Pengantar Ilmu Politik

(1)

Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

1

Apakah ilmu politik merupakan ilmu pengetahuan dan apakah imu politik sudah memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan? Pertanyaan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan baru, apakah yang disebut ilmu pengetahuan itu? Umumnya dan terutama pada ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasakan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi ilmu sosial mengikuti definisi ilmu-ilmu eksakta maka hampir seluruh ilmu sosial belum memenuhi syarat untuk menjadi ilmu pengetahuan, oleh karena itu sarjana ilmu sosial pada mulanya cinderung untuk mengemukakan definisi yang lebih umum sifatnya, seperti terlihat pada pertemuan-pertemuan sarjana-sarjana ilmu politik yang diadakan di Paris pada tahun 1948. mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah ” seluruh pengetahuan yang terkoordinasi mengenai pokok pikira tertentu”. Definisi serupa pernah dikemukaka oleh ahli dari Belanda yang mengatakan: ”ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis”. Apabila perumusan-perumusan ini dipakai sebagai patokan maka selaslah bahwa ilmu politik boleh dikatakan atau dinamakan ilmu pengetahuan.

Kajian Ilmu Politik didasari oleh Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, Hukum dan Filsafat. Berkembang pesat pada tahun 1950.

Pendekatan Ilmu Politik dan Kajiannya berkembang melalui tiga tahap: I. Pendekatan Tradisional:

‰ Sangat Ideologis, normatif dan legalistik dimana pendekatan ini menlihat yang terbaik, seperti seseorang yang menjadi Presiden adalah Ulama.

‰ Fakta dan sistem nilai yg dianut masyarakat tdk dpt dipisahkan. Misalnya:

sebuah kekuasaan bisa jatuh karena nilai yang berkembang di masyarkat memang sudah memahaminya kejatuhannya.

‰ Common sense dianggap ilmiah dimana fungsi teori adalah untuk

meramalkan

‰ Menggunakan proses dialektik: Pembuktian biasanya menggunakan proses dan argumen dialektik

‰ Obyeknya adalah institusi khususnya institusi negara

II. Pendekatan Modern (Tingkah Laku): thn 60 an dan 70 an (menjual ideologis yg bebas nilai - liberalisme ).

1


(2)

‰ Titik tolak pendekatan ini lebih kepada hukum “hubungan causalitas” antar

kejadian (fenomena), seperti suatu fakta tentang sesuatu dibedakan dengan sistem nilai (mitos). Karena kalau dengan nilai di lapangan pandangan suatu komunitas tentang kekuasaan bisa berbeda-beda.

‰ Fungsi teori didalam pendekatan lebih untuk menjelaskan, yaitu

mengandalkan proses positivistik = rasional = empirik Æ dan bisa dibuktikan.

‰ Pendekatan ini mengandalkan dan menggunakan konsep2 ilmu alam untuk menjelaskan dan membuat model. Seperti kajian sistem politk menggunakan "sistem" yg diambil dari ilmu biologi. Penggunaan Statitiska dengan meminjam metodologi yang bersifat kuantitaif. Pendekatan ini mencoba mengilmiahkan studi politik, karena yg ilmiah adalah yg bisa diuji, bebas nilai (dimana si peneliti menjaga jarak dengan yg diteliti agar tidak bias).

‰ Obyeknya lebih kepada tingkah laku individu dan kelompok2 masyarakat, dan motif individu atau kelompok

‰ Fungsi kajian politik kepada bagaimana sesuatu dicapai. Dimana tujuan

sudah bersifat "ideologis". Karena kalau kita menilai sesuatu yg bersifat "ideologis" kita dianggap tdk obyektif. Yang berkembang dalam pendekatan adalah teori2 tentang: sistem, struktural-fungsional dan pluralis liberal. Fokus diskusinya adalah bagaimana suatu struktur dalam suatu sistem, / institusi bekerja atau berlangsung yaitu bagaimana pembagian kerja.

‰ Dalam pendekatan in konsep negara tdk disinggung. Negara tidak banyak

campur dan berfungsi sebagai fasilitator dimana konflik diselesaikan. Sehingga kehidupan politik diwarnai oleh kelompok (kelompok penekan dll).

‰ Mulai digugat pada tahun 70an:

o karena mengabaikan tentang pernan negara dimana pendekatan ini gagal

menjelaskan sistem otoriter.

o Dari kajian teori Dependencia: pendekatan tingkah laku lebih

mengutamakan dominasi status quo. Lembaga2 capital global (IMF, WB, ADB). Teori trickle down effect: Æ ternyata yang akan dibagi dibawah lebih banyak yang menguap

o Teori developmentalist Æ dijual sejak 50 an. Kalau lebih sejahtera maka

akan ada demokrasi. Bangsa-bangsa di dunia dipilah dua; bangsa terbelakang dan bangsa maju. Analisis ini ternyata gagal di lapangan. Karena semakin maju ekonomi dan semakin tinggi pendidikan ternyata semakin tidak menjadi semakin demokratis.

o Kajian di Indonesia berada di post modern. (sangat diwarnai modern).

Akademisi Indonesia bersifat konsumen dari pada produsen teori.

III. Pendekatan Post Modern (Pasca Tingkah Laku): 1. Marxist :

o Neo Marxist: kehidupan ditentukan oleh ekonomi. Ekonomi adalah alat

produksi dalam bentuk capital. Dalam pandangan ini penguasa politik adalah pemilik modal. Dalam teori ini liberalisme adalah memberikan ketergantungan kepada negara maju.


(3)

o Negara sebagai alat kapital untuk menindas suatu kelas oleh kelas buruh,

petani, proletar. Dalam Bung Karno dengan rumusan Marhaenisme, si Marhaen masih punya modal dibandingkan proletar (misalnya petani memiliki modal dalam bentuk bentuk pacul).

2. Corporatisme:

o Menekankan kepada pembentukan kelompok-kelompok di masayarakat.

Negara menciptakan sistem perwakilan kepentingan. Kelompok dibentuk untuk mewakili kelompok specifik. Kelompok ini diklaim atas nama anggotanya untuk patuh (loyal) kepada negara. Sistem ini dikenal sebagai korporatisme negara.

3. Negara:

o Ilmu dipengaruhi oleh kekuasaan. Dunia ketiga adalah laboratorium.

Pada saat ini Indonesia menjadi laboratorium masa transisi menuju demokratisasi, desentralisasi, penegakan HAM dll. Sebentar lagi akan banyak muncul hasil kajian transisi ini yang bias ideologis.

o Negara punya keinginan. Negara adalah otonom terhadap masyarakatnya

(society). Untuk cita2 keadilan negara ikut campur (dlm menciptakan instrument untuk mendekatkan kesenjangan sosial dengan melakukan: subsidi, pajak subsidi silang, melindungi kepentingan publik. Sebagai contoh ada konsep yang berbeda antara Finlandia dan Indonesia. Untuk penerapan di Indonesia subsidi sangat dibenci oleh IMF.

o Perkembangan ilmu sangat ditentukan oleh perkembangan masyarakat.

Dalam membendung komunisme. Akademisi Barat membuat Militer dibanyak negara ketiga sebagai agen pembangunan yang memiliki loyalitas yang lebih tinggi. Selain itu ada alasan ideologis untuk mencari sekutu didalam menghadapi komunisme.

o WTO Æ Persaingan bebas vs ketimpangan struktur ekonomi global.

Selatan-selatan selalu tertindas. Utara selalu menindas.

4. Dan lain-lain:

o Membahas kajian-kajian menyangkut: feminism, Gender, Environment,

Rational Choice. Isitilah2 ini akan dapat dilihat dalam konteks Studi Pembangunan yaitu penggunaan Pendekatan Kultural dalam Modernisasi. Dalam sosiologi adanya posmo sebagai pengganti dekonstruksi dalam ilmu politik sebagai pengganti pendekatan tradisional dan behaviour.

o Dalam ilmu sosial tdk bisa dikotak2 an. Teori tdk lebih sebagai alat

sehingga sebagai ilmuawan dan praktisi pengguna teori tidak perlu fanatik.

o Demokrasi deliberatif Æ menggugat demokrasi liberal hari ini dimana

demokrasi seolah-olah hanya menjadi urusan partai politik, pemilu, parlemen. Politik bisa dilaksanakan di-mana mana dan tidak hanya di partai politik. Contohnya di Brazil. Gugatan ini muncul sebagai bentuk


(4)

kegagalan demokrasi yang disebut oleh Hutington sebagai Demokrasi Gelombang ke 3).

o Kisah sukses demokrasi bisa dicapai demokrasi substantial bila

demokrasi terkonsolidasi. Banyak demokrasi yg gagal sehingga yang ada hanya demokrasi prosedural. Konsolidasi demokrasi penerapannya memerlukan untuk menciptakan habitus yang lain. Yang terjadi saat ini demokrasi deliberatif masih terbatas hanya melengkapi yang ada.

o Ekonomi tumbuh dan diaharapkan tercipta kelas menengah yang akan

menegakan demokrasi. Ekonomi tidak maju tetapi tuntutan kebebasan semakin menguat. Demokrasi terjadi karena kemunculan elit. Negoisiasi diantara elit akan memperpendek pencapaian demokrasi (contohnya sukses yang terjadi di Spanyol). Deklarasi Ciganjur di Indonesia dapat dianggap sebagai proses negoisasi tetapi yang terjadi adalah proses kegagalan elit memutuskan negoisasinya. Fakta dilapangan nasih sangat diperdebatkan antara penerapan demokrasi terkait dengan pertumbuhan ekonomi.sebagai contoh penerapan di India vs Negara Barat vs Singapura.


(5)

Konsep-konsep Pokok Politik

yang Mendasari

Definisi/Pengertian Ilmu Politik

Oleh:

Adiyana Slamet


(6)

NEGARA

• Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah

yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan

yang ditaati oleh rakyatnya.

• Tokoh-tokoh yang menekankan negara sebagai inti dari

politik (politics)

Roger F.Soltau

dalam Budiardjo (1998:9) Ilmu politik

mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan

lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu,

hubungan antara negara dan warga negaranya serta

dengan negara-negara lain.

J. Barents

dalam Budiardjo (1998:9) Ilmu politik adalah

ilmu

yang mempelajari

kehidupan

negara

yang

merupakan bagian dari kehidupan masyarakat ; ilmu

politik mempelajari negara-negara melakukan tugasnya


(7)

KEKUASAAN

Kekuasaan: “kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk

mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan

keinginan dari pelaku”.

Tokoh-tokoh yang melihat kekuasaan sbagai inti dari politik, baranggapan

bahwa politik adalah semua kegianan yang menyangkut masalah merebut

dan mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap bahwa perjuangan

kekuasaan (power struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut

kepentingan seluruh masyarakat. Contoh (serikat buruh, organisasi

keagamaan, organisasi kemahasiswaan dan kaum militer dll)

Harold D. Laswell

dan

A. Kaplan

dalam Budiardjo (1998:9) mendefinisikan

ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.

W.A. Robson

dalam dalam Budiardjo (1998:9) ilmu politik mempelajari

kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses,

ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus seorang sarjana ilmu politik tertuju

pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan,

melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain atau menentang

pelaksanaan kekuasaan itu.

Daliar Noer

dalam Budiardjo (1998:9) ilmu politik memusatkan perhatian

pada masalah kekasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.

Ossip K. Flechtheim

dalam Budiardjo (1998:9) ilmu poitik adalah ilmu

sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara

merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat tujuan dari gejala-gejala

kekuasaanlain yang tak resmi yang dapat mempengaruhi negara.


(8)

PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Keputusan (decision) membuat pilihan diantara berbagai alternatif,

sedangkan istiah pengambilan keputusan (decisionmaking) merujuk

pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai.

Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik

menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan

yang mengikat seluruh masyarakat.

Joyce Mitchell

dalam Budiardjo (1998:9) politik adalah

pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan

umumuntuk masyarakat seluruhnya.

Karl W.Deutsch

: politik adalah pengambilan keputusan melalui

sarana umum. Dikatakan selanjutnya bahwa keputusan-keputusan

semacam ini berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan

pribadi oleh orang seorangan, melainkan pengambilan keputusan

mengenai tindakan umum/sektor publik.


(9)

KEBIJAKSANAAN UMUM

Kebijkasanaan umum adalah suatu kumpulan keputusan

yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok

politik

dalam usaha memilih tujuan-tujuan itu. Pada

prinsipnya

pihak

yang membuat

kebijkasanaan-kebijaksanaan

itu

mempunyai

kekuasaan

untuk

melaksanakannya.

Hoogerwerf

dalam Budiardjo (1998:9) obyek dari ilmu

politik adalah kebijaksanaan pemerintah, proses

trbentuknya, serta akibat-akibatnya. Yang dimaksud

kebijaksanaan umum oleh Hoogerwerf ialah

membangun masyarakat secara terarah melalui

pemakaian kekuasaan.

David Easton

: ilmu politik adalah studi mengenai


(10)

PEMBAGIAN DAN ALOKASI

• Yang dimaksud pembagian dan alokasi ialah pembagian

dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam ilmu

sosial

nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau

benar, sesuatu yang ingin dimilikimanusia

. Nilai ini

dapat bersifat abstrak seperti penilaian atau azas seperti

kejuuran, kebebasan berpendapat, kebebasan mimbar

dll. Nilai juga bersifat kongkrit (material) seperti rumah,

kekayaan dll.

Harold D. Laswell

dalam Budiardjo (1998:9) politik

adalah masalah siapa mendapat apa kapan dan

bagaimana.

David Easton

: sistem politik adalah keseluruhan dari

interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai

secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan

atas nama masyarakat.


(11)

NEGARA

(Pengertian, Tugas, Asal mula,Sifat,

Unsur-unsur, Tujuan dan fungsi Negara, Istilah

Negara dan sistem Politik)

Oleh:

Adiyana Slamet


(12)

NEGARA

Negara merupakan integrasi dari keuasaan politik, ia adalah

organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah

organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan

kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan

lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan

bersama (seluruh warga Negara).

Tugas negara

:

1.

Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang

bertentangan satu sama lain (a sosial), supaya tidak menjadi

antagonisme / anarkisme yang membahayakan;

2.

Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan

golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari

masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan

asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain

dan diarahkan pada tujuan nasional.


(13)

Definisi Negara

Roger H. Soltau

: “ Negara adalah alat (agency) atau

wewenang (authority) yang mengatur atau

mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas

nama masyarakat”

Harold J. Lasksi

: “Negara adalah suatu masyarakat

yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang

bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung

daripada individu atau kelompok yang merupakan

bagian dari masyarakat itu.”

Max Weber

: “ negara adalah suatu masyarakat yang

mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik

secara sah dalam suatu wilayah.”


(14)

Masalah asal mula negara adalah salah satu

persoalan ilmu politik yang tersulit. Kesulitan

masalah itu terutama disebabkan karena tentang

genetika negara, saat-saat negara yang pertama

dibentuk. Ada beberapa teori asal mula negara,

yang diyakini bisa menjawab kesulitan-kesulitan

genetika negara, teori-teori tersebut antara lain

sebagai berikut:


(15)

Teori perjanjian masyarakat (teori kontrak sosial)

teori ini menganggap perjanjian sebagai dasar negara

dan masyarakat. Negara dan masyarakat dibentuk

berdasarkan perjanjian-perjanian masyarakat.

Teori Ketuhanan

Teori Kekuatan/kekuasaan/kelas

negara yang pertama adalah hasil

dominasi

dari

kelompok yang kuat

dari

kelompok yang lemah

.

Negara terbenmtuk dari penaklukan dan

pendudukan

.

Teori Organis

negara dianggap atau disamakan dengan makhlik

hidup, manusia atau binatang. Individu-individu yang

merupakan komponen-komponen negara dianggap

sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu.

Teori Patriarkhal

( Ayah yang berkuasa) dan

Teori


(16)

Sifat-sifat Negara

• Sifat Memaksa

• Sifat monopoli


(17)

Unsur-unsur Negara

• Wilayah

• Penduduk

• Pemerintah

• Kedaulatan


(18)

Tujuan dan fungsi Negara

Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang

hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan

bersama. Dapat dikatakan tujuan terakhir negara adalah

menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnta (bonum

publicum, common good, common weal).

Roger H. Soltau: “

mengatakan bahwa tujuan negara

ialah memungkinkan rakyatnya “ berkembang serta

menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.”

Harold J. Laski

: “tujuan negara ialah menciptakan

keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya

keinginan-keinginan secara maksimal.”


(19)

Tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia

• Melindungi segenap Bangsa Indonesia,

seluruh tumpah darah Indonesia

• Memejukan kesejahterahan umum

• Mencerdaskan kehidupan bangsa

• Ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasaarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial, dengan


(20)

Fungsi Negara

• Melaksanakan Penertiban

• Mengusahakan kesejahterahan dan

kemakmuran rakyatnya

• Pertahanan


(21)

Istilah Negara dan Sistem politik

Konsep sistem politik merupakan pokok dari

gerakan pembaharuan dan lebih terkenal

dengan istilah “pendekatan tringkah-laku atau

behavioral approach.”

konsep sistem politik didalam penerapan pada

situasi yang kongkrit seperti negara, mencoba

mendasarkan studi tentang gejala-gejala politik

dalam konteks tingkah-laku didalam

masyarakat. Tingkah laku politik dianggap

sebagai sebagian dari keseluruhan tingkah-laku

sosial.


(22)

4 variabel dalam sistem politik

1. kekuasaan:sebagai cara untuk mencapai

sesuatu yang diinginkan antara lain membagi

sumber-sumber di antara kelompok-kelompok

dalam masyarakat.

2. Kepentingan: tujuan-tujuan yang dikejar oleh

pelaku-pelaku atau kelompok politik.

3. Kebijakan/sanaan: hasil dari interaksi antar

kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam

bentuk perundang-undangan.

4. Budaya politik: orientasi subyektif dari individu

terhadap sistem politik


(23)

Sistem Politik:

Proses mengubah Input menjadi output.

Input

: Kepentingan dan Aspirasi Publik.

Proses

Æ

Konversi

Output:

: Kebijakan Publik, Keputusan Politik,

UU (yg dihasilkan oleh Legislatif dan Eksekuitf)

dan Kebijakan Pemerintah yang lain


(24)

BADAN EKSEKUTIF

OLEH:

ADIYANA SLAMET


(25)

Pemerintah Dan Pemerintahan

Pemerintah

(Government)

secara etimologis berasal dari

bahasa yunani,

kubernan

atau

nakhoda kapal.

Artinya,

menatap kedepan (Surbakti,1992:167). Sedangkan

menurut Budiardjo (1998:44), pemerintah “suatu

organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan

melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi

seluruh penduduk didalam suatu wilayahnya”.

Lalu “memerintah” berarti melihat kedepan, menentukan

berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk

mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan

arah perkembangan masyarakat pada masa datang, dan

mempersiapkan langkah-langkah kebijakan

perkembangan masyarakat kedepan, serta mengelola

dan mengarahkan masyarakat ketujuan yang ditetapkan.


(26)

3 Aspek Dalam Mendefinisikan Pemerintahan

Segi kegiatan (dinamika) : pemerintahan berarti segala kegiatan atau usaha

yang terorganisasikan, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan

pada dasar negara, mengenai rakyat dan wilayah negara demi tercapainya

tujuan negara.

Segi Struktural Fungsional: pemerintahan berarti seperangkat fungsi

negara, yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan

melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi tercapainya tujuan

negara.

Segi tugas dan kewenangan : pemerintahan berarti seluruh tugas dan

kewenangan negara.

Ditinjau dari ketiga batasan diatas disimpulkan pemerintahan merupakan

segala kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan negara

(fungsi negara). Yang melaksanakan tugas dan fungsi negara ialah

pemerintah.

Pemerintahan dalam arti luas

: berarti seluruh fungsi negara, meliputi

legislatif, eksekutif, dan yudikatif

Pemerintahan dalam arti sempit

: menyangkut aparat eksekutif, yakni


(27)

Presiden (kepala negara merangkap sebagai

kepala pemerintahan) dan Presiden mempunyai

hak preogratif untuk memilih pembantunya

(mentri-mentri), dalam sistem ini, lembaga

legislatif , dan eksekutif memiliki kedudukan

yang independen, sedangkan pemegang

kewenangan dipilih oleh rakyat secara terpisah.

Lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif

mempunyai kewenangan membuat

undang-undang, tetapi yang satu harus mendapat

persetujuan dari yang lain sehingga setiap

undang-undang hasil kesepakatan dari

keduabelah pihak.


(28)

Ciri-ciri Sistem Presidensial

1. Kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan

(administrasi) lebih jelas dalam sistem ini, yakni

ditangan presiden, daripada kabinet parlementer, tetapi

siapa yang bertanggung jawab dalam pembuatan

kebijakan lebih jelas pada sistem parlementer.

2. Kebijakan yang bersifat konfrehensif jarang dapat

dibuat karena legislatif dan eksekutif mempunyai

kedudukan yang terpisah (seseorang tidak mempunyai

fungsi ganda), ikatan partai longgar, dan kemungkinan

kedua badan ini didominasikan oleh partai yang

berbeda .

3. Jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan

berada pada satu tangan yaitu Presiden.

4. Legislatif bukan tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan

eksekutif , yang dapat diisi dari berbagai sumber


(29)

Sistem Parlementer

Kepala negara dan Kepala Pemerintahan tidak berada di

satu tangan (Presiden, Raja sebagai kepala negara,

sedangkan Perdana Mentri sebagai kepala

pemerintahan). Kepala pemerintahan ditetapkan oleh

parlemen segaera setelah hasil pemilu dihitung.

Pemimpin partai pemenang , yakni yang terbanyak

mendapat raihan suara (lazimnya) biasanya langsung

menjadi kepala pemerintahan.artinya dalam hal ini partai

pemenang memiliki legalitas dan legitimasi untuk

mengisi pemerintahan. Kepala pemerintahan dapat

segera membentuk kabinet bila perolehan suara di

parlemen telah cukup memenuhi kriteria minimal

mayoritas sederhana (51%) atau, membentuk koalisi

antar parti sampai memenuhi kriteria mayoritas

sederhana untuk memungkinkan terselenggaranya

pemerintahan sehari-hari. Kabinet baru dilantik oleh

Kepala Negara sebagai simbol dimulainya awal


(30)

Ciri-ciri Sistem Parlementer

1.

Parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih

secara langsung oleh warganegara yang berhak memilih melalui

pemilihan umum.

2.

Anggota dan pemimpin kabinet (Perdana Mentri) dipilih oleh parlemen

untuk menjalankan fungsi dan kewenangan eksekutif. Sebagian besar

maupun keseluruhan anggota kabinet biasanya juga menjadi anggota

parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda, yakni legislatif dan

eksekutif. Hal ini berarti yang memerintah adalah partai pemenang

pemilu atau koalisi partai-partai manakala tidak ada satu partai yang

mencapai suara mayoritas.

3.

Kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat mayoritas dukungan dari

parlemen. Dalam hal ini berarti parlemen dapat menjatuhkan kabinet

manakala mayoritas parlemen memberikan “mosi tidak percaya” kepada

kabinet.

4.

Manakala kebijakannya tidak mendapat dukungan dari parlemen,

Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen, lalu menetapkan waktu

penyelenggaraan pemilu untuk membentuk parlemen yang baru.

5.

Fungsi kepala pemerintahan (Perdana Menteri) dan fungsi kepala

negara (Presiden, Raja) dilaksanakan oleh orang yang berlainan.

(Surbakti, 1992 :170 )


(31)

Skema Dasar Sistem Pemerintahan Demokrasi

(Sistem Presidensial/ Parlementer Dan Unikameral/Bikameral)

Dikutup Dari Buku Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi Yang Berkedaulatan Rakyat Oleh; Hendarmin Ranadireksa

RAKYAT

(Warganegara)

PEMILU

Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat Angket/JAjak Pendapat

YUDIKATIF

PRESIDEN

(Kepala Negara)

MAJELIS TINGGI

(

UPPER HOUSE

)

Aspirasi

KEWILAYAHAN

PERDANA MENTERI

(Kep. Pemerintahan

MAJELIS RENDAH

(

LOWER HOUSE

)

Aspirasi IDEOLOGI

Bekerja sepanjang Tahun

KETERANGAN

Sistem Presidensial Sistem Unikameral


(32)

KONSEP-KONSEP POLITIK

(Teori politik, Masyarakat, Kekuasaan dan Negara)

Oleh:

Adiyana Slamet


(33)

Pengertian Teori

• Teori adalah abstraksi dari realitas

• Teori terdiri dari prinsip –prinsip dan definisi-definisi yang

secara konspetual mengorganisasikan aspek-aspek

dunia empiris secara sistematis.

• Teori merupakan seperangkat pernyataan yang

sistematis, metodis, logis dan faktual yang dikemukakan

untuk menjelaskan dan memprediksi sebuah realitas

• Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai

beberapa fenomena (Budiardjo, 1998:30)

• Teori merupakan perumusan dan kongkretisasi

idea-idea yang abstrak (Isjwara, 1999:66)


(34)

Fungsi-fungsi Teori

• Mengorganisasikan dan menyimpulkan.

• Memfokuskan.

• Menjelaskan.

• Mengamati.

• Memprediksi

• Komunikasi

• Kontrol/mengawasi

• Generatif


(35)

Fungsi Teori Politik

Menurut David Easton (Varma, 2007:133) teori politik memenuhi

sejumlah fungsi:

1.

Memungkinkan mengenali variabel-variabel politik yang penting

dan menerangkan ubungan masing-masing.

2.

Adanya kerangka teori yang diterima secra luas oleh para peneliti

di lapanga agar dapat memungkinkan diadakannya perbandingan

antara hasil-hasil penelitian yang bermacam-macam, dengan

demikian orang tidak hanya dapat memeriksa hasi kesimpulan

yang diambil oleh pelakupenelitian terdahulu, tapi juga dapat

menunjukan ilayah riset yang masih membutuhkan tambahan

penelitian secara empiris.

3.

Adanya kerangka teori, setidak-tidaknya sekumpulan

konsep-konsep yang secara relatif konsisten, juga menoong kita

membuat riset yang lebih dapat diandalkan.


(36)

Teori Politik

Teori politik adalah bahasan dan generalisasi

dari fenomena yang bersifat politik. Dengan

perkataan lain teori politik adalah bahasan dan

renungan atas:

1. Tujuan dari kegiatan politik

2. Cara-cara untuk mencapai tujuan itu

3. Kemungkinan-kemungkinan dan

kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik

yang tertentu, dan

4. Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh

tujuan politik itu (Budiardjo, 1998:30)


(37)

Menurut Easton (Varma, 2007:130) Teori

politik terdiri dari tiga unsur:

1. Keterangan tentang fakta-fakta atau deskriptif

2. Teori murni, atau teori sebab akibat yang

berusaha mencari hubungan yang dianggap

ada antara fakta-fakta, dan

3. Teori nilai yang menentukan

keterangan-keterangan preferensi yang saling

berhubungan.

Fakta menurut Easton dapat didefinisikan

“kenyataan yang khusus disusun untuk sebuah

kepentingan teori”.


(38)

Menurut Thomas P. Jenkin

The Study Of

Political theory

dibedakan dua macam teori

politik

:

1.

Teori-teori yang mempunyai dasar moril dan yang

menentukan norma-norma politik (norms for political

behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan

nilai (value) maka teori-teori ini boleh dinamakan

valuational

(mengandung nilai). Yang termasuk teori

golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik

sistematis, ideologi dan sebagainya (pendekatan

klasik/tradisional).

Fungsi teori ini menentukan pedoman dan patokan

yang bersifat moral dan yang sesuai dengan

norma-norma moral.


(39)

Filsafat Politik (Political Philosopy)

Filsafat politik mecari penjelasan yang

berdasarkan ratio. Ia melihat jelas adanya

hubungan antara sifat dan hakekat dari

phenomena politik. Pokok utama dari filsafat

politik ialah persoalan-persoalan yang

menyangkut methaphysika dan epistemologi

harus dipecahkan dulu sebelum

persoalan-persoalan politik yang kita alami sehari-hari.

Menurut Plato filsafat politik adalah “usaha

mencapai pengetahuan politik atau


(40)

Teori Politik Sitematis (

Systematic Political

Theory)

Teori-teori politik ini tidak memajukan

suatu pandangan tersendiri mengenai

metaphysika dan epistemologi. Tetapi

mendasarkan diri atas

pandangan-pandangan yang sudah lazim diterima

pada masa itu. Jadi, ia tidak menjelaskan

asal-usul atau cara lahirnya norma-norma,

tetapi hanya mencoba untuk

merealisasikan norma-norma tu dalam

suatu program politik.


(41)

Ideologi Politik (Political Ideology)

Ideologi politik adalah “himpunan nilai-nilai, idea,

norma-norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki

seseorang atau kelompok, atas dasar dia menentukan

sikapnya terhadap kejadian dan problem politik yang

dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku

politiknya”. Nilai-nilai dan idea-idea ini merupakan sistem

yang berpautan. Dasar dari ideologi politik adaah

keyakinan akan adanya suatu pola tata-tertib sosial

politik yang ideal (Islamisme,Marhaenisme

(Pancasila),demokrasi,Marxisme, liberalisme,

Fascisme,sosialisme dll)


(42)

2.

Teori-teori yang

menggambarkan dan

membahas phenomena dan

fakta-fakta politik dengan

tidak mempersoalkan

norma-norma atau nilai.(pendekatan

modern/behavioralisme)


(43)

Masyarakat

Mc Iver: “ Masyaratat suatu sistem hubungan-hubungan yang tertib.

Dan menurut Harold J Laski masyarakat adalah sekelompok manusia

yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai terwujudnya

keinginan-keinginan bersama”.

Dalam mengamati masyarakat di sekelilingnya, Harold Laswell

memperinci delapan nilai (Masyarakat Barat), yaitu:

1.Kekuasaan

2.Pendidikan/penerangan

3.Kekayaan

4.Kesehatan

5.Keterampilan

6.Kasih sayang

7.Kejujuran dan keadian

8.Keseganan, respek


(44)

Kekuasaan

Kekuasaan: “kemampuan seseorang atau suatu

kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku

orang atau kelompok lain sesuai dengan

keinginan dari pelaku atau orang yang memiliki”.

kekuasaan politik adalah “kemampuan untuk

mempengaruhi kebijakan umum (pemerintah)

baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya

sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang


(45)

Dimensi-dimensi Kekuasaan

Untuk memahami gejala-gejala politik kekuasaan secara tuntas maka

kekuasaan ditinjau dari enam dimensi, yaitu:

1.

Dimensi Potensial dan Aktual. (Dimensi kekusaan potensial memiliki

sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, senjata, informasi

pengetahuan, populeritas, status sosial yang tinggi, massa yang

terorgaisisr dan jabatan). (Kekuasaan aktual apabila dia telah

menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan politik

secara efektif)

2.

Dimensi Konsensus dan Paksaan. (dimensi paksaan cinderung

memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan

konflik)

3.

Dimensi Positif dan Negatif

4.

Dimensi Jabatan dan Pribadi

5.

Dimensi Implisit dan Eksplisit


(46)

Pelaksanaan Kekuasaan Politik

Tiga masalah utama yang selalu diamati oleh

ilmuan politik sehubungan dengan kekuasaan

politik, yakni:

1. Bagaimana kekusaan politik dilaksanakan

2. Bagaimana kekuasaan didistribusikan, dan

3. Mengapa seseorang atau kelompok tertentu

memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada

orang atau kelompok lain dalam situasi dan


(47)

Negara

Negara merupakan integrasi dari keuasaan politik, ia adalah

organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah organisasi

yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya

secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang

dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama (seluruh

warga Negara).

Roger H. Soltau

: “ Negara adalah alat (agency) atau wewenang

(authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan

bersama, atas nama masyarakat”

Harold J. Lasksi

: “Negara adalah suatu masyarakat yang

diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat

memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau

kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.”

Max Weber

: “ negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai

monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam

suatu wilayah.”


(48)

DEMOKRASI

(Pengertian Demokrasi,Demokrasi Konstitusional, Gagasan

Demokrasi dan Perkembangannya di Indonesia, Demokrasi dalam

Perspektif Islam Dan Demokrasi dalam Terminologi Komunis)

Oleh;

Adiyana Slamet


(49)

Pengertian Demokrasi

Pandangan beberapa ahli Politik terhadap istilah

kedaulatan rakyat (

people souveriegnty

)

diidentikkan dengan istilah demokrasi

(

democracy

) dengan argumen bahwa kedua

istilah tersebut sama-sama populer pada dua

belahan dunia yang berbeda. Secara etimologi

,

asal kata demokrasi berasal dari bahasa latin,

yakni

demos

, yang artinya rakyat dan

kratos/kratein

, yang artinya kekuasaan/berkuasa

(pemerintahan). Sehingga dapat diartikan


(50)

Pengertian Demokrasi

Robert Dahl (

On Democracy, New Haven

, CN: Yale University Press,

1998) menyebutkan “Demokrasi memberikan kesempatan untuk 1)

partisipasi secara efektif, 2) setara dalam hak suara, 4) menjalankan kontrol

akhir terhadap agenda, dan 5) melibatkan orang dewasa. Institusi-institusi

politik penting untuk mencapai tujuan-tujuan; 1) Pejabat terpilih, 2) Pemilu

yang bebas, adil dan rutin, 3) kebebsan berpendapat, 4) adanya sumber

informsi alternatif, 5) otonomi asosiaonal, dan 6) kewarganegaraan yang

inklusif”

Soekarno

, dalam Kholid O. Santosa (2006 : 15) mengatakan bahwa,

“demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Cara pemerintahan yang memberi

hak kepada semua rakyat untuk memerintah”.

Moh. Natsir dalam

Kholid, O. Santosa (2005 : 139) mengatakan

“Demokrasi merupakan dasar hidup yang kuat dalam hati seluruh bangsa

Indonesia”

Dari berbagai definisi-definisi tentang demokrasi di atas muncul persepsi

yang berbeda, ada yang berpandangan minor (

Aristoteles, Menchen

dan

Shaw

) hingga ke pandangan yang optimistis. Namun demikian kata kunci

dari pendefinisan demokrasi tersebut menempatkan rakyat pada posisi

yang penting dalam pengelolan pengambilan keputusan melalui partisipasi

dan kontrol


(51)

Dalam Ilmu Politik dikenal dua macam

pemahaman tentang Demokrasi; Pemahaman

Secara Normativ dan Empirik

Pemahaman Secara Normativ

Pendekatan klsik normative memahami demokrasi sebagai sumber

wewenang dan tujuan (resep bagaimana demokrasi itu

seharusnya). Pendekatan klasik normative lebih banyak

membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara

substantif dan umumnya mendefinisikan demokrasi dengan

istilah-istilah kehendak rakyat sebagi sumber alat untuk mencapai

kebaikan bersama, seperti ungkapan “Pemerintahan dari Rakyat,

oleh Rakyat, dan untuk Rakyat”. Ungkapan normativ tersebut

biasanya dituangkan dalam konstitusi pada masing-masing negara,

misalnya dalam UUD 1945 bagi Pemerintahan Repulik Indonesia,

tetapi pemahaman secara normativ ini beum tentu dapat dilihat

dalam kehidupan politik sehari-hari dalam satu negara. Affan

Gafar,Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (1999:3)


(52)

Pemahaman Secara Empiris

Pendekatan empiris-minimalis dapat membantu

memberikan titik terang dalam menemukan dua

perspektif yang umum digunakan dalam memilih tipt-tipe

demokrasi. Pertama, adalah perspektif yang merujuk

pada sebuah bentuk politik di mana warga masyarakat

terlibat langsung dalam pemerintahan dan dalam

melahirkan peraturan. Kedua, perspektif yang merujuk

bagaimana mekanisme proses pengambilan keputusan

itu diselenggarakan. Pada umumnya pendefinisan

demokrasi diletakkan pada dasar sebuah pemerintahan

dari rakyat, bukannya dari para Aristokrat, kaum

Monarki, Birokrat, para ahli ataupun para pemimpin

agama, oleh rakyat dan untuk rakyat. Affan Gafar,Politik

Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (1999:4)


(53)

Penglompokan Demokrasi

Demokrasi pada perkembanganya dapat dikelompokan menjadi dua tipe, yaitu

demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.

Demokrasi Langsung

Pada prakteknya menempatkan rakyat sebagai peran utama dalam pengambilan

keputusan, hal itu berbeda dengan demokrasi perwakilan yang memberikan mandat

kepada wkil-wakilnya yang terdapat di dalam lembaga perwakilan rakyat dalam hal

pengambilan keputusan. Demokrasi langsung

(direct demokrasi)

adalah bentuk

pemerintahan dimana hak untuk pengambilan keputusan politik dijalankan langsung

oleh seluruh badan warga negara. Tipe demokrasi langsung hanya dapat berhasil

menyelesaikan permasalahan dalam lingkungan entitas kecil.

Demokrasi perwakilan

Bentuk pemerintahan dimana warga masyarakat juga menjalankan hak yang sama

dalam menjalankan pengambilan keputusan politik, namun bukan dalam kapsitas

personal melainkan melalui perwakilan yang ditunjuk dan bertanggung jawab

terhadapnya. Dua elemen yang paling esensial dalam demokrasi perwakilan yaitu

dipisahkannya antara pemerintah dan warga masyarakat dan secara periodic

diselenggarakan pemilihan umum sebagai media rakyat untuk mengontrol

pemerintah. Jadi mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat

parlemen dan pemerintahan melalui sistem pemilihan umum. Abdy Yuhana,

Sistem

Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Bandung: Fokus Media (2007:38-39)


(54)

Demokrasi Konstitusional

Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah

gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis

adalah pemerintahan yang terbatas

kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak

sewenang-wenang terhadap warga negaranya.

Pembatasan-pambatasan kekuasaan

pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka

dari itu sering disebut “Pemerintahan yang

berdasarkan Konstitusi”

(Constitutional


(55)

Syarat Dasar Pemerintahan Demokratis

1. Perlindungan konstitusional

2. Badan kehakiman yang bebas tidak memihak

3. Pemilihan umum yang bebas

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat

5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan

beroposisi


(56)

Nilai yang mendasari Demokrasi Menurut Henry B.

Mayo dalam Budiardjo (1998:62-64):

1.

Menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga.

2.

Menjamin adanya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang

berubah.

3.

Menyelenggarakan pergantian kepemimpinan/pemimpin secara teratur

4.

Membatasi pemakaian kekerasan secara minimun.

5.

Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman

6.

Menjamin tegaknya keadilan

untuk menyelenggarakan nilai-nilai demokrasi diatas maka perlu diselenggarakan

beberapa lembaga sebagai berikut:

Pemerintahan yang bertanggung jawab

Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-goongan dan

kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih melalui pemilihan umum

yang bebas dan rahasia.

Suatu organisasi poitik yang mencakup satu atau lebih partai politik (sistem

dwi-partai atau multi dwi-partai)

Pers dan media yang bebas untuk meyatakan pendapat

Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak azasi dan

mempertahankan keadilan.


(57)

Moh. Mahfud MD

[

1

]

mengklsifikasi kedalam tiga periode perkembangan politik di Indonesia; (1)

periode 1945-1959 adalah demokrasi liberal, (2) periode 1959-1966 adalah demokrasi terpimpin dan

(3) Periode 1966-sekarang (yang dimaksud berkauasanya pemerintahan orde baru) adalah demokrasi

Pancasila.

1. Periode 1945-1959 Demokrasi Liberal, indikatornya sebagai berikut:

Partai-partai politik sangat dominant yang menentukan arah perjalanan Negara melalui badan

perwakilan;

Eksekutif berada pada kondisi lemah, sering jatuh bangun karena mosi partai;

Kebebasan Pers relative lebih baik, bahkan pada periode ini peraturan sensor dan pemberedelan

yang diberlakukan sejak Zaman Belanda dicabut.

2. Periode 1959-1966 Demokrasi Terpimpin, indikatornya sebagai berikut:

Partai-partai sangat lemah; kekuatan politik ditandai dengan tarik tambang Soekarno, Angkatan Darat,

dan PKI;

Eksekutif yang dipimpin oleh Presiden sangat kuat, apalagi Presiden merangkap sebagai Ketua DPA

yang dalam praktik menjadi pembuat dan selector produk legislatif.

Kebebasan pers sangat terkekng, pada zaman ini terjadi tindakan anti pers yang jumlahnya sangat

spektakuler.

3.Periode 1966- sekarang (Pemerintahan Soeharto) indikatornya sebagai berikut:

Partai politik hidup lemah, terkontrol secara ketat oleh Eksekutif; lembaga perwakilan penuh dengan

tangan-tangan Eksekutif;

Eksekutif sangat Kuat dan intervensionis serta menentukan spectrum poltrik nasional;

Kebebasan pers terkekang dengan adanya lembaga SIT yang kemudian dig anti dengan SIUPP.

Dalam membicarakan tentang demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga, kita tidak terlepas dari

alur periodesasi sejarah politk di Indonesia. yaitu, apa yang disebut sebagi periode pemerintahn masa

revolusi kemerdekaan, pemerintahan parlementer

(representative democracy)

, pemerintahan

demokrasi terpimpin

(guided democracy)

, dan pemerintahan orde baru

(Pancasila Democracy)

[2]

1] Moh Mahfud MD,

Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi

,(1999:156).

[2]Affan Gafar,Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (1999:10)


(58)

Pada saat penyusunan UUD 1945, upaya untuk membangun paham demokrasi dari prinsip-prinsip ajaran agama (Islam) seperti prinsip musyawarah, nampak dari pendapat atau pandangan H. Agus Salimdan Muh. Yamin. Dalam Sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, H.Agus Salim menggambarkan permusyawaratan dalam kerakyatan dengan menyatakan “mencapi kebulatan pendapat”. Lebih lanjut H. Agus Salimmenyatakan:

“Kebetulan cara permufakatan yang kita cari berlainan sekali daripada yang terpakai dalam demokrasi barat itu. Maka jikalau ternyata dalam, permusyawaratan, bahwa disitu ada satu dari sebagian besar yang dengan

kekerasan keyakinan kehendak menyampaikan suatu maksud dengan kerelaan penuh untuk menyumbangkan tenaga dan usahanya untuk mencapai maksud itu, jikalau tidak nyata-nyata maksud itu dapat diterangkan akan membawa bahaya atau bencana besar maka bagian yang lain dalam permusyawaratan itu tidak menyagkal, melainkan membulatkan kata sepakat supaya baik dicoba untuk dengan ikhlas menjalankan keputusan bersama itu, sehingga bolehlah terbukti betul atau salahnya”

Dalam pada itu, Muh. Yaminberpandangan bahwa permusyawaratan untuk mencapai mufakat, merupakan perpaduan antara dua konsepsi, yaitu paham permusyawaratan yang bersumber dari ajaran Islam, sedangkan mufakat bersumber dari tatanan Indonesia asli (1).

Mengenai permusyawaratan, Muh. Yaminbertolak dari Al Qur’an Surat Asysyura ayat 38yang menyatakan bahwa “segala urusan dimusyawarahkan di antara mereka”. Mengenai paham mufakat, Yaminmenyatakan bahwa sebelum Islam berkembang di tanah Indonesia, sudah sejak dahulu susunan desa, susunan masyarakat bersandar pada keputusan bersama yang dinamai kebulatan bersama. Dasar kebulatan atau dasar mufakat itu menghilangkan dasar perseorangan dan menimbulkan hidup bersama dalam masyarakat yang teratur dalam tata Negara desa yang dipelihara secara turun temurun dan tidak sirna oleh pengaruh agama Budha ataupun agama Hindu. Sampai kemudian agama Islam masuk ke Indonesia dan berkembang, dasar mufakat hidup dengan suburnya, karena dengan segera bersatu dengan firman musyawarah (2).

(1)] I Gde Pantja Astawa, Op.cit. hlm 125. (2) Ibid, hlm 92.


(59)

Demokrasi Dalam Terminologi Komunis

Selain demokrasi konstitusional yang

bermacam-macam variasinya yang dianut oleh

mayoritas negara-negara di dunia, maka mesti

disadari oleh para pengkaji politik akan adanya

demokrasi yang menitik beratkan pada ajaran

Marxis yang ditafsirkan oleh Lenin

(Marxisme-Leninisme) yang muncul pada abad ke-19

dalam istilah demokrasi ploletar, demokrasi

soviet dankhusus di Asia dan Afrika muncul

istilah demokrasi nasional


(60)

Ajaran Karl Marx

lahirnya ideologi marxism bermula pada

abad ke-19 disaat kaum buruh di Eropa

Barat sangat memprihatinkan, kemajuan

industrialisasi menimbulkan keadaan

sosial yang sangat merugikan kaum buruh

(upah, jam kerja, wanita dan anak-anak,

kesehatan)


(61)

Karl Marx berasal dari jerman, melihat kondisi seperti itu

Marx muda juga mengecam keadaan ekonomi, maka dia

berpendapat untuk merubah kondisi seperti itu tidak

mungkin dilakukan perubahan tambal sulam, maka yang

harus dilakukan adalah perubahan secara radikal

melalui pendobrakan sendi-sendinya, untuk keperluan

itu maka dia menyususn teori sosial yang menurut dia

harus didasari hukum-hukum ilmiah, maka keluarlah

istilah sosialisme ilmiah (Secientific Sosialism)

dalam menyusun teori mengenai perkembangan

masyarakatnya ia sangat tertarik pada gagasan filusuf

jerman George Hegel mengenai dialektika, Marx

berpenapat “semua masyarakat hanya menganalisis

masyarakat, tetapi masalah sebenarnya adalah


(62)

Hukum Dialektika Hegel

Hegel seorang guru besar filsafat pada Universitas Berlin

merupakan tokoh dari mazhab idealisme, menurutnya kebenaran

dalam keseluruhanya hanya ditangkap oleh pikiran manusia melalui

proses dialektika (proses dari Thesis, melalui antithesis menuju ke

shyntesis, kemudian mulai lagi dari permulaan dan seterusnya)

sampai kebenaran yang sempurna terungkap. Dalam menelaskan

proses dialektika Hegel mengatakan bahwa proses ini dilandasi oleh

dua gagasan: Pertama , gagasan bahwa semua berkembang dan

terus-menerus berbah; kedua, gagasan bahwa semua hubungan

satu sama lain (konsep A, agar supaya pikiran manusia menangkap

konsep yang lebih dekat kepada kebenaran yang sempurna, maka

konsep A harus dihadapkan dengan konsep B, konsep B

merupakan kebalikan dari konsep A. dari hasil dari konfrontasi

antara konsep A dan konsep B timbulah konsep Cyang dinamakan

Shyntesis yang merupakan hasil pergumulan antara Thesis (konsep

A) dan antithesis (konsep B), proses Thesis, antithesis dan


(63)

Marx tertarik oeh gagasan dialektika Hegel, karena

didalamnya terdapat unsur kemajuan melalu konflik dan

pertentangan, dan unsur inilah yang dia perlukan untuk

menyusun teorinya mengenai perkembangan

masyarakat melalui revolusi. Untuk melandasi teori

sosialnya, maka dia merumuskan dulu teori mengenai

Matreialism Dialektis (pertentangan antara segi-segi

yang berlawanan dan semua berkembang terus)

kemudian konsep itu digunakan untuk menganalisis

sejarah perkembangan masyarakat yang disebut

Materialisme Historis

. Atas dasar analisis terahir ini

sampai pada kesimpulan bahwa menurut hukum ilmiah

dunia kapitalis akan mengalami revolusi (Revolusi

Ploletar) yang akan menghancurkan sendi-sendi

masyarakat kapitalis, yang akan menimbulkan apa yang

disebut masyarakat komunis


(64)

Pandangan Negara dan Demokrasi

Marx negara adalah alat pemaksa yang akhirnya akan

melenyapkan sendiri dengan munculnya masyarakat

komunis. Marx dan Engels “negara tak lain dan tak

bukan mesin yang dipakai oleh suatu kelas untuk

menindas kelas lain”, dan selanjutnya dikatakan negara

hanya suatu lembaga transisi yang dipakai dalam

perjuangan untuk menindas lawan-lawanya dengan

kekerasan.dari pandangan diatas maka demokrasi

yandicetuskan oleh negara-negara yang menganut

demokrasi liberal da variannya dianggap demokrasi

yang dikuasai oleh kelas tetentu.


(65)

Demokrasi Rakyat

menurut peristilahan komunis, demokrasi

rakyat adalah “bentuk khusus demokrasi

yang memenuhi fungsi diktatur ploletar”

Menurut Georgi Dimitrov mantan perdana

mentri bulgaria mengartikan demokrasi

rakyat merupakan “ negara dalam masa

transisi yang bertugas untuk menjamin


(66)

Ciri-ciri Demokrasi Rkyat

• Suatu wadah front persatuan yang merupakan

landasan kerjasama partai komunis dengan

golongan-golongan lainnya dalam masyarakat

dimana partai komunis berperan sebagai

penguasa.

• Penggunaan dari beberapa lembaga

pemerintahan dari negara yang lama. Di R.R.C

gagasan demokrasi rakyat dipengaruhi oleh

pemikiran-pemikiran Mao Tse Tun yang

melancarkan dadasan mengenai Demokrasi

Baru


(67)

GAGASAN DEMOKRASI DAN PERKEMBANGANNYA DI

INDONESIA

1

Oleh: Adiyana Slamet

Berbicara tentang demokrasi di Indonesia, kita memerlukan persyaratan khusus. Persyaratan khusus tersebut adalah dilepaskannya semacam “bias” dan etnosentrisme. Kita harus menghindarkan diri dari etnosentrisme, karena hal itu membuat kita tidak mampu menatap diri kita dengan objektif. Etnosentrisme membuat kita melihat segala hal apa yang kita miliki sekarang ini adalah yang terbaik, sedangkan yang ada di tempat lain adalah sebaliknya. Pernyataan-pernyataan yang sering kita dengar seperti: “itu ‘kan demokrasi liberal”, “itu ‘kan demokrasi barat, kita punya budaya demokrasi sendiri’, merupakan salah satu bentuk etnosentrisme. Diskusi ilmiah tentang demokrasi harus menghindarkan diri dari sikap seperti itu2.

Dalam perkembangannya tumbuhnya demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari gagasan-gagasan pendiri Republik Indonesia yang menghendaki demokrasi sebagai pilihan untuk penyelenggaran pemerintahan. Baik Soekarno, Moh. Hatta, Agus Salim Maupun Muhamad Yamin gagasan-gagasannya tersebar dalam beberapa tulisan yang telah di buatnya.

Soekarno dalam tulisannya di majalah Pikiran Rakyat telah meletakkan dasar-dasar pemikiran mengenai negara nasional yang bersifat demokratis bagi Indonesia merdeka dikemudian hari. Dalam tulisannya itu, Soekarno mengemukakan bahwa demokrasi yang dicita-citakannya adalah suatu sistem demokrasi yang tidak saja bersifat politik seperti di barat, melainkan juga mencakup ekonomi. Untuk maksud tersebut Soekarno menggunakan istilah sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi3.

Dalam pidato pada tanggal 1 uni 1945 Ir. Soekarno Mengatakan4:

“Saudara-saudara, saya usulkan. Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sial! Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini…

saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapai badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: Politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid…

…saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa

1

Disampaikan pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik pertemuan ke-10 (IK-1,3,4,5)

2

Gde Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi UNPAD Bandung, (2000:85).

3

Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi (1999: 2 & 3).

4


(68)

sebab? Oleh karena monarchie “Vooronderstelt Ertelijheid”, turun temurun….maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih”….

Kepincangan demokrasi parlementer Barat menurut Ir. Soekarno:

“Di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi dilapangan ekonomi tetaplah ia budak. Parlemen boleh mengambil putusan apa saja, parlemen boleh memutuskan sapi menjadi kuda, tetapi parlemen tidak boleh mengaru biru milik pribadi. Milik pribadi itu harus tetap dijungjung tinggi sebagai satu pusaka yang keramat5.

Dalam tulisannya pada Daulat Rakyat yang berjudul “demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat”, Drs. Moh. Hatta, mengemukakan bahwa di dalam cita-cita rapat dan cita-cita rakyat protes dapat dibangun demokrasi politik, sedangkan di dalam cita-cita tolong menolong bisa menjadi dasar demokrasi ekonomi. Mengenai hal ini, Hatta antara lain mengatakan:

“Di atas sendi yang pertama dan kedua, dapat didirikan tiang-tiang politik daripada demokrasi yang sebenarnya: satu pemerintahan negeri yang dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya atau badan-badan perwakilan, sedsangkan yang menjalankan kekuasaan pemerintahan takluk kepada kemauan rakyat. Untuk menyuisun kemauan itu rakyat mempunyai hak yang tidak boleh dihilangkan atau dibatalkan; hak merdeka bersuara, berserikat dan berkumpul6. lebih lanjut dikatakan Hatta:

“Di atas sendi yang ketiga dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orangbanyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar kepada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan badan-badan perwakilannya”7.

Apabila dicermati dengan seksama, Hatta sesungguhnya tidak menolak sistem demoklrasi Parlementer seperti Soekarno. Sebaliknya Hatta menghendaki suatu demokrasi dimana rakyat yang benar-benar memiliki kedaulatan dan itu hanya bisa berkembang di dalam sistem parlementer. Selain itu, yang ditolak oleh Hatta pada demokrasi barat adalah asas individualisme yang berlebihan, sehingga tidak ada lagi perlindungan bagi pemilikan bersama8.

5

Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Panitia Penerbit dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, (1963 : 386).

6

Mohammad Hatta, Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, Dalam Daulat Rakyat, No.12, 10 Januari 1932.

7

Ibid.

8


(69)

Berbagai visi yang sampaikan oleh dua tokoh pendiri Republik Indonesia, menegaskan bahwa paham demokrasi hendak diletakan dalam pondasi Negara ini. Persamaan itu nampak dari pemahaman mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik, juga sistem ekonomi.

Pada saat penyusunan UUD 1945, upaya untuk membangun paham demokrasi dari prinsip-prinsip ajaran agama (Islam) seperti prinsip musyawarah, nampak dari pendapat atau pandangan H. Agus Salim dan Muh. Yamin.

Dalam Sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, H.Agus Salim menggambarkan permusyawaratan dalam kerakyatan dengan menyatakan “mencapi kebulatan pendapat”. Lebih lanjut H. Agus Salim menyatakan:

“Kebetulan cara permufakatan yang kita cari berlainan sekali daripada yang terpakai dalam demokrasi barat itu. Maka jikalau ternyata dalam, permusyawaratan, bahwa disitu ada satu dari sebagian besar yang dengan kekerasan keyakinan kehendak menyampaikan suatu maksud dengan kerelaan penuh untuk menyumbangkan tenaga dan usahanya untuk mencapai maksud itu, jikalau tidak nyata-nyata maksud itu dapat diterangkan akan membawa bahaya atau bencana besar maka bagian yang lain dalam permusyawaratan itu tidak menyagkal, melainkan membulatkan kata sepakat supaya baik dicoba untuk dengan ikhlas menjalankan keputusan bersama itu, sehingga bolehlah terbukti betul atau salahnya”9.

Dalam pada itu, Muh. Yamin berpandangan bahwa permusyawaratan untuk mencapai mufakat, merupakan perpaduan antara dua konsepsi, yaitu paham permusyawaratan yang bersumber dari ajaran Islam, sedangkan mufakat bersumber dari tatanan Indonesia asli10.

Mengenai permusyawaratan, Muh. Yamin bertolak dari Al Qur’an Surat Asysyura ayat 38 yang menyatakan bahwa “segala urusan dimusyawarahkan di antara mereka”. Mengenai paham mufakat, Yamin menyatakan bahwa sebelum Islam berkembang di tanah Indonesia, sudah sejak dahulu susunan desa, susunan masyarakat bersandar pada keputusan bersama yang dinamai kebulatan bersama. Dasar kebulatan atau dasar mufakat itu menghilangkan dasar perseorangan dan menimbulkan hidup bersama dalam masyarakat yang teratur dalam tata Negara desa yang dipelihara secara turun temurun dan tidak sirna oleh pengaruh agama Budha ataupun agama Hindu. Sampai kemudian agama Islam masuk ke Indonesia dan berkembang, dasar mufakat hidup dengan suburnya, karena dengan segera bersatu dengan firman musyawarah11.

Persamaan pemikiran beberapa tokoh pendiri bangsa dalam memaknai demokrasi terakomodasikan dalam UUD. Hal itu nampak dari rumusan yang terkandung dalam UUD 1945, baik yang terdapat dalam Pembukaan (yang didalamnya memuat rumusan dasar Negara Pancasila) maupun dalam batang Tubuh.

10

I Gde Pantja Astawa, Op.cit. hlm 125.

11


(70)

Namun sebagai sebuah cita-cita, demokrasi di Indonesia tidak berhenti sampai Indonesia merdeka. Sebgai “das sollen”, usaha-usaha menemukan stelsel dan mekanisme demokrasi yang cocok bagai masyarakat Indonesia merdeka. Tetapi pada tataran “das sein”, demokrasi itu bukan sesuatu yang mudah dijelmakan. Karena itu, selama perjalanan Indonesia merdeka, telah dijalankan tiga sistem demokrasi, yaitu demokrasi Liberal, Demokrasi terpimpin dan Demokrasi pancasila12.

Moh. Mahfud MD13 mengklsifikasi kedalam tiga periode perkembangan politik di Indonesia; (1) periode 1945-1959 adalah demokrasi liberal, (2) periode 1959-1966 adalah demokrasi terpimpin dan (3) Periode 1966-sekarang (yang dimaksud berkauasanya pemerintahan orde baru) adalah demokrasi Pancasila.

1. Periode 1945-1959 Demokrasi Liberal, indikatornya sebagai berikut:

a) Partai-partai politik sangat dominant yang menentukan arah perjalanan Negara melalui badan perwakilan;

b) Eksekutif berada pada kondisi lemah, sering jatuh bangun karena mosi partai; c) Kebebasan Pers relative lebih baik, bahkan pada periode ini peraturan sensor

dan pemberedelan yang diberlakukan sejak Zaman Belanda dicabut. 2. Periode 1959-1966 Demokrasi Terpimpin, indikatornya sebagai berikut:

a) Partai-partai sangat lemah; kekuatan politik ditandai dengan tarik tambang Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI;

b) Eksekutif yang dipimpin oleh Presiden sangat kuat, apalagi Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang dalam praktik menjadi pembuat dan selector produk legislatif.

c) Kebebasan pers sangat terkekng, pada zaman ini terjadi tindakan anti pers yang jumlahnya sangat spektakuler.

Periode 1966- sekarang (Pemerintahan Soeharto) indikatornya sebagai berikut:

(a) Partai politik hidup lemah, terkontrol secara ketat oleh Eksekutif; lembaga perwakilan penuh dengan tangan-tangan Eksekutif;

(b) Eksekutif sangat Kuat dan intervensionis serta menentukan spectrum poltrik nasional;

(c) Kebebasan pers terkekang dengan adanya lembaga SIT yang kemudian dig anti dengan SIUPP.

Dalam membicarakan tentang demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga, kita tidak terlepas dari alur periodesasi sejarah politk di Indonesia. yaitu, apa yang disebut sebagi periode pemerintahn masa revolusi kemerdekaan, pemerintahan parlementer (representative democracy), pemerintahan demokrasi terpimpin (guided democracy), dan pemerintahan orde baru (Pancasila Democracy)14

Pada masa demokrasi pemerintahan masa revolusi kemerdekaan para penyelenggara negara mempunyai komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik tumbuh dan berkembang dengan cepat.

13

Moh Mahfud MD, Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi, hlm 156.

14


(71)

Tetapi fungsinya yang paling utama adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan, dengan menanamkan kesadaran untuk bernegara serta menanamkan semangat anti imperialisme dan kolonialisme.

Demokrasi liberal dilekatkan pada penyelenggaraan demokrasi antara tahun 1945-1959. demokrasi liberal ini dikenal pula sebagai demokrasi parlementer, oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan Parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, Konstitusi RIS dan UUDS 195015. Demokrasi Liberal/Demokrasi Parlementer merupakan sebutan umum (seperti dalam banyak pernyataan pejabat di masa pemerintahan Orde Baru) yang bermaksud mengambarkan bahaya, kekuranagn dan akibat buruk yang ditimbulkan demokrasi tersebut dalam kurun waktu 1945-1959 terutama pada masa sistem pemerintahan parlementer16. Karena itu, demokrasi Liberal/Parlementer ini kemudaian ditinggalkan dan selanjutnya diperkenalkan sustu sistem politik baru, yaitu demokrasi terpimpin.

Demokrasi terpimpin ini muncul sebagai bnetuk reaksi penolakan ataupun koreksi terhadap demokrasi parlementer dengan tradisi liberalnya yang dinilai banyak menimbulkan keburukan atau kemunduran dalam meknisme penyelenggaraan pemerintahan. Secara konseptual, demokrasi terpimpin dikaitkan dengan Pancasila dan berbagai prinsip demokrasi. Terdapat tidak kurang dari 12 prinsip yang dijadikan landasan Demokrasi Terpimpin, seperti kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengakui adanya hak oposisi, bukan dictator, mencakup bidang politik, ekonomi, social dan sebagainnya17. Namun demikian sistem politik yang dinamakan Demokrasi terpimpin tidakl berlangsung lama, akibat gejolak politik yang mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Ir. Soekarno, bersamaan dengan hal tersebut demokrasi terpimpinpun berakhir.

Dalam rangka melaksanakan UUD 1945 secara muni dan konsekuen dan sekaligus koreksi terhadap demokrasi terpimpin, maka sejak orde baru dikembangkan sustu demokrasi yang dinamakan Demokrasi Pancasila18.

Demokrasi Pancasila hendak menggambarkan suatu demokrasi yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945 dengan menjadikan prinsip musyawarah-mufakat sebagai landasan utamanya. Disamping itu, dalam Demokrasi pancasila juga hendak dikembangkan beberapa macam keseimbangan19.

Pejabat Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, antara lain menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggungjawab

15

Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar, Tribisana Karya, Bandung, (1977 :183).

17

I Gde Pantja Astawa, Op. cit, hlm 96.

18

Istilah ini lahir sebagai lawan (dilawankan) terhadap istilah ‘Demokrasi Terpimpin” dibawah Pemerintahan Soekarno. Lihat Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, (2003: 42).

19

Sri Soemantri M, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (1993: 5-6).


(72)

kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk keadilan social. Pancasila berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong20.

Sebelum itu seminar II Angkatan Darat yang berlangsung pada bulan Agustus 1966 mengeluarkan “Garis-garis Besar Kebijaksanaan dan Rencana Pelaksanaan Stabilisasi Politik” yang dalam bidang politik dan konstitusioanal dirumuskan dengan :” Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan kembali asas-asas Negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga Negara, di mana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Dalam rangka ini perlu diuasahakan supaya lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan (depersonalization, institusionalization)”21

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah pemerintahan atau sistem politk seperti apakah Orde Baru yang melabelkan dirinya dengan demokrasi Pancasila? Karl D. Jackson( dalam Jackson and Pye, 1978), dengan menggunakan model analisis yang digunakan oleh Riggs dalam mengamati Thailand, menyebut Indonesia Orde Baru sebagai Negara birokratik atau Bureaucratic Polity. Dalam Negara seperti ini, biasanya sekelompol elite politik menguasai sepenuhnya pengambilan keputusan politik negara. Sementara, masyarakat hanya dilibatkan dalam proses implementasi kebijaksanan22. Sementara Dwight King (dalam Anderson and Kahin, 1992) menyebut Indonesia Orde Baru sebagai Bureaucratic Authoritarian with limited plurality. Dalam artian, birokrat-baik sipil maupun militer memnag sangat dominant, bahkan cenderung otoritarian, tetapi warna pluralisme tetap ada sekalipun terbatas. Yaitu, dengan mengorganisasikan kepentingan secara corporatist, seperti kepentingan buruh, petani, guru, dan lain sebagainya, yang disusun secara vertical, tidak horizontal sebagaimana dikenal dalam demokrasi23.

20

CSIS, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, Yayasan Proklamasi, Jakarta, (1976: 67).

21

Seminar Angkatan darat II, Garis-garis Besar Kebijaksanaan dan Rencana Pelaksanaan Stabilisasi Politik, Seskoad Bandung, 1966, dalam Moh. Mahfud MD, op.cit, hlm 43.

22

Affan Gafar, op.cit., hlm 36.

23


(73)

1

HAK AZASI MANUSIA

1

Oleh: Adiyana Slamet

Hak Azasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperolehnya dan dibawanya bersama dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan masyarakat. Hak Azasi Manusia (human raights) yang secara universal diartikan sebagai those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being oleh masyarakat di dunia perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Bahkan saat inipun hal tersebut masih berlangsung, dengan pelbagai dimensi permasalahan yang muncul karena pelbagai spektrum penafsiran yang terkait didalamnya. 2

Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat, proses berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi – berikut segala praksis-praksis implementasinya–terjadi seiring dengan berkembangnya ide untuk membangun suatu negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur masyarakat warga (civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta keududukan di hadapan hukum dan kekuasaan.3

Ketika Hak Asasi Manusia dideklarasikan di New York atas wibawa PBB pada tahun 1948, deklarasi itu adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari dan bertumpuk pada ide, doktrin dan atau konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan manusia sebagaimana yang telah lama dimengerti oleh Barat. Lebih lanjut lagi, deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak dan seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal. Kalau semula pada awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang masih pada lingkup nasional mengatasi partikularisme yang lokal dan atau etnik dan atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang kemanusiaan mengatasi partikulsrisme kebangsaan. Bukan suatu kebetulan manakala deklarasi itu secara resmi disebut The Universal Declaration Of Human Rights, dengan mengikutkan kata "universal" guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berlaku umum di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap siapapun dari bangsa manapun.

1

Disampaikan pada kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-12 (IK-1,3,4,5)

2

Muladi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam Bagir Manan, "Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum". Gaya Media Pratama, Jakarta. 1996, hal. 113

3

Sotandyo WignjoSoebroto, Hubungan Negara dan Masyarakat dalam kKonteks Hak Asasi Manusia;

Sebuah Tinjauan Historik dari Relativisme Budaya – Politik, makalah disampaikan pada Seminar

Pembanguna Hukum Nasional VIII diselenggarakan oleh BPHN DepKeh&HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.


(74)

2

Peta permasalahan HAM di pelbagai kawasan dunia menjadi sangat menarik, apabila dikaji adanya pelbagai kelompok pemikiran baik yang berkaitan dengan pendirian negara-negara, maupun kelompok-kelompok yang bersifat non pemerintah (NGO). Dalam hal ini menurut Muladi4 paling sedikit dapat diperinci adanya 4 (empat) kelompok pandangan, yakni pertama Kelompok berpandangan Universal-absolut, kedua

Kelompok berpandangan Universal-relatif, ketiga Kelompok berpandangan Partikularistik-absolut, keempat Kelompok berpandangan Partikularistik-relatif,

Namun demikian, yang menjadi persoalan besar sampai saat ini adalah apakah ide dan konsep harus bersifat demikian universalistik dalam artian yang mutlak? Ataukah sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh banyak wakil negara bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsir-tafsir yang lebih bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak asasi manusia itu harus ditegakkan kapan saja di mana saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana modelnya yang klasik dari Barat itu? Ataukah HAM hanya dipandang sebagai suatu yang universal dalam hal prinsip-prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu implementasinya – demi kemajuan dan penegakan HAM – mestilah selalu dilakukan dengan memperimbangkan dan atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang partikular?

Pada prinsipnya, sebenarnya semua negara di dunia ini menjunjung tinggi konsep hak-hak asasi manusia. Meskipun demikian, pelaksanaan konsep tersebut telah menjadi persoalan besar bukan saja pada tingkat politik dalam negeri tetapi pada tingkat hubungan internasional. Tampaknya konsep hak asasi manusia yang dianut disementara negara-negara Dunia Ketiga. Di antara negara-negara yang agak lantang menetang konsep "Barat" dan secara gigih memperjuangkan konsep "Timur" mengenai hak-hak sasi manusia terdapat Cina, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura dan juga Indonesia.5 Hal itu pun terjadi pada negara-negara Islam yang mempunyai pandangan berbeda tentang HAM dengan negara-negara Barat. Kalau kita perhatikan dan cermati permasalahan yang paling menonjol perbedaan tersebut yakni dari cara pandang yang berujung pada aplikasinya di tiap-tiap negara.

Sebelum membahas lebih jauh lagi tentang permasalahan diatas ada baiknya penulis paparkan terlebih dahulu perihal pandangan dari kelompok-kelompok pemikiran tentang universalisme-partikularisme dalam HAM, baik yang berkaitan dengan pendirian negara-negara, maupun kelompok-kelompok yang bersifat non pemerintah (NGO).

4

Muladi, Op.Cit. hal 115

5

Harold Crouch, Beberapa Catatan Tentang Hak Asasi Manusia, dalam Haris Munandar (ed) "Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia". Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 451


(75)

3

Dalam hal ini menurut Muladi6 paling sedikit dapat diperinci adanya 4 (empat) kelompok pandangan sebagai berikut:

1. Mereka yang berpandangan Universal-absolut yang melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan di dalam The International Bill of Human Rights. Mereka ini tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi negara-negara berkembang mereka ini seringkali dipandang eksploitatif, karena menerapkan HAM sebagai alat untuk menekan dan instrument penilai (tool of judgement).

2. Mereka yang berpandangan Universal-relatif. Mereka ini juga memandang persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian perkecualian (exeption) yang didasarkan atas asas-asas hukum international tetap diakui keberadaannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini ketentuan yang diatur dalam pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Right yang menegaskan bahwa:

"In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitation as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and resfect for the rights and freedom of others and of meeting the jus requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society".

3. Mereka yang berpandangan Patrikularistik-absolut, yang melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat chauvinis, egois, defensive dan pasif tentang HAM.

4. Mereka yang berpandangan Patrikularistik-relatif, yang memandang persoalan HAM disamping masalah universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen international harus diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan dan tertanam (embedded) dalam budaya bangsa. Pandangan ini tidak sekedar defensife, tetapi juga secara aktif berusaha mencari perumusan dan pembenaran karakteristik HAM yang dianutnya.

I. Hak-hak Universal dan Kebudayaan Politik

Menurut pandangan Timur itu, pelaksanaan hak-hak asasi tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan politik. Setiap Negara mempunyai tradisi dan kebudayaan sendiri

6


(76)

4

sehingga apa yang dianggap baik dan biasa di suatu Negara belum tentu baik dan biasa di Negara lain. Menurut kebudayaan politik Timur, yang senantiasa mereka utamakan adalah kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hak individu. Sebaliknya, menurut mereka, apa yang selalu diutamakan di kebudayaan Barat adalah hak individu. Dengan demikian di Negara-negara Barat, lebih lanjut menurut pendapat tersebut, setiap individu dapat menikmati kebebasan untuk berbuat sesuka hati tanpa terlalu mempersoalkan dampaknya terhadap masyarakat. Berbeda dengan doktrin liberal Barat, pendekatan timur ini Timur ini menjurus kepada konsep Negara yang integralistik (integralistic state) di mana setiap bagian masyarakat mempunyai fungsinya masing-masing. Pihak pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban untuk memerintah Negara itu dengan adil dan membawa masyarakat ke arah keadaan aman dan makmur. Keharmonian sangat dihargai, sedangkan konflik dianggap sebagai sumber perpecahan dan hal-hal buruk lainnya. Jika yang diutamakan hanya hak individu saja, konon seperti itulah yang lazim terjadi di Negara-negara Barat, dikhawatirkan bahwa pemerintah nantinya tidak dapat menjamin keharmonian masyarakat. Sebaliknya Negara secara keseluruhan akan dilanda anarki dimana setiap golongan melawan golongan lain dan Negara akhirnya akan hancur. 7

Gambaran tentang falsafah politik Barat yang dikemukakan dalam pandangan ini sebetulnya bersifat berat sebelah. Kalau kita mempelajari sejarah falsafah polirik Barat dari zaman Plato hingga zaman modern ini, maka kita akan menyadari bahwa kita tidak dapat menarik kesimpulan begitu saja bahwa falsafah Barat itu hanya mementingkan hak inidividu dan kebebasan, serta kurang memperhatikan kepentingan masyarakat. Dalam tradisi pemikiran politik Barat, ada pemikir-pemikir yang menggunakan kepentingan masyarakat dan ada pula yang lebih mementingkan individu berikut kebebasan dan hak-haknya. Boleh dikatakan bahwa butir-butir sejarah pemikiran falsafah politik Barat merupakan semacam rangkaian usaha untuk mencari keseimbangan antara kedua-duanya, yaitu kepentingan masyarakat di satu pihak dan hak individu di pihak lain,di mana tokoh-tokoh seperti Plato, Hobbes, dan Hegel misalnya, cenderung untuk memberi prioritas kepada kepentingan masyarakat, sedangkan tokoh-tokoh liberal seperti halnya Locke dan Mill lebih mementingkan hak individu. Tetapi yang jelas sama sekali tidak dapat dikatakan bahwasannya tokoh-tokoh pemikir Barat, yang paling liberal sekalipun, hanya mau memperhatikan kepentingan individu dan mengabaikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam karya klasiknya, yaitu on liberty, John Stuart Mill menetapkan politik pokok liberalisme. Menurut prinsip tersebut, individu adalah diberi kebebasan yang seluas-luasnya asalkan tidak merugikan kepentingan individu lain. Dengan

7


(1)

UNDANG-UNDANG DASAR

OLEH:

ADIYANA SLAMET


(2)

Pengertian dan Fungsi UUD

Undang-undang dasar merupakan hukum dasar atau hukum tertinggi disuatu negara yang mengatur tata

pemerintahan (dalam arti luas) yang harus ditaati bukan hanya oleh rakyat tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Menurut E.C.S. WADE dalam Budiardjo

(1998:96) Undang-undang dasar adalah “ Naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan

pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Jadi pada pokoknya dasar dari sistem pemerintahan diatur dalam suatu undang-undang dasar

Dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar

mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi

kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak-hak warga negara lebih


(3)

lebih lanjut dikatakan Carl J. friedrich dalam

Budiardjo (1998:96), konstitusionalisme

merupakan “gagasan bahwa pemerintahan

merupakan suatu kumpulan kegiatan yang

diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat,

tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan

yang diharapkan akan menjamin bahwa

kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan

itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang

mendapat tugas untuk memerintah, maka

dengan jalan membagi kekuasaan,

konstitusionalme menyelenggarakan suatu

sistem pembatasan yang efektif atas

tindakan-tindakan peprintah”.


(4)

Ciri-ciri Undang-undang Dasar

Menurut Budiardjo (1998:101) setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:

1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan

antaran badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif

2. Hak-hak azasi manusia

3. Prosedur untuk adanya Perubahan undang-undang

dasar

4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat

tertentu dari undang-undang dasar.

5. Cita-cita rakyat

6. Ideologi negara


(5)

Perubahan Undang-undang Dasar

Untuk menampung timbulnya keinginan untukl mengubah beberapa ketentuan dalam undang-undang dasar selalu dimuat prosedur untuk melakukan perubahan undang-undang dasar. Terdapat beberapa prosedur untuk megubah undang-undang dasar antara lain, melalui” 1. Sidang badab Legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya

dapat ditetapkan quorum untuk sidang yang membicarakan usulan perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya.

2. Referendum

3. Negara-negara fedral (AS :3/4 dari 50 negara bagian harus menyetujui) 4. Musyawarah khusus

Indonesia wewenang untuk mengubah undang-undang dasar ada ditangan MPR dengan ketentuan bahwa quorum adalah 2\3 dari anggota MPR, sedangkan usulan perubahan undang-undang dasar harus diterima oleh 2\3 dari anggota yang hadir dan putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50%+1 anggota dari seluruh anggota MPR (Pasal 37 UUD 1945)


(6)

Undang-undang Dasar di Indonesia

1. 1945-1949 UUD 1945

2. 1949-1950 UUD RIS

3. 1950 UUD Sementara

4. 1959-1998 dan sampai sekarang tetapi sudah

terjadi beberapa perubahan atas naskah