Analisis Pertimbangan Hakim Inkonsistensi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14PUU-

perolehan suranya dalam Pemilu Legislatif lebih kecil dari pada perolehan suara pasangan calon lainnya, justru yang memenangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sebenarnya, kalau mau rasional, dengan telah ditetapkannya “parliamentary threshold” yang tercantum dalam Pasal 202 ayat 1 UU 102008 yang oleh Putusan Mahkamah Nomor 3PUU-VII2009 tanggal 13 Februari 2009 dinyatakan konstitusional, maka lebih legitimate apabila “presidential threshold” bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu juga sama dengan “parliamentary threshold”, yakni 2,5 saja. 2 Argumentasi bahwa Pasal 3 ayat 2 UUD 1945 MPR yang melantik Presiden dan Wakil Presiden, maka logikanya MPR yang anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu sudah harus terbentuk terlebih dahulu sehingga Pemilu Legislatif harus didahulukan dari Pemilu Presiden terlalu menyederhanakan masalah, karena penyeleenggaraan Pemilu secara serentak tidak berarti bahwa anggota DPR dan DPD yang juga otomatis anggota MPR tidak dapat dilantik terlebih dahulu dari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Argumentasi bahwa penyelenggaraan Pemilu Legislatif lebih dahulu dari Pemilu Presiden sudah menjadi konvensi ketatanegaraan juga sulit untuk diterima, karena baru akan berlangsung dua kali tahun 2004 dan rencananya tahun 2009 yang belum bisa dikualifikasi sebagai konvensi ketatanegaraan.

3. Analisis Pertimbangan Hakim

Di dalam putusan Nomor 14PUU-XI2013 Mahkamah berpendapat bahwa pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu anggota perwakilan dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi ke arah yang lebih baik serta tidak mampu memperkuat sistem Presidensial, pelaksanaan Pilpres setelah pelaksanaan Pemilu anggota legislatif juga dirasa tidak sesuai dengan original intent dalam Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres adalah dilakukan secara serentak dengan Pemilu anggota lembaga legislatif. Dengan demikian menurut Mahkamah Penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu anggota lembaga perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara. Di dalam Putusan Nomor 51-52-59PUU-VI2008 penyelenggaraan Pilpres setelah Pemilu anggota legislatif adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR,DPRD,dan DPD. Karena Presiden dan Wakil Presiden dilantik oleh MPR, sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut dengan desuetudo atau kebiasaan konvensi ketatanegaraan telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun negara lain. Hal ini merupakan kebenaran bah wa “the life odlaw has not been ligic it has been experience”. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum. Pada putusan Nomor 14PUU-XI2013 terdapat dissenting opinion dari 1 satu hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrianti yang mengatakan berdasarkan Pasal 6A ayat 2 dan 5, dan Pasal 22E ayat 2 dan 5 UUD 1945 secara delegatif UUD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada UU DPR dan Presiden untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lain mengenai Pemilihan Umum, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka opened legal policy pembentuk UU untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilihan umum, termasud dalam penentuan waktu antar satu pemilihan dengan pemilihan lain. Putusan Nomor 51-52-59PUU-VI2008 juga terdapat dissenting opinion dari 3 tiga hakim konsitutusi yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruar Siahaan dan Akil Mocthar yang mengatakan bahwa jika Mahkamah konsisten dengan perkara yang diputuskan sebelumnya dalam perkara Nomor 56PUU-VI2008 dan putusan Nomor 3PUU-VI2008 dalam penafsiran konstitusi yang lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent maka Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon atas Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 9 UU Pilpres. Argumentasi dari Mahkamah yang mengatakan bahwa MPR yang melantik Presiden dan Wakil Presiden, makan logikanya MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD harus terbentuk terlebih dahulu padahal penyelenggaraan Pemilu serentak tidak berarti anggota DPR dan DPD yang juga otomatis anggota MPR tidak dapat dilantik terlebih dahulu dari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Argumentasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden sudah merupakan konvensi ketatanegaraan juga sulit diterima, karena baru akan berlangsung dua kali tahun 2004 dan rencananya tahun 2009 yang belum bisa dikualifikasikan sebagai konvensi ketatanegaraan. Di dalam kedua putusan tersebut dari 9 sembilan hakim konstitusi yang menjatuhkan putusan Nomor 14PUU-XI2013 dan Putusan Nomor 51-52-59PUU- VI2008 hanya beberapa hakim yang masih sama yang berjumlah 4 empat orang yaitu Moh.Mahfud MD, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar sedangkan hakim lain berjumlah 5 limaorang ialah hakim yang berbeda yang baru menjabat sebagai hakim konstitusi dengan rentang waktu kedua putusan 5 lima tahun. Di dalam pengambilan putusan memang suara hakim mayoritas yang akan melahirkan sebuah putusan sehingga hakim minoritas hanya dapat memberikan pendapat terhadap ketidaksetujuannya terhadap putusan hakim mayoritas dan yang mana dissenting opinion ini bukanlah merupakan putusan yang sifatnya mengikat dan tidak mempengaruhi kekuatan hukum sebuah putusan.

C. Hasil Analisis Terjadinya Inkonsistensi

Suatu lembaga peradilan memiliki integritas tertinggi apabila ada transparansi dan akuntabilitas yang tidak terlepas dari kepribadian dan tingkah laku dari para hakim. Di sisi lain, para hakim bertanggungjawab bukan pada keinginan pihak tertentu, tetapi pada konstitusi To those books about us. That’s to whom I’m