BUKU PROSIDING DAN REKOMENDASI DIALOG CE

Prosiding
DIALOG CERDAS BERBUDAYA DALAM RANGKA PERINGATAN 60 TAHUN KAA
REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA
“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif
Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”
Buku tentang REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA “Membangun Sinergitas
Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya
Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi” merupakan rangkaian tulisan
(prosiding) dari hasil Dialog Cerdas Berbudaya Dalam Rangka Pringatan 60 Tahun KAA
yang diselenggarakan pada hari Senin, 9 Maret 2015 Masehi (Soma Wage, 11 Suklapaksa bln
Setra 1951 Caka Sunda) bertempat di Grand Ballroom Savoy Homan Bidakara Hotel, Jalan
Asia-Afrika 112 Bandung atas kerjasama Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya) dan
Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA).

Buku ini merupakan kumpulan konsep dan metodologi pendekatan
nilai-nilai kearifan budaya lokal yang telah dan sedang dilakukan
oleh para pemangku kepentingan di Indonesia, serta untuk berbagi
pengalaman dan pengetahuan mengenai mengenai praktek-praktek
pendekatan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam perencanaan,
pelaksaan dan pengendalian pembangunan.
Buku prosiding Dialog Cerdas Berbudaya ini terdiri dari 4 Bab, yaitu:

 Bab I Kerangka Acuan yang berisikan tentang Latar Belakang
Pemikiran dan Tujuan Dialog diselenggarakan



Bab II Notula dan Berlangsungnya Acara Dialog

Bab III Merupakan kumpulan makalah dari Narasumber, Pembahas Utama, Pemakalah
Tamu dan Makalah Partisipan yang terdiri dari :
- Dialog I dengan tema “Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya
Nusantara-Indonesia Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegera”
- Dialog II dengan tema “Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Konteks Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”
- Dialog III dengan tema “Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat
Kebersamaan Membangun Peradaban Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”



Bab IV Risalah dan Rekomendasi dari seluruh makalah dan kesimpulannya.


Keterangan
Penerbit
ISBN
Jumlah Buku

Buku:
: BESTDAYA, 2014 (didukung oleh
:
(jilid lengkap)
:

)

Publikasi: Buku
PROSIDING DAN REKOMENDASI DIALOG CERDAS BERBUDAYA 60 TAHUN KAA
REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA
“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif
Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”
Pengarang _

ISBN Bahasa Halaman Tahun Persediaan BESTDAYA
Library

Melihat dan mendefiniskan Nilai-nilai Budaya Asia Afrika dengan perspektif regional
berdasarkan realitas globalisasi saat ini menjadi tuntutan yang semakin kuat bagi penentu
kebijakan sebagai acuan diplomasi budaya. Sayangnya, dorongan untuk menjawab
tantangan tersebut tidak cukup besar di Indonesia, negara yang memiliki peran dan posisi
penting dalam menentukan dinamika kawasan. Kajian tentang Nilai-nilai Budaya Asia Afrika
cenderung terpinggirkan dan tidak berkembang secara signifikan di ranah akademis di
Indonesia. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi
Budaya) bersama Museum Konperensi Asia-Afrika (MKAA), melaksanakan DIALOG CERDAS
BERBUDAYA 60 TAHUN KAA REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA
“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif
Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi” pada
tanggal 9 Maret 2015 dengan mengundang para Guru Besar dari berbagai lintas disiplin
ilmu dan para praktisi sebagai upaya untuk memberi masukan revitalisasi terhadap nilainilai budaya untuk menghadapi dampak arus globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegera.
Buku Prosiding ini terlahir dari pergulatan wacana dan gagasan dari para Narasumber,
Pembahas Utama, dan Pemakalah yang tersampaikan pada sebuah diskusi akademis yang
mengedepankan logika dan objektifitas, mengulas perubahan sosial dari berbagai sudut

pandang, social setting yang beragam menjadi nilai lebih dalam buku ini, karena faktanya
kita memang Negara yang sangat beragam. Pendekatan social setting ini akan membantu
dalam melihat sebuah permasalahan.
Buku ini membahas secara multidisiplin mengenai fenomena perubahan sosial di
masyarakat Indonesia, desain dan strategi untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan
sosial dilihat dari sudut pandang budaya, media massa, politik, pendidikan, birokrasi,
gender dan pemanfaatan portal internet.
Semoga berbagai pemikiran yang telah diungkapkan para Narasumber, Pembahas Utama,
dan Pemakalah Tamu/Partisipan melalui paparan makalah ini dapat dijadikan sebagai
langkah awal untuk mendefinisikan revitalisasi nilai-nilai budaya menghadapi dampak arus
globalisasi dan membuka ruang diskusi yang lebih luas. Selamat membaca!

Abstrak Makalah
Dialog I
“Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya NusantaraIndonesia Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegera”
1.

“Perkembangan Budaya, Suatu Pendekatan Antropologi Sosial”
Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D

Dalam revitalisasi nilai-nilai budaya Asia-Afrika yang termaktub
pada Dasa Sila Bandung agar dapat dikelompokkan nilai-nilai
apa saja yang perlu direvitalisasi dan direaktualisasikan.
Pertama adalah (1) dalam proses perubahan budaya di masa ini
tidak mudah melakukan revitalisasi dan reaktualisasi; (2)
keberagaman budaya; (3) sifat individualitistik pelakunya; (4)
hakekat perubahan budaya yang fungsional atau unsur-unsur yang berfungsi dalam
budaya yang masih kurang diserap; (5) orientasi budaya yang berlainan menurut
komunitas dan lapisan sosial serta beberapa; (6) unsur budaya yang penting sudah
menjadi ideologi dan bukan menjadi budaya lagi; dan (7) tafsir budaya yang berbeda
oleh para pelakunya.
Kedua adalah bagaimana model nilai-nilai budaya yang beragam dan dampaknya itu
sebenarnya.

2.

“The Sundanese of West Java and their Relation to Ethnoastronomy”
Prof. Dr. H. Suhardja D. Wiramihardja, M.Sc.
Nothing in nature has intrigued humans more than gazing at a
spectacularly star-lit sky. While all people on Earth have

observed the same primitive objects in the sky, i.e. the sun,
moon, and stars, all cultures have developed their own
interpretations of these heavenly bodies within different cultural
contexts. There are many different ways in which people have
woven concepts and knowledge of sky phenomena and objects
they watched into the fabric of their lives. But it is important to
realize that in most cultures there was nothing that was thought of as “astronomy”.
The phenomena and objects in the sky were merely part of the whole complex of the
surrounding world.

3.

“Komunikasi Antarbudaya Abad ke-21: Kendala dan Tantangan”
Prof. H. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D
Globalisasi abad ke-21 bukan penyeragaman budaya. Negaranegara tidak otomatis menganut ideologi tunggal. Justru
masyarakat di berbagai belahan dunia mempunyai kesadaran baru
akan nilai-nilai budaya dan etnik mereka, termasuk nilai-nilai
agama, ritual, permainan, busana, dan makanan, dsb.
Kebangkitan agama-agama pada milenium ke-3, seperti disinyalir
Naisbitt dan Aburdene (1990), yang dampaknya mencuat sejak

akhir abad ke-20, semakin mempertegas perbedaan budaya
tersebut.
Menurut Naisbitt dan Aburdene, saat manusia dilanda perubahan, kebutuhan akan
kepercayaan spiritual semakin kuat. Ilmu dan teknologi tidak menjelaskan kepada kita
apa makna hidup. Agamalah yang mengajarkan hal itu.

4.

“Revolusi Senyap : Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan”
Prof. Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D
Hal yang kita angkat bersama hari ini untuk diteruskan melalui
forum-forum yang lebih dalam lagi untuk dapat memperjelas
dan melihat apa yang perlu kita kembangkan lagi serta apa yang
perlu kita lakukan bersama ke depan.
Pertama, kata revitalisasi dan reaktualisasi, ada beberapa hal
kalau kita lihat tentang Asia-Afrika setelah 60 tahun ini. Jadi
kalau kita revitalisasi atau juga melakukan reaktualisasi, maka
sesungguhnya kata atau semangat merdeka yang waktu itu
dimunculkan oleh Bung Karno dan menggetarkan dunia ketika
itu dan melakukan perubahan atau terjadi perubahan besar di banyak wilayah

Indonesia, wilayah Asia, dan wilayah Afrika, maka sesungguhnya ini belum selesai.
Jadi bisa dikatakan bahwa kepeloporan Indonesia itu masih diperlukan, karena
kemerdekaan dan ketidakadilan masih sangat sangat tajam. Kalau kita lihat bolehlah
merdeka secara ekonomi di wilayah Asia dan Afrika dan juga di wilayah Selatan
lainnya, tetapi sesungguhnya secara budaya, secara ekonomi, secara informasi
terjadi ketimpangan dan ketidakadilan.

5.

“Pancasila Satu-satunya yang Mampu Hadapi Gempuran Globalisasi”
Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto
WASANTARA :
Cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan PANCASILA dan
UUD’45 yaitu tentang diri dan lingkungan serta keberadaannya
yang sarwa Nusantara dalam mengekspresikan diri sebagai
bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat dunia dengan ke
beragaman nilai-nilai dan tata laku adalah bukti potensi bangsa
Indonesia

6.


“Kerjasama Asia-Afrika Melalui Diplomasi Budaya”
Sukawarsini Djelantik, Dra., M.Int.S, Ph.D
Tujuan Diplomasi Budaya adalah menumbuhkan opini positif di
negara lain “goodwill ambassador”, virtual diplomacy, diplomacy
without diplomat, dan untuk Menginformasikan/mempengaruhi
opini publik di negara lain; Mempromosikan kepentingan
nasional melalui saling pengertian, tukar menukar informasi, dan
mempengaruhi publik di negara lain; Meningkatkan dialog antar
warga negara dan institusi- institusi di luar negeri; Upaya-upaya
pemerintah untuk membangun komunikasi di negara-negara dimana ada kepentingan
Indonesia, untuk menghindarkan kesalahpahaman yang memperburuk hubungan

7.

“Perkembangan Nilai-Nilai Budaya Dalam Perspektif Sistem Kalender
Penanggalan Tradisional”
Dr. Ir. H. Moedji Raharto, M.Sc.
Ilmu astronomi ini sebenarnya sangat universal, karena semua
makhluk di bumi menggunakan tatanan waktu melalui sistem

perhitungan atau masa peredaran bumi, bulan, matahari dan
juga bintang-bintang untuk kehidupan yang dekat akan ada
sistem perhitungan kalender yang berbeda-beda. Dalam konteks
nasional sebetulnya kita sudah memberikan suatu contoh bahwa
negara Indonesia adalah suatu negara yang mengakomodasi
banyak sekali hari-hari libur nasional yang berlatar belakang
baik itu agama maupun juga suatu budaya.

8.

“Makna Kebenaran dan Keseimbangan di Alam Semesta”
Ferenc Raymond Sahetapy (Ray Sahetapy)
Hari ini, manusia hidup dikendalikan oleh dua hal: keinginan dan
kebutuhan. Kebutuhan belum tentu keinginan. Keinginan juga
belum tentu kebutuhan. Kebutuhan harus dipenuhi agar manusia
dapat bertahan hidup. Dalam artian, kalau kebutuhan tidak
dipenuhi, manusia akan terancam hidupnya. Maka, manusia
yang seimbang bisa memisahkan antara kebutuhan dan
keinginan. Keduanya harus seimbang.. Hancurnya suatu tatanan
keseimbangan disebabkan karena manusia hidup lebih di

dominasi oleh keinginannya, bukan kebutuhannya.
Apakah itu keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk mencari untung, keinginan
untuk berbuat curang, dan sebagainya. Kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap
manusia adalah mengenal jati dirinya. Mengenal apa tujuan dia diciptakan di muka
bumi. Setiap makhluk, hari ini sedang berlomba-lomba dalam menyelaraskan dirinya
dengan aturan-aturan Sang Maha Pencipta yang berlaku di alam semesta ini,
sehingga terciptalah keseimbangan itu. Jadi, tugas manusia itu tidak lain adalah
mewujudkan kehendak-kehendak Sang Maha Pencipta itu kedalam kehidupannya,
baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan. Memperjuangkannya,
sehingga terciptalah keseimbangan itu sendiri. Salah satu bentuknya, sebagaimana
diungkap dalam Pancadarma sila ke satu: memuliakan, memelihara, dan menjaga
seluruh ciptaan Sang Maha Pengatur alam semesta. Segala macam bentuk
pemahaman, seharusnya jangan sampai keluar dari pola pikir semacam ini. Dalam
artian, antara manusia, alam, dan Sang Maha Pencipta harus mempersatukan dan
menyelaraskan kehendak agar terjadi keseimbangan diantara ketiganya.

9.

“Kearifan Lokal sebagai Filter dari Globalisasi”
R.A. Garlika Martanegara, S.Sos., M.Si
Kendala yang terjadi saat ini adalah negara-negara peserta
Konferensi Asia Afrika yang menyatakan dirinya negara non blok
pada saat itu mengalami penjajahan metode baru. Setelah
runtuhnya
blok
timur
bukan
berarti
menyelesaikan
permasalahan konflik yang ada, namun menimbulkan terbaginya
negara-negara di dunia dalam bentuk Three World Systems
(Marx – Wallerstein). Dimana terbagi menjadi negara core (yang
terdiri dari negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, China
sekarang, dan beberapa negara Uni Eropa), negara semi periphery (tidak sekuat
negara core namun memiliki cukup pengaruh setidaknya pengaruh regional), dan
negara periphery (biasa disebut negara dunia ketiga dimana ketergantungan
terhadap negara semi periphery dan negara core sangat tinggi, misalkan Indonesia,
Myanmar, dan banyak negara-negara di Afrika). Pada tahun 2000 Indonesia sempat
naik menjadi negara semi periphery (Dunn, Kawana, Brewer 2000), namun pada
tahun 2013 turun kembali menjadi negara periphery yang tentunya berampak
negative dari status sebagai negara periphery.

Dialog II
“Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Konteks Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”

10.

“Perkembangan Budaya Dalam Pendekatan Sejarah”
Prof. Dr. Drs. H. A. Sobana Hardjasaputra, S.U
Perkembangan budaya memang perlu dipahami melalui
pendekatan sejarah, karena sejarah merupakan proses yang
berkesinambungan. “Hana nguni hana mangké, tan hana nguni
tan hana mangké”. Demikian ungkapan dalam salah satu naskah
Sunda kuno, yang berarti “Ada dulu maka ada sekarang, tanpa
ada dulu tidak akan ada sekarang”. Bila ungkapan itu diterapkan
pada budaya, berarti untuk memahami perkembangan budaya,
perlu dipahami proses perkembangan budaya yang bersangkutan, untuk mengetahui
faktor-faktor apa yang menyebabkan atau mendorong perkembangan budaya itu,
sehingga akan diketahui apa yang menjadi sumber kekayaan budaya setiap bangsa.
Dalam hubungan itulah pentingnya dipahami nilai-nilai kearifan budaya lokal, yang
menunjukkan pengalaman-pengalaman penting manusia di masa lampau, dan hal itu
pula yang menjadi cakupan sejarah. Sejarah termasuk ilmu empiris (Empeiria =
pengalaman).

11. “Perkembangan Budaya Nusantara”
Prof. Dr. Marsono, S.U
Bangsa Indonesia yang ber-Binneka Tunggal Ika terjadi dari
berbagai etnik adalah bangsa yang besar. Sejarah budayanya
telah terbentuk sejak zaman kuna. Jika sejarah budayanya
dilihat, bangsa ini dalam kancah dunia internasional zamannya
tercatat dalam tinta emas. Namun, dalam perjalanan sejarah
setelah kemerdekaan sampai sekarang kondisi bangsa
Indonesia, khususnya setelah runtuhnya rezim Orde Baru
digantikan oleh Orde Reformasi, masih belum cemerlang.
Apa yang diharapkan oleh masyarakat akan datang zaman yang tertata belum
menenuhi harapan. Budaya pragmatis material dan bahkan hedonistis lebih
dikedepankan. Nilai-nilai humanistis dalam kehidupan ditinggalkan. Tindakan
sebagian dari mereka demi mengejar pragmatisme, material, dan hedonistis menjadi
kebablasan.
Kondisi moral bangsa pada sebagian masyarakat dalam keadaan tidak beradab.
Bangsa yang dahulunya dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur dan murah
senyum, sikap yang demikian hanya tinggal dalam kenangan sejarah. Jika suatu
tindakan kebablasan tidak bermoral ini dibiarkan menjadi budaya, niscaya bangsa dan
negara Indonesia cepat atau lambat akan surut.
12. “Asia Afrika Dasawarsa KE-II Abad 21”
Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
Bangsa-bangsa Asia Afrika saat ini menggenapkan kematangan
sosio-budaya politiknya yang telah mencapai usia 55
tahun.Dasasila Bandung masih tetap relevan dan bahkan
semakin relevan, bahkan kita sebagai satu kolektifitet
antarbangsa di kawasan Asia Afrika telah semakin mantap
dengan pandangan sosio-budaya politik kita. Dasasila Bandung
salah satu bukti kematangan nalar dan sikap sosio-budaya,
politik bangsa-bangsa Asia Afrika. Hal tersebut tercermin pada
butir-butir Dasasila Bandung.

13.

“Spirit Budaya Nusantara”
KRAT Mas’ud Thoyib Adiningrat, Drs.
Masalah kebudayaan di negara kita akhir-akhir ini memang
terasa dilupakan orang meskipun disadari atau tak disadari
hampir semua orang pada setiap harinya selalu berurusan
dengan budaya. Meskipun sudah lebih dari setengah abad
merdeka ternyata ada saja di antara kita yang sering keliru
dalam memahami budaya sebagai kesenian semata-mata;
padahal pengertian budaya ataupun kebudayaan adalah jauh
lebih luas. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 pada
dasarnya kebudayaan merupakan buah usaha budi manusia secara kolektif. Di dalam
teori budaya disebutkan tentang Teori Roda (yang Berputar), atau yang dalam
referensi Jawa Klasik disebut dengan "Cakra Manggilingan". Budaya adalah bagian
dari kehidupan manusia yang perjalanannya seperti halnya perjalanan kehidupan
manusia itu sendiri; terkadang buntung terkadang untung, terkadang pahit terkadang
manis, terkadang buruk terkadang baik, terkadang salah terkadang benar, dan
terkadang kalah terkadang menang. Seperti perputaran roda; terkadang di bawah
terkadang di atas.

14.

“Revitalisasi Mitos KAA : Dari Indonesia Untuk Dunia Yang Bermartabat”
Mahyudin Al Mudra S.H., M.M
Menurut Eliade, benar tidak sebuah mitos tidak ditentukan oleh
apakah mitos tersebut betul-betul terjadi apa tidak, tetapi lebih
kepada dampak yang ditimbulkannya. Dalam konteks inilah,
penulis melabeli KAA sebagai sebuah mitos.
KAA merupakan satu dari sekian “mitos” yang diciptakan bangsa
Indonesia. Melabeli KAA yang merupakan fenomena dunia pada
tahun 1950an sebagai sebuah mitos, tidak dalam posisi bahwa penulis meragukan
pelaksanaan KAA. KAA betul-betul terjadi, dan memberikan pengaruh luarbiasa bagi
peradaban dunia saat ini. Mitos dalam hal ini bukan sesuatu yang dikhayalkan
sehingga yang dimitoskan itu benar-benar terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada
pengaruh dari mitos tersebut. Menurut Eliade, benar tidak sebuah mitos tidak
ditentukan oleh apakah mitos tersebut betul-betul terjadi apa tidak, tetapi lebih
kepada dampak yang ditimbulkannya. Dalam konteks inilah, penulis melabeli KAA
sebagai sebuah mitos.

15.

“Tafakur dan Pemuliaan: Kiprah Nilai Perempuan dalam Merawat Budaya”
Hj. Mira Rosana Gnagey Wiranatakusumah, Dra., M.Pd
Untuk mentafakuri ikhtiar perempuan dan perannya di Tatar
Sunda atau bumi nusantara maka kita akan berada pada
pengembaraan jiwa yang harus membuka lembaran kisah lama,
merenungkan lintasan kiprah peristiwanya hingga hari ini untuk
menggamit harapan dan doa ke Indonesia Masa Depan yang lebih
baik dalam merekonstruksi peradaban tangguh sesuai dengan
nilai kearifan nusantara.

Dialog III
“Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat Kebersamaan Membangun Peradaban
Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”

16.

“Identitas Personal sebagai Pembangunan Kebudayaan”
dr. Teddy Hidayat, Sp.KJ (K)
Gen
mempengaruhi
terhadap
pengaruhi
terhadap
keberlangsungan
keturunan.
Apabila
gen-nya
bagus
keturunannya akan bagus pula. Kapasitas mental, ada IQ, Eq,
moral dan spiritual. GEN tidak dapat dirubah, namun prilaku,
hari-hari kita dapat merubah gen sehingga sesuatu yang
dibangun baik akan baik, dan melahirkan generasi budaya yang
lebih baik. GEN, suka tidak suka lama-kelamaan akan punah.
I Want, I Can, I do ; niat saja tidak cukup harus belajar ilmunya agar seseorng mulai
dari lahir, tumbuh kembang hingga remaja. Merupakan suatu proses perjalanan
panjang membangun situasi bangsa.
Sampai saat ini belum terlihat bagaimana sistematik mulai dari kandungan,
perkembangan kepribadian. Orang kita banyak pinter tetapi banyak juga yang
korupsi, bagaimana mengendalikan emosi, lingkungan?
Yang paling penting adalah moral spiritual menjadi pusat yang harus dimasukkan
dalam fase perkembangan seseorang

17.

“Nilai Kearifan Dalam Etika Tari Melayu”
Tengku Puan Puteri Bongsu Mira Rozanna Sinar, S.Sos
Masyarakat di belahan dunia manapun masing-masing memiliki
adat dan seni budaya (custom and culture) yang berperan
menjadi karakteristik bangsa dalam menuntun kehidupan
budaya suatu bangsa. Namun, dinamika komunikasi dan
informasi yang sedemikian cepat mengakibatkan pergeseran
nilai budaya yang semakin hari semakin terasa nyatanya.
Sebagai contoh rasa cinta kepada budaya leluhur bagi generasi muda di kota-kota
besar sudah semakin terkikis. Mereka terlena akan gemerlapnya dunia modern. Disisi
lain akar budaya dan jati diri yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa ikut
terbentuk. Adanya pembentukan budaya baru oleh penata tari muda dalam wujud
kini, diharapkan dapat merupakan pengembangan kekayaan budaya masa kini yang
sarat dengan modifikasi, inovasi dan dinamis, namun hendaknya tidak melupakan
seni tari tradisional.

18. “Peran Perempuan dalam Politik Perspektif Al-Qur’an dan Tradisi
di Kesultanan Kerton Kanoman Cirebon”
Ratu Raja Arimbi Nurtina, S.T., M.Hum
Politik senantiasa begitu menakutkan bagi kaum perempuan, di
mana kaum perempuan cenderung ragu dalam mentukan
pijakannya untuk ikut mengambil peran dalam politik. Beberapa
pedoman dalam Al-quran dan pandangan beberapa ahli politik,
bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki
dalam berbagai aktifitas, termasuk dalam berpolitik.
Kata Kunci: Perempuan, Politik, Al-Quran, Tradisi Kesultanan Keraton Kanoman Cirebon

19.

“Peran Pemerintah Dalam Mempertahankan Kearifan Lokal
Ditengah Globalisasi”
Dr. Ir. Hj. Eni Sumarni, M.Kes.
Fenomena tergerusnya budaya dan kearifan lokal oleh budaya
global, belakangan ini juga dirasakan para pemangku
kepentingan di pelosok desa. Seperti halnya budaya gotongroyong, yaitu melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama
dan tanpa berharap pamrih, tampaknya hanya tinggal
menyisakan kisah indah masa lalu belaka.
Peran pemerintah sangat penting dalam mempertahankan dan melestarikan kearifan
lokal dan memupuk budaya-budaya asli bangsa Indonesia, ketidak pedulian
pemerintah dan masyarakat terhadap budaya dan kearifan lokal mengakibatkan
terjadinya kemunduran pada dekade ini, bahkan masih banyak alat kesenian lokal
budaya Indonesia yang belum terdaftar UNESCO ini menjadi masalah yang belum
terselesaikan sampai saat ini, dikarenakan ketidak tahuan masyarakat dan ketidak
pedulian pemerintah untuk memfasilitasi hal tesebut misalnya dalam mempermudah
pendaftaran. Belum adanya sebuah regulasi untuk melindungi budaya-budaya yang
ada di Indonesia, DPD RI sebgai reperesentatif daerah akan mendorong adanya
perlindungan terhadap budaya dan kearifan lokal di Indonesia sebagai Negara yang
prulalistik haruslah ada perlindungan dan kepastian hukum, agar bangsa Indonesia
bisa memiliki jati diri dan kehormatan dimata bangsa lain.

20.

“Indigenous peoples and the World Economic Forum”
Abdon Nababan
Nawacita, the President’s nine priorities, highlights the need for
protection of people’s lands, especially indigenous peoples. It even
emphasizes that the government is committed to continuing the
moratorium on granting new forest use licenses. Indigenous
peoples need to be protected.
So starting now, every new investment should consider the rights
of the indigenous peoples.
This will also benefit the businessman since their investment will be more secure if
violations of the rights of indigenous peoples are absent.
Transformation of the oil palm industry should also refer to Nawacita commitments:
people-based economy, recognition and protection of indigenous peoples’ territorial
rights and effective local governance, corruption eradication and a moratorium on
new licenses until the One Map policies are in place.

21.

“Masyarakat Adat dan Hak Pengelolaan Kehidupannya
Salah Satu Model Budaya Cerdas Nusantara”
Aom Muhtarom, S.Ag
Selama ini masyarakat adat dipahami sebagai masyarakat
tradisional, kuno, tertinggal, primitif, terasing, pinggiran,
terpencil. Istilah-istilah tersebut merupakan sebutan warisan
terburuk yang dialami oleh masyarakat adat pada masa lalu.
Kenyataannya tidaklah demikian karena secara manusiawi tidak
pada tempatnya istilah tersebut ditujukan kepada masyarakat
adat.
Istilah-istilah tersebut memang sempat menjadi perdebatan untuk menunjuk pada
masyarakat adat. Istilah tersebut sering diperdebatkan oleh kalangan akademisi,
aktivis LSM masyarakat adat dan masyarakat adat itu sendiri pada forum-forum

nasional maupun internasional untuk memberikan rujukan istilah yang pantas bagi
masyarakat adat. Sehingga kurang lebih 5 tahun istilah tersebut diperdebatakan dan
disepakatilah istilah yang baku baik ditingkat nasional maupun internasional, yaitu
dengan sebutan Masyarakat Adat (indigenous people). Kedaulatan masyarakat adat
adalah sebagai salah satu budaya yang ada pada masyarakat adat dalam pengelolaan
kehidupannya merupakan bentuk kecerdasan budaya masyarakat adat dalam
mengatur kehidupannya baik keluar atau kedalam.

PEMAKALAH TAMU
1.

“Adat Budaya dan Adat Resam yang Bersimpang-siur (Songsang)”
Prof. Dr. HM. Mudarasulail Alasatam Kiram
Budaya Sulu datang dari Indonesia yaitu dari Sumatera, penting
untuk memahami budaya lokal atau asal-usulnya kita sebagai
banteng pertahanan budaya. Dan kedaulatan raja/sultan adalah
sebagai bentuk kemandirian budaya, namun Penggunaan Adat
Budaya itu tidak konsisten, mereka suka merompak budaya
asing atau budaya luar untuk dicampur-adukkan dengan budaya
setempat, inilah yang menyebabkan kekeliruan budaya yang
samar-samar untuk diketahui.
Agar semua para pengamal kebudayaan, sastrawan dan sebagainya harus
mengekalkan adat budaya daerah masing-masing agar keunikan dan kecintaan
terhadap budaya itu dapat diamalkan dan diperturunkan kepada generasi yang
mendatang, ini bermakna budaya itu kekal sebagai wardah tradisi yang diwarisi
turun-temurun sehingga akhir zaman.

2.

“Budaya Asia Afrika Mengayomi Dunia”
Dr. Djuyoto Suntani
Hanya Budaya Asia Afrika yang bisa mengayomi dunia. Ini
karena Masyarakat Asia Afrika memiliki “hati nurani”, kearifan,
kasih sayang, ada etika, ada tata krama, punya wisdom, serta
nilai-nilai spiritual. Karena itu semua agama yang diakui dunia
sekarang ini
lahir di Asia. Sebaliknya, Perang Besar yang
bernama Perang Dunia I dan II dimulai di luar Asia Afrika.
Masyarakat Asia Afrika memiliki budaya adiluhung.
Contoh paling sederhana dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat
Asia Afrika mengajarkan anak-anak untuk patuh dan hormat kepada orang yang lebih
tua.

4.

Exploring the Objectification of Islam through the Spreading
Discourse of “jilboobs”
Ryo Araki
The spreading discourse of “Jilboobs” has caused by the
misapplication of wearing jilbab. Basically, according to the
Islamic rule as it written in Al-Quran, Muslima need to hide her
hair, skin and body line, and to comply the rule, they must
wearing scarf as one of the symbolic act.But nowadays in
Indonesia, we found the trend among theIndonesian
Muslimaswho dress herself withclothes which emphasizing and
showing the line of her chest (boobs) and buttocks or other body shape clearly,
although they wearing scarf on her head. So then, against for such a paradoxical
situation, another Muslims who have a high awareness of wearing scarf correctly,

start to criticize the way of Muslimas fashion trend in recent year and create the
ribbing name “jilboobs” based from “jilbab” word. On the other hand, through daily
practices of Muslimas, we are able to point out their artifice of how to deal aspiring to
the stylish (fashionable) clothes and more Islamic way.

MAKALAH PARTISIPAN
1.

“Revitalisasi Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya Dalam Konteks
Platform untuk Kesejahteraan Bangsa dan Masyarakat Dunia”
Prof. Dr. Ir. Elan Masbulan, M.P.

Asia–Afrika

Budaya
masyarakat
Timur,
secara
tradisional
lebih
mengutamakan kerjasama berdasarkan kebersamaan dan saling
percaya mempercayai (Trust Building).
Dalam skala kecil budaya kekeluargaan (Cronysm) akan berjalan
dengan baik dan berkelanjutan. Tetapi kebersamaan dalam
cronysm ini dilanjutkan dalam skala ekonomi yang besar dan
bersifat global (melibatkan konglomersi usaha internasional),
maka sistem perkoncooan tersebut mudah menimbulkan persoalan-persoalan besar.
Akibatnya terjadilah kemajuan semu dan pertumbuhan ekonomi menyimpang dari
tujuan–tujuan sosial yang lebih luas seperti pemerataan, pengentasan kemiskinan,
dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Akibat tersebut di atas,
maka terjadi kesenjangan (gaps) perbedaan dalam masyarakat yang secara
bersamaan diikuti oleh peningkatan tindak kejahatan sosial ekonomi. Fenomena ini
pada gilirannya sudah menimbulkan kerawanan SOSIAL –EKONOMI- BUDAYA

2.

“Budaya dan Falsafah Sunda Kontribusinya dalam
Menghadapi Disintegrasi Sosial”
Nandang Rusnandar, Drs., M.Si
Perjalanan Bangsa Indonesia, kini sedang menuju ke Indonesia
Baru. Berbicara mengenai Indonesia Baru, maka tak lepas dari
Jawa Baru, Sunda Baru, kini masyarakat Jawa Barat harus
mampu menghidupkan spirit Jawa Barat Baru dengan latar
belakang budaya dan sejarah yang dimilikinya. Perlu
pengadopsian nilai-nilai karuhun yang telah disosialisasikan
dahulu dapat dijadikan pegangan hidup untuk survive.
Salah satu elemen penting dalam menghadapi masalah besar tersebut, dengan
memanfaatkan sikap kepemimpinan yang berbasis Back to Karuhun diharapkan dapat
menciptakan kesatuan wawasan yang berorientasi pada upaya pemecahan masalah
disintegrasi sosial yang semakin meruncing.

4.

“Keberadaan Komunitas Adat Ditengah Perubahan”
Drs. Ari Harmedi Memed
Batasan komunitas dan masyarakat adat belum teridentifikasi
dengan jelas berdasarkan kriteria sosial budaya, seperti
dimaksudkan dalam deklarasi hak asasi manusia khususnya
tentang masyarakat adat. Komunitas dan Masyarakat adat di
dalam arus perubahan, dari sisi hak hidup telah diakui dunia
melalui piagam PBB tentang Masyarakat Adat.

Namun dalam implementasi hak hidup itu masih terkendala
oleh sikap dan
pandangan kelompok masyarakat yang menguasai kekuasaan dan persepsi sosial
budaya yang menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok minoritas. Beberapa
upaya untuk mencari solusinya sehinggga tujuan dari pemberdayaan itu sendiri dapat
dicapai yaitu berdayanya Komunitas Adat terpencil dalam segala aspek kehidupan
agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani dan sosial sehingga dapat
berperan aktif dalam pembangunan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan adat istiadat setempat.

5.

“Konsep Waktu Sunda dan Pembelajaran Sejarah Lokal”
Miranda H. Wihardja
LEBIH kurang 500 tahun, sistem penanggalan Sunda tak lagi
akrab dengan masyarakatnya. Padahal, praktik “hitungmenghitung hari baik” hingga kini tetap dilakukan orang-orang
Sunda yang “pandai”. Malah, orang Sunda sendiri –meski tak
semuanya– merasa belum afdal jika hajat mereka (seperti
pernikahan, membangun rumah, dan sebagainya) tak “dihitung”
terlebih dahulu.
Manusia menghadapi kenyataan hidup bahwa waktu bergerak terus menerus, maka
secara eksak waktu diukur dengan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun,
windu, dasawarsa, dan abad. Sedangkan istilah masa kini sebenarnya bersifat relatif,
karena waktu berjalan terus menerus dari detik ke detik, hari ke hari, tahun ke tahun,
dan seterusnya, dimana masa kini merupakan titik temu antara masa lampau dengan
masa yang akan datang. Peristiwa-peristiwa masa lampau, merupakan rangkaian
peristiwa masa kini, dan masa yang akan datang, sehingga waktu dalam perjalanan
sejarah adalah berjalan secara kontinuitas (berkesinambungan). Agar setiap waktu
dapat dipahami, maka sejarah membuat pembabakan waktu atau periodisasi. Maksud
periodisasi adalah supaya setiap babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya, sehingga
mudah dipahami. Misalnya, sejarah Eropa dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu
Zaman Klasik, Zaman Pertengahan, dan Zaman Modern. Demikian juga sejarah
Indonesia biasanya dapat dibagi ke dalam empat periode yaitu Prasejarah, Zaman
Kuno, Zaman Islam, dan Zaman Modern.

6.

“Power OF Culture FOR Life”
Dr. R.A. Ikke Dewi Sartika, M.Pd.
Banyaknya kebijakan otoritatif para elit suprastruktur politik
yang membuka ruang bagi kepentingan ekonomi kaum pemodal
asing yang tidak peduli soal lingkungan apalagi budaya
disekelilingnya mereka gerus dengan kepentingan kapitalis.
Menurut Vandana Siva (1993) akar krisis ekologis terletak pada
kelalaian penguasa dalam menyingkirkan hak komunitas lokal
untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebjakan lingkungan.
Kerusakan dan kehilangan budaya akan berakibat pada tatanan berbangsa dan
bernegara. Terjadinya anonim dalam kehidupan, tidak lagi memiliki jati diri yang ada
kesemerawutan kehidupan manusia maupun lingkungan.

CONCLUSION AND STATEMENT
Kesimpulan dan Rekomendasi didasarkan pada notula dan hasil diskusi informal
pembahasan makalah yang ada dalam dialog cerdas berbudaya 60 tahun KAA bertajuk
REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA “Membangun Sinergitas
Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya
Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”
Dialog I

“Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Nusantara-Indonesia
Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa,
dan Bernegera”

Dialog II

“Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks
Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”

Dialog III “Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat Kebersamaan Membangun
Peradaban Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”