20 Pembuatan preparat untuk sista dilakukan dengan mengambil satu sista
menggunakan kuas, dan diletakkan diatas gelas objek, kemudian sista dipotong 34 bagian dari anterior di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 50X,
kemudian bagian anteriornya dibuang dan 14 bagian ujung posterior pantat digunakan untuk identifikasi. Telur dan juvenil yang berada di dalam sista
dikeluarkan dengan memencet bagian posterior dengan menggunakan kuas, sehingga diperoleh irisan
perennial pattern sidik pantat. Irisan perennial pattern dibersihkan dengan menambahkan satu tetes larutan asam laktat 45 sambil
dibersihkan perlahan-lahan dengan menggunakan kuas, lalu dibiarkan selama beberapa jam. Asam laktat dibuang dengan menggunakan kertas tissue, setelah
itu ditambahkan lactofenol kemudian tutup dengan cover glass dan diberi kutek
dibagian sisi-sisi cover glass. Kemudian dilakukan pengamatan di bawah
mikroskop compound dengan pembesaran 200X. Perbedaan ciri morfologi antara
G. rostochiensis dan G. pallida diketahui dengan melakukan penghitungan jumlah tonjolan kutikula antara anus dan
fenestra, melakukan pengukuran jarak antara anus dan fenestra, mengukur diameter fenestra, dan dilakukan penghitungan rasio graneks tabel 2 dan
gambar 6. Rasio graneks = jarak antara anus dengan fenestra
Diameter fenestra Tabel 2 Perbedaan ciri morfologi
G. rostochiensis dan G. pallida CABI 2007 G. rostochiensis
G. pallida
Jarak anus – fenestra
66,5 ±10,3 µm 50 ± 13,4 µm
Diameter fenestra VB
19 ± 2 µm 24,5 ± 5 µm
Rasio Granek 1,3 – 9,5
1,2 -3,5 4,5
2,3 Jumlah garis
gelombang antara anus-fenestra
ridge CR 16 -21
umumnya sekitar 22 8 – 20
umumnya sekitar 12
21
a b Gambar 6 a
G. rostochiensis b G. pallida CABI 2007
Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Molekuler Ekstraksi DNA
Identifikasi NSK dengan menggunakan teknik PCR dilakukan untuk semua sampel yang positif NSK. Metode ekstraksi DNA dilakukan berdasarkan metode
Fullaondo et al. 1999; Subotin et. al. 2001 dalam Lisnawita 2007 yang
dimodifikasi. Lima puluh sista dikumpulkan secara acak dari setiap sampel Cunha
et al. 2008, kemudian dimasukkan ke dalam eppendorf steril yang berisi 150 µl buffer lisis 125 mM KCl; 25 mM Tris-HCl, pH 8,0 ; 3,75 mM MgCl
2
; 2,5 mM DTT ; 1,125 Tween 20 dan 0,025 gelatin dan ditambahkan 5 µl
Proteinase K 600 µgml USB UK. Sista digerus dengan pistil mikro plastik selama 2-3 menit, divorteks dan diinkubasi pada suhu 65
o
C selama 1 jam, dilanjutkan pada suhu 95
o
C selama 10 menit, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan pada tabung
baru dan ditambahkan 1 volume kloroform : isoamil alkohol 24:1, divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan NAOAc 3 M pH 5.2 2.5 kali volume total supernatan, kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu -20
o
C. Supernatan dibuang setelah disentrifugasi 14000 rpm selama 10 menit. Pelet
dicuci dengan 500 µl etanol 70 dan disentrifugasi 14000 rpm selama 10 menit. Etanol dibuang kemudian pellet dikeringkan di dalam pompa vakum selama 10
menit, selanjutnya pellet diresuspensi dengan 20 µl ddH
2
O. Jika DNA belum segera digunakan, dapat disimpan pada temperatur -20
o
C. DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan tehnik PCR berdasarkan metode Fullaondo
et. al. 1999 dalam Lisnawita 2007.
AV AV
V
V
A A
CR CR
22
Reaksi PCR
Komposisi dari setiap reaksi PCR 25 µl terdiri atas 25ng DNA template dari masing-masing sampel, yang terdiri dari 50mM Tris-HCl pH 9,0 ; 50 mM
KCl ; 1,5 mM MgCl
2
; 0,1 Triton X-100 ; 0,2 mM setiap dNTP New England Biolabs ; 50 ng setiap primer dan 0,5 unit taq polymerase New England Biolabs.
Tiga primer digunakan, masing-masing primer spesifik untuk G.
rostochiensis yaitu ITS-1R 5’- TGT TGT ACG TGC CGT ACC TT -3’, primer spesifik untuk
G. pallida yaitu ITS-1P 5’- GGT GAC TCG ACG ATT GCT GT -3’ Mulholland
et al. 1996 dalam Luc et al. 2005dan primer universal untuk NSK yaitu 5,8 S rRNA 5’- GCA GAA GGC TAG CGA TCT TC -3’ Eurogentec AIT
Mulholland et al. 1996 dalam Lisnawita 2007. Ukuran produk PCR untuk G.
rostochiensis adalah 238 bp dan untuk G. pallida adalah 391 bp. Amplifikasi DNA dilakukan dengan denaturasi awal pada 96
o
C selama 2 menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus yang melalui tiga tahapan, yaitu
pemisahan utas DNA denaturation pada 94
o
C selama 1 menit, penempelan primer
annealing pada suhu 50
o
C selama 1 menit dan sintesis DNA extention
pada 72
o
C selama 2 menit. Khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis selama 7 menit, kemudian siklus berakhir pada suhu 4
o
C.
Elekroforesis
Sepuluh µl fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dianalisis dengan elektroforesis pada 2 gel agarose dalam buffer TAE 1X dengan tegangan 75
Volt selama 60 menit dan diamati dengan UV transiluminator setelah diberi warna dengan
ethidium bromide.
Optimasi ekstraksi DNA sista NSK
Pada penelitian ini dilakukan juga optimasi ekstraksi DNA sista NSK yang bertujuan untuk mengetahui jumlah minimal sista yang diekstraksi yang dapat
menghasilkan pola pita band pada gel agarose. Jumlah sista yang diekstraksi
dimulai dari 1, 5, dan 10 sista. Metode ekstraksi DNA disusun berdasarkan metode Fullaondo
et al. 1999; Subotin et. al. 2001 dalam Lisnawita 2007 yang dimodifikasi.
23
Analisis Data
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program Minitab 14. Untuk mengetahui hubungan antara ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK
dan hubungan antara suhu tanah dengan jumlah sista NSK digunakan analisis regresi. Sementara untuk mengetahui keeratan hubungan antara 2 peubah
tersebut dilakukan analisis korelasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi NSK berdasarkan Ketinggian Tempat
Berdasarkan survai yang telah dilakukan di sentra produksi kentang di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah yang meliputi dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara diketahui NSK telah tersebar luas di beberapa lokasi yang disurvei. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suwardiwijaya et al. 2007 yang menyebutkan
bahwa secara umum prevalensi NSK di masing-masing sumber pengambilan tanah di Dieng Jawa Tengah cukup tinggi yaitu 81,1 pada lahan bera, 78,9
pada lahan tanaman kentang, dan 72,7 pada lahan tanaman kubis. Keberadaan NSK pada sentra penanaman kentang di Pegunungan Dieng, Jawa
Tengah telah menyebar hampir di seluruh hamparan. Gejala kerusakan pada tanaman kentang yang nampak akibat serangan
NSK di Dataran Tinggi Dieng adalah pertumbuhan beberapa tanaman kentang menjadi kerdil, pertumbuhan akar terhambat, daun menjadi layu, berwarna
kuning dan mengering diantara tanaman lainnya dalam satu hamparan. Pada tanaman yang terinfeksi apabila dicabut akan terlihat sista NSK pada akar
tanaman gambar 7.
a b c
Gambar 7 a b Gejala serangan NSK, c sista NSK di sekitar daerah perakaran tanaman kentang Nurjanah 2008
Sista NSK ditemukan pada 17 lokasi dari 26 lokasi yang disurvai. Hasil survai juga menunjukkan bahwa NSK tersebar pada ketinggian tempat mulai dari
ketinggian 1460 m dpl sampai dengan 2123 m dpl. Lokasi sebaran NSK berdasarkan ketinggian tempat selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan
Lampiran 2 .
25
20 40
60 80
100 120
1250 m 1250 -
1500 m 1500 -
1750 m 1750 -
2000 m 2000 m
Ketinggian tempat m dpl Prevalensi
si s
ta NSK
Gambar 8 Prevalensi sista NSK berdasarkan ketinggian tempat di Dataran tinggi Dieng Jawa tengah
Gambar 8 menunjukkan prevalensi sista NSK yang dihitung berdasarkan
ketinggian tempat. Pada gambar tersebut diketahui bahwa semakin tinggi tempat maka prevalensi sista NSK semakin tinggi. Pada ketinggian tempat
kurang dari 1250 m dpl tidak ditemukan sista NSK. Hal ini kemungkinan disebabkan karena suhu tanah pada daerah tersebut sebesar 24
o
C tidak sesuai untuk perkembangan NSK dan pada suhu tersebut NSK tidak bisa menginokulasi
tanaman. Pada kisaran ketinggian tempat 1250 m – 1500 m prevalensi NSK sebesar 14,3, pada daerah ini kisaran suhunya antara 21
o
C sampai 25
o
C Lampiran 3. Pada kisaran ketinggian 1500 m – 1750 m prevalensi NSK
sebesar 60, pada daerah ini kisaran suhunya antara 19
o
C sampai 24
o
C. Prevalensi sista NSK mencapai 100 pada kisaran ketinggian tempat 1750 m –
2000 m dan lebih dari 2000 m, yang mana pada kedua kisaran ketinggian tersebut sista NSK ditemukan di semua lokasi yang disurvai. Pada kisaran
ketinggian tempat 1750 m – 2000 m dan lebih dari 2000 m suhunya berkisar antara 16
o
C sampai 23
o
C, suhu ini sangat sesuai untuk perkembangan NSK. Menurut Trifonova 1999 suhu optimum untuk perkembangan NSK berkisar
antara 15,7
o
C sampai dengan 23,1
o
C, NSK dapat menginokulasi tanaman pada suhu lebih dari 10
o
C dan NSK menyerang tanaman secara optimum pada suhu 14,2
o
C. Dari hasil penghitungan sista diketahui bahwa kepadatan sista terbanyak
pada lokasi dengan ketinggian berkisar antara 1750 m sampai dengan 2000 m.
26 Kepadatan NSK tertinggi terdapat pada desa Karang Tengah kecamatan Batur
kabupaten Banjarnegara dengan jumlah sista 1007500 ml tanah. Nematoda sista kentang dapat terdeteksi di sentra pertananaman kentang
di Jawa Tengah diduga karena NSK sudah ada di daerah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Seperti diketahui bahwa penggunaan bibit kentang impor asal
Jerman telah dilakukan sejak tahun 1985 Suwardiwijaya et al. 2007. Kondisi
ini memungkinkan bagi NSK untuk mantap di daerah tersebut. Menurut Brodie 1984, untuk dapat terdeteksi dan menyebabkan endemik di suatu daerah, NSK
memerlukan waktu sekitar 7 tahun. Hasil yang didapat dari survai ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi pertanaman kentang lain di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena NSK merupakan patogen yang sulit dikendalikan. Stevenson et al 2001 menyatakan, sekali NSK terinfestasi pada suatu lahan, maka
nematoda akan tetap ada di lahan tersebut dan mungkin lahan tersebut sulit untuk dapat bersih dari NSK. Oleh karena itu, walaupun jumlah sista NSK di
lokasi survai bervariasi dari rendah sampai tinggi, kondisi ini tidak menghalangi untuk terjadinya ledakan penyakit di lokasi tersebut.
Penyebaran NSK di Jawa Tengah terjadi sangat cepat, menurut laporan Rapat Kerja NSK Nasional 2007, saat ini ada sekitar 121 ha pertanaman
kentang di Jawa Tengah yang terinfeksi NSK. Penyebaran ini sangat cepat, bila dibandingkan pada tahun 2003, luas lahan yang terinfeksi baru sekitar 23 ha.
Hal ini diduga karena di Dataran Tinggi Dieng tidak pernah dilakukan rotasi tanaman, tidak adanya usaha pengendalian NSK secara serius. Selain itu
penggunaan insektisida dan fungisida yang sangat tinggi, Kondisi ini menyebabkan kompetitor maupun musuh alami NSK di daerah tersebut
berkurang, sehingga menyebabkan NSK menyebar cepat.
Hubungan antara Ketinggian Tempat dengan Jumlah Sista NSK
Pada Gambar 9 disajikan plot antara ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK. Jumlah sista NSK yang ditemukan cenderung semakin banyak
dengan bertambahnya ketinggian tempat.
27
Ket inggian t empat Ju
m la
h s
is ta
2100 2000
1900 1800
1700 1600
1500 1400
1300 1200
1000 800
600 400
200
Gambar 9 Hubungan antara ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK Dengan melakukan analisis regresi lampiran 4, pola dugaan hubungan antara
ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK dapat dimodelkan menjadi : Jumlah sista = -686 + 0.543 ketinggian tempat
Berdasarkan model di atas dapat diartikan bahwa ada pengaruh ketinggian tempat terhadap banyaknya sista NSK. Makin tinggi tempat maka jumlah sista
NSK juga semakin banyak. Pada rentang ketinggian antara 1188 m - 2123 m di atas permukaaan laut, penambahan jumlah sista NSK untuk setiap satu meter
ketinggian diduga sebesar 0.543 atau sekitar 50 sista NSK untuk setiap kenaikan 100 meter.
Hubungan suhu tanah dengan jumlah sista NSK
Dari hasil analisis regresi lampiran 5 diketahui bahwa jumlah sista NSK cenderung semakin banyak dengan bertambahnya ketinggian tempat. Makin
tinggi tempat, maka suhu tanah akan makin menurun, dengan semakin menurunnya suhu tanah maka cenderung menyebabkan makin bertambahnya
jumlah sista NSK Gambar 10.
28
Suhu t anah Ju
m la
h s
is ta
25.0 22.5
20.0 17.5
15.0 1000
800 600
400 200
Gambar 10 Hubungan antara suhu tanah dengan jumlah sista NSK Dari pola yang terbentuk seperti pada gambar, dapat dibuat model hubungan
antara suhu tanah dengan jumlah sista NSK yaitu: Jumlah Sista = 1996 - 83.8 Suhu Tanah
Berdasarkan model di atas dapat diartikan bahwa ada pengaruh suhu tanah terhadap banyaknya sista. Makin rendah suhu tanah maka jumlah sista NSK
juga makin banyak. Pada rentang suhu tanah antara 15
o
C – 25
o
C, penurunan suhu tanah setiap satu derajat celsius diduga akan menambah sekitar 84 sista
NSK. Kolerasi antara Jumlah Sista NSK dengan ketinggian tempat dan suhu
tanah
Pada tabel 3 berikut disajikan hasil kolerasi antara jumlah sista dengan ketinggian tempat, suhu tanah dan jumlah tanaman. Dari hasil analisis statistik
diketahui bahwa jumlah sista NSK berkorelasi positif 0,553 dengan bertambahnya ketinggian tempat. Sebaliknya jumlah sista NSK berkorelasi
negatif - 83,8 dengan naiknya suhu tanah. Adapun hubungan antara jumlah tanaman dengan jumlah sista NSK tidak berbeda nyata
non signifikan, artinya tidak ada hubungan linear antara jumlah sista NSK dengan jumlah tanaman.
29 Tabel 3 Hasil korelasi antara ketinggian, jumlah sista NSK, suhu tanah dan
jumlah tanaman Ketinggian Jumlah Sista Suhu Tanah
Jumlah Sista 0.553
0.003 Suhu Tanah -0.528 -0.678
0.006 0.000 Jumlah tanaman -0.028 0.010 0.120
0.891 0.960 0.559 Cell Contents: Pearson correlation
P-Value
Pada daerah yang disurvai, semakin tinggi ketinggian tempat maka semakin rendah suhu tanahnya, menghasilkan jumlah sista NSK yang semakin
banyak. Semakin tinggi suatu tempat maka suhu tanahnya semakin rendah, CABI 2007 menyatakan bahwa telur
G. pallida dapat menetas pada suhu sekitar 10
o
C dan G. rostochiensis dapat menetas pada suhu 15
o
C. G. pallida
dan G. rostochiensis dapat beradaptasi dan berkembang pada suhu berkisar
antara15 – 25
o
C. Pada lokasi penelitian yang memiliki suhu tanah berkisar antara 16 – 20
o
C ditemukan jumlah sista yang lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lainnya yang bersuhu tanah lebih dari 20
o
C. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lisnawita 2007 diketahui bahwa temperatur optimum
untuk mendapatkan jumlah sista yang tinggi adalah antara 15-21
o
C. Jumlah sista yang dihasilkan akan menurun secara nyata pada temperatur di bawah
15
o
C dan di atas 21
o
C. Kemampuan bertahan hidup optimum dari setiap isolat NSK dicapai pada temperatur 15
o
C - 21
o
C. Kemampuan bertahan hidup akan menurun pada temperatur di bawah 15
o
C atau di atas 21
o
C. Mulder 1988 melaporkan bahwa temperatur optimum untuk multipikasi dan penetasan
G. rostochiensis adalah mendekati 20
o
C, dan proses ini akan menurun drastis pada temperatur di bawah 10
o
C dan di atas 27
o
C. Sedangkan G. pallida mempunyai
temperatur optimum yang lebih rendah. Hal tersebut di atas juga didukung oleh tipe iklim yang terjadi di
Banjarnegara yang menyebutkan bahwa menurut Tipe Iklim Oldeman, Kabupaten Banjarnegara tempat pengambilan sista NSK termasuk kedalam
30 tipe B1 yang mempunyai curah hujan sebulan
≥ 200 mm selama 8 bulan Oktober – Mei dan 100 mm selama satu bulan Agustus, sisanya antara 100
sampai dengan 200 mm Ditlin-TP, 1986. Pada ketinggian 2.000 m dari permukaan laut suhu berkisar antara 12,2
o
- 18,9
o
C dan pada ketinggian 1.000 m berkisar antara 17,5
o
– 25,1
o
C. Kelembaban udara pada bulan Oktober 80 dan maksimum pada bulan Februari mencapai 94 Hadisoeganda, 2006.
Sehingga pada ketinggian tempat 1500 m suhunya sekitar 21
o
C dan pada ketinggian tempat 2000 m dpl suhunya sekitar 17
o
C merupakan kondisi iklim yang cocok untuk perkembangan NSK.
Dominasi Spesies NSK berdasarkan Ketinggian Tempat
Hasil pengamatan sidik pantat sista NSK pada sampel sista yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah dinyatakan pada gambar 11 dan
lampiran 6.
7
3 5
5 4
6 5
5
1 2
3 4
5 6
7 8
Ro Pa
Ro Pa
Ro Pa
Ro Pa
Ro Pa
1250 1250 - 1500 m
dpl 1500 - 1750 m
dpl 1750 - 2000 m
2000 m Ketinggian tempat m d.p.l
Ju m
la h
je n
is S p
e si
e s
Gambar 11 Pengaruh ketinggian tempat terhadap proporsi spesies NSK Dari Gambar 11 diketahui bahwa populasi campuran spesies NSK
ditemukan pada semua kisaran ketinggian tempat yang disurvai Lampiran 6. Pada kisaran ketinggian tempat antara 1250 m – 1500 m diketahui bahwa
spesies G. rostochiensis lebih dominan dibanding G. pallida. Seiring dengan
semakin tinggi tempat, maka dominasi digantikan oleh G. pallida. Hal tersebut
dapat dilihat dari kisaran ketinggian tempat antara 1750 m – 2000 m diketahui
bahwa spesies G. pallida lebih dominan di banding G. rostochiensis. Spesies
31 yang dominan dalam populasi NSK campuran, kemungkinan karena tekanan
seleksi lingkungan atau kompetisi inter-spesifik Marshall 1989 dalam Marshall
1993. Dalam hal ini kepadatan populasi G. pallida dan tipe penyebarannya
pada kondisi yang sangat memungkinkan untuk terdeteksi. Menurut Port Ferris 1992
dalam Ibrahim et al.2000 faktor lingkungan, waktu dan perilaku akan menghasilkan pola penguasaan ruang dari banyak populasi biologi, dan
nematoda parasit tumbuhan. Kepadatan populasi dan tipe penyebaran spesies mempengaruhi kemungkinan terdeteksinya populasi tersebut.
G. pallida yang lebih dominan dibanding
G. rostochiensis juga dapat disebabkan karena G. pallida lebih persisten di tanah. Hal ini dinyatakan oleh Evans 1993 bahwa
berdasarkan survai di UK kepadatan G. rostochiensis berkurang 33 per
musimtahun pada saat lahan diberakan, sedangkan kepadatan G. pallida
menurun 15 pada saat lahan diberakan. Dari hal di atas maka diketahui bahwa G. pallida lebih persisten di tanah.
Populasi NSK campuran telah dilaporkan pula terdapat di beberapa negara asal bibit kentang seperti Netherland, U.K., Scotland dan New Zealand.
Verifikasi Spesies NSK melalui PCR
Hasil amplifikasi DNA sista NSK dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik untuk
G. rostochiensis dan G. pallida serta primer universal terhadap 17 populasi NSK menghasilkan 2 pola pita, masing-masing dengan
ukuran 238 bp dan 391 bp. Berikut ini disajikan hasil amplifikasi DNA sista NSK berdasarkan kelas ketinggian tempat.
13R 12R 10R 7R 13P 12P 10P 7P M
Gambar 12 Produk PCR sista G. rostochiensis dan G. pallida yang diambil dari
lokasi dengan ketinggian tempat 1250 m– 1750 m : 7. Ds. Serang 1460 m, 10. Ds. Sidareja 1597 m, 12. Dsn. Kalianget 1626 m. 13.
Dsn Bujangsari 1651 m, M. Marker 100 bp.
391 bp G. pallida
238 bp G. rostochiensis
32
20R 19R 18R 17R 16R 15R 14R M
Gambar 13 Produk PCR sista G. rostochiensis yang diambil dari lokasi pada
ketinggian tempat 1750 m – 2000 m : 14. Ds. Bakal 1787 m, 15.
Ds. Bakal 1830 m, 16. Ds. Bakal 1895 m, 17. Dsn. Buntu 1952 m, 18. Ds. Patak Banteng 1974 m, 19. Dsn. Buntu 1980 m, 20.
Ds. Karang Tengah 1994 m, M. Marker 100 bp.
19P 20P 18P 17P 16P 15P 14P M
Gambar 14 Produk PCR sista G. pallida yang diambil dari lokasi pada ketinggian
tempat 1750 m – 2000 m : 14. Ds. Bakal 1787 m, 15. Ds. Bakal
1830 m, 16. Ds. Bakal 1895 m, 17. Dsn. Buntu 1952 m, 18. Ds. Patak Banteng 1974 m, 19. Dsn. Buntu 1980 m, 20. Ds. Karang
Tengah 1994 m, M. Marker 100 bp.
238 bp G. rostochiensis
391 bp G. pallida
33
26R 25R 24R 23R 22R 21R 26P 25P 24P 23P 22P 21P M
Gambar 15 Produk PCR sista G. rostochiensis, G. pallida yang diambil dari
lokasi pada ketinggian tempat lebih dari 2000 m dpl: 21. Dsn. Karang Tengah 2037 m, 22. Dsn. Pawuhan 2053 m, 23. Dsn.
Telaga Merdada 2055 m, 24. Ds. Dieng Kulon 2090 m, 25. Ds. Karang Sari 2089 m, 26. Dsn Pawuhan 2123 m, M. Marker 100
bp.
Identifikasi spesies NSK berdasarkan karakter molekuler memberikan hasil yang cukup baik. Hasil amplifikasi dengan teknik PCR pada daerah ITS dengan
menggunakan pasangan primer ITS-1 R dengan 5,8 S rRNA menghasilkan fragmen DNA berukuran 238 bp pada semua isolat. Ukuran fragmen DNA hasil
PCR menggunakan pasangan primer ini adalah sesuai dengan harapan untuk mengamplifikasi segmen genom spesifik
G. rostochiensis. Demikian pula pada pasangan primer ITS-1 P dan 5,8 S rRNA menghasilkan fragmen DNA
berukuran 391 bp pada semua isolat. Ukuran fragmen DNA hasil PCR menggunakan pasangan primer ini adalah sesuai dengan harapan untuk
mengamplifikasi segmen genom spesifik G. pallida. Dari hasil tersebut maka
isolat NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah merupakan populasi campuran Globodera rostochiensis dan Globodera pallida.
Hasil yang sama juga telah diperoleh oleh peneliti terdahulu Muholland et
al. 1988; Ibrahim et al. 2001; Fleming 1998 bahwa fragmen genom pada daerah ITS dari NSK merupakan daerah variabel dan dapat digunakan untuk
membedakan antara G, rostochiensis dan G. pallida. Deteksi dilakukan dengan
mengamplifikasi daerah ITS dengan primer PCR yang berlokasi pada gen 5,8 S. Variasi sequen DNA pada daerah ITS dari cistron DNA ribosom dapat digunakan
untuk mengidentifikasi banyak taxa nematoda. Penggunaan primer ITS 1
391 bp G. pallida
238 bp G. rostochiensis
34 sangat relevan untuk mendiagnosa sista nematoda yang seringkali ditemukan
dalam populasi campuran Fleming et al. 1998
Jones et al. 1997 dan Power Fleming 1998 dalam Pylypenko et al.
2005 menyatakan PCR merupakan teknik yang sangat efektif untuk mendeteksi variasi inter dan intra-spesifik dalam mengidentifikasi nematoda. Begitu pula
Kenyon 2000 menyatakan bahwa metode PCR sangat sensitif dan mampu mengidentifikasi populasi NSK campuran. Hal tersebut terbukti dengan
terdeteksinya populasi campuran G. rostochiensis dan G. pallida di Dataran
Tinggi Dieng Jawa Tengah dengan menggunakan teknik PCR. Identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler mempunyai tingkat
akurasi yang tinggi, sebab pada metode ini perbedaan antar isolat dilacak pada tingkat gen, sehingga memiliki sensitifitas yang tinggi untuk mengidentifikasi
spesies campuran. Pada hasil penelitian Lisnawita 2007 yang dilaksanakan sejak tahun 2004
disebutkan bahwa hasil amplifikasi DNA sista NSK ditemukan ukuran pita 238 bp G. rostochiensis dan ukuran pita 391 G. pallida di Desa Pawuhan
Banjarnegara, Desa Karang Tengah Banjarnegara, Desa Kepakisan Banjarnegara dan Desa Patak Banteng Wonosobo Jawa Tengah. Dari hal
tersebut di atas maka penelitian ini menguatkan hasil penelitian Lisnawita, karena pada penelitian ini berdasarkan uji PCR telah terdeteksi
Globodera rostochiensis dan Globodera pallida pada 17 lokasi yang disurvai yang tersebar
di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Populasi campuran
G. rostochiensis dan G. pallida yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah bisa disebabkan oleh aktivitas manusia dan
penggunaan kultivar tanaman kentang yang resisten terhadap G. rostochiensis
tetapi rentan terhadap G. pallida, yang mana hal tersebut akan menyebabkan
perubahan keseimbangan spesies menjadi situasi yang sangat disukai G. pallida .
Jenis kultivar kentang yang ditanam di Dataran Tinggi Dieng adalah Granola, kultivar tersebut ditanam di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah secara terus-
menerus. Menurut Joosten 1991, Granola merupakan kultivar kentang yang resisten terhadap
G. rostochiensis Ro1 dan Ro4, sehingga dengan penanaman kultivar Granola secara terus-menerus dapat membuat populasi
G. rostochiensis menjadi berkurang, dan memberi kesempatan yang besar untuk perkembangan
G. pallida. Begitu pula Marshall 1993 menyatakan bahwa penggunaan
35 genotipe tunggal untuk ketahanan tanaman terhadap
G. rostochiensis akan menyebabkan perkembangan virulensi pada strain NSK lainnya.
Dari hasil Identifikasi secara morfologi dan diverifikasi dengan melakukan deteksi dengan metode PCR terhadap sista NSK diketahui bahwa di Kabupaten
Wonosobo pada ketinggian 1460 m dpl Desa Serang Kec. Kejajar Kab. Wonosobo.telah terdeteksi
G. pallida. Sedangkan pada penelitian Lisnawita 2207 sista
G. pallida mulai ditemukan pada ketinggian 1700 m dpl desa Patak Banteng kab. Wonosobo. Penyebaran dan perpindahan
G. pallida dapat terjadi karena perpindahan bagian tanaman yang terinfeksi dan perpindahan tanah oleh
mesin, angin, air dan hewan, dan terjadinya perdagangan benih yang tidak bersertifikat mutu benih rendah.
G. pallida sulit dikendalikan karena tidak ada kultivar kentang yang dengan sepenuhnya reisten terhadap
G. pallida, tidak ada nematisida yang benar-benar efektif untuk mengendalikan
G. rostochiensis. Hal tersebut menjadikan G. rostochiensis dan G. pallida menjadi persisten di tanah dan munculnya G. pallida
dalam periode yang cukup lama. Rekomendasi yang disarankan dari hasil penelitian ini adalah dilakukannya
perubahan status G. pallida yang semula merupakan OPTK kategori A1
golongan II menjadi OPTK kategori A2 golongan II, sehubungan dengan terdeteksi
G. pallida secara uji morfologi dan diverifikasi dengan uji PCR pada sista NSK yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah.
M 1R 5RP 10RP
Gambar 16 Produk PCR sista NSK menggunakan primer spesifik G.
rostochiensis, G. pallida dan primer universal Muholland et al. 1988, dengan jumlah sista NSK yang diekstraksi adalah 1, 5,
dan10 sista.
391 bp 238 bp
36 Hasil amplifikasi DNA dari 1 sista NSK menghasilkan pola pita 238 bp yang
merupakan ukuran fragmen untuk G. rostochiensis. Hasil amplifikasi DNA dari 5,
dan 10 sista menghasilkan pola pita 238 bp dan 391 bp yang masing-masing merupakan ukuran fragmen untuk
G. Rostochiensis dan G. pallida. Dari hasil tersebut diketahui bahwa identifikasi spesies NSK dengan menggunakan PCR
mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, terbukti hanya dengan 1 sista dapat terdeteksi ukuran fragmen untuk
G. rostochiensis Gambar 16.
37
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
NSK mulai tersebar pada ketinggian tempat lebih dari 1250 m. Prevalensi NSK pada ketinggian tempat 1250 m – 1500 m sebesar 14,3, pada kisaran
ketinggian 1500 m – 1750 m prevalensi NSK sebesar 60, dan prevalensi NSK pada ketinggian tempat lebih dari 1750 m mencapai 100.
NSK di Dataran tinggi Dieng Jawa Tengah merupakan populasi campuran G. pallida dan G. rostochiensis. G. rostochiensis dominan pada ketinggian
1250-1500 m, kemudian dengan semakin tinggi tempat dominasi digantikan oleh G. pallida.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai sebaran spesies G. pallida
dan G. rostochiensis pada lahan bera dan lahan yang ditanami tanaman jenis
solanaceae lainnya berdasarkan ketinggian tempat di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai sebaran spesies G. pallida di
sentra pertanaman kentang di Jawa Timur dan Jawa Barat untuk konfirmasi status
G. pallida.
38
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Data Produksi Kentang di Indonesia tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007.
http:www.bps.go.idsectoragrihortiindex.html. [20 Desember 2008].
Brodie BB. 1984. Nematode parasites of potato. Di dalam: Nickle WR, editor. Plants and Insect Nematodes. Narcell Dekker Inc, New York. Hlm 167-212.
Brodie BB. 1998. Potato. Di dalam : Barker KR, Gary AP., Gary L, editor. Plant
and Nematode Interactions. Wisconsins Soc. Agronomy. Been TH Schomaker CH. 2000. Development and Evaluation of sampling
methods for fields with infestation foci of Potato Cyst Nematodes Globodera rostochiensis G. pallida. Am.Phyt. Soc. Vol 9 No. 6 : 647 -
656 CAB
International. 2007. Crop Protection Compendium CD-ROM Wallingford, UK : CABI. 2 CD-ROM dengan penuntun didalamnya.
Clark, Hennesy. 1984. Movement of Globodera rostochiensis Wollenweber
juveniles stimulates by potato –root exudates. Nematologia 30 : 206-212.
Cunha D, Jose MM,Conceicao, et al. 2008. Assesment of the use of high
performance capillary gel electrophoresis to differentiate isolates of Globodera spp.
http:literature.lalisio.comingenta-info.html . [29 Nopember
2008] . Devine KJ, Jones PW. 2000. Response of
Globodera rostochiensis to exogenously applied hatching factors in soil.
Ann App Biol. 137: 21-29. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan DITLIN TP. 1986. Evaluasi Data
Iklim untuk Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2007. Pengenalan dan
Pengendalian NSK Nematoda Siste Kuning. http:ditlin.hortikultura.deptan.go.id
. [29 Nopember 2008]. Dropkin VH. 1999.
Pengantar Nematology Tumbuhan. Supratoyo, penerjemah. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press. Terjemahan dari :
Introduction to Plant Nematology.
Evans K. 1993. New Approaches for potato cyst nematode management. Nematropica. 23 : 221 – 231.
Evans K Turner JT. 1998. The origins, Global Distribution and Biology of Potato Cyst Nematodes
Globodera rostochiensis Woll. and Globodera pallida stone. Pp. 7-26 Di dalam : Potato Cyst Nematodes-Biology,
Distribution and Control. Marks RJ, Brodie BB, editor. Publ. CAB International.
39 Fenwick DW. 1949. Methodes for the recovery and counting of cyst of
Heterodera schachtii from soil. J Helminthol 18 : 155 – 172. Fleming CC, Turner SJ, Powers TO,
et al. 1998. Diagnostic of cyst nematodes : use of the polymerase chain reaction to determine species and estimate
populations levels. Aspect of Applied Biology. 52: 375-382.
Fullaondo A, Salazar A, Barrena E, Ritter E. 1999. Comparison of moleculer patterns and virulence behaviour of potato cyst nematodes.
Fund and App Nematol 20:425-434.
Hadisoeganda A, Widjaja W. 2006. Nematoda Sista Kentang; Kerugian, Deteksi, Biografi, dan Pengendalian Nematoda Terpadu. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Huang SP, Pereira AC. 1994. Influence of inoculum density, host, and low temperature period on delayed hatch of
Meloidogyne javanica eggs. J Nematology 26: 72-75.
Ibrahim SK, Minnis ST, Barker ADP, at al. 2001. Evaluation of PCR, IEF and
Elisa Techniques for the detection and identification of potato cyst nematodes from field soil samples in England and Wales.
Pest Manag. Sci. 57:1068-1074
Jogaite V, Cepulyte R, Stanelis A, Buda V. 2007. Monitoring of Globodera spp.
In Lithuania using diagnostic morphometric analysys and Polimerase Chain Reaction.
Acta Zoologica Lituanica 17 : 184187. Jones MGK, Northcote DH. 1972. Nematode-induced syncytium-a multinucleate
transfer cell. J Cell Scie 10 : 789 m: 809.
Joosten A. 1991. Geniteu rslijst voor Aardappelrassen. Postbus 32, 6700 AA.
Kenyon D. 2000. Determination of relative proporsions of Globodera spesies in
mixed populations of PCNs using PCR product melting peak analisis. National institut of Agricultural Botani. Abstract.
Lisnawita. 2007. Identifikasi, kajian Biologi dan ketahanan tanaman terhadap Nematoda Sista Kentang
Globodera spp. Indonesia [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian bogor.
Luc M, Sikora RA, Bridge J. 2005. Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and Tropical Agriculture. CABI Publishing. Wallingford UK.
Luc M, Sikora RA, Bridge J. 1995. Nematoda Parasitik Tumbuhan di Pertanian Subtropik dan Tropik. Gadjah Mada University Press.
Marks RJ and Brodie BB. 1998. Potato Cyst Nematodes Biology, Distribution
and Control. Department of Plant Pathology Cornell University Ithaca, New York, USA.
40 Marshal JW. 1993. Detecting the presence and distribution of
Globodera rostochiensis and Globodera pallida mixed populations in New Zealand.
New Zealand Journal of Crop Horticultural Science. Vol. 21 : 219-223. Mulder JG, Van der Wal AF. 1997. Relationship between potato cyst nematodes
and their principal host. I. A literature review. Pot Res 40 : 317-326.
Mulder A. 1988. Temperature response of Globodera rostochiensis and
Globodera pallida abstract. Nematologic 34 : 281. Mulholland U, Carde L. O’Donnel KL., Fleming CC and Powers. 1996. Use of the
polymerase chain reaction to discriminate potato cyst nematode at spesies level. In : Marshall G ed Proceeding of Diagnostics in Crop Production
Symposium pp 247.252. British Crop Production Symposium pp 247-252. British Crop Production Council, Fernham, UK.
Pylypenko LA, Uehara T, Phillips MS, Sigareva DD, Blok VC. 2005. Identification of
Globodera rostochiensis and Globodera pallida in the Ukraine by PCR. European Journal of Plant Pathology 2005 III : 39-46.
Rawsthorne D, Brodie BB. 1986. Relationship between root growth of potato, root diffusate production, and hatching of
Globodera rostochiensis. J. Nematology 18 : 379 : 384.
Reid A, Pickup J. 2005. Mplecular characterization of a morphologically unusual potato cyst nematode. Bulletin OEPPEPPO Bulletin 35 : 69-72.Scottish
Agricultural Science Agency. Rukmana R. 1997.
Kentang, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta.
Rustiani UM. 2006. Ilmu Penyakit benih. Bahan Ajar Pelatihan Teknis Dasar Calon POPT Ahli. Balai Uji Standar karantina Tumbuhan. Jakarta
Said Amiri, Sergei A Subbotin and Maurice Moens, 2002. Identification of the beet cyst nematode
Heterodera schactii by PCR. European Journal of Plant Pathology 108 : 497-506. Kluwer Academic Publishers.
Sedlak P, Melounova M, Skupinova S, Veji P, Domkarova. 2004. Study of European and Czech populations of potato cyst nematodes
Globodera rostochiensis ang G. pallida by RAPD method. Plant Soil Environ. 50 2 :
70-74. Southey, JF. 1974. Methods for detection of potato cyst nematodes. EPPO
Bulletin 4 : 463 – 473. Spears, Joseph F. 1968.
The Golden Nematode Handbook. Survey, Laboratory, Control, and Quarantine Procedurs. Washington, D.C. USDA. Agriculture
Research Services. Stone AR. 1973.
Heterodera rostochiensis. C.I.H. Description of Plant Parasitic Nematodes. Set 2, No. 16. London : William Clowes Sons.
41 Stevenson WR, Rosemary L, Gary DF, Weingartner DP. 2001.
Compendium of Potato Disease. Second Edition. The American Phytopathological Society.
Subbotin SA, Deliang P, Maurice M. 2001. A rapid method for the identification of the Soybean cyst nematode
Heterodera glycines using duplex PCR. Nematology 34 : 365-371.
Supramana. 2004. Distribusi Nematoda Sista Kentang Globodera spp. di
dunia dan perkembangan keberadaannya di Indonesia. Lokakarya Inovasi Teknologi : Bogor, 13 – 15 Desember 2004. Diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Pengembangan Hortikultura. Suwardiwijaya E. Raga IN, Lanya H. 2007. Penyebaran vertikal dan horisontal
sista Globodera sp., di sentra penanaman kentang di Pegunungan Dieng,
Propinsi Jawa Tengah. Makalah pada Pertemuan Koordinasi Kelompok Kerja Penanganan NSK. Bandung, 2-4 Mei 2007.
Thiery M, Mugniery D. 1996. Interspesific rDNA restriction fragment length polymorphism in
Globodera species, parasites of Solanaceaous plants. Fund and App Nem 19 : 471-479.
Trifonova Z. 1999. Temperature influence on the potato cyst nematode Globodera rostochiensis Woll. 1923 development. Bulg. J. Sci., 5: 863 –
866. Wharton DA, Goodall G, Marshall. 2002. Freezing rate affects the survival of a
short-term freezing stress in Panagrolaimus davidi, an Antartic nematode
that survives intracellular freezing, Cryoletters 23 : 5-10. Di dalam : Randy Gaugler, Al Bilgrami 2004.
Nematode Behaviour. Wulandari I. 2006. Polymerase Chain reaction PCR. Bahan Ajar Pelatihan
Teknis Dasar Calon POPT Ahli. Balai Uji Standar karantina Tumbuhan. Jakarta
42
LAMPIRAN
43 Lampiran 1 Lokasi Pengambilan sampel sista NSK
Kelas Desa Ketinggian
tempat A. 1250 m
- Ds. Wanayasa, Kec. Wanayasa, Kab. Banjarnegara 1188 m
B. 1250 - 1500 m - Ds. Buntu Kec. Kejajar Kab. Wonosobo
1275 m - Ds. Wanaraja Kec. Wanayasa Kab. Banjarnegara
1355 m - Ds. Kejajar Kec. Kejajar Kab. Wonosobo
1363 m - Ds Legok Sayem, Kec. Wanayasa Kab. Banjarnegara
1370 m - Dsn. Kejajar ds. Kejajar Kec. Kejajar Kab. Wonosobo
1435 m - Ds. Serang Kec. Kejajar Kab. Wonosobo
1460 m - Dsn. Kejajar ds. Kejajar Kec. Kejajar Kab. Wonosobo
1474 m
C. 1500 - 1750 m