Pemaparan Komite Pengarah FIP tentang Perkembangan Terkini FIP Indonesia oleh: Dr. Agus Sarsito

Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 6 Dewan Kehutanan Nasional DKN Dialog nasional FIP secara resmi dibuka.

II. Panel Pemaparan Substansi

A. Pemaparan Komite Pengarah FIP tentang Perkembangan Terkini FIP Indonesia oleh: Dr. Agus Sarsito

FIP di Indonesia didukung Asian Development Bank ADB, International Bank for Reconstruction and Development IBRDWorld Bank, International Finance Corporation IFC. FIP di Indonesia berperan dalam reformasi kebijakan, menguatkan status hukum dan optimasi kawasan hutan tenurial hutan, memberdayakan desentralisasi KPH, meningkatkan koordinasi antar sektor dan meningkatkan peran sektor kehutanan di tingkat regional maupun global. Peran FIP sebagai instrumen transformasi untuk pembangunan berkelanjutan dengan komponen REDD+. Rencana Investasi FIP Tema 1 : Pengembangan kelembagaan untuk perhutanan sosial dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Tema 2 : Investasi pada usaha kehutanan dan PHBM. Tema 3 : Peningkatan kapasitas masyarakat dan pengembangan mata pencaharian. Hasil yang duharapkan dari FIP: berkurangnya rintangan implementasi REDD+ di sub-nasional dan peningkatan kapasitas lokal terkait PHL dan REDD+. Peningkatan kapasitas lembaga lokal untuk bekerja dengan masyarakat lokal dan mendukung program REDD+ yang adil. KPH Model mempunyai kapasitas untuk kegiatan PHL dan REDD+. Perbaikan lingkungan bisnis untuk PHL, PHBM, dan REDD+. Perbaikan akses ke hutan dan manfaat REDD+ bagi masyarakat lokal. Proses Konsultasi FIP dilakukan dialog dan pelibatan stakeholder. DKN memfasilitasi pelaksanaan dialog. Semua dokumen terkait FIP bisa diakses publik melalui website CIF dan Kemenhut. Semua komentar dari stakeholder ditanggapi dan dimasukan dalam rencana investasi. Sebagian besar komentar akan ditangani pada proses persiapan proyek. Penekanan KPH Hutan produksi telah menjadi kawasan terbuka open access ketika ijin berakhir atau tidak aktif mencakup hampir 50 kawasan hutan negara, yang diperparah oleh tumpang tindih klaim tenurial pada 17.6 – 24.4 juta ha. Kurangnya Manajer Hutan tingkat tapak dengan informasi memadai tentang potensi sumberdaya untuk menentukan alokasi pemanfaatan hutan. Dengan pembangunan KPH merupakan solusi strategis. Dasar hukum kuat PP 62007 and 32008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan. Upaya mengembangkan KPH semakin kuat, dan akan transformasional apabila FIP mendukung dan memanfaatkannya. Investasi KPH berpotensi mendorong pengelolaan hutan yang lebih baik. Model pemantauan terlembagakan atas pemegang ijin selama rencana pengelolaan 10 tahun. Strukturkelembagaan pemerintahan terdesentralisasi untuk pengelolaan hutan tingkat tapak. Tanggungjawab kelembagaan untuk kawasan hutangeografis cukup jelas. Ada proses partisipatif misalnya rencana pengelolaan 10 tahun, tata hutan. Memfasilitasi program pelibatan dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan peningkatan kapasitas. Memfasilitasimediasikoordinasi para peng-klaim melalui penyediaan data yang transparan. Rencana Investasi Kehutanan Indonesia Pertemuan SC FIP ke-3, tanggal 17-18 Maret 2010, Indonesia terpilih sebagai Pilot Country FIP. Indonesia mendapatkan alokasi pendanaan antara US 50 – 70 juta. Tanggal 11 Februari 2011, Terbentuk Tim Teknis Penyusunan “Rencana Investasi Kehutanan FIPlan” Indonesia. Pada bulan Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 7 Dewan Kehutanan Nasional DKN Agustus-September 2012, diadakan Focus Group Discussion FGD yang difasilitasi DKN. Pada tanggal 5 Nov 2012 Rencana Investasi FIP Indonesia disetujui oleh FIP Sub-Committee. Dalam FIP ada beberapa proyek dan tema rencana investasi: Khusus bagi masyarakat untuk penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan. Mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang Lestari dan pengembangan kelembagaan. . Memperkuat usaha sektor kehutanan dalam mitigasi emisi karbon. Sedangkan tema yang didukung adalah pengembangan kelembagaan, usaha kehutanan dan PHBM serta peningkatan kapasitas masyarakat. Proyek pertama pengembangan Kelembagaan PHL dan PHBM, pengembangan kapasitas masyarakat dan dukungan mata pencaharian, harmonisasi kebijakan nasional dan sub-nasional mengenai peningkatan cadangan karbon. Kedua, Investasi Khusus bagi Masyarakat untuk meningkatkan kondisi pemungkin untuk PHL dan REDD+. Ketiga, Memperkuat kapasitas produksi dan kemampuan usaha perusahaan-perusahaan kehutanan dan perusahaan di sektor-sektor terkait, dengan melipat- gandakan investasi sektor swasta. Persiapan Dokumen Proyek FIP  Desember 2012, pengusulan Komite Pengarah Steering Committee Proyek.  Pebruari 2013, publikasi revisi matriks komentar dan tanggapan rencana Investasi Kehutanan Indonesia. Sosialisasi keproyekan FIP di KementerianLembaga Pemerintah. Nominasi Dr. Agus Sarsito sebagai FIP National Focal Point Indonesia.  April 2013, pembahasan usulan Project Concept Note ADB, WB dan IFC. Penerbitan SK Menhut tentang pembentukan Komite Pengarah FIP. Pertemuan FIP – DGM.  Juni 2013, Pertemuan FIP Kemenhut – MDBs. Pertemuan FIPDGM Kemenhut – DKN. B. Pemaparan Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan tentang Persiapan FIP, Kebijakan dan Perkembangan Pembangunan KPH Oleh: Ir. Is Mugiono, MM Yang perlu dicermati dari mandat UU 41 adalah pasal 10, 12, 17 dan 21. Pada pasal 10, mengurus hutan meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Inti dari pelaksanaan adalah pengelolaannya. Pada pasal 12, rencana ditegaskan kembali, struktur ini yang ada di Dirjen Planologi Kemenhut. Mandat dari pasal 12 adalah pembentukan wilayah pengelolaan. Pada pasal 17, dalam konteks pembentukan wilayah, ada level provinsi, kabupaten dan unit. Unit pengelola didefinisikan sebagai satuan pengelolaan hutan terkecil yang bisa dikelola secara lestari. Pada pasal 21 ditegaskan bahwa pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah, pemreintah daerah dan dalam keadaan tertentu dapat diserhakan kepada BUMN. Esensinya, membangun hutan harus dilakukan unit per unit, yang melakukan adalah pemerintah. Penjabaran mandat UU 41, KPH merupakan unit pengelola terkecil melalui aspek wilayah, kelembagaan, dst. Dari mandat tersebut muncul kebijakan. Agar kebijakan bisa diimplementasikan maka harus ada renstra di Kementerian, di mana alokasi dana ada disana. Tanpa renstra, kebijakan tidak bisa diimplementasikan. Ada 120 KPH yang harus dibangun maka kebijakan selanjutnya adalah membagi 120 KPH tersebut berikut dananya, Rp. 5 milyar per KPH. Untuk merealisasikan itu perlu persiapan yang matang. Progres berikutnya dikaitkan dengan kriteria indikator, perlu ada target membangun KPH yang akan disupport FIP. Dalam KPH banyak potensi yang bisa dimainkan sehingga perlu peraturan perundangan. Inti pertemuan dengan berbagai pihak yang memiliki latarbelakang tupoksi berbeda adalah agar tidak ada kesenjangan dalam memahami FIP. Pengalaman pengelolaan KPH selama ini banyak Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 8 Dewan Kehutanan Nasional DKN persoalan yang diselesaikan di level nasional. Ternyata di provinsi dan kabupaten, lebih gampang menawarkan kawasan kepada investor. Tidak tertarik dikelola KPH. Ada 60 KPH direalisasikan berdasarkan renstra, pada 2013 bisa tambah 30 KPH jika ada semacam dukungan akan masuk ke model KPH. Ada tiga tema FIP. Yang dibicarakan saat ini adalah FIP yang didanai oleh Bank Dunia. Persiapan sudah dilakukan sejak November 2012. Kami dan WP3H sudah bekerja, membuat proposal untuk merespon FIP. Kami mengikuti pola yang ditawarkan Bank Dunia, menyiapkan concept note. Dalam concept note ada tiga komponen yang harus diselesaikan FIP. Rencana makro sudah disusun. Semua sudah dipersiapkan, tinggal tergantung pada kementerian, Pak Agus sebagai focal point. Tapi proposal ini belum dibahas di level Kemenhut. Hari ini proposal akan direspon, dalam waktu dekat akan dibahas di level kementerian. Mudah-mudahan bisa diselesaikan sesuai jadwal, proposal selesai pada pertengahan tahun sedangkan proyek berjalan pada 2014. Menyelesaikan proposal merupakan kegiatan yang mendukung pembangunan KPH yang direncanakan sampai 2014 berjumlah 120. C. Pemaparan Senior Project Officer ADB tentang Persiapan Proyek Investasi Khusus bagi Masyarakat Untuk Penanggulangan Deforestrasi dan Degradasi Hutan Oleh: Pantja Putih Wardhani Tentang concept paper, ada kegiatan yang sudah terdaftar, masih tentaif, dan terbuka untuk diberi masukan. Kemudian partnership dan kolaborasi saat implementasi FIP serta mengharapkan feedback dari floor. Ada 3 tema FIP dengan 4 outcome. Melihat proyek yang didanai ADB, tujuannya meningkatkan tatakelola pemerintahan, kapsitas, dan insentif untuk REDD+ dan PHL di tingkat nasional. Tujuannya meningkatkan kapsitas KPH dalam rangka REDD+, melakukan percontohan REDD+ di tingkat kabupaten, merekomendasikan pendekatan, dalam rangka mengharmonisasikan pengelolaan hutan. Area yang kami dukung dari tema pengembangan kelembagaan, KPH, pengelolaan hutan lestari dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan dukungan mata pencaharian. Ada 3 komponen, pertama penguatan strategi REDD+ di Kalbar, percontohan REDD+ di dua kabupaten, Sintang dan Melawi. Mengharmonisikan kebijakan nasional dan sub nasional. Intervensi ADB, mendukung penyebarluasan pengetahuan, penguatan kapsitas, dan insentif berbasis kinerja. Daftar kegiatan tentatif yang dimasukkan dalam concept paper, yang pertama dukungan melaksanakan strategi REDD+ provinsi, meningkatkan kualitas tata guna lahan dan tata guna di tingkat unit pelaksana teknis, termasuk maping, pemagaran sosial dan perlindungan hutan. Melakukan sistem safeguards, pengaduan masyarakat, pelatihan, dan membentuk bantuan dana bergulir sebagai percontohan skema insentif. Daftar kegiatan yang mendukung pelaksanaan REDD+ mengembangkan percontohan berdasarkan PHBM, membuat percontohan skema insentif membiayai REDD+ yang dilakukan masyarakat atau sektor swasta yang berkolaborasi dengan masyarakat. Akan meningkatkan kapsitas kabupten dan KPH untuk penyuluhan, mediasi konflik penggunaan lahan, dan skema REDD yang lain. Untuk mendukung poin ketiga, kami melihat mekanisme fiskal antara tingkat nasional dan sub nasional dan merekomendasikan pendekatan-pendekatan untuk pengalokasian pendapatan, menciptakan pengelolaan hutan lestari yang efektif. Kami mengusulkan skema insentif berbasis kinerja mendorong penyelarasan. Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 9 Dewan Kehutanan Nasional DKN Menguatkan platform nasional untuk koordinasi kebijakan REDD+, kerjasama teknologi dan penyebaran informasi.FIP berkolaborasi dengan program ADB yang lain: sustainable forest and biodirversity management in HOB. Sustainable livelihood system for indigenous people in Indonesian HOB japan fund for poverty reduction. Kolaborasi dengan DGM untuk masyarakat adat dan lokal di bawah FIP, UNREDD, UNFC. Masukan:  Pendekatan yang efektif harus melibatkan pemangku kepentingan.  Tentang relevansi keberlanjutan kegiatan yang diusulkan, disarankan menggunakan desain skema insentif REDD+ yang berfokus masyarakat dan Ide-ide yang mempromosikan rasa memiliki dari masyarakat. D. Pemaparan Pimpinan program kehutanan IFC tentang persiapan proyek Penguatan Usaha Sektor Kehutanan dalam Mitigasi Emisi Karbon. Oleh : Michael Brady dan Harris Nasution Ada tiga poin penting yang menjadi pendorong dalam penyusunan FIP i Penyusunan spatial planning; ii Tata kelola kehutanan yang kurang efektif; iii IFC lebih ke investasi dunia usaha. Beberapa sektor menjadi tambahan dalam penyusunan rencana yang berhubungan dengan industri, secara garis besar ada beberapa pemikiran dari UKM di kehutanan SME. Hubungan antara kegiatan di dalam FIP yang dilakukan IFC di bawah Bank Dunia di level nasional membuat link kegiatan yang terkait dan mendukung pencapaian output yang optimal. Pendekatan yang dilakukan IFC dalam FIP ada 3 kegiatan utama: 1. Dukungan teknis penguatan keorganisasian; 2. Dukungan keuangan dalam kerangka produksi; 3. Pengembangan pasar. IFC mengadopsi bapak angkat industri untuk bekerja dengan SNI dan bekerja di hampir semua sektor dari produksi sampai manufaktur. Gambaran dana atau funding yang nantinya dikelola IFC sebesar US 35 juta yang terbagi US 2.5 juta dalam bentuk hibah untuk IFC global expertise dan local support provider, serta US 32.5 juta untuk pinjaman secara langsung, value chain. Kami tekankan dalam forest invesment plan membuka potensi terhadap semua inisiatif ada HPL, HTI dan HPH. IFC melakukan beberapa kegiatan yang mendukung, melakukan analisis di beberapa daerah, melakukan pertemuan diskusi awal dengan 20 perusahaan besar dan berdiskusi dengan KPH melihat potensi dari segi bisnis. Sektor lain di luar kehutanan, kita coba terapkan dalam kegiatan mendatang, safeguards polecy ada 8 kebijakan dalam investasi atau pendampingan. Tahapan yang IFC lakukan dalam pendekatan ke calon client yang wajib dijalankan ada kepatutan sesuai dengan safeguards. Time line kegiatan IFC dalam payung besar FIP Indonesia dari Juni sd Desember 2013, harapannya awal 2014 proses bisa berjalan. Emil Kleden Fasilitator memandu diskusi untuk tanggapan dan klarifikasi dengan batasan tiga tema FIP: kelembagaan, usaha kehutanan, dan peningkatan kapasitas; tiga ruangan yang akan Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 10 Dewan Kehutanan Nasional DKN dijamah: nasional, daerah, dan basis. Prinsipnya meminimalisasi resiko dan kehati-hatian. Tahapan menuju ke implementasi penuh. Pertanyaan 1. Yohanes Balubun - Kamar Masyarakat DKN Dari presentasi pertama sampai terakhir, diketahui bahwa tujuan dari semuanya adalah untuk kelestarian hutan. Saya ingin mengingatkan bahwa masyarakat adat yang ada di wilayah Maluku dari utara sampai selatan mempunyai kearifan dalam mengelola hutannya. Mereka punya hukum adat yang lebih tinggi dari hukum negara, masyarakat adat yang mengakui dirinya ada sebelum ada Negara dan merampas haknya. Tiba-tiba orang membicarakan kelestarian hutan, masyarakat adat sudah membuat aturan untuk menjaga kelesatarian. Saya tidak keberatan dengan KPH yang direncanakan, kearifan masyarakat adat sudah ada sejak dulu. Kami masyarakat yang ada di Maluku merasa dari dulu ada upaya menghancurkan adat dan kearifannya. Dinyatakan bahwa pasal 33 UUD 45 menjadi mandat dari KPH, kenapa mandat bukan berdasarkan masyarakat adat di dalam wilayah masyarakat itu. Kenapa mandatnya aturan yang menjajah sejak dulu. Dulu penjajah datang dan mengklaim wilayah hutan adat. Jangan lagi kita menjadikan pasal 33 UUD 45 menakutkan masyarakat, bagi saya, hal terpenting adalah bahwa jangan melakukan sesuatu di wilayah masyarakat adat jika tak ada mandat dari masyarakat adat. 2. AMAN – Jambi AMAN melihat desain program tak menjawab persoalan di tingkat bawah. Persoalan yang mendasar di tingkat masyarakat adat dan lokal adalah konflik. Persoalan konflik ada di sub item, rendah. Harapan kami paling mendasar, restrukturisasi perijinan hutan menjadi bagian yang penting yang dilakukan dalam FIP ke depan, kaitannya dengan kedaulatan masyarakat adat lestari. Bicara perlindungan hutan, masyarakat adat sudah punya kearifan, bagaimana membuka akses masyarakat adat kepada hutannya sendiri menyangkut ijin dan pengelolaan. Soal KPH dimandatkan bahwa nanti dikelola pemda, kegiatannya peningkatan kapsitas saja, implementasi tidak ada. Mereka menganggap masyarakat adat sebagai objek, bukan subjek. Ini menjadi koreksi bersama ke depan. 3. Andreas L – Kamar masyarakat DKN Korelasi FIP dengan perubahan REDD di Indonesia terkait penyusunan strada REDD. Banyak hal yang kita lupakan ketika bicara investasi. Soal resiko perlu disampaikan bahwa ada banyak resiko yang kita hadapi: i pengusiran; ii potensi konflik sosial akibat pengaturan kekuasaan; iii resiko harga makanan dan komoditas; iv resiko korupsi. Pertanyaan: Apakah objek sasaran MDBs hanya hutan atau masyarakat yang di hulu? Bagaimana dengan yang di hilir? Bagaimana mengukur ketercapaian sasaran itu kalau program investasi mengharapkan perubahan sosial? Apa ukurannya kemiskinan berkurang dengan dana yang dikucurkan? Adakah pembelajaran yang kita mengerti soal pelestarian hutan banyak kesalahan yang terjadi pada masa lalu? Apa yang kita lakukan dari isu internasional, ada banyak hal, bukan dengan dana yang besar yang diharapkan, tapi ada manfaat lain. Saat ini perubahaan iklim sudah dirasakan. Ada beberapa tanaman yang tak bisa hidup lagi dengan adanya perubahan iklim. Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 11 Dewan Kehutanan Nasional DKN 4. Heni Nasutian – AKSI Proyek di Papua Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra, ada 700 Ha. Proyek tersebut terkait dengan logging, sementara dokumen FIP menyatakan tidak menanamkan modal di wilayah logging. Bagaimana tanggapannya? Melihat masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang 60 juta Ha, kemudian ada FIP di dalamnya, prosesnya seperti apa? Tanggapan 1. Agus Sarsito – Komite Pengarah FIP Kami menyadari tentang kearifan lokal dan proyek tak menafikan kearifan lokal. Kalau pernyataan soal kelestarian, dan kita tak menghargai kearifan lokal itu tidak benar. Dalam proyek, kita bicara soal kelestarian hutan berpijak pada KPH. Jika di dalamnya ada hutan adat, dan pengelolaan sudah benar kita hargai itu, kita tak semena-mena kepada masyarakat. Justru dengan kegiatan ini kita melihat konflik dicarikan penyelesaiannya, keterlibatan NGO, CSO menjadi penting. Di dalam KPH, seluruh kawasan hutan akan dibagi ke dalam KPH. Faktanya di Sumatra banyak isu akses kepada masyarakat, hal ini menarik, dan FIP seharusnya bisa menjawab itu. Soal resiko, sudah diingatkan MDBs memahami resiko dan meminimalisasi. Di dalam pelaksanaan perlu melibatkan teman-teman dari masyarakat lokal adat. Sekaligus menjawab pertanyaan kenapa pemerintah menerima uang dari bank dunia. Kalau ada bantuan target pengurangan emisi 26 persen menjadi 40 persen, maka diterima. Masyarakat adat yang diwakili AMAN sangat mengikuti proses FIP. Bukannya pemerintah kekurangan uang, untuk mencapai 26 persen sudah cukup uangnya. Tapi pengurangan emisi bukan hanya soal Indonesia tapi seluruh dunia. 32.5 juta dollar dana FIP untuk sektor privat, bukan hanya perusahaan besar, tapi masyarakat yang memiliki usaha bisa dibantu pinjaman. Pemerintah Indonesia tak mengelola pinjaman. 2. Is Mugiono – Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan Kemenhut Mandat terkait situasi sekarang sangat sederhana. Mengelola hutan secara sederhana. Di Indonesia akan dibagi-bagi sekitar 600 unit KPH. Yang memberi mandat mengelola adalah negara, termasuk masyarakat adat. Saat ini pengelolaan hutan belum seperti itu. Dari 600 unit dibangun 120 KPH termasuk Maluku. Aturan main membangun KPH sudah jelas termasuk perijinan KPH dan mandatnya, misalnya di Maluku dari hak masyarakat adat di sana. Di daerah masing-masing mengenal Tahura taman hutan rakyat. Ada contoh menarik, segala perijinan dilakukan Pemda bupati atau gubernur. Untuk pemberdayaan masyarakat dilakukan Tahura. KPH akan seperti itu. Fakta di lapangan sudah ada pemegang ijin dsb, itu yang akan kita atur. Bagaimana hubungan KPH dengan masyarakat adat, ijin yang lebih dulu ada dst. Ruhnya mandat ada di Implementasi, renstra ada duitnya. Banyak lubangnya. Pemerintah memiliki mandat tidak sepenuhnya tak dibebankan ke dana bantuan. Proses masih panjang, sejak hari ini sampai Desember 2013 akan dijabarkan menjadi proposal proyek. Banyak pekerjaan, bukan hanya FIP, siapapun yang akan support KPH dipersilahkan. Banyak pekerjaan untuk support KPH. 3. Michael Brady - Pimpinan Program Kehutanan IFC Peran IFC ada dua sasaran yaitu bank komersial dengan pinjaman dan sasaran tentang pembangunan seperti menciptakan pekerjaan sebagai fungsi dasar di IFC. Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 12 Dewan Kehutanan Nasional DKN Dalam program kita ada komentar tentang klien dan lokasi, tapi program kehutanan IFC dan FIP satu proyek. Dalam FIP kita baru mulai, belum identifikasi dunia usaha atau klien yang akan dikerjasamakan, masih 1-2 tahun identifikasi dunia usaha. Sampai sekarang program FIP, IFC belum ada kerjasama dengan perusahaan. Pengelolaan resiko, Pak Haris menjelaskan di IFC ada 2 program, performance standard, dan pedoman bagaimana IFC bekerjasama dengan dunia usaha. 4. Agus Sarsito – Komite Pengarah FIP FIP mencoba memfasilitasi masyarakat supaya mendapatkan akses sumberdaya hutan dan mengelola dengan kaidah hutan lestari. Banyak skema yang diperkenalkan Kementerian Kehutanan untuk mengakselerasi hutan masyarakat, karena target pembangunan HPH baru tercapai beberapa ratus ribu. Sementara, izin HTR ada di Bupati maka kuncinya kalau bisa mengakselerasi akses dengan skema yang ada, itu merupakan upaya mengurangi kemiskinan. Banyak kepercayaan bahwa kalau hutan mau lestari masyarakat harus sejahtera, dan sebaliknya. Dengan program ini meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memanfaatkan akses melalui skema yang ada. Emil Kleden fasilitator Memberikan kesempatan kepada peserta yang belum sempat mengemukakan pandangan atau pertanyaan. Dua orang narasumber Agus Sarsito dan Is Mugiono, digantikan oleh Sigit Nugroho dan Teguh Rahardja. PandanganPertanyaan 1. Puspa Dewi - Solidaritas Perempuan Ada beberapa pertanyaan dan kritik yang ingin kami sampaikan. Pertama terkait dengan rekomendasi pasca persetujuan FIP dari sub comite, sejauh mana rekomendasi dilakukan pasca persetujuan. Seharusnya masukan masyarakat sipil dimasukkan dalam dokumen perencanaan tetapi kami melihatnya hanya menjadi lampiran terpisah. Menurut kami, ini tidak hanya dijadikan anex tapi terintegrasi dalam dokumen FIP. Perubahan terakhir 5 oktober 2012, sampai saat ini belum ada perubahn yang signifikan. Kami ingin menanyakan masukan masyarakat sipil tidak terakomodir dalam dokumen FIP, masukan kami mau dijadikan apa? Kami menanyakan perkembangan proyek pada februari 2013 dan belum mendapatkan respon dari tim FIP. Merujuk pada tabel kerja FIP 2013, terkait dengan inisiatif sektor swasta, telah tertulis wilayah dan luasan proyeknya. Apakah luasan itu diambil dari potensi wilayah FIP atau yang baru? Bagaimana keterlibatan masyarakat yang terkena dampak proyek terhadap penetapan wilayah? 2. Ita Natalia – Kamar LSM DKN Pertanyaan kepada Pak Sigit Nugroho yang mewakili Is Mugiono, ada 120 KPH yang akan menjadi unit pelaksana FIP. Bagaimana kerja di tingkat tapak? Kementerian Kehutanan dengan KPH memiliki rencana kelola di tingkat tapak, bisa diperlihatkan melalui peta rencana kerja. Sementara di tingkat tapak ada masyarakat adat dan lokal yang memiliki wilayah adat yang diperlihatkan dengan peta partisipatif wilayah adat. Apakah mungkin dua hal ini diintegrasikan ketika mau membuat rencana pengelolaan? Bagaimana pihak KPH mengkomunikasikan kepada masyarakat setempat dan apa yang menjadi hak jawab dari rencana kerja yang masuk ke wilayah mereka? Mungkinkah ada unit kelola bersama, jika iya bagaimana menyiapkan kondisi itu mungkin dalam perspektif kehutanannya? Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 13 Dewan Kehutanan Nasional DKN 3. Doni – KPH Lombok Banyak kritikan soal KPH, selama dalam pengelolaan, pemerintah memberikan hak konsesi pada pengusaha. Masyarakat sengsara karena terjadi banjir dan masyarakat mengusir mereka. Kemudian masyarakat mengelola, dan berbuat lebih merusak dari HPH. Sangat bersyukur ada pemerintah yang menjawab ini semua, Kementerian Kehutanan, dan pemda melepas tangan karena ada hak kelola HPH. Menata hutan secara bersama-sama sampai tingkat tapak. Kami dilibatkan dari perencanaan KPH, mulai rancang bangun sampai KPH terbentuk dan mendapatkan izin dari menteri. Apakah KPH mampu menangani masalah? KPH mewarisi masalah. Masalah tenurial dan administrasi, sistem pendanaan KPH masih tercantol kemana-mana. Pemda memiliki kesan bahwa KPH menjadi tanggungjawab pusat, tapi di sisi lain dinas merasa enggan melepaskan KPH, merasa dikebiri. Hukum adat diakomodir menjadi hukum KPH, masyarakat boleh mengelola, itu faktanya. 4. Irsal Hamid – AMAN TL Kami khawatir masyarakat di daearh konflik menjadi korban dengan adanya investasi ini. Investasi muncul dari analisis Bank Dunia bahwa di komunitas banyak persoalan. Di tempat kami ada satu wilayah di luar kawasan hutan, pemerintah memiliki keinginan melestarikan lingkungan dengan memasukkan kawasan itu sebagai wilayah konservasi, akhirnya masyarakat yang menderita. DKN punya perekat, mendapatkan informasi dari daerah konflik. Jika pemerintah secara otomatis punya pengaruh besar, ketika sampai di wilayah, maka aturan yang dijalankan secara otomatis. Keterlibatan DKN dan masyarakat lokal harus atau wajib. 5. Rio Ismail – Ecological Justice Ketika bicara FIP tak bisa menafikan psikologi kehutanan itu banyak konflik, KPK mencatat ribuan kasus yang belum selesai. Studi oleh Pak Hariadi memberikan gambaran betapa besar konflik di tata hutan. Bulan april berbicara soal review safeguards, sejauh mana kekhawatiran masyarakat masih perlu didiskusikan. Bicara FIP bukan sekadar satuan uang, tapi jarak pandang kehutanan yang identik dengan masalah dan konflik. Ini harus jelas semuanya, kalau tidak akan mengulang banyak hal. Institusi keuangan semacam Bank Dunia, ADB dan IFC memberikan jaminan menggunakan kerangka pengaman tertentu. Tanggapan 1. Teguh Rahardja – Kemenhut Mengenai rekomendasi subkomite diupdate 23 februari. Memang semua masukan harus direkam. Masukan sebagian bisa diakomodir dalam proses perbaikan sampai submisi, semua dilakukan. Sebagian besar, saran-saran akan diakomodir saat ini. FIP tahapnya project agreement, ada grand yang digunakan, tenaga ahli yang akan membantu. Mengenai kebijakan dan partisipasi masyarakat di kawasan hutan. Hal-hal besar itu akan diakomodir dalam pelaksanaan proyek. Konsultasi dalam persiapan dokumen. Safeguards suatu hal yang besar, menjadi bagian dari poryek itu sendiri, dilaksanakan tahun depan. Surat dari SP, kami menyadari itu, menerima surat, membahasnya. Diputuskan untuk merespon dengan dialog semacam ini. Tim FIP memohon DKN untuk memfasilitasi. Pelaksanaan tertunda, dari bulan April sampai Juni. Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 14 Dewan Kehutanan Nasional DKN Keterlibatan masyarakat suatu hal yang berulang yang kami terima masukannya. Konsultasi masyarakat yang terdampak baru bisa dilakukan saat ini. Lokasi proyek bisa diidentifikasi, gambaran umum KPH dst, belum spesifik. Ketika lokasi ditentukan, konsultasi jauh lebih intesif. Memperkerjakan ahli secara efektif. Partisipasi governance assessment, pada 25 Juni di Lombok menjadi bagian dari pertemuan UNREDD polecy board meeting. Menilai kelemahan, melakukan upaya perbaikan, secara bertahap pengelolaan hutan lahan dan REDD+ semakin baik. kementerian kehutanan dari awal mendukung studi ini. Persoalan tenure mendapatkan porsi yang besar dalam FIP plan. Di dalam FIP, persoalan tenure merupakan satu program yang istimewa dengan adanya DGM. Tidak semua program menyisihkan uang sebanyak US 50 juta untuk terlibat, dan mengantisipasi dampak itu. Indonesia diharapkan bisa membantu masyarakat adat dan lokal, dan FIP menekankan bahwa safeguards harus diikuti, MDBs yang mendukung harus diikuti. Dialog semacam ini di FIP sangat intensif, terlibat sedari awal, kita melakukan secara maksimal. 2. Sigit Nugroho – Planologi Kemenhut Bagaimana memilih dari 120 KPH menjadi lokasi proyek? Proyek yang akan didesain ada di tingkat nasional, sub nasional dan tingkat tapak. Lokasi akan dipilih 3-4 wilayah untuk mendemonstrasikan proyek, meningkatkan taraf hidup masyarakat. Memilih lokasi yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Di daerah ikut dalam pengembangan kapasitas, di nasional juga bisa terlibat. Mainstreaming peraturan untuk mendukung operasional di tingkat tapak. Peraturan yang meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengelola hutan secara lestari. Integrasi dengan hak adat masyarakat, suatu saat dari Pak Doni di Lombok, KPH melibatkan masyarakat. Di pengelolaan melibatkan masyarakat setempat, bagaimana mengintegrasikan tata hutan dan pengelolaan jangka panjang. Pengelolaan land tenure, hak adat. Hutan lindung: blok inti, blok pemanfaatan, dan blok khusus. Khusus kriterianya apabila ada hak ulayat di sana. Di Juknis tata kelola KPH www.kph.dephut.go.id mengakomodir dan mengintegrasikan hak ulayat dalam tata kelola KPH. Kita petakan bersama masyarakat, disanalah stakeholeder terlibat. Banyak kendala dalam membangun KPH, salah satu kendala ketakutan dari dinas kehutanan tentang kewenangan yang direbut KPH. Dinas kehutanan sebagai regulator, KPH sebagai implementator lapangan. Seperti rumah sakit dengan dinas kesehatan. Kita lakukan dengan penyebarluasan info tentang KPH. Lombok bisa menjadi contoh, di Jogja melibatkan 16 ribu petani, 24 milyar per tahun dikembalikan ke masyarakat, KPH hanya mendapat 7-8 Milyar per tahun. Ini contoh pengelolaan hutan dengan masyarakat bisa berjalan. 3. Michael Brady - Pimpinan Program Kehutanan IFC Menjelaskan tentang lokasi proyek, kerjasama dengan sektor swasta, kriteria dan bagaimana lebih jelas tentang Safeguards. Tentang safeguards ada 3 macam: a. Safeguards dalam proyek FIP, kegiatan sektor swasta dalam desain kegiatannya indpenden dari proyek lain dan dari pemerintah Indonesia. Proyek IFC di sektor swasta langsung dengan dunia usaha. Pemilihan perusahaan hanya melibatkan IFC dan dunia usaha saja. b. Seperti pedoman di dalam IFC, tiap investasi memakai 8 safeguards untuk pemanfaatan kegiatan dengan dunia usaha. c. Safguards khusus untuk dunia usaha, melihat buku finansial di dunia usaha, melihat ada potensi KKN, pengelolaan. Kemudian soal pengurusan, ada kebijakan kuat di IFC, tak boleh kerjasama dengan orang politik di pengurusan perusahaan. Rencan kerja dan lingkungan Dokumen ini hasil dari Dialog Nasional FIP yang diselenggarakan oleh 15 Dewan Kehutanan Nasional DKN sosial. Semua kegiatan diantara IFC dan perusahaan harus ada laporan tiap 6 bulan tentang kegiatan kerjasama dan finansial. Kerjasama dengan dunia usaha, harus ada kontribusi kedua pihak. Ada banyak cerita antara IFC kerjasama dengan perusahaan. Menjelaskan IFC belum ada investasi di sektor kehutanan di Indonesia, beroperasi hampir 50 tahun, di proyek FIP semoga bisa sukses. 4. Pantjaputih Wardani - ADB Leasson learn dari Lombok, keterlibatan masyarakat sedari awal. Mulai dari desain, ada musyawarah mufakat beberapa kali. Masyarakat membuat kelompok yang berbadan hukum. Untuk menyarankan pendapat, suara mereka dituangkan dalam rencana kerja di KPH. Dengan KPH mungkin dibuat kesepakatan-kesepakatan melaksanakan pengelolaan hutan lestari. 5. Rio Ismail – Ecologycal Justice Menganjurkan Bank Dunia harus tunduk pada prinsip UN, pada berbagai konvensi UN, dalam pembahasan isu safeguards prinsip harus masuk dalam safeguards. Kalau mau lebih konkrit safeguards mau disebut memberikan perlindungan, tapi jika Bank Dunia mau tunduk pada aturan nasional. Bisakah dalam forum ini IFC tak akan bekerjasama dengan perusahaan yang melangkahi hak-hak masyarakat adat, perusahaan yang menggunakan TNI, perusahaan yang melakukan money loundry. Kalau kita cari rumusan pada UU, komitmen disampaikan. Bisakah dalam forum ini ada komitmen semacam itu? Tanggapan 1. Michael Brady - Pimpinan Program Kehutanan IFC Usulan rekomendasi lihat di website IFC performance standard soal safeguards secara detail, saya tidak bisa janji. Tapi saya kira safeguards IFC sesuai program UN seperti dalam safeguards indigenous people, kita harus seperti FPIC dalam safeguards nomor 8. Itu satu contoh secara detail dalam safeguards. Ada pedoman lebih berat lagi, IFC tak boleh kerjasama dengan BUMN. Kita harus kerjasama dengan sektor swasta murni. Tentang TNI, kita pasti tidak bisa kerjasama. Ada banyak kendala, 50 tahun di Indonesia, belum ada investasi di sektor kehutanan. Usep Setiawan Fasilitator Mengundang para signatoris yang hadir dalam forum maju ke depan untuk menyampaikan sikap dan pandangan. Leonadr Imbiri, Paramitha Iswari, Dewi Solidaritas Perempuan

III. Sikap dan Pandangan Signatoris