PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP PEMBENGKAKAN HEPATOSIT DAN KONGESTI SINUSOID HATI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley
ABSTRACT
EFFECT OF ORAL HERBICIDE PARAQUAT DICHLORIDE TO HEPATOCYTE SWELLING AND SINUSOIDAL CONGESTION IN LIVER OF MALE RATS (Rattus norvegicus) Sprague dawley STRAIN
By
YOLANDA FRATIWI
The use of herbicide paraquat dichloride by farmers, is one of effort to increase the production in agricultural sector. Herbicide paraquat dichloride often used by farmers carelessly and there was caution ignorance. Herbicide cause much adverse effect to organs, especially in liver through oral. The purpose of this study is to determine the effect of oral herbicide paraquat dichloride to hepatocyte swelling and sinusoidal congestion in liver of male rats (Rattus novergicus) Sprague dawley strain.
In this experimental study, 25 male rats (Rattus novergicus) Sprague dawley strain are divided randomly into 5 group and treated for 2 days. K1 is group of controlled, K2, K3, K4, K5 are given herbicide paraquat dichloride 25 mg/kgBW, 50 mg/kgBW, 100 mg/kgBW, and 200 mg/kgBW.
The results showed that the average number of hepatocyte swelling and sinusoidal congestion in liver was increasing. In Kruskal Wallis test and Post Hoc Mann Whitney test found significant difference p=0.000 (p<0.005). There are significant effect of oral paraquat dichloride to hepatocyte swelling and sinusoidal congestion in liver of male rats (Rattus novergicus) Sprague dawley strain.
Key words: hepatocyte swelling, paraquat dichloride, sinusoidal congestion, white rats liver
(2)
ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA ORAL TERHADAP PEMBENGKAKAN HEPATOSIT DAN KONGESTI SINUSOID HATI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR Sprague dawley
Oleh
YOLANDA FRATIWI
Penggunaan herbisida paraquat diklorida oleh para petani sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan hasil produksi pada sektor pertanian. Herbisida paraquat diklorida sering digunakan secara sembarangan dan tidak memperhatikan label peringatan. Herbisida yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dapat menyebabkan kerusakan berbagai organ, salah satunya adalah hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit dan kongesti sinusoid hati.
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang diberi perlakuan selama 2 hari dengan dosis yang berbeda, yaitu K1 merupakan kelompok kontrol, K2, K3, K4, dan K5 diberi herbisida paraquat diklorida 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB.
Hasil penelitian menunjukkan rerata skor pembengkakan hepatosit dan kongesti sinusoid mengalami peningkatan. Hasil uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan uji Post Hoc Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan p=0,000 (p<0,05). Pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral dapat menyebabkan pembengkakan hepatosit dan kongesti sinusoid hati tikus.
Kata kunci: hati tikus putih, herbisida paraquat diklorida, kongesti sinusoid, pembengkakan hepatosit.
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Muara Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 29 Juni 1993, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak Fatahullah dan Ibu Holyati.
Pendidikan penulis dimulai dari pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Pembina Muara Enim diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 20 Muara Enim pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Muara Enim pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 1 Muara Enim pada tahun 2011.
Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila sebagai Kardiak FSI pada tahun 2011 dan anggota bidang Kaderisasi pada tahun 2012, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FK Unila sebagai EA BEM pada tahun 2011 dan Staff Ahli Dinas Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Organisasi (PSDMO) pada tahun 2012, serta Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam dan Tanggap Darurat Pakis Rescue Team (PMPATD Pakis Rescue Team) sebagai anggota
(8)
pernah menjadi Asisten Dosen bidang Patologi Anatomi FK Unila periode 2013 2014.
(9)
“Dengan Nama ALLAH Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang”
(Q.S. Al-Fatihah: 1)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat
ALLAH hati menjadi tentram” (Q.S.
Ar-
Ra’d: 28)
Persembahan sederhana teruntuk
Ibu, Bapak, Kakak, dan Adik
atas segala doa dan kasih sayang
yang terus menguatkan dalam LELAH
dan mengubahnya menjadi LILLAH,
ikhlas karena ALLAH.
(10)
Semoga Allah selalu melindungi dan
menyayangi, dunia maupun akhirat.
(11)
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Herbisida Paraquat Diklorida
Per−oral terhadap Pembengkakan Hepatosit dan Kongesti Sinusoid Hati pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
3. dr. Indri Windari, Sp.PA., selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu diantara kesibukannya untuk tetap membantu dan membimbing, sabar dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan, bersedia membagi ilmunya, memberikan kritik, saran, serta nasihat yang sangat membangun dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini;
(12)
4. dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk meluangkan waktu diantara kesibukannya untuk tetap sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, nasihat, serta motivasi yang sangat tinggi untuk menyelesaikan skripsi tepat waktu;
5. dr. Susianti, M.Sc., selaku Dosen Penguji Utama. Terima kasih atas bimbingan, waktu, ilmu, kritikan, dan saran yang telah diberikan;
6. dr. Diana Mayasari, dr. Risal Wintoko, dan dr. Oktadoni Saputra, M Med Ed selaku Pembimbing Akademik sejak semester awal hingga akhir yang telah memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
7. dr. Tiwuk Susantiningsih, M.Biomed. dan dr. Maya Ganda Ratna yang telah memberikan saran dan ilmu yang sangat membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini;
8. Ibunda tercinta Holyati, Am.Kep yang selalu mendoakan, membimbing, menguatkan, dan memberikan kasih sayang yang tak terhingga serta tidak pernah lupa mengingatkan untuk selalu mengingat Allah SWT. Semoga Allah selalu melindungi dan menjadikan ladang pahala di akhirat kelak; 9. Bapak IPDA Fatahullah tercinta, yang selalu mendoakan, membimbing,
menguatkan, memberikan kasih sayang, dan menjadi motivator terbaik yang telah mengajarkan untuk selalu bangkit setiap kali terjatuh. Semoga Allah selalu melindungi dan menjadikan ladang pahala di akhirat kelak; 10.Kakak Juliandi Franata dan Adik tersayang Triyola Febriani, yang selalu
memberikan doa sepenuh hati, dukungan dan semangat untuk selalu bangkit setiap kali merasa lelah dan terjatuh, canda tawa yang selalu
(13)
Selatan yang selalu memberikan doa dan dukungan;
11.Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;
12.Seluruh Staf Tata Usaha, Akademik, pegawai, dan karyawan FK Unila yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Mbak Luthfi dan Mbak Lisa yang selalu membantu memudahkan jalan untuk bertemu dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA. Terima kasih kepada Pak Makmun, Mbak Qori, Mbak Ida, Mbak Yulis yang selalu memberi saran untuk segala proses pengurusan kelengkapan surat, Mas Heri, Pak Iskandar, Pak Syahrudin, Mbak Romiana, dan civitas akademik lainnya yang telah memberikan doa, semangat, motivasi, dan nasihat selama pembelajaran di FK Unila;
13.Mas Bayu, yang sangat sabar mengajari, membantu, dan membimbing mengenai prosedur selama proses penelitian dan penyusunan skripsi; 14.Teman-teman Tim Skripsi Paraquat, Diah Septia Liantari, I Gede Eka
Widayana, dan Wayan Ferly Aryana, terima kasih atas kerja sama, bantuan, suka, duka, pengalaman merawat tikus-tikus penelitian, dan banyak hal lainnya yang tak terlupakan;
(14)
15.Terima kasih untuk drh. Aulia Andi M, M.Si, abang Alias Zulkipli, dan Om Adi yang telah banyak membantu dalam proses transportasi tikus-tikus penelitian;
16.Terima kasih yang tak terhingga kepada Diah Septia Liantari, Ferina Dwi Marinda, Sakinah, dan Tiara Anggraini, untuk semua kebersamaan, kerjasama, selalu mengingatkan dalam kebaikan, cerita, canda tawa, suka, duka, diam, marah, dan semua hal lain yang tidak bisa digantikan;
17.Teman-teman CUPS, Bela Riski Dinanti, Desta Eko Indrawan, Diah Anis Naomi, Diah Septia Liantari, Felicya Rosari, Ferina Dwi Marinda, I Gede Eka Widayana, Pradila Desty Sari, Putu Filla, Rifka Humaida, Ririn Rahayu, Rizky Bayu Ajie, Robby Pardiansyah, Rr Agatha Rhana, Sakinah, dan Wayan Ferly Aryana, terima kasih untuk semua cerita, canda, tawa, marah, diam, perhatian, melakukan perjalanan, bantuan, nasihat, semangat, dan semua pelajaran berharga yang tidak akan terlupakan;
18.Teman-teman propti kelompok 2, Ferina Dwi Marinda, Sakinah, Nur Ayu Virginia, Asih Sulistiyani, Dessy Eva, Putri Fitriana, Zuryati Toiyiba, Magista Vivi Annisa, Mba Nurul, Robby Pardiansyah, Wayan Ferly Aryana, Gilang Yoghi Pratama, dan I Gede Eka Widayana, terima kasih untuk semua awal perjalanan dan perjuangan yang sangat berkesan;
19.Sahabat−sahabat Trinanos, Uni Syefni Jumnaria, Nindia Dinanti, Tria Yolanda Ariska, Sartika Apriyani, Tia Ambaranti, Reza Dina Astuti, dan Nadia Laora Ariska, terima kasih sudah menemani dari kecil hingga sekarang, selalu menjadi motivator terbaik, pendengar yang setia, saling
(15)
20.Sahabat-sahabat Sawit Yowit, Bela Riski Dinanti, Emilia Dwi Sepdaleni, Giani, Heny Puspita Sari, Mentari Indah Sari, Mutia Milidiah, Norinda Kasuarina, Priske Pramadima Putri, Putri Mayang Sari, Susan Afrina, dan Zara Alviometha Putri, terima kasih untuk semua canda, tawa, cerita, suka, duka, kasih sayang, kebersamaan dan saling mendoakan disetiap keadaan; 21.Teman-teman KKN Tematik Unila 2014, Yuli Widayati, Yoan Martian
Sari, Yunita Dwi Setia Winarni, Yuniawati Eka Putri, Yuni Septi, Zuliani, Priangga Tri Atmaja, dan Yudi Apriansyah, terima kasih untuk semua cerita, kesederhanaan, kebersamaan, dan pengalaman luar biasa selama 40 hari bersama di Pesisir Barat serta untuk semua dukungan dan doa yang telah diberikan;
22.Keluarga Patologi Anatomi FK Unila, dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA., dr. Indri Windarti, Sp.PA., dr. Heru Sigit, Mas Bayu, dan teman-teman Asisten Dosen PA, Diah Septia Liantari, Fadia Nadila, I Gede Eka Widayana, Muflikha Sofiana, Rizky Bayu Ajie, Tiara Anggraini, dan Yuda Ayu Kusuwa. Terima kasih atas kerja sama, keceriaan, motivasi, dan ilmunya;
23.Teman sejawat Fakultas Kedokteran Universitas Lampung angkatan 2011, Ara, Adit, Ane, Dila, Rozi, Aulia, Fatwa, Purin, Likha, Jeanna, Caca, Ratih, Tanti, Nurul, Rama, Felis, Filla, Gede, Vandy, Sugma, Novita, Lian, Stevan, Pau, Robby, Angga, Wayan, Lala, Tryvanie, Fadil, Olin, Belda, Gusti, Gusti Ayu, Ibor, Devi, Tiara, Bela, Andini, Andina, Agatha, Anggia,
(16)
Gita, Gita Dewita, Danar, Gulbud, Ferina, Giok, Belinda, Marizka, Hein, Jaya, Anwar, Fitri, Asih, Azatu, Diah, Nor, Diano, Syafiq, Neola, Cici, Andina, Ayu Aprilia, Ayu Lestari, Melly, Kartika, Mirdes, Ika, Dika, Imay, Nayuv, Okta, Bian, Anya, Fabella, Erot, Karimah, Niluh, Ani, Tegar, Bulan, Naomi, Lina, Dea, Ario, Resty, Berta, Pufit, Yuda, Agung, Fariz, Fini, Lita, Gilang, Sakinah, Bono, Rifka, Tata, Aryati, Ririn, Ega, Zuy, Restyana, Tiwi Aminah, Taufiq, Baji, Raissa, Tagor, Gista, Fira, Desta, Mahe, Yusi, Vivi, Budiman, Satria, Yudo, Mirna, Rizqun, Dessy, Tiwi, Nyimas, Jihan, dan Mardi. Terima kasih atas segala suka duka, motivasi, keriuhan, dan kebersamaan yang terjalin selama 3,5 tahun ini;
24.Keluarga besar FSI IBNU SINA, BEM, dan PMPATD PAKIS RESCUE TEAM FK UNILA periode 2011−2014, terima kasih untuk semua ilmu dan pengalaman luar biasa dalam setiap kegiatannya;
25.Terima kasih kepada ibu, bapak, dan teman-teman Kost Arbenta yang telah memberikan banyak bantuan selama merantau di Bandar Lampung; 26.Teman-teman alumni SMAN 1 Muara Enim, Wira, Agus, Hendy, Kris,
Elrizky, Mbak Lupi, Lis Anreni, Anita, Zahara, Haini, dan teman-teman alumni tembesu lainnya yang telah memberikan doa dan dukungan; 27.Kakak-kakak dan adik-adik tingkat angkatan 2002−2014 (Kak Nora, Kak
Shinta, Mbak Nyimas, Mbak Nida, Mbak Meta, Desti, Zahra Zettira, Dani Kartika, Devita, Dara, Natasyah, Wulan, Triola, dan adik-adik angkatan 2012−2014 lainnya) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran. SAI KEDOKTERAN.
(17)
Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis
(18)
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar ISI ... Daftar TABEL ... Daftar GAMBAR ... Daftar LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN ... A.Latar Belakang ... B.Perumusan Masalah ... C.Tujuan Penelitian ... D.Manfaat Penelitian ... E. Kerangka Teori………... F. Kerangka Konsep………... G.Hipotesis………... II. TINJAUAN PUSTAKA ...
A.Herbisida Paraquat Diklorida... 1. Deskripsi Herbisida Paraquat Diklorida... 2. Kandungan Herbisida Paraquat Diklorida... 3. Mekanisme Toksisitas Herbisida Paraquat Diklorida………..
i iv v vii 1 1 5 6 6 7 10 11 12 12 12 13 15
(19)
B.Hati…………... 1. Anatomi Hati ... 2. Histologi Hati ... 3. Fisiologi Hati ... 4. Histopatologi Hati ... C.Radikal Bebas dan Stres Oksidatif... 1. Radikal Bebas…... 2. Stres Oksidatif... D.Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley...
1. Klasifikasi Tikus Putih... 2. Jenis Tikus Putih... 3. Biologi Tikus Putih ... III. METODE PENELITIAN ...
A.Desain Penelitian ... B.Tempat dan Waktu ... C.Populasi dan Sampel ... D.Bahan dan Alat Penelitian ... E. Prosedur Penelitian ... F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... G.Analisis Data ... H.Ethical Clearance... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...
A.Hasil Penelitian ... B.Pembahasan... 18 18 20 23 24 28 28 31 31 32 32 32 35 35 35 36 38 39 49 51 51 53 53 68
(20)
V. KESIMPULAN DAN SARAN... A.KESIMPULAN... B.SARAN... DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
73 73 73
(21)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kelas Bahaya Herbisida Menurut WHO………. 2. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus) ... 3. Definisi operasional variabel ... 4. Skor pembengkakan hepatosit... 5. Skor kongesti sinusoid... 6. Analisis Shapiro-Wilk pembengkakan hepatosit... 7. Analisis Shapiro-Wilk kongesti sinusoid... 8. Analisis Uji Mann Whitney pembengkakan hepatosit ... 9. Analisis Uji Mann Whitney kongesti sinusoid...
14 33 50 60 62 64 64 65 67
(22)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori………... 2. Kerangka Konsep ... 3. Paraquat Diklorida... 4. Gambaran makroskopik hati manusia dilihat dari anterior... 5. Gambaran makroskopik hati manusia dilihat dari posterior... 6. Histologi hati normal………... 7. Gambaran mikroskopis hati manusia... 8. Reduksi oksigen………... 9. Diagram alur penelitian ... 10.Histopatologi hati tikus kelompok 1... 11.Histopatologi hati tikus kelompok 2... 12.Histopatologi hati tikus kelompok 3... 13.Histopatologi hati tikus kelompok 4... 14.Histopatologi hati tikus kelompok 5... 15.Grafik perbandingan rerata skor pembengkakan hepatosit... 16.Grafik perbandingan rerata skoring kongesti sinusoid ...
9 10 13 19 20 21 23 29 48 55 56 57 58 59 61 63
(23)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3
: : :
Uji Statistik
Dokumentasi Kegiatan Keterangan Lolos Kaji Etik
(24)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Petani merupakan kelompok kerja terbesar di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. Walaupun terdapat kecenderungan yang semakin menurun, angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian masih berjumlah sekitar 40% dari seluruh angkatan kerja. Banyak wilayah kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan sebagai sumber penghasilan utama daerah. Untuk meningkatkan hasil pertanian yang optimal, dalam paket intensifikasi pertanian diterapkan berbagai teknologi, salah satunya adalah dengan penggunan agrokimia. Penggunaan agrokimia diperkenalkan secara besar-besaran menggantikan teknologi lama baik dalam hal pengendalian hama maupun pemupukan tanaman. Salah satu pola penggunaan agrokimia yang digunakan adalah pestisida (Prijanto, 2009).
Pestisida merupakan bahan kimia yang telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian dan perkebunan (Zhang et al., 2011). Penggunaan pestisida terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik di bidang pertanian maupun di
(25)
bidang kesehatan masyarakat. Di bidang pertanian, penggunaan pestisida memungkinkan petani untuk meningkatkan produktivitas lahan pertaniannya serta mampu melindungi petani dari kerugian pasca panen. Sedangkan di bidang kesehatan masyarakat, penggunaan pestisida telah berhasil mengendalikan vektor−vektor penyakit menular tertentu, sehingga mampu menurunkan prevalensi penyakit seperti malaria, schistosomiasis, filariasis, demam berdarah dengue, dan penyakit pes (Saftarina, 2011). Laporan Organisasi Pangan Perserikatan Bangsa−Bangsa (PBB) menyatakan bahwa lebih dari 70.000 pestisida beredar di seluruh dunia dan dipergunakan secara aktif oleh para petani. Salah satu jenis pestisida yang mengalami peningkatan dalam penggunaannya di dunia adalah herbisida yaitu dari 20% pada tahun 1960 menjadi 48% pada tahun 2005 (Zhang et al., 2011).
Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida ini dapat mempengaruhi satu atau lebih proses-proses pertumbuhan seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, dan aktivitas enzim yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida bersifat racun terhadap gulma atau tumbuhan penganggu juga terhadap tanaman yang dibudidayakan. Herbisida yang diaplikasikan dengan konsentrasi tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan dan tidak merusak tumbuhan yang dibudidayakan (Sembodo, 2010).
(26)
Herbisida yang banyak digunakan pada bidang pertanian dan perkebunan adalah jenis herbisida paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium) (Viaiudiana, 2013). Paraquat(1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium) merupakan salah satu bahan aktif herbisida jenis gramoxone yang telah lama dan sampai saat ini paling banyak digunakan dalam budidaya tanaman di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dipicu oleh semakin langkanya tenaga kerja dan tersedianya herbisida yang relatif mudah dan murah, peningkatan penggunaan pestisida di Indonesia, khususnya herbisida, semakin terlihat nyata pada 20 tahun terakhir (Sriyani & Salam, 2008). Tingginya intensitas aplikasi dan jumlah herbisida yang diaplikasikan menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar mengenai bahaya pencemaran yang berasal dari residu herbisida yang tertinggal di lingkungan, khususnya dalam tanah dan air. Residu herbisida dalam tanah dan air dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia (Sriyani & Salam, 2008).
Di negara berkembang, paraquat sering digunakan dengan sembarangan atau tidak memperhatikan bahaya serta tidak memperhatikan label peringatan sehingga dapat menyebabkan angka keterpaparan yang tinggi. Hanya dengan sedikit sendok teh paraquat, maka dapat menyebabkan kematian. Kematian dikarenakan kegagalan pernafasan, dan mungkin bisa dijumpai dalam beberapa hari setelah keracunan bahkan sampai beberapa bulan kemudian. Selain dapat menyebabkan kematian, paparan herbisida baik secara inhalasi maupun ingesti dapat menyebabkan keracunan (Ginting et al., 2012).
(27)
Data keracunan akibat herbisida di Amerika Serikat adalah 4,14% dari seluruh kasus keracunan yang disebabkan oleh semua jenis pestisida. Sebanyak 0,78% dari kasus keracunan herbisida tersebut berakibat fatal serta 27,7% mengakibatkan korban menderita sakit. Keracunan herbisida tidak hanya menjadi permasalahan di Amerika Serikat (Sembodo, 2010). Di negara berkembang, keracunan herbisida merupakan permasalahan kesehatan masyarakat dengan perkiraan sekitar 300.000 kematian di regio asia pasifik sendiri. Sebagai contoh, di Sri Lanka ada sekitar 3−400 kasus keracunan herbisida per 100.000 populasi setiap tahun. Paraquat merupakan agen penyebab kematian utama di Sri Lanka dengan angka fatalitas yang tinggi (>50%) (Ginting et al., 2012). Sedangkan data di Indonesia memperlihatkan sekitar 0,3% kasus keracunan disebabkan oleh paparan herbisida. Salah satu jenis herbisida yang pernah dilaporkan menimbulkan keracunan pada manusia adalah golongan paraquat (Sembodo, 2010).
Penggunaan paraquat dengan sembarangan dapat merusak berbagai macam organ diantaranya adalah jantung, ginjal, paru−paru, otot, limfa, kelenjar suprarenal, susunan saraf pusat dan juga dapat merusak hati (Moon & Chun, 2011). Hati merupakan organ target primer dari toksisitas paraquat baik akut maupun kronik khususnya yang masuk ke dalam tubuh secara ingesti. Hal ini dikarenakan hati merupakan organ tubuh yang penting untuk mendetoksifikasi zat kimia yang tidak berguna atau merugikan tubuh, termasuk herbisida paraquat. Hati merupakan organ yang mempunyai kemampuan untuk memetabolisme dan mengekresi beberapa zat-zat kimia (Mansur, 2008).
(28)
Proses terjadinya kerusakan pada organ hati sebagai organ yang mendetoksifikasi zat kimia seperti herbisida paraquat, dapat terjadi akibat toksisitas langsung atau melalui konversi zat kimia yang terkandung dalam herbisida paraquatmenjadi toksin aktif oleh hati sehingga dapat menyebabkan timbulnya beberapa kelainan pada hati seperti pembengkakan hepatosit, kongesti sinusoid hati, fibrosis, sirosis, dan nekrosis (Malekinejad et al., 2013).
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit dan kongesti sinusoid hati pada tikus putih jantan galur Sprague dawley.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit pada tikus putih jantan galur Sprague dawley?
2. Apakah terdapat pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap kongesti sinusoid hati pada tikus putih jantan galur Sprague dawley?
(29)
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit pada tikus putih jantan galur Sprague dawley.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap kongesti sinusoid hati pada tikus putih jantan galur Sprague dawley.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis:
Penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan Ilmu Patologi Anatomi dan Agromedicine khususnya di bidang Toksikologi.
Manfaat Praktis: 1. Bagi penulis
Penelitian ini dapat mengembangkan ide dan menambah pengetahuan mengenai pengaruh pemberian herbisida paraquat dikloridaper−oral. 2. Bagi penulis lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian yang lebih lanjut yang berhubungan dengan pengaruh pemberian herbisida paraquat dikloridaper−oral.
(30)
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai kandungan herbisida paraquat diklorida serta bahayanya bagi kesehatan dan organ tubuh.
4. Bagi pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai pengaruh pemberian herbisida paraquat dikloridaper−oral, sehingga dapat menjadi perhatian terutama dalam pengendalian masyarakat khususnya para petani terhadap penggunaan herbisida paraquat diklorida.
E. Kerangka Teori
Paraquat merupakan herbisida yang paling umum digunakan dari golongan bipyridylium. Golongan ini memiliki komposisi kimia C12H14N2. Menurut WHO'sClassification of Pesticides by Hazard, bahan aktif paraquat termasuk golongan II (moderately hazardous) dimana absorbsi paraquat mempunyai efek serius dalam jangka panjang, dengan dosis rendah paraquat relatif berbahaya dan fatal jika termakan.Paraquat (1,1−dimethyl,4,4'−bipyridylium), sangat cepat diabsorbsi melalui usus setelah tertelan. Absorpsi setelah intake oral sekitar 10% (Ginting et al., 2012).
Paraquat dapat menyebabkan induksi toksisitas dalam tubuh dikarenakan kemampuannya untuk mempengaruhi siklus redoks dan membentuk ROS. Di dalam tubuh, paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem enzim seperti
(31)
NADPH−Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, NADH, ubiquinone oxidoreductase, dan nitric oxide synthase. Metabolisme paraquat melalui sistem enzim ini menyebabkan terbentuknya PQ+ di dalam sel. Kemudian PQ+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya O2-. Atom O2 bertindak sebagai reseptor elektron dan NADP bertindak sebagai donor elektron pada reaksi ini. Reaksi ini lebih jauh membentuk HO. Kombinasi antara NO dengan O2 membentuk ONOO- yang merupakan oksidan yang sangat kuat. Nitrite Oxide secara enzimatis diproduksi dari L−arginine oleh NO synthase, dan paraquat juga secara langsung atau tidak langsung menginduksi NO synthase yang memediasi produksi nitrite oxide. Oksigen reaktif dan nitrit yang terbentuk akan menyebabkan toksisitas pada kebanyakan organ. Paraquat merupakan bahan reduksi alternatif dan reoksidasi berulang akan menyebabkan terbentuknya oksigen free radicals, seperti superoxide, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal, yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada lemak, protein, dan DNA (Indika & Buckley, 2011).
Paraquat juga meningkatkan permeabilitas membran mitokondria bagian dalam dikarenakan lipid peroksida, sehingga menyebabkan depolarisasi membran, dan pembengkakan matriks mitokondria, khusunya pada hati yang memiliki peran sebagai detoksifikasi paraquat yang masuk ke dalam tubuh (Indika & Buckley, 2011). Selain pada hati, pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral juga berpengaruh ke organ-organ lain seperti esofagus, lambung, usus halus, jantung, ginjal, otot, dan otak (Dinis Oliveira, 2008).
(32)
Kerangka teori pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Teori Mekanisme Terjadinya Pembengkakan Hepatosit dan Kongesti Sinusoid Hati yang disebabkan oleh Pemberian Herbisida Paraquat Diklorida Per−oral.
Herbisida paraquat dikorida
Paraquat mono-cation radical (PQ+)
Didalam saluran pencernaan, paraquat dikloridaimetabolisme oleh enzim
NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, NADH, ubiquinone oxidoreductase, dan nitric oxide synthase.
Masuk melalui oral
Radikal Bebas (Reactive Oxygen Species)
Superoxide, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal Stres Oksidatif
- Pembengkakan hepatosit - Kongesti
sinusoid hati
Menyebabkan ulserasi pada esofagus
Bergabung dengan darah di arteri mesenterica superior kemudian masuk ke vena porta dan
masuk ke hati
Di dalam sel hati, Paraquat mono-cation radical
(PQ+) direoksidasi menjadi PQ2+
Masuk ke usuh halus, menyebabkan ulserasi pada usus halus
Paraquat mono-cation radical (PQ+) diserap oleh vili-vili di usus halus, masuk ke
(33)
F. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Konsep Pengaruh Pemberian Herbisida Paraquat Diklorida Per−oral terhadap Pembengkakan Hepatosit dan Konesti Sinusoid Hati Tikus Putih Jantan Galur Sprague dawley.
Gambaran mikroskopis hepatosit normal dan
sinusoid hatinormal
Herbisida paraquat diklorida dosis per oral 50 mg/kgBB Herbisida paraquat diklorida dosis per oral 25 mg/kgBB
Herbisida paraquat diklorida dosis per oral 100 mg/kgBB Kelompok 1 Kontrol Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Herbisida paraquat diklorida dosis per oral 200 mg/kgBB Kelompok 5
Perubahan gambaran pembengkakan
hepatosit dan kongesti sinusoid
(34)
G. Hipotesis
1. Terdapat pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit pada tikus putih jantan galur Sprague dawley.
2. Terdapat pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap kongesti sinusoid hati pada tikus putih jantan galur Sprague dawley.
(35)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Herbisida Paraquat Diklorida
1. Deskripsi Herbisida Paraquat Diklorida
Paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium) merupakan suatu herbisida golongan bipyridylium. Herbisida yang termasuk dalam golongan ini umumnya merupakan herbisida pasca tumbuh, tidak aktif apabila diaplikasikan lewat tanah dan bersifat tidak selektif. Herbisida paraquat diklorida memiliki efek toksisitas terhadap organisme eukariotik (Suntres, 2002).
Karakteristik dari paraquat adalah tidak dapat diserap oleh bagian tanaman yang tidak hijau seperti batang dan akar serta tidak aktif di tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral tanah sehingga molekul positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan tanah dan tidak aktif lagi. Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya
(36)
akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006).
2. Kandungan Herbisida Paraquat Diklorida
Paraquat merupakan herbisida yang paling umum digunakan dari golongan bipyridylium. Komposisi kimia dari paraquat adalah C12H14N2. Angka kematian akibat toksisitas dari paraquat sangat tinggi dikarenakan toksisitasnya secara langsung dan belum adanya pengobatan yang efektif (Indika & Buckley, 2011). Struktur kimia paraquat dikloridatersaji pada gambar 3.
(37)
Daya toksisitas dari kandungan herbisida biasanya ditunjukkan oleh angka toksisitas akut hasil uji laboratorium dengan hewan percobaan (umumnya menggunakan tikus). Studi toksisitas akut pada hewan menghasiklan LD50. Berdasarkan nilai LD50 WHO menyusun kelas bahaya suatu herbisida seperti tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Kelas Bahaya Herbisida Menurut WHO
Kelas
LD50 akut (tikus) formulasi (mg/kg)
Oral Dermal
Padat Cair Padat Cair
Ia Sangat Berbahaya Ib Bahaya Tinggi II Bahaya Sedang III Bahaya Rendah
≤5 6 49
500 ≥5001 ≤20 21−199 2000 ≥2001 ≤10 11 99
1000 ≥1001
≤40 41 399
4000
≥4001
(Sumber: Sembodo, 2010)
Menurut WHO's Classification of Pesticides by Hazard, bahan aktif paraquat termasuk golongan II (moderately hazardous) dimana absorbsi paraquat mempunyai efek serius dalam jangka panjang, dengan dosis rendah paraquat relatif berbahaya dan fatal jika termakan atau mengenai kulit secara langsung. Selain itu herbisida paraquat dapat mempengaruhi kesehatan manusia lewat tanah dan air yang tercemar sehingga produk makanan manusia maupun hewan ikut tercemar herbisida paraquat (Purnawati, 2008).
(38)
3. Mekanisme Toksisitas Herbisida Paraquat Diklorida
Paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium), sangat cepat diabsorbsi dengan inhalasi dan melalui usus setelah tertelan. Absorbsi setelah intake oral sekitar 10%. Tempat absorbsi utama dari paraquat adalah di usus halus, sedangkan penyerapan melalui lambung sangatlah sedikit. Walaupun absorpsi hanya 10%, sifat korosif dari paraquat akan menyebabkan erosi dari mukosa saluran cerna, sehingga paraquat akan semakin banyak diabsorbsi hingga 90%. Hanya sekitar 10−30% paraquat yang tidak diabsorbsi. Sistem absorpsinya menggunakan carrier-mediated transport system pada brush border membrane (Ginting et al., 2012).
Paraquat dapat menyebabkan induksi toksisitas dalam tubuh dikarenakan kemampuannya untuk mempengaruhi siklus redoks dan membentuk Reactive Oxygen species (ROS). Di dalam tubuh, paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem enzim seperti Nikotinamide adenine dinukleotide phosphate oxidase (NADPH)−Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, Nikotinamide adenosin dinukleotide hidrogen (NADH), ubiquinone oxidoreductase, dan nitrite oxide synthase. Metabolisme paraquat melalui system enzim ini menyebabkan terbentuknya paraquat mono−cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2-). Atom O2 bertindak sebagai reseptor elektron dan NADPH bertindak
(39)
sebagai donor elektron pada reaksi ini. Reaksi ini lebih jauh membentuk Hydroxyl free radical (HO). Nitrite Oxide (NO) kombinasi dengan O2 membentuk peroxinitrite (ONOO-) yang merupakan oksidan yang sangat kuat. Nitrite Oxide secara enzimatis diproduksi dari L−arginine oleh NO synthase, dan paraquat juga secara langsung atau tidak langsung menginduksi NO synthase yang memediasi produksi nitrite oxide. Oksigen reaktif dan nitrit yang terbentuk akan menyebabkan toksisitas pada organ tubuh. Paraquat merupakan bahan reduksi alternatif dan reoksidasi berulang akan menyebabkan terbentuknya oksigen free radicals, seperti superoxide, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal, yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada lemak, protein, dan DNA (Indika & Buckley, 2011).
Paraquat terbukti dapat menginduksi lipid peroksidase. Lipid peroksidase menyebabkan gangguan fungsi sel membran dan dapat mencetuskan apoptoptosis. Lipid peroksidase juga dianggap sebagai salah satu kunci utama proses patofisiologi pertama kali pada intoksikasi paraquat. Perubahan struktur dan fungsi sel lipid dan protein menyebabkan hilangnya regulasi intra seluler oleh kalsium adenosin trifosfatase (Ca2+ ATPase). Hilangnya regulasi ini dapat menyebabkan kematian sel, sehingga menyebabkan kerusakan lokal dan disfungsi organ. Salah satu organ primer yang dapat mengalami kerusakan dan kematian sel akibat hilangnya regulasi intra seluler Ca2+ adalah hati. Hal tersebut disebabkan
(40)
karena hati memegang peranan penting dalam proses metabolisme lemak dan detoksifikasi paparan paraquat (Indika & Buckley, 2011).
Selain dapat menyebabkan kerusakan lokal dan disfungsi organ akibat hilangnya regulasi intra seluler Ca2+, hasil metabolisme dari paraquat oleh oleh berbagai enzim seperti NADPH akan menyebabkan terjadinya toksisitas mitokondria. Toksisitas mitokondria disebabkan karena berkurangnya kompleks NADH−ubiquinone oxidoreductase di mitokondria sehingga mencetuskan terbentuknya superoxide. Paraquat juga meningkatkan permeabilitas membran mitokondria bagian dalam dikarenakan lipid peroksida sehingga menyebabkan depolarisasi membran, dan pembengkakan matriks mitokondria, khususnya pada hati yang memiliki peran sebagai detoksifikasi paraquat (Indika & Buckley, 2011).
Selain dapat menyebabkan kerusakan pada hati, resiko kontak langsung dapat mengakibatkan keracunan akut yang ditandai dengan timbulnya gejala seperti sakit kepala, mual, muntah, iritasi kulit, dan kebutaan, serta dapat menimbulkan keracunan kronis. Pada keracunan kronis gejala dan tanda yang timbul tidak selalu mudah dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan dalam waktu yang relatif singkat, walaupun akhirnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Saftarina, 2011). Pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral juga berpengaruh pada organ-organ
(41)
lain seperti esofagus, lambung, usus halus, jantung, ginjal, otot, dan otak (Dinis Oliveira, 2008).
B. Hati
1. Anatomi Hati
Hati adalah kelenjar paling besar dalam tubuh, dan setelah kulit, merupakan satu-satunya organ yang paling besar. Berat organ hati adalah sekitar 1500 gram dan mencakup 2,5% berat tubuh orang dewasa. Hati terletak dalam kuadran kanan atas abdomen yang tersembunyi dan terlindungi oleh tulang rangka toraks dan diafragma. Hati normal terletak
di sebelah d XI pada sisi kanan dan menyilang
garis tengah ke arah puting kiri. Hati mengisi hampir semua hypochondrium kanan dan epigastrium. Hati memanjang ke dalam hypochondrium kiri, disebelah inferior diafragma, yang memisahkannya dari pleura, paru, pericardium, dan jantung (Moore et al., 2013).
Berdasarkan refleksi peritoneum dari permukaannya, fissura yang terbentuk sehubungan dengan refleksinya, dan pembuluh yang melayani hati dan vesica biliaris, hati dibagi menjadi dua lobus anatomis dan dua lobus tambahan. Lobus anatomis terdiri dari lobus dekstra dan lobus sinistra. Sedangkan lobus tambahan terdiri dari lobus quadrates dianterior dan inferior serta lobus kaudatus di posterior dan superior, kedua lobus tambahan ini dibatasi oleh porta hepatis transversa (Moore et al., 2013).
(42)
Hati menerima darah dari dua sumber yaitu arteri hepatika propria (30%) dan vena portae hepatis (70%). Arteri hepatika propria membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena portae hepatis mengantarkan darah yang miskin oksigen dari saluran cerna. Darah yang berasal dari arteri dan vena tersebut berjalan di antara sel-sel hati melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatika. Dalam ruangan antar lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatika, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (Sloane, 2004).
Persarafan pada hati berasal dari plexus hepaticus, yang merupakan derivat terbesar pada plexus coeliacus. Plexus hepaticus menyertai cabang-cabang arteria hepatica dan vena porta ke hati. Plexus terdiri dari serat simpatis dari plexus coeliacus dan serat parasimpastis dari truncus vagalis anterior dan posterior (Moore et al., 2013). Gambaran makroskopis hati tersaji pada gambar 4 dan 5.
(43)
Gambar 4. Makroskopis hati manusia dilihat dari anterior (Sumber: Putz & Pabst, 2007).
Gambar 5. Makroskopis hati manusia dilihat dari posterior (Sumber: Putz & Pabst, 2007).
2. Histologi Hati
Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hepaticus. Di bagian tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang dikelilingi secara radial oleh lempeng sel hati (lamina hepatocytica), yaitu hepatosit, dan sinusoid ke arah perifer. Pada manusia, dapat ditemukan tiga sampai enam daerah porta setiap lobulus. Darah arteri dan darah vena dari daerah porta perifer mula-mula bercampur di sinusoid hati saat mengalir ke arah vena sentralis. Dari sini, darah masuk ke sirkulasi umum melalui vena hepatika yang keluar dari hati dan masuk ke vena kava inferior (Eroschenko, 2010).
Hepatosit pada lobus hati tersusun radier. Lempeng sel ini tersusun dari perifer lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk
(44)
struktur yang menyerupai labirin dan busa, celah diantara lempeng ini mengandung kapiler, yaitu sinusoid hati. Kapiler sinusoid adalah pembuluh lebar yang tak teratur, dan hanya terdiri atas lapisan tak utuh dari sel endotel berfenestra (Junqueira et al., 2007). Sel-sel endotel pada hati dipisahkan dari hepatosit oleh suatu celah subendotel yang dikenal sebagai celah disse yang mengandung mikrovili hepatosit, sel penyimpan lemak (sel Ito) dan serat retikulin yang halus (Gartner & Hiatt, 2012).
Selain sel-sel endotel, sinusoid juga mengandung makrofag yang dikenal sebagai sel Kupffer. Sel-sel ini ditemukan pada permukaan luminal sel-sel endotel. Fungsi utamanya adalah memetabolisme eritrosit tua, mencerna hemoglobin, mensekresi protein yang berhubungan dengan proses imunologis dan menghancurkan bakteri yang berhasil masuk ke darah portal melalui usus besar. Kebanyakan sel tersebut berada di daerah periportal di lobulus hati, tempat berlangsungnya fagositosis yang sangat aktif (Junqueira et al., 2007). Gambaran histologi hati normal tersaji pada gambar 6.
(45)
Gambar 6. Histologi hati normal (Sumber: Junqueira et al., 2007). Hepatosit berbentuk polihedral, dengan enam atau lebih permukaan, dan berdiameter 20−30 µm. Permukaan masing-masing hepatosit berkontak dengan dinding sinusoid, melalui celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Di tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk suatu celah tubular di antara kedua sel yang disebut kanalikulus biliaris (Junqueira et al., 2007).
Hepatosit memiliki satu atau dua inti bulat dengan satu atau dua anak inti. Sebagian intinya poliploid, yaitu mengandung perkalian genap dari jumlah kromosom haploid. Hepatosit memiliki banyak retikulum endoplasma, baik halus maupun kasar. Pada hepatosit retikulum endoplasma kasar membentuk agregat yang tersebar dalam sitoplasma, agregat ini sering kali disebut badan basofilik. Beberapa protein misalnya, albumin darah, fibrinogen disintesis pada poliribosom di struktur ini. Beberapa proses penting berlangsung di dalam retikulum endoplasma halus, yang tersebar secara difus di dalam sitoplasma. Organel ini bertanggung jawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang diperlukan untuk menonaktifkan atau mendetoksifikasi berbagai zat sebelum diekskresi dari tubuh. Retikulum endoplasma halus merupakan sistem labil yang segera bereaksi terhadap molekul yang diterima hepatosit (Junqueira et al., 2007). Gambaran mikroskopis hati normal tersaji pada gambar 7.
(46)
Gambar 7. Gambaran mikroskopis hati normal. Perbesaran 30 kali (Sumber: Eroschenko, 2010).
3. Fisiologi Hati
Menurut Guyton dan Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yang berkaitan dengan pencernaan, antara lain:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain untuk mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
(47)
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.
Hati juga melakukan beberapa fungsi yang tidak berkaitan dengan pencernaan, antara lain:
a. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa asing lain.
b. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam darah.
c. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin. d. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan bersama dengan ginjal. e. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya
makrofag residennya.
f. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin, bilirubin adalah produk penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah tua (Sherwood, 2011).
4. Histopatologi Hati
Dari sudut pandang patologi, hati adalah organ yang secara inheren sederhana dengan berbagai respons yang terbatas terhadap cedera.
(48)
Respon awal terjadinya cedera yang disebabkan oleh gangguan aliran darah pada organ hati ditandai dengan adanya kongesti. Kongesti merupakan terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan oleh adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular yang merupakan tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung. Peningkatan tekanan hidrostatik tersebut dapat menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela−sela jaringan ikat longgar dan rongga badan sehingga dapat menyebabkan timbulnya pembengkakan dan penumpukan sel−sel radang (Wulandari, 2006).
Kongesti yang terjadi pada hati dibedakan menjadi kongesti hepatik akut dan kronis. Pada kongesti hepatik akut, vena sentralis dan sinusoid akan menggelembung oleh darah bahkan dapat terjadi degenerasi hepatosit sentral. Sedangkan pada kongesti hepatik pasif kronis, secara mikroskopis dapat terlihat nekrosis sentrilobular disertai dengan hilangnya hepatosit dan terjadi perdarahan (Kumar et al., 2007).
Berdasarkan sifatnya, respon umum hati terhadap cidera dapat dikelompokkan menjadi jejas reversibel dan ireversibel (Kumar et al., 2007).
(49)
a. Jejas reversibel 1) Peradangan
Cedera hepatosit yang menyebabkan influks sel radang akut atau kronis ke hati disebut hepatitis. Serangan terhadap hepatosit hidup yang mengekspresikan antigen oleh sel T yang telah tersensitisasi merupakan penyebab umum kerusakan hati. Peradangan mungkin terbatas di saluran porta atau mungkin meluas ke parenkim (Kumar et al., 2007).
2) Pembengkakan sel
Pembengkakan sel merupakan manifestasi klinis yang muncul sebagai akibat ketidakmampuan sel dalam mepertahankan homeostasis ionik dan cairan. Secara mikroskopiks, pembengkakan sel ditandai dengan vakuola kecil, jernih di dalam sitoplasma. Vakuola tersebut menggambarkan segmen retikulum endoplasma yang berdistensi dan menekuk (Kumar et al., 2007).
3) Perlemakan
Terjadi pada jejas hipoksik dan berbagai bentuk jejas toksik atau metabolik. Secara mikroskopis ditandai dengan adanya vakuola lipid dalam sitoplasma. Dapat disebut dengan degenerasi lemak (Kumar et al., 2007).
(50)
b. Jejas Ireversibel 1) Nekrosis
Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi di lingkungan cedera eksogen ireversibel. Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel. Gambaran mikroskopis dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis (Chandrasoma & Taylor, 2005).
2) Fibrosis
Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung di dalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap cedera. Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya yang akan mengaktivasi sel stelat yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Kumar et al., 2007).
3) Sirosis
Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hati terbagi–bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut yang disebut sirosis (Kumar et al., 2007).
(51)
C. Radikal Bebas dan Stres Oksidatif
1. Radikal Bebas
a. Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus di dalam tubuh dan apabila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit (Waji & Sugrani, 2009).
Radikal bebas yang diproduksi di dalam tubuh normal akan dinetralisir oleh antioksidan yang ada di dalam tubuh. Bila kadar radikal bebas terlalu tinggi maka kemampuan dari antioksidan endogen tidak memadai untuk menetralisir radikal bebas sehingga terjadi keadaan yang tidak seimbang antara radikal bebas dengan antioksidan (Harjanto, 2004).
b. Definisi Reactive Oxygen Species (ROS)
Salah satu elemen kimia yang sering terlibat dalam pembentukan radikal bebas adalah oksigen. Oksigen (O2) sangat penting bagi kehidupan manusia namun juga dapat bersifat toksik. Atom O2 adalah biradikal, yang berarti atom O2 mempunyai 2 elektron tunggal dalam
(52)
orbital yang berbeda. Kedua elektron ini tidak dapat melintasi orbital yang sama karena memiliki putaran paralel, yakni berputar dengan arah yang sama (Wu & Cederbaum, 2004).
Atom O2 mampu menerima 4 elektron, yang akan direduksi menjadi 2 molekul air. Ketika O2 menerima 1 elektron, superoksida terbentuk. Superoksida masih menjadi radikal karena masih mempunyai 1 elektron yang tidak berpasangan. Ketika superoksida menerima 1 elektron, superoksida tereduksi menjadi hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida (H2O2) kemudian tereduksi menjadi radikal hidroksil. Produk akhir dari proses ini adalah H2O. Berikut ini adalah gambar proses terbentuknya H2O dari O2 (Smith et al., 2005).
O2 (oksigen) e
-O2- (superoksida) e-, 2H+
H2O2 (hidrogen peroksida) e-, H+
Radikal hidroksil (H2O + OH) e-, H+
H2O
(53)
Superoksida, peroksida, dan radikal hidroksil dikategorikan sebagai Reactive Oxygen Species (ROS). Reactive Oxygen Species adalah senyawa yang mengandung O2, termasuk ke dalam radikal bebas yang sangat reaktif, atau senyawa yang siap dikonversi menjadi radikal bebas O2 dalam sel (Wu & Cederbaum, 2003). Reactive Oxygen Species dibutuhkan untuk menjalankan fungsi fisiologis tubuh, tetapi apabila berlebihan akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat menimbulkan respons inflamasi yang berbeda manifestasinya pada setiap individu (Fandika, 2013).
c. Pengaruh ROS terhadap Sel
Tiga reaksi yang berkaitan dengan jejas sel diperantarai ROS adalah (Kumar et al., 2007):
1) Peroksidasi membran lipid
Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran mudah terkena serangan ROS. Interaksi ROS lemak menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif serta terjadi reaksi rantai autokatalitik. 2) Fragmentasi Deoxyribo Nuecleic Acid (DNA)
Reaksi ROS dengan timin pada DNA mitokondria dan nuklear menimbulkan kerusakan untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut menyebabkan kematian sel dan perubahan sel menjadi ganas. 3) Ikatan silang protein
Reactive Oxygen Species mencetuskan ikatan silang protein diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan
(54)
degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi ROS juga dapat secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida.
2. Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah keadaan yang tidak seimbang antara antioksidan yang ada dalam tubuh dengan produksi ROS. Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya reaksi peroksidasi lipid, protein termasuk enzim dan DNA, yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif, apabila hal tersebut berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian sel (Mahdi et al., 2007). Mekanisme protektif untuk mencegah pembentukan ROS atau untuk mendetoksifikasi ROS di dalam tubuh melibatkan molekul yang disebut antioksidan. Keadaan terjadinya gangguan keseimbangan antara produksi ROS dan pembuangan ROS disebut stres oksidatif. Gangguan keseimbangan ini dapat terjadi dari kurangnya kapasitas antioksidan karena gangguan dalam produksi dan distribusinya, atau dari jumlah ROS yang berlebihan (Wu & Cederbaum, 2004).
D. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley
1. Klasifikasi Tikus Putih Klasifikasi tikus putih adalah: Kingdom : Animalia Filum : Chordata
(55)
Kelas : Mamalia Ordo : Rodentai Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus (Narendra, 2007).
2. Jenis Tikus Putih
Tikus putih atau tikus albino galur outbred lebih sering digunakan untuk penelitian di laboratorium dibandingkan galur inbred. Beberapa contoh jenis tikus putih galur outbred adalah Wistar, Sprague dawley, dan Long Evans. Sprague dawley merupakan galur yang lebih cepat tumbuh dibandingkan tikus Wistar. Sedangkan Long Evans merupakan galur yang lebih kecil dibandingkan tikus Wistar atau Sprague dawley. Galur Fisher 344 dan Lewis adalah tikus putih galur inbred yang paling banyak digunakan dalam penelitian (Animal Care Program, 2011).
3. Biologi Tikus Putih
Tikus putih merupakan hewan yang lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah berkembang biak dibandingkan dengan tikus liar. Berat badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Berat tikus putih pada umur 4 minggu mencapai 35−40 gram dan berat dewasa rata-rata 200−250 gram (FKH UGM, 2006). Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus) tersaji dalam Table 2.
(56)
Tabel 2. Data Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
DATA BIOLOGI KETERANGAN
Lama hidup 2,5–3,5 tahun
Berat badan
Newborn 5−6 gr
Pubertas 150−200 gr Dewasa jantan 200−800 gr Dewasa betina 200−400 gr
Reproduksi
Kematangan seksual 65−110 hari Siklus estrus 4−5 hari Gestasi 20−22 hari Penyapihan 21 hari
Fisiologi
Suhu tubuh 35,90−37,50 C Denyut jantung 250−600 kali/menit Laju nafas 66−144 kali/menit Tekanan darah diastole 60−90 mmHg Tekanan darah sistol 75−120 mmHg
Feses Padat, berwarna coklat tua, bentuk memanjang dengan ujung membulat Urin Jernih dan berwarna kuning
Konsumsi makan dan air
Konsumsi makan 15–30 gr/hari atau 5–6 gr/100 grBB Konsumsi air 24–60 ml/hari atau 10−12 ml/100 grBB
(Sumber: Isroi, 2010)
Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan karena tikus merupakan hewan yang mewakili kelas mamalia sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah, serta ekskresinya menyerupai manusia. Tikus juga dapat secara alami menderita suatu penyakit, seperti hipertensi dan diabetes, dan juga sering dipakai dalam studi nutrisi, tingkah laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care Program, 2011).
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley memiliki beberapa sifat yang menguntungkan, seperti cepat berkembang biak, mudah
(57)
dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih galur Sprague dawley juga memiliki ciri-ciri albino, kepala kecil, ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya (Isroi, 2010).
(58)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test only control group design. Sebanyak 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 10 minggu yang dipilih secara acak, dan dibagi menjadi 5 kelompok digunakan sebagai subjek penelitian.
B. Tempat dan Waktu
Pemeliharaan dan pemberian perlakuan terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley pada penelitian ini dilakukan di animal house Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pembedahan tikus dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bandar Lampung. Pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian ini
(59)
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang diperoleh dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara acak yang dibagi dalam 5 kelompok. Menurut Federer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah:
(t−1)(n−1)≥15
Dimana t adalah jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini akan menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga penghitungan sampel menjadi:
(t−1)(5−1)≥15 5t–t–5+1≥15
4t–4≥15 4t≥19 t≥4,75
Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan minimal sebanyak 5 ekor (n≥4,75) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi.
(60)
Adapun kelima kelompok tikus ini terdiri dari:
1. Kelompok 1 merupakan kelompok tikus putih yang tidak diberi herbisida paraquat diklorida per−oral. Kelompok ini digunakan sebagai kelompok kontrol.
2. Kelompok 2 merupakan kelompok tikus putih yang diberi herbisida paraquat diklorida per−oral dengan dosis 25 mg/kgBB selama 2 hari. 3. Kelompok 3 merupakan kelompok tikus putih yang diberi herbisida
paraquat diklorida per−oral dengan dosis 50 mg/kgBB selama 2 hari. 4. Kelompok 4 merupakan kelompok tikus putih yang diberi herbisida
paraquat diklorida per−oral dengan dosis 100 mg/kgBB selama 2 hari. 5. Kelompok 5 merupakan kelompok tikus putih yang diberi herbisida
paraquat diklorida per−oral dengan dosis 200 mg/kgBB selama 2 hari. Adapun tikus yang digunakan pada penelitian ini memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Tikus putih galur Sprague dawley 2. Berjenis kelamin jantan
3. Berat badan sekitar 150 gram 4. Berusia kurang lebih 8–10 minggu
5. Terdapat penampakan keadaan rambut tidak kusam, rontok, atau botak, dan bergerak aktif
6. Tingkah laku dan aktivitas normal 7. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak
(61)
Kriteria ekslusi pada penelitian ini antara lain:
1. Terdapat penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus dan genital
2. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboraturium
3. Mati selama masa pemberian perlakuan
D. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan meliputi herbisida paraquat diklorida dengan dosis 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB, tikus putih jantan, pakan dan minum tikus.
2. Bahan Kimia
Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan metode paraffin meliputi larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xylol, pewarna hematoksilin dan eosin, dan entelan.
(62)
3. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Neraca analitik Metler Toleda dengan tingkat ketelitian 0,01 gram, untuk menimbang berat tikus
2. Sonde oral
3. Minor Set, membedah tikus untuk mengidentifikasi hati 4. Kapas dan alkohol
5. Kandang tikus dan botol minum tikus
6. Alat Pembuatan Preparat Histopatologi meliputi object glass, deck glass, tissue cassette, rotarymicrotome, oven, water bath, latening table, autotechnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast, dan paraffin dispenser
7. Alat pemeriksaan mikroskopis yang terdiri dari mikroskop, gelas objek, dan cairan emersi
8. Kamera digital
E. Prosedur Penelitian
1. Perawatan Hewan Coba
Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8– 10 minggu yang diperoleh dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dimasukkan ke dalam kandang yang telah disiapkan dan diadaptasikan selama tujuh hari. Kandang tikus terbuat dari kotak plastik, bagian dasarnya diberi sekam
(63)
dan pasir hidrolit, dan ditutupi dengan bedding kawat. Kandang tikus dibersihkan seminggu sekali dengan memberikan desinfektan pada lantainya. Setiap hari makanan dan minuman diberikan secara ad libitum.
2. Prosedur Pemberian Dosis Herbisida Paraquat diklorida
Dosis herbisida paraquat diklorida yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 mg/kgBB untuk kelompok 2, 50 mg/kgBB untuk kelompok 3, 100 mg/kgBB untuk kelompok 4, dan 200 mg/kgBB untuk kelompok 5. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol sehingga tidak diberikan herbisida paraquat diklorida per−oral. Berat rata-rata tikus putih jantan yang digunakan sebagai hewan coba pada penelitian ini adalah 100 gram atau 0,1 kg. Berdasarkan berat rata-rata tikus putih jantan tersebut akan dihitung dosis herbisida paraquat diklorida yang akan diberikan per-oral pada tikus putih jantan dalam satuan mg/100gBB.
Herbisida paraquat diklorida yang digunakan pada penelitian ini adalah herbisida dalam bentuk cair, sehingga dosis dalam satuan mg/100gBB akan dikonversikan dalam satuan mililiter (ml) berdasarkan dosis herbisida paraquat diklorida yang terdapat pada label kemasan yaitu 276 SL atau sama dengan 276 mg/ml. Hasil perhitungan dosis dalam satuan ml akan dilarutkan dengan air sesuai dengan dosis masing−masing kelompok sehingga mendapatkan jumlah sebanyak 1 ml cairan yang mengandung herbisida paraquat.
(64)
Perhitungan dosis herbisida paraquat diklorida yang akan diberikan per-oral untuk masing-masing tikus pada setiap kelompok adalah sebagai berikut. 1) Dosis untuk setiap tikus kelompok 2
Dosis tikus (100 g) = 25 mg/kgBB x 0,1 kg = 2,5 mg/100gBB
Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 2,5 mg/100gBB
1 ml x
x = 2,5 mg/100gBB 276 mg
x = 0,009 ml dibulatkan menjadi 0,01 ml
Dosis herbisida paraquat dikloridayang diberikan per−oral adalah 0,01 ml herbisida paraquat diklorida + 0,99 ml air = 1 ml
2) Dosis untuk setiap tikus kelompok 3
Dosis tikus (100 g) = 50 mg/kgBB x 0,1 kg = 5 mg/100gBB
Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 5 mg/100gBB
1 ml x x = 5 mg/100gBB
276 mg
x = 0,0018 ml dibulatkan menjadi 0,02 ml
Dosis herbisida paraquat dikloridayang diberikan per−oral adalah 0,02 ml herbisida paraquat diklorida + 0,98 ml air = 1 ml
(65)
3) Dosis untuk setiap tikus kelompok 4
Dosis tikus (100 g) = 100 mg/kgBB x 0,1 kg = 10 mg/100gBB
Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 10 mg/100gBB
1 ml x
x = 10 mg/100gBB 276 mg
x = 0,036 ml dibulatkan menjadi 0,04 ml
Dosis herbisida paraquat dikloridayang diberikan per−oral adalah 0,04 ml herbisida paraquat diklorida + 0,96 ml air = 1 ml
4) Dosis untuk setiap tikus kelompok 5
Dosis tikus (200 g) = 200 mg/kgBB x 0,1 kg = 20 mg/100gBB
Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 20 mg/100gBB
1 ml x
x = 20 mg/100gBB 276 mg
x = 0,072 ml dibulatkan menjadi 0,07 ml
Dosis herbisida paraquat dikloridayang diberikan per−oral adalah 0,07 ml herbisida paraquat diklorida + 0,93 ml air = 1 ml
(66)
Pemberian herbisida paraquat diklorida dengan dosis yang berbeda untuk
masing−masing kelompok tersebut dilakukan selama 2 hari dengan
menggunakan sonde oral.
3. Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian
Sebelum dilakukan pembedahan untuk mengambil organ hati pada tikus, di akhir perlakuan terlebih dahulu tikus akan dianastesi dengan menggunakan ketamine−xylazine dengan dosis 75−100 mg/kg ditambah 5−10 mg/kg secara intraperitoneal dengan selama 10−30 menit. Setelah dianastesi, tikus diterminasi dengan cara melakukan dislokasi servikal (AVMA, 2013).
4. Prosedur Pengambilan Organ Hati
Dilakukan laparotomi kemudian hati tikus diambil untuk pembuatan sediaan mikroskopis. Setelah itu sample hati difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam. Lalu sampel tersebut dibuat dalam bentuk sedian mikroskopis dengan menggunakan metode parrafin dan pewarnaan Hematoksiklin Eosin (HE).
5. Prosedur Operasional Pembuatan Slide
Metode teknik pembuatan preparat histopatologi menurut bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung antara lain sebagai berikut.
(67)
a. Fixation
1) Spesimen berupan potongan organ telah dipotong secara representatif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam.
2) Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali. b. Trimming
1) Organ dikecilkan hingga ukuran ±3 mm.
2) Potongan organ hati tersebut dimasukkan kedalam tissue casette. c. Dehidrasi
1) Mengeringkan air dengan meletakkan tissue casette pada kertas tisu.
2) Dehidrasi dengan:
a) Alkohol 70% selama 0,5 jam b) Alkohol 96% selama 0,5 jam c) Alkohol 96% selama 0,5 jam d) Alkohol 96% selama 0,5 jam
e) Alkohol absolut selama 1 jam f) Alkohol absolut selama 1 jam g) Alkohol absolut selama 1 jam h) Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam d. Clearing
Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xylol I dan II masing–masing selama 1 jam.
(68)
e. Impregnansi
Impregnansi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam dalam oven suhu 65oC.
f. Embedding
1) Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas. 2) Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke
dalam cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu di atas 58oC.
3) Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.
4) Dipindahkan satu per satu dari tissue casette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya.
5) Pan dimasukkan ke dalam air.
6) Paraffin yang berisi potongan hati dilepaskan dari pan dengan dimasukkan ke dalam suhu 4−6oC beberapa saat.
7) Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan skalpel/pisau hangat.
8) Lalu diletakkan pada balok kayu, diratakan pinggirnya dan dibuat ujungnya sedikit meruncing.
g. Cutting
1) Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.
2) Sebelum dilakukan pemotongan, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari es.
(69)
pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan dilakukan menggunakan rotary microtome dan disposable knife. 4) Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada
air dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing.
5) Lembaran jaringan dipindahkan ke dalam water bath pada suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna. 6) Dengan gerakkan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.
7) Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (Suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.
h. Straining (Pewarnaan) dengan Prosedur Pulasan Hematoksilin–Eosin Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.
1) Dilakukan deparaffinisasi dalam: a) Larutan xylol I selama 5 menit b) Larutan xylol II selama 5 menit c) Ethanol absolut selama 1 jam 2) Hydrasi dalam:
a) Alkohol 96% selama 2 menit b) Alkohol 70% selama 2 menit
(70)
c) Air selama 10 menit
3) Pulasan inti dibuat dengan menggunakan: a) Haris hematoksilin selama 15 menit b) Air mengalir
c) Eosin selama maksimal 1 menit
4) Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan: a) Alkohol 70% selama 2 menit
b) Alkohol 96% selama 2 menit c) Alkohol absolut 2 menit 5) Penjernihan:
a) Xylol I selama 2 menit b) Xylol II selama 2 menit
i. Mounting dengan entelan lalu tutup dengan deck glass
Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas kertas tisu pada tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting yaitu entelan dan ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.
j. Slide dibaca dengan mikroskop
Slide dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi, diperiksa dibawah mikroskop cahaya dan dibaca oleh ahli histologi dan patologi anatomi.
(71)
Gambar9. Diagram alur penelitian.
K1 K2 K3 K4 K5
Tikus diadaptasikan selama 7 hari
Tikus diberi perlakuan selama 2 hari dengan dosis bertingkat Cekok aquades 1x sehari Cekok paraquat diklorida 2,5 mg/100gBB 1 x sehari
Cekok paraquat diklorida 20 mg/100gBB 1 x sehari Cekok
paraquat diklorida 10 mg/100gBB
1 x sehari Cekok paraquat diklorida 5 mg/100gBB 1x sehari
Tikus di anastesi dan dieutanasia dengan metode cervical dislocation
Lakukan laparotomi kemudian hati tikus diambil
Sampel hati tikus difiksasi dengan formalin 10%
Interpretasi hasil pengamatan
Sampel dikirim ke Laboratorium Patologi Aanatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk pembuatan sediaan histopatologi
Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop
(72)
F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
1. Identifikasi Variabel
Pada penelitian ini terdapat 2 variabel yakni variabel bebas (variabel independen) dan variabel terikat (variabel dependen). Adapun variabel penelitian pada penelitian ini adalah:
a. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian herbisida
paraquat diklorida per−oral.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah perubahan gambaran pembengkakan hepatosit dan kongesti sinusoid hati tikus putih jantan galur Sprague dawley.
(73)
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Definisi Operasional
Variabel Definisi Skala
Dosis herbisida paraquat
diklorida
Dosis letal paraquat adalah 20 mg/100gBB Kelompok 1 (kontrol normal) = pemberian aquades
Kelompok 2 (perlakuan coba) = pemberian paraquat diklorida2,5 mg/100gBB
Kelompok 3 (perlakuan coba) = pemberian paraquat diklorida5 mg/100gBB
Kelompok 4 (perlakuan coba) = pemberian paraquat diklorida10 mg/100gBB
Kelompok 5 (perlakuan coba) = pemberian paraquat diklorida20 mg/100gBB
Kategorik
Pembengkakan hepatosit
Rerata skor skala penilaian gambaran pembengkakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x dan 400x pada seluruh lapang pandang. Skala penilaian:
0=tidak ada pembengkakan hepatosit
1=sedikit hepatosit yang mengalami pembengkakan (<25%)
2=sebagian hepatosit mengalami
pembengkakan (25−50%)
3=banyak hepatosit yang mengalami pembengkakan (>50%)
Numerik
Kongesti sinusoid hati
Rerata skor skala penilaian gambaran kongesti sinusoid hati tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x dan 400x pada seluruh lapang pandang. Skala penilaian:
0=tidak ada kongesti
1=kongesti ringan, yaitu kongesti sinusoid yang ditemukan pada daerah sekitar vena sentralis
2=kongesti sedang, yaitu kongesti sinusoid yang ditemukan pada daerah sekitar vena sentralis yang lebih lebar dari kongesti ringan 3=kongesti berat, yaitu kongesti sinusoid yang ditemukan pada daerah sekitar vena sentralis yang meluas ke vena porta
(74)
G. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop diuji analisis statistik. Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena
jumlah sampel ≤50. Selanjutnya dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik one way ANOVA. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji nonparametrik KruskalWallis. Hipotesis dianggap bermakna bila p<0,050. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p<0,050, maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post-Hoc LSD atau Mann Whitney untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan.
H. Ethical Clearance
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba telah disepakati bahwa hewan coba yang menderita dan mati untuk kepentingan manusia perlu dijamin kesejahteraannya dan diperlakukan secara manusiawi. Dengan demikian dalam pemanfaatan hewan coba harus diterapkan prinsip 3R data protokol penelitian, yaitu replacement, reduction, dan refinement. Replacement merupakan suatu prinsip yang menjelaskan bahwa keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara seksama, baik
(75)
dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain. Reduction adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin. Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi, seperti rasa lapar, haus, ketidaknyamanan, nyeri, dan penyakit (Ridwan, 2013). Penelitian ini telah mendapat persetujuan lolos kaji etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Ada pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap pembengkakan hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague dawley.
2. Ada pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap kongesti sinusoid hati pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague dawley.
B. Saran
Saran bagi peneliti lain adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap organ tubuh lainnya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh paparan herbisida paraquat diklorida secara inhalasi.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi zat-zat yang dapat mencegah kerusakan organ dari efek herbisida paraquat diklorida.
(2)
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Animal care program. 2011. Guide for the care and use of laboratory animals. Washington, D.C: The National Academies Press.
AVMA. 2013. Guidelines for the Euthanasia of Animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.
Chandrasoma P, Taylor CR. 2005. Ringkasan patologi anatomi. Edisi ke−2. Jakarta: EGC.
Dinis-Oliveira RJ, Duarte JA, Sanchez-Navarro A, Remiao F, Bastos ML, Carvalho F. 2008. Paraquat poisonings: mechanisms of lung toxicity, clinical features, and treatment. Critical Reviews in Toxicology. 38(1):13−71.
Eroschenko VP. 2010. Atlas histology difiore dengan korelasi fungsional. Jakarta: EGC.
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. 2006. Tikus laboratorium. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Fandika RA. 2013. Kolerasi antara kadar vitamin c dalam serum dengan derajat keparahan akne vulgaris di Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Gartner LP, Hiatt JL. 2012. Atlas histology berwarna. Edisi ke−5. Jakarta: Binarupa Aksara.
Ginting AW, Endang S, Saut Marpaung, Ginting F, Kembaren T, Rahimi A, et al. 2012. Intoksikasi herbisida (paraquat). IKAAPDA (Ikatan Keluarga Asisten Penyakit Dalam).
Guyton C, Hall E. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC.
Harjanto. 2004. Pemulihan stress oksidatif pada latihan olahraga. Jurnal Kedokteran YARSI. 12(3):81−7.
(4)
Indika G, Buckley N. 2011. Medical management of paraquat ingestion. British
Journal of Clinical Pharmacology: University of New South Wales, Sydney, Australia. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.noh.gov/. Diakses tanggal 9 september 2014.
Juhryyah S. 2008. Gambaran Histopatologi organ hati dan ginjal tikus pada intoksikasi akut insektisida (Metofluthrin, D-phenothrin, D-allethrin) dengan dosis bertingkat. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Junquiera L, Carneiro J, Kelley O. 2007. Teks dan atlas histologi dasar. Edisi ke−10. Jakarta: EGC.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi. Volume 2. Edisi ke−7. Jakarta: EGC.
Malekinejad H, Rezabakhsh A, Rahmani F, Razi M. 2013. Paraquat exposure up-regulates cyclooxygenase-2 in the lungs, liver and kidney in rats. Iranian
Journal of Pharmaceutical Research. 12(4):887−96.
Mansur. 2008. Toksikologi dan distribusi agent toksik. Edisi ke−2. Jakarta: UI Press.
Moon JM, Chun BJ. 2011. The efficacy of high doses of vitamin c in patients with paraquat poisoning. Human and Experimental Toxicology. 30(8):844−50. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME. 2013. Anatomi berorientasi
klinis. Edisi ke−5. Jakarta: Erlangga.
Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus Norvegicus). Skripsi. Bogor: Institut pertanian Bogor.
Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes.
Prijanto TB. 2009. Analisis faktor resiko keracunan pestisida organofosfat pada keluarga petani holtikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Purnawati S. 2008. Pendekatan ergonomic total untuk mengantisipasi resiko keracunan pestisida pada petani-petani bali. Jurnal Bumi Lestari. 8(2):154−61.
Pusat Informasi Paraquat. 2006. The paraquat information center on behalf of syngenta crop protection ag. Tersedia dari: http://www.paraquat.com. Diakses tanggal 9 september 2014.
(5)
Putz R, Pabst R. 2007. Sobotta: atlas anatomi manusia. Jakarta: EGC.
Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam Penelitian kesehatan.
Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112–6.
Saftarina F. 2011. Analisis keracunan pestisida pada petani padi di desa RJ Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. 1(1):61−69.
Saftarina F. 2011. Hubungan pemaparan pestisida terhadap jumlah leukosit dan trombosit pada petani padi di desa Raja Basa Jaya bandar Lampung.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. 1(2):81−93.
Sembodo DRJ. 2010. Gulma dan pengelolaannya. Bandar Lampung: Graha Ilmu. Sherwood L. 2011. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi ke−6. Jakarta:
EGC.
Sloane E. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Smith C, Marks AD, Lieberman M. 2005. Marks’ Basic Medical Biochemistry a
Clinical Approach Second Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins.
Sriyani N, Salam AK. 2008. Penggunaan metode bioassay untuk mendeteksi pergerakan herbisida pascatumbuh paraquat dan 2,4−D dalam tanah.
Jurnal Tanah Tropika. 13(3):199−208.
Suntres ZE. 2002. Role of antioxidants in paraquat toxicity. Toxicology.
180(1):65−77.
Viaiudiana RA. 2013. Pengaruh bentonit terhadap kadar malondialdehye (mda) jaringan ginjal rattus norvegicus yang dipapar herbisida paraquat. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah Kimia organik bahan alam: flavonoid (quercetin). Makasar: Universitas Hasanuddin.
Wu D, Cederbaum WI. 2004. Alcohol, oxidative stress, and free radical damage.
Pubmed. 27(4):27−84.
Wulandari T. 2006. Pengaruh pemberian ekstrak daun sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) terhadap struktur mikroanatomi hepar dan kadar glutamat piruvat transaminase serum mencit (Mus musculus L.) yang terpapar diazon. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
(6)
Zhang W, Jiang F, Ou J. 2011. Global pesticide consumption and pollution: with China as a focus. Proceedings of the International Academy of Ecology and Enviromental Sciences. 1(2):2−16.