6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sumber Bahaya
Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian ini bisa dikurangi jika
kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dengan cara dideteksi sumber- sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
tersebut Syukri Sahab, 1997. Sumber-sumber bahaya bisa berasal dari :
a. Manusia Termasuk pekerja dan manajemen. Kesalahan utama sebagian besar
kecelakaan, kerugian, atau kerusakan terletak pada karyawan yang kurang bergairah, kurang terampil, kurang tepat, terganggu emosinya yang pada
umumnya menyebabkan kecelakaan dan kerugian Bennet N.B Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1995. Selain itu apa yang diterima atau gagal diterima
melalui pendidikan, motivasi, serta penggunaan peralatan kerja berkaitan langsung dengan sikap pimpinan Freeport, 1995.
b. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam suatu proses dapat menimbulkan bahaya
jika tidak digunakan sesuai fungsinya, tidak ada latihan tentang penggunaan alat tersebut, tidak dilengkapi dengan pelindung dan pengaman serta tidak ada
perawatan atau pemeriksaan. Perawatan atau pemeriksaan dilakukan agar bagian dari mesin atau alat yang berbahaya dapat dideteksi sedini mungkin Syukri
Sahab, 1997 c. Bahan
Menurut Syukri Sahab 1997 bahaya dari bahan meliputi berbagai resiko sesuai dengan sifat bahan, antara lain :
1 Mudah terbakar,
2 Mudah meledak,
3 Menimbulkan alergi,
4 Menyebabkan kanker,
5 Bersifat racun,
6 Radioaktif,
7 Mengakibatkan kelainan pada janin,
8 Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh.
Sedangkan tingkat bahaya yang ditimbulkan menurut Soeripto 1995 tergantung pada :
1 Bentuk alami bahan atau energi yang terkandung,
2 Berapa banyak terpapar bahan atau energi tersebut,
3 Berapa lama terpapar bahan atau energi tersebut.
d. Proses Dalam proses kadang menimbulkan asap, debu, panas, bising dan bahaya
mekanis seperti terjepit, terpotong atau tertimpa bahan. Hal ini dapat
mengakibatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tingkat bahaya dari proses ini tergantung pada teknologi yang digunakan Syukri Sahab, 1997.
e. Cara atau sikap kerja Cara kerja yang berpotensi terhadap terjadinya bahaya atau kecelakaan
berupa tindakan tidak aman, misalnya : 1
Cara mengangkat yang salah, 2
Posisi yang tidak benar, 3
Tidak menggunakan APD, 4
Lingkungan kerja, 5
Menggunakan alat atau mesin yang tidak sesuai. f. Lingkungan Kerja
Menurut Bennett N. B. Silalahi dan Rumandaong B. Silalahi 1995, keadaan lingkungan yang dapat merupakan keadaan berbahaya antara lain :
1 Suhu dan kelembaban udara,
2 Kebersihan udara,
3 Penerapan dan kuat cahaya,
4 Kekuatan bunyi,
5 Cara dan proses kerja,
6 Udara, gas-gas bertekanan,
7 Keadaan lingkungan setempat,
8 Keadaan mesin-mesin, perlengkapan dan peralatan kerja serta bahan-bahan.
2. Kecelakaan Kerja
Dalam Permenaker
No. Per
03Men1994 mengenai
Program JAMSOSTEK Pasal I Ayat 7, pengertian kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang
terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan
berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.
Dalam buku
Industrial Safety
, David Colling mendefinisikan kecelakaan kerja sebagai berikut: “Kejadian tak terkontrol atau tak direncanakan yang
disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau lingkungan, yang membuat terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat pada cedera, sakit,
kematian, atau kerusakan properti kerja.” Pada dasarnya kecelakaan disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan yang
tidak aman
unsafe act
dan kondisi yang tidak aman
unsafe condition
. Dari data kecelakaan didapatkan 85 sebab kecelakaan adalah faktor manusia. Oleh
karena itu sumber daya manusia dalam hal ini memegang peranan penting dalam penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tenaga kerja yang mau
membiasakan dirinya dalam keadaan aman dan melakukan pekerjaan dengan aman akan sangat membantu dalam memperkecil angka kecelakaan kerja
Suma’mur, 1996. Cara penelusuran penyebab kecelakaan sesuai dengan urutan domino yang
digunakan pada cara berpikir modern dalam prinsip pencegahan kecelakaan dan
loss control
. Teori ini menyatakan bahwa kecelakaan tidak datang dengan
sendirinya, akan tetapi ada serangkaian peristiwa sebelumnya yang mendahului terjadinya kecelakaan tersebut. Urutan domino dapat dilihat seperti di bawah ini.
Gambar 1. Teori Domino
Sumber : Teori Domino Heinrich: Teori Ilmiah Pertama tentang Penyebab Kecelakaan Kerja, 2010
Dalam Teori Domino Heinrich, kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan :
a. Kondisi kerja,
b. Kelalaian manusia,
c. Tindakan tidak aman,
d. Kecelakaan,
e. Cedera.
Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan
roboh secara bersama.
Ilustrasi ini mirip dengan efek domino yang telah kita kenal sebelumnya, jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang
menyebabkan robohnya bangunan lain. Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan
menghilangkan tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan. Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini
menyumbang 98 penyebab kecelakaan. Jika kartu nomer 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomer 1 dan 2 jatuh,
ini tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu. Dengan adanya
gap
jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, pun jika kartu kedua terjatuh, ini tidak akan sampai menimpa kartu nomer 4.
Akhirnya, kecelakaan poin 4 dan cedera poin 5 dapat dicegah. Dengan penjelasan ini, Teori Domino Heinrich menjadi teori ilmiah
pertama yang menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan tidak lagi dianggap sebagai sekedar nasib sial atau karena peristiwa kebetulan.
a. Kurangnya Sistem Pengendalian
Lack of Control
Dalam urutan Domino, kurangnya pengendalian merupakan urutan pertama menuju suatu kejadian yang mengakibatkan kerugian. Pengendalian
dalam hal ini ialah salah satu dari empat fungsi manajemen yaitu :
planing
perencanaan,
organizing
pengorganisasian,
leading
kepemimpinan, dan
controling
pengendalian. Teori Domino yang pertama akan jatuh karena kelemahan pengawas dan
pihak manajemen yang tidak merencanakan dan mengorganisasi pekerja dengan
benar serta tidak mengarahkan para pekerjannya untuk terampil dalam melaksanakan pekerjaannya. Kurangnya pengendalian dapat disebabkan karena
faktor : 1
Program yang tidak memadai
Inadequate program
Hal ini disebabkan terlalu sedikitnya program yang diterapkan di tempat kerja atau karena terlalu banyak kegiatan-kegiatan program. Kegiatan program
yang penting bervariasi dengan lingkup, sifat, dan jenis perusahaan. 2
Standar program yang tidak layak
Inadequate Standard Program
Guna mematuhi pelaksanaan kegiatan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang baik perusahaan harus membuat suatu program keselamatan
dan kesehatan kerja, menetapkan standar yang digunakan dan melakukan pemantauan pelaksanaan program tersebut
3 Standar yang tidak layak
Inadequate to Standard
Faktor yang menyebabkan kurangnya standar yang diterapkan tidak cukup spesifik dan tidak cukup jelas serta kurang tingginya standar yang diterapkan.
b. Penyebab Dasar
Basic Causes
Adalah penyebab nyata yang dibelakang atau melatarbelakangi penyebab langsung yang mendasari terjadinya kecelakaan, terdiri dari :
1 Faktor Personal
Personal Factor
yaitu meliputi : a Kurangnya pengetahuan,
b Kurangnya ketrampilan, c Kurangnya kemampuan fisik dan mental,
d Kurangnya motivasi,
e Stres fisik atau mental. 2 Faktor Pekerjaan
Job Factor
yaitu meliputi : a Kepemimpinan dan kepengawasan yang tidak memadai,
b
Engineering
kurang memadai, c
Maintenance
kurang memadai, d Alat dan peralatan kurang memadai,
e Pembelian barang kurang memadai, f Standar kerja kurang memadai,
g Aus dan retak akibat pemakaian, h Penyalahgunaan wewenang.
c. Penyebab Langsung
Immediate Causes
Adalah tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman yang secara langsung menyebabkan kecelakaan yang biasanya dapat dilihat dan dirasakan. Penyebab
langsung tersebut berupa : 1 Tindakan tidak aman
Unsafe Act
Yaitu pelanggaran terhadap tata cara kerja yang aman sehingga dapat menimbulkan peluang akan terjadinya kecelakaan, misalnya :
a Mengoperasikan peralatan tanpa wewenang,
b Mengoperasikan mesinperalatankendaraan dengan kecepatan tidak layak,
c Berada dalam pengaruh obat-obatan terlarang dan alkohol,
d Gagal mengikuti prosedur kerja,
e Melepas alat pengaman,
f Membuat alat pengaman tidak berfungsi,
g Tidak memakai alat pelindung diri,
h Menggunakan peralatan yang sudah rusak,
i Posisi kerja yang salah,
j Pengangkutan yang tidak layak,
k Bersendau gurau di waktu kerja,
l Kegagalan untuk memperingatkan.
2 Kondisi tidak aman
Unsafe Condition
Kondisi fisik yang membahayakan dan langsung membuka terhadap kecelakaan. Keadaan tidak aman tersebut antara lain :
a Peralatan atau material yang rusak,
b Pelindung atau pembatas yang tidak layak,
c Alat pelindung diri yang kurang sesuai,
d Sistem peringatan tanda bahaya yang kurang berfungsi,
e Kebersihan dan tata ruang tempat kerja tidak layak,
f Kondisi lingkungan kerja mengandung debu, gas, asap, atau uap yang
melebihi NAB Nilai Ambang Batas, g
Intensitas kebisingan yang melebihi NAB, h
Paparan radiasi, i
Temperatur ruang kerja terlalu tinggi atau rendah, j
Penerangan yang kurang atau berlebihan, k
Ventilasi yang kurang, l
Bahaya kebakaran dan peledakan, m
Tindakan yang terbatas atau berlebihan.
d. Kecelakaan
Accident
Jika potensi penyebab kecelakaan dibiarkan saja untuk terjadi, maka jalannya akan selalu terbuka untuk kontak dengan sumber bahaya. Kecelakaan
tersebut dapat berupa : 1 Terbenturmenabrak suatu benda,
2 Terbenturtertabrak bendaalat yang bergerak, 3 Jatuh ke tingkat yang lebih rendah,
4 Jatuh pada tingkat yang sama tergelincir, tersandung, terpeleset, 5 Terjepit diantara dua benda,
6 Terjepit kedalam alatbenda yang berputar, 7 Kontak dengan listrik, panas, dingin, radiasi, bahan beracun.
3. Safety Behavior
Safety behavior
adalah perilaku keselamatan manusia di area kerja dalam mengidentifikasi bahaya serta menilai potensi resiko yang timbul hingga bisa
diterima dalam melakukan pekerjaan yang berinteraksi dengan aktivitas, produk dan jasa yang dilakukannya Dewo P. Rahardjo, 2010.
Dalam mengelola perilaku keselamatan pada tahap dimana seseorang mampu menetapkan pengendalian resiko terkait aktivitasnya merupakan perilaku
keselamatan unggul yang diharapkan dalam suatu perusahaan. Seperti kita ketahui bahwa penyebab kecelakaan terbesar adalah
human error
hingga pada skala lebih dari 80. Penyebab langsung
Direct Cause
sebagai penyebab utama berasal dari
unsafe act
tindakan tidak aman serta
unsafe condition
kondisi tidak aman.
a.
Penyebab
Unsafe Behavior
Orang atau pekerja sering melakukan
unsafe behavior
terutama disebabkan oleh :
1 Merasa telah ahli di bidangnya dan belum pernah mengalami kecelakaan
Berpendapat bahwa bila selama ini bekerja dengan cara ini
unsafe
tidak terjadi apa-apa, mengapa harus berubah. Pernyataan tersebut mungkin benar
namun tentu saja hal ini merupakan potensi besar untuk terjadinya kecelakaan kerja.
2 R
einforcement
yang besar dari lingkungan untuk melakukan
unsafe act Reinforcement
yang didapat segera, pasti dan positif. Bird dalam Muchinsky, 1987 berpendapat bahwa para pekerja sebenarnya ingin mengikuti
kebutuhan akan keselamatan
safety needs
namun adanya
need
lain menimbukan konflik dalam dirinya. Hal ini membuat ia menomorduakan
safety need
dibandingkan banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah keinginan untuk menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih nyaman, menarik perhatian,
mendapat kebebasan dan mendapat penerimaan dari lingkungan. Menurut Muchinsky, dalam bukunya
Psychology Applied to Work
1987,
needs
yang menimbulkan konflik dengan
safety needs
, antara lain :
a Safety versus saving time,
b Safety versus saving effort,
c Safety versus comfort,
d Safety versus getting attention,
e Safety versus independence,
f Safety versus group acceptance.
3 Pengawas atau manajer
yang tidak peduli dengan
safety
Para manajer ini secara langsung atau tidak langsung memotivasi para
pekerja untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya demi kepentingan produksi. Keadaan ini menghasilkan efek negatif yaitu para
pekerja belajar bahwa ternyata dengan melakukan
unsafe behavior
ia mendapat
reward.
Hal ini membuat
unsafe behavior
yang seharusnya dihilangkan namun justru mendapat
reinforcement
untuk muncul. Selain itu kurangnya kepedulian
manager
terhadap
safety
ini membuat pekerja menjadi meremehkan komitmen perusahaan terhadap
safety. b.
Upaya yang Biasa Dilakukan untuk Mengurangi
Unsafe Behavior
1 Menghilangkan bahaya di tempat kerja dengan merekayasa faktor bahaya
atau mengenalkan kontrol fisik Cara ini dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya
unsafe behavior
, namun tidak selalu berhasil karena pekerja mempunyai kapasitas untuk
berperilaku
unsafe
dan mengatasi kontrol yang ada. 2
Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli dengan keselamatan dirinya Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa perubahan sikap akan mengubah
perilaku. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kampanye dan
safety training
. Pendekatan ini tidak selalu berhasil karena ternyata perubahan sikap tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Sikap sering merupakan apa yang
seharusnya dilakukan bukan apa yang sebenarnya dilakukan.
3 Memberikan
punishment
terhadap
unsafe behavior
Cara ini tidak selalu berhasil karena pemberian
punishment
terhadap perilaku
unsafe
harus konsisten dan segera setelah muncul, hal inilah yang sulit dilakukan karena tidak semua
unsafe behavior
dapat terpantau secara langsung. 4
Memberikan
reward
terhadap munculnya
safety behavior
Cara ini sulit dilakukan karena
reward
minimal harus setara dengan reinforcement yang didapat dari perilaku
unsafe
. c.
Pendekatan
Behavior Safety
untuk Mengurangi
Unsafe Behavior
Cooper 1999 mengidentifikasi adanya tujuh kriteria yang sangat penting bagi pelaksanaan program
behavioral safety
, yaitu antara lain : 1
Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan. Salah satu sebab keberhasilan
behavioral safety
adalah karena melibatkan seluruh pekerja dalam
safety management
. Pada masa sebelumnya
safety management
bersifat
top-down
dengan tendensi hanya berhenti di
management level
saja. Hal ini berarti para pekerja yang berhubungan langsung dengan
unsafe behavior
tidak dilibatkan dalam proses perbaikan
safety performance
.
Behavioral safety
mengatasi hal ini dengan menerapkan sistem
bottom-up
, sehingga individu yang berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi
unsafe behavior.
Dengan keterlibatan
workforce
secara menyeluruh dan adanya komitmen, ownership seluruh pekerja terhadap program safety maka proses
improvement akan berjalan dengan baik.
2 Memusatkan Perhatian pada Perilaku
Unsafe
yang Spesifik Alasan lain keberhasilan
behavioral safety
adalah memfokuskan pada
unsafe behavior
sampai pada proporsi yang terkecil yang menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja di perusahaan. Menghilangkan
unsafe behavior
berarti pula menghilangkan sejarah kecelakaan kerja yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang
memicu terjadinya
unsafe behavior
para praktisi menggunakan teknik
behavioral
analisis terapan dan memberi
reward
tertentu pada individu yang mengidentifikasi
unsafe behavior
. Praktisi lain juga mengidentifikasikan kekurangan sistem manajemen yang
berhubungan agar cepat ditangani sehingga tidak lagi memicu terjadinya
unsafe behavior
.
Unsafe
atau
safety behavior
yang teridentifikasi dari proses tersebut disusun dalam
check list
dalam format tertentu, kemudian dimintakan persetujuan karyawan yang bersangkutan. Ketika sistem
behavioral safety
semakin matang individu menambahakan
unsafe behavior
dalam
check list
sehingga dapat dikontrol atau dihilangkan. Syarat utama yang harus dipenuhi yaitu,
unsafe behavior
tersebut harus
observable
, setiap orang bisa melihatnya 3
Didasarkan pada Data Hasil Observasi.
Observer
memonitor
safety behavior
pada kelompok mereka dalam waktu tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan
safety behavior
akan meningkat.
4 Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data
Hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data prosentase jumlah
safety behavior
. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik yang bisa menjadi
reinforcement
positif bagi karyawan yang telah berprilaku
safe
, selain itu bisa juga menjadi dasar untuk mengoreksi
unsafe behavior
yang sulit dihilangkan. 5
Melibatkan Intervensi secara sistimatis dan observasional Keunikan sistem
behavioral safety
adalah adanya jadwal intervensi yang terencana. Dimulai dengan
briefing
pada seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas
sebagai
observer
yang tergabung dalam sebuah
project team
.
Observer
ditraining agar dapat menjalankan tugas mereka. kemudian mengidentifikasi
unsafe behavior
yang diletakkan dalam
check list
. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui,
observer
melakukan observasi pada periode waktu tertentu, untuk menentukan baseline. Setelah itu
barulah program interverensi dilakukan dengan menentukan
goal setting
yang dilakukan oleh karyawan sendiri.
Observer
terus melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan
feed back
bagi para karyawan.
Team project
juga bertugas memonitor data secara berkala, sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan.
6 Menitikberatkan pada umpan balik terhadap perilaku kerja
Dalam sistem
behavioral safety
umpan balik dapat berbentuk: umpan balik verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi; umpan balik
dalam bentuk data grafik yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis dalam lingkungan kerja; dan umpan balik berupa
briefing
dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang
mendetail tantang perilaku yang spesifik. 7
Membutuhkan dukungan dari
manager
Komitmen management terhadap proses
behavioral safety
biasanya ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada
observer
dalam menjalankan tugasnya, memberikan penghargaan yang melakukan
safety behavior
, menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera dilakukan,
membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan inisiatif untuk melakukan
safety behavior
dalam setiap kesempatan. Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan
behavioral safety
biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen. d.
Hasil yang Diharapkan dari Penerapan
Behavioral Safety
Ada delapan hasil penerapan
behavioral safety
yang terencana dalam suatu perusahaan Cooper,1999.
1 Angka kecelakaan kerja yang rendah,
2 Meningkatkan jumlah
safety behavior
, 3
Mengurangi
accident cost,
4 Program tetap bertahan dalam waktu lama,
5 Penerimaan sistem oleh semua pihak,
6 Generalisasi
behavioral safety
pada sistem lain ex: sistem manajemen, 7
Follow up
yang cepat dan regular,
8 Peningkatan laporan tentang kecelakaan kerja yang terjadi.
4. Teori Perubahan Perilaku
Menurut Fleming Lardner dalam buku
strategies to promote safe behavior as part of a health and safety management system
, unsur inti dari modifikasi perilaku adalah ABC
Model of Behavior
,
Antecedents
Pendahulunya A,
Behavior
Perilaku B dan
Consequences
Konsekuensi C.
Gambar 2. ABC Model of Behavioural Change Sumber : Bureau Veritas, 2010
ABC Model of Behavior
menentukan perilaku yang dipicu oleh satu set pendahulunya sesuatu yang mendahului perilaku dan kausal terkait dengan
perilaku dan diikuti oleh konsekuensi hasil dari perilaku bagi individu yang menambah atau mengurangi kemungkinan bahwa perilaku akan diulang. Para
pendahulu diperlukan tetapi tidak cukup untuk mendorong terjadinya perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa orang mengadopsi perilaku tertentu.
Tabel 1. Contoh ABC
Analysis Antecedents
Behavior Consequences
- Pelindung telinga
disediakan oleh perusahaan
- Dibutuhkan oleh
perusahaan untuk memakai pelindung
telinga di daerah tertentu
- Pengetahuan
mengenai potensi kerusakan
pendengaran jika pelindung telinga tidak
dikenakan
- Tanda menyorot
tempat pelindung telinga diperlukan
- Lingkungan yang
bising -
Memakai pelindung telinga di lingkungan
bising -
Mengurangi kemungkinan
kehilangan fungsi pendengaran di masa
depan
- Kurang kemungkinan
untuk mendapatkan masalah dengan
manajemen untuk tidak mengenakan pelindung
telinga
- Kesulitan mendengar
radio mereka -
Ketidaknyamanan memakai pelindung
telinga
- Teman -teman tidak
mengenakan pelindung telinga
- Pengetahuan bahwa
aturan-aturan untuk mengenakan
pelindung telinga tidak ditegakkan
- Tidak mengenakan
pelindung telinga di lingkungan yang
bising -
Gangguan pendengaran di masa
depan -
Menghindari ketidaknyamanan
dalam memakai pelindung telinga
- Dapat mendengar lebih
baik dalam lingkungan yang bising
Sumber : The Keil Centre, 2002 Contoh pada Tabel 1 menunjukkan kompleksitas analisis perilaku. Dalam
contoh ini,
antecendents
mempengaruhi perilaku yang diinginkan terjadi, sebagai karyawan yang disertakan dengan pelindung telinga, mereka diminta untuk
memakainya, tanda-tanda menyorot tempat yang membutuhkannya dan mereka
tahu kebisingan yang dapat merusak pendengaran mereka. Meskipun
antecedents
sudah jelas dan pada tempatnya, banyak staf tidak mengenakan pelindung telinga mereka, karena mereka menemukan konsekuensi tidak mengenakan pelindung
telinga mereka lebih menarik memperkuat dibandingkan konsekuensi dari memakai pelindung telinga mereka. Dengan demikian, tabel tersebut menjelaskan
bagaimana konsekuensi mempengaruhi perilaku. Analisis ABC mengidentifikasi pola
antecedents
dan konsekuensi yang memperkuat terjadinya perilaku dan konsekuensi yang terjadi untuk perilaku yang
diinginkan. Analisis ini memfasilitasi identifikasi intervensi untuk mengatur ulang antecedents dan konsekuensi meningkatkan frekuensi perilaku yang diinginkan.
Untuk berhasil melakukan analisis ABC, diperlukan untuk memiliki pemahaman yang jelas mengenai perilaku dan apa yang penting bagi orang-orang yang
melakukan suatu perilaku. Oleh karena itu, melibatkan individu dengan pengalaman spesifik perilaku sangat penting.
ABC model of behavior
adalah dasar teoritis untuk intervensi modifikasi perilaku, tetapi menerapkan model teoritis
dalam praktik adalah proses yang lebih kompleks. 5.
Perancangan Intervensi Modifikasi Perilaku Keselamatan Menurut buku
strategies to promote safe behavior as part of a health and safety management system
, perilaku modifikasi program memiliki tiga unsur utama :
a. Menunjukkan dengan tepat perilaku yang relevan, hati-hati menentukan
perilaku yang akan berubah, dan langsung mengukur perilaku.
b. Menganalisis perilaku tersebut dan secara khusus berfokus pada
antecedents
konsekuensi, sebagai konsekuensi misalnya jenis dan frekuensi umpan balik yang diterima memiliki dampak yang kuat dalam menentukan
perilaku. Apa yang terjadi sebelum perilaku
antecedents
juga dapat memiliki dampak yang sangat penting misalnya pelatihan, penetapan tujuan, komunikasi
kebijakan perusahaan. c.
Penekanan pada evaluasi, ketat mengevaluasi apakah perilaku telah berubah sebagai dimaksudkan, dan apakah perubahan itu karena intervensi, atau
faktor lainnya.
Gambar 3. Proses Intervensi Modifikasi Perilaku Sumber : The Keil Centre, 2002
Intervensi modifikasi perilaku bervariasi tergantung pada pengaturan organisasi, target populasi dan perilaku yang harus diubah. Ketiga unsur ini
membentuk enam langkah proses intervensi: a.
Menetapkan hasil yang diinginkan atau keluaran dari kegiatan atau individu di bawah pemeriksaan
b. Menentukan perilaku kritis yang mempengaruhi area kinerja yang akan
diperbaiki c.
Memastikan bahwa individu dapat melakukan perilaku yang diinginkan d.
ABC Melakukan analisis terhadap perilaku saat ini dan yang diinginkan, dan bila perlu mengubah
antecedents
e. Mengubah konsekuensi segera setelah perilaku yang diinginkan
f. Mengevaluasi dampak dari mengubah konsekuensi pada perilaku dan
pada hasil yang diinginkan. Proses enam langkah ini dapat digunakan untuk menganalisis dan
mempromosikan masalah perilaku keselamatan. a.
Menetapkan Hasil yang Diinginkan Langkah pertama dalam setiap proses perubahan perilaku adalah
membangun hasil yang diinginkan atau
output
dari kelompok individu yang bersangkutan. Adalah penting untuk memahami apa yang diusahakan untuk
dicapai karena jika hal ini tidak diketahui, maka tidaklah mungkin untuk menilai keberhasilan.
b. Menentukan Perilaku Kritis
Setelah hasil yang diinginkan yang ditentukan, maka perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil ini perlu didirikan. Ketika menentukan perilaku
yang diinginkan adalah penting untuk ingat bahwa perilaku yang nyata dan diamati, bukanlah keyakinan, sikap atau subjektif. Perilaku ini perlu didefinisikan
secara tepat. Pernyataan seperti: „menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk keselamatan’ adalah terlalu umum. Hal ini diperlukan untuk menentukan perilaku
aktual yang diperlukan untuk menunjukkan komitmen terhadap keselamatan. Sebuah cara yang berguna untuk mengidentifikasi perilaku kritis adalah
memeriksa apa yang membedakan perilaku karyawan yang efektif dari mereka yang kurang efektif di daerah di mana perbaikan yang dicari. Penilaian risiko juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi perilaku kritis yang aman dan tidak aman yang terkait dengan bahaya.
Perilaku ini harus dinyatakan sebagai tindakan yang positif, sebagai lawan dari kurangnya tindakan misalnya Mematuhi semua peraturan dan prosedur
bukan tidak melanggar prosedur. Meskipun ini mungkin tampak seperti perbedaan semantik, adalah merupakan perbedaan penting, karena mungkin untuk
mencapai yang terakhir dengan tidak melakukan apa-apa, yang berarti itu bukan perilaku. perangkap ini dapat dihindari dengan menerapkan
Dead Man Test
yang dikembangkan oleh Lindsley, yang menyatakan, Jika orang mati dapat
melakukan itu, itu bukanlah perilaku dan Anda tidak perlu membuang waktu Anda mencoba untuk memproduksinya.
Meskipun ini mungkin tampak seperti akal sehat, cukup mengejutkan bahwa banyak tujuan bersama melanggar peraturan ini. Misalnya, tujuan
keselamatan umum organisasi adalah nol kecelakaan, yang melanggar
Dead Man Test
, sebagaimana fakta bahwa orang mati tidak pernah mengalami kecelakaan. Hal ini penting untuk menentukan perilaku kritis yang positif meningkatkan
keselamatan. Selain menjadi tindakan positif, perilaku harus dapat diamati, diukur, dan
dapat diandalkan. Kadang-kadang diperbebatkan bahwa perilaku penting banyak yang tidak diamati, tetapi ini tidak dapat menjadi kasus, misalnya dengan definisi
semua perilaku yang diamati, bahkan jika perilaku tersebut hanya diamati oleh seorang aktor. Jika sesuatu itu tidak dapat diamati, maka sesuatu itu bukanlah
perilaku. Begitu sesuatu yang dapat diamati maka dapat diukur, bahkan jika perilaku
tidak terjadi itu dapat diukur, ukurannya adalah nol. Adalah penting bahwa perilaku dapat diukur secara andal apakah perubahan perilaku akan terjadi. Cara
yang paling efektif untuk menguji keandalan adalah untuk membandingkan hasil dari dua pengamat yang mengamati perilaku yang sama. Jika mereka datang
dengan hasil yang sama, maka pengukuran perilaku mereka cukup handal. Ketiga kriteria
observability
, terukurnya dan kehandalan dapat dicapai melalui deskripsi rinci dari perilaku kritis tertentu.
c. Menetapkan bahwa Grup Target dapat Melakukan Perilaku
Sasaran individu atau kelompok harus memiliki kendali atas perilaku kritis untuk intervensi perilaku untuk bekerja. Jika perilaku tersebut tidak berada dalam
kendali mereka, maka tidak akan mungkin bagi mereka untuk mengubah perilaku mereka. Jika mereka tidak mampu melakukan perilaku tersebut kemudian
perubahan akan dibutuhkan dari lingkungan, sistem, peralatan atau individu melalui program pelatihan.
d. Analisis Perilaku ABC
Analisis ABC dilakukan pada perilaku yang diinginkan dan perilaku saat ini untuk mengidentifikasi pendahulu dan konsekuensi dari perilaku tersebut.
1 Mengubah
antecedents
Jika analisis ini menunjukkan bahwa
antecedents
untuk perilaku yang diinginkan tidak di tempat maka hal ini perlu ditangani. Pendahulu yang penting
dan diperlukan agar individu untuk melakukan perilaku sehingga, semua individu yang mungkin diperlukan untuk melakukan perilaku ini akan memerlukan
antecedents
nya. Misalnya, setelah kematian organisasi mengamanatkan bahwa semua karyawan yang bekerja di atas enam kaki harus mengenakan
safety harness
. Akibatnya, ini berarti bahwa semua operator proses perlu memakai
safety harness
di kesempatan, tetapi mereka belum menerima pelatihan tentang bagaimana menggunakan
safety harness
. Insiden berikutnya terungkap bahwa proses operator tidak menggunakan
safety harness
dengan benar dan dengan demikian
safety harness
hanya memberikan perlindungan yang terbatas. 2
Analisis Konsekuensi Analisis ABC melibatkan penilaian konsekuensi yang diinginkan dan
perilaku yang tidak diinginkan dalam hal jangka waktu mereka, prediktabilitas dan signifikansi. Sebuah cara yang efektif untuk memastikan bahwa konsekuensi
bagi individu diidentifikasi adalah melibatkan individu-individu yang melakukan perilaku dalam analisis. Proses mengidentifikasi konsekuensi harus dilakukan di
lingkungan terbuka dimana para peserta dapat menyoroti konsekuensi
negative
hukuman untuk melakukan perilaku yang diinginkan. e.
Mengubah Konsekuensi untuk Memperkuat Perilaku yang Diinginkan Analisis ABC mengidentifikasi konsekuensi yang mendorong perilaku saat
ini, yang menyoroti area yang membutuhkan perubahan. Intervensi ini akan melibatkan lebih banyak menyediakan konsekuensi yang segera, tertentu dan
positif untuk perilaku yang diinginkan atau menghapus konsekuensi-konsekuensi ini dari perilaku yang tidak diinginkan. Pada kenyataannya, campuran keduanya
akan dibutuhkan. f.
Evaluasi Dampak Intervensi Menilai efektivitas program ini membutuhkan pembentukan tingkat
perilaku perubahan dan perubahan hasil yang diinginkan berikut intervensi. Dalam prakteknya, ini melibatkan membandingkan
output
dan perilaku dari kelompok sasaran setelah intervensi dengan ukuran dasar untuk menetapkan
tingkat perubahan. 6.
Unsur Kunci Program Observasi Keselamatan Menurut M. Fleming R. Lardner, observasi perilaku keselamatan dan
program
feedback
mempromosikan perilaku
yang diinginkan
dengan memperkenalkan dukungan positif untuk berperilaku aman. Dukungan positif
tersebut diberikan melalui umpan balik positif. Program-program ini didasarkan pada Model ABC, tetapi ABC
analysis
jarang digunakan secara eksplisit.
Gambar 4. Program
Behavioral Safety
Sumber : The Keil Centre, 2002 a.
Pelaksanaan Efektivitas observasi perilaku keselamatan dan program umpan balik
tergantung dari pelaksanaan yang efektif. Gambar 3 menggambarkan tahap-tahap utama dalam pelaksanaan perilaku program keselamatan.
1 Penilaian Kematangan atau Kesiapan Budaya
Tahap pertama dalam pelaksanaan adalah penilaian dari kesiapan organisasi untuk menerapkan program keselamatan perilaku. Kematangan budaya
merujuk pada unsur-unsur penting budaya keselamatan misalnya komitmen manajemen, kepercayaan, komunikasi yang menentukan kesiapan organisasi
untuk melaksanakan program keselamatan perilaku. Riset baru-baru ini, menunjukkan bahwa organisasi harus memilih program-program keselamatan
perilaku yang sesuai dengan tingkat kematangan budaya di tempat kerja, karena
ketidakcocokan adalah salah satu alasan mengapa program perilaku keselamatan gagal. Karena itu penting bagi organisasi untuk menetapkan bahwa mereka siap
untuk melaksanakan program perilaku keselamatan dan untuk mengidentifikasi masalah potensial yang mungkin mereka hadapi. Dengan mengidentifikasi
hambatan potensial sebelum menerapkan program, organisasi akan mampu mengelola masalah-masalah ini lebih efektif. Misalnya, jika reorganisasi mungkin
terjadi selama pelaksanaan program, maka program bisa ditunda sampai setelah reorganisasi.
2 Dukungan Manajemen dan Tenaga Kerja
Manajemen dan kepemilikan dan dukungan tenaga kerja untuk proses perilaku keselamatan sangat penting untuk keberhasilan program. Sebuah cara
yang efektif untuk memperoleh dukungan dan kepemilikan adalah melibatkan karyawan dalam program ini. Bagi individu untuk terlibat mereka harus merasa
bahwa pandangan dan pendapat mereka adalah penting dan bahwa mereka dapat membuat perbedaan. Oleh karena itu, karyawan harus dapat mempengaruhi
pemilihan program jenis dan bagaimana akan diimplementasikan. Sebuah kelompok sangat penting untuk dilibatkan adalah para supervisor baris pertama
karena mereka dapat baik memfasilitasi atau mencegah pengamatan yang dilakukan.
Selain melibatkan karyawan dalam pemilihan program, mereka juga perlu langsung terlibat dalam pengelolaan program. Tidaklah mungkin bagi semua
karyawan untuk terlibat dalam menjalankan program ini karena individu yang akan terlibat perlu untuk dipilih.
Sebagian besar program-program keselamatan perilaku membutuhkan staf garis depan untuk melakukan perilaku keselamatan pengamatan pada rekan-rekan
mereka. Orang-orang ini biasanya disebut sebagai pengamat. Dalam kebanyakan kasus, karyawan diminta untuk secara sukarela untuk menjadi pengamat, tetapi
kadang-kadang seluruh tenaga kerja terlatih atau kelompok tertentu perwakilan
safety
atau pengawas yang dipilih untuk berpartisipasi. 3
Pelatihan Perilaku Keselamatan Terlepas dari apakah
co-ordinator
tunggal atau kelompok pengarah mengelola program tersebut, pelatihan dalam teknik perilaku keselamatan akan
dibutuhkan. Pelatihan ini mungkin termasuk masukan tentang psikologi mendasari perilaku keselamatan, bagaimana mengidentifikasi keamanan kritis perilaku dan
cara memberikan umpan balik, baik tatap muka atau ke grup. Jumlah individu terlatih dan kedalaman pelatihan akan tergantung pada program tertentu.
Beberapa program melatih semua staf, sedangkan yang lain melatih minoritas karyawan. Selain pelatihan
steering commitee
, pengamat membutuhkan pelatihan dalam cara melakukan pengamatan dan bagaimana untuk merekam informasi.
Kedalaman dan tingkat pelatihan bervariasi antara penyedia layanan. Beberapa penyedia menilai kualitas pengamatan oleh membandingkan pengamatan mereka
sendiri akan situasi dengan pengamatan peserta pelatihan itu. Mayoritas penyedia memberikan bahan organisasi dan instruksi tentang bagaimana untuk melatih
pengamat internal.
4
Menentukan
Critical Safety Behaviors
Sebagian besar program-program perilaku keselamatan mengembangkan daftar perilaku keselamatan penting untuk disertakan pada daftar periksa yang
dilengkapi dengan pengamat. Berbagai teknik dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesehatan dan keselamatan perilaku kritis untuk memasukkan
pada daftar. Semua penyedia diwawancarai diidentifikasi perilaku kritis melalui analisis laporan kecelakaan sebelumnya. Setelah mengatakan ini, hanya dua
penyedia bergantung sepenuhnya pada laporan kecelakaan sebelumnya sebagai sumber perilaku. Sepenuhnya mengandalkan laporan kecelakaan memiliki
keterbatasan yang jarang tetapi kritis kesehatan dan perilaku keselamatan dapat dikecualikan. Analisis Kecelakaan hanya mengidentifikasi perilaku yang
menyebabkan cedera, sehingga tidak termasuk perilaku kesehatan kritis dengan konsekuensi yang belum memanifestasikan diri mereka sendiri misalnya terpapar
asbes dan perilaku yang karena kebetulan belum belum menyebabkan cedera
recordable
. Selain itu, kualitas dan tingkat detail yang diberikan oleh laporan kecelakaan tidak dapat memfasilitasi identifikasi semua perilaku kritis.
5 Membangun sebuah Baseline
Elemen terakhir dalam tahap implementasi adalah membentuk garis dasar. Ini melibatkan melakukan observasi awal untuk menetapkan tingkat saat ini
perilaku aman bagi kritis perilaku diidentifikasi. Tidak semua program membentuk garis dasar. baseline adalah berguna karena memungkinkan umpan
balik tentang keberhasilan program dalam mengubah perilaku.
b. Observasi dan Proses
Feedback
Setelah tahap implementasi telah selesai, maka proses observasi dan umpan balik dimulai. Ini adalah proses yang berkelanjutan dari observasi, umpan
balik, penetapan tujuan dan
review
. 1
Pengamatan Tahap pertama dalam proses adalah melakukan pengamatan. Secara
umum, rekan-rekan melakukan pengamatan, tetapi di beberapa program mereka yang dilakukan oleh atasan. Kesesuaian program beragam dalam pendekatan
mereka untuk melakukan pengamatan dan bagaimana perilaku aman diukur. Secara umum, pengamat diberikan daftar dengan daftar perilaku misalnya
memakai semua APD benar dan pengamat harus menunjukkan apakah individu tersebut aman, tidak aman atau perilaku tidak diamati. Sangat penting bahwa
perilaku jelas digambarkan memungkinkan pengamat untuk menilai apakah seseorang berperilaku aman atau tidak aman.
2 Saran atau Masukan
Umpan balik positif adalah salah satu elemen yang paling penting dalam proses, karena ini adalah konsekuensi positif yang diperkenalkan untuk
memperkuat perilaku yang aman. Ada dua jenis utama umpan balik, sumatif dan formatif. Sumatif menyediakan umpan balik individu dengan informasi tentang
kinerja mereka, misalnya Kerja yang bagus, Sam.. Formatif menyediakan umpan balik informasi tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja
mereka, misalnya Pada saat Anda melakukan penilaian risiko, coba melibatkan tim Anda, karena mereka cenderung memiliki pengetahuan lebih tentang praktis
pekerjaan. Umpan balik formatif harus disampaikan oleh seseorang yang dianggap kredibel dan berpengetahuan oleh individu menerima umpan balik.
Umpan balik sumatif dapat diberikan di depan umum atau secara pribadi, namun khusus untuk formatif harus diberikan secara pribadi karena bila disampaikan di
depan umum dapat disalahpersepsikan sebagai hukuman. Tiga faktor yang mempengaruhi dampak dari umpan balik, yaitu:
a Waktu
Pemberian saran atau masukan harus diperhitungkan waktunya sehingga berguna dan bermakna bagi orang menerima umpan balik. Umpan balik
cenderung paling efektif segera setelah perilaku. b
Fokus Umpan balik harus spesifik dan fokus pada perilaku yang diinginkan
c Kesesuaian
Umpan balik harus sesuai dengan harapan orang yang menerima umpan balik.
Program perilaku keselamatan bervariasi dalam jenis umpan balik yang diberikan. Beberapa program memberikan umpan balik kepada individu pada saat
itu; lain
memberikan umpan
balik kepada
kelompok misalnya
mempresentasikan hasil grafis atau dan beberapa memberikan keduanya. Memberikan umpan balik, terutama umpan balik formatif memerlukan
keterampilan dan keahlian, karena itu pengamat memerlukan sejumlah besar pelatihan dan pembinaan untuk menguasai keterampilan ini.
3 Menetapkan Tujuan dan
Review
Setelah pengamatan dan proses umpan balik yang beroperasi secara efektif, tujuan perbaikan perilaku partisipatif ditetapkan dengan kelompok
sasaran. Meskipun tidak semua program perilaku keselamatan mencakup penetapan tujuan, bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa penetapan sasaran
meningkatkan jumlah perubahan perilaku. Hal ini penting untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai yang realistis sehingga orang akan menjadi termotivasi.
4 Modifikasi Lingkungan
Pengamatan dan proses umpan balik dapat mengidentifikasi kondisi tidak aman atau hambatan
antecedents
kepada individu berperilaku aman. Perbaikan lingkungan atau sistem mungkin diperlukan dalam rangka meningkatkan perilaku
karyawan. Informasi ini dikumpulkan dan tindakan yang diambil untuk membuat perbaikan. Minta umpan balik kepada staf tentang status tidak aman
kondisi disorot oleh sistem sangat penting bagi komitmen yang berkesinambungan untuk program ini.
5 Monitor Performance
Perubahan kinerja dilacak dari waktu ke waktu, untuk menilai dampak program pada perilaku keselamatan. Perubahan persentase observasi di mana
perilaku dinyatakan aman menunjukkan efektivitas proses. Jika tidak ada perubahan atau perbaikan terbatas dalam perilaku tertentu dari waktu ke waktu,
penting untuk
menyelidiki perilaku
ini lebih
terinci untuk
mengidentifikasi apakah ada hambatan untuk kemunculan perilaku aman. Misalnya, manajer dapat memperkuat produktivitas dengan mengorbankan
perilaku yang aman, atau perancangan pabrik miskin dapat membuat aman perilaku sulit dicapai dalam praktek.
6
Review
Daftar Prilaku Kritis Daftar perilaku kritis direvisi secara berkala dan perilaku baru
ditambahkan dan yang sudah ada perilaku diganti. Suatu perilaku kritis dapat dihapus dari daftar dan diganti dengan perilaku baru, ketika telah mencapai
kekuatan kebiasaan, yakni secara konsisten diamati sebagai aman. Setelah tujuan tercapai maka putaran lain penetapan sasaran partisipatif dilakukan.
Di umum, target partisipatif pengaturan sesi yang diadakan secara teratur misalnya kuartalan.
7.
Hubungan
Safety Behavior
dengan
Safety Culture
Menurut Geller, dalam bukunya
The Psychology of Safety Handbook
, secara umum
total safety culture
membutuhkan perhatian berkelanjutan terhadap tiga hal berikut :
a.
Environment factors
termasuk peralatan, perlengkapan, prosedur, standard, dan temperature, keadaan fisik.
b.
Person factors
termasuk sikap, kepercayaan dan kepribadian seseorang
c.
Behavior factors
termasuk praktek kerja aman, serta turut campur dalam masalah safety orang lain
Gambar 5 . “
The Safety Triad
” Sumber : Geller, 1989
Tiga faktor di atas bersifat dinamis dan interaktif. Perubahan di dalam salah satu faktor dapat mempengaruhi dua faktor lainnya. Sebagai contoh,
behaviors
perilaku yang mengurangi kemungkinan kecelakaan sering melibatkan perubahan lingkungan dan menuju kepada sikap yang konsisten dengan
safe behaviors.
Hal ini secara khusus benar jika
behaviors
perilaku dilakukan dengan sukarela. Dengan kata lain, ketika seseorang memilih untuk bertindak dengan
aman
act safely
, mereka bertindak dalam pola pikir aman
safe thinking
. Perilaku tersebut sering menghasilkan perubahan dalam lingkungan.
Sedangkan DuPont mengeluarkan teori, bahwa seiring dengan berkembangnya
safety culture
di perusahaan maka angka kecelakaan juga akan menurun. Tahapan
safety culture
dibagi menjadi empat tahapan, yaitu antara lain :
Reactive
,
Dependent
,
Independent
, dan
Interdependent
.
Complying, Coaching, Recognizing, Communicating, Demonstrating
“Actively Caring” Knowledge, Skill,
Abilities, Intelligence, Motives, Personality
Environment, Tools, Machines, Housekeeping,
HeatCold, Engineering, Standards, Operating
Procedures
SAFETY CULTURE
PERSON ENVIRONMENT
BEHAVIOR
Gambar 6. Hubungan
Injury Rates
dengan
Safety Culture
Sumber : DuPont, 2006
Di dalam
total safety culture
, akan tercipta keadaan sebagai berikut : d.
Setiap orang merasa bertanggung jawab untuk
safety
dan melakukan hal yang berkaitan dengan itu sebagai kebutuhan sehari-hari.
e. Orang-orang peka dalam mengidentifikasi
unsafe conditions
dan
at-risk behaviors
dan mereka dapat mengoreksinya. f.
Praktek kerja aman didukung penuh dengan
rewarding feedback
dari rekan pekerja dan manajer.
g. Orang-orang secara aktif peduli berkesinambungan terhadap
safety
untuk dirinya sendiri dan orang lain.
h.
Safety
tidak dianggap sebagai prioritas yang dapat sewaktu-waktu digantikan tergantung pada keadaan, tetapi
safety
dianggap sebagai suatu nilai yang menjembatani setiap prioritas dari situasi yang ada.
Safety Behavior Unsafe Act
Safety Culture
Upaya Penerapan
Safety Behavior
B. Kerangka Pemikiran