c. Kosakata
Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai 14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata
Santrock, 2009. Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata saat mereka menginjak usia 18 tahun Marschark dan Spencer, 2003.
Menurut Jensema dalam Efendi, 2006 anak-anak tunarungu yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara
dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.
5. Perkembangan Sosio-emosi
Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain
perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan Marschark dan
Spencer, 2003. Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan
sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri mereka dengan sesamanya Santrock, 2009.
Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta
kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock 2009 hal ini disebut dengan perspective
taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami
perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain. Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi
hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir anak-
anak masih memiliki egosentri sme yang tinggi dibandingkan dengan „anak
dengar‟. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak
tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga
mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan
untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah
menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat
mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah Somantri, 2007.
Anak tunarungu
yang mengalami
keterlambatan dalam
perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama yang tunarungu.
D. Kerangka Konseptual
Interaksi sosial akan terjadi apabila ada dua individu atau lebih yang sedang bersama dan melibatkan kontak sosial serta komunikasi. Interaksi sosial
juga terjadi pada anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial yang terjadi dalam interaksi
keduanya akan melibatkan kesadaran dan emosi sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Kontak sosial tersebut akan digambarkan dari
perilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain kontak sosial, peneliti juga
akan menggambarkan perilaku komunikasi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Komunikasi
yang akan digambarkan memiliki dua jenis, yaitu komunikasi linguistik dan komunikasi nonlinguistik.
Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menggambarkan perilaku kontak sosial dan komunikasi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu
dengan „anak dengar‟. Gambaranperilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu akan dibandingkan dengan gambaran perilaku
antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran kerangka konseptual akan
tampak pada
skema 1.