Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

(1)

KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

TESIS

Oleh

G. P. HUTAJULU 077005098/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

G. P. HUTAJULU 077005098/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

Nama

Mahasiswa

: G. P. Hutajulu

Nomor Pokok : 077005098 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 04 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Sanksi pidana yang dicantumkan terhadap pelaku kayu ilegal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang sudah cukup efektif. Secara umum peranan Polri dalam kasus kayu ilegal adalah pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau dokumen penebangan lainnya,(2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan,(3) Backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw. Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasahan-permasalahan sebagai berikut

Bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan ,bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lain nya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan , apa kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal ( doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku ( law as it is written in the book ) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan ( law it is decided by the judge through judicial process ). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Koordinasi antara Polda Sumut dengan aparat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan pengadilan dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Sumatera Utara yaitu dengan kejaksaan : Pengiriman surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang; Pra penuntutan Yaitu pengembalian berkas perkara dari Jaksa Penuntut Umum( JPU ) kepada penyidik untuk dilengkapi/disempurnakan dalam tenggang waktu 14 hari; Pengiriman berkas perkara (tahap I) dan pengiriman tahap II berupa tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada JPU;Perpanjangan penahanan selama 40 hari oleh penyidik kepada JPU;Gelar perkara dalam kasus kayu ilegal antara Polda Sumut dengan Kejaksaan terutama dalam perkara yang mendapat perhatian masyarakat. Dengan pengadilan; Perpanjangan penahanan lanjutan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; Persetujuan izin sita barang bukti oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri;Permohonan izin penggeledahan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri;Pengamanan sidang kasus kayu ilegal terutama yang mendapat perhatian masyarakat ;Pengamanan sidang lapangan (lokasi/areal pengambilan barang


(6)

Sumatera Utara antara lain; Personil yang kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS); Sarana dan prasarana yang sangat kurang seperti, mobil patroli,alat angkut barang bukti;kurangnya dukungan anggaran terutama untuk biaya pengangkutan dan perawatan barang bukti termasuk biaya penyidikan perkara. Kata Kunci : Kewenangan Polri, Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan.


(7)

ABSTRACT

Menaced crime sanction to perperator criminal act of forestry in Code of Republic Indonesia Number 19 year 2004 about Stipulating of Regulation of Government of Subsitution of Code Number I year 2004 about change of code number 41 year 1999 about forestry become code, have effective enough. In general role of police in case of forestry I s back up to (1) expenditure of rights permit management of forest(HPH) or other hewing document,(2) distribution and transportation result of plundering wood,(3) backing to sawmill and also,(4) ownership of chainsaw .Pursuant to breackdown of from above mentioned background,can be formulated by the following problems;how is the police’s authority as investigator in handling of doing an injustice of forestry,how is the coordination between police with government officer enforcer of other law in handling of doing an injustice of forestry,what is the resistance of constraint faced by police in haandling of doing an in justice of forestry. Methods used in this research is the judicial normative. Normative research method is also called as a doctrinal research Doctrinal research is a study that analysis whether a law written in the books (law as it is written in the book) and the law decided by judgesvthrough the court process ( law it is enough by judge through the judicial process),research based on normative law and secondary data on the steps speculative theory-and qualitative analysis of normative.

Coordination between Poldasu with government officer enforcer of other law like public attorney and justice in handling of case of forestry in North Sumatera Region,that is with public attorney; delivery of notice in starting investigation executed pursuant to code; prosecution pre that is return law suit from public procecutor (JPU) to investigator to be equiped in grace period 14 day;delivery law suit (phase I) and delivery of phase II in the form of and evidence goods of investigator to JPU;lengthen detention during 40 day by investigator to JPU; Title Case in case of forestry between Poldasu with Prosecution, especialy in case getting attention of society. With justice; Lengthening of detention of continuation by investigator to Chief Distric Court; Approval of permit confiscate evidence by investigator to Chief Distric Court; Application of rummage permite by investigator of Chief Distric Court; Application of permit auction evidence goods by investigator to Chief Distric Court; Security of case conference (areal intake of evidence goods). Constraint faced by on duty forestry of provinsi North Sumatera in handling of case of forestry in territory of jurisdiction


(8)

of provinsi North Sumatera, for example: less adequate personnel either from amount facet and also quality as investigator of public servant of civil (PPNS); Very Facilities and basic facilities less like, prowl car, appliance transport, evidence goods; Lack of budget supportespecially for the transportation fee of and treatment of evidence goods of is including the expense of handling of case.


(9)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum/Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis ini adalah: “Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan” Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumetera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa


(10)

Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum, yang memberikan kesempatan kepada Penulis menjadi Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga Tesis ini selesai pada waktunya.

4. Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis.

5. Bapak Syafruddin S. Hasibuan., S.H., M.H., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.

6. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepadaTuhan YME.

7. Kepada Istri dan Anak-anakku, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan


(11)

do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

8. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan YME membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Juli 2009 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ginting Pandapotan Hutajulu Tempat/Tanggal Lahir : Laguboti, 06 Oktober 1957 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Polri/ Kasubdit PAM OPSUS DIT SAMAPTA Pendidikan : SR Tamat Tahun 1969

SMP Negeri 1 Laguboti Tamat Tahun 1972 SMA Negeri 1 Laguboti Tamat Tahun 1975 Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1982

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ..………. vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 21

BAB II KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN...………....28

A. Eksistensi Kayu Ilegal... 28

1. Praktik kayu Ilegal………28

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal... 30

B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal ... 37

C. Ketentuan Pidana Kayu Ilegal... 42


(14)

2. Ketentuan Pidana Lain yang Terkait dengan

Kayu Ilegal ... 53 D. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan 65 BAB III KOORDINASI ANTARA POLRI DENGAN APARAT

PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN ………. 86

A. Frekuensi Tindak Di Bidang Kehutanan yang Terjadi Di

Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara …….. 86 B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penebangan Hutan

Secara Liar………... 93 1. Kurangnya Pengawasaan Aparat Kehutanan dalam

Pengelolaan Hutan………... 93 2. Faktor Ekonomi dan Faktor Sosial ... 99 C. Koordinasi Antara Polri Dengan Aparat Penegak Hukum

Lainnya Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang

Kehutanan ..………. 105 BAB IV KENDALA ATAU HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK

PIDANA DI BIDANGKEHUTANAN ……… 112 A. Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan …………112

1. Upaya Preventif ..……….112 2. Upaya Represif ……… 117 B. Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek

Pidana ………. 122 C. Kendala atau Hambatan Yang Dihadap Polri Dalam

Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan ………... 128


(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 135


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Data Kasus Kayu Ilegal di Dinas Kehutanan Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2001-2005 ... 89 2 Data Penanganan Kasus Kayu Ilegal Tahun

2005 s/d 2008 ... 91 3 Data Kasus Kayu Ilegal yang Di Tangani Polda Sumut


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1

Data Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2009... 143 2 Data Penyidik dan Penyidik Pembantu Dit Reskrim Polda

Sumut dan Sat Reskrim Sejajaran Tahun 2009 ...


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengrusakan hutan alam Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru dunia telah mencapai proporsi yang sangat besar. Menurut data dari Departemen Kehutanan tahun 2003, disebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi dalam tahun 2003, 2004, 2005, mencapai 2,1 juta per tahun. Bahkan ada laporan yang mengatakan bahwa setiap tahunnya Indonesia, kehilangan hutannya antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar, angka ini berarti sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya.1

Bahkan data terbaru menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 83 miliar per hari akibat praktek kayu ilegal yang terjadi. Bahkan yang lebih buruk lagi praktek kayu ilegal ini tidak hanya berdampak pada kerugian negara tetapi juga memberikan dampak negatif bagi generasi sekarang (kerugian langsung) seperti terjadinya banjir, kekeringan, perubahan iklim, bahaya penyakit, dan tanah longsor.2

1

IGM. Nurdjana, dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 5.

2

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, (Jakarta: Erlangga, 1995), hal. 1.


(19)

Selain itu, praktek kayu ilegal juga membawa dampak negatif bagi kehidupan generasi yang akan datang seperti hilangnya plasma nutfah (flora dan fauna), perubahan struktur alam (erosi), berkurangnya keanekaragaman hayati, dan habisnya sumber daya alam. Menurut Emil Salim diperhitungkan bahwa dalam enam dasawarsa tahun mendatang hutan di Indonesia akan habis seluruhnya. Hal ini benar-benar telah sangat mengkhawatirkan, apabila hanya memperhatikan hutan dari segi ekonomisnya saja tanpa memperhatikan ekosistem hutan sebagai bagian keseimbangan lingkungan yang amat penting untuk segera dipulihkan dan dilestarikan.3

Melihat kondisi hutan Indonesia yang semakin parah akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab, padahal hutan Indonesia adalah merupakan salah satu paru-paru dunia, membuat pemerintah mulai mengambil kebijakan dengan memperbaharui undang-undang yang berhubungan dengan kehutanan baik dari segi sanksi pidananya maupun dari segi proses pemanfaatan hutan dan hasil hutan. Pemerintah mengambil kebijakan ini dengan harapan dapat menyelamatkan hutan dari oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga tercapai sumber daya hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan hutan yang partisipatif, terpadu, transparan dan bertanggung jawab. Kebijakan yang diambil pemerintah ini antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mencabut UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan,


(20)

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang mencabut PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan serta dikeluarkannya Instruksi Presiden No.4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.4

Perang terhadap kasus penebangan liar beberapa tahun ini menjadi perhatian para pemimpin di Indonesia. Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan perang terhadap kasus kayu ilegal dengan lebih serius dan tegas menangani perkara-perkara kejahatan lingkungan tersebut. Sebagai langkah awal, MA akan mengirimkan surat untuk mengingatkan semua pengadilan di seluruh Indonesia agar tak main-main dalam memproses perkara tersebut.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintahannya akan memerangi pencurian dan kayu ilegal , termasuk menindak oknum-oknum aparat pemerintah, penegak hukum, TNI, dan Polri yang menjadi backing pencuri dan penyelundup kayu di hutan Indonesia.5

Lima hari setelah keluarnya pernyataan presiden, Polri menggelar operasi. Dalam operasi tersebut petugas berhasil menangkap 19 kapal layar motor dan tiga kapal motor di Sungai Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat. Belasan kapal itu mengangkut 12 ribu meter kubik kayu olahan kelas wahid, seperti bangkirai. Nilai

4 Ibid. 5

Emerson Yuntho, “Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging”, Dikutip dari http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22 Februari 2009.


(21)

kayu yang akan diselundupkan ke Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu Rp 208 miliar.

Selain besarnya tangkapan, sejumlah pihak diduga terlibat dalam kasus tersebut. Misalnya, aparat kepolisian, bupati, jaksa, hakim, pejabat Dinas Kehutanan, politikus lokal, serta cukong di Ketapang dan Kuching. Kondisi itu segera direspons Mabes Polri dengan memindahkan sejumlah tersangka kayu ilegal dari Kalimantan Barat ke Jakarta untuk ditangani langsung.6

Meskipun sudah sering dilontarkan pernyataan mengenai perang melawan kayu ilegal dan sejumlah operasi dilakukan, hasil akhirnya cenderung mengecewakan. Hal itu akibat penegakan hukum dalam kasus kayu ilegal hingga kini tidak menyentuh seluruh aktor utama pembalakan liar, yaitu cukong dan pemilik modal.

Harus diakui, perang melawan praktik kayu ilegal sama susahnya dengan memerangi para koruptor. Hingga kini, pemerintah sudah melakukan lima kebijakan operasi pemberantasan kayu ilegal. Misalnya, Wana Jaya, Wana Laga, Wana Bahari, serta Operasi Hutan Lestari I,II, dan III. Namun, kenyataannya, operasi yang dilakukan juga tidak dapat menjerat pelaku sesungguhnya. Beberapa kalangan menyebut kayu ilegal sebagai kejahatan tak tersentuh hukum.7

Sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku kayu ilegal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

6 Ibid.


(22)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, sebenarnya sudah cukup efektif. Ancaman pidana terberat adalah penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar. Seharusnya ancaman itu mampu membuat para pelaku berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan pidana tersebut.

Data kepolisian atas hasil Operasi Hutan Lestari menyebutkan, selama 2004 hingga Juni 2006, diungkap 4.178 kasus dengan jumlah tersangka 4.860 orang dan barang bukti 822.296 m3 kayu dan 2,37 juta batang kayu. Pada aspek penindakan, upaya pemerintah telah mencapai beberapa kemajuan dalam upaya memerangi kayu ilegal , namun gagal memenjarakan para pelaku utama. Dari ribuan kasus kayu ilegal tersebut, hanya segelintir cukong atau pelaku utama yang berujung hingga ke pengadilan. Hasilnya juga mengecewakan.8

Dalam catatan ICW, selama empat tahun terakhir (2005-2008), dari 205 orang pelaku kayu ilegal yang diadili hanya 18 orang (8,8%) yang tergolong pelaku utama, seperti direktur, manajer, komisaris utama, pemilik sawmill, cukong, penegak hukum, pejabat Dinas Kehutanan, kontraktor, warga negara asing. Selebihnya, 187 orang (91,2%), adalah pelaku kelas teri, seperti operator, supir truk, dan petani.

Dari semua yang diproses, sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang telah dibebaskan sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia.

8


(23)

Selebihnya, 44 orang (21,4%) divonis di bawah 1 tahun penjara dan 14 orang (6,8%) divonis 1-2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8%) yang divonis di atas 2 tahun penjara.

Banyaknya tersangka kasus kayu ilegal yang dibebaskan pengadilan setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktik kayu ilegal yang dilakukan pemerintah dengan jajaran di bawahnya tidak didukung secara maksimal pihak yudikatif, dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah dinilai giat dalam memberantas praktik kayu ilegal , pengadilan justru giat membebaskan pelaku kayu ilegal .

Tanpa ada kesamaan pandangan dan semangat memerangi kayu ilegal di antara aparat penegak hukum, sebanyak apa pun kasus yang diungkap akan kandas di pengadilan. Banyaknya pelaku kayu llegal yang dibebaskan pengadilan secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengadilan justru melegalkan praktik kayu llegal .9

Independensi yang dimiliki hakim dalam memeriksa dan memutus suatu kasus sering disalahgunakan untuk kepentingan sesaat segelintir orang, namun berakibat kerugian bagi ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang. Kondisi itu diperburuk lemahnya pengawasan yang dilakukan internal pengadilan.

Buruknya hasil di pengadilan juga diikuti dengan buruknya upaya penindakan oknum di Departemen Kehutanan yang diduga terlibat dalam pemberian izin tersebut. Dari sejumlah kasus kayu llegal yang terungkap, sanksi


(24)

yang diberikan terhadap oknum yang diduga terlibat masih sebatas sanksi administratif berupa pembebasan tugas, atau teguran, atau penundaaan kenaikan pangkat.10

Di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, Taman Nasional Batang Gadis (disingkat TNBG) adalah sebuah taman nasional, yang terletak di 99° 12’ 45" BT sampai dengan 99° 47’ 10" dan 0° 27’ 15" sampai dengan 1° 01’ 57" LU dan secara administrasi wilayah ini dikelilingi 68 desa di 13 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Nama taman nasional ini berasal dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madina. TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas Madina yang terletak pada ketinggian 300 s/d 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi puncak Gunung Sorik Merapi. 11

Melalui SK No 126/Menhut-II/2004 Menteri Kehutanan, TNBG disahkan sebagai Taman Nasional. TNBG terdiri dari dari kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Hutan lindung yang dialih fungsikan seluas 101.500 ha, terdiri dari hutan lindung Register 4 Batang Gadis I, hutan Register 5 Batang Gadis II komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampuan I yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak masa pemerintahan Belanda dalam kurun waktu 1921–1924. Sementara kawasan hutan produksi yang

10 Ibid. 11

AR. Tanjung, “Illegal Logging dan Polisi”, Dikutip dari http://artanjung. blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html, Diakses tanggal 22 Februrari 2009.


(25)

dialihkan meliputi areal eks HPH PT. Gruti, seluas 5.500 ha, dan PT. Aek Gadis Timber seluas 1.000 ha.

Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa dan habitat alam. TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola hutan. Salah satu kearifan tradisional masyarakat setempat ini dibuktikan dengan lubuk larangan atau naborgo-borgo atau harangan - harangan atau hutan larangan, merupakan beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini masih lestari. Pembentukan ini juga sangat penting mengingat bahwa laju kerusakan hutan alam di propinsi ini sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada tahun 2003, kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 3,8 juta ha per tahun. Kerusakan hutan di Sumatera Utara sendiri mencapai 76 ribu ha per tahun dalam kurun waktu 1985-1998. Sampai akhir November 2004 kerusakan hutan yang disebabkan penebangan liar dan kebakaran hutan di Sumut mencapai 694.295 ha, untuk hutan lindung mencapai 207.575 ha, hutan konservasi 32.500 ha, hutan bakau 54 220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha.12

Pembentukan taman nasional ini juga tidak semata-mata upaya pemerintah saja, melainkan atas jerih payah masyarakat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat seperti, BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia (CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, PUSAKA Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra dan lain-lain.


(26)

Seperti desa-desa lain di seberang Batang Gadis, di Humbang I juga beberapa tahun lalu terdapat aktivitas pembalakan kayu di Tor Siayo. Penduduk Humbang banyak yang ikut bekerja sebagai pengangkut kayu balok. Aktivitas penebangan liar berhenti sejak akhir tahun 2004.

Maraknya aktivitas penebangan liar di daerah TNBG, diduga ada kaitannya dengan fakta bahwa harga gergaji mesin yang bekas cukup murah yaitu sekitar Rp 2,5 juta sehingga banyak orang yang mampu membeli. Pelaku kayu ilegal berusaha mengambil hati masyarakat dengan cara memperbaiki jalan desa menuju lokasi hutan. Misalnya ada proyek jalan desa dari Hutabargot menuju Siulangaling (kecamatan Muara Batang Gadis), tetapi hanya sekitar 12 km. Pola distribusi kayu: kayu-kayu yang ditebang dikumpulkan di dekat desa (storing), lalu pengusaha melakukan lobi ke kepala desa untuk memuluskan pengangkutan, ke semua Kades-kades di kawasan Hutabargot; pengusaha memberikan retribusi Rp. 50.000/m3 selama tahun 2003-2004. Hasil distribusi dibagikan ke pada lima desa secara merata. Pengusahu kayu melibatkan pemuda setempat untuk menjaga kayu (jaga malam). Khusus Hutabargot Nauli, mereka mengumpul dana melalui bendahara desa dan digunakan untuk pembangunan sarana ibadah.13

Aktivitas kayu ilegal di Huta Bargot Nauli (disingkat HBN) marak pada tahun 2003-2004. Waktu itu balok-balok kayu yang diangkut dari daerah HBN mencapai 3-5 truk/ hari, dijual ke Panyabungan. Ada puluhan chainsaw yang beroperasi di hutan wilayah HBN, dan ada juga warga HBN yang jadi salah satu

13 Ibid.


(27)

toke-nya, selain yang datang dari luar desa. Pembalakan kayu ketika itu mengikuti jalur pembukaan jalan tembus arah Siulang-aling. Aktivitas pembalakan kayu berhenti sejak SBY dilantik menjadi Presiden, namun secara kecil-kecilan masih tetap berlangsung. Sebelum Agustus 2004, daerah ini merupakan tempat beroperasinya penebangan liar dan perburuan binatang.

Praktik-praktik kayu ilegal biasanya terjadi di bukit Tor Adian, Tor Sikaba Laut, Simpang Mondan, dan Tor Siduadua. Mayoritas pelaku kayu ilegal adalah warga luar desa yang sengaja datang menebang kayu. Pelaku utamanya adalah pemilik chainsaw yang ada di Panyabungan yang sekaligus menjadi toke kayu. Penduduki desa HBN pada umumnya hanya menjadi buruh angkut di tengah hutan. Mereka biasanya pergi ke hutan untuk beberapa waktu (sekitar seminggu) dengan membawa makanan, dan mereka membuat pondok-pondok sebagai tempat tinggal sementara di tengah hutan.

Secara umum peranan POLRI dalam kasus sepuluh desa di atas adalah pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau dokumen penebangan lainnya, (2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan, (3) Backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw.14

Pertama, pengeluaran izin HPH. Untuk melakukan penebangan kayu secara legal diperlukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Izin seperti ini diperlukan para pengusaha untuk melakukan praktek kayu ilegal . Pada saat ini juga polisi membantu para


(28)

pengusaha yang mempunyai HPH untuk mem-backup segala aktifitas pengambilan kayu di hutan. Jika memiliki HPH dan juga berusaha mendapatkan dukungan pengamanan dari Polisi maka seorang pengusaha kayu dapat dengan leluasa melakukan penebangan secara liar.

Kedua, distribusi dan transportasi hasil kayu jarahan. Seperti terjadi di Desa Sibanggor Jae, Polisi turut serta dalam proses pengawasan pengangkutan kayu dari sumber kayu sampai ke sawmill.

Ketiga, backing terhadap sawmill. Pada masa maraknya praktek kayu ilegal ini sampai tahun 2005 angka peningkatan jumlah sawmill di Mandailing Natal terus bertambah. Dalam satu desa bisa terdapat jumlah sawmill 3 sampai 4 sawmill. Sawmill ini mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan sehingga dengan leluasa sawmill ini didirikan di pinggir jalan raya.

Keempat, kepemilikan chaisaw. Dalam beberapa desa di wilayah Kecamatan Batang Natal, jumlah chainsaw bisa mencapai angka 25 buah chainsaw dalam satu desa. Kepemilikan chainsaw ini bisa dimiliki sendiri oleh warga atau milik polisi yang disewakan kepada warga dengan sistem bagi hasil. Selain memiliki chainsaw di desa, oknum polisi juga meminta insentif dari pemilik chainsaw lainnya, untuk bisa mengoperasikan chainsaw nya di desa.15

Dalam proses penyidikan tindak pidana lingkungan, selain Penyidik Polri, PPNS Lingkungan juga mempunyai kewenangan dalam penyidikan berdasarkan UUPLH. Meskipun PPNS mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan,

15 Ibid.


(29)

namun untuk melanjutkan hasil penyidikannya ke Jaksa Penuntut Umum, PPNS Lingkungan harus melalui penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan Pasal 40 ayat (3) dan (4) UUPLH.16

k

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan?

2. Bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan?

3. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan

16


(30)

2. Untuk mengetahui sejauh mana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk tercapainya penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.

2. Secara Praktis

Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur upaya penanganan di bidang kehutanan.

E. Keaslian Penulisan

Didasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana


(31)

Di Bidang Kehutanan ”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana di bidang kehutanan namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran yang bersifat membangun dan konstruktif. F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam pembahasan mengenai Kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.17


(32)

Menurut Lawrence M. Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, kedudukan dan kepentingan.18

Teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya.19 Negara yang berdaulat melindungi masyarakatnya terutama masyarakat yang lemah. Dalam merumuskan wewenang Polri sebagai satu alat negara seyogyanyalah mempedomani teori kedaulatan yang menjadi sumber kekuasaan atau wewenang pemerintah Republik Indonesia, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.

Dalam menjalankan pemerintahan negara tersebut maka Presiden mendelegasikan kepada lembaga-lembaga pemerintahan negara berupa kewenangan-kewenangan. Salah satu kewenangan tersebut adalah wewenang untuk menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dengan demikian Polri dalam melaksanakan wewenangnya bukan tanpa batas melainkan harus selalu berdasarkan hukum, karena menurut penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa: negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas

18

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumetera Utara, 17 April 2004), hal. 21.

19

Mochtar Kusumaatmaja, Hukum,Masyarakat dan Pembinaan masyarakat ( Bandung:Bina Cipta,1976 ),hal.69


(33)

kekuasaan belaka (machtstaat). Namun demikian lingkup wewenang Polri tersebut dibatasi oleh lingkungan kuasa hukum berdasarkan:

a. Lingkungan kuasa soal-soal (zakengebied) yang termasuk kompetensi hukum publik;

b. Lingkungan kuasa orang (personen gebied) yang terjangkau oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara atau prosedur dilakukannya tindakan kepolisian;

c. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied) yakni lingkup batas waktu yang diatur dalam ketentuan undang-undang tentang tindakan kepolisian dan ketentuan undang-undang tentang kadaluarsa masalah tertentu;

d. Lingkungan kuasa tempat/ ruang (ruimtegebied) yakni lingkup berlakunya hukum nasional publik dan hukum internasional publik serta hukum adat di suatu daerah/ wilayah atau lokasi tertentu.20

Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum (equality before the law), berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada

20


(34)

permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum.21

Cita-cita hukum dan asas-asas hukum nasional, diharapkan mampu memberi arah pada proses transformasi masyarakat yang berkelanjutan mencakup semua orang dan seluruh masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Semakin mendekatnya cita-cita dengan kenyataan maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada hukum yang pada gilirannya akan memperkokoh wibawa hukum.22

2. Konsepsi

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan maka dapat diberikan defenisi operasional sebagai berikut ;

a. Kewenangan adalah hal berwenang; hak dan kekuasaan yang dipunyai atau dimiliki untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan;23

b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;24

21

Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 69., Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 7.

22

Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hal.11. 23

Daryanto, S.S., Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), hal. 633.

24

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 5.


(35)

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;25

d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan;26

e. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini;27

f. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing;28

g. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;29

25

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2. 26

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1. 27

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 3. 28

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168, Pasal 1 angka 11.


(36)

h. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat;30

i. Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;31

j. Anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia;32

k. Pejabat Polri adalah anggota Polri yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian;33

l. Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan perundang-undang-undang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:

1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia;

2)Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya;

30

Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Pasal 6 angka 1, jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5 angka 1.

31

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1.

32

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 2.

33

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 3.


(37)

3)Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.34

m. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, pengarapan;35

n. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu;36 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan:

(1)Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2)Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan:

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

34

Satochid. K., Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa. 35


(38)

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through


(39)

judicial process)37 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.38

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.39 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan

37

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2006,hal. 118. 38


(40)

perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.40 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.41 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian

40

C.G.F. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 89.

41

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 33.


(41)

yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer :

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan mengenai Kehutanan (misalnya: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan


(42)

Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Perlindungan Hutan, Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, dll.42), catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip

42

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan dan Illegal Logging, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008), hal. 7.


(43)

dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.43

c. Bahan hukum tersier:

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.44 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya.45

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

43

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, 2005, hal 141. 44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, 1990, hal. 14.


(44)

5. Metode analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.46 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, serta hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan;

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

46


(45)

BAB II

KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

A. Eksistensi kayu Ilegal 1. Praktik kayu Ilegal

Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120, 35 juta ha, atu 63 persen luas daratan.47 Hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi Indonesia, dengan sumbangan yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Sekitar 300.000 orang bekerja pada industri pengelolaan kayu dan paling tidak 14 juta orang menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan mencakup lebih dari 11 persen dari pendapatan ekspor selama 1994-1999. Walaupun begitu besar sumbangan hutan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, akan tetapi manfaat ini dihasilkan tanpa mempertimbangankan kelestarian hutan.48 Laju perusakan hutan Indonesia juga sangat besar mencapai 1,6 juta hingga 2,1 juta ha per tahun dan salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kayu ilegal.49

Kayu Ilegal hingga saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sulit untuk diberantas dan masih terjadi hampir di seluruh dunia. Yang paling parah

47

Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Vol.4, No. 3, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003), hal. 22.

48

Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I,( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).


(46)

justru banyak dilakukan dikawasan Asia Pasifik, khususnya di negara-negara Amerika Latin, Benua Afrika dan negara-negara dalam Association of South East Asian Nation (ASEAN). Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi kayu ilegal yang merupakan suatu kejahatan yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala internasional. Hasil kayu ilegal itu banyak di ekspor keluar negeri seperti RRC, Malaysia, Singapura bahkan ke Eropa, yang kemudian kayu yang diekspor ini ternyata kembali diekspor negara-negara tersebut ke Indonesia dalam bentuk olahan.50

Praktik-praktik kayu ilegal merupakan permasalahan yang berdampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya ekologi (lingkungan). Data dari Departemen Kehutanan51 bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp.83 miliar per hari akibat kayu ilegal . Kerugian yang dialami negara tersebut merupakan angka kerugian minimum oleh karena kerugian yang disebutkan di atas belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, bencana banjir dan erosi yang ditimbulkan serta biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan sebagainya. Kerugian secara ekologis berupa hilangnya jenis/ spesies keanekaragaman hayati tidak

50

Tim BEINEWS, “Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal”, Dikutip dari www.bexi.co.id/artikel/komoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

51

Menteri Kehutanan RI, “Enforcement Economic Program Conservation International-Indonesia EEPCI”, Dikutip dari www.mofrinet.cbn.net.id/informasiumum, Diakses tanggal 20 Mei 2009.


(47)

dapat dihitung secara finansial. Menurut data Greenomics52, kerugian ekologis akibat kayu ilegal , khususnya untuk menangkal banjir saja, setidaknya pemerintah harus mengeluarkan dana yang mencapai Rp. 15 triliun per tahun. Angka itu tentu saja akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan anggaran masing-masing daerah. Biaya tersebut biasanya dilakukan untuk menanggulangi banjir yang tiap tahun terus terjadi karena kerusakan hutan yang semakin meningkat tiap tahunnya, sementara dana dari pemerintah pusat hanya berupa stimulasi.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal

Belum adanya kesepahaman dalam memberikan definisi liar (ilegal) dalam rangka menjustifikasi setiap kasus tentang kayu ilegal antara pemerintah pusat dan daerah akan menimbulkan tanggapan atau penilaian tersendiri oleh masing-masing pihak terhadap kayu ilegal . Kondisi ini diperburuk dengan adanya kontradiksi kebijakan antara pusat dan daerah yang semakin mengaburkan konsep legalitas konsesi pengusahaan dan pemanfaatan hutan.

Namun demikian, jika dilihat dari pengertian tentang kayu llegal yang bertitik tolak dari prilaku yang dapat merusak hutan maka praktik kayu ilegal ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:


(48)

a. Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada penadah hasil hutan, dan

b Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak hutan yaitu melakukan penebangan di luar konsesinya (over cutting), melanggar persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konsesinya, kolusi dengan pejabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.

Pandangan tentang faktor penyebab terjadinya kayu ilegal ini pun bervariasi tergantung pendekatan yang digunakan masing-masing pihak. Kayu Ilegal berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih regulasi dan pemutihan kayu yang terjadi di luar daerah tebangan53. Namun dari berbagai pandangan itu tampaknya persamaan yang selalu ada dalam setiap pandangan yaitu memandang bahwa kasus kayu ilegal merupakan suatu proses dalam kegiatan ekonomi sehingga faktor ekonomi adalah merupakan faktor utama yang menjadi penyebab dari kayu ilegal .

53

Haba, J., “Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya”, Dikutip dari www.kompas.com/kompascetak/opini.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.


(49)

Menurut Dudley bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan suburnya kayu ilegal pada tingkat lokal dan yang memungkinkan kayu ilegal meluas dengan cepat, yaitu: 54

1) Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk di desa-desa dekat hutan;

2) Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal yang berkaitan dengan industri penebangan kayu; dan

3) Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya serta kolusi dengan para politisi dan pemimpin setempat.

Ketiga faktor di atas saling mempengaruhi, saling mendukung dan saling melengkapi. Hasil penelitian Dudley, yang relevan dengan praktik kayu ilegal di Papua, dari ketiga faktor tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 55

Pertama, Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk di desa-desa dekat hutan dipengaruhi oleh unsur-unsur: (1). Kebutuhan lapangan kerja dan pendapatan; (2). Pengaruh tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara ilegal; (3). Ketidakpuasan lokal atas kebijakan kehutanan pusat; (4). Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari.

Pada tingkat masyarakat, yang paling penting adalah tersedianya lapangan pekerjaan dan pendapatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kesedian

54


(50)

masyarakat bekerja secara melanggar hukum (ilegal) dipengaruhi kuat oleh kenyataan bahwa anggota masyarakat yang lain bekerja demikian. Faktor lain yang sangat berpengaruh seperti di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Ketidakpuasan dan kebencian masyarakat di Papua merupakan dampak dari kebijakan pemerintah pusat di masa lalu yang mengeksploitasi hutan di Papua dan kemudian hasilnya dibawa ke pusat sementara hanya sedikit sekali dikembalikan ke Papua, sehingga pembangunan di Papua jauh tertinggal dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pemerintah pusat dalam era pengelolaan hutan yang sentralistik seringkali memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar dengan mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi, sementara militer dan polisi yang menjaga konsesi-konsesi tersebut tentu mempunyai kecenderungan untuk membela perusahaan pengelola kayu karena dibayar untuk menjaganya. Konflik antara perusahaan kayu pemegang konsesi dari pusat dengan masyarakat adat setempat tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan, sehingga keterlibatan aparat militer dan polisi dalam sistem pengelolaan hutan, baik sebagai protektor bagi perusahan maupun sebagai pemegang saham dan pengelola hutan seringkali menimbulkan pelangaran-pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM)56. Kondisi demikian pada akhirnya menanamkan rasa kebencian dan ketidakpuasan

56

Asia Report No39, “Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan Rekomendasi”, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses tanggal 20 Mei 2009, hal. 2.


(51)

masyarakat adat setempat atas kebijakan pengelolaan hutan yang sentralistik tersebut.

Kedua, Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal berkaitan dengan industri penebangan kayu dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu:

1) Kebutuhan kapasitas terpasang industri dalam negeri dan permintaan kayu dari luar negeri;

2) Kemampuan pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan; 3) Tinggi rendahnya laba dari perusahaan industri kayu.

Besarnya kapasitas industri kayu di daerah akan menimbulkan naiknya permintaan akan pasokan kayu yang mengarah kepada pemanenan kayu yang berlebihan. Kemampuan pasokan kayu dan kemampuan penyediaan industri perkayuan yang legal yang tidak sebanding dengan tingginya permintaan kemudian menimbulkan permintaan tambahan akan kayu yang diambil dari hasil kayu ilegal . Tingginya permintaan atau rendahnya persedian kayu menurunkan laba dari perusahaan kayu, sehingga untuk mempertahankan laba itu, dimungkinkan untuk membeli kayu ilegal yang lebih murah dan resikonya rendah.57

Ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) diperkirakan, kebutuhan Industri akan kayu mencapai 60 juta meter kubik per tahun, sementara supply hanya sebesar 22 juta meter kubik per tahun, jadi defisit


(52)

kayu sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun.58 Jalan termudah untuk memenuhi defisit kayu tersebut adalah melalui kayu ilegal . Permintaan akan kayu ini juga menimbulkan permintaan akan tenaga kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Dengan demikian faktor ini kemudian mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk disekitar hutan.

Ketiga, Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya pada, serta kolusi dengan, para politisi dan pemimpin setempat dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti :

a) Keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha kayu;

b) Besarnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal;

c) Besarnya partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan kayu ilegal; dan d) Banyaknya kerjasama ilegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan

penguasa atau pejabat lokal.

Faktor ketiga ini dapat terjadi oleh karena pejabat lokal mempunyai kekuasaan untuk memberikan kontrak akses pada lahan hutan dan memastikan bahwa berbagai peraturan perundang-undangan ditegakkan atau diabaikan. Kemudian para pengusaha memiliki modal atau dana yang diperoleh dari keuntungan bisnis kayu. Peristiwa hukum yang terjadi di sini adalah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

58


(53)

Menurut Dudley bahwa semakin kuatnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal akan meningkatkan partisipasi pejabat lokal dalam kerja sama ilegal yang kemudian berpengaruh kepada peningkatan laba bagi pengusaha kayu. 59 Ketika kayu ilegal meningkat dan potensi pendapatan masyarakat menjadi jelas, maka kegiatan kayu ilegal juga semakin di terima oleh masyarakat, bahkan masyarakat menjadi tergantung pada kegiatan tersebut dan melihat bahwa kegiatan tersebut akan tetap terjadi meskipun tanpa keterlibatan masyarakat.

Kolusi yang terjadi antara pejabat lokal dengan pengusaha bisa terjadi karena adanya permintaan yang datangnya dari pengusaha dan penawaran dari pihak pejabat atau birokrat.

Melihat dari motif yang menjadi orientasi suatu kegiatan bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan yang ditambah dengan rasio pendapatan yang diinginkan oleh oknum pejabat di atas pendapatan gaji rata-rata, sehingga memungkinkan terjadinya suap-menyuap.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa praktik-praktik kolusi dalam dunia bisnis di bidang kehutanan menjadi sangat rentan apabila kekuatan sistem hukum tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Proses kegiatan kayu ilegal di atas akan terus berjalan jika kekuatan sistem hukum tidak dapat menanggulangi.


(54)

Akan tetapi ketika kekuatan sistem hukum diperkuat maka akan berpengaruh terutama akan mengurangi partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan ilegal yang kemudian menurunkan hasil atau keuntungan bagi pengusaha kayu yang pada akhirnya melemahkan pengaruh pengusaha-pengusaha kayu tersebut bagi pejabat lokal. Maka di sinilah letak pentingnya kekuatan sistem hukum dalam menanggulangi kegiatan kayu ilegal . Kekuatan sistem hukum dalam tentu harus didukung oleh unsur-unsur seperti; instrumen hukum yang efektif, penegak hukum yang profesional dalam arti memiliki integrasi moral, pendidikan dan kesejahteraan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, dana operasional yang cukup, konsistensi aturan yang terkait dengan kehutanan, koordinasi antar instansi terkait yang sinergis dan dukungan dari berbagai stakeholder terutama pemerintah dan seluruh masyarakat.

B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal

Permasalahan mendasar dari sulitnya memberantas kayu ilegal dari perspektif penegak hukum (Polri) yang dikemukakan oleh Komisaris Jenderal Polisi Erwin Mappaseng, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: pertama, bahwa kayu llegal termasuk kategori “kejahatan terorganisir (organized crime)”.60 Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang terorganisir dalam suatu jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Di antara pelaku yang terlibat adalah buruh penebang kayu, pemilik modal (cukong), penjual, pembeli

60


(55)

maupun backing dari oknum aparat pemerintah dan TNI/ Polri dan oknum tokoh masyarakat. Antara elemen yang satu dengan yang lainnya terjalin hubungan yang sangat kuat dan rapi sehingga mengakibatkan sulitnya pengungkapan secara tuntas jaringan tersebut.

Lebih lanjut Mappaseng mengatakan bahwa penebangan yang dulu dilakukan secara tradisional dan konvensional, kini telah bergeser dan menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern dengan menggunakan sistem manajemen yang rapi dan baik dan jaringan pemasaran yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu dukungan berbagai sarana dan peralatan modern membuat mobilitas kegiatannya menjadi semakin cepat dan efektif.

Kedua, karena ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply). Selain itu pertumbuhan dan permintaan industri kayu luar negeri seperti Malaysia, Tailand, Korea dan RRC menjadi faktor pendorong yang sangat kuat dan penyalurannya melalui black market (pasar gelap).

Ketiga, penyalahgunaan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari kewajiban membayar pajak berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).


(56)

Pelaku dalam kejahatan kayu ilegal dapat dikelompokkan sebagai berikut: 61

a) Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang. Pelaku ini melakukan kegiatan penebangan secara langsung baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal. Laju perusakan hutan akibat kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ini relatif kecil oleh karena modal dan peralatan yang dimiliki sangat terbatas.

b) Pemilik modal (cukong), pengusaha. Pelaku ini berperan sebagai fasilitator atau penadah hasil kayu curian, bahkan menjadi otak dari pencurian kayu. c) Pemilik industri kayu atau pemilik HPH. Pelaku ini bisa bertindak sebagai

pencuri kayu dan bisa bertindak sebagi penadah kayu.

d) Nahkoda kapal. Pelaku ini bisa berperan sebagai turut serta melakukan, atau membantu melakukan penyelundupan kayu atau kejahatan kayu ilegal .

e) Oknum pejabat pemerintah atau oknum aparat pemerintah. Pelaku ini biasanya berasal dari oknum TNI, oknum Polri, Jagawana/ PNS Kehutanan, PNS Beacukai, oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD dan oknum politisi. Pelaku ini bisa terlibat KKN dengan pengusaha dan atau melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau pemberian konsesi penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.

61

Mabes POLRI, “Anatomi Illegal Logging”, Majalah lingkungan Hidup OZON, Vol. 4, No. 3, terbit Desember 2003, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, 2003), hal. 27.


(57)

f) Pengusaha asing. Pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau penadah hasil kayu curian.

Pelaku-pelaku dalam kegiatan kayu ilegal di atas dalam kasus yang berdimensi luas memiliki jalinan hubungan yang sangat kuat dan rapi. Pemilik modal dan pengusaha kayu mempunyai kepentingan untuk mendapatkan lahan konsesi penebangan yang bisa didapatkan dari pejabat lokal atau bantuan oknum aparat pemerintah dan pemilik modal dan dana untuk mendukung kepentingan tersebut. Pengusaha dapat mempengaruhi pejabat atau oknum aparat pemerintah lokal untuk melakukan kerja sama ilegal dalam bentuk kayu ilegal . Dalam rangka melaksanakan kegiatannya itu pengusaha mengupah tenaga kerja dari penduduk setempat atau mendatangkan dari luar daerah.

Modus operandi dalam kegiatan kayu ilegal adalah sebagai berikut: 62 Modus operandi di daerah hulu:

a) Melakukan penebangan tanpa izin, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau pengusaha atau kepada industri pengelolahan kayu.

b) Melakukan penebangan di luar izin telah ditetapkan konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Izin Penebangan Kayu (IPK) yang sah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya target produksi


(58)

atau hasil tebangan untuk memenuhi kontrak dengan pembeli kayu yang sudah disepakati atau dalam upaya untuk meningkatkan keuntungan perusahaannya. Modus ini juga seringkali menggunakan tenaga kerja masyarakat lokal atau pekerja dari luar daerah.

Modus operandi di daerah hilir

a) Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

b) Pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu; 1.Blangko dan isinya palsu.

2.Blangko asli akan tetapi isinya palsu. 3.SKSHH dari daerah lain

c) Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai data yang ada dalam dokumen SKSHH.

d) Penggunaan satu dokumen SKSHH yang berulang-ulang

e) Menggunakan dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat atau di laut sebagai pengganti SKSHH yang disita atau faktur kayu sebagai pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu sebagai pengganti SKSHH Dalam praktiknya, modus operandi yang dilakukan dalam kegiatan kayu ilegal ini melibatkan lebih banyak lagi pelaku, baik yang turut serta melakukan, membantu melakukan atau yang menyuruh melakukan. Pengangkutan tanpa


(59)

dilengkapi SKSHH tidak hanya melibatkan pemilik kayu tapi pengangkutan termasuk nahkoda kapal terlibat dalam masalah tersebut. Dalam hal pemalsuan dokumen melibatkan pemilik kayu yang dokumen-dokumennya palsu, aparat penerbit dokumen palsu dan pembuat cap dan stempel. Demikian juga dengan penggunaan satu dokumen SKSHH berulang-ulang, ketimpangan antara jumlah kayu dalam angkutan dengan jumlah yang ada di dalam dokumen SKSHH, serta penggunaan dokumen pengganti, ini melibatkan pejabat yang mengeluarkan SKSHH juga pengangkut.

C. Ketentuan Pidana Kayu Ilegal

1. Ketentuan Pidana Di Bidang Kehutanan

Pada saat berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan lex specialis di bidang kehutanan, maka berdasarkan ketentuan penutup undang-undang tersebut Pasal 83 mencabut UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam UU No. 5 Tahun 1967 tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan. Namun diatur dalam peraturan pelaksanaannya berdasarkan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa:

“Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan


(60)

undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini”.

Dengan demikian dalam rangka menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan pada umumnya dan khususnya kejahatan kayu ilegal maka ketentuan tentang sanksi pidana yang dapat diterapkan untuk kejahatan kayu ilegal antara lain Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Untuk menerapkan sanksi pidana terutama dalam rangka penegak hukum pidana terhadap kejahatan kayu ilegal . Khususnya dalam proses penyidikannya maka selain penyidik Polri, diberikan juga kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam Departemen Kehutanan untuk melakukan tugas-tugas penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

a. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat


(61)

menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang hukum itu (penjelasan umum paragraf ke-18 UU No. 41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melawan hukum karena sanksi pidananya berat.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999.

Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan kayu ilegal menurut UU No. 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

Pertama, Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. (Pasal 50 ayat (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (1): yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran


(62)

api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan dan alat angkut.

Kedua, Setiap orang yang diberikan izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2)). Barangsiapa yang menimbulkan kerusakan ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (2), yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

Ketiga, Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak (Pasal 50 ayat (3) huruf c) sampai dengan:

1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3) 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai;

4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;


(63)

6) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf c: secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan.

Perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 78 ayat (1), (2) dan (3) tersebut jika dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14)). Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan comanditer (Comanditer Vennotschaap-CV), firma, koperasi dan sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).

Keempat, Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (pasal 78 ayat (4)). .


(64)

Kelima, Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)).

Keenam, Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf h). Pelanggaran ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000; (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)). Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h: yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama” adalah bahwa setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi sura-surat yang sah sebagai bukti. Apabila ada perbedaan antara isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

Ketujuh, Membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf j. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun


(1)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2006.

Bisri Mustofa, metode menulis Skripsi & Tesis, Jogjakarta: Optimus 2008.

Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Daryanto, Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, 1997. Syahrani, R, Beberapa hal Tentang Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni ,

1983.

Hartono, C.G.F. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.

Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: 2007.

K., Satochid, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa. Syaifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,Bandung: Refika Aditama,2007

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.


(2)

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

MD, Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Jakarta: Erlangga, 1995.

Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: 2005.

Muladi dan Arif, B. N., Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni 1998. Nurdjana, IGM., dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung: 2004.

Riyanto, Budi, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Bogor: LPH Kehutanan dan Lingkungan, 2004.

Salim, H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: 2006.

---, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan keempat, Jakarta: Grafindo Persada, 2002.

---, dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: 1990.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: 2003.

Suarga, Riza, Pemberantasan Illegal Logging, cetakan 1, Tangerang: Wana Aksara, 2005.


(3)

Sumardi, dkk, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Yogyakarta: UGM Press, 2004. Syahrin, Alvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: PT.

Sofmedia, 2009.

---, Beberapa Masalah Hukum, Medan: PT. Sofmedia, 2009.

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan dan Illegal Logging, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008.

Tunggal, Hadi Setia, Undang-undang Kehutanan Beserta Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Harvarindo, 2008.

Zein, Alam Setia. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Kelana Momo, Memahami Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 Jakarta : PTIK Press 2002,

Lubis,Solly.M, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung:Mandar Maju, Jakarta:PTIK Press,2002.

Hadi Utomo,HW,Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka,2005

2. Artikel/ Majalah/ Koran/ Buletin/ Karya Ilmiah/ Wawancara

Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat. Tipiter DitResKrim Polda Sumut, Hasil wawancara di DitResKrim Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.


(4)

Alam Setia Zein, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,Jakarta ,Penerbit Rineka Cipta,2000

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Penebangan Kayu dan Illegal Logging, Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, 2005

Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Vol.4, No. 3, Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003.

I., Welly, Peranan Polisi Kehutanan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Taman Nasional Kerinci Seblat Kab. Kerinci, Skripsi, jambi: 2005.

Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Hasil Wawancara di Kantor Dinas Kehutanan Provnsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009.

Mabes POLRI, “Anatomi Illegal Logging”, Majalah lingkungan Hidup OZON, Vol. 4, No. 3, terbit Desember 2003, Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, 2003. .

Nasution , Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Medan, 17 April 2004

Fathoni,T, RI – Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal, 2 Juli 2003 3. Peraturan Perundang-undangan

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI tentang Kehutanan dan Illegal Logging, Jakarta: Nuansa Aulia, 2008.


(5)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup,Lembaran Negara Nomor 68 tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Lembaran Negara 49 Tahun 1990 ,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419.

Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tanggal 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Kayu Secara Ilegal Dikawasan Hutan dan Peredaran nya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. 4. Internet

Asia Report No39, “Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan Rekomendasi”, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses tanggal 20 Mei 2009.

Ginting, L., “Korupsi adalah Inti dari Illegal Logging”, Dikutip dari www.gatra.com/artikel, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

Haba, J., “Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya”, Dikutip dari www.kompas.com/kompascetak/opini.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

http://www.tempointeraktif.com/Tempointeraktif_com-Satu Polisi Hutan Mengawasi 12 Ribu Hektar Hutan.htm


(6)

Menteri Kehutanan RI, “Enforcement Economic Program Conservation International-Indonesia EEPCI”, Dikutip dari www.mofrinet.cbn.net.id/informasiumum, Diakses tanggal 20 Mei

2009.

Tanjung, AR., “Illegal Logging dan Polisi”, Dikutip dari http://artanjung. blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html,

Diakses tanggal 22 Februari 2009.

Tim BEINEWS, “Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal”, Dikutip dari www.bexi.co.id/artikel/komoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

Yuntho, Emerson, “Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging”, Dikutip dari http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22 Februari 2009.