- partemen perivaskular, dan per- bedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik di intra dan ek- stravaskular. Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang mendorong plasma keluar dari intravaskular ke eks- travaskular. Tekanan onkotik adalah nilai tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang memiliki sifat osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular. Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka plas- ma bisa keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh. Sedangkan di mikrokapiler tekanan hidrosta- tik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga cairan tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengan- dung CO 2 dapat dikembalikan ke dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita te- lah mengetahui kalau kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid un- tuk meningkatkan tekanan osmo- tik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya tanda-tanda ke- bocoran plasma. Pelebaran celah endotel da- pat juga menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular menge- jar makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat di- mengerti terjadi leukopenia pada DBD. Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki be- berapa hipotesa penyebab: 1 terjadi destruksi trombosit aki- bat interaksi antibody-antigen 20 Desember 2008 Hotel Borobudur, Ruang Timor, Jakarta-Pusat Round Table Discussion “Update Management in Dengue Hemorrhagic Fever” MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 36 virus dengue di permukaan trombosit; 2 kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi trom- bosit dengan kolagen suben- dotel sehingga terjadilah agre- gasi dan destruksi trombosit; 3 IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombos- it; 4 manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutu- han akan trombosit. Mani- festasi nomor 3 menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi antitrom- bosit. Perjalanan penyakit dengue seperti lagu menghitung hari. Pada kasus dengue, kita meng- hitung hari, ada masa inkubasi virus dengue ada dalam tubuh tapi tidak ada manifestasi klinis penyakit, fase akut demam hari I-IV, dan fase kritis hari V-VII, dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk meng- identifikasi fase kritis perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leu- kosit makin anjlok, dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trom- bositopeni, dan trombositopeni mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari ke- lima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedang- kan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sam- pai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test . Pemeriksaan de-ngan ELISA lebih akurat tetapi mem- butuhkan waktu yang lama 4 jam. Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebu- tuhkan waktu 5 menit. NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada per- mukaan virus, merupakan an- tigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terde- teksi dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan sebelum- nya. Dr. Leonard sempat bertemu dengan penemu alat rapid test un- tuk NS1 ini, dan menurut sang penemu hari ketiga merupakan puncak kadar NS1 sehingga pa- ling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terde- teksi. Untuk antibodi, dapat dide- teksi setelah kelima demam. Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan an- tibodi. Akan tetapi tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupa- kan uji yang paling sederhana dan spesifik untuk DBD. dr. Leonard menutup pre- sentasi dengan menekankan per- bedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi. Acara dilanjutkan kembali den- gan presentasi yang akan disam- paikan oleh dr. Kie Chen, SpPD, KPTI, yaitu mengenai: Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Dr. Kie Chen memulai dengan penekanan bahwa Indonesia merupakan endemik demam ber- darah dengue DBD dan pada de- mam berdarah terjadi kebocoran plasma. Terapi pada demam berdarah adalah terapi suportif. Yaitu mem- berikan cairan pengganti sampai respon imunologi itu berhenti. Kematian yang terjadi 1. Penetapan kasus DHF menu- rut WHO pada tahun 1997, yaitu: - Demam atau pernah demam, dalam 2-7 hari terakhit, dan bi- asanya biphasic. - Trombositopenia 100.000 mm 3 - Test tourniquet positif - Petecheae, ecchymoses, atau pur- pura. - Pendarahan di mukosa, saluran GI, tempat injeksi, atau lokasi lainnya. - Hematemesis atau melena. - Kejadian kebocoran plasma: peningkatan hematokrit 20, penurunan hematokrit setelah pemberian cairan pengganti 20 terhadap baseline. - Tanda-tanda kebocoran plasma lainnya: efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia. Tatalaksana DHF umumnya adalah tatalaksana yang bersifat suportif. Kita tidak mempunyai obat-obat yang bisa menyetop proses imunologi yang terjadi. Tetapi kebocoran plasma akibat respon imunologi akan berhenti dengan sendiri. Umumnya yang diberikan kepada pasien adalah cairan pengganti cairan tubuh, istirahat yang cukup, nutrisi. Selain itu diberikan pula obat an- tipiretik, akan tetapi hindari pem- berian aspirin dan NSAID karena obat-obat tersebut dapat memicu pendarahan. Hal yang paling penting juga dalam tatalaksana DHF adalah 1. monitoring tanda-tanda shock, bi- asanya selama fase afebril hari ke-4-6; 2. monitoring kesadaran, denyut nadi, dan tekanan darah; 3. monitoring hematokrit Ht dan jumlah platelet. Kita memiliki beberapa pilihan cairan. WHO menuliskan pem- berian cairan kristaloid, yaitu cairan yang mengandung elek- trolit. Sebaiknya jangan berikan cairan maintenance yang seperti dekstrosa dan cairan lainnya un- tuk nutrisi, karena cairan-cairan tersebut tidak bisa bertahan dalam kapiler dalam waktu yang lama. Cairan itu umumnya akan keluar dari pembuluh darah. Memang pemberian koloid belum direko- mendasikan pada protokol WHO. Tapi koloid dengan molekul yang lebih besar dapat bertahan lebih lama dalam plasma. Kita belum ada data untuk pemakaian koloid pada DHF III. Tetapi untuk DHF yang mengalami shock sudah ada penelitian yang dilakukan. Prinsip tatalaksana pemberian cairan: volume cairan yang diberi- kan merupakan jumlah defisit cairan tubuh ditambah deng-an jumlah cairan yang diperlukan untuk maintenance. Formula: Need of fluid day = Fluid deficit + maintenance 5 BW deficit = 5 x BW x 1000 mL Maintenance = 1500 + 20 x [BWkg - 20] Pemberian cairan harus disesuaikan sesuai dengan kondisi klinis pasien, evaluasi kondisi vi- tal Ht dilakukan setiap 4 jam seka- li. Jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pela- yanan Kesehatan Depkes 2005 Berikut adalah tatalaksana DHF dengan peningkatan Ht 20: MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 37 Tatalaksana renjatan Pada kesempatan ini, dipaparkan secara singkat hasil penelitian “An Open Pilot Study of the Ef- ficacy and Safety of Polygeline Haemaccell® in Adult Subjects with Dengue Hemorrhagic Fe- ver” yang diteliti oleh Herdiman J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat Djoko Santaso, Suhandro, dan Eppy dengan sponsor PT Dexa Medica. Terapi cairan pada pende- rita demam berdarah tahap III memiliki beberapa problema, se- bagai berikut: 1. terjadinya hemokonsentrasi selama terapi cairan pengganti sehingga dibutuhkan lebih ba- nyak cairan; 2. terjadi akumulasi cairan pada rongga-rongga tubuh seperti pleural efusi, asites, dan udem pada kadnung kemih. Problema ini memunculkan kebutuhan akan adanya cairan pengganti yang dapat bertahan lebih lama dalam intravaskular, mudah diekskresi, lebih aman untuk organ tubuh misal ginjal, memiliki pengaruh yang minimal terhadap sistem koagulasi, dan less allergic potential . Haemaccell® adalah cairan koloid yang memiliki kompo- sisi polygeline yang diperoleh dari tulang rawan sapi. Kandun- gan koloid yang memiliki Berat Molekul lebih besar dibanding cairan kristaloid memungkinkan Haemaccell® bertahan dalam in- travaskular lebih lama, dan apa- bila dibandingkan dengan cairan koloid lainnya, berat molekul polygeline adalah yang paling kecil sehingga lebih mudah diekskresi, lebih aman bagi ginjal, minimal mempengaruhi sistem koagulasi, dan kemungkinan menyebabkan alergi kecil. Hasil dari penelitian pilot dari Haemaccell® ini menunjukkan bahwa Haemaccell® aman dan efektif digunakan sebagai terapi cairan pada pasien demam berda- rah tahap III. Uji klinis kompara- tif dengan jumlah subjek yang lebih besar akan dilakukan untuk menegaskan efikasi dan keamanan Haemaccell®. Beberapa Hasil Diskusi Round Table Discussion Transfusi trombosit hanya diberi- kan pada kondisi pendarahan dan tidak pernah diberikan untuk pro- filaksis. Dalam beberapa peneli- tian yang telah dilakukan Dr. Kie Chen, SpPD, KPTI dkk, rendah- nya jumlah trombosit ti-dak selalu menimbulkan pendarahan. Yang penting adalah selalu monitoring, pendarahan tidak akan terjadi tan- pa diketahui. Bila terjadi epistaksis namun hemodinamik stabil, nadi tidak cepat, tidak gelisah, Ht nor- mal, maka tidak diberikan pembe- rian trombosit. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu: pasien gelisah, hemodinamik tid- ak stabil, Ht turun, adanya nyeri yang hebat pada abdomen, terasa mual yang hebat, barulah pem- berian transfusi trombosit harus dipertimbangkan. Apakah benar alat diagnostik NS1 berguna? Karena biayanya mahal sekali. Filosofi NS1 rapid test : mendeteksi sedini mungkin. Dibutuhkan di daerah endemik seperti di Indonesia. Tapi untuk pasien menengah ke bawah, bia- sanya dilakukan deteksi dini dari kadar leukosit. Ingat leucopenia mendahului trombositopenia. Ra- pid test NS1 sekarang bisa false posi- tive . Tapi sekarang sedang diteliti untuk menghindari false positive. Kemudian acara diakhiri dengan penutupam oleh modera- tor Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH dengan applause me- riah dari peserta. Wila, Taufik, Ana, Natalia, Lydia MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 38 MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 133 MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 134 IKLAN STIMUNO HISTRIN FT MED I CINUS Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 41 Website Dexa medica Tampil dengan Wajah Baru W ebsite Dexa Medica kini tampil dengan wajah baru. Disain dan menu-menu baru terlihat lebih dinamis. Website ini akan menjadi pintu gerbang infor- masi tentang Dexa Medica. Tampilan baru ini mulai dapat diakses pada Rabu, 4 Februari 2009, setelah Managing Director Dexa Medica, Ferry Soetikno melakukan browsing di sejum- lah menu-menu baru dalam website ini, seperti Presentations, 40 Tahun Dexa Medica, dan Hot News . Selain menu-menu baru, bera- gam pilihan menu lain yang dapat diakses seperti info produk ethical dan OTC, be- rita kesehatan dan farmasi, ca- lendar of event , ragam aktivitas sosial Dharma Dexa, hingga info karir. Web Dexa Medica akan senan- tiasa dikembangkan mengikuti dinamika teknologi informasi. Silahkan kunjungi, tampilan baru www.dexa-medica.com Corporate Communications Dexa Medica STimUno Raih anugerah Produk asli indonesia 2008 S TIMUNO yang diproduk- si PT Dexa Medica memperoleh Anugerah Produk Asli Indonesia APAI 2008, Pemenang Kategori Obat. Penghargaan ini diberikan oleh harian ekonomi terkemuka Bis- nis Indonesia, yang diserahkan pada Kamis, 11 Desember 2008, di Gedung Balai Kartini, Jakarta. APAI 2008 mengangkat tema “Goes Global” dirancang dan diwujudkan untuk mengang- kat produk asli Indonesia, baik berupa barang maupun jasa, agar dapat menjadi tuan ru- mah di negeri sendiri maupun mampu berlaga di ajang antar- bangsa. Penghargaan APAI 2008 un- tuk STIMUNO diserahkan oleh Wakil Pemimpin Perusahaan Harian Bisnis Indonesia, Harya- di B. Sukamdani kepada Sylvia Andriani Rizal, Head of Marke- ting and Sales OTC Dexa Medi- ca mewakili Managing Director Dexa Medica, Ferry Soetikno. Se- mentara itu, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, Ahmad Djau- har dalam sambutannya men- jelaskan bahwa para pemenang APAI 2008 akan difasilitasi un- tuk mengikuti ABAC ASEAN Business Advisory Council Award tahun 2009 mendatang. Dewan Juri APAI 2008 terdiri dari: 1. Insan Budi Maulana, Pengamat Hak Kekayaan Inte- lektual, Managing Partner and Head of Intellectual Property Prac- tice pada Lubis, Santosa Maulana Law Offices , 2. Yongky S. Susilo, Director, Business Development, Retail Services PT The Nielsen Company Indonesia , 3. Rofikoh Rokhim, Ekonom Harian Bisnis Indonesia, 4. Amalia E. Maula- na, Head of MM Strategic Mar- keting BiNus Business School , 5. Bambang Setiadi Kepala Badan Standardisasi Nasional BSN,

6. Goenawan Loekito, Pemerhati