Interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan ` Anak Dengar

(1)

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Margaretha Langen Sekar Lelyana NIM : 119114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

ii


(3)

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tulis Ini saya persembahkan untuk:

Keluarga yang sudah mendukung dan mendoakan. SLB B Karnnamanohara.


(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalan kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Desember 2016 Penulis


(6)

vi

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

Margaretha Langen Sekar Lelyana ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan

anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

metode pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berusia 6 – 12 tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta „anak dengar‟. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial antar-anak tunarungu dan „anak dengar‟. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku.

Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang

bersama. Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu

maupun anak tunarungu dengan „anak dengar‟.


(7)

vii

THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF CHILDREN WITH HEARING CHILDREN

Margaretha Langen Sekar Lelyana

ABSTRACT

This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research. The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers. Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with hearing peers.

.


(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Margaretha Langen Sekar Lelyana

NIM : 119114018

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

Beserta perangkat yang diperlukan (bila perlu). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : Yang menyatakan


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selama persiapan, penyusunan, hingga terselesainya skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan pihak yang terus menerus memberikan dukungan dan ide-ide yang dapat memperlancar skripsi ini. Untuk itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1) Tuhan Yang Maha Esa, terima kasih atas berkat dan penyertaan yang sudah diberikan selama penulis berproses dengan karya tulisnya.

2) Bapak Dr T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan segenap jajaran Dekanat.

3) Bapak Eddy selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 4) Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan dukungan dari awal penyusunan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik serta mendapat pengalaman berdinamika dengan anak-anak tunarungu di Dena Upakara. 5) Papi Laurensius Ady Gassing, Mami Fransiska Rustiana, dan Adik

Vincentius Fernaldy yang senantiasa memberikan dukungan baik materil maupun doa yang tiada hentinya.


(10)

x

6) Dosen Penguji Skripsi terima kasih atas ilmu, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis sehingga memberikan hal positif bagi penulis. 7) Segenap staf administrasi dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma; Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi, Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto, terimakasih atas pelayanan, bantuan dan keramahan yang diberikan.

8) Segenap Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang Bapak dan Ibu berikan kepada penulis.

9) Pak Wawan selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian disana.

10) Bu Ambar dan Bu Milah selaku Walikelas Dasar 4 dan Dasar 3 yang telah mengjijnkan penulis untuk berdinamika di dalam kelas dan memberikan informasi tentang responden.

11) Ketiga responden beserta orangtua responden yang sangat terbuka dan memberikan ijin kepada penulis untuk mengamati responden di lingkungan rumah serta memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis.

12) Pak Adi, Pak Toni, Mbak Thia, dan staff P2TKP lainnya yang sudah membagikan pengalaman selama saya berdinamika di P2TKP.

13) Teman-teman seperjuangan di P2TKP, Pudar, Stanis, Cia, Tiara, Dimas, Jejes, Lenny, Estu, Pipit, Sasha, Grace, Yovino, Bibin, Christy, Wuri, Fiona, Ester, yang selalu memberikan dukungan serta tempat berkeluh kesah selama penulis mengerjakan skripsi. SEE YOU ON TOP guys!


(11)

xi

14) Teman-teman seperjuangan “masih Remaja menuju S.Psi”, Vania, Ria, dan Acil yang selalu menemani makan siang, memberi dukungan, dan membantu segala kesulitan selama penulis menyelesaikan skripsi.

15) Tim “Babi” yang selalu memberikan hiburan dikala sepi, rindu celotehan kalian di grup dan dukungan yang tiada henti.

16) My girls, Stefi, Maria, Gloria, Tya, Meme, sahabat seperjuangan sedari putih abu-abu, sahabat yang mengerjakan skripsi bersamaan tapi selesainya berbeda-beda. Terima kasih sudah memberikan warna dalam kehidupanku, mengerjakan skripsi bersama, dan saling mendengarkan keluh kesah masing-masing. Semangat girls!

17) Pasangan setia, Benedictus Alit Purwa Arintaka, terima kasih sudah menjadi pendengar atas keluh kesah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih untuk penemanan yang kamu berikan selama aku menyelesaikan tugas akhir. Love.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis terbuka akan saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan penelitian ini.

Yogyakarta, 16 Desember 2016 Penulis


(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitan ... 8

1. Secara Teoretis ... 8

2. Secara Praktis ... 8

BAB II ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Interaksi Sosial... 9

1. Definisi ... 9

2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 10

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 16

4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 17

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu 18 B. Ketunarunguan ... 20

1. Definisi ... 20

2. Klasifikasi Ketunarunguan ... 21

3. Karakteristik Anak Tunarungu ... 25


(13)

xiii

5. Dampak Ketunarunguan ... 26

C. Perkembangan Anak Tunarungu ... 27

1. Perkembangan Fisik ... 28

2. Perkembangan Motorik ... 28

3. Perkembangan Kognitif ... 31

4. Perkembangan Bahasa ... 33

5. Perkembangan Sosio-emosi ... 35

D. Kerangka Konseptual... 37

BAB III ... 39

METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 39

B. Responden Penelitian... 40

C. Fokus Penelitian... 41

D. Metode Pengumpulan Data... 41

E. Proses Pengambilan Data ... 45

F. Metode Analisis Data ... 45

G. Verifikasi Penelitian ... 48

1. Validitas ... 48

2. Reliabilitas ... 48

BAB IV ... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Responden Penelitian... 49

1. Responden 1 (R1) ... 49

2. Responden 2 (R2) ... 49

3. Responden 3 (R3) ... 50

B. Pelaksanaan Penelitian... 51

C. Hasil Penelitian ... 53

1. Kontak Sosial ... 53

2. Komunikasi ... 57

3. Hasil Temuan Menarik ... 75

D. Pembahasan ... 89

1. Kontak Sosial ... 89

2. Komunikasi Nonlinguistik ... 91

3. Komunikasi Linguistik... 94

4. Anak Tunarungu VS „Orang Dengar‟ ... 95

5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial ... 96

BAB V ... 100


(14)

xiv

A. Kesimpulan ... 100

B. Keterbatasan Penelitian ... 101

C. Saran ... 101


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori Tingkat Pendengaran... 21

Tabel 2 Data Umum Responden ... 41

Tabel 3 Daftar Susunan Perilaku... 43

Tabel 4 Definisi Koding Komunikasi Nonlinguistik ... 47

Tabel 5 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu dan Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ... 73

Tabel 6 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ... 82


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80% penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan anak-anak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau sekitar 295.250 jiwa. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari total disabilitas yang ada di Indonesia (www.depkes.go.id).

Data sensus penduduk tahun 2010 yang diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 53.180 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran ringan dan 9.866 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran parah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam Infodatin Kementrian Kesehatan 2014). Hasil presentase tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang mengalami disabilitas pendengaran (www.depkes.go.id).

Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami disfungsi pendengaran dan mempengaruhi kehidupan sehari-sehari (Somantri,


(17)

2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami disabilitas pendengaran akan disebut sebagai „anak dengar‟. Disfungsi pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase perkembangan. (Arifin, 2015).

Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Marschark dan Spencer (2003) mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan „anak dengar‟ pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan „anak dengar‟. Misalnya, seorang „anak dengar‟ mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama (Liben, 1978). „Anak dengar‟ mampu menguasai kosakata yang lebih banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.

Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain (Brown dan Remine, Prescot, dan Rickards, 2000) sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif. Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami oleh orang-orang di sekitarnya (Liben, 1978).


(18)

Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Menurut Hartup dalam (Most, Ingber, dan Heled-Ariam, 2011) kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan tampak ketika anak-anak sedang bermain. Yuhan (2013) mengatakan bahwa bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya (Martin, Bat-Chava, Lalwani, dan Waltzman, 2010).

Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh semua manusia tidak terkecuali antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial (Soekanto, 2006). Interaksi sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik dan nonlinguistik serta permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).

Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang kurang lebih sama (Yuhan, 2013). Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh „anak dengar‟ ketika mencoba untuk melakukan kontak sosial. Terkadang komunikasi yang terjadi


(19)

antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga mengalami kekurangan konten linguistik dan berakhir dengan cepat (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).

Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh pendidikan di sekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah sendirian. Teman-teman yang mendengar cenderung untuk mengabaikan kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan cukup baik dengan sesama teman tunarungu dan bergabung dalam suatu komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Bat-Chava dan Deignan, 2001).

Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013). Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak „anak dengar‟ berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).

Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟ akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada komunikasi. Terkadang, setelah kontak sosial terjadi akan ada proses


(20)

penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Sesama anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan „anak dengar‟. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau maksud tidak tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima stimulus berupa audio. Hal ini didukung oleh Gregory, Knight, McCracken, Powers, dan Watson (1998) yang mengatakan bahwa anak tunarungu cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan „anak dengar‟.

Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda membuat anak tunarungu sering mengalami penolakan dari „anak dengar‟ (Yuhan, 2013). Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak teman (Bat-Chava dan Deignan, 2001). Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan „anak dengar‟ karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa „anak dengar‟ juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.

Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan (Most, 2007). Penolakan ini juga menjadi acuan apakah


(21)

seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu interaksi.

Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ membuat peneliti ingin menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar (Bat-Chava Deignan, 2001; Martin et al, 2010; Boyd et al, 2000; Punch & Hyde, 2011 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013) dan gambaran tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, Yuhan, dkk (2013) memaparkan pula bahwa penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan „anak dengar‟.

Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun – 10 tahun (Weisel et al, 2005; Preisler et al, 2002; Bat-Chava & Deignan, 2001 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013). Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang usia responden dalam penelitian ini 6 tahun – 12 tahun. Responden di sini adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟.

Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen (Yuhan, Potmesil, dan Peters tahun 2013). Observasi banyak digunakan pada responden


(22)

dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah menggunakan kuesioner dan eksperimen (Yuhan, dkk, 2013). Metode pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.

Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama interaksi berlangsung.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimanakah interaksi sosial antar-antar-anakanak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟?


(23)

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

D.Manfaat Penelitan 1. Secara Teoretis

Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

2. Secara Praktis

Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain memberikan informasi, diharapkan orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar anak tunarungu dapat menjalin relasi dan mempertahan relasi dengan „anak dengar‟ di masa depan sehingga


(24)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Interaksi Sosial

Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak-anak. Salah satu bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan siapa saja dan di mana saja.

Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen konflik.

1. Definisi

Secara umum definisi interaksi sosial dikemukakan oleh Soekanto (2006) dalam sudut pandang sosiologi, yaitu interaksi sosial merupakan suatu hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Beberapa ahli dalam psikologi sosial melihat interaksi sosial sebagai suatu kebutuhan individu di mana salah satu individu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu lainnya, adanya aksi dan reaksi antarindividu (Arifin, 2015; Ahmadi, 1991; Walgito, 2003; Cerulo, 2009; Reber&Reber, 2010).


(25)

Definisi interaksi sosial di atas merupakan definisi bagi orang-orang yang tidak mengalami disabilitas. Sedangkan interaksi sosial pada anak tunarungu merupakan sebuah hubungan yang melibatkan pertukaran sosial, komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial pada anak tunarungu dalam penelitian ini adalah hubungan antar individu baik perorangan atau kelompok yang dinamis dan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta tindakan (aksi) dan respon (reaksi) dalam proses kehidupan yang melibatkan komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial.

Interaksi sosial tidak dapat terjadi jika hanya ada satu orang. Interaksi sosial membutuhkan dua orang atau lebih untuk saling berdinamika dan menciptakan interaksi. Keterlibatan individu dalam interaksi sosial tidak hanya perorangan tetapi juga bisa antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Sebuah interaksi sosial dapat terwujud apabila masing-masing pihak memiliki sebuah tujuan yang dapat dicapai bersama-sama melalui kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat interaksi sosial (Loomis dalam Arifin, 2015).

2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru akan terjadi apabila ada kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini


(26)

ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti apa-apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:

a. Kontak Sosial

Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang tujuan masing-masing. Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan individu lainnya.

Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan kontak mata.

Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan ada pengaruh dari luar. Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk


(27)

membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri. Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006).

Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini.

b. Komunikasi

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan antar individu yang melibatkan bahasa lugas, gerak tubuh, sikap, dan perasaan tertentu (Arifin, 2015).

Menurut Walgito (2003) komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti (informasi, pemikiran, pengetahuan, dll) yang disampaikan oleh pengirim pesan kepada penerima pesan.

Berdasarkan pendapat ahli atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan berupa informasi, ide, pikiran, dan perasaan seseorang kepada orang lain.


(28)

Menurut Marschark dan Spencer (2003) ada dua jenis komunikasi yang digunakan oleh anak-anak tunarungu, yaitu:

1) Komunikasi Nonlinguistik

Komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi wajah, gestur tubuh, dan aktivitas fisik. Hal ini sangat lazim ditemukan pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pendengaran.

Pendapat ini juga diperkuat oleh Macionis (2012) bahwa komunikasi nonlinguistik (nonverbal) merupakan komunikasi yang menggunakan gerak tubuh (body movement), gestur, dan ekspresi wajah. Hal ini lebih banyak muncul dibandingan dengan kata-kata atau ucapan.

Menurut Berkowitz (1980) komunikasi nonlinguistik akan tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Ekman dan Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mendeskripsikan 5 macam perilaku nonverbal. Perilaku tersebut adalah emblems, illustrators, affects, regulators, dan adapters.

Pertama adalah emblems. Emblems merupakan suatu gerakan yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya, melambaikan tangan untuk memanggil. Kedua, illustrators

merupakan pelengkap pernyataan verbal. Hal ini biasanya tampak pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambil menunjukkannya menggunakan tangannya. Ketiga adalah affect.


(29)

Affects mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, afek akan muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mengatakan bahwa afek juga dapat tampak pada gerakan tubuh seseorang.

Keempat, regulators merupakan suatu sinyal yang dapat muncul dalam sebuah interaksi. Regulator biasa digunakan untuk melengkapi pernyataan, mengklarifikasi penyataan, dan sebagainya. Contoh regulator adalah anggukan kepala, kontak mata, dan perubahan postural. Kelima, adapters merupakan salah satu perilaku yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan. Hal ini bisa berbeda pada setiap orang. Misalnya, perasaan cemas yang tampak dengan menggerakan kaki atau tangan.

Selanjutnya adalah ekspresi wajah. Ekspresi wajah merupakan perubahan raut muka sesuai dengan emosi yang muncul dalam diri seseorang (Berkowitz, 1980). Ekspresi wajah seseorang tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya dan sangat mudah dikenali apabila kita mengenal baik seseorang. Ekman (2010) menjelaskan bahwa manusia memiliki 5 emosi dasar, yaitu marah, sedih, senang, takut, dan jijik.

Emosi yang pertama adalah marah. Marah merupakan ekspresi wajah beringas yang siap menyerang. Ciri-ciri ekspresi kemarahan dapat dilihat dengan otot yang kencang pada alis, yang


(30)

apabila berkontraksi akan menurunkan dan menautkan alis, mengencangkan otot yang membuat kelompak mata tertarik naik, dan menyempitkan bibir dengan cara mengencangkan otot bibir.

Kedua, sedih. Ekspresi sedih memiliki ciri-ciri seperti kelopak mata yang terkulai atau layu, alis yang terangkat, dan sudut bibir yang ditarik ke bawah. Ketiga adalah perasaan senang. Ciri-ciri ekspresi senang tampak pada kedua pipi yang terangkat lebih tinggi, kontur pipi berubah, dan alis yang sedikit menurun. Selain itu, ekspresi senang juga dapat diperlihatkan dengan senyuman lebar yang mendorong pipi ke atas sampai membentuk kerutan.

Keempat, ekspresi jijik pada wajah akan tampak pada bibir atas yang dinaikkan setinggi mungkin, bibir bawah dinaikkan dan sedikit dicibirkan. Selain itu, kerutan meluas mulai dari atas cupingnya mengarah ke bawah sampai di belakang sudut bibirnya. Kemudian, sayap-sayap cuping hidungynya naik, kerutan muncul pada kedua isi dan jembatan hidungnya. Kenaikan pipi dan penurunan alis membentuk kerutan kaki gagak.

Terakhir adalah takut. Ciri-ciri wajah untuk ekspresi takut adalah kelopak mata yang naik, bibir yang kencang dan horizontal mengarah ke belakang, rahang terbuka sedikit, dan alis yang naik.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi tanpa suara yang melibatkan gerak tubuh, perilaku nonverbal dan ekspresi wajah.


(31)

2) Komunikasi Linguistik

Komunikasi linguistik merupakan kebalikan dari komunikasi nonlinguistik. Komunikasi jenis ini menggunakan bahasa oral atau bahasa bibir. Komunikasi linguistik adalah komunikasi yang terjadi ketika salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan menggunakan bahasa yang dipahami.

Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua aspek atau komponen yang harus ada untuk membentuk interaksi sosial. Jika yang terjadi hanya kontak sosial maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai interaksi sosial. Kontak sosial harus berjalan beriringan bersama dengan komunikasi. Komunikasi terjadi apabila satu sama lain mampu memahami maksud masing-masing sehingga pesan, emosi, dan perasaan dapat tersampaikan (Soekanto, 2013).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ melalui perilaku kontak sosial dan komunikasi mereka, baik secara nonlinguistik maupun linguistik.

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk. Menurut Arifin (2015) ada empat bentuk pokok interaksi sosial. Bentuk-bentuk tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:


(32)

Hal ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial di mana seseorang dan beberapa orang lain memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai bersama sehingga mereka berusaha untuk memahami satu sama lain.

b. Persaingan

Persaingan merupakan salah satu proses interaksi sosial yang pasti terjadi. Persaingan adalah suatu proses di mana individu merasa bahwa ada orang lain yang menjadi akan menjadi penghambat dalam mencapai suatu tujuan.

c. Pertentangan (Konflik)

Sebuah konflik akan terjadi apabila terdapat suatu perbedaan antara individu dengan individu lainnya atau dengan kelompok. Perbedaan ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti pendapat atau pandangan terhadap suatu hal.

d. Akomodasi

Akomodasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik tanpa harus menghancurkan pihak lawan. Hal ini merupakan penyeimbang yang baik dari beberapa bentuk interaksi sosial yang menimbulkan konflik tertentu antar individu.

4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya. Menurut Yuhan (2013), tahapan-tahapan tersebut adalah:


(33)

a. Inisiasi interaksi sebaya

Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati lingkungan sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari bagaimana orang lain saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan yang mereka lakukan juga membuat mereka melihat kesempatan untuk bergabung dalam sebuah interaksi sosial. Adanya sebuah kesempatan inilah yang akan membuat anak tunarungu akan memulai interaksi sosial mereka dengan cara berkomunikasi. Komunikasi yang mereka gunakan biasanya bahasa non-verbal atau gestur tubuh.

b. Memantau Interaksi Sebaya

Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya faktor-faktor yang menghambat anak tunarungu dalam berinteraksi.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Menurut Yuhan (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial pada anak tunarungu, yaitu:


(34)

a. Bahasa dan kemampuan berbicara

Seorang anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam perkembangan berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah dengan interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga dijadikan sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi mereka.

b. Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan tema sebaya

Anak-anak tunarungu lebih nyaman untk berinteraksi dengan sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya.

Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan pemahaman akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun sebuah interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar. Hal in juga terjadi sebaliknya pada „anak dengar‟.

c. Model komunikasi

Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak tunarungu. Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini yang paling banyak dikuasai oleh anak tunarungu karena ini merupakan


(35)

model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk bisa mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model komunikasi yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Beberapa anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa ini tapi tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil di mana orangtua mereka juga belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, komunikasi menggunakan bahasa isyarat sangat sulit untuk mereka berinteraksi sosial dengan teman sebanyanya yang mendengar. Hal ini disebabkan dengan anak-anak yang mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka.

B.Ketunarunguan 1. Definisi

Menurut Arifin (2015) anak tunarungu adalah seorang anak yang mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi (2006) yang mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah kecelakaan atau tidak diketahui sebabnya.


(36)

Menurut Somantri (2007) tunarungu merupakan suatu keadaan di mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu kerusakan pada organ pendengaran seseorang yang menyebabkan mereka kehilangan nilai fungsional pendengaran dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan pendengaran ini bisa disebabkan karena kecelakaan atau bawaan atau tidak diketahui sebabnya.

2. Klasifikasi Ketunarunguan

a. Berdasarkan Satuan Bunyi Desibel (dB)

Berdasarkan kriteria International Standard Organization (ISO)

(dalam Arifin, 2015) klasifikasi gangguan pendengaran pada anak tunarungu dapat dibedakan menjadi 6 kategori. Penjabaran kategori tingkat pendengaran dan intensitas bunyi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1

Intensitas Bunyi (dB) Tingkat Pendengaran

0-20 dB Normal

20-30 dB Slight Losses

30-40 dB Mild Losses

40-60 dB Moderate Losses

60-75 dB Severe Losses


(37)

Anak-anak tunarungu yang masuk dalam kategori slight losses

adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan. Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara karena masih berada pada batas normal pendengaran. Mereka juga mampu belajar bicara menggunakan kemampuan pendengarannya dan butuh perhatian khusus terhadap perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak terhambat. Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat mendengar menggunakan alat bantu dengar.

Ciri khas anak-anak tunarungu dalam kategori mild losses adalah mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan untuk menangkap percakapan yang lemah sehinga sulit untuk menangkap isi pesan lawan bicaranya. Mereka juga akan semakin kesulitan menangkap isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan. Anak-anak tunarungu kategori ini masih dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan masih membutuhkan bimbingan intensif untuk menghindari kesulitan berbicara. Anak-anak tunarungu dalam kategori moderate losses dapat mengerti percakapan apabila dilakukan dengan volume yang keras dan dalam jarak dekat (1 meter) sehingga mereka sering salah tangkap atau salah paham terhadap lawan bicaranya. Ciri lainnya adalah perbendaharaan kata mereka yang terbatas, adanya ketidakjelasan dalam berbicara, dan kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan.


(38)

Ciri-ciri anak tunarungu dalam kategori severe losses adalah mereka mengalami kesulitan untuk membedakan suara, tidak memiliki kesadaran bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki getaran suara, dan membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar bicara dan berbahasa.

Profoundly losses merupakan tingkat pendengaran yang paling parah sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan suara keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak menyadari bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu menangkap pesan walaupun menggunakan pengeras suara sehingga mereka membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa berkomunikasi.

b. Berdasarkan Letak Kerusakan Organ Pendengaran

Kategori anak tunarungu berdasarkan letak kerusakan organ pendengaran dibagi menjadi 3 jenis, yaitu tunarungu konduktif, tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. Tunarungu konduktif

merupakan kondisi anak-anak yang mengalami kerusakan pada liang telinga, selaput gendang, dinding-dinding labirin, dan tiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes). Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi untuk menghantarkan suara sehingga seseorang bisa mendengar.

Lalu, tunarungu perseptif merupakan gangguan pendengaran yang terjadi karena rusaknya organ-organ pendengaran yang terdapat pada telinga bagian dalam. Keadaan ini terjadi karena rumah siput,


(39)

serabut saraf pendengaran, dan corti yang mengubah rangsang mekanis menjadi elektris tidak diteruskan ke otak.

Sedangkan tunarungu campuran adalah suatu keadaan di mana kerusakan organ terjadi pada organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan penerima rangsang.

c. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunarunguan

Berdasarkan waktu terjadinya, ketunarunguan dibagi menjadi dua jenis, yaitu tuli bawaan (Deafness Conginetal) dan tuli fungsional (Deafness Functional). Tuli bawaan merupakan ketunarunguan yang terjadi saat bayi dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh hereditas atau faktor lainnya yang terjadi selama ibu mengandung. Sedangkan tuli fungsional merupakan hilangnya pendengaran seorang anak tetapi tidak ditemukan adanya disfungsi organik.

d. Berdasarkan Terjadinya Tahap Perkembangan

Menurut Denmark (1994) anak tunarungu dibagi menjadi dua jenis, yaitu preverbal deafness dan postlingual deafness. Preverbal deafness adalah suatu kondisi ketunarunguan yang dialami seorang anak sebelum mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa. Ketunarunguan ini sangat banyak dialami oleh anak-anak. Mereka kehilangan kemampuan mendengar sejak lahir sehingga membuat mereka kesulitan untuk berinteraksi. Ketunarunguan macam ini merupakan hambatan yang sangat besar bagi anak-anak dalam perkembangan bahasa verbal mereka.


(40)

Sebaliknya, postlingual deafness merupakan ketunarunguan yang dialami setelah seorang anak mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa. Hal ini terjadi karena adanya penurunan kemampuan pendengaran yang dimiliki seseorang. Biasanya, hal ini sangat jarang dialami oleh anak-anak.

3. Karakteristik Anak Tunarungu

Menurut Telford dan Sawrey (dalam Mangunsong, 1998) ada beberapa karakteristik anak tunarungu. Kekhasan tersebut adalah anak tunarungu kurang mampu untuk memusatkan perhatian. Kemudian, anak tunarungu juga sering mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara. Kegagalan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh keterlambatan bicara yang dialami oleh anak tunarungu. Keterlambatan bicara juga membuat anak tunarungu mengalami kesalahan artikulasi dan mengalami keterbelakangan di sekolah.

4. Penyebab Ketunarunguan

Sebagian besar ketunarunguan pada anak-anak terjadi sebelum mereka mengenal bahasa. Hal ini menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Adapun beberapa penyebab seorang anak mengalami ketunarunguan, yaitu prenatal, neonatal, dan post natal.

Pertama, penyebab prenatal merupakan penyebab yang diperkirakan terjadi saat bayi masih dalam kandungan ibu. Beberapa penyebab


(41)

ketunarunguan yang terjadi saat masa prenatal adalah hereditas atau keturunan, maternal rubella, pemakaian antibiotika yang berlebihan, dan

Toxoemia. Kedua, penyebab neonatal merupakan penyebab yang muncul saat seorang bayi dilahirkan. Beberapa penyebabnya adalah kelahiran premature, faktor resus, dan Tang Verlossing. Ketiga, penyebab ketunarunguan yang terjadi setelah proses melahirkan (postnatal) adalah

meningitis cebralis, infeksi, dan otitis media kronis.

5. Dampak Ketunarunguan

Ketunarunguan tentu saja memberikan banyak dampak terhadap penyandangnya. Dampak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Secara Fisik

Menurut Arifin (2015) ada beberapa dampak yang dialami oleh anak yang memiliki keterbatasan pendengaran, seperti kehilangan indera pendengatan karena ada kerusakan pada organ tersebut dan kesulitan menerima rangsang dalam bentuk audio. Selain itu, anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase-fase perkembangan.

b. Secara Sosial-Emosi

Menurut Efendi (2006) dan Van Uden (dalam Efendi, 2006) beberapa dampak ketunarunguan dalam kehidupan sosial adalah anak tunarungu lebih menampakkan sikap asosial. Anak tunarungu juga lebih menunjukkan sikap bermusuhan dan lebih menarik diri dari lingkungan.


(42)

Lalu, anak tunarungu juga lebih egosentris dan lebih mudah marah serta tersinggung. Anak tunarungu juga lebih bergantung pada orang lain dan beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, anak tunarungu juga memiliki perasaan yang cenderung ekstrem tanpa banyak nuansa dan memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih besar.

c. Secara Bahasa

Dampak yang dialami oleh anak tunarungu secara bahasa tampak pada kekurangan anak tunarunngu akan perbendaharaan kata. Anak tunarungu juga mengalami kesulitan untuk mengartikan bahasa yang mengandung arti kiasan atau sindiran sehingga mereka juga kesulitan untuk mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan. Anak tunarungu mengalami kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa sehingga mereka juga menggunakkan struktur bahasa yang lebih berbeda.

C.Perkembangan Anak Tunarungu

Tahap perkembangan merupakan suatu fase yang pasti dialami oleh setiap individu. Setiap individu mengalami hal yang sama hanya saja dalam satu tahap atau fase individu membutuhkan waktu yang berbeda-beda, terutama pada anak-anak berkebutuhan khusus. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya akan menjelaskan tahap perkembangan masa anak-anak tengah menuju akhir. Masa perkembangan ini mencakup anak yang berusia 6-12 tahun (Bukatko, 2008).


(43)

1. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2009) perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:

a. Tubuh

Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya. Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya.

b. Otak

Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal. Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur aduk, menghambat gerakan motorik, dan fleksibel dalam menentukan pilihan yang berlawanan(Munkata dalam Santrock, 2009).

2. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan. Perkembangan motorik dibagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik


(44)

halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan (Santrock, 2009). Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki (Santrock 2009).

a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’

Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain lompat tali.

Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat suatu kerajinan tangan yang lebih kompleks, misalnya membuat


(45)

keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan suatu alat musik.

b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu

Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan Waelvelde (2008) anak tunarungu mengalami kekurangan dalam keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola, dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.

Pertumbuhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik mereka. Wiegersma dan Van der Velde (dalam Gheysen, Loots, dan Waelvelde, 2008) mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu mengalami keterlambatan adalah gangguan syaraf, disfungsi pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeksplor lingkungannya.


(46)

3. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran yang disadari oleh seseorang (Santrock, 2009). Salah satu perkembangan proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah

theory of mind (Marschark dan Hauser, 2012).

Theory of mind adalah kesadaran seorang anak terhadap proses mental dirinya dan proses mental orang lain (Santrock, 2009). Menurut Marschark dan Hauser (2012) theory of mind merupakan kemampuan seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan kepercayaan (belief) orang lain. Perkembangan theory of mind sangat penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi sosial.

Perkembangan theory of mind pada anak-anak sangat bergantung pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu, kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif seseorang dalam konteks sebab akibat (Marschark dan Hauser, 2012).

Theory of mind juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya.

Perkembangan theory of mind antara anak tunarungu dan „anak

dengar‟ juga berbeda. Courtin (dalam Santrock, 2009) mengatakan bahwa anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada tugas theory of mind mereka, terutama anak-anak tunarungu yang memiliki


(47)

„orangtua yang mendengar‟ (hearing parents). Marschark dan Hauser (2012) juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan dalam theory of mind dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya.

Selain theory of mind, intelegensi anak tunarungu juga sering dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman (Santrock, 2009).

Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama dengan „anak dengar‟ (Furth dalam Efendi, 2006). Hambatan-hambatan inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, 2007).

Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi yang setara dengan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti „anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangan mereka.


(48)

4. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa pada anak-anak yang „mendengar‟ dan pada anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya (Marschark dan Spencer, 2003). Anak-anak tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk mengungkapkan emosi mereka secara verbal.

Normalnya seorang anak akan mengalami fase reflexive vocalization

(0-6 minggu), babbling (6 minggu-6 bulan), lalling (6 bulan-9 bulan), yargon (9 bulan-12 bulan), dan true speech (12 bulan- 18 bulan) (Smith dalam Efendi, 2006). Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase

babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri maupun orang lain.

Menurut Denmark (1994) anak tunarungu memiliki hambatan untuk belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa. Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa berinteraksi dengan orang lain.


(49)

Menurut Marschark dan Spencer (2003) yang termasuk dalam perkembangan bahasa anak tunarungu adalah:

a. Fonologi

Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak berusia 1 tahun sampai 6 tahun (bagi anak-anak yang belajar bahasa inggris sebagai bahasa ibu). Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer (2003) menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟.

Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya dengan kosakata yang baru.

Anak tunarungu menguasai konsonan /p, b, m/ lebih awal dibandingkan /f,v/. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu yang lama untuk dikuasai.

b. Morfologi dan Sintaks

Morfologi merupakan stuktur bahasa yang lebih luas dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata, kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak (Marschack dan Spencer, 2003).


(50)

c. Kosakata

Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai 14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata (Santrock, 2009). Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata saat mereka menginjak usia 18 tahun (Marschark dan Spencer, 2003).

Menurut Jensema (dalam Efendi, 2006) anak-anak tunarungu yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.

5. Perkembangan Sosio-emosi

Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan (Marschark dan Spencer, 2003). Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri mereka dengan sesamanya (Santrock, 2009).

Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock (2009) hal ini disebut dengan perspective


(51)

taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain.

Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir anak-anak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan „anak dengar‟.

Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah (Somantri, 2007).

Anak tunarungu yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama yang tunarungu.


(52)

D.Kerangka Konseptual

Interaksi sosial akan terjadi apabila ada dua individu atau lebih yang sedang bersama dan melibatkan kontak sosial serta komunikasi. Interaksi sosial juga terjadi pada anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial yang terjadi dalam interaksi keduanya akan melibatkan kesadaran dan emosi sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Kontak sosial tersebut akan digambarkan dari perilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain kontak sosial, peneliti juga akan menggambarkan perilaku komunikasi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Komunikasi yang akan digambarkan memiliki dua jenis, yaitu komunikasi linguistik dan komunikasi nonlinguistik.

Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menggambarkan perilaku kontak sosial dan komunikasi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Gambaranperilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu akan dibandingkan dengan gambaran perilaku antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran kerangka konseptual


(53)

Interaksi Sosial

Kontak Sosial

dengan Sesama Anak Tunarungu

Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar'

Komunikasi

Komunikasi Linguistik

Anak Tunarungu dengan Sesama Anak

Tunarungu

Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar'

Komunikasi Nonlinguistik

Anak Tunarungu dengan Sesama Anak

Tunarungu

Anak Tunarungu dengan 'Anak Dengar'


(54)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang bersifat eksploratorik karena belum banyak kepustakaan yang menyediakan laporan penelitian yang sedang diteliti. Penelitian kualitatif juga melibatkan peneliti secara langsung untuk terjun ke lokasi partisipan yang mengalami masalah yang sedang diteliti. Bentuk dari data penelitian kualitatif dapat berupa hasil wawancara, hasil observasi, atau dokumen yang bisa menjawab tentang masalah yang diteliti (Creswell dalam Supratiknya, 2015).

Penelitian ini akan menggunakan analisis isi kualitatif (AIK) untuk menafsirkan secara data teks secara subjektif dengan klasifikasi coding dan pengidentifikasian aneka tema dan pola (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). AIK merupakan metode yang bertujuan untuk menganalisis pesan-pesan komunikasi baik bersifat lisan, tertulis, atau visual (Elo & Kyngas dalam Supratiknya, 2008).

Semua data berasal dari catatan observasi tentang gambaran tingkah laku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesama tunarungu dan „anak dengar‟. Hasil observasi ini kemudian diberikan kode dan dikelompokkan ke dalam tema-tema sehingga dapat terlihat perilaku interaksi sosial keduanya.


(55)

B.Responden Penelitian

Responden dalam penelitian ini adalah anak tunarungu yang berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. „Anak dengar‟ yang dimaksud bisa dengan teman bermain di rumah atau dengan saudara yang bisa mendengar. Kemudian, anak tunarungu juga menderita ketulian sebelum mereka mengenal bahasa sehingga mereka mengalami kesulitan berkomunikasi secara verbal.

Rentang usia sesama anak tunarungu atau anak dengar adalah 6 tahun sampai 12 tahun. Hal ini dikarenakan usia anak tunarungu dan kemampuan kognitif di sekolah tidak semuanya sama dengan „anak dengar‟. Mereka sudah berusia lebih tua akan tetapi masih duduk di kelas 3 atau kelas 4 SLB B. Selain itu, cara peneliti mendapatkan responden adalah membagikan informed consent kepada seluruh siswa dari kelas dasar 2 sampai dengan dasar 5.

Informed consent yang kembali kemudian dikonfirmasi kepada orangtua apakah peneliti bisa datang ke rumah untuk melihat responden bermain. Bagi orangtua yang menyetujui maka peneliti akan menjadikan putra/i orangtua sebagai responden penelitian.

Jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Hal ini disebabkan dari 20 informed consent yang kembali hanya 3 orangtua yang mengijinkan peneliti untuk datang ke rumah. Ketiga subjek ini berusia 10 tahun dan dua diantaranya duduk di kelas dasar 3. Subjek lainnya duduk di kelas dasar 4.


(56)

Tabel 2

Kode Usia Usia mulai tuli Jenis Kelamin

Penyebab Ketulian R1 11 tahun 2 tahun Perempuan Tidak diketahui R2 11 tahun 2 tahun Laki-laki Tidak diketahui R3 11 tahun 2,5 tahun Perempuan Tidak diketahui

C.Fokus Penelitian

Bagian yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah interaksi sosial antara sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ berdasarkan perilaku yang muncul. Perilaku-perilaku yang muncul akan dikelompokkan dalam kategori sehingga dapat menggambarkan bagaimana interaksi sosial pada sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

D.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik observasi. Observasi merupakan teknik pengamatan yang sistematis untuk memperoleh data yang tercermin melalui tingkah laku individu (Kusdiati dan Fahmi, 2015).

Peneliti yang menggunakan teknik observasi akan disebut dengan observer. Observer memiliki beberapa tipe untuk mendapatkan data yang diinginkan, salah satunya adalah menjadi observer partisipan. Observer partisipan adalah keterlibatan peneliti secara langsung dalam proses pengambilan data. Dalam penelitian ini, peneliti/observer akan mengamati


(57)

subjek dari satu titik tertentu akan tetapi observer juga bisa berinteraksi langsung dengan subjek.

Observasi memiliki beberapa cara untuk mencatat data-data yang diperoleh. Penelitian ini akan menggunakan teknik pencacatan naratif. Teknik pencacatan naratif adalah teknik mencatat semua perilaku yang muncul saat waktu observasi. Selain pencacatan secara tertulis, peneliti juga mendokumentasikan perilaku-perilaku yang muncul selama observasi sesuai dengan kriteria yang masuk dalam indikator yang ditentukan peneliti.

Sebelum melakukan observasi, peneliti juga membuat daftar susunan perilaku yang akan dilihat pada saat observasi. Daftar susunan perilaku merupakan perkiraan perilaku apa saja yang akan tampak selama observasi berlangsung. Hal ini mengacu pada teori yang digunakan, yaitu komponen interaksi sosial (kontak sosial dan komunikasi). Daftar susunan perilaku akan dijabarkan dalam tabel 3 berikut ini:


(58)

Kontak Sosial Anak tunarungu bertatap muka dengan sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟. Anak tunarungu menatap mata sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu melihat kegiatan yang sedang dilakukan oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu melihat anak tunarungu atau „anak dengar‟ yang sedang bermain. Anak tunarungu memberikan sapaan kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟ dengan melambaikan tangannya.

Anak tunarungu menghampiri atau mendekati sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu melihat ke arah terjadinya sesuatu ke sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Komunikasi Linguistik Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan menggerakkan bibir atau mulut kepada sesama tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu menangkap pesan dengan melihat gerakan bibir atau mulut sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu menyampaikan pesan dengan abjad jari kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Komunikasi Nonlinguistik

Emblems Anak tunarungu melambaikan tangan untuk memberikan tanda memanggil sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu memberikan sentuhan fisik kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟ untuk mengajak memanggil.

Anak tunarungu memberikan tanda lambaian tangan ke arah kanan atau kiri untuk menandakan menyingkir.

Anak tunarungu menunjuk arah atau tempat menggunakan tangannya atau jari telunjuk ketika ditanya tentang arah/tempat oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.


(59)

tangan kepada sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Affects Anak tunarungu memberikan senyum (melengkungkan bibirnya ke atas dan membentuk huruf U) kepada sesama tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu yang tertawa ketika sedang bercengkrama dengan sesama tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu yang melengkungkan bibirnya ke bawah (membentuk huruf U terbalik) untuk mengekspresikan kesedihan.

Anak tunarungu mengekspresikan perasaan dengan melompat-lompat. Anak tunarungu mengekspresikan perasaan dengan menghentakkan kaki.

Regulators Anak tunarungu menganggukkan kepala untuk menyetujui sebuah pendapat sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu menggelengkan kepala untuk menyanggah pendapat oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Anak tunarungu melambaikan tangan untuk menyanggah pendapat oleh sesama anak tunarungu atau „anak dengar‟.

Adapters Anak tunarungu menggerakkan kaki atau tangan untuk menunjukkan perasan cemas.


(60)

E.Proses Pengambilan Data

Responden yang dapat berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan berinteraksi juga dengan „anak dengar‟. Mereka juga berada dalam masa kanak-kanak akhir sehingga usia mereka masuk dalam rentang 6 – 12 tahun. Peneliti datang ke salah satu sekolah luar biasa B (khusus tunarungu) untuk meminta bantuan menemukan responden. Setelah pihak sekolah setuju apabila peneliti diijinkan untuk melakukna observasi disana, peneliti segera membuat

informed consent yang akan dibagikan kepada calon responden dan disetujui oleh orangtua responden. Dari 40 kuesioner yang disebar, hanya ada 7

informed consent yang kembali kepada peneliti. Dari 7 informed consent yang kembali hanya 3 responden yang memenuhi kriteria.

Setelah peneliti meminta ijin ke pihak sekolah, peneliti bertemu dengan orangtua calon responden untuk memperkenalkan diri, meminta ijin secara langsung, dan meminta ijin untuk merekam kegiatan. Setelah semuanya siap maka peneliti segera melakukan observasi di sekolah dan di rumah responden. Observasi di sekolah dilakukan pada saat jam istirahat ketika semua anak-anak bisa bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya. Observasi di rumah dilakukan saat sore hari ketika responden melakukan kegiatan dengan „anak dengar‟.

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang akan digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif, yaitu Analisis Isi Terarah. Analisi Isi


(61)

Terarah merupakan analisis yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini karena menggunakan hasil penelitian sebelumnya untuk menentukan skema awal pengkodean (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). Kategori pengkodean dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti dengan menggunakan teori interaksi sosial dimana interaksi sosial terdiri dari dua komponen yaitu kontak sosial dan komunikasi.

Kategori pengkodean dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu kontak sosial, komunikasi nonlinguistik, dan komunikasi linguistik. Kontak sosial merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Lalu, komunikasi nonlingustik adalah komunikasi yang tidak melibatkan komunikasi secara oral. Komunikasi nonlinguistik diklasifikasikan lagi menjadi 5 jenis, yaitu emblems, illustrator, affect, regulator, dan adapters. Sedangkan komunikasi linguistik merupakan proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir dan dipahami oleh satu sama lain. Penjabaran definisi dapat dilihat pada Tabel 4.


(62)

Tabel 4

Kategori Sesama Anak Tunarungu Anak Tunarungu dengan ‘Anak Dengar’

Kontak Sosial Hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain

Hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain

Komunikasi Nonlinguistik

Emblems Penyampaian pesan dengan gerakan tangan

atau tubuh tanpa ada kata-kata atau kalimat.

Penyampaian pesan dengan gerakan tangan atau tubuh tanpa ada kata-kata atau kalimat.

Illustrator Penyampaian pesan secara verbal disertai

dengan gerakan tangan atau tubuh untuk memperjelas pesan.

Penyampaian pesan secara verbal disertai dengan gerakan tangan atau tubuh untuk memperjelas pesan.

Affect Bentuk ungkapan perasaan yang sedang

dialami dan ditunjukkan melalui mimik wajah.

Bentuk ungkapan perasaan yang sedang dialami dan ditunjukkan melalui mimik wajah.

Regulator Perilaku anak yang membantu untuk

memberikan klarifikasi ketika sedang berinteraksi. Contohnya, anggukkan kepala.

Perilaku anak yang membantu untuk memberikan klarifikasi ketika sedang berinteraksi. Contohnya, anggukkan kepala.

Adapters Salah satu perilaku yang membantu dalam

manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan. Misalnya, gerakan kaki untuk mereduksi perasaan cemas.

Salah satu perilaku yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan perasaan. Misalnya, gerakan kaki untuk mereduksi perasaan cemas.

Komunikasi Linguistik Proses penyampaian pesan dengan gerakan bibir.


(63)

G.Verifikasi Penelitian 1. Validitas

Menurut Creswell (dalam Supratiknya, 2015) ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menguji validitas sebuah penelitian. Salah satu strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berada dalam jangka waktu yang panjang di lapangan. Strategi ini dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang fenomen yang diteliti sehingga dapat memberikan informasi yang rinci. Informasi tersebut berupa lokasi penelitian dan partisipan. Hal ini juga dapat mendukung strategi validitas bias. Bias merupakan proses menguraikan kemungkinan bias yang dibawa oleh peneliti dalam bentuk refleksi diri yang jujur.

Selain itu, peneliti juga menggunakan strategi thick description atau deskripsi mendalam. Validitas ini memaparkan temuan dengan sangat rinci tentang lingkungan penelitian serta mendeskripsikan penelitian dari berbagai sudut pandang.

2. Reliabilitas

Reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas interobserver. Reliabilitas intraobserver adalah melihat adanya konsistensi dan stabilitas dalam pencatatan yang dilakukan oleh lebih dari satu observer. Observer akan mengamati subjek yang sama, dalam waktu yang bersamaan, dan format pencatatan yang sama (Kusdiyati dan Fahmi, 2015). Dalam penelitian ini yang akan berperan sebagai observer adalah peneliti dan rekan peneliti.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan yang dipaparkan dalam pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak

dengar‟ terjadi dengan melibatkan dua komponen interaksi sosial, yaitu kontak sosial dan komunikasi.

2. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku.

3. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi

„anak dengar‟ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk

mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan.

4. Interaksi sosial tidak hanya terjadi antar-anak tunarungu dan anak

tunarungu dengan „anak dengar‟ tetapi interaksi sosial juga terjadi antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟.


(2)

5. Interaksi sosial yang terjadi dalam bentuk permainan atau percakapan tampak pada interaksi anak tunarungu baik dengan sesama maupun dengan

„anak dengar‟.

6. Penolakan interaksi sosial antar-anak tunarungu terjadi karena anak tunarungu tidak ingin untuk membangun sebuah interaksi. Sedangkan

penolakan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟

terjadi karena anak tunarungu tidak menangkap pesan yang disampaikan

oleh „anak dengar‟.

B.Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

1. Penelitian ini hanya menggambarkan bentuk perilaku interaksi sosial yang tampak tetapi tidak dilihat dorongan atau motif yang melatarbelakangi munculnya perilaku.

2. Jumlah jam observasi antara di rumah dan di sekolah yang tidak seimbang sehingga kurang menggambarkan interaksi sosial dengan „anak dengar‟. 3. Perilaku guru terhadap masing-masing responden yang tidak dapat dikontrol

oleh peneliti.

4. Situasi atau lingkungan di sekolah dan di rumah yang tidak sama.

C. Saran

1. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini hanya menggambarkan bentuk perilaku responden

ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟. Ada


(3)

munculnya perilaku tersebut sehingga dapat memperkaya data tentang interaksi sosial anak tunarungu.

2. Bagi Praktisi Psikologi

Adanya pendampingan bagi orangtua dan anak tunarungu agar bias berinteraksi dengan semua orang tanpa merasa rendah diri atau berkekurangan. Pendampingan ini bisa berupa pelatihan atau seminar tentang perkembangan anak tunarungu yang terhambat dan mendorong anak

tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟.

3. Bagi Orangtua

Anak tunarungu mengalami kesulitan berkomunikasi dengan „anak dengar‟ sehingga perlu pendampingan dalam berkomunikasi. Anak

tunarungu juga sebaiknya dibiasakan berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Bat-Chava, Y., & Deignan, E. (2001). Peer Relationships of Children With Cochlear Implants .

Beazley, S., & Moore, M. (1995). Deaf Children, Their Families and Professionals. New York: David Fulton Publishers.

Berkowitz, L. (1980). A Survey of Social Psychology (2nd Edition). New York: Holt, Rinehart and Winston.

Brown, P. M., Remine, M. D., Prescott, S. J., & Rickards, F. W. (2000). Social Interactions of Preschoolers With and Without Impaired Hearing in Integrated Kindergarten. Journal of Early Intervention, 23, 200-211. Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development. New York: Houghton

Mifflin Company.

Denmark , J. C. (1994). Deafness and Mental Health . London: Jessica Kingsley Publishers.

Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Bumi Aksara.

Ekman, P. (2010). Membaca Emosi. (Jamilia, & T. W. Utomo, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Baca.

Gerungan, Dipl.Psych, D. (2009). Psikologi Sosial (Edisi 3 ed.). Bandung: PT Refika Aditama.

Gregory, S., Knight, P., McCracken, W., Powers, S., & Watson , L. (Eds.). (1998). Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publishers. Hambali, M. Pd, P. (2015). Psikologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.

Kusdiyati, S., & Fahmi, I. (2015). Observasi Psikologi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Liben, L. S. (1978). Deaf Children: Developmental Perspective. New York: Academic Press Inc.


(5)

Marschark, M. (2007). Raising and Educating A Deaf Child : A Comprehensive Guide To The Choices, Controversies, and Decisions Faced by Parents and Rducators (2nd edition). Oxford: Oxford University Press.

Marschark, M., & Spencer, P. E. (2003). Deaf Studies, Language, and Education. Oxford: Oxford University Press.

Marschark, Ph.D, M., & Hauser, Ph.D, P. C. (2012). How Deaf Children Learn: What Parents and Teachers Need to Know. New York: Oxford University Press.

Martin, D., Bat-Chava, Y., Lalwani, A., & Waltzman, S. B. (2010). Peer Relationship of Deaf Children With Cochlear Implants: Predictors of Peer Entry and Peer Interaction Success. Journal of Deaf Studies and Deaf Education.

Medinnus, G. R. (1976). Child Study and Observation Guide. New York : John Willey and Sons.

Most, T. (2007). Speech Intelligibility, Loneliness, and Sense of Coherence Among Deaf and Hard-of-Hearing Children in Individual Inclusion and Group Inclusion.

Most, T., Ingber, S., & Heled-Ariam, E. (2011). Social Competence, Sense of Loneliness, and Speech Intelligibility of Young Children With Hearing Loss in Individual Inclusion and Group Inclusion. Journal of Deaf Studies and Deaf Education.

Reber, A. S., & Reber, E. S. (2010). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, J. W. (1997). Life-span Development. London: Brown & Benchmark. Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Supratiknya, A. (2015). Metodologi Penelitian Kuantitatif & Kualitatif Dalam Psikologi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Thompson, J. (2010). Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Ind: Erlangga. Walgito , B. (1991). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (rev ed.). Yogyakarta:

Andi Offset.


(6)

Weisel, A., Most, T., & Efron, C. (2005). Initiations Social Interaction by Young Hearing Implants Preschoolers. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 10.

Wie, PhD, O. B., Pripp, ScD, A. H., & Tvete, MS, O. (2010). Unilateral Deafness in Adults: Effects on Communication and Social Interaction. Annals of Otology, Rhinology, & Larynology, 119, 772-781.

Yuhan, X. (2013). Peer Interaction of Children with Hearing Impairment. International Journal of Psychological Studies, 5.

Yuhan, X., Potmesil, M., & Peters , B. (2013). Children Who Are Deaf or Hard of Hearing in Inclusive Educational Settings: A Literature Review on Interaction With Peers. Journal of Deaf Studies and Deaf Education. Pedoman Yankes Anak di SLB Bagi Petugas Kesehatan. (2011). Retrieved March

20, 2015, from www.gizikia.depkes.go.id:

http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/

PEDOMAN-YANKES-ANAK-DI-SLB-BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2014). Retrieved March 20,

2015, from www.depkes.go.id:

http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html.