PENGARUH PADAT TEBAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA SISTEM NURSERI

(1)

THE GROWTH AND QUALITY OF TIGER SHRIMP (Penaeus monodon) IN DIFFERENT DENSITY DURING NURSERY PHASE

By

Aris Candra Prihantoro

ABSTRACT

The low productivity during extensive culture of tiger shrimp (Penaeus monodon) may caused by disability to environmental adaptation of shrimp during culture period. Nursery system build up to minimize this constrains and enhances shrimp growth, quality and variation in natural pond system. Nursery system is a method to take care shrimp during post larvae to juvenile size within 14 days. The objective of this research is to measure the growth and the quality of post larvae shrimp during nursery system at different density which is 750; 1250; 1750 and 2250 shrimps/m2, respectively. The observation of juvenile quality was done to observe the digestive tract, weight variation, necrosis, and parasite fouling. In the other side, growth observation was observed by the total length and the body weight. The result showed growth and quality of shrimp significantly differentwithin different density. In contrast survival rate of shrimp in differeny density not significantly different. The density of 750 shrimp/m2 during nursery system in extensive shrimp culture showed optimum in growth and quality. Shrimp production rose optimum size at 2250 shrimp/m2. The simulation of economic analysis of shrimp production showed benefit to farmer in 1750 shrimp/m2 of density. This study support shrimp production in traditional method may increase with nursery system and additional feed in short period (2 weeks). Key words: tiger shrimp, extensive culture, nusery, density, growth


(2)

PENGARUH PADAT TEBAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA SISTEM NURSERI

Oleh

Aris Candra Prihantoro

ABSTRAK

Budidaya udang windu (Penaeus monodon) skala tradisional memiliki kekurangan diantaranya produktifitas tambak yang rendah. Salah satunya disebabkan oleh benur yang ditebar belum mampu menghadapi lingkungan tambak yang fluktuatif. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan sistem nurseri (pengasuhan) yang dapat meningkatkan kualitas benur dalam hal ukuran dan meningkatkan kemampuan beradaptasi pada lingkungan tambak. Kegiatan nurseri merupakan pemeliharaan benur dari post larva (PL) menjadi gelondong dengan masa pemeliharaan maksimal 14 hari. Nurseri juga dilakukan untuk meminimalisasi variasi pertumbuhan. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui pertumbuhan dan kualitas gelondong udang windu serta kepadatan optimal yang sesuai dengan lingkungan tambak tradisional di Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur. Perlakuan padat tebar yang digunakan adalah 750 ekor/m2, 1250 ekor/m2, 1750 ekor/m2, dan 2250 ekor/m2 yang dipelihara dalam hapa pada tambak irigasi. Pengamatan kualitas gelondong dilakukan dengan mengamati isi usus, keseragaman, nekrosis, dan penempelan sedangkan pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan mengukur panjang dan berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar berbeda nyata pada pertumbuhan berat dan panjang tetapi tidak berbeda nyata pada kelulushidupan. Kualitas gelondong dan pertumbuhan terbaik ditunjukkan oleh perlakuan kepadatan 750 ekor/m2. Produksi gelondong terbanyak diperoleh dari perlakuan 2250 ekor/m2. Analisis usaha menunjukkan keuntungan tertinggi diperoleh dengan pemeliharaan benur pada kepadatan 1750 ekor/m2. Lingkungan tambak irigasi yang kurang terkontrol hanya mampu memberikan hasil terbaik pada kepadatan 750 ekor/m2 dalam hal pertumbuhan dan kualitas gelondong.


(3)

(4)

(5)

(6)

Dengan ini saya meny 1. Karya tulis saya,

diajukan untuk Universitas Lampun

2. Karya tulis ini m bantuan pihak lai

3. Dalam karya tuli atau dipublikasi dicantumkan seba dan dicantumkan da

4. Pernyataan ini sa terdapat penyimpa bersedia menerim diperoleh karena norma yang berla

PERNYATAAN

nyatakan bahwa:

ya, Skripsi/Laporan Akhir ini, adalah asli dan uk mendapat gelar akademik (Sarjana/Ahli Ma

mpung maupun di perguruan tinggi lainnya.

ni murni gagasan, rumusan, dan penelitian say k lain, kecuali arahan tim pembimbing.

ulis ini tidak terdapat karya atau pendapat ya kasikan orang lain, kecuali secara tertulis n sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan na

kan dalam daftar pustaka.

saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di pangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan rima sanksi akademik berupa pencabutan g na karya tulis ini, serta sanksi lainnya yang rlaku di Perguruan Tinggi ini.

Bandar Lampung, Okt Yang Membuat Perny

dan belum pernah Madya), baik di

saya sendiri, tanpa

yang telah ditulis ulis dengan jelas n nama pengarang

di kemudian hari aan ini, maka saya gelar yang telah ng sesuai dengan

, Oktober 2014 rnyataan


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 01 Agustus 1991, sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Sigit Rasino dan Ibu Sulastri.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 7 Bagelen Gedong Tataan Pesawaran pada tahun 2003. Menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Gedong Tataan Pesawaran pada tahun 2006 serta menamatkan pendidikan di SMA Negeri 7 Bandarlampung pada tahun 2009.

Tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S1 ke Perguruan Tinggi Universitas Lampung di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Perairan melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama menjadi mahasiswa penulis ikut organisasi di Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA) sebagai anggota bidang Kerohanian pada tahun 2011-2012.

Alhamdulillah selama perkuliahan dari semester 4 s/d 9, penulis mendapatkan bantuan dana untuk bisa terus melanjutkan kuliah melalui program beasiswa BUMN.


(8)

Selama menikmati masa perkuliahan pada bulan Juli 2013 selama 30 hari penulis mengikuti Praktik Umum (PU) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampungdengan judul “Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Cromileptees altivelis)”.Kemudian penulis juga mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pekon Labuhan Ratu, Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur selama 40 hari. Dan yang terakhir penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Padat Tebar terhadap Pertumbuhan dan Kulitas Udang Windu (Penaeus monodon)” di lokasi pertambakkan Desa Purworejo Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur.


(9)

PERSEMBAHAN

Karya ini ku persembahakan sebagai tanda baktiku

kepada kedua orang tua, Ibu dan Bapak serta

Keluarga yang selalu mendoakan

dan memberikan motivasi

.

Untuk sahabat-sahabatku

serta semua pihak yang ikut membantu

menyelesaikan skripsi ini.

Dan tak lupa untuk almamater tercinta.

Universitas Lampung


(10)

A

✁✂ ✄☎ ✆✝✁✆✝ ✞ ✁✟ ✠✡ ✁✆✝

-

✠✡ ✁✆✝ ☛ ✁✆✝ ☞ ☎ ✡✌ ✄ ✁✆ ✍✌ ✁ ✆✟ ✁ ✡✁ ✞ ✁ ✌✁✆ ✍✁✆ ✠ ✡✁✆✝

orang yang diberi ilmu

dengan beberapa derajat.

(QS Al - Mujadalah [58]: 11)

Sebaik

baiknya manusia adalah yang paling banyak

manfaatnya bagi manusia yang lain.

~

HR. Thabrani

~

Kesempatan akan menjadi nol apabila kita berhenti

berusaha.

~ Aris Candra ~

Semakin tinggi prestasi yang dicapai, maka cobaan

akan membuat kita semakin kuat.


(11)

SANWACANA

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahamat dan dan karunia – Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada program studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan judul “Pengaruh Padat Tebar terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Udang Windu (Penaeus monodon) pada Sistem Nurseri“.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S, selaku dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc, selaku ketua program studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Bapak Ir. Suparmono, M.T.A. selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan motivasi penuh dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Wardiyanto, S.Pi, M.P, selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Yudha T. Adiputra, S.Pi, M.Si, selaku dosen pembimbing II atas


(12)

6. Bapak Limin Santoso, S.Pi., M.Si, selaku dosen pembahas atas segala kritik, saran dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

7. Bapak Ansori, Bapak Ali, Bapak Min, dan Pak Muhari, yang telah membimbing dan memberikan solusi penulis selama melaksanakan penelitian di Lampung Timur.

8. Ibunda dan ayahanda atas cinta dan kasih sayang, perhatian, pengorbanan

dan dukungan serta do’a yang selalu dipanjatkan demi kelancaran,

keselamatan dan kesuksesan hingga penulis bisa sampai pada tahap ini. 9. Kakak – kakakku yang senantiasa memberikan masukan moriil serta

materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

10. Teman-teman satu tim penelitian (Rico Wahyu, dan Nyi Ayu) yang selalu solid dan kompak dari awal sampai akhir penelitian.

11. Sahabat seperjuangan Ahmad Fauzy, S.Pi dan M. Pebriansyah yang selalu ada disaat susah maupun senang, yang selalu ada untuk penulis dari menjadi mahasiswa sampai terselesaikannya skripsi dan telah menemani penulis menjalankan hari-hari dikampus serta menjadi tempat menuangkan isi hati.

12. Teman–teman Rekreasi, Imam, Jumaidi, Yuti, Eko, Rudi, Robert, Angga, Erwin, Anggi, Ginanjar, Ali, Bay, Hermawan, Ardi, Dimas yang selalu menghibur penulis ketika masa sulit selama penelitian.

13. Teman–teman angkatan 2010, Adit, Median, Aan, Soma, Soffan, Sandy, Andi, Fadli, Aziz, Vina, Assovaria, Winda, Windi, Nikky, Rossi, Pratica, Reinita, Yuli, Dwinda, Dike, Sera, Jelita, Rima, Dian, Safrina, Mauli, Friska, Duma, Eli, Siti, Aulia Sonida, S.Pi., Septi Diana, S.Pi., Asri


(13)

Retno, S.Pi., terimakasih atas kekompakan kesolidan, kebersamaan, dan persaudaraan kita selama ini sehingga kita semua mampu menghadapi berbagai masalah bersama-sama..

14. Seluruh warga Budidaya Perairan Unila angkatan 2008, 2009, 2011, 2012 sampai 2013.

15. Desi Setianingrum dan Diana Nur’afni yang telah membantu dalam

penyelesaian skripsi ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Hanya dengan Do’a yang dapat penulis berikan untuk membalas budi semuanya. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua, dan dengan segala kerendahan semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Bandar Lampung, Oktober 2014


(14)

xv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Hipotesis... 4

1.5 Kerangka Pikir ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaus monodon)... 6

2.1.1 Klasifikasi ... 6

2.1.2 Morfologi ... 6

2.1.3 Sifat dan Kehidupan Udang Windu ... 7

2.1.4 Habitat ... 8

2.2 Padat Penebaran ... 8

2.3 Pengasuhan/Nurseri Budidaya Udang Windu ... 9

2.4 Budidaya Udang Windu Tradisional... 9

2.5 Irigasi Tambak ... 10

2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan ... 10

2.7 Kelulushidupan ... 11

2.8 Pakan ... 12

2.9 Hapa ... 13

2.10 Kualitas Air ... 13

2.10.1 Suhu ... 13

2.10.2 Salinitas ... 14

2.10.3 Derajat Keasaman (pH) ... 15

2.10.4 Oksigen Terlarut ... 15

2.10.5 Kecerahan ... 16

III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Konstruksi dan Kedalaman Tambak ... 17

3.4 Desain Penelitian ... 17

3.5 Prosedur Penelitian ... 19


(15)

xvi

3.5.2 Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.5.2.1 Benur ... 19

3.5.2.2 Pengambilan Contoh... 20

3.5.2.3 Pengambilan Contoh Kualitas Air ... 20

3.5.2.4 Manajemen Pakan ... 20

3.6 Parameter yang Diamati ... 21

3.6.1 Kelulushidupan ... 21

3.6.2 Berat Tubuh... 21

3.6.3 Pertumbuhan Berat Harian... 22

3.6.4 Panjang Tubuh ... 22

3.6.5 Pertumbuhan Panjang Harian... 22

3.6.6 Koefisien Keragaman Panjang... 23

3.6.7 Kualitas Air ... 23

3.7 Analisis Data ... 23

3.8 Analisis Usaha ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Air ... 25

4.2 Kualitas Air ... 25

4.2.1 Suhu ... 26

4.2.2 Derajat Keasaman (pH) ... 27

4.2.3 Salintas... 28

4.3 Kualitas Benur ... 28

4.4 Kelulushidupan ... 30

4.5 Pertumbuhan ... 31

4.5.1 Pertumbuhan Panjang ... 31

4.5.2 Pertumbuhan Berat ... 34

4.6 Produksi ... 36

4.7 Pembahasan Umum... 38

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 43

5.2 Saran ... 43


(16)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Bahan yang dibutuhkan dalam Penelitian... 17 2. Kiaran Nilai Parameter Kualitas Air pada Kegiatan Nurseri ... 26 3. Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air Harian ... 26 4. Kualitas Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon) pada

Kegiatan Nurseri... 29 5. Analisis Usaha Nurseri Udang Windu (Penaeus monodon) ... 37 6. Parameter Produksi Kegiatan Nurseri Udang Windu (Penaeus monodon)... 40


(17)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Kerangka Pikir ... 5

2. Desain Penempatan Satuan Unit Perlakuan ... 18

3. Kelulushidupan Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon) ... 30

4. Panjang Akhir Udang Windu (Penaeus monodon) ... 32

5. Pertumbuhan Panjang Udang Windu (Penaeus monodon) ... 32

6. Panjang Harian Udang Windu (Penaeus monodon)... 33

7. Koefisien Keragaman Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon)... 34

8. Berat Akhir Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon)... 35

9. Berat Harian Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon) ... 35


(18)

✎i✎

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Analisis Sidik Ragam ... 47 2. Peta Karakteristik Pertambakkan Pasir Sakti ... 55


(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki 70% wilayah perairan dengan daya dukung lingkungan yang besar untuk memperoleh sumberdaya ikan dan udang (KKP, 2009). Pemanfaatan sumberdaya alam melalui penangkapan ikan dan udang memberikan dampak yang buruk sehingga upaya produksi melalui budidaya harus dikembangkan. Melalui perusahaan dan petani udang, produksi udang di Indonesia memberikan hasil yang optimal dan meningkatkan devisa negara serta menyediakan bahan makanan berprotein tinggi bagi masyarakat domestik maupun internasional (Yuliati, 2009).

Ekspor udang di Indonesia ke berbagai negara tujuan seperti Jepang, Hongkong, Singapura, Jerman, Australia, dan Uni Eropa yang selama ini diproduksi oleh tambak intensif memiliki kendala dalam menjaga daya dukung lingkungan tambak. Ciri – ciri dari tambak intensif adalah tingginya penggunaan pakan buatan, obat-obatan dan bahan kimia, yang pada akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan tambak. Berbagai kasus kematian udang windu (Penaeus monodon) sejak tahun 1990-an, baik akibat dari daya dukung lingkungan yang menurun dan infeksi penyakit seperti parasit, jamur, bakteri dan virus yang menyebabkan kemunduran produksi (Dwinanti, 2006).


(20)

2 Rendahnya produksi udang karena infeksi penyakit dan daya dukung lingkungan yang rendah mendorong pemerintah tetap mempertahankan produksi udang dengan sistem tambak tradisional (ekstensif). Penerapan tambak udang tradisional mampu menjaga daya dukung lingkungan tambak dengan mengurangi pemberian pakan buatan dan tidak menggunakan obat-obatan dan bahan kimia. Tambak ekstensif memberikan peluang usaha dengan memproduksi udang windu organik yang menjadi primadona di pasar internasional karena memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan udang windu hasil tambak intensif.

Tambak ekstensif mengalami kemunduran produksi dalam perkembangannya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya padat tebar benur udang windu dan ukuran benur (post larva/PL-12) yang belum siap menghadapi lingkungan tambak yang fluktuatif. Sistem nurseri (pengasuhan) dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi benur sebelum dibesarkan dalam tambak. Kajian mengenai padat tebar pada fase nurseri belum banyak dilakukan pada tambak udang windu berpola ekstensif yang disesuaikan dengan ukuran dan produktifitas kolam, kuantitas pakan alami yang tersedia dan kualitas air tambak. Padat tebar udang yang terlalu rendah akan menyebabkan produktifitas tambak berlebih yang ditandai dengan tumbuhnya pakan alami dengan cepat (plankton blooming). Padat penebaran yang melebihi daya dukung lahan dapat menyebabkan kesulitan udang budidaya dalam mendapatkan ruang serta oksigen sehingga pertumbuhannya terhambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengasuhan benur udang windu yaitu dari ukuran PL menjadi gelondong dalam sistem nurseri. Selain dapat meningkatkan daya tahan udang windu, pengasuhan ini juga diharapkan dapat meningkatkan ukuran gelondong dan kelulushidupan udang windu.


(21)

3 Penelitian mengenai nurseri udang windu yang dilakukan Budiardi (2005) dengan padat tebar 250, 500, 750, dan 1000 ekor/m2 selama 14 hari pemeliharaan belum menunjukkan perbedaan yang nyata, baik pertumbuhannya maupun kelangsungan hidup. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Heryanto (2006) dengan padat tebar 1000, 1500, 2000, dan 2500 ekor/m2 memberikan 20% perbedaan tehadap koefisien panjang. Studi ini menggunakan padat tebar yang berbeda dengan kedua penelitian sebelumnya yaitu 750, 1250, 1750, dan 2250 ekor/m2 dengan lama pemeliharaan 14 hari. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang tepat mengenai padat penebaran pada fase nurseri udang windu untuk meningkatkan hasil produksi terutama pada tambak pola tradisional.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mempelajari pertumbuhan, kualitas, variasi ukuran dan kelulushidupan udang windu dengan padat tebar berbeda pada fase nurseri

2. Mempelajari padat tebar yang optimal memberikan keuntungan dengan menggunakan simulasi analisis ekonomi pada tambak udang tradisional.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses pengasuhan serta padat penebaran yang optimal pada udang windu, sebagai cara meningkatkan produksi udang pada tambak ekstensif.


(22)

4

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah

H0: µ0= 0 pada selang kepercayaan 95% tidak terdapat pengaruh padat tebar

terhadap pertumbuhan, kualitas, variasi ukuran dan kelulushidupan udang windu pada sistem nurseri.

H1: µ0≠0 pada selang kepercayaan 95% terdapat pengaruh padat tebar

terhadap pertumbuhan, kualitas, variasi ukuran dan kelulushidupan udang windu pada sistem nurseri.

1.5 Kerangka Pikir

1. Kerangka Pikir

Budidaya udang windu dimulai dari panti benih dengan memproduksi naupli ataupun benur. Produksi benur yang dihasilkan dari panti benih dapat langsung ditebar ke tambak ataupun diasuh untuk peningkatan kemampuan adaptasi. Upaya peningkatan kemampuan adaptasi dengan nurseri, yaitu pengasuhan benur dari ukuran PL menjadi gelondongan yang dipelihara dengan kondisi terkontrol.

Pada fase nurseri terdapat adanya variasi respon pertumbuhan pada padat tebar yang berbeda. Padat penebaran tinggi menyebabkan udang windu mengalami kesulitan dalam mendapatkan ruang dan oksigen sedangkan padat penebaran yang rendah akan menurunkan produktifitas. Oleh karena itu dilakukan perlakuan padat tebar udang windu pada fase nurseri yaitu 750 ekor/m2, 1250 ekor/m2, 1750 ekor/m2, dan 2250 ekor/m2. Perlakuan ini diharapkan dapat menghasilkan pertumbuhan dan kualitas tokolan udang windu yang optimal untuk ditebar di tambak.


(23)

5

2. Skema Kerangka Pikir

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Budidaya Udang

Peningkatan Adaptasi

Pengasuhan (Nurseri)

Pertumbuhan pada Variasi Padat Tebar

Padat Penebaran Tinggi Padat Penebaran Rendah

Perlakuan Padat Tebar 750 ekor/m2 1250 ekor/m2 1750 ekor/m2 2250 ekor/m2

Dihasilkan Padat Tebar Optimal Panti Benih

Langsung ditebar di tambak

Kesulitan mendapatkan Ruang dan Oksigen

Potensi Produktivitas Rendah


(24)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon)

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea

Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Matantia Famili: Penaedae

Genus : Penaeus

Spesies: Penaeus monodon

2.1.2 Morfologi

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dengan kepala dan dada menyatu yang disebut kepala (cephalotorax), serta bagian belakang yang disebut badan (abdomen). Kepala dan dada udang windu terbungkus oleh cangkang yang disebut dengan carapace. Cephalotorax terdiri dari 5 segmen


(25)

7 untuk bagian kepala dan 8 segmen untuk bagian dada pada ujungnya terdapat rostrum yaitu cangkang keras dan bergerigi, sedangkan abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson.

Bagian kepala udang windu memiliki 5 pasang appendage, terdiri dari 2 pasang antenulla yang berfungsi sebagai penciuman dan keseimbangan, 1 pasang mandibula untuk mengunyah, serta sepasang maxilulla dan maxilla untuk membantu makan dan bernapas. Bagian dada udang windu memiliki tiga pasang maxilped yang berfungsi membantu proses makan udang. Bagian badan udang windu memiliki 5 pasang kaki renang (pleopoda) dan 5 pasang kaki jalan (periopod) serta sepasanguropdauntuk membantu gerakan melompat dan naik turun (Tricahyo, 1995).

2.1.3 Sifat dan Kehidupan Udang Windu

Udang windu memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas sampai pada kisaran 35-45 ppt. Pertumbuhan udang windu ditunjukkan pada adanya proses pergantian kulit (moulting). Kondsi udang saat ganti kulit sangat lemah sehingga akan sangat mudah diserang oleh sesama udang lainnya. Hal ini disebabkan udang memiliki sifat kanibalisme. Udang biasanya membenamkan diri kedalam lumpur untuk menghindari ancaman tersebut (Sumeru dan Anna, 2004). Windu aktif di malam hari (nocturnal) dalam mencari makan. Makanan dari udang ini sangat bervariasi yaitu dari jenis crustacea rendah, moluska, ikan-ikan kecil, cacing, larva serangga, maupun sisa bahan organik (Murtidjo, 2003).


(26)

8

2.1.4 Habitat

Udang windu bersifat bentik, dan menyukai dasar perairan yang lembut, biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Udang windu lebih suka bersembunyi di rumpon dan membenamkan diri dalam lumpur pada saat moulting, hal ini dilakukan udang untuk menghindari pemangsaan. Menurut Mudjiman (2003), udang dewasa bertelur di laut kemudian larva yang menetas bergerak ke daerah muara. Semakin dewasa udang akan bergerak secara berkelomok menuju ke laut untuk melakukan perkawinan.

2.2 Padat Penebaran

Padat penebaran merupakan jumlah ikan yang ditebar pada suatu wadah dan dinyatakan dalam jumlah persatuan luas atau persatuan volume. Kepadatan tebar ikan dalam suatu lahan disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas makanan, jenis kolam dan ukuran ikan, sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Kepadatan yang rendah dan kuantitas pakan mencukupi akan meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan (Syahid, 2006).

Menurut Syafiuddin (2000) padat penebaran udang windu pada tambak bergantung pada sistem budidaya yang diterapkan. Untuk sistem budidaya ekstensif maksimal 5 ekor/m2, semi intensif maksimal 5-10 ekor/m2, intensif 15-40 ekor/m2, dan super intensif lebih dari 100 ekor/m2. Padat tebar tidak mempengaruhi pertumbuhan udang pada batas-batas tertentu melainkan hanya meningkatkan kemampuan cerna udang dalam mengubah pakan menjadi biomass. Padat penebaran yang rendah akan menghasilkan sedikit udang dengan ukuran


(27)

9 besar sedangkan padat tebar tinggi menghasilkan banyak udang dengan ukuran kecil (Heryanto, 2006).

2.3 Pengasuhan (nurseri) Udang Windu

Pengasuhan (nurseri) udang dalam tambak merupakan kegiatan pemeliharan benur udang mulai dari ukuran PL-12 sampai dengan PL-25. Pemeliharaan ini dilakukan pada kondisi terkontrol sebagai upaya adaptasi benur terhadap lingkungan tambak yang fluktuatif. Pengasuhan udang bertujuan untuk meningkatkan kualitas benur yang ditebar, seperti tahan terhadap serangan penyakit, mampu bertahan pada perubahan lingkungan (Purwanto, 2005).

Fase nurseri dapat mempersingkat waktu budidaya karena udang terlebih dahulu dipelihara dalam kondisi terkontrol. Hal ini juga memberikan dampak dalam penyempurnaan persiapan tambak pembesaran. Dari upaya nurseri ini diharapkan mampu memanajemen pemberian pakan, mengurangi serangan predator sehingga pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang meningkat (Rouse and Davis, 2004).

2.4 Budidaya Udang Windu Tradisional

Budidaya udang windu secara tradisional merupakan kegiatan pemeliharaan udang dengan padat tebar rendah dan mengandalkan pakan alami dari alam. Penerapan teknologi pada kegiatan ini masih rendah sehingga tidak ada penanganan khusus apabila terjadi infeksi penyakit maupun buruknya kualitas air. Keunggulan dari tambak tradisional ini yaitu dengan produksi udang organik. Udang organik merupakan udang dari hasil tambak yang dalam prosesnya tidak menggunakan bahan-bahan anorganik dan bahan kimia. Menurut Ditjen Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan (2009) dalam melaksanakan


(28)

10 budidaya udang organik, penggunaan bahan pakan dan obat-obatan yang berasal dari bahan anorganik dan kimia ditiadakan. Produksi udang organik dapat dihasilkan dari tambak ekstensif atau tradisional. Penerapan tambak ekstensif ini bertujuan untuk mengurangi dampak degradasi lingkungan akibat kualitas air yang buruk dari intensifikasi tambak. Budidaya ini seringkali diterapkan secara polikultur (Syahid, 2006).

Kegiatan budidaya udang secara tradisional yang masih berjalan yaitu didaerah Lampung Timur. Biasanya dilakukan secara polikultur dengan bandeng atau nila. Padat penebaran benur yang dilakukan masyarakat yaitu 15.000 ekor/ha dengan perbandingan udang dan bandeng 1 :10. Penerapan teknologi yang masih rendah menyebabkan produksi tidak dapat ditentukan. Kondisi irigasi yang dijadikaninlet danoutletdapat menjadi tempat masuknya bibit penyakit, hal ini akan menambah kemunduran produksi dalam budidaya tradisional (Syahid, 2006).

2.5 Irigasi Tambak

Menurut Undang – undang nomor 7 tahun 2004, irigasi merupakan usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. irigasi tambak terdiri dari dua jenis yaitu tradisional dan semi teknis. Adapun perbedaan daru dua jenis irigasi ini adalah pada semi teknis dilengkapi dengan sistem pencampuran air laut dengan air tawar sedangkan irigasi tradisional tidak. Sistem pencampuran dari jenis irigasi semi teknis dilakukan secara sederhana dan diterapkan untuk kegiatan budidaya udang. Pada irigasi tradisional, percampuran antara air asin dan tawar dilakukan secara alami


(29)

11 dan tidak teratur, sehingga jumlah dan mutu air tidak terkendali. Hal ini dapat menyebabkan masuknya bibit penyakit yang menyerang tambak.

2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan

Udang windu memiliki beberapa fase dalam perkembangannya, urutan perkembangannya yakni dimulai darinauplius, zoea, mysis, post larva, dan udang dewasa. Pada setiap fase udang mengalami beberapa pergantian kulit (moulting). Moulting merupakan fenomena yang menyebabkan udang mengalami pertumbuhan baik bobot, volume, maupun ukuran. Moulting pada udang disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kehilangan salah satu anggota tubuh, udang akan mempercepat proses moulting sedangkan adanya telur pada udang akan menunda proses moulting. Faktor eksternal meliputi perubahan lingkungan yang ekstrim seperti perubahan cuaca. Berdasarkan kuantitasnya udang dapat moultingsecara individu maupun serentak atau massal, udang mengalamimoultingmassal disebabkan oleh adanya perubahan ekstrim pada lingkungan sekitarnya (Mujiman, 2003).

2.7 Kelulushidupan

Kelulushidupan merupakan perbandingan antara udang yang hidup diakhir pemeliharaan dengan jumlah total pada awal penebaran (Effendie, 2003). Tingkat kelulushidupan udang windu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kualitas induk, kualitas telur, kualitas air, dan perbandingan jumlah pakan dan kepadatan benur. Kualitas induk yang buruk akan menghasilkan kualitas telur yang buruk pula sehingga ketahanan benur terhadap perubahan lingkungan akan rendah. Kualitas air yang fluktuatif menyebabkan benur mengalami stress kemudian mati.


(30)

12 Kepadatan penebaran yang tinggi menyebabkan kompetisi dalam mendapatkan ruang dan oksigen sehingga dalam konsumsi pakan mengalami penurunan (Nuhman, 2009).

Mortalitas merupakan kematian yang dialami oleh individu dalam suatu populasi sehingga menyebabkan penurunan populasi itu sendiri. Kematian udang dapat disebabkan oleh penyakit terutama bakteri dan virus, kemudian pemangsaan yang disebabkan karena adanya predator dalam tambak, serta kanibalisme sesama udang windu. Umur dan daya penyesuaian diri juga menyebabkan kematian pada udang. Mortalitas secara langsung mempengaruhi kelulushidupan udang yang erat kaitannya dengan hasil produksi tambak, dan merupakan parameter yang diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan tambak (Murtidjo, 2003).

2.8 Pakan

Kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh postlarva udang menurut Watanabe (2001) yaitu protein 40-50%, karbohidrat 20% dan lemak 5-10%. Kebutuhan nutrisi tersebut dapat diperoleh dengan pakan udang yang diberikan untuk kegiatan tambak berupa pakan alami dan buatan. Secara umum jumlah pakan buatan yang diberikan dalam kegiatan tambak udang berbeda menurut pola tambak yang diterapkan. Pemberian pakan buatan untuk pola tambak ekstensif dan semi intensif lebih dibatasi dan lebih mengandalkan kuantitas pakan alami yang tersedia di tambak dibandingkan dengan pola intensif (Murtidjo, 2003).

Pakan alami yang diberikan pada udang dapat berupa rotifer yang dikultur untuk keperluan tambak. Sedangkan pakan buatan yang diberikan adalah jenis remahan untuk benur dan bersifat tenggelam dalam air, hal ini disebabkan karena udang


(31)

13 hidup didasar peraian. Persaingan dan kompetisi makanan dapat memunculkan sifat kanibalisme udang, untuk itu pemberian pakan secara merata dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan antar individu dalam memperoleh makanan (Sumeru dan Anna, 2004).

2.9 Hapa

Hapa merupakan jaring berbentuk kubus tanpa tutup yang diletakkan dalam air. Penggunaan alat ini sama persis dengan penggunaan keramba jaring apung, dengan ukuran yang lebih kecil. Hapa sering digunakan dalam pemeliharaan benur yang akan ditebar dalam kolam. Hal ini dilakukan untuk mengontrol benur dalam membatasi pergerakkan sebelum ditebar ditambak.

2.10 Kualitas Air

Kualitas air memiliki beberapa parameter yaitu fisika (suhu, kekeruhan, padatan tersuspensi), parameter kimia (pH, DO, BOD, salinitas, kadar logam), dan parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri, jamur). Beberapa parameter tersebut berpengaruh terhadap kelangsungan budidaya udang windu pada tambak. Kurang optimalnya kualitas air pada tambak akan mengakibatkan udang mengalami gangguan seperti nafsu makan menurun, terhambatnya proses moulting, dan mudah terserang penyakit (Efendie, 2003).

2.10.1 Suhu

Suhu pada tambak sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme, kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi, dan tingkah laku udang serta perubahan stadia udang windu (Buwono, 1993). Kelarutan gas O2, CO2, ammonia,


(32)

14 maka kelarutan gas dalam air tersebut akan semakin rendah. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu perairan, kondisi ini akan memberikan pengaruh pada kebutuhan pakan dan konsumsi oksigen (Kordi dan Tancung, 2007). Udang windu memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan suhu, dan masih dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran suhu 26 – 32 oC (Tricahyo, 1995).

2.10.2 Kadar Garam (Salinitas)

Menurut Tricahyo (1995) kadar garam untuk pemeliharaan udang windu di tambak antara 15-30 ppt. Udang windu bersifat eurihalin, sehingga memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas. Perubahan salinitas di suatu perairan mengakibatkan terganggunya proses molting pada udang, sehingga pertumbuhan udang terhambat. Pada salinitas 5-10 ppt moulting udang dapat lebih cepat namun lebih sensitif terhadap serangan penyakit (Tricahyo, 1995). Salinitas pada tambak dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau salinitas akan meningkat, sedangkan pada musim hujan salinitas akan menurun.

Perubahan salinitas secara tiba-tiba menyebabkan udang windu mengalami stress dan mati. Hal ini disebabkan karena air dari lingkungan akan masuk kedalam sel-sel tubuh udang melalui proses difusi, kandungan air yang berlebih akan mengakibatkan sel mengalami lisis dan menyebabkan kematian pada udang (Tricahyo, 1995).

2.10.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan logaritma negatif dari ion-ion hidrogen yang terlepas dari suatu cairan. Nilai pH suatu perairan dapat dijadikan sebagai


(33)

15 indikator baik buruknya suatu perairan dan dapat berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan udang windu. Kisaran normal pH untuk pemeliharan udang windu berkisar antara 7,5– 8,5. Udang mengalami kematian pada pH kurang dari 4 dan lebih dari 10. Nilai pH yang rendah menyebabkan perairan asam, dan mengakibatkan gangguan dalam proses penyerapan kitin sehingga udang menjadi keropos, sedangkan pada pH tinggi menyebabkan perairan basa yang mengakibatkan peningkatan daya racun ammonia (Effendie, 2003).

2.10.4 Oksigen Terlarut (DO)

Udang windu sangat rentan terhadap perubahan kandungan oksigen terlarut dalam tambak, karena berpengaruh secara langsung terhadap fungsi biologis udang. Kandungan Oksigen terlarut yang dapat mendukung kelangsungan hidup udang minimum 3 ppm, namun yang baik untuk pertumbuhan berkisar antara 5 – 10 ppm. Kandungan oksigen terlarut yang rendah akan menyebabkan udang mengalami stress sehingga mudah terserang penyakit seperti bakteri, jamur, parasit, dan virus. Oksigen terlarut dalam tambak memiliki peran oksidator bahan-bahan organik yang ada di tambak. Proses oksidasi ini menghasilkan bahan-bahan-bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dan tumbuhan dalam tambak. Sedangkan pada kandungan oksigen rendah, maka proses yang terjadi bersifat anaerob sehingga bahan yang dihasilkan bersifat toksik (Azizi, 2005).

2.10.5 Kecerahan

Kecerahan air dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi dan terkoloid dalam air,. Bahan-bahan tersebut dapat berupa organisme hidup dan partikel lumpur. Organisme hidup seperti plankton menjadi penyumbang terbesar dalam


(34)

16 mempengaruhi kecerahan pada tambak. Kecerahan air di bawah 25 cm disebut denganbloomingplankton kondisi ini dapat menyebabkan plankton mengeluarkan zat toksik sehingga akan berbahaya bagi udang. Kecerahan air untuk udang windu berkisar antara 31-45 cm. Kecerahan dibawah kisaran normal juga dapat membatasi penetrasi cahaya untuk dapat masuk ke kolom air (Buwono 1993).


(35)

17

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Mei 2014 sampai Juni 2014 bertempat di Desa Purworejo Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur.

3.2 Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat dan Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian

No Alat Bahan Uji

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Alat Tulis Thermometer pH meter Refraktometer DO meter Digital Kaliper Timbangan digital Kaca Pembesar Hapa Waring Anco

Udang windu ukuran PL 8

Pakan buatan Top Sea Grass Powder (1) dan Top Mini Grain (1)

3.3 Konstruksi dan Kedalaman Tambak

Tambak yang digunakan dalam penelitian ini adalah tambak irigasi dengan ukuran 20 x 10 m2dengan kedalaman 1 m dan ketinggian air 50 cm.

3.4 Desain Penelitian

Penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan kepadatan penebaran yaitu 750 ekor/ m2, 1250 ekor/ m2,


(36)

18 1750 ekor/ m2, dan 2250 ekor/ m2pada setiap hapa dan dilakukan sebanyak 4 kali ulangan. Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak.

Desain penempatan satuan perlakuan adalah sebagai berikut :

z

Gambar 2. Desain Penempatan Satuan Unit Perlakuan Keterangan :

A1, A2, A3, A4 : Perlakuan dengan padat tebar 750 ekor/m2

B1, B2, B3, B4 : Perlakuan dengan padat tebar 1250 ekor/m2

C1, C2, C3, C4 : Perlakuan dengan padat tebar 1750 ekor/m2

D1, D2, D3, D4 : Perlakuan dengan padat tebar 2250 ekor/m2 B2 C2 D1 D2 B3 C1 C3 A4 A3 B1 D3 C4 D4 A2 B4 A1 B2 C2 D1 D2 B3 C1 C3 A4 A3 B1 D3 C4 D4 A2 B4 A1 B2 C2 D1 D2 B3 C1 C3 A4 A3 B1 D3 C4 D4 A2 B4 A1


(37)

19

3.5 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan kegiatan nurseri. Penelitian berakhir setelah pemeliharaan selama 14 hari.

3.5.1 Persiapan

Persiapan dilakukan dengan pemasangan hapa telebih dahulu. Hapa yang digunakan berukuran 1x1x1 m sebanyak 16 buah. Ketinggian air pada hapa yaitu 50 cm.

3.5.2 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah semua persiapan selesai termasuk kondisi hapa yang tidak berbau plastik, dan kualitas air tidak fluktuatif pada area nurseri.

3.5.2.1 Benur

Benur yang digunakan yaitu PL 8 dengan panjang rata – rata 8,93 berjumlah 24.000 ekor diperoleh dari hatchery bersertifikat bebas virus melalui pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Benur siap ditebar di tambak apabila tes PCR (Polymerase Chain Reaction) diperoleh hasil negatif terinfeksi virus.. Penebaran benur dilakukan pada pukul 22.30 WIB, hal ini dilakukan untuk menghindari fluktuasi suhu pada area nurseri. Sebelum ditebar benur di aklimatisasi selama beberapa menit. Aklimatisasi benur meliputi suhu, pH, dan salinitas yaitu dengan cara kantong benur diapungkan hingga suhu pada kantong plastik dan tambak sama yang ditandai dengan kantong palstik berembun. Kemudian kantong plastik dibuka dan dimasukkan air tambak kedalam kantong plastik sedikit demi sedikit. Hal ini dilakukan untuk menyamakan pH dan salinitas.


(38)

20

3.5.2.2 Pengambilan Contoh

Contoh diambil sebanyak 1% dari tiap happa dengan menggunakan anco. Pengambilan contoh dilakukan setelah pemberian pakan.

3.5.2.3 Pengambilan contoh Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari selama penelitian. Parameter yang diamati yaitu suhu, salinitas, dan pH.

3.5.2.4 Manajemen Pakan

Pakan yang digunakan dalam penggelondongan udang windu yaitu pakan tenggelam dengan merek dagang Top sea Grass Powder (TSGP) dan Top Mini Grain (TMG) yang diproduksi oleh Yuh-Huei Enterprises Taiwan. Adapun kandungan nutrisi dari TSGP yaitu protein 50 %, lemak 5 %, serat 3 %, abu 17 %, kelembaban 17 %, dan HCl Insoluble 2 % kemudian kandungan nutrisi pada TMG yaitu 50 %, lemak 3 %, serat 3 %, abu 17 %, kelembaban 17 %, dan HCl Insoluble2 %.

Pemberian pakan dilakukan sebanyak 4 kali sehari pada pukul 06.00 WIB, 13.00 WIB, 17.00 WIB, dan 23.00 WIB. pakan Top sea Grass diberikan hingga benur berusia Pl 18 dan selanjutnya pakan diganti dengan Top Mini Grain hingga penelitian berakhir. Jumlah pakan yang dihabiskan untuk pemeliharaan hingga 14 hari yaitu 1,20 Kg dengan 1 KgTop Sea Grassdan 0,20 KgTop Mini Grain.


(39)

21

3.6 Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kelulushidupan, panjang tubuh, pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman panjang, berat tubuh, pertumbuhan berat harian, morfologi, dan kualitas air (suhu, pH, dan salinitas).

3.6.1 Kelulushidupan

Kelulushidupan udang windu merupakan perbandingan jumlah benur yang hidup dengan total benur yang ditebar pada awal pemeliharaan. Menurut Effendie (1997) persamaan yang digunakan dalam mengukur Kelulushidupan adalah

Keterangan :

SR : Kelulushidupan (Survival Rate)

Nt : Jumlah benur yang hidup di akhir penelitian No : Jumlah total benur awal penebaran

3.6.2 Berat Tubuh

Berat tubuh diukur dengan menggunakan timbangan digital. Pengukuran berat dilakukan dengan mengambil contoh 1 % dari populasi dan dhitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

Wt-r : Berat benur rata-rata pada waktu ke-t (g/ekor) Wt : Berat benur contoh pada waktu ke-t (g) n : Jumlah sampel benur

SR = (Nt x No-1) . 100%


(40)

22

3.6.3 Pertumbuhan Berat Harian

Pertumbuhan berat harian dapat diukur dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

β : Pertumbuhan berat harian

∆W : Perubahan berat (gram)

∆t : Perubahan waktu (hari)

3.6.4 Panjang Tubuh

Panjang tubuh udang windu diukur dengan menggunakan digital kaliper. Pengukuran dilakukan dengan mengambil contoh tiap perlakuan sebanyak 1 % dari populasi. Dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997):

Keterangan :

Lt-r : Panjang benur rata-rata pada waktu ke-t (mm/ekor)

Lt : Panjang benur contoh waktu ke-t (mm)

n : Jumlah sampel benur (ekor)

3.6.5 Pertumbuhan panjang harian

Pertumbuhan panjang harian menurut Effendie (1997) dapat diukur dengan menggunakan rumus :

α = ∆Lx∆t-1

Keterangan α = Pertumbuhan panjang harian (mm/hari) ∆L= Perubahan panjang (mm)

∆t = Perubahan waktu (hari).

Lt-r=∑ Ltx n-1


(41)

23

3.6.6 Koefisien Keragaman Panjang

Pengukuran koefisien keragaman dilakukan untuk melihat keragaman dari benur yang dihasilkan dalam kegiatan nuseri. Semakin kecil koefisien keragaman, maka gelondong yang dihasilkan semakin baik. Koefisien keragaman dihitung dengan rumus :

x 100%

Keterangan :

σ : Galat unit perlakuan Y : Rata-rata unit perlakuan

3.6.7 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, pH, dan salinitas. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu pagi, siang, sore, dan malam bersamaan dengan pemberian pakan. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah termometer, pH meter, dan refraktometer.

3.7 Analisis Data

Data kualitas air dianalisis secara deskriptif. Kemudian data pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat, dan kelangsungan hidup udang windu dianalisis dengan menggunakan sidik ragam pada selang kepercayaan 95%. Apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil). Uji BNT dilakukan untuk melihat perlakukan yang berpengaruh nyata.


(42)

24

3.8 Analisis Usaha

Penyajian analisis usaha pada kegiatan nurseri ini menggunakan pengujian keuntungan antara lain pendapatan usaha dan analisis imbangan peneriamaan dan biaya (Suhadi, 2003).


(43)

43

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah padat tebar maka semakin baik untuk laju pertumbuhan dan kualitas gelondong yang dihasilkan. 2. Kepadatan optimal ditunjukkan pada padat tebar 750 ekor/m2 untuk

pertumbuhan dan kualitas gelondong, namun keuntungan terbaik diperoleh pada padat tebar 1750 ekor/m2.

5.2 Saran

1. Pengelolaan kualitas air tambak harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan nurseri untuk menghindari transmisi patogen pada tambak irigasi.

2. Padat tebar untuk kegiatan nurseri pada tambak irigasi disarankan 750 ekor/m2, untuk menghasilkan pertumbuhan dan kualitas gelondong yang optimal.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Allan, G.L. and Maguaire, G. B. 1992. Effect Of Stocking Density On Production Of Penaeus Monodon Fabricus In Model Farming Ponds. Aquaculture. 107 : 49–66

Azizi, A. 2005. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) dalam sistem Resirkulasi dengan Padat Tebar 25, 50, 75, dan 100 ekor/L. Jurnal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. 5–8.

Boyd, C.E., Haws, M.C., Green, B.W. 2001.Improving Shrimp Mariculture in Latin America. Good Management Practices (GMPs). Coastal Resources Centre. University of Rhode Island. RI

Buwono, I. D. 1993. Tambak Udang Windu : Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta. 152 hal.

Budiardi, T. 2005. Penokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) dalam Happa pada Tambak Intensif dengan Padat Tebar Berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.Jurnal vol 4 (2) : 153158 Darmono.1993. Budidaya Udang Penaeus. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 280

hal.

Djumadi, R. 2005. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) dalam Hapa pada tambak Intensif dengan Padat Tebar 250 ekor/m2, 500 ekor/m2, 750 ekor/m2, dan 1000 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Dwinanti, S.H. 2006. Keberadaan White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV) dan Infectious Hypordermal dan Hematopoeitic Necrosis Virus (IHHNV) di Tambak Intensif Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Bakauheni, Lampung Selatan.Skripsi. Program Studi Teknologi Dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal 18–35

Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama : Yogyakarta. 163 p

Effendie H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi pengelolaan dan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.


(45)

Heryanto, H. 2006. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) dalam Happa dengan Padat Penebaran 1000, 1500, 2000, 2500 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 18–26 hal. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Rencana Strategi Budidaya

Udang. Jakarta.

Kordi, M dan A.B Tancung. 2007. Pengeloalan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. 208 hal.

Mujiman, A, dan Suyanto, R. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 211 hal.

Murachman. 2010. Model Polikultur Udang Windu (Penaeus monodonFab), Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) dan Rumput Laut (Gracillaria sp.) Secara Tradisional. Program Doktor Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya : Malang.Jurnal Vol.1 (1) : 110.

Murtidjo dan Bambang A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius, Yogyakarta. 75 hal.

Purwanto, E. 2005 Produksi Tokolan Udang Vanamei (Litopebaeus vannamei) dalam Happa dengan Padat Penebaran yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor. 17–24 hal.

Rouse, B D. and Davis, D. A. 2004.Stocking Density, Nursery Duration Influence Shrimp Growth, Survival During Growout. Departement of Fisheries and Allied Aquaculture, Auburn University. Alabama. (18) : 47–59.

Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal.

Suhadi, I. 2003. Pendederan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis di Keramba Jaring Apung dengan Padat Tebar yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Sumeru, S.U. dan Anna, S. 2004 Pakan Udang Windu (Penaus monodon Fab). Kanisius. Yogyakarta. 94 hlm.

Nuhman. 2009. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan. Universitas Hang Tuah. Surabaya.Jurnal Vol 1 No 2

Suyanto, R.S. dan Mujiman A. 2010. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta. 23 hal.


(46)

Syafiuddin. 2000. Kinerja Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fab) yang dipelihara Bertingkat dalam Sistem Resirkulasi. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 19–35 hal.

Syahid, M. Subhan A. dan Armando R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Penebar Swadaya : Jakarta. 75 hal.

Tricahyo, E. 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Akademika. Jakarta. 211 hal.

Undang–undang nomor 7 tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air.

Watanabe, T. 2001. Fish Nutrition and Marine Culture. Departemen of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. 147–149 hal.

Yuliati, E. 2009. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Budidaya Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) (Kasus pada PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten). Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bogor. 26–45 hal.


(1)

23 3.6.6 Koefisien Keragaman Panjang

Pengukuran koefisien keragaman dilakukan untuk melihat keragaman dari benur yang dihasilkan dalam kegiatan nuseri. Semakin kecil koefisien keragaman, maka gelondong yang dihasilkan semakin baik. Koefisien keragaman dihitung dengan rumus :

x 100%

Keterangan :

σ : Galat unit perlakuan Y : Rata-rata unit perlakuan

3.6.7 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, pH, dan salinitas. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu pagi, siang, sore, dan malam bersamaan dengan pemberian pakan. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah termometer, pH meter, dan refraktometer.

3.7 Analisis Data

Data kualitas air dianalisis secara deskriptif. Kemudian data pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat, dan kelangsungan hidup udang windu dianalisis dengan menggunakan sidik ragam pada selang kepercayaan 95%. Apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil). Uji BNT dilakukan untuk melihat perlakukan yang berpengaruh nyata.


(2)

24 3.8 Analisis Usaha

Penyajian analisis usaha pada kegiatan nurseri ini menggunakan pengujian keuntungan antara lain pendapatan usaha dan analisis imbangan peneriamaan dan biaya (Suhadi, 2003).


(3)

43 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah padat tebar maka semakin baik untuk laju pertumbuhan dan kualitas gelondong yang dihasilkan. 2. Kepadatan optimal ditunjukkan pada padat tebar 750 ekor/m2 untuk

pertumbuhan dan kualitas gelondong, namun keuntungan terbaik diperoleh pada padat tebar 1750 ekor/m2.

5.2 Saran

1. Pengelolaan kualitas air tambak harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan nurseri untuk menghindari transmisi patogen pada tambak irigasi.

2. Padat tebar untuk kegiatan nurseri pada tambak irigasi disarankan 750 ekor/m2, untuk menghasilkan pertumbuhan dan kualitas gelondong yang optimal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Allan, G.L. and Maguaire, G. B. 1992. Effect Of Stocking Density On Production Of Penaeus Monodon Fabricus In Model Farming Ponds. Aquaculture. 107 : 49–66

Azizi, A. 2005. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) dalam sistem Resirkulasi dengan Padat Tebar 25, 50, 75, dan 100 ekor/L. Jurnal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. 5–8.

Boyd, C.E., Haws, M.C., Green, B.W. 2001.Improving Shrimp Mariculture in Latin America. Good Management Practices (GMPs). Coastal Resources Centre. University of Rhode Island. RI

Buwono, I. D. 1993. Tambak Udang Windu : Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta. 152 hal.

Budiardi, T. 2005. Penokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) dalam Happa pada Tambak Intensif dengan Padat Tebar Berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.Jurnal vol 4 (2) : 153158 Darmono.1993. Budidaya Udang Penaeus. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 280

hal.

Djumadi, R. 2005. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) dalam Hapa pada tambak Intensif dengan Padat Tebar 250 ekor/m2, 500 ekor/m2, 750 ekor/m2, dan 1000 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Dwinanti, S.H. 2006. Keberadaan White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV) dan Infectious Hypordermal dan Hematopoeitic Necrosis Virus (IHHNV) di Tambak Intensif Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Bakauheni, Lampung Selatan.Skripsi. Program Studi Teknologi Dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal 18–35

Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama : Yogyakarta. 163 p

Effendie H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi pengelolaan dan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.


(5)

Heryanto, H. 2006. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) dalam Happa dengan Padat Penebaran 1000, 1500, 2000, 2500 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 18–26 hal. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Rencana Strategi Budidaya

Udang. Jakarta.

Kordi, M dan A.B Tancung. 2007. Pengeloalan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. 208 hal.

Mujiman, A, dan Suyanto, R. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 211 hal.

Murachman. 2010. Model Polikultur Udang Windu (Penaeus monodonFab), Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) dan Rumput Laut (Gracillaria sp.) Secara Tradisional. Program Doktor Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya : Malang.Jurnal Vol.1 (1) : 110.

Murtidjo dan Bambang A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius, Yogyakarta. 75 hal.

Purwanto, E. 2005 Produksi Tokolan Udang Vanamei (Litopebaeus vannamei) dalam Happa dengan Padat Penebaran yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor. 17–24 hal.

Rouse, B D. and Davis, D. A. 2004.Stocking Density, Nursery Duration Influence Shrimp Growth, Survival During Growout. Departement of Fisheries and Allied Aquaculture, Auburn University. Alabama. (18) : 47–59.

Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal.

Suhadi, I. 2003. Pendederan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis di Keramba Jaring Apung dengan Padat Tebar yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Sumeru, S.U. dan Anna, S. 2004 Pakan Udang Windu (Penaus monodon Fab). Kanisius. Yogyakarta. 94 hlm.

Nuhman. 2009. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan. Universitas Hang Tuah. Surabaya.Jurnal Vol 1 No 2

Suyanto, R.S. dan Mujiman A. 2010. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta. 23 hal.


(6)

Syafiuddin. 2000. Kinerja Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fab) yang dipelihara Bertingkat dalam Sistem Resirkulasi. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 19–35 hal.

Syahid, M. Subhan A. dan Armando R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Penebar Swadaya : Jakarta. 75 hal.

Tricahyo, E. 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Akademika. Jakarta. 211 hal.

Undang–undang nomor 7 tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air.

Watanabe, T. 2001. Fish Nutrition and Marine Culture. Departemen of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. 147–149 hal.

Yuliati, E. 2009. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Budidaya Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) (Kasus pada PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten). Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bogor. 26–45 hal.