Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
tida,  dihasilkan  oleh  bakteri  Gram-positif,  umumnya  digunakan  un- tuk  komunikasi  dalam  spesies  yang  sama intraspecies  communication,
among  Gram-positive  bacteria ,  dan  juga  dikelompokan  ke  dalam  AI-1;
iii  furanocyl  borate  diester,  dihasilkan  oleh  bakteri  Gram-negatif  dan Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies inter-
species  communication baik  sesama  Gram-negatif  atau  Gram-positif
atau  antara  Gram-positif  dengan  Gram-negatif  dan  sebaliknya,  AI ini dikelompokan ke dalam AI-2; dan iv  autoinducer-3 AI-3, struk-
turnya belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan epinephrine
suatu  sistem  sinyal  sel-inang  mamalia,  AI-3  dilaporkan terdapat pada Eschericia coli O157:H7.
10,11,12
Selain itu, ada juga sistem AI yang lain yang belum jelas struktur dan mekanismenya.
7
Sejumlah contoh AI disajikan pada Gambar 1.
13
Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser AI dari beberapa spesies bakteri: a be- berapa turunan acyl-homoserine lactone AHL dari sejumlah bakteri Gram-negatif;
b oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; c g-butryolactones dari Strep- tomyces griseus; dan d AI -2 dari Vibrio harveyi dan Salmonella typhymurium
13
mekanisme Umum Quorum Sensing
Ada tiga komponen penting dalam pengaturan QS pada bakteri yaitu i sintesa molekul sinyal atau sintesa AI, ii akumulasi molekul sinyal,
dan iii pengenalan molekul sinyal.
14
1.   QS pada bakteri Gram-negatif
QS  pada  bakteri  Gram-negatif  melibatkan  dua  komponen  gen protein pengatur yaitu protein R dan protein AI. Molekul sinyal
atau  AI  yang  diproduksi  oleh  sel-sel  secara  individu  tidak  ber- pengaruh  apa-apa  terhadap  transkripsi  gen  target,  baru  akan
berpengaruh jika telah mencapai jumlah minimal tertentu men- capai  quorum  tertentu.  Dengan  kata  lain,  jika  densitas  populasi
sel  rendah  maka  konsentrasi  AI  yang  dihasilkan  juga  rendah, pada kondisi non-quorum ini konsentrasi AI belum cukup untuk
mengaktifkan protein R, sehingga akan terjadi proses akumulasi AI  yang  sejalan  dengan  penambahan  jumlah  populasi  bakteri.
Akan tetapi jika populasi atau densitas sel telah mencapai jumlah minimal atau quorum tertentu, maka AI yang dihasilkan juga akan
cukup  untuk  mengaktifkan  protein  R,  pada  kondisi  quorum  ini, AI  akan  membentuk  kompleks  dengan  protein  R,  kompleks  AI-
protein R ini akan mengaktifkan terjadi transkripsi dan translasi gen pada gen target Gambar 2.
6
Contoh umum QS pada bakteri Gram-negatif adalah proses bioluminescence pada V. fischeri Gam-
bar 3.
15
Gambar 2. Mekanisme QS pada bakteri Gram-negatif
6
Gambar 3. Mekanisme QS pada Vibrio fischeri
15
2.   QS pada bakteri Gram-positif
Berbeda dengan bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif meng- gunakan senyawa oligopeptida sebagai sinyal komunikasi.
13
Selain itu juga melibatkan dua komponen sensor berupa histidin kinase
yang terikat pada membran sel, sensor histidin kinase tersebut ber- fungsi  sebagai  reseptor.
13
Sebagai  contoh,  QS  pada  Staphylococcus aureus
Gambar 4.
13
QS pada S. aureus diatur oleh sinyal komunika- si yang disebut  autoinducing peptide atau AIP dan dua sensor kinase
berupa  protein  AgrB  dan  AgrC,  yang  masing-masing  dikodekan oleh gen agrB dan agrC. Gen argD akan mengekspresikan protein
AgrD, protein AgrD ini diekspor keluar membran melalui sensor kinase AgrB pada membran, selain itu protein AgrB juga akan me-
nambahkan  cincin  thiolactone  pada  AgrD  dan  memodifikasi  pro- tein tersebut sehingga membentuk autoinducing peptide AIP yang
merupakan  peptida  siklik.  Selanjutnya  AIP  akan  dikenali  oleh sensor  kinase  kedua  yaitu  AgrC  sehingga  membentuk  kompleks
AgrC-AIP. Kompleks AgrC-AIP akan memfasilitasi terjadinya fos- forilasi pada protein AgrA sehingga terbentuk AgrA~P, akibatnya
AgrA  berada  dalam  keadaan  aktif.  AgrA~P  akan  menginduksi terekspresinya  gen  regulator  RNA  yang  disebut  RNAIII.  RNAIII
ini  akan  menekan  ekspresi  faktor-faktor  pelekatan  sel  dan  akan menginduksi  ekspresi  faktor-faktor  sekresi.  AgrA~P  atau  AgrA
yang teraktivasi ini juga akan menginduksi ekspresi gen agrBDCA. Proses ini akan meningkatkan jumlah AIP sejalan dengan pertam-
bahan jumlah sel sehingga membentuk suatu quorum.
13
24
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
Gambar 4.  Mekanisme QS pada  bakteri  Gram-positif, Staphylococcus  au- reus. P2 dan P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA
dan RNAIII
13
3   QS yang melibatkan AI-2
QS  yang  melibatkan  AI-1  AHSL  dan  oligopeptida  terjadi  pada kebanyakan  bakteri  yang  sama  spesiesnya.  Akan  tetapi  AI-1  ti-
dak cukup memadai jika bakteri dalam kondisi multispesies atau dalam komunitas tertentu yang terdiri dari berbagai spesies yang
berbeda.
12
Sejumlah bakteri baik Gram-negatif ataupun Gram-posi- tif, memiliki tambahan sinyal komunikasi lain yaitu AI-2. Berbeda
dengan  AI-1  yang  berfungsi  sebagai  alat  komunikasi  antar  spe- sies  yang  sama,  AI-2  ini  berfungsi  sebagai  alat  komunikasi  antar
spesies  yang  berbeda  jenis.  Bagi  bakteri  yang  hidup  dalam  suatu komunitas populasi yang beragam, misalnya pada multi-spesies bio-
films
, AI-2 tidak hanya berguna untuk merespon akibat perubahan jumlah densitas pada spesies yang sama, akan tetapi juga dapat di-
gunakan untuk merespon jumlah densitas spesies lain yang hadir dalam komunitas tersebut.
16
Gambar 5a. QS hibrid pada Vibrio harvey
i8
Pada V. harveyi, sintesa AI-2 tergantung kepada sintesa protein LuxS yang disandikan oleh gen luxS. Homologi gen luxS terdapat pada
berbagai  bakteri  Gram-negatif  ataupun  Gram-positif  Tabel  2.
17
Artinya bakteri-bakteri yang terdapat pada Tabel 2 tersebut dapat berkomunikasi dengan spesies lainnya dengan menggunakan AI-2
sebagai  sinyal  komunikasinya,  sehingga  AI-2  ini  disebut  juga  se- bagai “bahasa umum” atau “bahasa universal” pada bakteri. Pada
kenyataannya, sering kali bakteri melakukan QS secara berseri atau secara  paralel  yang  melibatkan  AI-1  dan  AI-2  secara  bergantian
atau bersamaan, seperti pada V. harveyi dan Bacillus subtilis Gam- bar 5.
18
Sistem QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2 sering di-sebut juga QS hibrid.
Gambar 5b. QS hibrid pada Bacillus subtilis
18
QS hubungannya dengan Patogenisitas Bakteri
Tabel 1 dan 2 menyajikan sejumlah aktivitas bakteri yang dikendalikan oleh sistem QS. Dari Tabel tersebut bisa dilihat bahwa sejumlah proses
patogenitas bakteri patogen manusia dikendalikan oleh QS, misalnya ekspresi gen-gen yang terlibat dalam virulensi, pembentukan  biofilm,
serta resistensi terhadap suatu antimikroba. Jadi jelas terjadi hubungan kuat antara QS dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri.
Salah  satu  yang  paling  populer  adalah  patogenisitas  pada  Pseu- domonas aeruginosa
penyebab cystic fibrosis.
19
QS pada P. aeruginosa diken- dalikan  oleh  dua  AI-1  yaitu  N-3-oxododecanoyl-L-homoserine  lactone
OdDHL  yang  mengatur  ekspresi  elaste,  eksotoksin  A,  protein  LasA, protease alkalin, neuraminidase, serta sekresi protein dan kedua adalah
N-butanoyl-L-homoserine lactone BHL yang mengatur ekspresi protease
alkalin, elastase, haemolysin, pyocyanin, cyanida HCN, aktivitas staphylo- lytic, lectins, chitinase
serta sekresi protein, kesemuanya itu merupakan faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas P. aeruginosa.
20
Biofilm  merupakan  sebuah  komunitas  mikroorganisme  baik  se- jenis ataupun berlainan jenis yang menempel pada suatu permukaan.
Biofilm menyebabkan lebih dari 80 penyakit infeksi dan lebih kurang dari  65  infeksi  nosokomial  disebabkan  oleh  mikroorganisme  yang
berkembang  dalam  biofilm.
21,22
Sejumlah  penyakit  infeksi  yang  dise- babkan atau dipengaruhi oleh pembentukan biofilm adalah plak gigi
dan dental caries, periodontitis, cystic fibrosis pneumonia, infective endocar- ditis,  muscle  skeletal  infections,  necrotizing  fasciitis,  osteomielitis,  meloido-
sis,  infectious  kidney  stones,  bacterial  endocarditis,  airway  infections,  otitis media, biliary tract infections, chronic bacterial prostatitis
dan infeksi yang disebabkan  karena  adanya  kontak  dengan  alat-alat  kesehatan  seperti
intravenous catheters, artificial joints dan contact lenses. Penelitian selan-
jutnya, dilaporkan bahwa hampir semua biofilm bakteri dikendalikan oleh sistem QS dan berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi.
23
Pencegahan Quorum Sensing QS
Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotik untuk mengen- dalikan penyakit infeksi bakteri. Akan tetapi, seringkali menyebabkan
resistensi pada bakteri tersebut, apalagi kalau patogen itu membentuk biofilm  yang  sukar  ditembus  oleh  antibiotik  karena  terlindungi  oleh
25
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
extracellular  polymeric substance
EPS. Deng- an  memahami  proses
QS,  maka  kita  dapat mengembangkan cara
pengendalian  bakteri yang tidak selalu ber-
basis  antibiotik,  yaitu dengan cara pendeka-
tan  pencegahan  QS. Sebenarnya
bakteri patogen  tidak  meng-
hasilkan faktor-faktor virulen  yang  pada
gilirannya  tidak  me- nimbulkan
infeksi, jika  bakteri  patogen
itu populasi
atau densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pence-
gahan  QS  berarti  juga  mencegah  bakteri  berkumpul  atau  ber-quorum, artinya  kita  tidak  berusaha  memberantas  atau  membunuh  bakteri  itu
selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit. Pencegahan  QS  ditujukan  untuk  merusak  sistem  komunikasi  bakteri
sehingga  massa  bakteri  tidak  berkumpul.  Dengan  mencegah  bakteri untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi pada bakteri
tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau pen-
yakit.
Pencegahan  QS  dapat  dilakukan  dengan  cara  penggunaan  sen- yawa atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau
merusak  QS  yang  sudah  terjadi.  Senyawa  atau  molekul  yang  bisa memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa
anti-QS  telah  banyak  dilaporkan  baik  yang  diisolasi  dari  alam  atau- pun yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari
AI dan furanone yang diisolasi dari alga merah Delisea pulchra.
24,25
Ar- tikel terbaru dan relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat
menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh Ni et al.
26
Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 1 se-
nyawa  pendegradasi  atau  degradator,  adalah  golongan  senyawa-se- nyawa yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lain-
nya,  golongan  ini  biasanya  adalah  enzim,  misalnya  enzim  laktonase yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; 2 senyawa antagonis; dan
3 senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkom- petisi dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR,
senyawa  analog  AI  termasuk  ke  dalam  kelompok  ini.  Skema  umum mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6a. Skema umum pencegahan QS degradasi senyawa AI Gambar 6b. Skema umum pencegahan QS kompetisi
Gambar 6c. Skema umum pencegahan QS antagonis
Gambar 6 a senyawa AI didegradasi oleh senyawa degradator misalnya  enzim  laktonase,  akibatnya  tidak  terjadi  kompleks  AI-
LuxR,  sehingga  tidak  terjadi  transkripsi  gen  target.  Pada  Gambar 6  b,  senyawa  kompetitor  akan  bersaing  dengan  AI  untuk  mem-
bentuk kompleks AI-LuxR, jika senyawa kompetitor atau senyawa analog  AI  menang  maka  akan  terjadi  kompleks  analog  AI-LuxR,
akan  tetapi  kompleks  ini  tidak  dikenali  oleh  gen  target  akibatnya tidak terjadi transkripsi gen target. Sedangkan pada Gambar 6 c,
senyawa  antagonis,  senyawa  antagonis  akan  mengkelat  senyawa AI  sehingga  AI  tidak  dikenali  lagi  oleh  protein  LuxR,  atau  jika
senyawa antagonis berikatan dengan protein LuxR akan mengaki- batkan  melawan  kerja  LuxR  secara  berlawanan  atau  antagonistik,
akibatnya kompleks senyawa  antagonis  dengan LuxR  tidak  dapat menempel pada gen target yang pada akhirnya tidak terjadi tran-
skripsi pada gen target tersebut.
Potensi Disain anti-QS
Fenomena  QS  yang  sangat  erat  hubungannya  dengan  terjadinya penyakit  infeksi  bakteri  ditambah  dengan  semakin  meningkatnya
masalah  resistensi  pada  sejumlah  bakteri  patogen,  memberikan kerangka  kerja  baru  bagi  para  ahli  yang  bergerak  dalam  bidang
pencarian  dan  pembuatan  obat  baru.  Gambar  7  merupakan  con- toh target yang berpotensi untuk disain pencarian atau pembuatan
anti-QS untuk obat.
27
Sebenarnya, disain anti-QS bisa dimulai dari tahapan  sintesa  AI,  kita  bisa  melalukan  penghambatan  langsung
pada sintesa AHL atau AIP atau AI-2 misalnya dengan mendisain senyawa yang dapat menghambat penggabungan asam lemak den-
gan acyl-ACP acyl carrier protein. Bisa juga dilakukan pada tahap
Dengan memahami proses QS, maka kita
dapat mengembangkan cara pengendalian
bakteri yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu
dengan cara pendekatan pencegahan QS.
26
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
transfer AI keluar membran dengan cara memblokir AI supaya tidak dapat disekresikan ke luar membran. Tentu saja masih banyak potensi-
potensi lain yang bisa jadi bahan pemikiran bagi para ahli untuk mend- isain anti-QS untuk kepentingan pencegahan penyakit dan pengobatan
penyakit. Secara umum disain obat baru untuk pencegahan penyakit yang disebabkan oleh aktivitas QS dapat dilakukan dengan memper-
hatikan  ligan-ligan  dan  reseptor-reseptor  yang  terlibat  dalam  QS  itu sendiri.
28
Pencarian  dan  modifikasi  anti-QS  dari  bahan  alampun  semakin banyak  dilakukan.  Senyawa  furanone  yang  dilaporkan  mempunyai
aktivitas  anti-QS  dan  diisolasi  dari  alga  merah  D.  pulchra,
25
ternya- ta  toksik  terhadap  manusia,  hal  ini  mendorong  sejumlah  ahli  untuk
mencari  senyawa  anti-QS  dari  bahan-bahan  alam  yang  aman  dikon- sumsi. Sejumlah ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat menghambat
QS.  Penulis  telah  melaporkan  bahwa  extract  vanila  dan  vanillin  yang merupakan  senyawa  yang  diisolasi  dari  ekstrak  vanilla  ternyata  bisa
menghambat  QS  pada  Chromobacterium  violacein  dan  menghambat produksi faktor-faktor virulensi yang dikendalikan oleh QS pada Pseu-
domonas aeruginosa
.
29,30
Gambar 7. Target yang berpotensi untuk pencegahan QS
27
Kesimpulan
Pengetahuan  baru  tentang  QS  memberikan  strategi  alternatif  dalam usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen
pada manusia, hewan, dan tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai labo- ratorium, baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga
penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan pada pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS
selanjutnya  diharapkan  untuk  dapat  digunakan  sebagai  obat  baru. Banyak  perusahaan  farmasi  di  luar  negri,  mengalokasikan  sejumlah
dana untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat dipe- roleh  bahan  pengendali  bakteri  yang  baru  anti-QS.  Sejumlah  kan-
didat  senyawa  anti-QS  sudah  banyak  dilaporkan,  akan  tetapi  baru sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat
ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersial- kan dan aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik
umum yang ada dipasaran.
Sejalan dengan itu, dengan dikumandangkannya slogan kembali ke alam back to nature dan menghindari efek samping kurang baik dari
penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga di- arahkan ke bahan alam senyawa biologis, baik bahan alam asal darat
terestrial atau darat maupun bahan alam asal laut marine. Indonesia sebagai  salah  satu  megabiodiversitas  dunia  mempunyai  banyak  kes-
empatan  untuk  berpartisipasi  dalam  pencarian  senyawa  biologis  un- tuk anti-QS. Dengan bahasan artikel ini diharapkan dapat mendorong
peneliti  dan  perusahaan  farmasi  Indonesia  untuk  turut  serta  dalam pencarian senyawa biologis untuk anti-QS dari bahan alam asli Indo-
nesia.
Daftar Pustaka 1.   Fuqua  WC,  Winans  SC,  Greenberg  EP.  Quorum  sensing  in  bacteria-the  LuxR-
LuxI  family  of  cell  density-responsive  transcriptional  regulators.  J  Bacteriol 1994; 1762:269-75
2.   Thomasz  A,  Mosser  JL.  On  the  nature  of  the  pneumococcal  activator  sub- stance. Proc Natl Acad Sci USA 1966; 55:625-32
3.   Nealson KH, Platt T, Hasting JW. Cellular control of the synthesis and activity of the bacterial luminescent system. J Bacteriol 1970; 1041:313-22
4.   Eberhard A, Burlingame AL, Kenyon GL, et al. Structural identification of au- toinducer of Photobacterium fischeri luciferase. Biochemistry 1981; 20:2444-
9 5.   Engebrecht  J,  Nealson  K,  Silverman  M.  Bacterial  bioluminescence:  isolation
and genetic analysis of functions from Vibrio fischeri. Cell 1983; 32:773-81 6.   de Kievit TR, Iglewski BH. Bacterium quorum sensing in pathogenic relation-
ships. Infect Immun 2000; 689:4839–49 7.   Swift  S,  Downie  JA,  Whitehead  NA,  Barnard  AML,  Salmon  GPC,  Williams  P.
Quorum sensing as a population-density-dependent determinant of bacterial physiology. Adv Microb Physiol 2001; 45:199–270
8.   Miller MB, Bassler BL. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol 2001; 55:165-99
9.   Kruppa M. Quorum sensing and Candida albicans. Mycoses 2009; 521:1-10 10. Whitehead PM, Barnard AML, Slater H, Simpson NJL, Salmond GPC. Quorum-
sensing in gram-negative bacteria. FEMS Microbiol Rev 2001; 25:365-404 11.  Sperandio V, Torres AG, Giron JA, Kaper JB. Bacteria-host communications: the
language of hormones. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100:8951-6 12.  Schauder S, Bassler BL. The languages of bacteria. Genes Dev 2001; 15:1468-
80 13.  Waters CM, Bassler BL. Quorum sensing: cell-to-cell communication in bacte-
ria. Annu Rev Cell Dev Biol 2005; 21:319-46 14.  Leonard  BA,  Podbielski  A.  Emerging  density  dependent  control  system  in
gram-positive cocci. In: Dunny GM, Winans SC, editors. Cell-cell signaling in bacteria. Washington, D.C: ASM Press; 1999.p.315-31
15.  Brenner K, Haseltine E, Tracewell C. Genetic circuits and synthetic ecosystems: Quorum sensing and genetic circuit design [on line] [cited 2009 Jan 29] 11:
[2 screens]. Available from: http:www.che.caltech.edugroupsfhaquorum. html
16.  Taga  ME,  Semmelhack  JL,  Bassler  BL.  The  LuxS-dependent  autoinducer  AI-2 controls the expression of an ABC transforter that functions in AI-2 uptake in
Salmonella typhimurium. Mol Microbiol 2001; 42:777-93 17.  Federle  MJ,  Bassler  BL.  Interspecies  communication  in  bacteria.  J  Clin  Invest
2003; 112:1291–9 18.  Henke  JM,  Bassler  BL.  Bacterial  social  engagements.  TREND  Cell  Biol  2004;
1611:649-56 19.  Geisenberger O, Givskov M, Riedel K, HÖiby N, Tummler B, Eberl L. Production
of N-acyl-L-homoserine lactones by P. aeruginosa isolates from chronic lung infection associated with cystic fibrosis. FEMS Microbiol Lett 2000; 184:273-
8 20.  Finch  RG,  Pritchard  DI,  Bycroft  BW,  Williams  P,  Stewart  GSAB.  Quorum  sens-
ing:  a  novel  target  for  anti-infective  therapy.  J  Antimicrob  Chemother  1998; 42:569-71
21.  Schachter  B.  Slimy  business—the  biotechnology  of  biofilms.  Nat  Biotechnol 2003; 21:361-5
22.  Douglas LJ. Medical importance of biofilms in Candida infections. Rev Iberoam. Micol 2002; 193:139-43
23.  Rice  D,  McDougald  D,  Kumar  N,  Kjelleberg  S.  The  use  of  quroum-sensing blockers as therapeutic agents for the control of biofilm-associated infections.
Curr Opin Investig Drugs 2005; 62:178-84 24.  Smith KM, Bu Y, Suga H. Induction and inhibition of Pseudomonas aeruginosa
quroum sensing by synthetic autoinducer analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9 25.  Hentzer  M,  Wu  H,  Andersen  JB,  Riedel  K,  Rasmussen  TB,  Bagge  N,  et  al.  At-
tenuation  of  Pseudomonas  aeruginosa  virulence  by  quorum  sensing  inhibi- tors. The EMBO J 2003; 2215:3803-15
26.  Ni  N,  Li  M,  Wang  J,  Wang  B.  Inhibitors  and  antagonists  of  bacterial  quorum sensing. Med Res Rev 2009; 291:65-124
27.  Whitehead NA, Welch M, Salmond GPC. Transgenic plants expressing an en- zyme that degrades microbial signaling molecules show promise in control-
ling damage caused by bacterial infection. Nat Biotechnol 2001; 19:735-6 28.  Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK, Schwartz RC, Sucic NT, et al. Bac-
terial  communicarion  “quorum  sensing”  via  ligands  and  receptors:  a  novel pharmacologic target for the design of antibiotic drugs. J Pharmacol Exp Ther
2005; 3122:417-423 29.  Choo  JH,  Rukayadi  Y,  Hwang  JK.  Inhibition  of  bacterial  quorum  sensing  by
vanilla extract. Lett Appl Microbiol 2006; 42:637-41 30.  Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. Vanillin inhibits quorum sensing - regulated
virulence  factors  production  of  Pseudomonas  aeruginosa.  Curr  Microbiol  In press
27
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
66 28
abstrak. Gap junction intercellular communication GJIC berperan dalam pertukaran metabolit dan ion antar sel. Berbagai zat  kimia  dapat  mempengaruhi  pembentukan  GJIC  di  membran  dan  menyebabkan  perubahan  komunikasi  interseluler  se-
hingga Ion, metabolit, dan zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal pada jaringan akibatnya terjadi gangguan pada integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan
sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur dan terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian didapatkan penurunan GJIC pada tumor yang sedang berkembang. Peran GJIC pada lesi metastasis masih kontroversial.GJIC
dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi dan bermetastasis pada tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor.
Kartika Widayati Taroeno-Hariadi
SubBagian Hematologi dan Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta
SMF Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Pendahuluan
Sel  secara  individual  memiliki  perlengkapan  untuk  dapat  berfungsi mandiri, namun hidup dan perilaku sel tersebut tergantung pada sel-
sel dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis dan kelang- sungan keutuhan seluler tergantung pada hubungan interseluler.
1
Tidak  seperti  sel  normal,  sel  kanker  memiliki  perangai  yang  ber- beda dari sel-sel di sekitarnya dan tumbuh di luar kendali homeostasis
normal.  Banyak  hasil  penelitian  yang  menunjukkan  komunikasi  in- terseluler  yang  memelihara  homeostasis  normal  terganggu  pada  ber-
bagai tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertum-
buhan tumor.
1
Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komu- nikasi melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua,
melalui  kontak  sel.  Berbeda  dengan  komunikasi  interseluler  melalui hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diiden-
tifikasi,  komunikasi  interseluler  melalui  cara  kontak  sel  sukar  dii- dentifikasi apa yang dikomunikasikan dan efek komunikasi tersebut.
Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler melalui kloning cDNA yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui
peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen terpenting pada kontak sel adalah gap junction intercellular communica-
tion
GJIC.
1,2
Tulisan  ini  dibuat  untuk  membantu  memahami  peranan  GJIC dalam  memelihara  homeostasis  dan  pertumbuhan  sel,  konsekuensi
adanya gangguan GJIC, peranan GJIC pada proses karsinogenesis, dan aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker.
Komunikasi interseluler melalui gjiC
Antar  satu  sel  dengan  sel  terdekat  terdapat  suatu  saluran  yang memungkinkan  terjadi  kontak  langsung  dan  transfer  ion,  metabo-
lit,  molekul  seperti:  kalium,  cAMP,  inositol  triphosphate,  calcium,  yang disebut GJIC.
1,3-5
GJIC mampu menghantarkan molekul bila memiliki ukuran 1000 dalton.
1
Pada jaringan yang berbeda, struktur penyusun GJIC juga tidak sama. Meskipun strukturnya berbeda, pada umumnya
GJIC terdiri dari 6 subunit hexamer protein connexin yang membentuk satu  hemichannel  connexon  pada  tiap  sisi  membran  sitoplasma.  Con-
nexon  hemichannel dari  masing-masing  sitoplasma  yang  berdekatan
akan melekat membentuk channel saluran. Channel ini bisa membuka menutup dengan cara merapatkan connexin pada tiap connexon.
6
Connexin memiliki  untaian  tetap  dan  untaian  variabel.  Letak  con-
nexin ini pada membran dijelaskan sebagai berikut: akhiran amino dan
karboksi  terdapat  pada  sitoplasma,  dan  protein  melekuk  2  kali  pada membran memberikan gambaran seperti huruf M, dengan 2 regio eks-
traseluler dan 3 regio sitoplasma.
Gambar 1. Skema GJIC pada membran  lipid bilayer dan topologi connexin
1
GJIC dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pembu- luh  darah  dan  otot  skelet.  Beberapa  connexin  menunjukkan  spesifisi-
tas  ekspresi  pada  jaringan  tertentu,  namun  juga  sebaliknya  beberapa jaringan dan sel-sel penyusunnya juga bisa mengekspresikan berbagai
connexin yang berbeda.
1,2
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
29
Tabel 1. Ekspresi gena connexin
2
Connexin Klas
Jaringan Tipe Sel
Cx26 Cx30.3
Cx31 Cx31.1
Cx32 Cx33
Cx37 Cx40
Cx43
Cx45 Cx46
Cx50 β
β β
β
β α
α α
α
α α
α hepar, ginjal, lien, testes, paru,
lambung, otak, pankreas, kulit, kelenjar pineal
kulit kulit, testes
epitel skuamosa terstratiikasi, kulit, testes
hepar, otak, ginjal, lien, uterus, testes, paru, lambung, usus
halus testes
vaskuler, jantung, otak, lam- bung, usus halus, lien, ginjal,
uterus, ovarium, paru, kulit vaskuler, jantung, ginjal,
uterus, ovarium, paru, usus halus
jantung, otak, otot polos, ginjal, uterus, ovarium, testes,
paru, lambung, usus halus, kulit, lensa, kornea, tulang,
plasenta paru, jantung, otak, ginjal,
usus halus lensa, hati, ginjal, saraf perifer
lensa, kornea, jantung hepatosit, neuron, kerati-
nosit, pinealosit keratinosit
keratinosit hepatosit, oligodendrosit,
neuron, sel epitel tiroid, sel Schwann
sel Sertoli sel endotel, miosit, kerati-
nosit sel endotel, serabut
Purkinje miosit, otot polos, astrosit,
sel endotel ibroblas, ke- ratinosit, sel ependima
sel Leydig, makrofag, os- teosit, sel B pankreas, sel
folikuler dan epitel tiroid, sel trofoblas
serabut lensa, sel Schwann
serabut lensa, sel-sel epitel, katup AV
Penyusunan connexon dan gap junction dimulai dengan sel kontak melalui cellular adhesion molecules CAMs. Kontak suatu sel dengan sel
lain  memerlukan  suatu  adhesion  molecule  molekul  pelekat.  Terdapat korelasi antara ekspresi CAMs dan protein gap junctions. Adanya adhe-
sion molecule menginduksi ekspresi GJIC, dengan asumsi bahwa kon-
tak interseluler menginduksi terbentuknya saluran gap junction. Tran- feksi E-cadherin pada sel line dengan defisiensi komunikasi dan tidak
mengekspresikan  CAMs  akan  berakibat  induksi  GJIC  pada  klonal yang  mengekspresikan  E-cadherin.
2,7
Transfeksi  LCAM  pada  sel  yang tidak mampu berkomunikasi akan menginduksi ekspresi GJIC disertai
fosforilasi  connexin  endogen  Cx43  dari  sitoplasma  menuju  membran plasma.  Fosforilasi  connexin  ini  memegang  peranan  penting  dalam
ekspresi GJIC. Masing-masing untai connexin memiliki pola fosforilasi tertentu sehingga memiliki regulasi ekspresi dan fungsi yang berbeda.
Cx32  mengalami  fosforilasi  oleh  cAMP,  protein  kinase  C  PKC  dan Ca
2+
calmodulin  dependent  protein  kinase  II,  sementara  Cx43  hanya  di- fosforilasi oleh PKC dan mitogen-activated protein kinase. Abnormalitas
pada  proses  fosforilasi  connexin  ini  ternyata  akan  menyebabkan  ken- dali pertumbuhan sel menjadi berubah.
Fosforilasi  protein  gap  junction  memegang  peran  penting  dalam membentuk  gap  junction  yang  dapat  berfungsi  baik.  Sebagian  besar
connexin mengalami  fosforilasi  in  vivo  terutama  pada  residu  seri-
ne ,  residu  threonine,  dan  residu  tyrosine  yang  terletak  pada  akhiran
karboksil  Carboxyl-terminal=CT.  Fosforilasi  ini  dibutuhkan  untuk menyusun  dan  memfungsikan  GJIC.
6
Faktor  pertumbuhan,  kinase protein onkogen, hormon, dan mediator inflamasi berperan pada GJIC
melalui  proses  fosforilasi  domain  protein  CT  asam  amino  236-382. Beberapa kinase yang mempengaruhi GJIC berhasil diidentifikasi ter-
masuk  Protein Kinase C PKC Ser 368 and Ser 372, mitogen-activated protein  kinase
s  MAPKs  Ser  255,  Ser  279,  and  Ser  282,  cdc2cyclinB Ser 255, dan casein kinase I Ser 325, Ser 328, dan Ser 330.
8
Proses perpindahan connexin menuju membran plasma juga pen- ting untuk keutuhan dan fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel  dengan
Cx43  yang  gagal  mencapai  membran  plasma  merupakan  sel  dengan defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi
translokasi  Cx43  dari  sitoplasma  menuju  membran  plasma.  Dengan demikian meskipun protein GJIC tetap ada pada berbagai jenis tumor
namun tidak diproses dengan benar dan tidak ditransportasikan untuk membentuk GJIC.
2
Hemichannel biasanya  dalam  keadaan  tertutup  dan  pada  saat  ter-
buka  berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal parakrin seperti ATP, glutamat, NAD
+
, dan prostaglandin. Hemichan- nel
menutup pada konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstrase- luler.  Saluran  akan  membuka  bila  terjadi  penurunan  kadar  kalsium
ekstraseluler,  depolarisasi  membran  yang  kuat,  stimulasi  mekanik, ekstraseluler  UTP,  penghambatan  metabolik,  infeksi  shigela,  dan  pe-
ningkatan kalsium sitoplasma. Beberapa kinase dan asam arakidonat diketahui mampu memodulasi GJIC.
6
GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Con- nexin
akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin pro- teasomal pathway
. Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homo-
meric adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama
dan connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan
negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon yang berbeda pada sel yang berbeda ikatan heterotypic. Dengan demi-
kian sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat
membentuk  saluran  fungsional  dengan  beberapa  connexin  dan  tidak dengan connexin yang lainnya.
2,9
gjiC dan Karsinogenesis
Pertumbuhan  sel  yang  tidak  teratur  merupakan  ciri  khas  tumor,  se- hingga tidak mengejutkan bahwa sel-sel kanker menunjukkan adanya
GJIC yang abnormal. GJIC abnormal terjadi pada  GJIC homolog dan GJIC heterolog.
10
GJIC homolog melakukan komunikasi antar sel yang serupa.
2
Pada sel-sel tumor GJIC tipe ini sering terganggu namun ada juga beberapa
tumor yang mempertahankan  kadar GJIC homolog yang sama seperti sel-sel normal. Hilangnya GJIC tipe homolog di antara sel-sel kanker
itu  sendiri  akan m e n i n g k a t k a n
h e t e r o g e n i t a s sehingga
sel-sel dengan  fenotipe
paling ganas yang akan
mendomi- nasi populasi.
GJIC hete-
rolog terganggu
pada beberapa tu- mor  berdasarkan
bukti  bahwa  sel- sel  tumor  tidak
b e r k o m u n i k a s i dengan
sel-sel normal  di  seki-
tarnya.  Sel kanker memerlukan  per-
tumbuhan  tanpa gangguan
dari sel-sel  normal  di
sekitarnya  karena itu
dibutuhkan p e n g h a m b a t a n
pada  GJIC  tipe heterolog.
Fosforilasi protein gap junction memegang peran
penting dalam membentuk gap junction yang dapat
berfungsi baik. Sebagian
besar connexin mengalami fosforilasi in vivo
terutama pada residu serine, residu threonine, dan
residu tyrosine yang terletak pada akhiran
karboksil Carboxyl- terminal=CT.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
30 Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya pada kultur sel-
sel epitel kanker hati pada tikus, dan tumor hati pada manusia.
11,12
Sementara  itu  pada  tumor  metastasis  atau  anak  sebar,  peran  GJIC masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog dan reekspresi dari
adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metasta-
sis dengan endotel kapiler dan tempat baru untuk metastasis. Pada daerah metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC dan adhesion molecule
lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer.
13
Down  Regulation  gjiC  oleh  agen  Pe- numbuh  Tumor  Tumor-Promoting
Agents, onkogen, dan faktor Pertum- buhan
Banyak  bukti  menunjukkan  bahwa  agen  pe- numbuh  tumor  mampu  menghambat  GJIC.
GJIC  pada  kultur  sel  dapat  dihambat  secara reversibel  oleh  forbol  ester  sehingga  trans-
fer  molekul  dan  ion  terganggu.  Bukti  in  vivo diperlukan  karena  kompleksitas  komunikasi
inteseluler  tidak  bisa  semuanya  ditiru  se- cara in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati
menurunkan  gap  junction  dan  menghambat GJIC pada hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC
akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang mendahului  perubahan  ke  arah  ganas  yaitu
promosi tumor.
2
Beberapa  onkogen  dan  faktor  pertumbu- han juga menghambat GJIC, seperti onkogen
retroviral v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps, onko- gen  virus  DNA  polioma-middle  T,  SV-40  T,
HPV 16 E5 dan onkogen seluler c-src, C-Ha- ras,  c-erbB2.    Faktor  pertumbuhan  dan  hor-
mon  yang  menghambat  GJIC  adalah  fibrob- last growth factor, platelet derived growth factor,
transforming  growth  factor  B,  epidermal  growth factor dan testosterone
.
2
Kaitan  antara  Down  Regulation  gjiC Dan Karsinogenesis
Ada 3 proses yang terlibat pada abnormalitas GJIC di kanker yaitu:
1.   abnormalitas GJIC pada tumor, 2.   down regulation GJIC oleh agen penumbuh tumor atau gen penum-
buh tumor, dan 3.   up-regulation GJIC oleh penghambat karsinogenesis.
Riset pada syrian hamster embrio SHE membuktikan adanya kore- lasi antara penghambatan GJIC dengan peningkatan transformasi sel
oleh phorbol ester.
14,15
Namun penghambatan GJIC tidak tampak deng- an  agen  penumbuh  tumor  lain.  Penurunan  ekspresi  Cx26  dan  Cx43
juga terlihat pada karsinoma skuamosa kulit tikus.
16
Penghambatan  GJIC  lebih  merupakan  faktor  penyerta  penting pada karsinogenesis namun bukan menjadi faktor utama.
mekanisme molekuler yang Terlibat dalam Penghambatan gjiC pada Tumor yang Diinduksi Karsinogen
Karena GJIC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agen penumbuh tumor, onkogen, dan faktor pertumbuhan, dipikirkan adanya suatu me-
kanisme pengaturan pada GJIC yang menjadi sasaran dari faktor-faktor tersebut.  GJIC  dapat  dimodulasi  melalui  beberapa  mekanisme  baik
yang terlibat pada mekanisme pengaturan protein seperti transkripsi, stabilisasi mRNA, kontrol translasi, fosforilasi post-translation ataupun
mekanisme  lain  seperti  translokasi  ke  membran  sitoplasma,  adhesion molecule
,  matriks  ekstraseluler,  faktor  pertumbuhan,  faktor  penentu membuka dan menutupnya channel, serta mutasi gen connexon.
2,17,18
Modulasi post-translation merupakan mekanisme utama perubahan GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver
tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Pro- tein Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum dan sesu-
dah  penambahan  karsinogen  TPA,  namun  bentuk  fosforilasi  meng- alami perubahan sehingga protein connexin terletak pada sitoplasma,
tidak pada membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC.
2
Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin dan adhesion molecule  cell
. Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat pen- ting  bagi  Cx43  untuk  membentuk  fung-
sional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga menjelaskan  mengapa  GJIC  pada  kerati-
nosit  tikus  sangat  tergantung  Ca
2+
karena E-cadherin
merupakan  sel  yang  tergan- tung pada Ca
2+
. Ekspresi E-cadherin sangat menurun  pada  tumor  kulit  tikus  selama
perkembangan  invasive    dan  metatasis. Penurunan ekspresi dan mutasi E-cadherin
juga ditemukan pada berbagai jenis kanker pada manusia.
2,19
GJIC membutuhkan mekanisme pengena- lan sel yang memadai. Tumor tidak mampu
membentuk  GJIC  heterolog  dengan  sel-sel normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel
hepar  tikus  bertumor  dikultur  bersamaan dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa
tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC he- terolog.  Dapat  disimpulkan  bahwa  sel-sel
homolog mempunyai suatu mekanisme un- tuk mengenali sel-sel sejenis di antara mere-
ka, dan mekanisme pengenalan ini tidak ada di antara sel-sel normal dan sel tumor.
2,20
Supresi Tumor oleh Connexin
Adanya  percobaan  transfeksi  over  expres- sion
cDNA connexin  pada  sel  tumor  mem- buktikan  bahwa  GJIC  fungsional  mampu
menekan  tumorigenesis  pada  beberapa tipe  sel-sel  yang  mengalami  transformasi.
Fibroblast sel-sel  tikus,  sel  glioma,  sel-sel
rhabdomyosarcoma manusia  yang  ditrans-
formasikan  secara  kimiawi,  mengalami  defisiensi  Cx43,  dan  setelah ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tu-
mor dan perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 pada sel-sel hepatoma manusia, dan Cx26 pada HeLa cell yang berasal dari
sel-sel  servikal  uteri.  Jadi  tampaknya  efek  connexin  pada  pengham- batan  pertumbuhan  sel  bersifat  selektif  menurut  spesifikasi  connexin
tersebut.
2,24
Connexin dan apoptosis
21
Perubahan  molekul  yang  terlibat  pada  pengaturan  proses  kematian sel  melalui  apoptosis  penting  pada  karsinogenesis.  Connexin  menjadi
molekul  target  modulasi  apoptosis.  Connexin  yang  tetap  berada  pada sitoplasma  dan  tidak  diekspresikan  pada  membran  sel  kehilangan
fungsinya dalam komunikasi antar sel dan mungkin berperan pada per- tumbuhan tumor. Connexin sitoplasma ini sering dijumpai pada tumor.
Mutasi pada regio ekstraseluler dan transmembran connexin akan menyebabkan connexin tetap berada pada sitoplasma dan kehilangan
fungsinya dalam pengaturan pertumbuhan tumor, namun salah satu penelitian lain menyebutkan bahwa mutasi salah satu regio ekstrase-
luler  lain  pada  connexin  menyebabkan  lokalisasi  ke  sitoplasma  namun fungsi penghambatan tumor oleh Cx43 tersebut tidak terganggu. Jadi,
pengaturan  pertumbuhan  tumor  pada  Cx43  tidak  tergantung  pada fungsi  GJIC.  Connexin  sitoplasma  mampu  mengontrol  pertumbuhan
tumor melalui pengaruhnya pada  ekspresi gen yang mengatur fungsi- fungsi sel kanker. Jadi, lokasi connexin pada sitoplasma atau membran
plasma memiliki fungsi yang berbeda antara sel kanker dan sel normal.
Connexin memiliki peran pada penekanan tumor.
Connexin menghambat pertumbuhan sel dan
menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di
samping itu connexin meningkatkan apoptosis
melalui transfer molekul
signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang
belum jelas  dan terutama dilakukan oleh connexin
yang terletak pada plasma membran.
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
31 Connexin
memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin meng- hambat  pertumbuhan  sel  dan  menghambat  pengaturan  diferensiasi
jaringan.  Di  samping  itu  connexin  meningkatkan  apoptosis  melalui transfer  molekul  signaling  melalui  GCIJ  dengan  mekanisme  yang  be-
lum  jelas    dan  terutama  dilakukan  oleh  connexin  yang  terletak  pada plasma  membran.  Dihipotesiskan  bahwa  peran  connexin  pada  apop-
tosis  ini  di  antaranya  melalui  pengaturan  pada  protein.  famili  Bcl-2. Connexin
pada  sitoplasma  memiliki  signaling  pathway  yang  berbeda dari connexin pada plasma membran. Transduksi sinyal connexin mem-
butuhkan  interaksi  dengan  protein-protein  intraseluler  lain.  Huang dkk  menemukan  penurunan  ekspresi  Bcl-2    pada  sel-sel  ganas  yang
ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi pada sel-sel nontransfeksi.
22
Gen connexin mengatur ekspresi gen lain pada tumor sel. Tanaka dkk juga  menemukan  bahwa  sel-sel  tumor  prostat  yang  ditransfeksikan
Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian si- klus sel pada fase G2M, penurunan ekspresi Bcl-2, dan peningkatan
apoptosis.
23
Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin dan mungkin penurunan fungsi.
mekanisme Kontrol Pertumbuhan negatif oleh Connexin
2
GJIC membentuk saluran antar sel untuk penyebaran atau dispersi fak- tor intraseluler terlarut guna mengontrol pertumbuhan sel. Faktor ini
melewati GJIC heterolog antara sel-sel normal dengan sel yang menga- lami transformasi dan menghambat pertumbuhan sel-sel yang menga-
lami transformasi.
Jika GJIC memiliki efek pada pertumbuhan sel, maka tentunya ada perubahan pada siklus sel, namun ternyata peran GJIC pada siklus sel
masih belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan, bahwa GJIC hilang pada saat aktivitas mitosis dan pada saat terjadi perubahan stabilitas
mRNA.  GJIC  juga  menurun  di  antara  waktu  mitosis  dan  nonmitosis sel-sel  granulosa  tikus  imortal.  Namun  GJIC  juga  muncul  pada  fase
antara mitosis dan interfase kultur fibroblas, dan kadar transcript con- nexin
meningkat selama fase S. Pada  sel-sel  yang  mengalami  transformasi  dan  ditransfeksikan
Cx43 akan terjadi penurunan ekspresi gen yang terlibat pada siklus sel seperti cyclin A, D1, D2 dan CDK5, CDK6.
Sel  glioma  yang  ditransfeksikan  dengan  Cx43  dikultur  bersama- sama dengan sel-sel glioma yang tidak ditransfeksi. Percobaan ini un-
tuk melihat apakah transfeksi Cx43 mampu mengubah pertumbuhan sel  melalui  GJIC  heterolog.  Hasil  penelitian  menunjukkan  sel  glioma
membentuk gap junction dengan sel-sel yang ditransfeksi Cx43, dan ter- jadi penurunan tingkat proliferasi.
Jadi  GJIC  mampu  memodulasi  pertumbuhan  sel  melalui  peruba- han ekspresi gen.
Peran  dan  aplikasi  Connexin  atau  gjiC  Terhadap  Kemo- prevensi dan Terapi Kanker
Banyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin lebih  menyerupai  gen  penekan  tumor,  maka  transfeksi  gen  connexin
akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu bystander  effect
dan  pengendalian  pertumbuhan  sel.  Jadi  efek  terapi kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. Terapi yang
diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan pada sel-sel di sekitarnya melalui GJIC  sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh  pada
sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase dari Herpes simplex virus HSV-tk. Sel HeLa HSV-tk  ini akan mati oleh
ganciclovir
karena  ganciclovir  diaktifkan  oleh  HSV-tk;  namun  sel-sel HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk tk- tetap hidup
karena ganciclovir tidak aktif pada jenis sel ini. Namun bila digunakan sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junc-
tion Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ na-
mun juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir toksik  yang  difosforilasi  oleh  HSV-tk  ditransfer  melalui  GJIC  ke  sel-
sel tk-. Contoh lain  adalah pada terapi tumor otak dengan transfeksi gen  tymidine  kinase  dari  HSV  HSV-tk.  Sel-sel  yang  ditransfeksikan
dengan gen HSV-tk dan juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh ganciclovir
karena GJIC masih berfungsi normal.
Kesimpulan
GJIC  berperan  menjaga  homeostasis  normal  dan  kendali  pertumbu- han sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis
tumor  terjadi  gangguan  ekspresi  connexin.  Gangguan  ini  bisa  berupa down  regulation  protein  connexin
karena  gangguan  fosforilasi.  Terjad- inya gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh
dan  berkembang  tanpa  pengaruh  kendali  sel-sel  di  sekitarnya,  dan gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar
sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi, GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau  memo-
dulasi efek kemoterapi melalui bystander effect.
Daftar Pustaka 1.   Yamasaki  H.  Gap  Junctional  intercellular  comunication  and  carcinogenesis
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8 2.   Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinoge-
nesis 1996; 176:11990-213 3.    Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4Suppl.:239-266
4.    Lawrence TS, Beers WH, and  Gilula NB. Hormonal stimulation and cell com- munication in cocultures. Nature 1978; 272:501-6
5.  Saez JC, Conner JA, Spray DC and  Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to cal-
cium ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12 6.   De  Vuyst  E,  Decrock  E,  De  Bock  M,  Yamasaki  H,  Naus  CC,  Evans  WH,  et  al.
Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46 7.  Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regu-
lation  of  connexin  43-mediated  gap  junctional  intercellular  communication by Ca
2+
in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991; 114:545-55
8.   Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junc- tional communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:1171–86
9.   Bruzzone  R,  White  TW,  dan  Paul  DL.  Connections  with  connexins:  the  mo- lecular  basis  of  direct  intercellular  signaling.  Eur  J  Biochem  1996;  in  press
2381:1-27 10.  Yamasaki  H.  Gap  Junctional  intercellular  comunication  and  carcinogenesis
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8 11.  Mesnil  M  dan  Yamasaki  H.  Selective  gap-junctional  communication  capacity
of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogen- esis.1988; 9:1499-502
12.  Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et al.  Altered  homologous  and  heterologous  gap-junctional  intercellular  com-
munication  in  primary  human  liver  tumors  associated  with  aberrant  protein localization  but  not  gene  mutation  of  connexin  32.  Int  J  Cancer  1994;  56:
87-94 13.  Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak,
et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:429–33
14.  Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular com- munication and enhancement of morphological transformation of syrian ham-
ster  embryo  cells  by  TPA.  Use  of  TPA-sensitive  and  TPA-resistant  cell  lines. Carcinogenesis 1985; 6:899-902
15.  Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction of  morphological  transformation  of  hamster  embryo  cells  with  no  effect  on
gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14 16.  Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional
intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13
17.  Musil  LS,  Goodenough  DA.  Biochemical  analysis  of  connexin43  intracellular transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell
Biol 1991; 115:1357-74 18.  Unwin  PN,  Ennis  PD.  Calcium-mediated  changes  in  gap  junction  structure:
evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66 19.  Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in
human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102 20.  Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism
of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular commu- nication in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84
21.  Kanczuga-Koda. L,  Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Con- nexin 26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal can-
cer. World J Gastroenterol 2005:1110:1544-8 22.  Huang  RP,  Hossain  MZ,  Huang  R,  Gano  J,  Fan  Y,  Boynton  AL.  Connexin  43
cx43  enhances  chemotherapy-induced  apoptosis  in  human  glioblastoma cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8
23.  Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apopto- sis and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep
2004; 11:537-541
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
32
Ketua Pusat Diabetes dan Lipid RS Dr. Cipto MangunkusumoFakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
D
i  bagian  Metabolik  dan Endokrinologi
nama Prof. Slamet Suyono su-
dah tidak asing lagi. Beliau seka- rang ini masih menjabat sebagai
Ketua  di  Pusat  Diabetes  dan  Li- pid di RSCMFKUI, dan merupa-
kan  salah  satu  tokoh  yang  turut mengembangkan Pusat Diabetes
dan Lipid ini. Bahkan beliau juga sempat secara khusus mengikuti
training
mengenai  Lipid  pada tahun 1968 yang diadakan di Pe-
rancis, di mana pada saat itu Li- pid merupakan sesuatu hal yang
baru di bidang Penyakit Dalam.
Pusat  Diabetes  dan  Lipid  Ja- karta  merupakan  badan  yang
bersifat  multidisiplin.  Badan  ini menangani masalah diabetes dan
lipid, yang kegiatannya meliputi 3 bidang, yaitu pelayanan, pene-
litian  dan  penyuluhan.  Pada nama  pusat  itu  tercantum  kata
lipid,  karena  lipid  merupakan salah  satu  faktor  penyakit  jan-
tung koroner PJK.
Pada  kesempatan  kali  ini, kami mewawancarai beliau dise-
la-sela  jadwal  Prof.  Slamet  yang  padat. Berikut  hasil  wawancara  kami  dengan
Prof. Slamet Suyono.
Redaksi  MEDICINUS  RM:  Apakah memang  sedari  kecil  Prof.  Slamet  sudah
bercita-cita menjadi seorang dokter?
Prof.  Slamet  Suyono  SS:  Sebetulnya waktu kecil saya tidak bercita-cita menjadi
seorang  dokter.  Walaupun  keluarga  saya terutama dari keluarga ayah saya banyak
yang  menjadi  dokter.  Ketika  saya  masuk SD  pun  saya  masih  belum  tahu  apa  cita-
cita  saya  sebenarnya.  Hanya  saja  waktu di  sekolah  dulu  saya  lebih  menyukai  bi-
dang eksakta. Saya selalu mempunyai ni- lai-nilai  yang  bagus  pada  mata  pelajaran
eksakta tersebut terutama pada pelajaran Kimia.  Kemudian  ketika  saya  lulus  SMA
saya  mengikuti  2  tes  penerimaan  maha- siswa,  yang  pertama  di  Farmasi  Institut
Teknologi  Bandung  ITB  dan  yang  ke- dua  di  Kedokteran  Universitas  Indonesia
UI. Ternyata dua-duanya diterima. Tapi karena  dorongan  yang  begitu  kuat  dari
orangtua  untuk  masuk  kedokteran  UI maka  sayapun  akhirnya  memilih  kuliah
di  kedokteran.  Jadi  tradisi  dokter  saya lanjutkan  di  keluarga  saya.  Dan  pada
akhirnya  sayapun  sangat  menyukai  bi- dang  ini  dan  alhamdullilah  studi  saya  di
kedokteran berhasil dan tidak ada halang- an apapun.
RM:  Sekarang  ini  Prof.  Slamet  sudah menjadi  seorang  yang  ahli  dalam  bidang
Endokrinologi.  Apa  yang  menyebabkan Prof.  Slamet  akhirnya  memilih  bidang
tersebut?
SS:  Endokrinologi  adalah  suatu  cabang
ilmu  yang  mempelajari  hormon dalam  tubuh  dari  ubun-ubun
sampai ujung kaki, tidak terbatas pada organ tubuh secara sentral
tapi  menyeluruh.  Jadi  ketertari- kan  saya  nomor  satu  pada  saat
itu  adalah  karena  hal  itu,  yaitu mengobati  seorang  manusia  se-
cara  keseluruhan.  Jadi,  ketika saya  lulus  kedokteran  pada  ta-
hun  1963,  saya  mengambil  spe- sialis  penyakit  dalam.  Setelah
saya  berkecimpung  di  penyakit dalam,  saya  lalu  berpikir  se-
pertinya  saya  lebih  tertarik  lagi di  endokrinologi.  Kembali  lagi
karena  saya  ingin  mengobati pasien secara holistik atau kese-
luruhan.  Pada  waktu  itu  saya banyak  merawat  pasien-pasien
diabetes  dan  tiroid.  Ketertari- kan saya di bidang endokrin ini
salah  satunya  juga  adanya  pe- ngaruh  figur  Prof.  Utoyo  Suka-
ton  yang  menjadi  panutan  buat saya.  Prof.  Utoyo  Sukaton  da-
hulu adalah Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam dan Kepala Sub-
bagian  Metabolik  dan  Endokrin
juga  sebagai  pendiri  bagian  Metabolik dan Endokrinologi. Ketika saya menyele-
saikan spesialis penyakit dalam, akhirnya Prof. Utoyo meminta saya untuk menjadi
staff-nya. Kemudian  pada  tahun  1968  saya  diki-
rim  ke  Perancis  untuk  mengikuti  training bidang  baru,  yaitu  tentang  Lipid.  Di  In-
donesia  pada  tahun  tersebut  belum  ada ahli  mengenai  Lipid.  Adapun  training
yang  saya  ikuti  di  Perancis  pada  waktu itu adalah “Training on Hyperlipidemia and
Endocrinology”
.  Jadi  saya  belajar  di  sana untuk  Lipid-nya  selama  lebih  kurang  10
bulan.  Dan  dari  sinilah  saya  mulai  terta- rik  di  bidang  Lipid  karena  ingin  mengo-
bati pasien secara keseluruhan dan itu ha- nya  terdapat  pada  bidang  endokrinologi
dalam  artian  tidak  terpaku  pada  organ tertentu  saja.  Ketika  ingin  belajar  di  Pe-
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009 MED
I CINUS
33
racis  saya  mengetahui  bahwa  di  sana  itu tidak banyak orang Perancis yang bisa ba-
hasa Inggris maka sebelum saya mengiku- ti  training  di  sana  saya  mengikuti  kursus
bahasa  Perancis  terlebih  dahulu  di  Indo- nesia.  Saya  mengikuti  kursus  mulai  dari
nol sampai bisa berbahasa Perancis dalam kurun  waktu  selama  3  bulan.  Sehingga
ketika  saya  ke  Perancis,  saya  sudah  bisa berbahasa  Perancis  dan  terkadang  men-
jadi penerjemah buat teman-teman ketika berada di sana.
RM:  Prestasi  apa  saja  yang  pernah  Prof. Slamet dapatkan selama ini dan apa yang
paling  membanggakan  Prof.  Slamet  sela- ma menjalani profesi dokter?
SS: Banyak orang yang mengatakan kalau saya  jadi  pembicara  dalam  suatu  acara
simposium atau acara ilmiah lainnya, apa yang saya sampaikan tidak muluk-muluk
jadi  saya  bicara  to  the  point.  Sekarang  ini banyak  sekali  orang-orang  pintar,  dan
biasanya  mereka  itu  banyak  yang  ingin menunjukkan  kepintarannya  dan  merasa
tahu  banyak  hal.  Padahal  belum  tentu audien bisa menerima apa yang dia sam-
paikan.  Audien  itu  kan  ingin  menimba ilmu. Jadi prinsip saya, kalau kita bicara
seperti berbicara dalam suatu simposium kita harus ada transfer of knowledge. Untuk
transfer  of  knowledge
kita  harus  membuat suatu  ikatan  batin  antara  siapa  yang  kita
ajak bicara. Untuk itu persiapan sebelum- nya untuk menjadi pembicara adalah saya
harus  tahu  terlebih  dahulu  siapa  audien saya  nantinya  apakah  itu  orang  awam,
mahasiswa  kedokteran,  dokter  umum, dokter  spesialis  atau  setingkat  professor.
Sehingga  kita  harus  memberikan  tehnik penjelasan  yang  baik  dalam  arti  supaya
dapat  diterima  100  apa  yang  kita  sam- paikan kepada audien. Oleh sebab itu se-
tiap  kali  saya  menjadi  pembicara,  penya- jian  dalam  satu  slide  tidak  terlalu  penuh,
tapi  saya  buat  sedikit-sedikit  sehingga akan gampang untuk dimengerti dan saya
juga  menggunakan  tambahan  animasi pada  slide  yang  saya  buat  sendiri.  Tentu-
nya pembuatan slide ini juga harus kreatif sehingga  tampilan  slide  tidak  terlalu  mo-
noton dan membosankan bagi audien. Hal  lainnya,  selama  saya  menjadi  Ketua
di  Pusat  Diabetes  dan  Lipid  di  RSCM FKUI,   saya selalu memberikan kebebas-
an kepada staff saya sehingga dengan ber- jalannya  waktu,  mereka  menjadi  sangat
berkembang dan ikut pula mengembang- kan  bagian  Metabolik  dan  Endokrinologi
ini. Hal inilah yang membuat saya bangga kepada mereka.
Satu hal lagi, anak saya yang terkecil juga sudah  menjadi  spesialis  penyakit  dalam
mengikuti jejak saya.
RM: Kegiatan ilmiah apa saja yang pernah Prof. Slamet ikuti selama ini?
SS: Sebenarnya saya sudah pensiun pada tahun  2002,  tetapi  alhamdullilah  saya
masih  dipakai  untuk  konsultasi  atau  se- bagai  penasehatlah  untuk  yang  muda-
muda  di  sini.  Saya  juga  masih  diberikan ruang kerja pribadi di sini. Karena itulah
saya jadi tidak terlalu pikun karena justru saya  makin  sibuk  karena  setiap  minggu
saya selalu mempunyai kegiatan. Kadang- kadang  menjadi  pembicara  untuk  acara
simposium atau kegiatan ilmiah. Saya di- minta  sharing  pengalaman  ilmiah  kepada
yang muda-muda. Itulah yang menyebab- kan  saya  masih  berkecimpung  di  dunia
ilmiah ini walaupun usia saya sudah 71,5 tahun.
RM: Bisa ceritakan hobi Prof. Slamet sen- diri apa ya?
SS:  Dalam  hobi,  saya  bagi  2.  Ketika  saya kecil hobi saya adalah olahraga bulutang-
kis. Sejak saya SD sampai SMA-pun saya masih  main  bulutangkis.  Sejak  berkuliah
di  kedokteran  sekitar  tahun  1957  saya berhenti bermain bulutangkis karena ber-
bagai  kesibukan  perkuliahan.  Kemudian baru  tahun  1972  saya  kembali  bermain
bulutangkis kembali karena ajakan teman sampai tahun 2005. Terakhir saya bertan-
ding  dengan  anak-anak  muda  ketika umur saya sudah di atas 68 tahun. Karena
terlalu  bersemangat  dalam  bertanding saya mengalami cedera lutut. Berselang 6
bulan kemudian badan saya merasa tidak enak  karena  sudah  lama  tidak  berolah-
raga  akhirnya  saya  memilih  olahraga  re- nang.  Dan  ketika  saya  berenang  tiba-tiba
ada  yang  terasa  sakit  dan  saya  merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi pada jan-
tung  saya.  Akhirnya,  besoknya  pun  saya periksakan  diri,  dan  hasilnya  sangat  bu-
ruk  sekali.  Dan  saya  harus  menjalani  be- dah by pass pada jantung saya sekitar 3,5
tahun  yang  lalu.  Dan  dari  situlah  saya benar-benar  menghentikan  hobi  bermain
bulutangkis. Dan hobi olahraga saya beru- bah  menjadi  berenang.  Sampai  saat  ini,
saya  masih  menjalani  renang  setidaknya 2x  dalam  seminggu.  Semenjak  pembeda-
han jantung itu saya jadi merubah lifestyle. Hobi lain saya, yaitu dansa. Saya mengiku-
ti klub dansa antar dokter-dokter sampai sekarang.  Dan  yang  terakhir  adalah  hobi
jalan-jalan bersama cucu.
RM:  Terus  apa  nih  yang  membuat  Prof. Slamet selalu tampak segar dan fit?
SS:  Turunan  keluarga  saya  banyak  yang terkena  penyakit  jantung  dan  kolesterol.
Waktu  operasi  dikatakan  oleh  dokter bahwa pembuluh darah saya jelek sekali.
Banyak  sekali  aterosklerosisnya.  Dokter yang  menangani  saya  pada  saat  itu  me-
ngatakan bahwa operasi ini bukan menye- lesaikan masalah tapi yang bisa menyele-
saikannya  hanyalah  anda  sendiri,  yaitu saya  harus  merubah  lifestyle.  Kemudian
saya  berpikir  bahwa  apa  yang  dikatakan beliau ada benarnya juga. Jadi dahulu kalau
saya terlalu over confidence dalam arti saya merasa  sehat  dan  tidak  mengalami  kelu-
han apa-apa sampai umur 68 tahun tetapi satu hal yang tidak saya sadari bahwa life-
style
itu  pusatnya  adalah  makanan.  Dulu saya  sangat  menyukai  makanan  dari  da-
ging kambing. Tapi kemudian saya beralih banyak makan sayuran dan buah-buahan
serta  untuk  proteinnya  saya  makan  ikan yang  serba  direbus.  Terkadang  saya  juga
makan ayam hanya dagingnya saja tapi dengan  porsinya  yang  sedikit.  Dan  yang
utama selalu menggunakan “JAMU” alias jaga  mulut  saya  untuk  tidak  memakan
makanan yang dahulu sangat saya sukai. Saya berusaha untuk menjaga pola hidup
saya  dengan  menjaga  pola  makan,  tidak stres dan olahraga yang teratur. Terlambat
sih  sebenar-nya  karena  saya  baru  memu- lainya saat berumur 68 tahun ketika saya
harus  menjalani  pembedahan  jantung. Tapi  saya  kira  lebih  baik  terlambat  dari-
pada tidak sama sekali. Bahkan sekarang ini saya menjadi lebih baik dan fit dari se-
belumnya.
RM: Kegiatan apa yang biasa dokter laku- kan di waktu luang akhir pekanhari li-
bur?
SS:  Yang  pasti  olahraga,  pergi  bersama cucu  saya  setiap  akhir  pekan.  Pokoknya
saya harus ketemu mereka bagaimanapun juga. Cucu saya sekarang sudah 6 orang.
Saya  juga  tetap  hobi  makan  ketika  ada waktu  luang  tapi  tentunya  hobi  makan
yang  sekarang  ini  berbeda  dengan  yang dulu.
RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan dilingkungan  sekitar  Prof.  Slamet  untuk
mananamkan pola hidup sehat?
SS:  Itu  tadi,  jangan  hanya  bicara  tapi  di- contohkan  juga  ke  orang-orang  sekitar
saya.  Saya  juga  sudah  mencontohkan  ke- pada  teman,  pasien  dan  keluarga  saya.
Bahkan  banyak  dari  teman-teman  saya yang  berkonsultasi  kepada  saya  karena
mereka melihat sendiri kalau saya keliha- tan lebih sehat dan fit. Padahal usia saya
sudah  71  tahun.  Dan  saya  selalu  menga-
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
34
takan  kepada  mereka  supaya  “JAMU” atau jaga mulut dan banyak makan sayur
serta buah-buahan serta tentu saja melaku- kan olahraga yang teratur. Walaupun saya
sendiri  termasuk  terlambat  dalam  meru- bah lifestyle saya.
Untuk  merubah  lifestyle,  awalnya  tidak mudah  dan  terasa  berat  tapi  saya  selalu
niatkan  dalam  hati  bahwa  saya  harus merubah  kebiasaan  saya  yang  dulu  se-
perti makan keju, makan daging merah. Sekarang  ini  saja  orang-orang  muda  ba-
nyak  yang  sudah  terkena  diabetes,  jan- tung,  stroke  dan  itu  dari  tahun  ke  tahun
jumlahnya  terus  meningkat  karena  pe- rubahan  pola  makan  seperti  senang  me-
makan makanan siap saji.
RM:  Harapan  dokter  di  pekerjaan  dan kehidupan  pribadi  dokter  untuk  5  tahun
mendatang?
SS: Yang pasti ingin tetap sehat dan saya berusaha menjadi orang yang sebijaksana
mungkin.  Kadang-kadang  dulu  itu,  saya sering meletup-letup emosi nya. Sekarang
saya lebih meredam emosi saya. Dalam pekerjaan untuk 5 tahun yang akan
datang,  yaitu  di  bagian  Metabolik  dan Endokrin  RSCMFKUI  ini  saya  berharap
makin  maju  dan  mengalami  perubahan yang  lebih  baik  lagi.  Dan  di  bagian  ini
juga terus terlibat dalam peningkatan ke- sehatan  terutama  dalam  hal  pencegahan
melalui  penerangan  kepada  masyarakat bagaimana cara hidup yang sehat.
RM: Saat ini penyakit-penyakit di bidang Endokrinologi  yang  paling  sering  diha-
dapi apa ya Prof.?
SS: Yang paling banyak adalah yang per- tama  diabetes  dan  kedua  tiroid.  Diabetes
di Indonesia sudah ada data sekarang dari Departemen  Kesehatan  DEPKES,  yaitu
kalau  di  kota  besar  prevalensinya  orang yang terkena diabetes sekitar 12. Itu ni-
lai  yang  cukup  besar  menurut  saya.  Tapi kemudian tahun 2008 kemarin keluar data
gabungan dari kota dan pedesaan di selu- ruh Indonesia disurvey dan ternyata pen-
derita diabetes di Indonesia sebesar 5,7. Untuk  kasus  tiroid  juga  banyak  di  Indo-
nesia. Penyebabnya karena stres sehingga timbulah hipertiroid.
RM: Penatalaksanaan penyakitnya sendiri bagaimana ya?
SS: Sampai sekarang untuk diabetes, kita sudah membuat guideline untuk penatalak-
sanaan  diabetes  karena  kita  mempunyai PERKENI  Perkumpulan  Endokrinologi
Indonesia  dan  PERSADIA  Persatuan Diabetes Indonesia sehingga guideline ini
digunakan  merata  di  seluruh  Indonesia. Bahkan  di  Depok  sendiri  sudah  melaku-
kan  upaya  pencegahan  diabetes  kurang lebih  7  tahun  mulai  tahun  2001  dengan
melibatkan DEPKES.
RM:  Bisa  ceritakan  pengalaman  suka maupun  duka  selama  menjalani  profesi
dokter?
SS:  Saya  sangat  menikmati  profesi  saya meskipun  kerjanya  berat.  Pengalaman
yang  baik  itu  adalah  saya  merasa  sangat puas  sekali  apabila  kita  melihat  pasien
itu sembuh dari penyakitnya dari pengo- batan  yang  diberikan.  Jawabannya  klise
barangkali  ya.  Tapi  memang  betul  kalau kita  melihat  pasien  sembuh  rasanya  se-
nang  sekali.  Dan  biasanya  mereka  akan berterimakasih kepada saya padahal saya
tidak mengharapkan terimakasih tersebut. Saya juga suka bilang kepada pasien saya
bahwa yang menyembuhkan penyakit itu bukan  saya  tapi  Allah  SWT.  Saya  ini  ha-
nya  sebagai  penyambung  tangan  dengan ilmu-ilmu yang saya pelajari.
Hubungan  saya  dengan  pasien  tentunya tidak selalu manis tapi juga ada pahitnya
terutama  bila  berhadapan  dengan  pa- sien-pasien  yang  sulit.  Malahan  si  pasien
belum  apa-apa  sudah  mendikte  dan  dia merasa  bahwa  dia  lebih  pinter  dari  dok-
ternya. Apalagi zaman sekarang ini orang dengan  mudah  bisa  browsing  di  internet
untuk  mencari  informasi  penyakit-pe- nyakit  tertentu  sehingga  mereka  merasa
sudah  mengetahui  pengobatannya.  Tapi hal itu alhamdullilah masih bisa ditangani
dengan memberikan penjelasan yang baik tentang  penyakit  dan  pengobatannya  ke-
pada pasien.
RM: Apa harapan Prof. Slamet, khususnya untuk dokter-dokter muda di Indonesia?
SS:  Saya  berharap  dokter-dokter  muda ini  harus  bisa  menemukan  cara-cara  baru
pengobatan  atau  pencegahan  terhadap penyakit-penyakit  dan  bisa  menemukan
vaksin untuk mencegah penyakit-penyakit yang  kita  takutkan.  Dan  juga  penelitian-
penelitian para dokter muda ini harus kita pacu dan biaya yang tentu saja didukung
kalau bisa oleh pemerintah. Karena untuk melakukan  suatu  penelitian  itu  memerlu-
kan biaya yang sangat besar.
GLH
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
35
P
ada  tanggal  20  Desember 2008, diadakan acara round
table discussion
“Update Management  in  Dengue  Hemor-
rhagic  Fever” yang  diadakan  di
Hotel  Borobudur,  ruang  Timor, Jakarta Pusat. Acara dibuka den-
gan sambutan dari Ketua PAPDI JAYA  DR.  dr.  Idrus  Alwi,  SpPD,
K-KV, FACC.
Diskusi dimulai oleh modera- tor  Dr.  Tunggul  D  Situmorang,
SpPD, KGH  dengan menekankan bahwa penyakit DBD merupakan
penyakit yang perlu diwaspadai. Menurut Dr. Tunggul D Situmo-
rang,  SpPD,  KGH,  patofisiologi demam berdarah sampai saat ini
tidak banyak berubah sedangkan untuk  diagnosis  kita  sekarang
mengenal NS1 antigen.
Kemudian  acara  dilanjutkan dengan  presentasi  dari  Dr.  Leo-
nard  Nainggolan,  SpPD,  KPTI, yaitu tentang:
Patofisiologi dan Diagnosis De- mam Berdarah Dengue”
Dr.  Leonard  memulai  sharing materi  dengan  memaparkan  epi-
demiologi  infeksi  dengue  secara global, sampai pada distribusi se-
rotype
, dan jumlah kasus demam berdarah  dengue  DBD  secara
lokal.  Di  mana  kasus  infeksi  de- ngue  secara  global  semakin  me-
luas.  Kemudian  secara  lokal,  di Indonesia  dari  tahun  2004-2007
di  mana  kasus  DBD  semakin meningkat. Akan tetapi BMS ber-
harap  kasus  DBD  menurun  apa- bila  PSN-DBD berhasil.
Apabila  kita  bisa  mengetahui patofisiologi  demam  berdarah
dengan baik, umumnya kita tidak akan kecolongan. Karena fase kri-
tis Cuma pada jam ke-24 - 48, asal- kan  pasien  datang  belum  shock.
Ada  falsafah  yang  mengatakan jika terjadi kasus demam berdarah
pre-shock
tetapi  meninggal,  maka hal ini merupakan kesalahan dok-
ter. Patogenesis  DBD  bermacam-
macam.  Ada  yang  menerangkan bahwa virulensi virus yang sang-
at  berperan  terhadap  severity  of disease
.  Ada  juga  teori  peranan mediator,  apoptosis,  genetik,  dan
antibody  dependent  enhancement .
Sebagian  ahli  menganut  antibody dependent  enhancement
,  di  mana infeksi  virus  dengue  yang  kedua
dengan  serotype  virus  yang  ber- beda  akan  memberikan  mani-
festasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada akhirnya men-
jelaskan  akan  adanya  gangguan hemostasis,  permeabilitas  kapiler
dan kebocoran plasma.
Nyamuk  membutuhkan  da- rah untuk mematangkan telurnya,
tidak hanya darah manusia, darah sapi  juga  bisa.  Jadi  sapi  juga  bisa
mengalami  DBD.  Virus  dengue membutuhkan waktu kira-kira 10
hari  untuk    bereproduksi.  Kemu- dian  nyamuk  yang  mengandung
virus  menggigit  manusia  sehat. Virus dengue akan ada untuk se-
lamanya dalam tubuh virus sam- pai nyamuk mati.
Patofisiologi: Virus  demam  berdarah    akan
masuk  ke  dalam  makrofag.  Me- nurut  antibody  dependent  enhance-
ment ,  antigen  infeksi  pertama
pada  makrofag  justru  menjadi semacam  opsonisasi  untuk  mem-
fasilitasi  virus  menempel  ke  per- mukaan  makrofag  dan  masuk  ke
dalamnya.  Makrofag  akan  me- lepaskan  monokin,  sitokin,  hista-
mine,  dan  interferon,  yang  akan mengakibatkan celah endotel me-
lebar,  selanjutnya  terjadi  keboco- ran cairan intravaskular ke ruang
eks-travaskular.  Konsekuensinya, terjadi  hipovolemia,  hemokon-
sentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti  visceral.  Perenggangan
celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu
sediri.  Saat  sel  endotel  terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel.
Akan  tetapi  pelebaran  celah  sel endotel terutama disebabkan oleh
pelepasan sitokin inflamasi.
Dengan demikian, manifestasi klinis  yang  paling  penting  dalam
penyakit  DBD  adalah  kebocoran plasma.  Dan  untuk  mengetahui
tanda-tanda  kebocoran  plasma bukannya  trombosit  yang  dipan-
tau  tetapi  hematokrit.  Selain  itu, penting  juga  pemantauan  urine
output
dan hemostasis. Dari peng- alaman dokter, apabila tidak terja-
di  pendarahan  massive,  trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak meng-
akibatkan kematian pasien.
Adapun  tingkat  keparahan sindrom  kebocoran  kapiler  ter-
gantung ukuran celah endotel dan lokasi  atau  daerah  yang  terkena
infeksi,  komposisi  matriks  kom- partemen  perivaskular,  dan  per-
bedaan  tekanan  hidrostatik  dan tekanan  onkotik  di  intra  dan  ek-
stravaskular.  Tekanan  hidrostatik dipengaruhi  oleh  tekanan  pompa
jantung  yang  mendorong  plasma keluar  dari  intravaskular  ke  eks-
travaskular.
Tekanan onkotik
adalah  nilai  tekanan  zat-zat  yang terkandung  dalam  darah  yang
memiliki  sifat  osmolaritas  untuk menahan  plasma  tetap  berada
pada  intravaskular.  Pada  arteri tekanan  hidrostatik  lebih  besar
dari  tekanan  onkotik  maka  plas- ma  bisa  keluar  ke  ekstravaskular
memberikan  nutrisi  dan  oksigen pada  jaringan  tubuh.  Sedangkan
di mikrokapiler tekanan hidrosta- tik lebih kecil dari tekanan onkotik
sehingga  cairan  tubuh  yang  telah kehilangan  nutrisi  dan  mengan-
dung  CO
2
dapat  dikembalikan ke  dalam  pembuluh  darah.  Perlu
dipahami  bahwa  apabila  kita  te- lah  mengetahui  kalau  kebocoran
plasma  dipengaruhi  oleh  tekanan onkotik,  penggunaan  koloid  un-
tuk  meningkatkan  tekanan  osmo- tik  dapat  dilakukan  apabila  telah
diketahui adanya tanda-tanda ke- bocoran plasma.
Pelebaran  celah  endotel  da- pat  juga  menyebabkan  leukosit
keluar  dari  intravaskular  menge- jar  makrofag  yang  mengandung
virus  dengue,  sehingga  dapat  di- mengerti  terjadi  leukopenia  pada
DBD.
Manisfestasi  trombositopeni pada  infeksi  dengue  memiliki  be-
berapa hipotesa penyebab: 1  terjadi destruksi trombosit aki-
bat  interaksi  antibody-antigen
20 Desember 2008
Hotel Borobudur, Ruang Timor, Jakarta-Pusat
Round Table Discussion “Update Management in Dengue
Hemorrhagic Fever”
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
36 virus  dengue
di  permukaan trombosit;
2  kerusakan  dinding  endotel
oleh  virus  dengue  sehingga menyebabkan  interaksi  trom-
bosit  dengan  kolagen  suben- dotel sehingga terjadilah agre-
gasi dan destruksi trombosit;
3  IL-6  menginduksi  antibodi
IgM  antitrombosit  sehingga terjadilah  destruksi  trombos-
it; 4  manifestasi  pendarahan  pada
DBD  meningkatkan  kebutu- han  akan  trombosit.    Mani-
festasi nomor 3 menguatkan bahwa  tidak  perlu  diberikan
infus trombosit pada pederita DBD,  karena  pada  akhirnya
trombosit  yang  di  berikan akan
didestruksi dengan
adanya  antibodi  antitrom- bosit.
Perjalanan  penyakit  dengue seperti  lagu  menghitung  hari.
Pada  kasus  dengue,  kita  meng- hitung  hari,  ada  masa  inkubasi
virus  dengue  ada  dalam  tubuh tapi  tidak  ada  manifestasi  klinis
penyakit, fase akut demam hari I-IV,  dan  fase  kritis  hari  V-VII,
dan  fase  konvalesense.  Proses plasma  leakage  hanya  terjadi
pada fase kritis, dan hanya terjadi dalam  24-48  jam.  Untuk  meng-
identifikasi  fase  kritis  perhatikan bahwa  pada  sekitar  hari  kelima
demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leu-
kosit makin anjlok, dan trombosit juga  makin  anjlok.  Leukopeni
rata-rata selalu mendahului trom- bositopeni,  dan  trombositopeni
mendahului plasma leakage.
Pemeriksaan  serologi  baru dapat  terdeteksi  setelah  hari  ke-
lima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup
di atas batas deteksi alat. Sedang- kan  pemeriksaan  antigen  NS1
dapat  dilakukan  dari  H-1  sam- pai  dengan  hari  keempat,  kadar
optimal  NS1  adalah  pada  hari ketiga.  Pemeriksaan  antigen  NS1
ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid  test
.  Pemeriksaan  de-ngan ELISA  lebih  akurat  tetapi  mem-
butuhkan  waktu  yang  lama  4 jam.  Sedangkan  pemeriksaan
dengan  rapid  test  hanya  mebu- tuhkan waktu 5 menit.
NS1 merupakan non structure protein  yang  terdapat  pada  per-
mukaan  virus,  merupakan  an- tigen  yang  letaknya  paling  luar
sehingga  paling  mudah  terde- teksi dan merupakan biang kerok
utama  manifestasi  respon  imun yang  telah  diterangkan  sebelum-
nya. Dr. Leonard sempat bertemu dengan penemu alat rapid test un-
tuk  NS1  ini,  dan  menurut  sang penemu  hari  ketiga  merupakan
puncak  kadar  NS1  sehingga  pa- ling  memungkinkan  deteksi  NS1
pada hari itu. Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah
menurun sampai tidak bisa terde- teksi. Untuk antibodi, dapat dide-
teksi setelah kelima demam.
Pemeriksaan  NS1  tidak  bisa menggantikan  pemeriksaan  an-
tibodi.  Akan  tetapi  tidak  dapat menentukan  infeksi  yang  terjadi
primer  atau  sekunder.  Kita  juga telah  melupakan  uji  tourniquet.
Padahal  uji  tourniquet  merupa- kan uji yang paling sederhana dan
spesifik untuk DBD.
dr.  Leonard  menutup  pre- sentasi  dengan  menekankan  per-
bedaan  antara  demam  dengue dengan demam berdarah dengue,
pada  DBD  sudah  pasti  terjadi plasma  leakage,  sedangkan  pada
demam dengue tidak terjadi.
Acara  dilanjutkan  kembali  den- gan  presentasi  yang  akan  disam-
paikan  oleh  dr.  Kie  Chen,  SpPD, KPTI, yaitu mengenai:
Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue
Dr.  Kie  Chen  memulai  dengan penekanan
bahwa Indonesia
merupakan endemik demam ber- darah dengue DBD dan pada de-
mam  berdarah  terjadi  kebocoran plasma.
Terapi pada demam berdarah adalah terapi suportif. Yaitu mem-
berikan  cairan  pengganti  sampai respon  imunologi  itu  berhenti.
Kematian yang terjadi 1.
Penetapan  kasus  DHF  menu- rut WHO pada tahun 1997, yaitu:
-  Demam  atau  pernah  demam, dalam 2-7 hari terakhit, dan bi-
asanya biphasic. -  Trombositopenia
100.000 mm
3
-  Test tourniquet positif -  Petecheae,  ecchymoses,  atau  pur-
pura. -  Pendarahan di mukosa, saluran
GI,  tempat  injeksi,  atau  lokasi lainnya.
-  Hematemesis atau melena. -  Kejadian  kebocoran  plasma:
peningkatan  hematokrit  20, penurunan  hematokrit  setelah
pemberian  cairan  pengganti 20 terhadap baseline.
-  Tanda-tanda kebocoran plasma lainnya: efusi pleura, asites, dan
hipoproteinemia. Tatalaksana  DHF  umumnya
adalah  tatalaksana  yang  bersifat suportif.  Kita  tidak  mempunyai
obat-obat  yang  bisa  menyetop proses  imunologi  yang  terjadi.
Tetapi  kebocoran  plasma  akibat respon  imunologi  akan  berhenti
dengan  sendiri.  Umumnya  yang diberikan  kepada  pasien  adalah
cairan  pengganti  cairan  tubuh, istirahat  yang  cukup,  nutrisi.
Selain itu diberikan pula obat an- tipiretik, akan tetapi hindari pem-
berian aspirin dan NSAID karena obat-obat  tersebut  dapat  memicu
pendarahan.  Hal  yang  paling penting  juga  dalam  tatalaksana
DHF adalah 1. monitoring tanda-tanda shock, bi-
asanya selama fase afebril hari ke-4-6;
2. monitoring  kesadaran,  denyut nadi, dan tekanan darah;
3. monitoring  hematokrit  Ht  dan jumlah platelet.
Kita  memiliki  beberapa  pilihan cairan.  WHO  menuliskan  pem-
berian  cairan  kristaloid,  yaitu cairan  yang  mengandung  elek-
trolit.  Sebaiknya  jangan  berikan cairan  maintenance  yang  seperti
dekstrosa  dan  cairan  lainnya  un- tuk  nutrisi,  karena  cairan-cairan
tersebut tidak bisa bertahan dalam kapiler  dalam  waktu  yang  lama.
Cairan itu umumnya akan keluar dari  pembuluh  darah.  Memang
pemberian  koloid  belum  direko- mendasikan pada protokol WHO.
Tapi koloid dengan molekul yang lebih  besar  dapat  bertahan  lebih
lama  dalam  plasma.  Kita  belum ada data untuk pemakaian koloid
pada DHF III. Tetapi untuk DHF yang  mengalami  shock  sudah  ada
penelitian yang dilakukan.
Prinsip tatalaksana pemberian cairan: volume cairan yang diberi-
kan  merupakan  jumlah  defisit cairan  tubuh  ditambah  deng-an
jumlah  cairan  yang  diperlukan untuk maintenance.
Formula: Need of fluid  day
= Fluid deficit + maintenance 5 BW deficit
= 5 x BW x 1000 mL Maintenance
= 1500 + 20 x [BWkg - 20] Pemberian
cairan harus
disesuaikan sesuai dengan kondisi klinis  pasien,  evaluasi  kondisi  vi-
tal Ht dilakukan setiap 4 jam seka- li. Jangan sampai terjadi kelebihan
cairan.
Pedoman Tatalaksana
Klinis Infeksi  Dengue  di  Sarana  Pela-
yanan Kesehatan Depkes 2005 Berikut  adalah  tatalaksana  DHF
dengan peningkatan Ht 20:
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
37 Tatalaksana renjatan
Pada kesempatan ini, dipaparkan secara  singkat  hasil  penelitian
“An  Open  Pilot  Study  of  the  Ef- ficacy  and  Safety  of  Polygeline
Haemaccell®  in  Adult  Subjects with  Dengue  Hemorrhagic  Fe-
ver”
yang  diteliti  oleh  Herdiman J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat
Djoko  Santaso,  Suhandro,  dan Eppy  dengan  sponsor  PT  Dexa
Medica.
Terapi  cairan  pada  pende- rita  demam  berdarah  tahap  III
memiliki  beberapa  problema,  se- bagai berikut:
1. terjadinya hemokonsentrasi
selama  terapi  cairan  pengganti sehingga  dibutuhkan  lebih  ba-
nyak cairan; 2. terjadi  akumulasi  cairan  pada
rongga-rongga  tubuh  seperti pleural  efusi,  asites,  dan  udem
pada kadnung kemih.
Problema  ini  memunculkan kebutuhan  akan  adanya  cairan
pengganti  yang  dapat  bertahan lebih  lama  dalam  intravaskular,
mudah  diekskresi,  lebih  aman untuk  organ  tubuh  misal ginjal,
memiliki pengaruh yang minimal terhadap  sistem  koagulasi,  dan
less allergic potential .
Haemaccell®  adalah  cairan koloid  yang  memiliki  kompo-
sisi  polygeline  yang  diperoleh dari  tulang  rawan  sapi.  Kandun-
gan  koloid  yang  memiliki  Berat Molekul  lebih  besar  dibanding
cairan  kristaloid  memungkinkan Haemaccell®  bertahan  dalam  in-
travaskular  lebih  lama,  dan  apa- bila  dibandingkan  dengan  cairan
koloid  lainnya,  berat  molekul polygeline
adalah yang paling kecil sehingga  lebih  mudah  diekskresi,
lebih  aman  bagi  ginjal,  minimal mempengaruhi  sistem  koagulasi,
dan  kemungkinan  menyebabkan alergi kecil.
Hasil dari penelitian pilot dari Haemaccell®  ini  menunjukkan
bahwa  Haemaccell®  aman  dan efektif  digunakan  sebagai  terapi
cairan pada pasien demam berda- rah tahap III. Uji klinis kompara-
tif  dengan  jumlah  subjek  yang lebih besar akan dilakukan untuk
menegaskan efikasi dan keamanan Haemaccell®.
Beberapa  Hasil  Diskusi  Round Table Discussion
Transfusi trombosit hanya diberi- kan pada kondisi pendarahan dan
tidak pernah diberikan untuk pro- filaksis.  Dalam  beberapa  peneli-
tian yang telah dilakukan Dr. Kie Chen,  SpPD,  KPTI  dkk,  rendah-
nya jumlah trombosit ti-dak selalu menimbulkan  pendarahan.  Yang
penting adalah selalu monitoring, pendarahan tidak akan terjadi tan-
pa diketahui. Bila terjadi epistaksis namun  hemodinamik  stabil,  nadi
tidak cepat, tidak gelisah, Ht nor- mal, maka tidak diberikan pembe-
rian trombosit.  Namun bila yang terjadi  adalah  sebaliknya,  yaitu:
pasien  gelisah,  hemodinamik  tid- ak  stabil,  Ht  turun,  adanya  nyeri
yang hebat pada abdomen, terasa mual  yang  hebat,  barulah  pem-
berian  transfusi  trombosit  harus dipertimbangkan.
Apakah  benar  alat  diagnostik NS1  berguna?  Karena  biayanya
mahal  sekali.  Filosofi  NS1  rapid test
:  mendeteksi  sedini  mungkin. Dibutuhkan  di  daerah  endemik
seperti  di  Indonesia.  Tapi  untuk pasien  menengah  ke  bawah,  bia-
sanya  dilakukan  deteksi  dini  dari kadar  leukosit.  Ingat  leucopenia
mendahului  trombositopenia.  Ra- pid test
NS1 sekarang bisa false posi- tive
.  Tapi  sekarang  sedang  diteliti untuk menghindari false positive.
Kemudian acara
diakhiri dengan penutupam oleh modera-
tor  Dr.  Tunggul  D  Situmorang, SpPD, KGH dengan applause me-
riah dari peserta. Wila, Taufik, Ana, Natalia, Lydia
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
38
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
133
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
134
IKLAN STIMUNO  HISTRIN FT
MED I
CINUS
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
41
Website Dexa medica Tampil dengan Wajah Baru
W
ebsite Dexa  Medica
kini  tampil  dengan wajah  baru.    Disain
dan  menu-menu  baru  terlihat lebih  dinamis.  Website  ini  akan
menjadi  pintu  gerbang  infor- masi tentang Dexa Medica.
Tampilan  baru  ini  mulai  dapat diakses  pada  Rabu,  4  Februari
2009,  setelah  Managing  Director Dexa  Medica,  Ferry  Soetikno
melakukan  browsing  di  sejum- lah  menu-menu  baru  dalam
website
ini, seperti Presentations, 40 Tahun Dexa Medica, dan Hot
News .
Selain  menu-menu  baru,  bera- gam  pilihan  menu  lain  yang
dapat  diakses  seperti  info produk  ethical  dan  OTC,  be-
rita  kesehatan  dan  farmasi,  ca- lendar  of  event
,  ragam  aktivitas sosial  Dharma  Dexa,  hingga
info karir. Web
Dexa  Medica  akan  senan- tiasa dikembangkan mengikuti
dinamika  teknologi  informasi. Silahkan  kunjungi,  tampilan
baru  www.dexa-medica.com
Corporate Communications Dexa Medica
STimUno Raih anugerah Produk asli indonesia 2008
S
TIMUNO yang diproduk- si
PT Dexa
Medica memperoleh
Anugerah Produk  Asli  Indonesia  APAI
2008, Pemenang Kategori Obat. Penghargaan ini diberikan oleh
harian ekonomi terkemuka Bis- nis  Indonesia,  yang  diserahkan
pada Kamis, 11 Desember 2008, di Gedung Balai Kartini, Jakarta.
APAI  2008  mengangkat  tema “Goes  Global”
dirancang  dan diwujudkan  untuk  mengang-
kat  produk  asli  Indonesia,  baik berupa  barang  maupun  jasa,
agar  dapat  menjadi  tuan  ru- mah  di  negeri  sendiri  maupun
mampu  berlaga  di  ajang  antar- bangsa.
Penghargaan  APAI  2008  un- tuk  STIMUNO  diserahkan  oleh
Wakil  Pemimpin  Perusahaan Harian Bisnis Indonesia, Harya-
di  B.  Sukamdani  kepada  Sylvia Andriani  Rizal,  Head  of  Marke-
ting  and  Sales
OTC  Dexa  Medi- ca  mewakili  Managing  Director
Dexa Medica, Ferry Soetikno. Se- mentara  itu,  Pemimpin  Redaksi
Bisnis  Indonesia,  Ahmad  Djau- har  dalam  sambutannya  men-
jelaskan  bahwa  para  pemenang APAI  2008  akan  difasilitasi  un-
tuk  mengikuti  ABAC  ASEAN Business
Advisory Council
Award tahun  2009  mendatang.
Dewan  Juri  APAI  2008  terdiri dari:  1.  Insan  Budi  Maulana,
Pengamat  Hak  Kekayaan  Inte- lektual,  Managing  Partner  and
Head of Intellectual Property Prac- tice
pada Lubis, Santosa Maulana Law Offices
,  2. Yongky S. Susilo,
Director,  Business  Development, Retail  Services
PT  The  Nielsen Company  Indonesia
,  3.  Rofikoh
Rokhim,  Ekonom  Harian  Bisnis Indonesia,  4.  Amalia  E.  Maula-
na,  Head  of  MM  Strategic  Mar- keting  BiNus  Business  School
,  5.
Bambang  Setiadi  Kepala  Badan Standardisasi  Nasional  BSN,
6. Goenawan Loekito, Pemerhati