Minangkabau traditional authority and government bureaucracy elite contestation in Budgeting Planning and Budgeting APBD In Rural Agriculture Sector, District Agam, West Sumatera

(1)

i

OTORITAS TRADISIONAL MINANGKABAU DAN

BIROKRASI PEMERINTAHAN : KONTESTASI ELITE

DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN APBD

SEKTOR PERTANIAN-PEDESAAN DI KAB. AGAM,

SUMATERA BARAT

BOB ALFIANDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Otoritas Tradisional Minangkabau Dan Birokrasi Pemerintahan: Kontestasi Elite Dalam Perencanaan Dan Penganggaran APBD Sektor Pertanian-Pedesaan Di Kab. Agam, Sumatera Barat adalah karya saya sendiri belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, 25 Februari 2012

Bob Alfiandi NRP A162050021


(4)

(5)

v ABSTRACT

BOB ALFIANDI. Minangkabau Traditional Authority and Government Bureaucracy: Elite Contestation in Budgeting Planning and Budgeting APBD In Rural Agriculture Sector, District Agam, West Sumatera.

Under Direction of ENDRIATMO SOETARTO, NURMALA K.PANDJAITAN, HELMI and SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO.

Tendency of low agricultural budgeting occurs also in Agam regency, where the people are mostly peasants and still live under the legitimacy of Minangkabau Traditional Authority. This is quite odd since in this era of regional autonomy where the regional heads and DPRD who have the rule to plan the budget is elected by the people who are actually peasants. At the same time, the System Planning and National Development under the regulation No.25/2004 as well as under the State Finance Law No.17/2003 require public participation in budget planning and budgeting. The research question is how the role of Minangkabau Traditional Authority and contestation with local governances bureaucracy in the process of budget planning and budgeting in Kab.Agam This study is based on a constructivist research paradigm with a qualitative approach. The method used is the historical sociology and semiotics, hermeneutics. The data were collected through a literature study, participant observation and in-depth interviews. The results of this research indicate that planning and setting of regional revenue and expenditure budgets (APBD) is an arena for contestation between Minangkabau Traditional Authority and Local Government Bureaucracy. This happened since Minangkabau Traditional Authority has chosen its elements to be the members of parliament who then assigned the role to fight for budget allocations for Jorong and Nagari where they come from and were elected. This phenomenon could also lead bureaucrats to have a particular concern that emerged from the functions of government bureaucracy.This study concluded, on one hand, Minangkabau Traditional Authority still has an ultimate power in the regency that might cause Local Government Bureaucracy getting “out of function” due to the benefit of the bureaucrats (especially DPRD) in planning APBD. However, on the other hand, Local Governances Bureaucracy carries out the functions of the budget-disbursed agriculture and rural to its people.

Keywords: Minangkabau Traditional Authority, Government Bureaucracy,


(6)

(7)

vii RINGKASAN

Gejala rendahnya anggaran pertanian, terjadi di Kabupaten Agam, dimana masyarakatnya sebahagian besar adalah petani serta masih pekat hidup dalam legitimasi Otoritas Tradisional Minangkabau (OTM). Hal ini cukup ganjil, mengingat pada era otonomi daerah ini, Kepala Daerah dan DPRD yang merupakan elite Birokrasi Pemerintahan (BP) dan yang memiliki otoritas melaksanakan perencanaan serta penganggaran APBD, dipilih langsung oleh rakyat yang justru sebahagian besar adalah petani. Dalam era ini pula, terdapat UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional, serta UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran APBD.

Pertanyaan penelitiannya kemudian adalah bagaimana peranan dan kontestasi antara Otoritas Tradisional Minangkabau (OTM) dengan Birokrasi Pemerintahan (BP) dalam proses perencanaan dan penganggaran APBD di Kab.Agam?

Hipotesis yang memandu penelitian ini adalah, jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara elite yang menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Paradigma penelitian ini adalah konstruktivis, dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah sosiologi sejarah dan semiotik-hermeneutik. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa arena perencanaan dan penganggaran APBD menjadi ajang kontestasi antara OTM dan BP. Hal ini dimungkinkan karena OTM memilih unsurnya menjadi anggota DPRD yang kemudian diberi peran agar memperjuangkan alokasi APBD bagi Nagari dan Jorong di mana mereka berasal dan dipilih. Sesuai dengan hipotesis, gejala ini menyebabkan birokrat memiliki kepentingan masing-masing sehingga birokrasi pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Kata kunci: Otoritas Tradisional Minangkabau, Birokrasi Pemerintahan, Kontestasi, Perencanaan dan Penganggaran APBD


(8)

(9)

ix

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

xi

OTORITAS TRADISIONAL MINANGKABAU DAN

BIROKRASI PEMERINTAHAN : KONTESTASI ELITE

DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN APBD

SEKTOR PERTANIAN-PEDESAAN DI KAB. AGAM,

SUMATERA BARAT

BOB ALFIANDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

xii

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Rilus Kinseng, M.A Dr. Ir. Saharudin, M.S

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S Dr. Ir. Rilus Kinseng, M.A


(13)

xiii

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT atas segala nikmat ilmu yang telah dikarunia-Nya dalam penyelesaian Disertasi ini.

Pertama-tama ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian disertasi ini, yaitu Prof. Dr. Endriatmo Soetarto MA (selaku ketua), Dr. Nurmala K.Pandjaitan MS. DEA, Prof. Dr. Ir. Helmi M.Sc, dan Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.

Secara khusus juga dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Rilus Kinseng MA dan Dr. Ir. Saharuddin M.S, atas kesediaan dan komitmennya sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup yang telah dilalui, juga terimakasih diaturkan kepada Dr. Ir. Lala Kolopaking MS, dan Dr. Ir. Rilus Kinseng MA. atas kesediannya sebagai penguji luar pada ujian terbuka.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institur Pertanian Bogor, Pimpinan Fakultas Ekologi Manusia. khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) dan segenap staf pengajar atas kesempatan dan proses belajar yang telah diberikan.

Semangat untuk menyelesaikan disertasi ini juga tidak terlepas dari dukungan dari tempat asal instansi penulis. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Rektor dan Bapak Dekan FISIP Universitas Andalas yang telah memberi izin tugas belajar kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Gubernur Sumatera Barat, Bapak Bupati Kab.Agam dan Wakil Ketua DPRD Kab.Agam yang telah membantu dalam memberi izin untuk melakukan penelitian ini.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga besar atas doa dan dukungan yang tidak terhingga, untuk itu ditujukan kepada ayahanda Alm.Rusdi Yatim dan ibunda Yufrida Yunus, dan ayahanda mertua Alm. Prof. Dr. Abd.Aziz Saleh MA dan ibu mertua Dra. Ratna Wilis, beserta kakak dan adik-adik yang penulis cintai. Teristimewa rasa syukur, terimakasih, penghargaan, kebanggaan penulis sampaikan kepada istri tercinta


(14)

xiv

Dra. Ranti Triratna dan ananda tersayang: M. Alief Arsyad dan Soulthan Fikri Achsan atas segala pengorbanan, kesabaran dan dukungannya yang setiap saat mengalir. Tanpa dukungan mereka, rasanya disertasi ini tidak akan terwujud.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan rekan-rekan dan teman-teman seperjuangan di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB dari angkatan; Dr. Tyas Retno Wulan M.Si, Dr. Pulanggono Setia Lenggono M.Si, Dr. Abdul Malik M. Si, Dr. Hartoyo M.Si, Dr. Maihasni M.Si, Dr.Ivanovich Agusta M.Si serta teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Mereka telah banyak memberikan suasana akademik yang kritis penuh persahabatan dan sangat menyenangkan selama masa-masa penyelesaian studi S3 ini. Semoga jalinan persahabatan yang begitu tulus itu akan langgeng, meskipun telah kembali ke instansi masing-masing.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan kemampuan akademik yang dimiliki, sehingga penulis merasa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan mengharapkan saran, kritik dan masukan yang dapat menyempurnakan tulisan disertasi ini. Atas kebaikan dan perhatian semua pihak, penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setingginya. Semoga Allah S.W.T membalas semua kebaikan bapak, ibu dan saudara semuanya.

Bogor, 25 Februari 2012


(15)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1966. Orangtuanya adalah Rusdi Yatim (almarhum) dan Yufrida Yunus. Pendidikan dasar dan menengah berturut-turut diselesaikan di SD Muhammadiyah 01, tahun 1979, dan di SMPN XI, 1983 di Medan, Sumatera Utara. Pada tahun 1982, penulis menjalani pendidikan di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, kemudian menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA YPM Bogor pada tahun 1987. Pada tahun 1993 penulis menamatkan pendidikan aras S1 di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas Padang. Tahun 1999 sampai 2002 mengikuti dan menyelesaikan pendidikan aras S2 di jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pendidikan aras S3 Sosiologi Pedesaan di Program Pascasarjana IPB dimulai pada tahun 2005.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas Padang sejak tahun 1997. Disamping itu juga terlibat sebagai peneliti dalam sektor kesehatan masyarakat miskin, diantaranya seperti permasalahan Jamkesmas, HIV AIDS/TBC/Malaria, AKI/AKB, yang didanai oleh Unicef, World Bank, JSI, Global Fund dan Pemerintah Daerah.

Pada tahun 1996, penulis menikah dengan Ranti Triratna, dan dikarunia dua orang anak laki-laki, Mohammad Alif Arsyad (14 tahun) dan Soulthan Fikri Achsan (11 tahun).


(16)

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

Afdeeling : Kabupaten (diperintah asisten Residen) AKN : Anggaran Keuangan Nagari

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

BP : Birokrasi Pemerintahan

BAMUS : Badan Permusyawaratan BANGGAR : Badan Anggaran (DPRD)

BAPPENAS : Badang Perencanaan dan Pembangunan Nasional BAPPEDA : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah BMN : Badan Musyawarah Nagari

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPS : Badan Pusat Statistik

BPRN : Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari

CKL : Canduang Koto Laweh

DAPIL : Daerah Pilihan Dalam Pemilihan Umum Legislatif

DEPAG : Departemen Agama

DEPDAGRI : Departemen Dalam Negeri (Sekarang Kementerian) DEPERINDAG : Depatermen Perindustrian dan Perdagangan DEPNAKERTRANS : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi DEPTAN : Departemen Pertanian, (Kementerian)

DHN : Dewan Harian Nagari

DPN : Dewan Perwakilan Nagari

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRN : Dewan Perwakilan Rakyat Nagari KAN : Kerapatan Adat Nagari

KB : Kolonial Belanda

KUA : Kebijakan Umum Anggaran

KL : Kementerian dan Lembaga

KLH : Kemeterian Lingkungan Hidup KNI : Komite Nasional Indonesia

KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah

KNID-SB : Komite Nasional Indonesia Daerah-Sumatera Barat KPUD : Komisi Pemeilihan Umum Daerah

IGOB : Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LMD : Lembaga Masyarakat Desa

MTKAAM : Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau MUN : Majlis Ulama Nagari

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan OTM : Otoritas Tradisional Minangkabau

PAMSIMAS : Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat

PEMILU : Pemilihan Umum

PPAS : Perioritas dan Plafon Anggaran Sementara PRRI : Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia


(18)

xviii

PU : Pekerjaan Umum (Dinas, Departemen)

P5D : Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian

Pembangunan di Daerah

RAPBD : Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Regent : Bupati

RENJA : Rencana Kerja

RENSTRA : Rencana Strategis

Resident : Kepala Karesidenan ((Administratif Provinsi) RKA : Rencana Kerja Anggaran

RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPDESA : Rencana Kerja Pembangunan Desa

ROL : Rezim Orde Lama

ROB : Rezim Orde Baru

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMDESA : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

SEKDA : Sekretaris Daerah

SK : Surat Keterangan

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daera, seperti Dinas, Badan. SPPN : Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional TAPD : Tim Anggaran Pemerintah Daerah

UKM : Usaha Kecil dan Menengah

UU : Undang-Undang

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto Perda : Peraturan Daerah

PP : Peraturan Pemerintah

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang

RPJPD : Rencan Pembangunan Jangka Panjang Daerah SPPN : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional


(19)

xix

DAFTAR ISTILAH

Adat : Struktur pengetahuan dan kebiasaan turun-temurun yang mengatur tata kehidupan. Dalam hal ini mengacu pada adat Minangkabau

Cadiak Pandai : Kaum Cendikiawan Nagari

Darek : Dalam bahasa Indonesia berarti Darat yang merupakan

suatu kawasan daratan tinggi di pedalaman Minangkabau yang (dipercaya) merupakan daerah asal orang

Minangkabau. Lawan dari rantau. Bundo Kanduang : Ibu kandung

Demang : Jabatan untuk kepala Distrik di Minangkab setelah 1914. Dipilih oleh penguasa kolonial Belanda, berdasarkan kemampauan (achievement)

Harta Pencaharian : Harta benda dan kekayaan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan ataua melalui jerih payah semasa hidupnya Jorong : Kesatuan wilayah di bawah Nagari. Kata lain, Kampuang. Kemanakan : Panggilan untuk anak-anak dari saudara perempuan Luhak Nan Tigo : Tiga pemungkiman asli orang Minangkabau,yakni Luhak

Agam, Luhak Limapuluh Kota, dan Luhak Tanah Datar. Mamak : Panggilan terhadap saudara laki-laki ibu. Juga diartikan sebagai pelindung kelompok genealogis matrilineal pada level paruik, kaum.

Ulama : Guru Agama, Ahli Agama.

Urang nan Ampek Jinih : Tokoh Nagari yang terdiri dari Ninik-Mamak, Cadiak pandai,Ulama dan Bundo Kanduang.


(20)

(21)

xxi DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xxi

DAFTAR TABEL... xxv

DAFTAR GAMBAR... xxix

DAFTAR LAMPIRAN... xxxi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ……… 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ……… 8

1.3. Tujuan Penelitian ………...…… 9

1.3.1. Tujuan Umum ………. 9

1.3.2. . Tujuan Khusus ……… 9

1.4. Manfaat Penelitian ……… 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Birokrasi Legal-Rasional ……… 11

2.2. Otoritas Tradisional dan Birokrasi Patrimonial ………… 14

2.3. Birokrasi Patrimonial di Indonesia ……… 15

2.4. Otoritas Tradisional Minangkabau ……… 18

2.4.1. Nagari ……… 23

2.4.2. Struktur Sosial Masyarakat Nagari ………. 25

2.4.3. Adat Minangkabau ………. 26

2.5. Kontestasi Elite Politik ……… 27

2.5.1. Persaingan Elite Politik dan Sirkulasi Elite Politik……… 28

2.5.2. Kontestasi Elite Politik dan Kontinuitas Sejarah 30 2.5.3. Elite Politik Tidak Perduli Rakyatnya …………. 33

2.6. Perencanaan dan Penganggaran APBD………. 34

2.7. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Otoritas Tradisional ……… 39

2.8. Falsafah Alam dan Budaya Merantau Minangkabau: Landasan Kultural Kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan …………. 43

2.9. Kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Peme rintah Dalam Penganggaran APBD …… 46

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN KEBARUAN 3.1. Kerangka Pemikiran ……….. 49

3.2. Hipotesis ……… 51

3.3. State of The Art: Evolusi Birokrasi Pemerintahan di Indonesia ……… 51

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Paradigma Penelitian ……… 65

4.2. Metode Penelitian ……… 65

4.3. Pengumpulan Data ……… 66


(22)

xxii

4.5. Pengolahan dan Analisa Data ……… 70

4.6. Daerah Penelitian ……… 72

BAB V KABUPATEN AGAM DAERAH AGRARIS

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Agam ……….. 75 5.2. Kondisi Umum Kecamatan Baso dan Nagari Tabek

Panjan………..……… 78

5.3. Pola Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Pertanian ……. 82 5.4. Adat Selingkar Jorong ……… 86 5.5. Struktur Sosial Masyarakat Nagari ……… 87 BAB VI DINAMIKA INTERAKSI OTORITAS TRADISIONAL

MINANGKABAU DAN BIROKRASI PEMERINTAHAN DARI MASA KE MASA

6.1. Interaksi Otoritas Tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan Pada Masa Penjajahan Kolonial

Belanda ……….. 91

6.2. Interaksi Otoritas Tradisional Minangkabau Dengan Birokrasi Pemerintahan Dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia ……… 98

6.3. Otoritas Tradisional Minangkabau Dalam Masa Orde

Baru ……… 107

6.3.1. Nagari Menjadi Desa ……… 109 6.4. Nagari Pada Masa Otonomi Daerah ……….. 120 BAB VII PERANAN OTM DAN BP DALAM PENGANGGARAN

SEKTOR PERTANIAN-PEDESAAN

7.1. Pileg dan Pilkada, Asal Usul Peran Kepentingan Khusus

Dalam Birokrasi ………. 128

7.1.1. Pemilu Lembaga Legislatif dan Peran OTM …… 128 7.1.2. Pemilukada dan Peran OTM ……… 147 7.2. Peranan OTM dan BP Dalam Perencanaan ……… 152 7.3. Peranan OTM dan BP Dalam Penganggaran 164 7.4. Kasus Ragam Permainan Peran Dalam Penganggaran …. 174 7.4.1. Kasus Permainan Peran Danof……….. 174 7.4.2. Kasus Permainan Peran Liryanda ………. 182 7.4.3. Kasus DPRD Berperan sebagai Lembaga

Eksekutif ………. 187

7.4.4. Kasus Ragam Permainan Peran Lembaga Eksekutif Pembangunan Sport Centre ………… 194 BAB

VIII

PERSAINGAN OTM DAN BP DALAM PERENCANAAN

DAN PENGANGGARAN SEKTOR

PERTANIAN-PEDESAAN

8.1. Tersingkirnya Kebutuhan Petani Pada Musrenbang

Berjenjang ……… 199

8.1.1 Musrenbang Jorong ……….. 201 8.1.2. Musrenbang Nagari ……….. 209


(23)

xxiii

8.1.3. Musrenbang Kecamatan ……… 220 8.1.4. Forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten…… 231 8.1.5. Ikhtisar Proses Perencanaan ………. 233 8.2. Ranah Persaingan Elit Dalam Penganggaran APBD ……. 236 8.2.1. Persaingan Aktor Pada Pembahasan KUA-PPAS. 236 8.2.2. Persaingan Elit Dalam Pembahasan APBD……..

BAB IX BIROKRASI LOKAL DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT LOKAL

9.1. Bentuk Birokrasi Lokal ……….. 265 9.2. Terbentuknya Birokrasi Lokal ……… 273

9.2.1. Politik Kepartaian Nasional, Dari Patrimonial Menjadi Kartel ……….. 273 9.2.2. Sumberdaya Kab.Agam Terbatas ………. 277 9.2.3. Kepekatan OTM di Agam ……… 279 9.2.4. OTM, Kepolitikan Patrimonial dan Politik Lokal. 283 9.3. Birokrasi Lokal dan Pembangunan Masyarakat Lokal… 285 BAB X RANGKUMAN, KESIMPULAN DAN EPILOG

10.1. Rangkuman Penelitian……….. 289 10.1.1. Interaksi OTM dan BP dari Otonomi Daerah….. 289 10.1.2. Peranan OTM dan BP Dalam Penganggaran….. 290 10.1.3. Kontestasi OTM dan BP dalam Penganggaran

APBD ……… 292

10.2. Kesimpulan Penelitian………... 293

10.3. Epilog……… 295

DAFTAR PUSTAKA 301


(24)

(25)

xxv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 3.1. Matriks State of the Art Studi Birokrasi Patrimonial di

Indonesia………..….. 55

Tabel 4.1. Matriks Data Set……… 74

Tabel 5.1. Karakteristik Wilayah dan Kependudukan Kabupaten

Agam………... 75

Tabel 5.2. Gambaran Wilayah kecamatan Baso dan Nagari Tabek

Panjang... 76 Tabel 5.3. Jumlah Nagari, Jorong dan Luas Wilayah Kecamatan

Baso 2010………. 78

Tabel 5.4. Nama dan luas Wilayah Jorong dalam Nagari Tabek

Panjang 2010 ……… 79

Tabel 5.5. Jumlah Penduduk Per Jenis Kelamin dan Kepadatan

Penduduk, Tahun 2010………...………

79 Tabel 5.6. Bentuk Permukaan Tanah ……… 80 Tabel 5.7. Struktur Mata Pencaharian dan Jenisnya, 2010…… 81 Tabel 5.8. Jumlah Suku Berdasarkan Jorong di Nagari Tabek

Panjang, Tahun 2010……… 82

Tabel 6.1. Dinamika Interaksi OTM dan BP di Minangkabau

Abad 19-20………... 98

Tabel 6.2. Perbandingan OTM dengan BP Indonesia Awal

Kemerdekaan……… 102

Tabel 6.3. Perbedaan OTM menurut MAklumat REsiden SUMBAR dan menurut Inlandsche Gemeente Ordonantie

Buitengewesten………. 103

Tabel 6.4. Struktur Pemerintahan Nagari Menurut SK Gubernur Kepala DaerahProvinsi Sumatera Barat

No.015/GSB/1968……… 108

Tabel 6.5. Perbandingan Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No.5/1979 Tentang Pemerintahan Desa dan Nagari , SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat

No.015/GSB/1968 Tentang Pemerintahan Nagari……. 116

Tabel 7.1. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Daerah Pilihan

Periode 2004-2009 dan 2009-2014……….. 133 Tabel 7.2. Jumlah Perolehan Suara Anggota DPRD dari Kecamatan

Asal dan Luar Kecamatan Asal, Kab.Agam periode

2009-2014……… 134

Tabel 7.3. Jumlah Perbandingan DPT Dengan Menggunakan Hak Pilih Dan Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah Pemilu

Kab.Agam Tahun 2009……… 136


(26)

xxvi

Tabel 7.5. Peta persaingan Aktor-aktor dalam ranah Perencanaan... 163 Tabel 7.6. Kepentingan Khusus Aktor dalam Perencanaan dan

Penganggaran……….. 167

Tabel 7.7. Peran OTM dan BP Dalam Penganggaran………... 168 Tabel 7.8. Peta Persaingan Aktor-aktor dalam Penganggaran 171 Tabel 7.9. Perbandingan antara Jatah Anggaran PPAS dan APBD

DPRD Kab.Agam tahun 2007-2009………. 175

Tabel 7.10 Ragam Peran Danof dan Relasi Kekuasaan Aktor Dalam

Penganggaran……… 180

Tabel 7.11. Ragam Peran Liryanda Dan Relasi Kekuasaan Aktor

Dalam Penganggaran……… 186

Tabel 8.1. Hasil Musrenbang di 4 Jorong Nagari Tabek Panjang

tahun 2009 untuk APBD 2010 Bidang Prasarana…….. 205 Tabel 8.2. Hasil Musrenbang di 4 Jorong Nagari Tabek Panjang

tahun 2009 untuk APBD 2010 Bidang Pertanian……… 206 Tabel 8.3. Hasil Musrenbang di 4 jorong Nagari Tabek Panjang

tahun 2009 untuk APBD 2010 bidang Pengairan……… 207 Tabel 8.4. Hasil Musrenbang di 4 Jorong Nagari Tabek Panjang

tahun 2009 untuk APBD 2010 bidang Pendidikan…….. 207 Tabel 8.5. Daftar Usulan Program/Kegiatan Hasil Murenbang

Nagari Tabek Panjang Tahun 2009. Bid. Pemb.Perkotaan 211 Tabel 8.6. Daftar Usulan Program/Kegiatan Hasil Musrenbang

Nagari Tabek Panjang tahun 2009. Bid.Pertumbuhan

Ekonomi ……… 212

Tabel 8.7. Daftar usulan Program/kegiatan Hasil Musrenbang

Nagari Tabek Panjang tahun 2009. Bid.Pengairan……… 213 Tabel 8.8. Daftar Usulan Program /Kegiatan Hasil Musrenbang

Nagari Tabek Panjang tahun 2009 bid.Pertanian……….. 214 Tabel 8.9. Daftar Usulan Program /Kegiatan Hasil Musrenbang

Nagari Tabek Panjang tahun 2009. Bid.Peternakan……... 214 Tabel 8.10. Daftar Usulan Program /Kegiatan Hasil Musrenbang

Nagari Tabek Panjang tahun 2009. Bid. Perindustrian….. 215 Tabel 8.11. Daftar Usulan Program /Kegiatan Hasil Musrenbang

Nagari Tabek Panjang tahun 2009. Bid. Sumbedaya

Manusia………. 216

Tabel 8.12. Perbandingan Hasil Musrenbang Nagari Tabek Panjang


(27)

xxvii

bidang Pembangunan Fisik (PU) tahun 2007 s/d 2009…..

Tabel 8.13. Perbandingan Jumlah Belanja Lansung KUA-PPAS dengan APBD Pada lima SKPD tahun Anggaran 2009 (dalam juta rupiah)……….

240

Tabel 8.14. Perbandingan Jumlah Belanja Langsung KUA-PPA dengan APBD Pada lima SKPD tahun Anggaran 2008

(dalam juta rupiah)………. 241

Tabel 8.15. Perbandingan Jumlah Belanja langsung KUA-PPAS dengan APBD pada Lima SKPD tahun Anggaran 2007

(dalam juta rupiah)………. 242

Tabel 8.16. Perbandingan Jumlah Belanja Langsung KUA-PPAS dengan APBD pada Lima SKPD tahun Anggaran 2009…

252 Tabel 8.17. Perbandingan Hasil Musrenbang Kecamatan 2008

dengan Perbup No.63 tahun 2008 tentang Penjabaran

APBD th Anggaran 2008 Untuk pembangunan Jalan …. 253 Tabel 8.18. Perbandingan Hasil Musrenbang Kecamatan 2008

dengan PerBup no 63 tahun 2008 tentang Penjabaran APBD th Anggaran 2009 untuk Pengerasan Jalan dan

Cor Beton (DAU)……….. 254

Tabel 8.19. Perbandingan Hasil Musrenbang Kecamatan 2008 dengan PerBup No.63 tahun 2008 tentang Penjabaran

APBD tahun anggaran 2009………... 255

Tabel 8.20 Perbandingan Hasil Musrenbang Kecamatan 2008 dengan PerBup No.63 tahun 2008 tentang Penjabaran APBD th Anggaran 2009 Untuk Rehabilitasi dan

Pemeliharaan Jaringan Pengairan (DAK) ……… 258 Tabel 8.21. Perbandingan Hasil Musrenbang Seluruh kecamatan

2009-2010 Dengan DPA (Dokumen Pelaksana

Anggaran) th Anggaran 2010 Untuk Pembangunan Jalan

dan jembatan Pedesaan Kab.Agam……….. 260 Tabel 8.22. Perbandingan Hasil Musrenbang Seluruh Kecamatan

2009-2010 Dengan DPA(Dokumen Pelaksana Anggaran) th Anggaran 2010 Untuk peningkatan sarana dan


(28)

xxviii

Tabel 8.23. Perbandingan hasil Musrenbang Seluruh Kecamatan 2009-2010 Dengan DPA (Dokumen Pelaksana

Anggaran) th Anggaran 2010 Untuk peningkatan Jalan

dan jembatan (DAK) Kab. Agam……….. 262 Tabel 8.24. Matriks Peta Kekuasaan, Kepentingan, Dan Tujuan Elite

Dalam Proses Penggaran………

263 Tabel 9.1. Matriks Proposisi Birokrasi Weber Dan Birokrasi Lokal 270 Tabel 9.2. Matriks Proposisi Otoritas Tradisional Dan Legal

Rasional Weber Dengan Birokrasi Lokal……… 272 Tabel 9.3. Matriks Proposisi Otoritas Tradisional Dan Legal

Rasional Weber Dengan Otoritas Tradisional


(29)

xxix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 2.1. Karakteristik Otoritas Tradisional Minangkabau … 20 Gambar 2.2. Alur Proses Perencanaan dan Penganggaran APBD 35 Gambar 2.3. Kewajiban Individu Dalam Nagari ………. 44

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ……… 51

Gambar 4.1. Bagan Alir Proses Penelitian ………... 66 Gambar 4.2. Model Analisis Interaksi ………. 71 Gambar 5.1. Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Kab.Agam

Menurut Kecamatan, Tahun 2000-2010………. 77 Gambar 5.2. Struktur Sosial di Sungai Janiah-Tabek Panjang…… 89 Gambar 7.1. Pertautan Antara OTM dan BP Bermula Dari Pemilu

Legislatif dan Kepala Daerah……….. 130 Gambar 7.2. Grafik Trend Perbandingan Alokasi Anggaran Dinas

Pertanian dan DPRD Kabupaten Agam, Tahun

2004-2009……… 142

Gambar 7.3. Grafik Trend Belanja APBD Kab Agam 2001-2011 166

Gambar 7.4. Relasi Aktor Dalam Peran Danof……… 182 Gambar 7.5. Relasi Aktor Dalam Ragam Peran Liryanda……….. 187 Gambar 8.1. Peta Kepentingan OTM Dalam Musrenbang Nagari.. 220 Gambar 8.2. Peta Kepentingan OTM Dalam Musrenbang

Kecamatan………. 231

Gambar 8.3. Proses Marginalisasi Usulan Program Dalam

Musrenbang RKPD………. 235

Gambar 8.4. Grafik Perbandingan Alokasi anggaran DPRD

antara PPAS dan APBD Tahun 2007-2009………… 245

Gambar 9.1. Grafik Perbandingan APBD dan PAD Kab.Agam

2000-2011………... 278

Gambar 9.2. Digram Perbandingan Belanja APBD Kab.Agam

2007-2011……….. 279

Gambar 9.3. Bagan Alir Proses Kemunculan Birokrasi Lokal…… 284 Gambar 9.4. Bagan Alir Proses Pembangunan Masyarakat Lokal


(30)

(31)

xxxi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman


(32)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pasca swasembada beras, masalah utama Indonesia yang belum dapat terpecahkan hingga kini adalah meningkatnya kerawanan pasokan beras. Bahkan, swasembada beras yang pernah dicapai, ternyata hanya dapat dipertahankan hingga tahun 1990 (Kasryno et.al. 2001). Selanjutnya, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Tahun 1996 jumlah impor beras mencapai 1,5 juta ton, pada tahun 1999 impor beras mencapai puncak tertinggi dengan total impor 4,7 juta ton kemudian terus menurun hingga tahun 2005 mencapai 0,2 juta ton (Sawit dan Lokollo 2007).

Beras yang berasal dari tanaman padi, sebagaimana diketahui, merupakan komoditas strategis yang memiliki pengaruh politik, ekonomi dan sosial yang tinggi. Dalam perekonomian, usaha tani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 25 juta rumah tangga petani (BPS 2004). Padi adalah bahan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras diatas 55 persen; dan sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras (Sudaryanto dan Adang 2003). Pengalaman tahun 1966 dan 1998, memperlihatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya goncangan politik adalah karena harga beras yang melonjak tinggi dalam waktu yang singkat (Zainal Abidin dan Syam 2005).

Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi untuk terus bertahan dalam swasembada beras sehingga terhindar dari kerawanan pasokan beras. Mengapa, karena secara faktual masih ada kesenjangan produktivitas padi sebesar 25% dari potensi yang dapat dikelola (World Bank 2009). Apalagi, penguatan teknologi bangsa ini relatif memadai untuk meningkatkan kapasitas aktual tersebut, hanya saja, terkendala oleh rendahnya anggaran yang tersedia, termasuk tidak memadainya anggaran infrastruktur pertanian di pedesaan pada umumnya (Darsono 2008). Namun lebih dari hal itu, patut dipertanyakan kemauan politik pemerintah untuk menjalankan agenda swasembada beras tersebut, atau isu terkini

dikenal dengan nama „Ketahanan Pangan’, atau yang lebih fundamental lagi disebut „Kedaulatan Pangan’.


(33)

2

Pembangunan sektor pertanian dan pedesaan di Indonesia, pernah mencoba mengaplikasikan beragam model-model adaptasi pembangunan pertanian padi. Satari (2002) mencatat, setidaknya sejak 1963/1964, pemerintah mulai mencoba menerapkan model bimbingan masyarakat (Bimas), dengan penekanan pada peningkatan produksi beras. Hasilnya, produksi beras dapat ditingkatkan lebih dari 10% pertahun. Kuncinya, sekali lagi menurut Satari, terletak pada bantuan dan sokongan dari semua instansi, termasuk adanya tekad dari pimpinan nasional, diantaranya, untuk mewujudkan jumlah alokasi anggaran pertanian yang memadai.

Tekad pimpinan nasional itu, pernah diwujudkan pada tahun 1981-1982, dengan alokasi anggaran Pertanian menduduki rangking tertinggi dalam APBN, yakni 17% dari total APBN (Nitisastro 2009). Kondisi keuangan negara juga sangat memungkin pada masa itu karena “oil boom”, sehingga dapat memberikan pendanaan yang memadai untuk berbagai program pendukung, seperti mensukseskan “revolusi hijau”, pemberian kredit, program subsidi pupuk, dan pembangunan jaringan pengairan secara intensif. Rangkaian kebijakan tersebut berhasil menjadikan bangsa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Bappenas 2009).

Sejak pertengahan periode 1990-an sektor pertanian tidak lagi mampu menjadi pendukung tumbuh-kembangnya perekonomian Indonesia hingga pasca krisis moneter 1997 (Martin and Warr 1993; Booth 2002; Muslim 2002; Fuglie 2004; Druska and Horrace 2004; Sastrosoenarto 2006). Menurut Darsono (2008), kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari gejala rendahnya anggaran pertanian, termasuk prasarananya. Selain itu, terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang cenderung “terlalu cepat berpaling” pada program agroindustri – industrialisasi yang padat modal.

Penurunan anggaran pembangunan di sektor pertanian, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand. Selama periode 1980-2005, alokasi belanja pemerintah pusat untuk sektor pertanian mengalami penurunan konsisten di tiga negara tersebut. Indonesia dari 16,04% menurun menjadi 2,96%, Malaysia juga turun dari 7,09% menjadi 2,88%. Thailand turun dari 10,24% menjadi 5,65%


(34)

3

(Darsono 2008). Berdasarkan fakta tersebut, Braun dan Greenwood (2007) mensinyalir pemerintah di Asia Tenggara yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, semakin menjauhi petaninya. Dalam kajian agraria, hal ini dikenal sebagai de-agrarianisasi (Soetarto 2010).

Gejala rendahnya anggaran sektor pertanian di Indonesia ini justru terjadi ketika jumlah populasi rumah tangga petani (RTP) meningkat tajam selama tiga periode sensus pertanian yakni dari 15.174.098 jiwa pada 1983, meningkat menjadi 19.713.744 jiwa pada 1993 dan kembali meningkat pada 2003 menjadi 24.868.675 jiwa (Sensus Pertanian 1983; 1993; 2003). Peningkatan RTP ternyata juga ditandai oleh peningkatan lahan pertanian sawah yang pada masa Orde Lama, yakni tahun 1961, luasannya baru mencapai 6,867 juta Ha, selanjutnya bertambah menjadi 8,135 juta Ha pada masa awal Orde Baru, yakni pada tahun 1970, dan kembali meningkat menjadi 9,764 juta Ha beberapa saat setelah swasembada, tahun 1984. Hingga pada masa akhir kejatuhan Orde Baru, luas sawah meningkat hingga mencapai 11,141 juta Ha. Gejala ini terus berlanjut hingga tahun 2007 dengan luasannya mencapai 12,166 juta Ha (FAOstat 2011).

Anggaran pembangunan pertanian yang menurun di Indonesia, terlihat pada data time series APBN. Pada tahun 1981/82, anggaran pembangunan sektor pertanian mencapai 17% dari APBN (Nitisastro 2010), namun, dibandingkan dengan APBN 2011, Pemerintah hanya mengucurkan anggaran pertanian sejumlah 1,3 % dari APBN (Dep.Keu 2011). Meskipun jika dilihat dari tahun 1996-2011, anggaran terus meningkat, seperti pada tahun 1996 adalah Rp. 1,192 triliyun, kemudian meningkat pada tahun 2000 menjadi Rp. 2,044 triliyun rupiah dan pada tahun 2004 telah mencapai Rp. 2,990 triliyun namun, jumlah tersebut tidak lebih dari sekitar 2% dari APBN (Deptan 2004).

Rendahnya anggaran pertanian, juga disebabkan alokasi anggaran terfragmentasi pada beragam instansi Kementerian dan Lembaga. Menurut Dep.Keu (2007), sejak tahun 2002 Alokasi Anggaran Pertanian tersebar di 21 instansi Kementerian dan Lembaga, yang dikelompokkan menjadi 12 instansi, diantaranya seperti Depdagri, Deptan, BPPT, LIPI, Depag, Deperindag, Kementerian Koperasi dan UKM, Depnakertrans, KLH dan Dephut, Dep.PU, BPN, Depkes, dan Kementrian Daerah Tertinggal. Rata-rata nilai anggaran


(35)

4

pertanian selama periode 2002-2007 di berbagai instansi ini adalah 13,77% dari APBN.

Di tingkat pemerintah daerah, gejala rendahnya anggaran pertanian nasional tersebut, terjadi juga di Kabupaten Agam, yang merupakan salah satu

luhak nan tigo” dimana masyarakat Minangkabau berasal. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran sektor Pertanian dan Kehutanan serta sektor Sumberdaya Air dan Irigasi Kab.Agam antara tahun 1994-2010,1 yang menunjukkan hasil berfluaksi. Pada tahun 1994, alokasi anggaran sektor Pertanian berjumlah Rp. 55 juta. Alokasi anggaran ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain pada tahun yang sama, seperti sektor Perdagangan yang mendapat alokasi anggaran Rp. 108 juta, sektor transportasi mendapat alokasi dana Rp. 4,5 milyar, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan yang mendapat alokasi Rp. 1.7 milyar. Anggaran pertanian meningkat lima tahun kemudian, yakni tahun 1999, dengan alokasi anggaran mencapai Rp. 9 milyar, kemudian menurun kembali pada tahun 2002 dengan alokasi belanja Rp. 1 milyar kemudian kembali meningkat pada tahun 2008 dengan alokasi anggaran Rp. 8 milyar. Pada tahun 2010, alokasi sektor Pertanian tersebut mencapai Rp. 6,5 milyar saja.

Hal yang sama juga terjadi dengan alokasi dana infrastruktur pertanian, seperti pengairan. Prasarana pengairan yang termasuk dalam sektor sumberdaya air dan irigasi ini, pada tahun 1994 dan tahun 1995 tidak mendapat alokasi anggaran. Pada tahun 1999, sektor ini mendapat alokasi anggaran sebesar Rp. 9 milyar. Sedangkan Alokasi anggaran terbesar diperoleh pada tahun 2000 yakni sebesar Rp. 10 milyar, selebihnya, anggaran sektor ini berada di bawah angka tertinggi tersebut.

Rendahnya anggaran pembangunan sektor pertanian di Kab.Agam sangat ironi, mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian Kab. Agam mencapai 43,5 persen pada tahun 2010. Angka ini menunjukkan bahwa mata pencaharian utama masyarakat Minangkabau di Kab.Agam berada dari

1

Data MAKUDA yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Melalui situs http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/47 Dengan judul sub-link APBD Historis. Data yang ada hanya dari tahun 1994 hingga 2002. Tahun selanjutnya, 2003 hingga 2009 diolah dari penjabaran APBD Kab.Agam dan data 2010 kembali di olah dari data Makuda.


(36)

5

sektor pertanian.2 Sesuai dengan hasil PDRB, data angkatan kerja menunjukkan dari 208.577 jiwa yang telah bekerja, 133.121 jiwa diantaranya adalah mereka yang bekerja sebagai petani (Agam Dalam Angka 2010). Data Luas lahan pertanian pangannya pun mendukung pendapat bahwa sebahagian besar masyarakat Kab.Agam bekerja sebagai petani, dimana luas keseluruhan pertanian pangannya mencapai 68.014 Ha dari ± 81.500 Ha dari lahan yang dapat ditanami (Agam Dalam Angka 2010).

Lebih penting lagi, bagi Masyarakat Agam, serta Minangkabau pada umumnya, pertanian sawah bukan hanya sekedar masalah nafkah, tetapi juga berhubungan dengan kebudayaan dan keteraturan sosial. Beras yang dihasilkan oleh sawah tersebut umumnya masih merupakan salah satu unsur utama dari harta

yang dimiliki secara komunal, dengan penguasaan “ganggam ba untuak”3

(Syarifuddin 1984).4 Ekonomi sawah bersifat subsistensi itu telah memelihara kelestarian sistem Matrilineal Minangkabau (Kahn 1979), termasuk sistem otoritas tradisional (Manan 1995). Ketika terjadi pemberontakan pajak dan komunis di Minangkabau pada tahun 1908 dan 1926-1927 terhadap kolonial Belanda, salah satu penyebabnya adalah kebijakan Belanda yang “memaksa” petani Minangkabau merubah lahan sawah untuk menjadi lahan pertanian ekspor (Schrieke 1955).

Pada tataran politis, gejala rendahnya anggaran sektor pertanian ini juga cukup ganjil mengingat tiga hal, pertama, pada era otonomi daerah Kepala Daerah dan DPRD yang merupakan aktor-aktor penganggaran keuangan daerah (APBD) dipilih secara langsung oleh rakyat dalam jabatannya. Kedua, rakyat yang memilih anggota DPRD beserta Kepala Daerah tersebut, justru sebahagian besar adalah para petani. Petani subsistensi (Dobbins 2008) yang sebahagian besar masih mengolah lahan milik komunal, dimana lahan komunal tersebut menjadi penyangga sistem Matrilineal (Kahn 1979), berikut otoritas tradisional Minangkabau yang menyertainya (Manan 1995). Dengan kondisi kuatnya otoritas

2

Hasil wawancara bersama Bupati dan juga dijabarkan dalam situs resmi pemerintah Kab.Agam beritukut http://www.agamkab.go.id/?agam=berita&se=detil&id=836 (diakses hari Jum’at, 4 September 2010.

3

hal kelola, bukan hak milik

4Hak kelola. Pepatah menyebutkan, “airnya boleh di minum, buahnya boleh dimakan, batangnya


(37)

6

tradisional Minangkabau tersebut bagaimana Kepala Daerah dan anggota DPRD mendapat legitimasi ketika anggaran pertanian yang merupakan kebutuhan bersama mereka di alokasikan dengan tidak memadai. Ketiga, di era otonomi daerah ini pula terdapat UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional (SPPN), UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Pembangunan Nasional, yang mengharuskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran APBD dan APBN. Oleh karenanya, menarik untuk dikaji dan diangkat menjadi pertanyaan konseptual bagaimana APBD sektor pertanian-pedesaan ini direncanakan dan dianggarkan oleh Birokrasi Pemerintahan ketika tatanan keteraturan sosial dari kehidupan para petani masih kuat dilegitimasi oleh sistem Otoritas Tradisional Minangkabau.

Studi yang telah mengungkap terjadinya penurunan proporsi anggaran pertanian di Indonesia telah banyak dilakukan. Seperti disarikan temuan Darsono (2008), Pasaribu (2007), Arifin dan Rachbini (2005), Kasryno, Pasandaran dan Adiningsih (2001), Simatupang, Rusastra dan Maulana (2000) di atas. Namun, tidak banyak studi yang mencoba menelusuri bagaimana anggaran pembangunan pertanian yang rendah itu direncanakan dan dianggarkan pada era pemerintah daerah (Kab/Kota/Prov.) yang memiliki otonomi luas untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat (Usman dan Hermanto 2007).

Studi mengenai anggaran pembangunan pertanian, sebagaimana yang dimaksud, pada umumnya menjadi bagian agregat studi mengenai pengelolaan keuangan daerah. Studi pengelolaan keuangan daerah tersebut, telah banyak pula dilakukan seperti dilakukan oleh Sudjito (2008), Abdullah dan Asmara (2006), Halim dan Syukry (2011), namun kajian tersebut tertuju pada ranah penganggaran saja. Pada hal, pengelolaan keuangan daerah, khususnya penganggaran APBD, terdiri dari dua ranah yakni perencanaan dan penganggaran.

Studi yang telah dilakukan ini, mengkaji bagaimana kontestasi elite yang merupakan unsur otoritas tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan ketika proses Perencanaan dan Penganggaran APBD dilakukan. Studi ini menemukan bahwa, pertama, usulan yang merupakan kebutuhan petani


(38)

7

tersisih dalam proses Musrenbang berjenjang. Pada forum SKPD, Pemerintah Daerah selanjutnya hanya menjatah satu usulan program untuk masing-masing hasil Musrenbang Kecamatan. Hal ini sengaja dilakukan agar SKPD dan Pemerintahan Daerah tidak melanggar Undang-Undang No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Kedua, baik pada ranah perencanaan ketika proses Musrenbang dilangsungkan, maupun dalam ranah penganggaran ketika membahas KUA-PPAS dan RAPBD, suasana kedua ranah tersebut ditandai dengan kontestasi antar sesama elite Birokrasi Pemerintahan. Kontestasi terjadi di antara SKPD, TAPD DPRD, maupun di antara DPRD. Ketiga, prasarana (infrastruktur) seperti jalan Nagari dan Jorong, pengairan (irigasi), pendidikan, serta sarana ibadah menjadi prioritas, karena dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk Nagari. Program pembangunan pertanian yang menuntut pengorbanan harta pusaka, serta hanya dapat dinikmati sekelompok orang dalam Nagari, sangat dihindari dan mendapat hambatan, karena mengandung sengketa yang akan berdampak buruk pada hubungan antar kaum, dan suku.

Studi ini juga menemukan bahwa keteraturan sosial masyarakat di dalam Nagari-Nagari, masih pekat dilegitimasi oleh Otoritas Tradisional Minangkabau (OTM). Pekatnya pengaruh OTM, kemudian menjadi ”modal” bagi unsur-unsur OTM yang memiliki kedudukan tokoh adat, tokoh agama, kaum cendikia dan bundo kandung menjadi pengurus partai politik, calon Legislatif (Caleg) dan calon Kepala Daerah. Unsur OTM yang menjadi Caleg dan Calon Kepala Daerah ini kemudian didukung dan dipilih oleh orang Kampung dan Nagarinya agar dapat duduk menjadi anggota DPRD yang kemudian diberi peran sebagai ”pejuang

anggaran”, atau memperjuangkan Jorong dan Nagari yang diwakilinya agar

mendapat alokasi anggaran APBD. Temuan ini penting, mengingat perencanaan pembangunan partisipatif atau bottom up planning sebagaimana yang telah lama dicita-citakan, baik oleh negara maupun rakyat, selalu gagal karena lemahnya posisi tawar rakyat, dan ketidak pedulian elite. Di Kab.Agam, pada kajian ini, rakyat memiliki kisah sukses itu. Sehingga, pada daerah-daerah di mana otoritas tradisionalnya masih pekat, kisah sukses ini dapat di replikasi. Hanya saja, akibat euforia unsur-unsur OTM menjadi Caleg, suara rakyat Nagari kemudian


(39)

terpilah-8

pilah berdasarkan kelompok kekerabatan genealogis. Akibatnya, keterwakilan mereka dalam DPRD tidak representatif, sehingga alokasi anggaran yang berhasil diperjuangkan oleh utusan OTM, terdistribusi secara tidak merata dalam Nagari-Nagari di Kab.Agam.

Pada aras teori, kajian ini menemukan bahwa Birokrasi Pemerintahan patrimonial sebagai mana yang berlangsung di Pemerintahan Pusat (Crouch 1985; Webber 2006; van Klinken 2009), mengalami ubah sesuai ketika berdialog dan berkompromi dengan Otoritas Tradisional Minangkabau. Birokrasi Pemerintahan yang muncul kemudian adalah Birokrasi dengan ciri patrimonial (didominasi lelaki), namun memiliki ciri heterarki, bukan hierarkis dan relasi patronase sebagaimana layaknya birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial heterarki ini memperlihatkan bahwa para birokrat memiliki kepentingan partikular sehingga tidak impersonal, birokrasi pemerintahan menjadi ajang kontestasi antar sesama birokrat tanpa mengindahkan kedudukan dan wewenang.

Dalam ranah perencanaan dan penganggaran, birokrasi patrimonial heterarki ini ditandai dengan praktik kontestasi dalam tahap-tahap Musrenbang, penyusunan RKPD, KUA-PPAS, RAPBD dan APBD. Sehingga, program yang menjadi bagian APBD dapat naik dan turun di tengah jalan. Bahkan, ketika telah menjadi bagian dari APBD, program dapat berpindah tempat pengalokasiannya atau tidak terserap dalam pelaksanaannya, sehingga menjadi SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang cukup tinggi. Hal tersebut menunjukkan menyoloknya kontestasi antar sesama birokrat yang bersumber dari kepentingan partikular.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana interaksi dan ketegangan-ketegangan terentang antara Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dari masa kolonial Belanda hingga dilangsungkannya otonomi daerah?


(40)

9

2. Bagaimana peranan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD sektor pertanian-pedesaan?

3. Bagaimana kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD?

4. Bagaimana Birokrasi Pemerintahan di Kab.Agam menata dan mengelola pembangunan masyarakat lokal?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji interaksi antara Otoritas Tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan. Dari kajian terhadap interaksi keduanya diharapkan mendapat konsep-konsep untuk menutup celah-celah

“lubang kebocoran” Birokrasi Pemerintahan, khususnya bagaimana agar APBD ketika direncanakan dan dianggarkan dapat melibatkan serta mengakomodir kepentingan-kepentingan petani dan rakyat pada umumnya.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan dari masa ke masa di Sumatera Barat.

2. Menggambarkan secara analitis peran-peran dan hubungan keduanya dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran APBD

3. Mendapatkan kerangka persaingan yang menggambarkan hubungan keduanya ketika penganggaran APBD di laksanakan.

4. Mendapatkan kerangka bagaimana pembangunan masyarakat lokal ditata dan dikelola oleh program pembangunan yang dijalankan oleh Birokrasi Pemerintahan Daerah.


(41)

10

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan mencapai keempat tujuan penelitian tersebut, pada ranah praksis, dapat memberi masukan terhadap permasalahan Birokrasi Pemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran APBD. Khususnya memperkuat proses penyusunan, pembahasan dan penetapan APBD, sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan petani (rakyat) serta menjawab permasalahan mereka bersama dengan indikasi meningkatnya anggaran pertanian-pedesaan secara proporsional.


(42)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Studi tentang gejala dinamika interaksi antara Otoritas Tradisional Minangkabau dalam Birokrasi Pemerintahan ketika melakukan perencanaan dan penganggaran APBD sektor pertanian-pedesaan dapat dimulai dari tinjauan literatur mengenai konsep-konsep utama dalam studi ini, seperti konsep birokrasi, otoritas tradisional dan birokrasi patrimonial, Otoritas Tradisional Minangkabau, kontestasi elite dan Penganggaran APBD. Tinjauan ini berguna sebagai landasan teoritis dalam perumusan hipotesis pengarah dan kerangka pemikiran mengenai kontestasi elite Birokrasi Pemerintahan dengan Otoritas Tradisional Minangkabau dalam Birokrasi Pemerintahan, terutama dalam ranah perencanaan dan penganggaran APBD di Kab. Agam.

2.1. Birokrasi Legal-Rasional

Secara literal, istilah birokrasi mulai diperkenalkan oleh Baron de Grimm dan Vincent de Gournay semasa Revolusi Perancis (1760an). Konsep tersebut berasal dari asal kata “bureau” yang artinya meja tulis dimana para pejabat bekerja dibelakangnya pada saat itu. Pasca revolusi Perancis, istilah yang diperkenalkan kedua filosof Perancis tersebut mengalamai transliterasi, sehingga muncul varian kata bureucatie di Perancis, burocratie di Jerman, burocrazia di Italia dan bureaucracy di Inggris (Albrow 1989).

Istilah birokrasi, memiliki makna pejoratif sebagai organisasi yang rumit, gagal menempatkan tanggung jawab secara jelas, terlalu banyak pegawai, operasionalnya lamban, memiliki peraturan dan rutinitas yang kaku (Watson 1945). Weber tidak setuju dengan kesimpulan tersebut, menurutnya dalam level makro, apabila birokrasi dibawah supremasi hukum justru memberikan pemecahan terbaik terhadap makna pejoratif tersebut (Bendix 1972). Dalam organisasi birokrasi, tindakan sosial dirubah ke dalam tindakan terorganisir yang rasional (Weber dalam Humel 1982). Hal ini disebabkan, birokrasi adalah sebuah organisasi sosial yang (1) terdiri dari susunan birokrat yang terikat dengan peraturan dalam melaksanakan fungsinya, (2) terdapat pembagian kerja yang terspesialisasi, (3) di dalamnya jabatan disusun secara berjenjang, (4) penguasaan


(43)

12

keterampilan teknis (legitimasi diberikan karena penguasaan pengetahuan dan penguasaan teknis), (5) sarana produksi dan administratif tidak dapat (dimanfaatkan) dimiliki secara pribadi oleh birokrat (6), sumberdaya organisasi harus bebas dari siapapun (monopoli pejabat, pemimpin, penguasa), (7) tindakan, keputusan dan peraturan harus dirumuskan dan tertulis (Weber 1978).

Agar ketujuh prasyarat birokrasi tersebut dapat berjalan, anggota yang terlibat dalam birokrasi (birokrat) harus menerima pola-pola dominasi, baik oleh mereka yang mendomisi maupun oleh mereka yang tunduk pada dominasi (Morrison 1995). Pola-pola dominasi tersebut mencerminkan strukur otoritas, tetapi bukan kekuasaan. Weber mengidentifikasikan tiga tipe dominasi yakni, otoritas tradisional, kharismatik dan otoritas legal rasional.

1) Tipe otoritas tradisional, didasarkan pada kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi zaman dahulu yang kemudian dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kepercayaan yang telah mapan ini yang dipakai sebagai dasar memberi legitimasi kepada status pemegang otoritas. Alasan orang patuh serta taat pada pemegang otoritas berdasarkan prilaku yang diambil begitu saja (taken for granted). Alasannya, karena sejak dahulu juga seperti itu, atau karena mereka yang memegang otoritas tersebut telah dipilih berdasarkan peraturan yang harus dihormati sepanjang waktu. Hubungan antara pemimpin yang memegang otoritas dengan bawahannya merupakan hubungan pribadi. Ada kesetiaan pribadi untuk patuh dan taat pada pemimpin tersebut dan sebaliknya pemimpin berkewajiban secara moral untuk memperhatikan kebutuhan dari mereka yang dipimpin.

2) Tipe otoritas karismatik diyakini bahwa pemimpin, sebagai pemegang otoritas, memperoleh rahmat dari Tuhan. Sehingga dasar kepemimpinan mereka adalah kepercayaan bahwa si pemimpin memiliki hubungan khusus dengan yang Ilahi dan bahkan mewujudkan karakteristik Ilahiah tersebut pada dirinya. Kepatuhan para pengikut kepada pemimpin karismatik lebih dikarenakan identifikasi diri secara emosional dan komitmen terhadap nilai-nilai yang diajarkannya.


(44)

13

3) Otoritas Legal-Rasional adalah otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal.

Dari ketiga otoritas tersebut di atas, menurut Weber, hanya otoritas legal-rasional yang dapat berkembang dalam masyarakat Barat modern dan hanya dalam sistem otoritas legal-rasional itulah birokrasi dapat berkembang optimal. Masyarakat lain di dunia yang tetap di dominasi oleh sistem otoritas tradisional dan kharismatik umumnya merintangi perkembangan otoritas legal-rasional ini. Meskipun demikian, Weber memprediksikan bahwa masyarakat lainnya, non Barat, cenderung akan berkembang menuju sistem otoritas legal-rasional (dalam Ritzer dan Goodman 2005).

Pengertian birokrasi Weber seperti tersebut di atas, dalam penelitian ilmu Sosiologi, dapat digunakan untuk tiga tujuan, pertama, sebagai penanda sejarah birokrasi modern, dimana menjadi indikator perubahan sosial. Kedua, sebagai sindroma perubahan sosial, serta ketiga, sebagai masalah spesifik birokrasi dalam negara-negara modern (Bendix 1972), Terkait tujuan ketiga, Weber secara eksplisit, telah menjelaskan kemungkinan menjadi masalahnya birokrasi sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (dalam Beentham 1996). Ini tercermin ketika Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya, yakni pertama, birokrasi dianggap sebagai instrument teknis (technical instrument). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan independen dalam masyarakat. Dengan catatan birokrasi mempunyai kecenderungan melekat penerapan fungsi sebagai instrument teknis tersebut. Ketiga, Jika para birokrat tidak mampu memisahkan kepentingannya dari kepentingan dimana mereka menjadi bagian dari mereka (kepentinga-kepentingan khusus), maka birokrasi akan berjalan tidak sebagaimana mestinya (out of function). Elemen kedua dan ketiga, dari birokrasi Weberian tersebut, mengandung pandangan Weber mengenai peranan kepentingan khusus seperti otoritas tradisional dalam Birokrasi. Terdapat faktor politik yang bisa mempengaruhi tipe ideal birokrasi, sehingga mendegradasi birokrasi Weberian.


(45)

14

2.2. Otoritas Tradisional dan Birokrasi Patrimonial

Max Weber (1978) menjelaskan patrimonialisme sebagai salah satu bentuk dominasi dari otoritas tradisional. Pijakan dasarnya adalah pemahaman patrimonial dapat ditelusuri pada penjabarannya mengenai Otoritas Tradisional. Bagi Weber, sebuah otoritas akan disebut tradisional jika ada legitimasi yang bersumber dari kekuasaan dan peraturan yang sudah sangat tua dan suci. Para pemimpin dipilih menurut peraturan tradisional dan dipatuhi berdasarkan status tradisional mereka (Eigenwurde). Tipe pengaturan ini, berdasarkan loyalitas personal yang dihasilkan dari pelajaran-pelajaran yang di tanamkan semenjak kecil (commons upbringing). Penggunaan otoritas dilekatkan pada pemimpin secara individual, dimana para pembantu pemimpin tersebut bukanlah seseorang yang digaji, sebagaimana pegawai dalam konteks birokrasi modern. Ia hanya sebagai seorang asisten pribadi (personal retainer) yang loyal dengan tuannya. Kemampuan dan hak untuk memerintah diwariskan melalui keturunan dan itu tidak berubah, juga tidak memfasilitasi perubahan sosial. Kecenderungan tidak rasional dan tidak konsisten, serta melanggengkan status quo. Penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan norma-norma tradisional dianggap tidak mungkinkan. Otoritas tradisional biasanya diwujudkan dalam feodalisme. Dalam struktur murni patriarkal, "hamba secara pribadi tergantung pada tuan" (Tuan-Budak), sedangkan pada sistem feodalisme, para pelayan bukan budak penguasa tetapi laki-laki independen, namun dalam Patriakal dan feodalisme tersebut, sistem kekuasaan tidak berubah atau berevolusi.

Patrimonialisme, awalnya itu berpusat pada struktur keluarga, khususnya pada otoritas ayah dalam keluarga, dengan demikian bersifat patriarki (Weber 1978), kemudian bentuk pemerintahan serupa menjadi proyeksi dari patriarki kepada seperangkat hubungan sosial yang lebih luas. Ada dua bentuk patrimonialisme dalam analisis Weber, yakni pertama, bentuk patrimonialisme dicirikan oleh struktur atas-bawah, contohnya relasi sosial kaisar atau sultan dengan kasim atau pelayannya. Kedua, bentuk lain dari patrimonialisme adalah Feodalisme Eropa Barat, seperti terdiri dari aristokrasi ksatria. Bentuk feodal patrimonialisme akhirnya berkembang menjadi monarki konstitusional. Argumen Weber adalah bahwa seiring dengan berkembangnya modernitas, bentuk-bentuk


(46)

15

patrimonial tradisional birokrasi pemerintahan akhirnya akan berubah menuju rasionalisme birokrasi kapitalis modern sebagai prinsip utama Birokrasi Pemerintahan.

2.3. Birokrasi Patrimonial di Indonesia

Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki akar sejarah patrimonialisme yang cukup kuat, yang oleh David Brown disebut sebagai “neo -patrimonialisme (Brown 1994). Kekuasaan neo-patimonialisme memiliki karakteristik bahwa ikatan personal antara pimpinan dan bawahan atau lembaga yang dipimpin, bukanlah merupakan ikatan struktural-organisasional, tetapi lebih pada bekerja atas dasar kesetiaan personal para anggota organisasi. Akibatnya, kinerja seorang pegawai di sebuah lembaga sangat ditentukan oleh figur-figur pimpinannya, bukan atas dasar kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai staf.

Sistem relasi kekuasaan memiliki pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi anggota masyarakat yang dipimpinnya. Sementara itu, masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan dan kemalangan berada di tangan sang pemimpin atau patron. Pola relasi semacam ini pada umumnya berkembang subur di sejumlah negara yang memiliki sejarah kerajaan yang kuat, seperti Indonesia. Di zaman kerajaan, seorang raja diperlakukan sebagai pihak yang dilayani oleh rakyatnya. Raja juga menjadi pusat dari seluruh rangkaian kekuasaan yang berhak menikmati kesejahteraan akibat dari kekuasaan yang digenggamnya itu.

Perbedaan patrimonialisme dengan neo-patrimonialisme adalah jika patrimonialisme dicirikan oleh keterpisahan antara raja (pemimpin) dari masyarakatnya dalam hal menikmati kesejahteraan dan keamanan sosial, maka dalam masyarakat neo-patrimonialisme seorang pemimpin dan yang dipimpin bersama-sama menikmati kesejahteraan dalam sebuah kekuasaan. Hal ini terjadi karena mobilisasi masyarakat menentukan pola relasi di antara keduanya, di mana dalam masyarakat neo-patrimonial terdapat motif simbiosis mutualisma antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Seorang pemimpin menyediakan kesejahteraan, sementara rakyat yang dipimpin menyediakan loyalitas kepada pemimpinnya. Begitu seorang pemimpin tidak mampu lagi menjamin


(47)

16

kesejahteraan kepada rakyatnya, maka yang pihak kedua (rakyat) memutus loyalitas politiknya kepada sang pemimpin. Sebaliknya, begitu rakyatnya tidak lagi memberikan loyalitas kepada pemimpinnya, maka sang pemimpin memutus mata rantai kesejahteraan kepada mereka yang tidak loyal.

Menurut Webber (2006), budaya politik di Indonesia lebih mengarah pada nilai-nilai patrimonial. Oleh karenanya, jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasi posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal. Terdapat beberapa pendekatan teoritis berbeda yang bisa digunakan untuk menganalisa bagaimana politik dan birokrasi patrimonial berjalan, pertama, pendekatan State Qua State (Anderson, 1983) . Pendekatan ini lebih menekankan pada pihak negara, dimana kebijakan yang dihasilkan merupakan represenntasi kepentingan negara daripada untuk kepentingan rakyat. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kepentingan rezim ini digambarkan terpisah dari kepentingan rakyat dan tidak juga bertanggungjawab kepada rakyat. Umumnya kebijakan yang diambil merupakan refleksi dari kepentingan negara.

Pendekatan lain adalah pendekatan negara birokratik dan patrimonial. Negara birokratik dipahami sebagai negara dimana para elite birokrat dalam menentukan kebijakan tidak dibatasi oleh kepentingan rakyatnya. Karakteristik utama dari Negara birokratik adalah patrimonial, dimana penguasa bergantung pada kelompok elit untuk mempertahankan posisinya. Jackson (1978) adalah analis pertama yang mengintepretasikan politik Orde Baru dari perspektif ini. Ia menggambarkan politik Indonesia, ketika membuat kebijakan, secara eksklusif hanya dimiliki oleh birokrasi dan militer. Rakyat hanya berpartisipasi pada penerapan kebijakan dalam level yang rendah. Menurut Jackson, rezim Soeharto telah berhasil mengembangkan birokrasi pemerintahan patrimonialisme seperti pada masyarakat Jawa kuno.

Birokrasi-Otoritarianisme, dapat diangkat menjadi salah satu pendekatan dalam memahami birokrasi pemerintahan di Indonesia. Perspektif teoritis ini dibangun berdasarkan argumen King (1982) yang memahami politik Indonesia sebagai rezim birokrasi-otoritarianisme. Konsep tersebut dipegaruhi oleh studi


(48)

17

O`Donnel (1973) mengenai pengalaman sejumlah negara Amerika Latin era 1960-an hingga 1970-an, ditandai dengan terjadinya pergantian dominasi politis kepada militer yang mengakibatkan runtuhnya demokrasi. Munculnya birokrasi otoritarianisme adalah ekses dari kelompok bisnis besar (konglomerat nasional dan multinasional) yang secara tidak langsung mendominasi kebijakan dalam negara.

Lebih lanjut menurut O’Donnel (1973), terdapat lima karakteristik ciri

birokrasi otoritarianisme, pertama, birokrat terdiri dari koalisi Militer, teknokrat sipil dan kapitalis konglomerasi. Kedua, mengutamakan pendekatan keamanan melalui kekerasan Negara dalam mengamankan kebijakan ekonomi. Ketiga, mengontrol lembaga dan aktivitas politik. Keempat, sistem ekonomi bersifat oligopoli, cenderung mengutamakan akumlasi modal. Kelima, depolitisasi dan menekan isu politik.

Penjelasan yang cukup relevan dengan gejala politik era Orde Baru

tersebut, menyebabkan King (1982) kemudian mencuplik hasil studi O’Donnel

dalam kajiannya mengenai birokrasi otoritarianisme di Indonesia. Beliau kemudian mengajukan hubungan kausalitas antara transformasi politik, yang bertujuan mencapai Negara maju, dengan bertumpu pada pertumbuhan kapitalisme dan industrialisasi di era Orde Baru.

Menurut King, munculnya pemerintahan korporatisme di Indonesia, berawal dari peran Negara yang sangat dominan dan otonom dalam menentukan arah pembangunan dan mendistribusikan kekuasaan. Negara membutuhkan penggerak roda ekonomi dengan dasar teori ekonomi “menetes kebawah” (trickle down effect). Teori ini menjelaskan bagaimana sebuah pertumbuhan akan berpengaruh pada kemakmuran sebuah Negara, dan pertumbuhan itu bertumpu pada sekelompok pelaku ekonomi (kapitalis) yang kemudian menjadi konglomerasi, yang kemudian menyediakan pekerjaan bagi rakyat dan sumber dana bagi Negara. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, birokrasi otoritarianisme dibutuhkan.

Teori lainnya dalam memahami birokrasi pemerintahan di Indonesia, sepeti yang dikemukakan oleh Robinson (1986). Menurutnya, birokrasi pemerintahan Orde Baru era 1970-an hingga 1980-an mengambil bentuk birokrasi


(49)

18

patrimonial. Birokrasi ini, laksana lembaga perkawulaan, di mana patront adalah tuan, majikan atau juragan, dan client adalah abdi. Hubungan antara tuan-abdi bersifat ikatan pribadi, dianggap mengikat seluruh hidup dan berlangsung seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan. Pengorganisasian birokrasi ke dalam struktur patron-klien, merupakan mekanisme untuk mencapai akses berburu rente (khususnya, ekonomi).

Birokrasi patrimonial ini kemudian melahirkan Kaum kapitalis di Indonesia hingga kini. Kelompok kapitalis ini merupakan birokrat pemerintahan dan yang terkait hubungan dengan birokrat, seperti para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta para pedagang Cina yang memiliki hubungan kolegial. Kelahiran birokrat, berikut kolega, anak saudara, adalah sebagai berasal dari penguasaan dan monopoli, kontrak serta konsesi dalam proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Dari sini mereka berkembang menjadi Kaum kapitalis, hingga saat ini terkenal.

2.4. Otoritas Tradisional Minangkabau

Manan (1995), mengadaptasi pandangan Weber mengenai otoritas tradisional tersebut, ketika mengkaji masyarakat Minangkabau. Menurutnya, Otoritas Tradisional Minangkabau merupakan unit teritorial tertua yang bersifat otonom yang secara berkesinambungan terus dipelihara. Otoritas Tradisional Minangkabau memiliki tiga karakteristik yang membedakannya dengan pandangan Weber (1978), yakni, pertama, Nagari-Nagari mirip negara-negara mini yang satu sama lainnya otonom. Nagari-Nagari ini menunjukkan keberadaannya hingga kini, tanpa terpengaruh dengan adanya pergantian kepemimpinan. Kawula Nagari tidak dilihat sebagai saudara, tetapi sebagai bagian dari warga yang dipimpin oleh pejabat resmi, para spesialis, dan dewan-dewan. Dewan Nagari memiliki kekuasaan tertinggi dalam memutuskan kebijakan yang dibutuhkan untuk kepentingan Nagari, dipilih dan memiliki masa kepemimpinan yang terbatas.1 Para pemimpin tersebut memilki deskripsi tugas yang telah

1

Beberapa sumber informan tokoh adat menyebutkan dulunya, semasa mereka kecil di Kampung, anak-anak dalam setiap ke luarga Paruik telah dipilih salah satu mamaknya untuk menduduki jabatan mamak rumah (Tungganai) kelak. Pemilihan didasarkan pada observasi bertahun-tahun terhadap anak-anak dalam Paruik, mana yang memiliki bakat pemimpin dan mempunyai kecenderungan membela Paruiknya. Setelah terpilih, biasanya calon pemimpin (ninik-mamak) ini


(50)

19

ditentukan secara jelas. Selain memiliki kekuasaan yang terbatas, jika dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya, pemimpin dapat diganti.

Kedua, pengambilan keputusan, baik dalam sengketa maupun di luar sengketa, dilakukan melalui musyawarah untuk menghasilkan mufakat. Ini merupakan salah satu ciri demokrasi Minangkabau. Ketiga, otoritas di dalam Nagari terpilah-pilah dalam beragam kepemimpinan, seperti Mamak Kaum, Mamak Rumah, Wali Nagari, Datuk Suku, Tigo Tungku Sajarangan, Tigo Tali Sapilin. Oleh karenanya, otoritas yang terdistribusi di dalam Nagari memiliki kekuasaan terbatas. Lebih lanjut lihat gambar 2.1. Karakteristik Otoritas Tradisional Minangkabau.

Pendapat Manan (1995) mengenai karakteristik Otoritas Tradisional Minangkabau, harus diterima secara kritis, terutama karakteristik kedua berlakunya demokrasi. Hal ini dianggap perlu karena telah ada penelitian yang dilakukan oleh Benda-Beckman (1984) yang menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip pengambilan keputusan melalui musyawarah menuju mufakat, secara

berjenjang naik-bertangga turun” untuk mencari kebenaran, baik dalam situasi sengketa maupun tidak dalam sengketa, telah goyah. Goyahnya tangga menuju mufakat itu disebabkan oleh masuknya anasir-anasir dari luar yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dalam adat Minangkabau. Perubahan tersebut seperti masuknya Islam ke Minangkabau (Abdullah 1966; Kato 1982; Dobbins 2008), yang kemudian mempengaruhi hukum Adat Minangkabau seperti perkawinan, perceraian, hibah, wasiat dan wakaf.

mendapat asuhan langsung secara khusus dari mamak tersebut. Mendapat perlakukan khusus, dan tidak diperkenankan merantau baik untuk alasan ekonomi atau pendidikan. Namun, kini di Tabek panjang mekanisme ini tidak terjadi lagi.


(51)

20

Otoritas Tradisional Minangkabau

Nagari Otonom

Laksana Negara Mini Demokrasi DesentralisasiOtoritas

Unit Politik Kepemimpinan

Kepercayaan & Pelayan Masy. Memiliki Tugas Yang Jelas Kekuasaan Terbatas Sirkulasi Pemimpin Berkesinambungan Pejabat

Resmi Spesialis Dewan

Terdapat Mekanisme Tradisional Wali Nagari KAN Dll Ninik-Mamak Ulama Dubalang dll Suku Nagari Kekuasaan Tertinggi Semua Sama Di Mata Adat Musyawarah Mufakat Sesuai Dengan Perkembangan Zaman

Adat Agama Ilmu

Tigo Tali Sapilin Tiga Tungku Sajarangan

Ulama

Penghulu Cendikia

Semua Orang Sama di Mata

Tuhan Anggota

= Warga 1

2 3

Sumber: Diadaptasi dari Manan 1995

Gambar 2.1. Karakterisitik Otoritas Tradisional Minangkabau

Perubahan lainnya, yang merupakan temuan penelitian adalah bahwa pengaruh kolonial Belanda juga cukup menyolok terhadap terjadi perubahan prinsip pengambilan keputusan demokratis di Minangkabau (Benda-Beckman 1984). Pengaruh tersebut adalah kebijakan kolonial Belanda menerapkan hukum-hukum yang dianutnya (hukum-hukum kolonial Belanda), dan untuk tujuan menegakkan hukum tersebut diberlakukan organisasi peradilan, di luar peradilan adat. Sehingga, terdapat tiga hukum sekaligus yang berlaku (legal pluralism) di Minangkabau. Pemberlakuan hukum yang plural tersebut mengakibatkan pengambilan kata putus dalam penyelesaian sengketa menjadi sulit terlaksana, karena, kalah dalam penyelesaian ranah adat, pihak yang merasa tidak puas akan membawanya pada ranah pengadilan Negara, begitulah seterusnya hingga penyelesaian sukar diperoleh.

Hal lain, yang juga turut menyebabkan robohnya sistem musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan, adalah karena kebijakan kolonial Belanda


(52)

21

yang menghentikan tradisi “gadang manyimpang”2 pada kelompok genealogis matrilineal pada tingkat Suku. Sehingga, kelompok genealogis matirilineal pada tingkat Suku hingga ke bawah menjadi “tambun” (banyak jumlah anggotanya) dan pengambilan kata putus pada musyawarah menjadi sulit dilakukan karena terlalu banyak orang yang harus diminta pendapat dan persetujuannya.

Pendapat Keebet tersebut, khususnya mengenai robohnya musyawarah menuju mufakat sebagai ciri demokrasi di Minangkabau, mendapat kritik tajam dari ilmuwan sesudahnya. Temuan dan kesimpulan Keebet ini masih sulit di generalisasi, sebab hakikatnya Nagari laksana Negara-Negara mini. Sehingga adat hanya berlaku dalam Nagari (Adat Salingka Nagari), setiap fenomena dan gejala yang kita temukan dalam sebuah Nagari, akan berbeda hakikatnya dalam Nagari lain. Di dalam Nagari, semua unit sosial terpilah-pilah, sebagaimana menurut simpulan Hadler (2010) , dengan kutipan;

Minangkabau adalah suatu contoh sempurna dari apa yang disebut Heterarki, yakni suatu masyarakat atau sistem politik yang didasarkan bukan pada hierarki tapi pada pluralisme dan multiplisitas bentuk-bentuk politik yang lebih kecil dan berulang-ulang, dengan Nagari dan Kampung sebagai politas-politas inti. Pejabat-pejabat adat dan keagamaan yang banyak dan tampaknya mubazir, serta konsep adat yang berubah-ubah dan bersifat lokal, persis itulah yang orang temukan di Minangkabau.

Oleh karenanya, apa yang ditemukan oleh Benda-Beckman (1984) di Canduang Koto Laweh (CKL), belum tentu relevan pada Nagari lainnya. Pelly (1994) turut mengkritisi studi tersebut, bahwa di dalam adat Minangkabau perubahan adalah suatu yang niscaya, mereka tidak anti perubahan. Namun, perubahan dilakukan untuk mempertahankan eksistensi adatnya, atau yang baru di adaptasi dalam rangka untuk mempertahankan yang lama.

Jika demokrasi adalah bagian dari adat, maka adat Minangkabau memiliki tingkat resistensi yang tinggi (Hadler 2010). Hal ini terlihat dari peristiwa perang Paderi yang ingin mengganti Adat Minangkabau dengan agama Islam sebagai

2

cara kerjanya mirip pembelahan sel. Dimana pada Suku-Suku yang telah membesar, di dalam Nagari, kemudian memecah kelompoknya kedalam sub-sub kelompok baru. Baik melalui pergi merantau mencari lahan baru, maupun memecah diri dengan membentuk (memberi nama baru) pada wilayah tempat tinggal mereka, yang kemudian menjadi cikal bakal nama Suku baru.


(53)

22

dasar hukum dan acuan bertindak, namun mendapat pertentangan. Sehingga, tindak kekerasan komunal dalam bentuk perang saudara tidak terhindarkan dan terjadi. Gejala ini menunjukkan, agama saja ditolak untuk menggantikan secara utuh Adat, apalagi Birokrasi Pemerintahan. Kini, walaupun secara fisik telah berakhir perang Paderi, namun dalam kehidupan sehari-hari terus berinteraksi dinamis, tanpa saling meniadakan di antara satu dengan yang lain.

Secara empiris, kesimpulan Hadler ini mendapatkan relevansinya ketika pada tahun 2010 dan 2011, kelompok Gebu Minang berkeinginan untuk mengadakan Kongres Kebudayaan Minangkabau. Kongres ini bertujuan untuk menggagas dan menghidupkan kembali Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendikan Kitabullah (ABS-SBK) agar diberlakukan kembali pada seluruh Nagari di Sumatera Barat. Pelaksanaan ABS-SBK ini mengambil landasan

Al-Qur’an dan Hadist, sebagai dasarnya.3

Artinya, perilaku, individu maupun kelompok dalam Nagari mengacu pada kedua Kitab pegangan umat Muslim tersebut. Konsekuensinya, jika dipraktikkan, akan merubah sendi-sendi adat mulai dari penguasaan tanah, pola pewarisan, sistem pagang gadai, pengelolaan tanah serta penarikan garis keturunan. Bahkan, bentuk kekeluargaan akan tergerus oleh nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist, dan ini ditentang oleh Kaum adat. Sehingga, rencana kongres tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra, layaknya pada zaman Paderi.4

Diskursus kongres Kebudayaan Minangkabau mencerminkan, pertama, bahwa, dua kelompok tersebut (Kaum adat dan Kaum agama) ternyata masih hidup di dalam Nagari-Nagari, dan menjadi bagian dari adat Minangkabau. Kedua, upaya-upaya menjaga keberlangsungan adat Minangkabau terus diupayakan oleh masyarakatnya.

Batasan konsepsi Weber dan Manan, tentang Otoritas Tradisional, mengandaikan satu ciri pokok mengenai Otoritas Tradisional Minangkabau, yakni para pemimpin dipilih dan dilegitimasi menurut peraturan-peraturan tradisional yang keberadaannya terus terjaga. Sehingga pemimpin dilegitimasi, dipatuhi

3

kerangka acuan kongres dapat di unduh di sini

http://grelovejogja.files.wordpress.com/2010/03/tor-kongres-kebudayaan-minangkabau-final.pdf

4Mengenai “panasnya” diskursus dan pro serta kontra tentang Kongres Budaya Minangkabau

dapat di searching dan browsing di Internet dengan kalimat pencari Kongres Kebudayaan Minangabau.


(54)

23

berdasarkan status tradisional mereka. Otoritas tersebut berada dalam Nagari-Nagari, yang memiliki otonomi atau laksana negara-negara mini. Di dalam Nagari kepemimpinan terdesentralisasi pada “tigo sapilin” (ninik-mamak, Alim Ulama dan Cendikia). Pemimpin dipilih secara demokratis, dapat dituahi dan dicilakoi, oleh karenanya, dapat pula diberhentikan dari kedudukannya.

2.4.1. Nagari

Nagari adalah suatu kawasan teritorial yang biasanyanya, minimal terdiri dari empat Suku.5 Nagari merupakan masyarakat adat yang otonom, memiliki pemerintahan dan adat sendiri6 yang mengatur tata kelakuan anggota masyarakatnya. Tumbuhnya sebuah Nagari adalah hasil dari proses, dari taratak menjadi Dusun, dari Dusun menjadi Koto, setelah Kotomenjadi Nagari.

Nagari, diperintah oleh Walinagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang anggotanya terdiri dari Penghulu Suku dan Kepala Kaum (Manan 1995). Ia merupakan sebuah kesatuan administratif yang mempunyai struktur politik (distribusi kekuasaan) dan sistem hukum serta peradilannya sendiri (Kato 1989). Bentuk pemerintahan, struktur politik dan hukumnya sangat dipengaruhi dua kelarasan yang terdapat dalam adat Minangkabau tradisional. Kedua kelarasan tersebut adalah, kelarasan Koto-Piliang, yang menganut paham Dt.Katumanggungan dan laras Bodi-Caniago yang menganut paham Dt.Perpatih nan Sabatang. Kedua datuk mitologi tersebut dipercaya yang menyusun adat Minangkabau tradisional (Syarifuddin 1984).

Laras Koto-Piliang, yang menganut paham Dt.Katumanggungan, bersifat otokratis. Menurut laras ini, Nagari diperintah oleh seorang Penghulu yang bertindak sebagai penguasa tunggal dimana lazim disebut sebagai Penghulu Pucuk. Dalam menjalankan tertib administrasi pemerintahannya, Penghulu Pucuk dibantu oleh Penghulu Empat Suku. Kedudukan dan pangkat Penghulu tersebut tidak sama.

5

Menurut adat, persyaratan sebuah Nagari: Ada balai serta Mejid, mempunyai Suku dan teritorial yang jelas, ada korong dan Kampungnya, ada pula huma dan ladang, ada jalan utama (jalan raya) dan ada pula tepian mandi, ada sawah dan ladang, ada halaman dan lapangan, dan adapula tempat pemakaman.

6

pemerintahan dan adat dalam satu Nagari berbeda dengan Nagari yang lain, seperti adat menyebutkan Adat selingkar Nagari.


(55)

24

Ketidaksamaan kedudukan dan pangkat Penghulu tersebut, terlihat pula pada posisi duduk Penghulu dalam balai adat (rumah adat tempat rapatnya para Penghulu), dimana terlihat bertingkat pula. Dalam berkomunikasi dengan rakyatnya, Penghulu dan Penghulu yang Empat Suku, dibantu oleh pembantu yang disebut sebagai Andiko.

Alur Komunikasi politik Laras Koto-Piliang ini, menganut prinsip berjenjang naik, bertangga turun (bersifat hirarkis). Untuk memahami alur komunikasi ini, marilah kita contohkan dengan mengambil di klasifikasi dikemukakan oleh Kato (1982) bahwa Nagari, terdiri dari Paruik dipimpin oleh Tungganai, Payung dipimpin oleh Penghulu, Suku yang dipimpin oleh Penghulu Suku dan Nagari dipimpin oleh Penghulu Pucuk. Jika pertikaian (apapun bentuknya) dalam masyarakat Nagari, maka lapis pertama yang menyelesaikan adalah Tungganai (mamak rumah). Jika Tungganai, oleh karena satu dan lain hal, tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut. Maka, pertikaian tersebut akan diselesaikan pada level Penghulu (payung). Jika Penghulu sebagai pemimpin payung tidak mampu menyelesaikan, maka akan diambil alih oleh Penghulu Suku. Ketidak mampuan para Penghulu Suku meyelesaikan pertikaian akan membawa serta Penghulu Pucuk. Kata putus (penyelesaian pertikaian) akhir ada ditangan Penghulu Pucuk ini, dan rakyat seluruh Nagari harus mematuhi dan menuruti apapun yang diputuskan olehnya.

Laras Bodi-Caniago, yang menganut adat Dt. Perpatih Nan Sabatang, lebih bersifat demokratis. Menurut laras ini, sebuah Nagari dipimpin oleh seorang Penghulu bersama dalam satu permusyawaratan, yang terdiri dari Penghulu-Penghulu Suku. Pangkat dan posisi duduk dalam balai ruangan adat para Penghulu relatif sejajar. Ini pula alasan utama, mengapa laras ini menganut azas duduk sama rendah, tegak sama tinggi.

Dalam berkomunikasi dengan rakyatnya, dilakukan secara langsung tanpa perantara, tidak ada posisi andiko disini. Dalam menyelesaikan munculnya sebuah permasalahan pun, diselesaikan melalui kerapatan seluruh Penghulu Suku, yang bertindak sebagai mahkamah tertinggi, dimana putusan yang dihasilkan tidak mungkin dibanding lagi. Implikasi dari perbedaan laras tersebut bukan saja pada perbedaan terhadap komunikasi politik atau arus pengambilan kata putus, namun


(56)

25

juga akan berdampak berbedanya penggantian posisi Penghulu dalam sebuah Kampung, payung maupun Kaum.

Dari gambaran ringkas tentang Nagari ini, hal yang perlu dicatat adalah bahwa semua tanah yang menjadi bagian dari wilayah Nagari adalah milik Nagari, Suku, Kaum yang menjadi warga dalam Nagari, musyawarah dan mufakat merupakan prosedur pengambilan keputusan yang paling utama.

2.4.2. Struktur Sosial Masyarakat Nagari

Struktur sosial masyarakat Nagari diorganisasikan dengan azas sistem kekerabatan matrilineal. Berdasarkan azas tersebut, kelompok kekerabatan yang terdapat dalam Nagari telah dibagi dalam beberapa tingkatan, yang berbeda antara Nagari yang satu dengan yang Nagari lain. Jika disederhanakan secara Antropologis (Manan 1995), maka kelompok kekerabatan yang mendiami Nagari-Nagari terdiri dari Suku, Kaum dan Paruik. Sebuah Suku terdiri dari lebih satu Kaum, sedangkan Kaum terdiri dari beberapa Paruik, dan Paruik biasanya terdiri dari tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam satu rumah, serta memiliki harta pusaka bersama. Masing-masing kelompok kekerabatan ini memiliki pemimpinnya sendiri, seperti Suku dipimpin oleh datuk Suku (Penghulu).7 Kaum dipimpin oleh Datuk Kaum8dan Paruik dipimpin oleh Tungganai (mamak rumah). Para pemimpin ini bertugas sebagai manager harta pusaka komunal.

Selain dari ibu kandung (Bundo Kanduang), anggota kelompok kekerabatan tersebut di atas (Suku, Kaum dan Paruik) terdiri dari kemanakan-kemanakan. Adat Minangkabau mengatur beberapa peranan kemanakan ini, yakni pertama, kemanakan di bawah dagu (bertali darah) yang merupakan keturunan langsung dari Kaum yang selanjutnya memiliki hak atas harta pusaka Kaum, baik dalam bentuk matrilineal (tanah, rumah, emas, perhiasan), maupun dalam bentuk non-material (Suku, gelar kebesaran). Kategori lain dari kemanakan

ini adalah, “kemanakan bertali adat” dan kemanakan “dibawah lutut” yang

keduanya, hubungannya tidak bertali darah. Ada disebabkan prosedur adat, maupun hutang budi.

7

Sebutan dapat berbeda antara satu Nagari yang satu dengan yang lain.

8


(1)

(2)

321


(3)

(4)

(5)

(6)