PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER−ORAL TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN ESOFAGUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

(1)

ABSTRACT

EFFECT OF PARAQUAT DICHLORIDE HERBICIDES ORALLY ON THE STAGING OF ESOPHAGUS DAMAGE IN MALE RATS (Rattus

norvegicus) Sprague dawley STRAIN

By

I Gede Eka Widayana

Using of herbicide in indonesia especially in agriculture sectors latelly increased. Paraquat is one of active ingredient gramaxone type that most widely used in the world. Using of paraquat can damage many organs, include gastrointestinal tract. This study aims to determine the effect of parquat dichloride herbicides orally on the staging of esophagus damage in male rats (Rattus norvegicus) Sprague dawley strain.

This is a labortory experimental with post test only control group design. Total samples in this research are 25 rat which divede in 5 group. K is control group given aquadest. P1 is given paraquat 25mg/kgWB, P2 is given paraquat 50mg/WB, P3 is given paraquat 100mg/kgWB and P4 is given paraquat 200mg/kgWB . The data was analysed by using One Way ANOVA test and the alternative test is Kruskal Wallis. Meanwhile, to see the closeness of the relation between the variabel used Man Whitney test.

This result show that there is a effect of paraquat dichloride herbicides orally to histopatological of esophagus in male rats (Rattus novergicus) sprague dawley strain (p=0,002). This result also show there is a effect of increasing dose paraquat dichloride herbicides orally on the staging of esophagus damage in male rats (Rattus novergicus) sprague dawley strain.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER−ORAL TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN ESOFAGUS TIKUS

PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

Oleh

I GEDE EKA WIDAYANA

Penggunaan herbisida di Indonesia terutama di sektor pertanian akhir−akhir ini ternyata semakin meningkat. Paraquat merupakan salah satu bahan aktif herbisida jenis gramoxone yang merupakan jenis herbisida yang paling banyak digunakan. Penggunaan paraquat dengan sembarangan dapat merusak berbagai macam organ termasuk traktus gastrointestinal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek paparan herbisida golongan paraquat diklorida terhadap gambaran histopatologi esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan desain post test only control group design. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 ekor tikus yang terbagi kedalam 5 kelompok. K merupakan kelompok kontrol yang diberi akuades, P1 yang diberi paraquat 25 mg/KgBB, P2 yang diberi paraquat 50 mg/KgBB, P3 yang diberi paraquat 100 mg/KgBB dan P4 yang diberi paraquat 200 mg/KgBB. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji One Way ANOVA dan uji alternatifnya yaitu uji Kruskal Wallis. Sedangkan untuk melihat keeratan hubungan antar variabelnya digunakan uji Man Whitney.

Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley (p=0,002). Hasil penelitian juga menunjukan ada pengaruh peningkatan dosis herbisida golongan paraquat diklorida terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.


(3)

(4)

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA

PER−ORAL TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN ESOFAGUS TIKUS

PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

(skripsi)

Oleh

I Gede Eka Widayana

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur kimia 1,1−dimethyl 4,4 bipyridylium dichloridem ... 7

2. Struktur kimia [C12H14N2]Cl2 ... 8

3. Kerangka teori penelitian ... 9

4. Kerangka konsep ... 10

5. Bagian esofagus ... 15

6. Lapisan dinding esofagus ... 18

7. Pertahanan mukosa esofagus ... 19

8. Pertahanan mukosa esofagus ... 22

9. Diagram alir penelitian... 45

10.Histologi normal esofagus tikus ... 49

11.Histopatologis esofagus tikus P1 ... 50

12.Histopatologis Esofagus tikus P2 ... 51

13.Histopatologis esofagus tikus P3 ... 52

14.Histopatologis esofagus tikus P4 ... 53


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...4

C. Tujuan Penelitian ...5

D. Manfaat Penelitian ...5

E. Kerangka Teori ...6

F. Kerangka Konsep ...10

G. Hipotesis ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Herbisida Golongan Paraquat Diklorida ...7

B. Esofagus 1. Anatomi Esofagus ...12

2. Histologi Esofagus ...16

3. Pertahanan Mukosa Esofagus ...18

C. Radikal Bebas ...23

D. Tikus Putih ...24

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ...36

B. Tempat dan Waktu ...36


(7)

2. Bahan Kimia...38

3. Alat Penelitian ...38

a. Alat penelitian ...39

b. Alat pembuat preparat histopatologi ...39

c. Alat pemeriksaan mikroskopis ...39

E. Prosedur Penelitian 1. Pemeliharaan Hewan Percobaan ...40

2. Prosedur Pemaparan Herbisida Golongan Paraquat Diklorida ...40

3. Pengamatan Terhadap Tikus ...41

4. Pegambilan Sampel Organ ...41

5. Evaluasi Histopatologi ...43

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Penelitian a. Variabel bebas ...45

b. Variabel terikat ...45

2. Definisi Operasional Variabel ...45

G. Analisis Data ...46

H. Ethical Clearance...47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...48

B. Pembahasan ...59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...64

B. Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sifat kimia dan fisika paraquat ...9

2. Data biologi tikus putih laboraturium ...26

3. Defnisi operasional variabel ...47

4. Rerata kerusakan esofagus ...54

5. Hasil uji normalitas data ...56

6. Hasil uji Shapiro−Wilk setelah transformasi data ...57


(9)

Tim Penguji

Ketua : dr. Indri Windarti, Sp.PA

Sekretaris : dr. Muhartono, M.Kes., Sp

Penguji /f

tsukanPembimbing:

dr. Susianti,

M.Sc

fu

I Dekan Fakultas Kedokteran

\lP t9570424 198703 I 001


(10)

Nama Mahasiswa : I Gede Eka Widayana

No. PokokMahasiswa : 1118011057

norvegicus) JAI\TAN GALUR Sprague dawley

Program Studi Fakultas

dr. I indarti, Sp.PA

NrP 19790128 20A604 2 001

: Pendidikan Dokter : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbine

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sufyarso, M.Biomed

NIP 19570424198703 1 001

dr. Mrfr hartono- 14, Ke_!r, Sp.PA NrP 19701208200112 | 001 {.


(11)

Dengan rasa bahagia dan syukur pada

Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Kupersembahkan Skripsi ini teruntuk ...

Mama, dalam usia yang tak terbaca

waktu

Papa, yang kasihnya membiak seluas

cakrawala

Adik-adikku, yang menjelma segala

mimpi dan cita


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Braja Gemilang pada tanggal 15 Februari 1994, putra pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Nyoman Danaya Surya dan Ibu Putu Widnyani. Dan saat ini penulis tinggal di Sukadana, Lampung timur.

Jenjang pendidikan penulis:

Sekolah Dasar (SD) Negeri 5 Pasar Lama pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Sukadana pada tahun 2008. Sekolah Menengah atas (SMA) di SMA Negeri 3 Metro pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur Undangan (SNM−PTN UNDANGAN). Selama masa studi penulis juga aktif di organisasi mahasiswa intra kampus diantaranya yaitu pada periode 2011−2014 sebagai staff ahli pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Unila, dan sebagai Wakil ketua Gen−C dan Sekretaris Paduan Suara FK Unila pada periode 2012−2013. Penulis juga pernah menjadi ketua divisi Unit Fungsional Organisasi BEM FK UNILA dan ketua divisi ilmiah LUNAR Fakultas Kedokteran Unila periode 2012−2013.


(13)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis haturkan atas Asung Kherta Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia−Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi berjudul “ Pengaruh Pemberian Herbisida Paraquat Diklorida Per−oral terhadap Derajat Kerusakan Esofagus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley “ ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Dr. Sutyarso, M.Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. dr. Indri Windarti, Sp.PA selaku pembimbing pertama atas semua bantuan, saran, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.


(14)

pembimbing akademik atas semua bantuan, saran, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini .

5. dr. Susianti, M.Sc selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini.

6. dr. Tiwuk Susantiningsih dan dr. Maya Ganda Ratna atas semua bantuan, saran, dan pengarahannya terutama dalam menentukan dosis penelitian. 7. Mas Bayu Putra selaku Laboran Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung terimakasih atas bantuannya dalam pembuatan preparat penelitian dan terimakasih atas semua dukungannya.

8. Bapak dan Ibu Staff Administrasi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung terkhusus Mbak Lisa, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

9. Papa Drs. Nyoman Danaya Surya, Mama Ni Putu Widnyani, adik−adikku Ni Kadek Galih Widiantari dan I Komang Bhakti Arba Wibawa yang selalu memberikan semangat dan doa serta kehangatan keluarga.

10.Kakek, nenek, paman, sepupu dan semua keluagaku terimakasih atas doa dan semangat yang telah kalian berikan.

11.Diah Septia Liantari, Yolanda Fratiwi dan Wayan Ferly Aryana terima kasih atas pengalaman berharga yang diberikan selama menjadi teman sepenelitian dan terimakasih atas kebersamaan dan kekompakan selama melakukan penelitian.

12.Felicya Rosari HS terimakasih atas segala motivasi, semangat, dan doa yang selalu diberikan.


(15)

Ferina, Sakinah, Naomi, Felis, Lian, Oni, Bela yang tergabung dalam CUPS , terimakasih atas keakraban, persahabatan, dan persaudaraan yang telah kalian berikan selama ini.

14. Teman−teman asisten dosen Patologi Anatomi 2011, Fadia, Tiara, Yolanda, Diah Septia, Rizky Bayu, Muflikha, Yuda Ayu terimakasih atas semua bantuan dan semangat yang telah kalian berikan dan terimakasih atas kebersamaannya selama 1 tahun sebagai asisten dosen.

15. Teman−teman satu atap Filla, Wayan, Gede, Dika, Fadil, Erot, Stevan, Anwar, Yudo, Satria, Okta, Mahendra, Gusti, Topaz, Agung, Reza, Firza, Ivan, Kak Zaky, kak Bayu, Eko, Junet terimakasih atas keakraban yang telah kalian berikan.

16. Teman−teman geng guan desi trianingsih, putu vineta dofanny putri, agung pamuji, fahmy adiguno, ria oktavia, nurul afriyanti, novi dwi lestari, dan teman−teman filosofi dandy, aria, devi, ida, husna,maya, shodiq , aris dan lain−lain.

17. Semua teman−teman seperjuangan angkatan 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (NPM 1−142) yang jika disebutkan satu-persatu membuat sanwacana menjadi berlembar−lembar. Semoga kita tetap kompak selamanya. SAI KEDOKTERAN, SATU KEDOKTERAN. 18. Semua teman−teman BEM FK UNILA KGS Mahendra, Anissa Ratya,

Pratiwi Wulandari, DINAS PSDMO Taufiq, Zahra, Fathia, Ridho, Agung, Allysa, Putri, Fuad, farishal, debo dll, GEN−C FK UNILA, Paduan Suara


(16)

19. Teman− teman KKN desa Batuliman Indah Kecamatan Candipuro esther, faradina, kak bili, kak febi, kak fadli, mbak ferda, mbak heidi, roli yang telah memberikan semangat.

20.Teman−teman pejuang pet house fadia, rizky, tiara, ate, diano, topaz, mahe, marulfa, oci, belda, caca, erot atas kebersamaanya selama di pet house fk unila.

21.Teman-teman sepermainan Agung pay, gusti indra, reva berta, jeana, eja, emon, pito, mbak aul agris, yati, dan teman−teman krucukers bunda nayuv, pufit, magista, gilang, zuy, asih, kotak, wayana, yolci, enaidung, nenek fei, mbak nurul atas kebersamaanya selama ini.

22.Drh. Aulia Andi M,Msi, Alias Zulkipli, Om Adi dan Om Travel yang telah bersedia mengurusi semua akomodasi tikus penelitian sehingga sampai di Lampung dengan selamat.

23.Seluruh Civitas Akademika Program Studi Pendidikan Dokter FK UNILA yang tidak dapat disebutkan satu−persatu.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Demikianlah, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Desember 2014


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan herbisida di Indonesia terutama di sektor pertanian akhir−akhir

ini ternyata semakin meningkat. Disektor pertanian, herbisida digunakan secara intensif untuk menunjang program pertanian demi mencukupi kebutuhan pangan yang terus berkembang. Sejalan dengan proses intensifikasi dan ekstensifikasi, herbisida terbukti mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan kesejahteran rakyat jika dikelola dengan bijaksana. Kenyataan menunjukan bahwa produk pertanian mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas dengan pemakaian herbisida (Anwar, 2009).

Paraquat merupakan salah satu bahan aktif herbisida jenis gramoxone yang merupakan jenis herbisida yang paling banyak digunakan. Paraquat digunakan dilebih dari 120 negara dan umumnya dijual dalam larutan 20% dengan merk gramoxone (Komisi Pestisida Indonesia, 2005). Dinegara berkembang termasuk Indonesia, paraquat sering digunakan dengan sembarangan serta tidak memperhatikan label peringatan sehingga menyebabkan angka keterpaparan yang tinggi. Di Indonesia sendiri kebanyakan dosis pestisida yang digunakan petani menggunakan takaran tutup


(18)

botol dari kemasan herbisida tersebut dan jarang menggunakan takaran baku (Fitria, 2011). Hanya dengan sedikit sendok teh paraquat, maka dapat menyebabkan kematian. Kematian tersebut dikarenakan kegagalan pernafasan, dan mungkin bisa dijumpai dalam beberapa hari setelah keracunan bahkan sampai beberapa bulan kemudian (Thomas, 2010).

Penggunaan paraquat dengan sembarangan dapat merusak berbagai macam organ diantaranya adalah jantung, ginjal, hati, otot, limfa, kelenjar suprarenal, susunan saraf pusat dan juga dapat merusak traktus gastrointestinal (Moon, 2008). Traktus gastrointestinal merupakan tempat awal kerusakan yang ditandai dengan kerusakan permukaan mukosa usus oleh karena paraquat. Toksisitas ini bermanifestasi seperti mukosa yang edema dan membengkak dan ulserasi pada mulut, faring, esofagus,lambung dan usus yang sangat nyeri (Oliveira, 2008).

Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stress oksidatif melalui siklus reduksi oksidasi (redoks) sehingga membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan. Radikal bebas merupakan suatu kelompok bahan kimia baik berupa atom atau molekul dengan reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis didalam tubuh. Namun oleh karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri atas


(19)

unsur oksigen dikenal sebagai kelompok oksigen reaktif (reaktif oxigen species), seperti anion superoksida (O2-) (Moran, 2008).

Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi utama yang bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat. Kation paraquat dapat direduksi oleh NADPH- dependent mikrosomal flavoprotein reductase menjadi bentuk radikal tereduksi. Kemudian berekasi dengan molekul oksigen membentuk kation paraquat dan ion superoksida (O2-). Paraquat berlanjut

kedalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk tereduksi dengan elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui lipid peroksidase atau deplesi NADPH (Moran, 2008).

Brian (1999) dalam salah satu jurnalnya menggambarkan bagaimana toksisitas paraquat juga melibatkan nitric oxide synthase (NOS). NOS adalah enzim yang memproduksi Nitric Oxide (NO) dan molekul lainya dengan mengkatalisis oksigen dan NADPH. Teori saat ini menjelaskan NO bereaksi dengan dengan O2- yang terbentuk dari paraquat untuk menghasilkan toksin

peroxynitrit. Dan dari hasil penelitianya menunjukan bahwa NOS merupakan diaforase paraquat dan toksisitas berupa senyawa aktif redoks melibatkan penurunan aktivitas NO. Diaforase adalah suatu kelas enzim yang memindahkan elektron dari NADH atau NADPH ke molekul seperti tetrazolium, quinon, dan paraquat. Biasanya diaforase paraquat merupakan enzim oksidoreduktase yang terdiri dari flavin dan menggunakan NADH atau


(20)

NADPH sebagai elektron donor. Pada umumnya enzim diaforase yang dapat bereaksi redoks dengan paraquat adalah sitokrom P450 reduktase.

Keracunan herbisida merupakan permasalahan kesehatan masyarakat dinegara berkembang dengan perkiraan sekitar 300.000 kematian di regio Asia Pasifik sendiri. Sebagai contoh, di Sri Lanka ada sekitar 300−400 orang yang

keracunan herbisida per−100.000 populasi setiap tahun. Paraquat merupakan agen penyebab kematian utama di Sri Lanka. Keracunan paraquat tidak hanya merupakan masalah di regio Asia Pasifik. Pada tahun 1986−1990, 63% dari seluruh percobaan bunuh diri di Trinidad−Tobago dikarenakan paraquat (Indika, 2011). Sedangkan di Indonesia, Data keracunan sulit didapatkan, hal ini dikarenakan banyak kasus yang tidak dilaporkan (Fitria, 2011).

Dengan melihat banyaknya kelainan, kasus keracunan dan jumlah kematian yang disebabkan oleh penggunaan herbisida paraquat yang tidak memperhatikan prosedur, maka peneliti tertarik untuk meneliti secara langsung tentang pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur sprague dawley?


(21)

2. Apakah ada pengaruh peningkatan dosis pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur sprague dawley?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya efek pemberian herbisida paraquat diklorida per−oralterhadap gambaran histopatologi esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh peningkatan dosis pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur sprague dawley.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama dibidang ilmu kedokteran patologi anatomi dan ilmu kedokteran agromedicine khususnya dibidang toksikologi.

2. Manfaat Praktis a. Bagi penulis

Penelitian yang dilakukan dapat menjadi pengalaman yang berguna dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan.


(22)

b. Bagi penulis lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian yang lebih lanjut.

c. Bagi masyarakat khususnya para petani

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bahaya paparan herbisida paraquat diklorida pada manusia jika dalam penggunaanya tidak memperhatikan prosedur keselamatan penggunaan.

d. Bagi pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang betapa bahayanya paparan herbisida, sehingga perlu digalakan program usaha kesehatan kerja yang dimaksudkan untuk mencegah, mengawasi dan mengobati resiko gangguan kesehatan akibat keracunan herbisida paraquat diklorida.

E. Kerangka Teori

Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif (Goldman dan Klatz, 2003). Radikal bebas bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, dan protein (Bagiada, 2001).


(23)

Radikal bebas sendiri berasal dari dua sumber yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Sumber internal radikal bebas diantaranya adalah mitokondria, fagosit, xantine oksidase, reaksi yang melibatkan besi dan logam transisi lainya, arachidonat pathway, peroksisom, olah raga, peradangan, serta iskhemia atau reperfusi. sedangkan untuk sumber eksternal dari radikal bebas diantaranya adalah rokok, polutan lingkungan, radiasi, obat−obatan tertentu serta yang paling banyak terdapat dalam herbisida (Langseth, 1996).

Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Salah satu jenis herbisida yang paling sering digunakan di seluruh negara termasuk di Indonesia adalah herbisida golongan paraquat diklorida (Komisi Pestisida Indonesia, 2005). Dinegara berkembang termasuk Indonesia, paraquat sering digunakan dengan sembarangan (tidak memperhatikan bahaya), serta tidak memperhatikan label peringatan sehingga menyebabkan angka keterpaparan yang tinggi (Thomas, 2010).

Mekanisme toksisitas dari herbisida paraquat diklorida adalah paraquat menimbulkan stress oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan (Moran, 2009).

Stress oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat


(24)

merusak membran sel, protein, DNA dan berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif didalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001).

Traktus gastrointestinal merupakan tempat awal kerusakan yang ditandai dengan kerusakan permukaan mukosa usus oleh karena paraquat. Toksisitas ini bermanifestasi seperti mukosa yang edema dan membengkak dan ulserasi yang salah satu nya terjadi pada esofagus (Oliveira, 2008).


(25)

Gambar 7. Kerangka Teori Penelitian

Hati Ginjal Kulit Traktus GI Paru

Kerusakan hepatoseluler

Cedera sel epitel tubulus ginjal

Iritasi pada

kulit Edema paru

akut, asfiksia Karbon, Hidrogen dan Nitrogen

Dimetabolisme oleh enzim NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, NADH & ubiquinone oxireductase, nitric oxide synthase

Paraquat mono-cation radical (PO-) dalam sel

Di Reoksidasi Menjadi PQ2+ Herbisida Paraquat Diklorida

Sumber Internal Radikal Sumber Eksternal Bebas

Mitokondria, Fagosit, Xantin Oksidase, Reaksi yang melibatkan Besi, Peroksisom,

Olahraga, Peradangan, iskhemia

Rokok, Polutan Lingkungan, Radiasi, Larutan industri, Ozon

HERBISIDA

Radikal Bebas ( Reactive Oxygen Species), Superoxide, Hidrogen peroksida dan hidroksil radikal

Stress Oksidatif

MULUT USUS GASTE ESOFAGUS


(26)

F. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dari penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Herbisida ParaquatDiklorida Per−oral Terhadap Derajat Kerusakan Esofagus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley tertera pada gambar 8 dibawah ini.

Gambar 8. Kerangka Konsep Kelompok Kontrol Kelompok Dua Kelompok Satu Kelompok Empat Kelompok Tiga

Paparan Herbisida Paraquat Diklorida per−oral

Dosis 25 mg/kg BB

Dosis 50 mg/kg BB

Dosis 100 mg/ kg BB

Tidak dipapar

Dosis 200 mg/kg BB

NORMAL Deskuamasi Epitel

EROSI EROSI ULKUS Perubahan Gambaran Histopatologi Esofagus Tikus Putih


(27)

G. Hipotesis

Adapun Hipotesis dari penelitian ini adalah

1. Ada pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Ada pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida dosis bertingkat terhadap peningkatan derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Herbisida paraquat adalah salah satu jenis herbisida non−selektif dan secara luas sering digunakan, terutama pada sistem pertanian dan oleh agen pemerintah dan perindustrian untuk mengontrol hama tanaman. Paraquat memiliki nama kimia 1,1–dimetil–4,4–bipiridilium dan mempunyai nama lain paraquat dichloride, methyl viologen dichloride, Crisquat, Dexuron, Esgram, Gramuron, Ortho Paraquat CL, Para-col, Pillarxone, Tota-col, Toxer Total, PP148, Cyclone, Gramixel, Gramoxone, Pathclear dan AH 501.

Sesuai namanya, paraquat memiliki rumus molekul [C12H14N2]2+dengan

struktur sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur kimia 1,1−dimethyl 4,4 bipyridylium dichlorid (Sumber: Lestari, 2005).

Paraquat atau kation 1,1–dimetil–4,4–bipiridilium juga tersedia sebagai garam dibromida ataupun diklorida dengan rumus [C12H14N2]Br2 atau


(29)

sangat larut dalam air (Lestari, 2005). Struktur kimia [C12H14N2]Cl2 adalah

sebagai berikut:

Gambar 2. Struktur kimia [C12H14N2]Cl2 (Sumber: Lestari, 2005).

Paraquat memiliki kemampuan menyerap sinar radiasi ultraviolet pada panjang gelombang maksimum I=260 nm, yaitu sebagai akibat transisi elektronik p pada ikatan rangkap terkonjugasi dalam gugus bipiridil. Paraquat tereduksi berwarna biru dan menyerap sinar pada panjang gelombang I=600 nm (Lestari, 2005). Tabel sifat kimia dan fisika paraquat tersaji pada tabel 1 dibawah ini.


(30)

Tabel 1. Sifat Kimia dan Fisika Paraquat

Sifat Kimia dan Fisika Keterangan

Titik leleh 3400C Titik didih 3400C

Bentuk Padatan higroskopis dan liquid (technical)

Massa molekul relatif 186,3

Densitas 1,5g/cm3 pada 250C (kemurnian 99,5% w/w) 1,13g/cm3 pada 250C (technical)

Tekanan <10-8 kPa pada 250C (kemurnian 99,5% w/w) Kelarutan dalam air Pada suhu 200C

pH 5,2: 618 g/l (kemurnian 99,5% w/w)

pH 7,2: 620 g/dl (kemurnian 99,5% w/w)

pH 9,2: 620 g/dl( kemurnian 99,5% w/w)

Kelarutan dalam senyawa

organik

Pada suhu 200C

Methanol: 143 g/l (kemurnian 99,5% w/w)

Acetone: <0,1 g/l (kemurnian 99,5% w/w)

Dichloromethane: <0,1 g/l (kemurnian 99,5%

w/w)

Toluene: <0,1g/l (kemurnian 99,5% w/w)

Ethyl accetate: <0,1g/l (kemurnian 99,5%

w/w)

Hexane: <0,1g/l (kemurnian 99,5% w/w)

Sumber: European Commission, 2003.

Paraquat berbentuk kristal putih padat, higroskopis, warna merah tua dan memiliki aroma amoniak yang menyengat. Paraquat dalam larutan, cepat


(31)

mengalami penguraian oleh sinar ultraviolet sebagaimana telah terbukti bahwa larutan kation 1,1–dimetil–4,4–bipiridilium klorida ditempat gelap selama tujuh hari tidak mengalami pengurangan yang signifikan tetapi pada tempat yang terang terjadi pengurangan hingga 85% (Lestari, 2005).

Tingginya intensitas aplikasi dan jumlah herbisida yang diaplikasikan menimbulkan kekhawatiran yang cukup beralasan mengenai bahaya pencemaran yang berasal dari residu herbisida yang tertinggal dilingkungan, khususnya dalam tanah dan air. Residu herbisida dalam air dan tanah dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta dapat mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya pada musim berikutnya. Penggunaan herbisida paraquat memberikan manfaat bagi petani, yaitu meningkatkan hasil produksi pertanian dengan mencegah hama. Disisi lain, herbisida juga memberikan dampak pencemaran lingkungan yang signifikan bagi ekosistem, hal ini dikarenakan bahan aktif pestisida adalah persisten organic pollutan (Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2007). Selain itu, penggunaan herbisida dengan sembarangan dapat mengakibatkan terjadinya keracunan herbisida. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah tingkat pendidikan, lama menyemprot, frekuensi penyemprotan, dan status gizi (Fitria, 2011).

Herbisida paraquat memberikan efek toksik pada manusia. Efek toksik yang ditimbulkan berbeda, tergantung bagaimana zat tersebut masuk kedalam tubuh manusia. Beberapa diantaranya yaitu:


(32)

1. Oral

Merupakan jalan masuknya zat yang paling sering yang didasari adanya tujuan bunuh diri. Tertelannya paraquat juga dapat terjadi secara kebetulan atau dari masuknya butiran semprotan kedalam faring, namun biasanya tidak menimbulkan keracunan secara sistemik.

2. Inhalasi

Belum ada kasus keracunan sistemik yang dilaporkan dari paraquat akibat inhalasi droplet paraquat yang ada di udara.

3. Kulit

Kulit normal yang intak merupakan barier yang baik mencegah absorbsi dan keracunan sistemik. Namun, jika terjadi kontak yang lama dan lesi kulit yang luas, keracunan sistemik dapat terjadi dan dapat menyebabkan keracunan yang berat sampai kematian. Kontak yang lama dan trauma dapat memperburuk kerusakan kulit, namun ini terbilang jarang.

4. Mata

Konsentrat paraquat yang terpercik dapat menyebabkan iritasi mata yang yang jika tidak diobati dapat menyebabkan erosi atau ulkus dari kornea dan epitel konjungtiva. Inflamasi tersebut berkembang lebih dari 24 jam dan ulserasi yang terjadi menjadi faktor resiko infeksi sekunder. Jika diberikan pengobtan yang adekuat, penyembuhan biasanya sempurna walaupun memakan waktu lama.

Keracunan paraquat pada upaya bunuh diri mengakibatkan beberapa ratus ribu kasus kematian tiap tahunnya. Diperkirakan bahwa 798.000 orang


(33)

meninggaal karena keracunan pestisida yang disengaja pada tahun 1999. Keracunan paraquat sistemik ditandai dengan luka bakar saluran pencernaan atas dan juga gagal organ multipel, termasuk paru sebagai organ target utama. Racun tersebut juga memiliki efek terhadap sejumlah organ seperti hati, ginjal, sistem saraf pusat, jantung, kelenjar suprarenal dan otot. Pada kasus yang fatal, kematian umumnya disebabkan oleh gagal nafas akibat edema paru atau fibrosis paru yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari hingga sebulan setelah onset keracunan (WHO, 2008).

Gejala dan tanda klinis keracunan paraquat tergantung dari dosis paraquat yang tertelan. Dosis ringan (<20 mg ion paraquat/kg berat badan) gejalanya meliputi gejala asimptomatik atau mual muntah dan diare, dosis sedang

hingga berat (20−40 mg/kg ion paraquat/kg berat badan) beberapa pasien dapat bertahan hidup, namun sebagian besar pasien akan meninggal dalam 2–

3 minggu karena gagal paru. Gejala−gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah muntah, diare,nyeri perut, ulserasi mulut dan tenggorokan, gagal ginjal bahkan kerusakan pada hepar, dan dosis fulminan (>40 mg/kg ion paraquat/kg berat badan) dapat mengakibatkan kematian karena kegagalan multiorgan yang dapat terjadi dalaaqqm waktu 1−4 hari (WHO, 2008).

B. Esophagus

1. Anatomi Esophagus

Esofagus adalah suatu organ berbentuk silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm, terbentang dari hipofaring pada daerah pertemuan faring dan


(34)

esofagus (vertebra servikal 5−6) di bawah kartilago krikoid, kemudian

melewati diafragma melalui hiatus diafragma (vertebra torakal 10) hingga ke daerah pertemuan esofagus dan lambung dan berakhir di orifisum kardia lambung (vertebra torakal 11) (Postma, 2009).

Esofagus secara normal memiliki tiga konstriksi dimana struktur–struktur yang berdekatan menimnulkan impresi.

a. Konstriksi servikal: pada awalnya di taut pharingoesophageal, sekitar 15 cm dari gigi insisivus; disebabkan oleh musculus cricopharyngeus, secara klinis disebut sfingter esofageal atas.

b. Konstriksi torasik (bronko−aortik): konstriksi kompleks dimana pertama kali disilang oleh arcus aortae, 22,5 cm dari gigi insisivus, dan kemudian disilang oleh bronchus principalis sinistra, 27,5 cm dari gigi insisivus; tempat yang disebut pertama terlihat pada pandangan anteropsterior, tempat berikutnya pada pandangan lateral.

c. Konstriksi diaphragmatik: konstriksi yang terjadi melalui hiatus esofagus diaphragma, sekitar 40 cm dari gigi insisivus (Moore, 2013).

Esofagus memiliki diameter yang bervariasi tergantung ada tidaknya bolus makanan atau cairan yang melewatinya. Diantara proses menelan, esofagus ada pada keadaan kolaps, tetapi lumen esofagus dapat melebar kurang lebih 2 cm di bagian anterior dan posterior serta ke 3 cm ke lateral untuk memudahkan dalam proses menelan makanan. Esofagus dibagi menjadi 3 bagian yaitu, servikal, torakal dan abdominal (Squier, 2009).


(35)

Esofagus servikal merupakan segmen yang pendek, dimulai dari pertemuan faring dan esofagus menuju ke suprasternal notch sekitar 4−5 cm, di bagian depannya dibatasi oleh trakea, belakang oleh vertebra dan di lateral dibatasi oleh carotid sheaths dan kelenjar tiroid. Kemudian dilanjutkan esofagus torakal yang memanjang dari suprasternal notch ke dalam hiatus diafragma. Pada bagian torakal dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: esofagus torakal bagian atas yang memanjang pada level margin superior dari manubrium sterni ke level margin inferior dari percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang memanjang dari level margin inferior percabangan trakea sampai dengan daerah pertengahan antara percabangan trakea dan daerah pertemuan

esofagus−lambung, terakhir esofagus torakal bagian bawah yang

memanjang dari daerah pertengahan tersebut sampai level diafragma (Takubo, 2007).


(36)

Pada esofagus terdapat 2 daerah bertekanan tinggi yang berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik dari makanan yakni sfingter esofagus superior dan inferior. Esofagus servikal dan sfingter esofagus atas mendapatkan suplai darah dari cabang arteri tiroid inferior, sedangkan esofagus torakal mendapatkan suplai darah dari sepasang arteri esofageal aorta atau cabang terminal dari arteri bronkial. Esofagus abdominal dan daerah esofagus bagian bawah mendapatkan suplai darah arteri gastrik kiri dan arteri phrenik kiri (Kuo, 2006).

Lapisan otot yang membentuk esofagus adalah serabut longitudinal di bagian luar dan serabut sirkuler di bagian dalam. Serabut longitudinal melapisi hampir keseluruhan bagian luar dari esofagus kecuali pada daerah

3−4 cm di bawah kartilago krikoid, dimana serabut longitudinal bercabang menjadi 2 ke arah depan dari esofagus dan melekat pada permukaan posterior kartilago krikoid melalui tendon. Serabut longitudinal pada esofagus lebih tebal daripada serabut sirkuler. Pada sepertiga atas esofagus, kedua lapisan otot tersebut adalah otot bergaris, di bagian tengah adalah transisi dari otot bergaris ke otot polos, dan pada sepertiga bawah keseluruhannya terdiri dari otot polos. Otot bergaris dan polos pada esofagus terutama diinervasi oleh cabang dari nervus vagus (Silbernagl, 2007).


(37)

2. Histologi

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, lapisan otot dan jaringan fibrous. Berbeda dengan daerah lain pada saluran pencernaan, esofagus tidak memiliki lapisan serosa. Hal ini menyebabkan esofagus lebih sensitif terhadap trauma mekanik.

a. Mukosa

Mukosa esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran mukosa, lamina propria dan mukosa muskularis. Membran mukosa dibentuk oleh epitel skuamosa bertingkat tidak berkeratinisasi yang merupakan kelanjutan dari epitel di faring dan melapisi seluruh permukaan esofagus bagian dalam kecuali pada daerah pertemuan esofagus dan lambung yang dibentuk oleh epitel skuamosa dan kolumnar. Epitel pada esofagus memiliki fungsi utama untuk melindungi jaringan di bawahnya. Lamina propria merupakan jaringan ikat yang terdiri dari serat kolagen dan elastin serta pembuluh darah dan saraf. Mukosa muskularis adalah lapisan tipis otot polos yang terdapat pada seluruh bagian esofagus, semakin ke proksimal semakin tipis dan semakin ke distal semakin tebal (Squier, 2009).

b. Submukosa

Submukosa esofagus menghubungkan membran mukosa dan lapisan muskularis yang terdiri dari limfosit, sel plasma, sel-sel saraf (pleksus


(38)

Kelenjar mukosa ini menghasilkan mukus untuk lubrikasi jalannya makanan di dalam esofagus. Selain itu juga terdapat kelompok– kelompok kecil kelenjar pensekresi mukus, yaitu kelenjar esofagus dengan sekret yang memudahkan transpor makanan dan melindungi mukosa esofagus (Junqueira, 2007).

c. Lamina Propria

Didalam lamina propria daerah dekat lambung, terdapat kelompok kelenjar yaitu kelenjar kardiak esofagus, yang berfungsi untuk mensekresi mukus (Junqueira, 2007).

d. Muskularis Propria

Lapisan ini memiliki fungsi motorik, terdiri dari otot longitudinal di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada esofagus bagian atas komposisinya sebagian besar terdiri otot bergaris dan bagian bawah sebagian besar terdiri dari otot polos. Di antaranya terdapat campuran dari kedua macam otot tersebut yang disebut dengan zona transisi (Kuo, 2006).

e. Jaringan Fibrous

Jaringan fibrous adalah jaringan yang melapisi esofagus dari luar dan menghubungkan esofagus dengan struktur−struktur disekitarnya. Komposisinya terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah kecil, saluran limfatik dan serabut-serabut saraf (Orlando, 2006).


(39)

Gambar 4. Lapisan Dinding Esofagus (Sumber: Kuenhel, 2003).

3. Pertahanan Mukosa Esofagus

Pertahanan mukosa esofagus merupakan suatu sistem dinamis yang dapat

melindungi esofagus terhadap bahan−bahan yang dapat menyebabkan perlukaan pada mukosanya. Bahan−bahan tersebut terutama karena refluks

dari lambung ke lumen esofagus, seperti asam, pepsin dan garam empedu. Pertahanan mukosa esofagus dibagi menjadi 3 bagian penting yaitu pertahanan preepitel (lumen), pertahanan epitel dan pertahanan postepitel (aliran darah) (Orlando, 2006).

a. Pertahanan Preepitel

Pertahanan preepitel esofagus terdiri dari lapisan mukus, unstirredwater layer dan ion-ion bikarbonat (HCO3-). Ketiganya

melindungi mukosa melalui 2 cara. pertama, lapisan mukus pada permukaan membentuk suatu gel viskoelastik yang dapat menahan masuknya molekul berukuran besar, seperti pepsin dan garam empedu agar tidak sampai masuk ke dalam epitel, dan cara yang kedua ialah


(40)

melalui ion−ion bikarbonat yang berada didalam lapisan mukus dan unstirred water layer menetralisasi ion−ion hidrogen yang berdifusi dari lumen ke dalam epitel. Ion bikarbonat tersebut disekresi oleh

sel−sel epitel di permukaan mukosa esofagus atau hasil difusi dari

aliran darah yang melewati jalur paraseluler (Orlando, 2006).

Gambar 5. Pertahanan Mukosa Esofagus (Sumber: Orlando,2006).

Lambung memiliki kemampuan menetralisir asam lebih besar dibandingkan dengan esofagus. Dari hasil pemeriksaan gradien pH antara lumen dan permukaan mukosa diketahui bahwa pada lambung

dengan pH 2 pada lumen akan menghasilkan pH 6−7 di permukaan

mukosanya sedangkan pada esofagus dengan pH 2 pada lumen akan

menghasilkan pH 2−3 di permukaan esofagus. Hal ini dapat terjadi

karena semua sel epitel pada lambung mensekresi musin di beberapa daerah yang berbeda dan memiliki fungsi biologi yang berbeda. Seperti MUC5AC dan MUC6 yang berfungsi untuk pertahanan melawan asam, MUC2 dan MUC3 berfungsi sebagai pertahanan terhadap garam empedu. Berbeda dengan lambung, sel epitel esofagus


(41)

tidak mensekresi keempat musin diatas tetapi terdapat MUC5B yang disekresi oleh kelenjar submukosa esophagus. MUC5B adalah suatu musin yang mudah larut dan bertindak sebagai lubrikan dan tidak dapat melindungi mukosa esofagus. Minimnya lapisan mukus pada mukosa esofagus menyebabkan esofagus mendapat paparan yang lebih besar tehadap asam dibandingkan dengan lambung dan duodenum (Urma, 2006). Kelenjar saliva minor di esofagus dapat menghasilkan konsentrasi ion bikarbonat yang tinggi dan dapat menetralisir refluks asam lambung (Postma, 2009).

b. Pertahanan mekanis

Pertahanan mekanis epitel esofagus adalah membran sel apikal dan intercellular junctional. Untuk dapat merusak sel epitel esofagus, ion hidrogen harus dapat melewati membran sel dalam jumlah yang cukup agar dapat menurunkan pH sitosol sel dan pH tersebut harus dapat dipertahankan keasamannya dalam waktu lama sehingga mampu merusak proses vital suatu sel yaitu respirasi sel. Dengan adanya membran sel apikal, ion hidrogen tidak dapat melewati membran sel karena komposisi membran sel apikal yang hydrophobic lipid bilayer. Tetapi pada membran sel apikal terdapat saluran kation yang cocok terhadap ion hydrogen yang bersifat nonselective sehingga memungkinkan ion hidrogen, ion natrium, ion kalium dapat masuk ke dalam sel. Tetapi apabila keasaman lumen esofagus tinggi malah akan menghambat kerja dari saluran kation ini sehingga ion hidrogen


(42)

maupun ion natrium tidak dapat masuk ke dalam saluran tersebut. Intercelluler junctional terdiri dari tight junction dan zonula adherens.

Keduanya menghubungkan protein−protein yaitu ocludin, claudin dan E cadherin, yang berfungsi untuk membatasi difusi ion hidrogen ke dalam ruang interseluler (Orlando, 2006).

Alternatif lain untuk masuknya ion hidrogen ke dalam sitosol sel adalah masuk melalui junctional complex ke dalam ruang interseluler kemudian melewati membran basolateral. Dibandingkan dengan membran sel apikal, membran basolateral lebih mudah dilewati oleh ion hidrogen (Orlando, 2006).

Gambar 6. Pertahanan Mukosa Esofagus (Sumber: Orlando, 2006)

c. Pertahanan fungsional

Pertahanan fungsional epitel esofagus terdiri dari buffer untuk ion hidrogen intraseluler dan ekstraseluler. Sistem buffer untuk intraseluler meliputi fosfat, protein−protein dan ion bikarbonat. Baru


(43)

setelah itu sistem buffer ekstraseluler akan mendifusi ion hidrogen melalui aliran darah. Prinsipnya sistem buffer intraseluler ini melindungi sel dari nekrosis dimana ion bikarbonat di dalam sel diaktifkan oleh carbonic anhydrase. Enzim carbonic anhydrase yang dihasilkan di dalam epitel esofagus berfungsi untuk mengkatalisasi perubahan CO2 dan H2O menjadi asam karbonat, asam karbonat

berionisasi menjadi ion bikarbonat dan ion hidrogen. Ion−ion

bikarbonat inilah yang berfungsi sebagai buffer intraseluler dengan cara memindahkan ion hidrogen di dalam sel melalui membran Na+/H+exchanger, ion hidrogen intaseluler ditukar dengan ion natrium ekstraseluler. Apabila asam yang masuk melebihi kapasitas sistem buffer, epitel esofagus masih memiliki dua mekanisme pengeluaran asam untuk melindungi sel dari luka dan kematian, yaitu amiloride-sensitive Na+/H+ exchanger (NHE-1 isotype) dan disulfonic stilbene-sensitive, (Na independent) Cl-/HCO3- exchanger. Pada pertukaran Cl

-/HCO3- hanya akan terjadi apabila terdapat cukup ion bikarbonat

ekstraseluler untuk bertukar dengan ion klorida intraseluler (Orlando, 2006).

Saraf sensoris pada epitel esofagus dapat meluas hingga ke dalam ruang interseluler. Sehingga ketika terjadi peningkatan permeabilitas paraseluler oleh karena masuknya ion hydrogen akan merangsang nosiseptor yang kemudian akan diteruskan ke spinal cord kemudian ke otak dan timbul persepsi nyeri. Selain itu rangsangan pada beberapa


(44)

nosiseptor juga dapat merangsang arkus refleks otot longitudinal esofagus sehingga akan timbul kontraksi esophagus (Orlando, 2006).

d. Pertahanan Postepitel

Aliran darah merupakan sistem pertahanan setelah epitel yang menyediakan nutrisi dan oksigen untuk fungsi dan perbaikan sel serta membuang sampah metabolik seperti CO2 dan asam. Aliran darah di

sini fungsi utamanya untuk mensuplai ion bikarbonat ke dalam ruang interseluler. Di sini ion bikarbonat berfungsi sebagai buffer di dalam ruang interseluler maupun di sitosol sel. Kemampuan aliran darah mensuplai ion bikarbonat merupakan proses yang dinamis, dimana bila terjadi peningkatan asam pada lumen maka aliran darah esofaguspun akan meningkat dan diikuti juga keluarnya beberapa mediator di dalam jaringan seperti histamine, nitrit oxide dan calcitonin gene-related peptide (Orlando, 2006).

C. Radikal Bebas

Semua atom yang mengandung inti yang terbentuk dari proton dan neutron. Elektron bergerak mengelilingi inti, yang biasanya berpasangan. Radikal bebas secara sederhana didefinisikan sebagai spesies yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Adanya elektron yang tidak berpasangan ini menimbulkan perubahan reaktivitas kimia atom atau molekul tersebut, biasanya menyebabkan sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi


(45)

dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektron lainya sehingga menjadi bentuk yang lebih stabil (Hanslavina, 2003).

Dalam tubuh, radikal bebas dapat berasal dari endogen dan eksogen. Radikal bebas endogen dihasilkan selama proses fisiologis yang penglepasanya meningkat pada keadaan iskhemia, reperfusi dan saat terjadinya reaksi imun. Reaktivitas suatu radikal bebas tergantung pada species radikal dan substratnya. Reaksi antara radikal bebas dengan molekul non radikal akan menghasilkan suatu radikal baru. Reaksi ini merupakan suatu reaksi rantai yang akhirnya dapat merusak jaringan dan organ. Reaksi rantai yang terkenal secara biologis adalah reaksi antara radikal hidroksi dengan asam lemak tidak jenuh dari posfolipid membran (Repine et al, 1997). Ada tiga reaksi yang paling relevan dengan jejas sel yang diperantai oleh radikal bebas yaitu peroksidasi membran lipid, fragmentasi DNA dan ikatan silang protein (Robbins et al, 2011).

D. Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakan untuk digunakan sebagai hewan coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian

medis selama bertahun−tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkanya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari (Adiyati, 2011).


(46)

Tikus putih (Rattus norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain Norway Rat dari wilayah cina dan menyebar ke Eropa bagian barat (Sirois, 2005). Pada wilayah Asia tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos, Malaisya, dan Singapura (Adiyati, 2011).

Faktor yang mempengaruhi penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih (Rattus norvegicus) yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika populasi tikus adalah air minum dan sarang. Air merupakan kebutuhan penting bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk melahirkan,

membesarkan anak−anaknya, menyimpan pakan, berlindung dari lingkungan

yang kurang menguntungkan, dan tempat untuk beristirahat. Cuaca tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah: tumbuhan atau hewan kecil sebagai sumber pakan, patogen dari golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda, protozoa dan sebagainya, predator dari golongan reptilia, aves, dan mamalia, tikus sebagai kompetitor, khususnya pada populasi tinggi, dan manusia yang merupakan musuh utama bagi tikus (Priyambodo, 2005).


(47)

Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myres dan Armitage (2004).

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Sub-Famili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus Galur/ Strain : Sprague dawley

Tikus putih merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakan sesama jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague dawley (Inglis, 2000).

Tikus putih (Rattus norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat, termasuk kedalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri−ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya


(48)

mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4−5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar 267−500 gram dan betina 225−325 gram (Sirois, 2005).

Tikus dapat mendengar hingga suara ultrasonik dengan rentang pendengaran

70 dB yaitu 250 Hz−70 kHz dan rentang yang paling sensitif berkisar antara 8−32 kHz. Suara ultrasonic ini sangat penting sebagai alat berkomunikasi

antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson, 1999). Tikus putih (Rattus norvegicus) tersebar luas dibeberapa tipe habitat, namun tikus putih lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan,

pesisir pantai, dan tempat−tempat yang lembab (Pagad, 2011).

Tikus termasuk binatang pemakan segala makanan (omnivora). Walaupun demikian, tikus cenderung untuk memilih biji−bijian (serealia) seperti jagung, padi dan gandum. Air sebagai sumber minuman dapat diambil dari air bebas atau dapat diperoleh dari pakan yang banyak mengandung air. kebutuhan air bagi tikus tergantung dari suhu, lingkungan, aktivitas, umur dan jenis makanan. kebutuhan air berkurang, jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air. Pada umumnya tikus makan secara teratur pada tempat tertentu. Tikus putih (Rattus norvegicus) biasanya membuat sarang pada tempat-tempat yang berdekatan dengan sumber makanan dan sumber air.


(49)

Tikus berimigrasi jika terjadi kekurangan makanan pada habitat awal yang ditempati (Priyambodo, 2005).

Menurut Malole dan Pramono, tingkat konsumsi dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Beberapa data biologi tikus laboraturium tersaji pada tabel 2.

Tabel 2. Data biologi tikus putih laboraturium.

Data Biologi Keterangan

Lama hidup

Lama Bunting

Kawin sesudah beranak

Umur di sapih

Umur Dewasa Siklus kelamin Siklus estrus Lama estrus Berat dewasa Berat lahir Jumlah anak Aktivitas Kecepatan tumbuh Pernafasan Denyut jantung Tekanan darah

2−3 tahun, dapat sampai 4 tahun

20–22 hari 1 sampai 24 jam

21 hari

40–60 hari Poliestrus

4–5 hari 9–20 jam

300–400 gram jantan; 250–300 gram betina 5–6 gram

Rata–rata 9, dapat 20 Nokturnal

5g/ hari

65–115/ menit 330–480/ menit

90–180 sistol; 60–145 diastol


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik, yaitu untuk

mempelajari suatu fenomena dalam korelasi sebab−akibat, dengan cara

memberikan suatu perlakuan pada subjek penelitian kemudian melihat dan mempelajari efek dari perlakuan tersebut (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test−only control group design. Sebanyak 25 ekor tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8–10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi 5 kelompok.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboraturium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk mengetahui gambaran mikroskopis dari organ esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley yang telah diberikan herbisida paraquat diklorida per−oral. Waktu penelitian adalah selama bulan oktober−november 2014.


(51)

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang diperoleh dari laboraturium Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) Institut Pertanian Bogor (IPB). Sampel penelitian sebanyak 25 ekor tikus putih jantan yang dipilih secara acak yang dibagi menjadi 5 kelompok (4 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol) sehingga 1 kelompok perlakuannya terdiri dari 5 ekor tikus. Penentuan besar sampel menurut rumus Frederer, yakni dengan jumlah sampel minimal 5 mencit untuk setiap kelompoknya.

Menurut Frederer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :

( t–1) (r–1)≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi :

(5−1) (n−1)≥15 4n−4≥15

4n≥19 n≥4,75

Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor

(n≥4,75) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga

penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley dari populasi yang ada.


(52)

Kriteria Inklusi

a. Tikus putih galur Sprague dawley b. Berjenis kelamin jantan

c. Berat badan sekitar 100−150 gram

d. Berusia sekitar kurang lebih 8–10 minggu (dewasa) e. Tingkah laku dan aktivitas normal

f. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak

g. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan bergerak aktif

Kriteria Ekslusi

a. Penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus dan genital

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboraturium.

c. Mati selama masa adaptasi tikus.

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian

a. Hewan percobaan


(53)

c. Herbisida paraquat diklorida dengan merk Gramoxone yang akan diberikan ke hewan coba dengan cara per−oral dengan dosis yang berbeda disetiap kelompok perlakuanya.

2. Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan metode paraffin meliputi larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xylol, pewarna hematoksilin dan Eosin, dan entelan.

3. Alat Penelitian a. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Neraca analitik Metler Toleda dengan tingkat ketelitian 0,01 gram, untuk menimbang berat tikus

2) Sonde lambung

3) Minor Set, membedah tikus untuk mengidentifikasi esofagus 4) Kapas dan alkohol

b. Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan yaitu object glass, tissue cassete, deck glass, water bath, platening table, rotarymicrotome, autochnicom procesor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast dan parafin dispenser.


(54)

c. Alat pemeriksaan mikroskopis

Adapun alat yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis adalah Mikroskop, objek glass, cairan emersi, dan sebuah kamera digital yang berfungsi untuk mendokumentasikan gambaran yang didapatkan. d. Kandang Hewan

Kandang hewan yang digunakan dalm percobaan berupa kandang dengan ukuran 15m3. Kandang terbuat dari box plastik, bagian dasarnya diberi kertas buram untuk mempermudah dalam membersihkan feses, dan ditutupi dengan bedding kawat. Setiap satu kali seminggu kandang dibersihkan. Tempat makan terbuat dari plastik dan diletakkan di dalam kandang. Tempat minum terbuat dari botol kaca yang digantung dengan ujungnya terbuat dari pipet yang ditancapkan pada tutup karet yang ujungnya dilubangi.

E. Prosedur Penelitian

1. Pemeliharaan Hewan Percobaan

Tikus yang diperoleh dari Institut Pertanian Bogor langsung dimasukkan ke dalam kandang yang telah disiapkan dan diadaptasikan selama tujuh hari . Kandang mencit dibersihkan seminggu sekali dengan memberikan desinfektan pada lantainya. Setiap hari makanan dan minuman diberikan secara ad libitum (tak terbatas).


(55)

2. Prosedur pemaparan herbisida paraquat diklorida

a. Hewan percobaan kelompok 1 (kelompok kontrol), diberi makan dan minum air putih, dan tidak dipaparkan dengan herbisida paraquat diklorida(kandang bebas herbisida parakuat diklorida).

b. Hewan percobaan kelompok 2, diberi makan dan minum air putih, lalu dilakukan pemberian herbisida paraquat diklorida satu kali per hari secara per− oral dengan dosis 25 mg/kgBB selama 2 hari.

c. Hewan percobaan kelompok 3, diberi makan dan minum air putih, lalu dilakukan pemberian herbisida paraquat diklorida satu kali per hari secara per− oral dengan dosis 50 mg/kg BB selama 2 hari.

d. Hewan percobaan kelompok 4, diberi makan dan minum air putih, lalu dilakukan pemberian herbisida paraquat diklorida satu kali per hari

secara per−oral dengan dosis 100 mg/kg BB selama 2 hari.

e. Hewan percobaan kelompok 4, diberi makan dan minum air putih, lalu dilakukan pemberian herbisida paraquat diklorida satu kali per hari

secara per−oral dengan dosis 200 mg/kg BB selama 2 hari.

f. Setelah pemajanan selama 2 hari selesai, dilakukan euthenasia dengan menggunakan kloroform serta didekapitasi dan organ esofagus diambil untuk dibuat sediaan histologi dengan pewarnaan HE.

3. Pengambilan sampel organ

Pada hari ke 9 semua tikus yang masih hidup dibunuh dengan dekapitasi. Kemudian dilakukan nekropsi untuk pemeriksaan histopatologi dan


(56)

pengambilan sampel organ esofagus. Pembuatan preparat untuk diamati pada miskroskop cahaya dengan pewarnaan hematoksilin eosin.

Proses pembuatan sediaan histologi : a. Fiksasi

Larutan fiksasi yang dipakai adalah fosfat buffer formalin, formulanya sebagai berikut :

Formalin 10cc

Acid sodium phosphatemonohydrate 0,4gr Anhydrous disodium phosphate 0,65gr

Aquades 100cc

b. Dehidrasi

Dehidrasi memakai alkohol dengan yang makin pekat mulai dari alkohol 70%, 95%, hingga alkohol absolut.

1. Alkohol 75% selama 30 menit 2. Alkohol 95% selama 30 menit

3. Alkohol 100% selama 30 menit, diganti hingga 4x

c. Pembeningan

Memakai xylol I dan xylol II masing-masing selama 30 menit. d. Impregnasi/embedding

Pembenaman dilakukan dengan paraffin cair selama 1 jam. e. Pengecoran (pembuatan paraffin block).

f. Pengisian jaringan setebal 4−5 mikron. g. Pewarnaan


(57)

Pewarnaan yang dipakai dengan menggunakan hematoksilin eosin. Cara memulas dengan HE :

1. Masukan preparat ke dalam xylol3−5 menit. 2. Pindahkan ke xylol IIselama 3−5 menit.

3. Masukkan berturut−turut ke dalam alkohol 100%, 95%, dan 70%

masing−masing selama 3 menit.

4. Celupkan ke aquades sebanyak 4 celup. 5. Masukkan ke hematoksilin 5−10 menit. 6. Air mengalir 5 menit.

7. Masukkan ke HCl 1% sebanyak 3 celup (untuk diferensiasi). 8. Dibilas dengan air

9. Masukan ke eosin 1% selama 1 menit

10.Pindahkan berturut−turut ke alkohol 70%,95%, 100% masing-masing 3 celup.

11.Masukan ke xylol I dan xylol II berturut-turut.

12.Tutup dengan kaca penutup setelah ditetesi dengan minyak emersi terlebih dahulu.

4. Evaluasi Histopatologi

Evaluasi histopatologi dilakukan terhadap organ esofagus dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x10. Gambaran histopatologis esofagus yang dimaksud adalah menilai kerusakan mukosa esofagus secara mikroskopik dengan mikroskop cahaya menggunakan pembesaran 400 kali dengan melihat seluruh lapangan pandang.


(58)

Kriteria tingkat kerusakan esofagus dihitung sebagai berikut: 1= Normal

2= Deskuamasi epitel 3= Erosi permukaan sel 4= Ulserasi


(59)

Gambar 9. Diagram alir penelitian kelompok kontrol, tidak diberi paparan herbisida parakuat kelompok 1, diberi paparan herbisida parakuat dengan dosis 25 mg/kgBB kelompok 2, diberi paparan herbisida parakuat dengan dosis 50 mg/kgBB Kelompok 3 diberi paparan herbisida parrakuat dengan dosis 100 mg/kgBB Kelompok 4 diberi paparan herbisida paraquat dengan dosis

200 mg/ kg BB

Pemeliharaan/ adaptasi hewan coba selama 7 hari

Timbang berat badaan hewan coba

Pembagian hewan coba ke dalam 5 kelompok

Setelah perlakuan selama 2 hari hewan coba di dekapitasi dan setelah organ diambil hewan coba

dimusnahkan dengan cara di inecerator

Pembuatan preparat di laboraturium Patologi Anatomi FK UNILA

Pengamatan Mikroskop

Interpretasi hasil Pengamatan dibantu oleh dr.Indri Windarti, Sp.PA


(60)

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

Variabeel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah perubahan gambaran histopatologi esofagus hewan coba.

2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, maka dibuat definisi operasional seperti yang tertera pada tabel 3 dibawah ini.


(61)

Tabel 3. Defnisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Skala

Dosis herbisida

paraquat diklorida

Dosis Herbisida Per−oral Perlakuan 1: Kontrol Perlakuan 2: 25 mg/ kgBB Perlakuan 3: 50 mg/ kg BB Perlakuan 4: 100 mg / kgBB Perlakuan 5: 200 mg/ kg BB

Kategorik

Gambaran Histopatologi esofagus

Gambaran histopatologis esofagus yang dimaksud adalah menilai kerusakan mukosa esofagus secara mikroskopik dengan mikroskop cahaya menggunakan pembesaran 400 kali dengan seluruh lapangan pandang dengan menilai derajat kerusakan yang paling tinggi.

Penilaian kerusakan mukosa esofagus dengan sistem skor berdasarkan skoring Barthel Manja sebagai berikut:

1. Normal berarti tidak terdapat perubahan patologi.

2. Deskuamasi epitel berupa kerusakan ringan epitel tanda adanya celah.

3. Erosi permukaan epitel berupa celah pada satu sampai sepuluh epitel per lesi. 4. Ulserasi ditandai dengan adanya celah

lebih dari sepuluh epitel per lesi, pada stadium ini biasanya terdapat jaringan granulasi dibawah epitel.

Numerik

G. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi dianalisis menggunakan program SPSS versi 20.0. Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian, dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang


(62)

sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik one way ANOVA. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji nonparametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis dianggap bermakna bilap<0,05. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p<0,05, maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post−Hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan (Dahlan, 2008).

H. Ethical Clearance

Penelitian yang akan dilakukan ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu replacement, reduction dan refinement.

Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan yang sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun dari literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. Reduction adalah penggunaan hewan coba dalam penelitian dengan jumlah seminimal mungkin tetapi tetap mendapatkan hasil penelitian yang optimal. Dalam penelitian ini, sampel dihitung dengan menggunakan rumus Frederer yaitu (t−1) (n-1) ≥ 15.

Dan prinsip yang ketiga adalah refinemennt yang merupakan suatu tindakan memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi.


(63)

1. Bebas dari rasa lapar dan haus, karena pada penelitian ini hewan coba akan diberikan makanan (pakan) standar dan minum secara tidak terbatas.

2. Bebas dari ketidaknyamanan, karena pada penelitian hewan coba ditempatkan di kandang dengaan suhu terjaga 200−250C, berada jauh dari gangguan kebisingan, dan kebersihan kandang yang selalu terjaga sehngga mengurangi stress pada hewan coba.

3. Bebas nyeri dan penyakit .

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian ini telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anastesi serta eutanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang telah terlatih (Ridwan, 2013)


(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ada pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Ada pengaruh peningkatan dosis herbisida golongan paraquat diklorida terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

B. Saran

1. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara pemberian yang berbeda.

2. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahan-bahan atau zat yang bisa meminimalisir efek dari paparan herbisida paraquat diklorida.

3. Sebaiknya masyarakat khususnya petani selalu menggunakan alat pelindung diri selama melakukan kontak dengan herbisida dan lebih memperhatikan frekuensi pemakaian herbisida terutama paraquat diklorida mengingat efek yang dapat ditimbulkannya.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Adiyati PN. 2011. Ragam jenis ektoparasit pada hewan coba tikus putih

(Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Anwar R. 2009. Uji berbagai herbisida dalam pengendalian gulma tanaman karet. Bengkulu: UNIHAZ.

Bismuth C, Garnier R, Dally S. 1982. Prognosis and treatment of paraquat poisoning: A review of 28 cases. Journal Toxicol Clin Toxicol.

19:461−74.

Day BJ. A mechanism of paraquat toxicity involving nitric oxide synthase. PNAS. 96(22): 12760-5.

Dahlan MS. 2008. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba medika.

European Commission. 2003. Paraquat. Health and Consumer Protection Directorate General.

Ginting AW, Endang S, Marpaung S, Gintting F, Kembaren T, Rahimi A, et al. 2012. Intoksikasi herbisida (paraquat). IKAAPDA (Ikatan Keluarga Asisten Ahli Penyakit Dalam). Tersedia dari ikaapda.com/resources/. Diakses tanggal 14 September 2014.

Haslavina. 2003. Efek akut asap rokok kretek terhadap hiperplasia sel goblet padasaluran nafas tikus galur Swiss webster. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Indika G, Buckley N. 2011. Medical management of paraquat ingestion. British Journal of Clinical Pharmacology. Tersedia dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov /. Diakses tanggal 12 September 2014. Inglis JK. 2000. Introduction to laboratory animal science and technology. USA:


(66)

Komisi Pestisida Departemen Pertanian Indonesia. 2005. Metode standard pengujian efikasi pestisida. Jakarta: Departemen Pertanian.

Kuehnel W. 2003. Color atlas of cytology, histology, and microscopic anatomy. 4th Ed. Stuttgart: Thieme.

Kuo B, Urma D. 2006. Esophagus – anatomy and development. Tersedia dari: http://www.nature.com/. Diakses tanggal 14 September 2014.

Lestari SW. 2005. Optimasi metode analisis kuantitatif dan penerapanya pada

studi desorpsi 1,1−dimetil 4,4−bipiridilium dalam tanah gambut. Skripsi.

Yogyakarta:UGM.

Jeong M, Chun BJ. 2008. The eficacy of high doses of vitamin C in patients with paraquat poisoning. Human and experimental toxicology. 844-50.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta.

Moon Y, Song Y, Moon HS. 2008. The potential acid producting capacity and factors controlling oxidation tailings in Guyong mine. Korea: Environ

Geol. 53: 1787−97.

Moore KL, Dalley AF. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis, edisi ke−5. Jakarta: Erlangga.

Moran JM, Gonzalez RA, Ortiz MA, Santano M, Soler G, Fuentes JM. 2008. Identification of genes associated with paraquat-induced toxicity in

SH−SY5Y cells by PCR array focused on apoptotic pathways. Tersedia

dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Diakses tanggal 17 September 2014. Myres P, Armitage D. 2004. Rattus norvegicus animal diversiy. Tersedia dari:

http://animaldiversity.umuz.umich.edu/. Diakses tanggal 19 September 2014.

Nisa K. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak kombinasi jeruk medan dan wortel peroral sebelum dan sesudah aktifitas fisik aerobik intensitas tinggi terhadap perubahan kadar melondialdehid plasma pada mencit. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung.1(1):7-15.

Notoatmodjo S. 2012. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Oliveira RJ. 2008. Paraquat poisonings: Mechanism of lung toxicity, clinical


(67)

Pagad S. 2011. Rattus norvegicus (mammal). Tersedia dari:

http://www.issg.org/databese. Diakses tanggal 20 September 2014. Postma GN, Seybt MW, Rees CJ. 2009. Esophagology. In : Snow JB, Wackym

PA. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. Spain: BC Decker Inc: 975-8.

Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses−proses penyakit.

Edisi 6. Jakarta: EGC

Priyambodo S. 2005. Pengendalian hama tikus terpadu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Repine J, Bast A, Lankhorst I. 1997. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respire Crit Care Med; 156; 341–57.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). 63(3):2−16.

Robbins SL, Kumar V, Cotran RS. 2011. Buku Ajar Patologi. edisi ke−7. Jakarta: EGC.

Robinson R. 1999. Taxonomy and genetics. In: Baker HJ, Lindsey JR, dan Weisbroth S. The Laboratory Rat. London: Academic Press. pp 451-3. Saftarina F. 2011. Analisis keracunan pestisida pada petani padi di desa RJ

Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung.1(1) :61-69.

Saftarina F. 2011. Hubungan pemaparan pestisida terhadap jumlah leukosit dan trombosit pada petani padi di desa RJ Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung.1(2):81−93.

Sari ND. 2012. Pengaruh pemberian formalin peroral bertingkat selama 12 minggu terhadap kerusakan organ. Semarang: UNDIP.

Sherwood L. 2001. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi ke−2. Jakarta:

EGC

Silbernagl S, Lang F. 2007. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC. Sirois M. 2005. Laboratory animal medicine: Principles and procedures. United


(68)

Takubo K. 2007. Pathology of the esophagus. 2nd Ed. Hongkong: Springer.

World Health Organization.2008. Children’s Health and Environment. Training Package for he Health Sector. Tersedia dari: www.who.int/ceh. diakses tanggal 15 September 2014.


(1)

47

1. Bebas dari rasa lapar dan haus, karena pada penelitian ini hewan coba akan diberikan makanan (pakan) standar dan minum secara tidak terbatas.

2. Bebas dari ketidaknyamanan, karena pada penelitian hewan coba ditempatkan di kandang dengaan suhu terjaga 200−250C, berada jauh dari gangguan kebisingan, dan kebersihan kandang yang selalu terjaga sehngga mengurangi stress pada hewan coba.

3. Bebas nyeri dan penyakit .

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian ini telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anastesi serta eutanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang telah terlatih (Ridwan, 2013)


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ada pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Ada pengaruh peningkatan dosis herbisida golongan paraquat diklorida terhadap derajat kerusakan esofagus tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

B. Saran

1. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara pemberian yang berbeda.

2. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahan-bahan atau zat yang bisa meminimalisir efek dari paparan herbisida paraquat diklorida.

3. Sebaiknya masyarakat khususnya petani selalu menggunakan alat pelindung diri selama melakukan kontak dengan herbisida dan lebih memperhatikan frekuensi pemakaian herbisida terutama paraquat diklorida mengingat efek yang dapat ditimbulkannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adiyati PN. 2011. Ragam jenis ektoparasit pada hewan coba tikus putih

(Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Anwar R. 2009. Uji berbagai herbisida dalam pengendalian gulma tanaman karet. Bengkulu: UNIHAZ.

Bismuth C, Garnier R, Dally S. 1982. Prognosis and treatment of paraquat poisoning: A review of 28 cases. Journal Toxicol Clin Toxicol. 19:461−74.

Day BJ. A mechanism of paraquat toxicity involving nitric oxide synthase. PNAS. 96(22): 12760-5.

Dahlan MS. 2008. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba medika.

European Commission. 2003. Paraquat. Health and Consumer Protection Directorate General.

Ginting AW, Endang S, Marpaung S, Gintting F, Kembaren T, Rahimi A, et al. 2012. Intoksikasi herbisida (paraquat). IKAAPDA (Ikatan Keluarga Asisten Ahli Penyakit Dalam). Tersedia dari ikaapda.com/resources/. Diakses tanggal 14 September 2014.

Haslavina. 2003. Efek akut asap rokok kretek terhadap hiperplasia sel goblet padasaluran nafas tikus galur Swiss webster. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Indika G, Buckley N. 2011. Medical management of paraquat ingestion. British Journal of Clinical Pharmacology. Tersedia dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov /. Diakses tanggal 12 September 2014. Inglis JK. 2000. Introduction to laboratory animal science and technology. USA:


(4)

Junqueira LC, Carneriro J. 2007. Histologi dasar teks dan atlas. Edisi ke−10. Jakarta: EGC.

Komisi Pestisida Departemen Pertanian Indonesia. 2005. Metode standard pengujian efikasi pestisida. Jakarta: Departemen Pertanian.

Kuehnel W. 2003. Color atlas of cytology, histology, and microscopic anatomy. 4th Ed. Stuttgart: Thieme.

Kuo B, Urma D. 2006. Esophagus – anatomy and development. Tersedia dari: http://www.nature.com/. Diakses tanggal 14 September 2014.

Lestari SW. 2005. Optimasi metode analisis kuantitatif dan penerapanya pada studi desorpsi 1,1−dimetil 4,4−bipiridilium dalam tanah gambut. Skripsi. Yogyakarta:UGM.

Jeong M, Chun BJ. 2008. The eficacy of high doses of vitamin C in patients with paraquat poisoning. Human and experimental toxicology. 844-50.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta.

Moon Y, Song Y, Moon HS. 2008. The potential acid producting capacity and factors controlling oxidation tailings in Guyong mine. Korea: Environ Geol. 53: 1787−97.

Moore KL, Dalley AF. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis, edisi ke−5. Jakarta: Erlangga.

Moran JM, Gonzalez RA, Ortiz MA, Santano M, Soler G, Fuentes JM. 2008. Identification of genes associated with paraquat-induced toxicity in SH−SY5Y cells by PCR array focused on apoptotic pathways. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Diakses tanggal 17 September 2014. Myres P, Armitage D. 2004. Rattus norvegicus animal diversiy. Tersedia dari:

http://animaldiversity.umuz.umich.edu/. Diakses tanggal 19 September 2014.

Nisa K. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak kombinasi jeruk medan dan wortel peroral sebelum dan sesudah aktifitas fisik aerobik intensitas tinggi terhadap perubahan kadar melondialdehid plasma pada mencit. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung.1(1):7-15.

Notoatmodjo S. 2012. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Oliveira RJ. 2008. Paraquat poisonings: Mechanism of lung toxicity, clinical


(5)

Orlando RC. 2006. Esophageal mucosal defense mechanism. Tersedia dari: http://www.nature.com/. Diakses tanggal 14 September 2014.

Pagad S. 2011. Rattus norvegicus (mammal). Tersedia dari:

http://www.issg.org/databese. Diakses tanggal 20 September 2014. Postma GN, Seybt MW, Rees CJ. 2009. Esophagology. In : Snow JB, Wackym

PA. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. Spain: BC Decker Inc: 975-8.

Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses−proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC

Priyambodo S. 2005. Pengendalian hama tikus terpadu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Repine J, Bast A, Lankhorst I. 1997. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respire Crit Care Med; 156; 341–57.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). 63(3):2−16.

Robbins SL, Kumar V, Cotran RS. 2011. Buku Ajar Patologi. edisi ke−7. Jakarta: EGC.

Robinson R. 1999. Taxonomy and genetics. In: Baker HJ, Lindsey JR, dan Weisbroth S. The Laboratory Rat. London: Academic Press. pp 451-3. Saftarina F. 2011. Analisis keracunan pestisida pada petani padi di desa RJ

Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung.1(1) :61-69.

Saftarina F. 2011. Hubungan pemaparan pestisida terhadap jumlah leukosit dan trombosit pada petani padi di desa RJ Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung.1(2):81−93.

Sari ND. 2012. Pengaruh pemberian formalin peroral bertingkat selama 12 minggu terhadap kerusakan organ. Semarang: UNDIP.

Sherwood L. 2001. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi ke−2. Jakarta: EGC

Silbernagl S, Lang F. 2007. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC. Sirois M. 2005. Laboratory animal medicine: Principles and procedures. United


(6)

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The care, breeding and management of experimental animals for research in the tropics. Canberra: International Development Program of Australia Universities and Collages (IDP). Takubo K. 2007. Pathology of the esophagus. 2nd Ed. Hongkong: Springer.

World Health Organization.2008. Children’s Health and Environment. Training Package for he Health Sector. Tersedia dari: www.who.int/ceh. diakses tanggal 15 September 2014.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP PEMBENGKAKAN HEPATOSIT DAN KONGESTI SINUSOID HATI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 8 81

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

3 13 78

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP KETEBALAN DINDING AORTA ABDOMINAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 5 72

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ARTERI KORONARIA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 13 66

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

PENGARUH HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA ORAL TERHADAP HATI TIKUS PUTIH

0 1 6