Analisis Ketersediaan Infrastruktur KabupatenKota

Tabel 24. Nilai IPK dan Jumlah Jenis Hasil Perhitungan Skalogram 2003 No. Kabupaten Kota Jumlah Penduduk IPK Jumlah Jenis FasilitasInfrastruktur 1 Pare-pare 107.791 80,07 92 2 Palopo 111.856 72,14 91 3 Makassar 1.130.343 61,30 86 4 Soppeng 224.177 49,00 85 5 Maros 277.910 57,94 84 6 Sidrap 241.708 64,57 82 7 Wajo 365.090 53,67 82 8 Gowa 524.020 32,44 82 9 Bone 665.728 46,98 81 10 Bulukumba 357.486 36,75 80 11 Luwu Utara 461.562 48,32 79 12 Barru 154.008 62,24 76 13 Takalar 234.306 41,27 76 14 Pinrang 313.789 25,32 76 15 Jeneponto 358.889 33,22 75 16 Selayar 104.040 76,95 74 17 Pangkajene 274.587 50,31 73 18 Enrekang 170.983 47,08 73 19 Bantaeng 162.859 40,38 73 20 Sinjai 206.936 29,63 73 21 Luwu 286.491 38,56 70 22 Tana Toraja 413.432 43,68 67 Sumber : Data diolah, 2010 Berdasarkan jumlah jenis Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kota Makassar memiliki jumlah jenis yang lebih besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya. Ketiga kota ini memiliki perkembangan yang lebih maju jika dilihat dari banyaknya jumlah fasilitas. Ketiga kota ini cenderung menjadi daerah yang bersifat pusat kegiatan bagi daerah-daerah di sekelilingnya maupun daerah yang dapat memberikan pelayanan bagi daerah di sekelilingnya. Baik itu pelayanan dari segi pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Pola ketersediaan infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2003 Peta skalogram berdasarkan jumlah jenis dapat terlihat Gambar 22 daerah- daerah yang memiliki jumlah fasilitas yang ada di kelas kedua yaitu yang tersebar merata mengelilingi Kota Pare-Pare dan Kota Makassar, sedsangkan Kota Palopo dikelilingi daerah-daerah yang terkategori di kelas ketiga. Kecuali daerah-daerah seperti Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Sinjai yang berada di sebelah selatan Pulau Sulawesi ini cenderung memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit jenisnya. Daerah-daerah ini memiliki jarak yang jauh dari ibukota Provinsi. Sedangkan untuk melihat ketersediaan infrastruktur berdasarkan sektor aktivitas pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi ini dapat dilihat Indeks Perkembangan KabupatenKota bidang yang dominan seperti yang ditunjukkan Gambar 23. Gambar 23. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan KabupatenKota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap KabupatenKota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2003 Berdasarkan jumlah jenis yang dominan di tahun 2003 dari data yang berasal dari IPK sosial, sebagian besar Kabupatenkota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki jumlah IPK sosialnya dominan dibandingkan IPK lainnya, kecuali Kota Makassar yang didominasi oleh IPK kesehatan, Kabupaten Enrekang oleh IPK pendidikan serta Kota Pare-Pare dan Kota Palopo IPK pendidikan. Ketersediaan IPK kesehatan dan pendidikan lebih baik dimiliki oleh ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan di Kabupatenkota lainnya perkembangan IPK Sosial belum diimbangi oleh IPK pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Sedangkan ketersediaan infrastruktur berdasarkan jumlah jenis yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan di tahun 2006 berdasarkan hasil perhitungan Skalogram 2006 adalah dapat terlihat pada peta di bawah Gambar 24. Gambar 24. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2006 Ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupatenkota yang ada di Sulawesi Selatan tahun 2006 dengan jumlah jenis fasilitas yang masuk pada kelas pertama dengan total berkisar antara 91-99 jenis berada hampir di sebagian besar Kabupatenkota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 13 Kabupaten dan 2 kota. Sedangkan untuk Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten Enrekang menjadi daerah yang memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih sedikit atau berada pada kelas 2 dimana daerah-daerah ini merupakan daerah-daerah yang memiliki produktivitas rendah terlihat dari nilai kontribusi PDRB terhadap Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Yang menarik terjadi di Kabupaten Maros meskipun Kabupaten Maros merupakan daerah yang berbatasan dengan Kota Makassar dan berjarak 21 Km dan menjadi lebih dekat dengan adanya fasilitas jalan TOL menuju Maros-Makassar, tidak serta merta membuat Maros di tahun 2003 dan 2006 memiliki jumlah jenis fasilitas yang tinggi. Dikarenakan masyarakat Kabupaten Maros sendiri lebih sering menikmati fasilitas di Kota Makassar dibanding di Kabupaten Maros sendiri. Sementara untuk melihat Ketersediaan Infrastruktur berdasarkan Indeks Perkembangan KabupatenKota yang dibagi kedalam 4 sektor, yaitu: IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat terlihat dari pada peta di bawah ini Gambar 25. Gambar 25. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan KabupatenKota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap KabupatenKota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2006 Dari peta mengenai Indeks Perkembangan KabupatenKota yang terkait 4 sektor IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat dilihat bahwa kondisi yang mendominasi pembangunan infarastruktur di sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah dengan melihat IPK ekonomi yang dominan di 14 Kabupatenkota yang ada. Dan IPK Pendidikan memperlihatkan kondisi yang semakin membaik dengan munculnya 8 daerah yang dominan nilai IPK pendidikannya. Sementara untuk IPK kesehatan yang dominan berada di Kabupaten Soppeng. Terlihat masih rendahnya fokus pembangunan di Bidang Kesehatan hampir di seluruh Kabupatenkota yang ada. Kondisi ketersediaan infrastruktur yang ada di kabupatenkota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 dipetakan berdasarkan jumlah jenis infrastruktur yang ada Gambar 26. Gambar 26. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2008 Berdasarkan jumlah jenisnya ketersediaan infrastruktur di Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kabupaten Sidrap memiliki jumlah yang lebih lengkap dibandingkan dengan Kabupatenkota lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan jika dilihat dari sisi jumlah jenis. Sementara 9 Kabupatenkota berada di kelas 2 dengan jumlah jenis berkisar 56 – 63 dan sebanyak 11 Kabupaten yang berada di kelas dengan jumlah jenis yang paling sedikit. Jumlah infrastruktur yang paling sedikit umumnya berada di bagian paling utara yang berada di sekitar kota Palopo dan di bagian Selatan yang berada di sekitar kota Makassar. Dari daerah-daerah yang memiliki ketersedian infrastruktur ini dapat diamati sektor apa yang kemudian di tahun 2008 dominan, seperti terlihat pada peta di bawah Gambar 27. Gambar 27. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan KabupatenKota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap KabupatenKota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2008 Dari peta diatas terlihat ketersediaan kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Selatan terkait IPK pendidikan, kesehatan dan IPK ekonomi cenderung lebih merata. IPK Pendidikan didominasi di 13 Kabupatenkota yang ada di Sulawesi Selatan. Kondisi IPK pendidikan yang semakin membaik, IPK ekonomi di dominasi di 8 Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan dan Kesehatan hanya sebanyak 2 Kabupaten 5.4 Analisis Pola Interaksi Antar KabupatenKota Pendugaan keterkaitan antar wilayah ditinjau berdasarkan asal-tujuan perjalanan orang, digunakan variabel jarak dalam satuan kilometer dengan memperhitungan pengaruh infrastrukur pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Setelah dilakukan pemrosesan data dengan menggunakan analisis entopi interaksi spasial dengan sowtware statistica, dengan melakukan 5 kali pemrosesan, maka diperoleh hasil estimasi untuk setiap model. Maka peningkatan fasilitas ekonomi tidak mendorong terjadinya interaksi yang berlebih karena pada angka di bawah nilai estimasi untuk ekonomi bernilai negatif -11,2144. Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa adanya kecenderungan pemusatan ekonomi pada wilayah tertentu sehingga tidak memberikan nilai interaksi yang lebih untuk sektor ekonomi bernilai negatif. Sedangkan peningkatan infrastruktur pendidikan, peningkatan infrastruktur kesehatan dan peningkatan infrastruktur sosial memberikan nilai estimasi yang cenderung lebih baik jika ketiga infrastruktur ini diberikan perhatian khusus. Karena dengan mengembangkan ketiga sektor ini maka akan meningkatkan pola interaksi diantara Kabupatenkota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum, motif pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor ekonomi. Dari hasil analisis Interaksi spasial ini akan diperoleh dugaan bernilai negatif maupun positif. Nilai negatif di setiap dugaan baik daerah asal maupun daerah tujuan mengindikasikan bahwa penambahan daya tarik atau daya dorong tidak akan memperluas atau menambah interaksi secara kesuluruhan berbeda halnya dengan dugaan yang bernilai positif di daerah asal maupun daerah tujuan maka penambahan daya tarik ataupun daya dorong di Kabupatenkota tersebut maka akan meningkatkan interaksi secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil analisis secara rinci terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Hasil Dugaan Analisis Entropi Interaksi Spasial No KabupatenKota Dugaan Asal KabupatenKota Dugaan Tujuan 1 Jeneponto 50.105 Luwu Utara 14.844 2 Selayar 18.299 Bone 14.170 3 Luwu Timur 15.085 Luwu Timur 13.480 4 Wajo 0,967 Gowa 13.216 5 Bone 0,9667 Tana Toraja 10.798 6 Tana Toraja 0,6279 Bulukumba 10.463 7 Luwu Utara 0,5711 Wajo 0,7715 8 Barru 0,4845 Takalar 0,7004 9 Soppeng 0,4636 Luwu 0,6425 10 Pinrang 0,1922 Bantaeng 0,6256 11 Palopo 0,0000 Maros 0,5761 12 Gowa -0,0475 Enrekang 0,4457 13 Pangkep -0,1123 Pinrang 0,4412 14 Makassar -0,6322 Jeneponto 0,3733 15 Enrekang -0,772 Pangkep 0,2312 16 Bantaeng -0,8631 Sinjai 0,1066 17 Bulukumba -11.777 Palopo 0,0000 18 Takalar -13.744 Soppeng -0,0069 19 Sidrap -18.363 Pare-pare -0,0237 20 Pare-pare -20.824 Barru -0,1312 21 Sinjai -22.318 Sidrap -0,208 22 Maros -24.522 Makassar -16.186 23 Luwu -26.341 Selayar -17.228 Sumber data : Hasil Analisis Entropi Interaksi Spasial, 2009 Hasil interaksi tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Makassar dan Kota Pare-Pare, serta Kabupaten Sidrap memiliki daya dorong - dan daya tarik - kota ini dikatakan mandiri, maka kedua kota ini telah tumbuh menjadi pusat pertumbuhan sendiri sehingga peningkatan kapasitas supply dan demand tak akan mempengaruhi interaksi. Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dari Sulawesi Selatan kemudian telah berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah lainnya, kondisi sektor-sektor yang berkembang pun cenderung lebih merata dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan untuk kabupaten Sidenreng Rappang memiliki hasil yang sama dengan Kota Makassar dan Kota Pare-Pare. Daerah ini telah berkembang dan menjadi pusat pertumbuhan sendiri dan cenderung menjadi daerah yang lebih mandiri. Sehingga peningkatan supply dan demand tidak akan mempengaruhi interaksi. Sedangkan untuk daerah-daerah yang bernilai + pada perkiraan daerah asal, seperti Jeneponto, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Pinrang, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Palopo adalah daerah-daerah yang perlu adanya peningkatan daya dorong, karena dengan daya dorong ini akan meningkatkan pola interaksi antara daerah-daerah ini dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi spasial atau pengembangan wilayah di Kabupatenkota tersebut ditingkatkan, maka pengaruh pengembangan di wilayah penelitian secara keseluruhan dapat terlihat pada Gambar 28. Gambar 28. Peta Interaksi KabupatenKota Dugaan Asal Jeneponto yang memiliki nilai dugaan tertinggi, dikaitkan dengan rendahnya PDRB per kapita, dan terbatasnya kemampuan wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, apabila di wilayah ini dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan daya dorong, maka akan terjadi peningkatan interaksi spasial dan diduga wilayah penelitian secara keseluruhan akan semakin berkembang. Pada Kabupaten Luwu Timur, kehadiran pertambangan nikel di daerah ini, diduga hasil dari nilai tambah pertambangan ini tidak mengalir menuju wilayah bersangkutan, tetapi di luar wilayah, dimana PDRB per kapita Luwu Timur yang tertinggi tahun 2008 Rp. 18.584.100,- di duga pendapatan tersebut tidak mengalir ke wilayah sekitarnya. Kabupaten Luwu Utara yang mempunyai PDRB per kapita jauh lebih kecil Rp. 4.690.100,-. Sedangkan untuk daerah-daerah dugaan asal + seperti Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Selayar memiliki karakteristik daerah yang kurang berkembang untuk 2 wilayah ini sehingga peningkatan daya dorong di daerah ini bisa meningkatkan interaksi yang ada secara keseluruhan. Sedangkan daerah seperti Kabupaten Tana Toraja yang memiliki jarak daerah yang cukup jauh dimana pariwisata di daerah ini berkembang cukup pesat tetapi dari segi pembangunan dan aktivitas daerahnya daerah ini masih kurang berkembang, sehingga peningkatan daya dorong dapat meningkatkan interaksi yang ada. Begitupula halnya yang terjadi di Kabupaten Bone, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo, dimana sektor yang berkembang adalah sektor pertanian yang berkisar 40 persen hingga 50 persen. Jika daya dorong di daerah ini ditingkatkan maka akan terjadinya peningkatan interaksi. Untuk daerah-daerah yang memiliki nilai + pada perkiraan tujuan seperti Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene, Bone, Wajo, Pinrang, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo daya tariknya ditingkatkan, maka akan meningkatkan interaksi. Apabila kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan “daya tarik tujuan perjalanan penumpang misalnya penyediaan lapangan kerja lebih dikonsentrasikan pada wilayah dengan nilai dugaan + maka akan terjadi peningkatan interaksi. Gambaran daerah-daerah ini dapat kita lihat pada peta dugaan tujuan Gambar 29. Gambar 29. Dugaan Daerah Tujuan KabupatenKota di Provinsi Sulawesi Selatan Lebih lanjut, untuk daerah Kabupaten Selayar, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng jika daya tarik ditingkatkan tidak membawa peningkatan interaksi pada daerah ini. Ketiga kabupaten ini tergolong daerah dengan kondisi yang kurang berkembang dimana sumbangan Kabupaten Selayar dan Kabupaten Barru ini terhadap PDRB Sulawesi Selatan juga sangat kecil. Selain itu untuk daerah dengan nilai + ini memiliki potensi daerah yang baik untuk dikembangkan sehingga peningkatan daya dorong ini akan meningkatkan interaksi yang ada.

5.4 Analisis Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan

Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan yang terjadi secara umum telah menimbulkan ketimpangan dalam prosesnya yang jika diamati dalam 6 tahun terakhir 2004 hingga 2009 memberikan gambaran yang sangat fluktuatif dengan kecenderungan yang terus meningkat. Ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki nilai yang cukup tinggi berada di atas ketimpangan yang terjadi di KBI Kawasan Barat Indonesia meski berada di bawah ketimpangan nasional untuk tahun 2006. Kecenderungan ini jika tidak cepat diminimalisir akan cenderung semakin memburuk dan membahayakan stabilitas pembangunan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan yang secara umum terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari andil 3 kota besar yang memperparah kondisi ketimpangan yang ada yaitu Kota Makassar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Hadirnya 3 kota besar ini menyebabkan ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kecenderungan peningkatan selama 6 tahun terakhir. Meski ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan nilai yang relative tetap, namun hal ini perlu diatasi. Ketimpangan terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan yang memberikan proporsi terhadap ketimpangan yang ada adalah ketimpangan antar sektor dalam kabupatenkota tersebut. Hal ini diperkuat dengan melihat perkembangan aktivitas ekonomi yang belum mencapai maksimal untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan perkembangan setiap sektor yang cenderung kurang merata. Sektor pertanian merupakan sektor yang lebih merata dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan sektor listrik, gas dan air minum adalah sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupatenkota yang ada. Hadirnya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan selain dilihat dari aktivitas ekonominya juga bisa dilihat dari realisasi alokasi dana belanja pemerintah daerah yang tertuang dalam APBD setiap kabupatenkota. Alokasi dana belanja ini merupakan stimulus setiap daerah dalam mewujudkan pembangunan daerahnya yang dapat diukur dengan pertumbuhan PDRB. Alokasi belanja yang kemudian disederhanakan menjadi beberapa urusanbidang yang umum dibutuhkan dalam menciptakan pembangunan yaitu terkait belanja infrastruktur, belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja sosial dan belanja ekonomi. Dari urusanbidang yang ada ini kemudian dapat disimpulkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar terhadap menurunnya angka disparitas selain pertumbuhan PDRB adalah rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial. Meskipun rasio belanja kesehatan tidak signifikan memberikan pengaruh terhadap menurunnya angka disparitas tetapi dari hasil yang ditunjukkan dapat diketahui bahwa Kabupatenkota yang ada di Sulawesi Selatan ini masih memiliki jumlah infrastruktur kesehatan sangat minim yang terlihat dari nilai IPK kesehatan yang dimiliki di setiap Kabupatenkota. Tiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-Pare memiliki perkembangan yang lebih baik dari Kabupaten yang ada. Dilihat dari besarnya kontribusi PDRB terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, perkembangan aktivitas ekonomi yang terkait aktivitas setiap sektor yang lebih merata dan berimbang, ketidakberimbangan yang terjadi ini kemudian menjadi hal yang dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan. Begitupula halnya dengan ketersediaan infrastruktur yang ada di ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini. Ketiganya memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih lebih baik dengan kategori paling banyak jumlah jenisnya jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten yang ada. Ketersediaan infrastruktur yang lebih baik ini merupakan hal yang dapat memicu terjadinya ketimpangan. Diperkuat dengan melihat pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan yang cenderung masih sangat kuat motif ekonominya, hadirnya infrastruktur ekonomi di suatu daerah tidak mempengaruhi interaksi yang ada karena urusan ekonomi ini hanya difokuskan pada daerah-daerah tertentu saja, hal ini akan mengakibatkan eksploitatif yang besar. Hadirnya ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini ternyata tidak memberikan hasil yang baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros yang ada di sekitarnya. Karakteristik kedua daerah ini yang masih dominan oleh sektor pertanian, membuat perkembangan aktivitas ekonomi per sektornya tidak lebih baik dari daerah-daerah yang berada di utara Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Pinrang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone. dan Kabupaten Pangkep. Begitupula yang terlihat dari ketersediaan infrastruktur yang dapat dilihat dari jumlah jenis yang ada, Kabupaten Maros, masih cenderung tidak seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa perkembangannya. Meski demikian peningkatan daya tarik yang ada di kedua Kabupaten ini memungkinkan terjadinya interaksi. Peningkatan daya tarik ini, diharapkan memberikan rangsangan terhadap sumber daya yang ada di kedua daerah ini agar dapat maksimal dimanfaatkan di daerah ini agar kebocoran daerah di kedua daerah ini bisa dicegah. Sedangkan untuk daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan yang memiliki perkembangan yang rendah dibandingkan di daerah utara Sulawesi Selatan ini. Seperti Kabupaten Selayar dan Kabupaten Jeneponto, dimana rendahnya perkembangan aktivitas ekonomi dan juga rendahnya kualitas sumber daya manusia serta karakteristik daerah yang kurang subur cenderung menjadi daerah kering jika dilihat dari gambaran umum daerah ini, membuat kedua daerah ini menjadi daerah memiliki perkembangan yang paling kecil jika dibandingkan Kabupaten lainnya. Tidak meratanya aktivitas penyebaran ekonomi setiap sektor juga menjadi penyebab kurang berkembangnya daerah ini, sehingga peningkatan daya dorong dari kedua daerah ini dapat meningkatkan interaksi yang terjadi antara kabupatenkota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini juga dikarenakan karena terbatasnya daerah ini dalam memenuhi kebutuhan penduduknya. Untuk Kabupaten Luwu Timur yang memiliki SDA yang lebih baik, belum bisa memberikan hasil yang lebih baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Luwu Utara, terlihat dari PDRB per kapita yang cenderung paling tinggi di tahun 2008 dan tertinggi menurut rata-rata 5 tahun terakhir ini dibandingkan PDRB per Kapita Luwu Utara yang jauh lebih kecil. Meski tingginya PDRB dan PRDB per Kapita di Luwu Timur ini tidak diikuti dengan peningkatan ketersediaan infrastruktur yang lebih baik. Sehingga mendorong pergerakan manusia keluar dari Luwu Timur adalah salah satu cara untuk meningkatkan interaksi antar Kabupatenkota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Potensi tambang yang ada di Luwu Timur menjadi sektor yang memiliki proporsi terbesar dalam menciptakan ketimpangan.