BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keawetan Kayu
Keawetan  kayu  merupakan  daya  tahan  suatu  jenis  kayu  terhadap berbagai  faktor  perusak  kayu  seperti  faktor  biologis  yaitu  jamur,  serangga,
dan cacing laut. Keawetan kayu ditentukan oleh genetik kayu tersebut seperti berat jenis, kandungan zat ekstraktif, dan umur pohon Weiss 1961.
Menurut  Martawijaya  1981,  keawetan  alami  kayu  adalah  suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam
lingkungan  yang  sesuai  bagi  organisme  yang  bersangkutan.  Keawetan  alami kayu  terutama  dipengaruhi  oleh  kadar  ekstraktifnya,  meskipun  tidak  semua
zat  ekstrkatif  beracun  bagi  organisme  perusak  kayu.  Umumnya  semakin tinggi  kandungan  ekstraktif  dalam  kayu,  maka  keawetan  alami  kayu
cenderung meningkat Wistara et al. 2002. Menurut  Tim  ELSSPAT  1997,  umur  pohon  memiliki  hubungan
yang  positif  dengan  keawetan  kayu.  Jika  pohon  ditebang  dalam  umur  yang tua,  pada  umumnya  lebih  awet  dibandingkan  dengan  pohon  yang  ditebang
dalam  umur  yang  muda,  karena  semakin  lama  pohon  tersebut  hidup  maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk. Penggolongan kelas awet kayu
didasarkan  pada  perbedaan  keawetan  kayu  terasnya,  karena  bagaimanapun awetnya  suatu  jenis  kayu,  bagian  gubalnya  selalu  memiliki  keawetan  yang
lebih  rendah.  Hal  ini  disebabkan  pada  kayu  teras  terdapat  zat-zat  ekstraktif seperti fenol, tanin, alkaloid, saponin, dan damar. Zat-zat tersebut mempunyai
daya racun terhadap organisme perusak kayu Wistara et al. 2002. Di Indonesia penggolongan keawetan kayu dibagi menjadi lima kelas
awet  yaitu  kelas  I  yang  paling  awet  sampai  dengan  kelas  V  yang  paling tidak awet. Penggolongan keawetan kayu didasarkan pada umur pakai kayu
dalam  kondisi  penggunaan  yang  selalu  berhubungan  dengan  tanah  lembab dimana terdapat koloni rayap Tabel 1.
Tabel 1  Penggolongan kelas awet kayu Kelas Awet
Umur Pakai Tahun I
8 II
5-8 III
3-5 IV
1-3 V
1
Sumber: Nandika et al. 1996
Penggolongan kelas awet kayu ini hanya berlaku untuk dataran rendah tropik dan tidak termasuk ketahanan terhadap organisme penggerek di laut Nandika
et al. 1996. Tobing  1977  menyatakan  bahwa  untuk  mengetahui  sifat  keawetan
kayu  terhadap  faktor  perusak  biologis  dapat  dilakukan  dengan  dua  cara pengujian, yaitu:
a.  Uji kuburan Graveyard Test Dalam  pengujian  menggunakan  cara  ini,  kayu  dalam  ukuran  tertentu
ditanam  di  lapangan  dan  diperiksa  dalam  jangka  waktu  tertentu  untuk menentukan  masa  pakainya.  Kelemahan  dari  cara  ini  adalah  waktu
pengujiannya  yang  sangat  panjang  sehingga  menyulitkan  pengamatan, lapangan pengujian harus selalu dirawat agar tidak menjadi semak-semak,
serta  sulit  menetapkan  apakah  kayu  tersebut  rusak  oleh  jamur  atau  oleh rayap  bila  kedua  faktor  tersebut  terdapat  bersama-sama  di  lapangan
pengujian. b.  Uji Laboratorium Laboratory Test
Pengujian dengan menggunakan cara ini memerlukan waktu lebih pendek dan umur pakai kayu ditentukan dari besarnya kehilangan berat contoh uji
kayunya.  Cara  ini  dilakukan  untuk  mengatasi  kelemahan-kelemahan  cara kuburan graveyard test, tetapi  cara ini juga masih  memiliki kekurangan
yaitu  hanya  jenis-jenis  organisme  perusak  kayu  tertentu  yang  dapat dibiakkan di  laboratorium  dan sulit  mengatur kondisi  yang  sesuai  dengan
kondisi alam sebenarnya.
2.2 Kayu Ulin Eusideroxylon zwageri T. et B.