Indikator Pencapaian Kompetensi PENUTUP
3
Historiografi tradisional merupakan ekspresi cultural dari usaha untuk merekam sejarah. Perekaman sejarah ini dapat dilakukan melalui
penulisan sejarah tersebut. Penulisan sejarah tidak dalam bentuk prasasti di Indonesia dimulai oleh Mpu Prapanca yang menulis kitab
Negarakertagama. Contoh lainnya adalah Babad Tanah Jawi dan Hikayat Raja-raja Pasai.
Penulisan sejarah pada mulanya lebih merupakan ekspresi budaya dari pada usaha untuk merekam masa lalu sebagaimana adanya. Hal ini
didorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam diri manusia atau masyarakat selalu akan muncul pertanyaan tentang jati diri dan asal usulnya yang
dapat menerangkan keberadaanya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianutnya. Jadi, penulisan sejarah bukan bertujuan untuk
mendapatkan kebenaran sejarah dengan pembuktian melalui fakta-fakta. Akan tetapi, keyakinan akan kebenaran kisah sejarah itu diperoleh melalui
pengakuan serta pengabdiannya kepada penguasa. Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsure-unsur
sastra sebagai karya imajinatif dan mitologi, pandangan hidup yang dikisahkan dan uraian peristiwa pada masa lalu, seperti tercermin dalam
Babad atau Hikayat. Walaupun demikian, adanya sejarah tradisional
memiliki arti dan fungsinya sendiri. Pertama, dengan corak sejarah
tradisional yang bersifat istana sentries, maka ada upaya untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis dan memberikan legitimasi
yang kuat kepada penguasanya. Kedua, berbagai legenda, mitos dan
foklor yang terkait dengan tokoh-tokoh sejarah local, seperti yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Jawi, bertujuan untuk meningkatkan solidaritas
dan integrasi di bawah kekuasaan pusat. Ketiga, penyusunan sejarah
tradisional juga dimaksudkan untuk membuat symbol identitas baru. Cirri-ciri historigrafi tradisional:
a. Istana sentries, segala sesuatu dipusatkan pada raja keluarga istana.
b. Feodalistis-aristokratis, yang dibicarakan hanya kehidupan bangsawan.