1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini hendak membahas perbandingan kewenangan antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS Kehutanan dan Penyidik POLRI
dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.
1
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk
melakukan sesuatu tindak hukum publik‖.
2
Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan tidak hanya dapat ditangani oleh penyidik
Kepolisian, tetapi juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi
wewenang khusus sebagai penyidik Pasal 77 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 19 Tahun 2004. Kewenangan PPNS di bidang kehutanan selanjutnya diatur dalam Pasal 77 ayat 2 UU Kehutanan.
Pasal 1 angka 15 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
menyatakan bahwa: ―Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat
danatau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan danatau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-
1
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hal 154.
2
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal 29.
2 undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando
‖. Sedangkan PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan jo Permenhut Nomor P.75MENHUT-II2014 Tahun
2014 tentang Polisi Kehutanan menyatakan bahwa: ―Polisi Kehutanan
adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau
melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ‖.
Kegiatan perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan utama karena fakta menunjukkan bahwa
kerusakan hutan di Indonesia telah masuk pada skala yang sangat mengkhawatirkan dan oleh karena itu sangat pantas apabila pemerintah
menaruh perhatian pada perlindungan hutan.
3
Pengertian hutan pada Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun
2004 tentang Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya dapat dipisahkan. Dalam konteks tindak pidana kehutanan, urgensi
perlindungan hutan dalam perundang-undangan pidana terhadap kejahatan
3
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penegakan Hukum Kehutanan Di Indonesia, Jurnal Ekosains, Vol. IV, No. 2, Juli 2012, hal 7.
3 di bidang kehutanan adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan
itu sendiri.
4
Tindak Pidana Kehutanan tergolong dalam salah satu Tindak Pidana Khusus, dimana pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah
undang-undang Umum. Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana berasal dari kata
“strafbaarfeit” di mana arti kata ini menurut Simons
adalah kelakuan handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
5
Menurut Pompe, strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh
pelaku ‖.
6
Sedangkan hukum pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan,
sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.
7
Berdasarkan hal tersebut, maka tindak pidana bidang kehutanan adalah suatu peristiwa
yang telahsedangakan terjadi berupa perbuatan melanggar larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam kumpulan peraturan
hukum yang mengatur mengenai kehutanan. Prinsip hukum acara pidana yang didasarkan kepada beberapa
sistem pembuktian yang dianut di Indonesia dalam rangka meminta
4
Abdul Rokhim, Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum Di Bidang Kehutanan, Jurnal Negara dan Keadilan, Vol. 3, No. 4, Agustus 2014, hal 27.
5
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal 56.
6
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 2000, hal 174.
7
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana edisi revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hal 9.
4 pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan mengalami kendala
apabila dihadapkan pada penanggulangan tindak pidana kehutanan. Pada
sistem peradilan pidana Indonesia mengandung pembuktian negatif lebih
dominan untuk penanganan suatu peristiwa pidana.
8
Konsekuensi yang timbul adalah penekanan pada alat bukti yang cukup untuk dimulainya
proses sistem
peradilan pidana
penekanan pada
pembebanan pembuktian, sedangkan dalam praktek tindak pidana kehutanan yang
dilakukan oleh korporasi sangat sulit menerapkan beban pembuktian yang cukup untuk menjerat korporasi yang melakukan praktek tindak pidana
kehutanan. Oleh sebab itu, dalam rangka penegakan UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan dan UU Nomor
18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya penyidik dalam melakukan
penegakan hukum di bidang kehutanan. Salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya penegakan
hukum terhadap tindak pidana adalah faktor aparat penegak hukum.
9
Salah satunya adalah kepolisian. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
8
Ketentuan ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: ―Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya‖.
9
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hal 42.
5 kepada masyarakat.
10
Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa pengemban
fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: kepolisian khusus; penyidik pegawai negeri sipil; danatau
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
11
Rangkaian proses dalam sistem peradilan pidana, pertama-tama harus dimulai dari adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana. Setelah adanya peristiwa pidana, barulah dimulai tindakan yang disebut dengan
―Penyidikan‖. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
12
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP dinyatakan bahwa: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
13
Ketentuan tersebut dipertegas lagi oleh Pasal 6 ayat 1 KUHAP yang menyebutkan bahwa penyidik adalah: Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
14
KUHAP sendiri tidak
10
Lihat Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
11
Lihat Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
12
Lihat Pasal 1 angka 2 KUHAP.
13
Lihat Pasal 1 angka 1 KUHAP.
14
Lihat juga pada Pasal 1 angka 10 dan 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6 memberikan wewenang secara rinci kepada PPNS sebagaimana penyidik
Polri. Pasal 7 ayat 2 KUHAP hanya menyebutkan bahwa PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing. Fenomena kenyataan ruwetnya penegakan hukum tindak pidana
kehutanan di Indonesia, terutama dimulai dari tahap penyidikan. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan
tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan.
15
Awal mula terjadinya kerumitan tersebut akibat peraturan perundang-undangan yang mengatur
wewenang penyidikan yang tidak kondusif untuk terjadinya suatu keterpaduan dalam pelaksanaannya. Akhirnya yang terlihat adalah saling
rebut perkara antara instansi yang merasa punya peranan yang diberi wewenang oleh undang-undang.
16
Kondisi ini sering menjadi perdebatan karena masing-masing PPNS dan Penyidik Polri mempunyai alasan tertentu dalam hal
kewenangan menyidik. Adanya batasan kewenangan yang tidak jelas antara polisi dan penyidik kehutanan menyebabkan hubungan tata kerja
PPNS Kehutanan dengan polisi dalam hal terjadinya tindak pidana kehutanan masih belum jelas dan cenderung tergantung pada hubungan
15
Marrio A. S. P Malage, Tindak Pidana Pengrusakan Hutan Ditinjau Dari UU No. 41 Tahun 1999, Lex Administratum, Vol. II, No.3, Juli-Oktober 2014, hal 63.
16
Hukum Online, Belum Perlu Memperluas Wewenang PPNS, Kamis 06 Juli 2006, http:www.hukumonline.comberitabacahol15104belum-perlu-memperluas-wewenang-ppns,
diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
7 interpersonal atau individual.
17
Benturan peran dan arogansi beberapa instansi dalam melakukan penyidikan menjadikan proses penegakan
hukum di bidang kehutanan tidak berjalan dengan baik.
18
Menurut Mahfud MD, memang perlu dicarikan solusi bagaimana membuat lembaga
penyidikan tidak tumpang tindih.
19
Indonesia menganut sistem peradilan pidana terpadu Integrated Criminal Justice System yang merupakan legal spirit dari KUHAP.
Keterpaduan tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan tujuan nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan
oleh The Founding Father dalam UUD 1945, yaitu melindungi masyarakat social defence dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial social
welfare.
20
Apabila di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu tidak diikuti dengan keterpaduan dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan, baik materiil maupun formal serta pendidikan secara integrated antara subsistem dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana dalam
penanggulangan kejahatan, maka akan menimbulkan permasalahan sebagai berikut:
21
a permasalahan dalam penerapan sistem peradilan pidana sulit
dipecahkan secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan, masing
–masing subsistem saling melempar tanggung jawab kepada subsistem yang lainnya dan selalu menunjukkan subsistemnya yang
17
Ibid.
18
Marrio A. S. P Malage, Op.cit.
19
Detik, Mahfud MD: Lembaga Penyidik Terlalu Banyak, Jadi Tumpang Tindih, Selasa 23 Feb 2010,
http:news.detik.comberita1305407mahfud-md-lembaga-penyidik-terlalu-banyak-jadi- tumpang-tindih-, diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
20
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cet II revisi, Bandung: Bina Cipta, 1996, hal 9-10.
21
H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hal 3.
8 paling benar, timbulnya sikap instansi sentris atau fragmentaris
antar subsistem maupun tumpang tindih kewenangan; b
adanya kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan dan kegagalan masing-masing subsistem, sehubungan dengan tugas subsistem
dalam peradilan pidana terpadu; c
kesulitan dalam membuat data statistik kriminal yang bersumber dalam satu pintu, karena dalam penanggulangan kejahatan melalui
proses hukum sudah tidak melalui satu pintu lagi sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Melalui penelitian ini penulis hendak berargumen bahwa kewenangan PPNS sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 41 Tahun
1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
PP No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Permenhut Nomor
P.75MENHUT-II2014 Tahun 2014 tentang Polisi Kehutanan kurang lengkap, karena tidak mengadopsi ketentuan-ketentuan yang mendasar
bagi penyidik untuk melakukan penyidikan —yaitu tidak diberikannya
kewenangan secara tegas oleh undang-undang. Selain itu, PPNS
Kehutanan dalam melaksanakan kewenangannya sebagai penyidik tidak menjadi subordinasi dari penyidik polri tetapi hanya di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik Polri, adapun bentuk koordinasi dan pengawasannya telah diatur dalam Pasal 107 KUHAP. Berdasarkan hal
tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas koordinasi kewenangan antara PPNS kehutanan dan penyidik Polri dalam penyidikan tindak
pidana kehutanan.
9
B. Rumusan Masalah