pilah berdasarkan kelompok kekerabatan genealogis. Akibatnya, keterwakilan mereka dalam DPRD tidak representatif, sehingga alokasi anggaran yang berhasil
diperjuangkan oleh utusan OTM, terdistribusi secara tidak merata dalam Nagari- Nagari di Kab.Agam.
Pada aras teori, kajian ini menemukan bahwa Birokrasi Pemerintahan patrimonial sebagai mana yang berlangsung di Pemerintahan Pusat Crouch 1985;
Webber 2006; van Klinken 2009, mengalami ubah sesuai ketika berdialog dan berkompromi dengan Otoritas Tradisional Minangkabau. Birokrasi Pemerintahan
yang muncul kemudian adalah Birokrasi dengan ciri patrimonial didominasi lelaki, namun memiliki ciri heterarki, bukan hierarkis dan relasi patronase
sebagaimana layaknya birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial heterarki ini memperlihatkan bahwa para birokrat memiliki kepentingan partikular sehingga
tidak impersonal, birokrasi pemerintahan menjadi ajang kontestasi antar sesama birokrat tanpa mengindahkan kedudukan dan wewenang.
Dalam ranah perencanaan dan penganggaran, birokrasi patrimonial heterarki ini ditandai dengan praktik kontestasi dalam tahap-tahap Musrenbang,
penyusunan RKPD, KUA-PPAS, RAPBD dan APBD. Sehingga, program yang menjadi bagian APBD dapat naik dan turun di tengah jalan. Bahkan, ketika telah
menjadi bagian dari APBD, program dapat berpindah tempat pengalokasiannya atau tidak terserap dalam pelaksanaannya, sehingga menjadi SiLPA Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran yang cukup tinggi. Hal tersebut menunjukkan menyoloknya kontestasi antar sesama birokrat yang bersumber dari kepentingan
partikular.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana interaksi dan ketegangan-ketegangan terentang antara Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dari masa
kolonial Belanda hingga dilangsungkannya otonomi daerah?
2. Bagaimana peranan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD sektor
pertanian-pedesaan? 3. Bagaimana kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi
Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD? 4. Bagaimana Birokrasi Pemerintahan di Kab.Agam menata dan mengelola
pembangunan masyarakat lokal?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji interaksi antara Otoritas Tradisional
Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan. Dari kajian terhadap interaksi keduanya diharapkan mendapat konsep-konsep untuk menutup celah-celah
“lubang kebocoran” Birokrasi Pemerintahan, khususnya bagaimana agar APBD ketika direncanakan dan dianggarkan dapat melibatkan serta mengakomodir
kepentingan-kepentingan petani dan rakyat pada umumnya.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dari masa ke masa di Sumatera Barat.
2. Menggambarkan secara analitis peran-peran dan hubungan keduanya dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran APBD
3. Mendapatkan kerangka persaingan yang menggambarkan hubungan keduanya ketika penganggaran APBD di laksanakan.
4. Mendapatkan kerangka bagaimana pembangunan masyarakat lokal ditata dan dikelola oleh program pembangunan yang dijalankan oleh Birokrasi
Pemerintahan Daerah.
1.4. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan mencapai keempat tujuan penelitian tersebut, pada ranah praksis, dapat memberi masukan terhadap permasalahan Birokrasi
Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD. Khususnya memperkuat proses penyusunan, pembahasan dan penetapan APBD, sehingga
dapat sesuai dengan kebutuhan petani rakyat serta menjawab permasalahan mereka bersama dengan indikasi meningkatnya anggaran pertanian-pedesaan
secara proporsional.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Studi tentang gejala dinamika interaksi antara Otoritas Tradisional Minangkabau dalam Birokrasi Pemerintahan ketika melakukan perencanaan dan
penganggaran APBD sektor pertanian-pedesaan dapat dimulai dari tinjauan literatur mengenai konsep-konsep utama dalam studi ini, seperti konsep birokrasi,
otoritas tradisional dan birokrasi patrimonial, Otoritas Tradisional Minangkabau, kontestasi elite dan Penganggaran APBD. Tinjauan ini berguna sebagai landasan
teoritis dalam perumusan hipotesis pengarah dan kerangka pemikiran mengenai kontestasi elite Birokrasi Pemerintahan dengan Otoritas Tradisional Minangkabau
dalam Birokrasi Pemerintahan, terutama dalam ranah perencanaan dan penganggaran APBD di Kab. Agam.
2.1. Birokrasi Legal-Rasional
Secara literal, istilah birokrasi mulai diperkenalkan oleh Baron de Grimm dan Vincent de Gournay semasa Revolusi Perancis 1760an. Konsep tersebut
berasal dari asal kata “bureau” yang artinya meja tulis dimana para pejabat
bekerja dibelakangnya pada saat itu. Pasca revolusi Perancis, istilah yang diperkenalkan kedua filosof Perancis tersebut mengalamai transliterasi, sehingga
muncul varian kata bureucatie di Perancis, burocratie di Jerman, burocrazia di Italia dan bureaucracy di Inggris Albrow 1989.
Istilah birokrasi, memiliki makna pejoratif sebagai organisasi yang rumit, gagal menempatkan tanggung jawab secara jelas, terlalu banyak pegawai,
operasionalnya lamban, memiliki peraturan dan rutinitas yang kaku Watson 1945. Weber tidak setuju dengan kesimpulan tersebut, menurutnya dalam level
makro, apabila birokrasi dibawah supremasi hukum justru memberikan pemecahan terbaik terhadap makna pejoratif tersebut Bendix 1972. Dalam
organisasi birokrasi, tindakan sosial dirubah ke dalam tindakan terorganisir yang rasional Weber dalam Humel 1982. Hal ini disebabkan, birokrasi adalah sebuah
organisasi sosial yang 1 terdiri dari susunan birokrat yang terikat dengan peraturan dalam melaksanakan fungsinya, 2 terdapat pembagian kerja yang
terspesialisasi, 3 di dalamnya jabatan disusun secara berjenjang, 4 penguasaan