Aktivitas SOD diukur berdasarkan pengukuran aktivitas enzim secara tidak langsung, salah satunya dengan metode yang dikembangkan oleh Misra dan
Fridovich 1997. Metode ini berdasarkan kepada kemampuan penghambatan autooksidasi epinefrin menjadi adenokrom oleh SOD. Perubahan epinefrin
menjadi adenokrom menimbulkan warna coklat, makin besar kadar SOD sampel maka makin besar penghambatan dan makin kurang intensitas warna. Warna
coklat dideteksi secara spektrofotometri.
b. Enzim Glutation Peroksidase
Glutation Peroksidase merupakan selonoprotein sebagai active site, terdiri dari 4 sub unit protein yang dapat mengkatalis reaksi reduksi H
2
O
2
menjadi senyawa organik hidroperoksida ROOH Rice-Evan et al. 1991; Haliwell 1994.
Glutation peroksidase menggunakan glutation tereduksi GSH sebagai substrat. Glutation Peroksidase mereduksi hidroperoksida dan pada saat yang sama
glutation tereduksi mengalami oksidasi. Pada manusia, aktivitas glutation peroksidase sebanding dengan konsentrasi selenium Se plasma.
Glutation Tereduksi Glutation
L- γ-glutamil-cysteinyl-glisin merupakan tripeptida yang
mengandung gugus sulfuhidril -SH. Glutation merupakan salah satu sistem antioksidan, terutama berpartisipasi dalam penghancuran H
2
O
2
dan peroksida organik Greenwald 1985. Ada dua jenis glutation yaitu glutation tereduksi dan
glutation teroksidasi. Glutation banyak ditemukan dalam sitosol hati. Keberadaan GSH di dalam sel sangat diperlukan sebagi substrat glutation peroksidase dan
sebagai senyawa konjugat detoksifikasi xenobiotik pada reaksi enzim fase II Hodgoson Levi 2000.
c. Enzim katalase
Katalase merupakan enzim yang mengkatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air.
2H
2
O
2
Katalase H
2
O + O
2
Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Katalase pada mamalia disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap unit terdiri dari satu gugus hem
dengan inti ion ferri sebagai active site. Aktivitas katalase dihambat oleh senyawa
azida, sianida dan HOCl tapi meningkat dengan meningkatnya akumulasi H
2
O
2
Haliwell Gutteridge 1999. Pada manusia, katalase ditemukan di dalam darah, ginjal, limfa, pankreas,
otak, jantung, paru-paru, adipose, kelenjar adrenal dan konsentrasi tertinggi terdapat pada hati ± 1400 Umg protein Halliwell 1994 bersama-sama dengan
glutation peroksida Greenwald 1985. Pada organ dan jaringan ini katalase ditemukan di dalam peroksisom, mitokondria, dan retikulum endoplasma.
Hidrogen peroksida di dalam tubuh melalui dua mekanisme yaitu: 1. Pemecahan oleh katalase membentuk air dan molekul oksigen
2H
2
O
2
Katalase H
2
O + O
2
2. Pemecahan oleh glutation peroksidase dengan bantuan substrat glutation GSH- + H
2
O
2
GSH-Px GS + H
2
O Salah satu metode penentuan aktivitas katalase adalah metode kalorimetri
yang dikembangkan oleh Sinha 1972. Metode ini menggunakan zat warna bikromat sebagai indikator dimana ion bikromat dalam suasana asam dapat
direduksi oleh H
2
O
2
menjadi kromat. Perubahan warna yang muncul dibaca secara spektrofotometri pada panjang gelombang 570 nm. Satu unit aktivitas
katalase adalah banyaknya H
2
O
2
yang dipakai oleh katalase permenit.
Metabolisme xenobiotik dan detoksifikasi senyawa beracun
Toksikologi dapat didefenisikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari tentang zat-zat yang beracun. Namun pengertian ini terus berkembang seiring
dengan semakin kompleksnya kehidupan sosial masyarakat. Selanjutnya toksikologi tidak hanya dikaitkan dengan zat-zat yang beracun tetapi juga
mempelajari tentang pendeteksian, keberadaan, efek dan regulasi dari senyawa toksik Hodgoson Levi, 2000. Toksikologi berhubungan erat dengan cabang
farmakologi farmasi. Hal ini bisa dijadikan dasar pengetahuan tentang metabolisme senyawa asing atau yang lebih dikenal dengan xenobiotik Murray et
al. 1999. Xenobiotik merupakan senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh kita
dan bukan merupakan komponen gizi. Xenobiotik ini dikeluarkan oleh tubuh kita melalui proses detoksifikasi Hodgoson Levi, 2000.
Toksikologi pangan berhubungan erat dengan keamanan pangan karena makhluk hidup tidak lepas dari makanan. Berbagai macam makanan ternyata tidak
sepenuhnya bebas dari zat kimia toksik atau xenobiotik yang berada pada makanan sebagai zat tambahan makanan, pencemar makanan ataupun zat toksik
alamiah. Contoh xenobiotik pangan antara lain alkohol, flavon zat toksik alamiah, BHA antioksidan pangan, benzopiren yang terdapat pada daging
panggang dan lain sebagainya Donatus 2001. Timbulnya pengaruh bahaya atau efek toksik racun atas makhluk hidup
terjadi melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup menerima racun, berikutnya mengalami absorbsi, distribusi racun atau metabolitnya ke tempat aksi
yaitu sel sasaran atau reseptor yang ada dalam makhluk hidup. Di dalam aksi ini, kemudian terjadi reaksi antara racun atau metabolitnya ke tempat aksi sel sasaran
atau reseptor, dan berbagai peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Jadi
toksisitas suatu senyawa ditentukan oleh keberadaan yang meliputi kadar dan lama tinggal senyawa itu atau metabolitnya di tempat aksinya dan keefektifan
antar aksinya mekanisme aksi. Reaksi yang berlangsung juga tergantung pada kondisi makhluk hidup Donatus 2001.
Metabolisme senyawa beracun dapat didefenisikan sebagai perubahan hayati atau biotransformasi zat kimia toksik menjadi suatu metabolit yang secara
kimia berbeda dengan zat kimia induknya, dalam diri makhluk hidup. Hal ini mengandung arti bahwa pertama, di dalam tubuh zat kimia toksik tersebut
mungkin mengalami perubahan struktur molekul melalui mekanisme tertentu. Kedua, perubahan bentuk struktur tersebut akan mengakibatkan perubahan sifat-
sifat fisika-kimia yang berbeda dengan zat induk. Ketiga, bentuk ubahannya yang disebut bentuk metabolit yang memilki sifat fisika kimia yang berbeda dengan zat
induk. Keempat, akibat perubahan sifat fisika-kimia tersebut menyebabkan metabolit memiliki kelarutan dalam air atau lipid, aktivitas dengan jaringan atau
tempat aksi dan aktivitas intrinsik yang berbeda dengan zat induknya. Kelima,
hasil bersih berbagai perubahan biokimia tersebut adalah perubahan ketoksikan zat induk, sehingga respon toksik makhluk hidup terhadap racun juga akan
berubah Donatus 2001. Beberapa langkah biotransformasi xenobiotik dalam tubuh terlihat pada
gambar berikut:
Lipofilik tinggi Lipofilik
Polar Hidrofilik
Polar
Hidrofilik
Gambar 5 Biotransformasi xenobiotik di tubuh Blaauboer 1996 Hodgoson Levi 2000 menyebutkan bahwa mekanisme pergerakan bahan
toksik melewati membran-membran khususnya pada awal masukan, merupakan hal yang kurang menjadi perhatian dengan baik, meskipun sesungguhnya telah
XENOBIOTIK
Terakumulasi terutama dalam lemak
Reaksi Fase I
Bioaktivasi atau Inaktifasi Oksidasi, Reduksi, Hidrolisis
Reaksi Fase II
Bioaktivasi Konjugasi
Mobilisasi Pengeluaran dari tubuh Melalui Keringat
Sirkulasi Plasma melalui urin Enzim yang berperan: Sitokrom P-450
Flavin Containing Monooksigenase Prostaglandin Synthetase Cooxidase
Molibdenum Hidroxylase,dll
Enzim yang berperan: Glutation S-transferase
Metyl transferase Cystein Konjugate Lyase
N,O-Acyltransferase
dilakukan pada masalah khusus obat-obatan. Terdapat 4 mekanisme pokok yang memungkinkan bahan toksik untuk melintasi membran.
1. Transpor pasif. Mekanisme ini mendominasi hampir semua bahan toksik.
Pengangkutan pasif melibatkan pergerakan campuran-campuran melewati membran-membran lipid oleh difusi sederhana dengan koefisien pembagi air
lipid yang sebagian besar menentukan tingkat pergerakan. Campuran- campuran dalam bentuk yang telah diionisasi tidak menggerakan dengan
sangat cepat oleh difusi melalui membran untuk beberapa alasan. Pertama, bentuk yang telah diionisasi cenderung memiliki daya larut lipid rendah,
sebuah faktor yang sangat penting untuk difusi membran. Kedua, memungkinkan terjadinya interaksi ion antara xenobiotik, lipid, dan protein
dalam membran. 2.
Filtrasi. Seringkali pori-pori dalam membran memperbolehkan masuknya dengan berat molekul kurang dari 100 dalton. Molekul-molekul yang lebih
besar, bagaimanapun juga, dikeluarkan kecuali dalam banyak jaringan- jaringan yang penyerapannya tinggi, seperti ginjal dan hati. Karena
kebanyakan bahan toksik relatif bermolekul sangat besar, jalan kecil ini seringkali memiliki arti penting mekanisme penyerapan yang terbatas. Filtrasi
umumnya memiliki arti yang sangat penting dalam pembuangan bahan toksik, khususnya ginjal.
3. Transpor khusus. Sejumlah sistem pengangkutan khusus, terutama sekali pada
bidang gastro intestinal, membantu dalam pengangkutan campuran endogen melalui membran. Proses tersebut dapat membutuhkan energi dan
memungkinkan senyawa untuk melewati gradien konsentrasi transpor aktif atau mungkin tidak memerlukan energi dan tidak dapat menggerakkan
senyawa melewati sebuah tanjakan gradien pengangkutan yang difasilitasi. Meskipun hasilnya bisa jadi berbeda, mekanisme ini agak mirip dan telah
didiskusikan bersama. Pada kedua masalah ini, protein pembawa yang bergabung dengan bahan toksik telah diketahui. Protein ini membantu
pergerakan bahan toksik dari satu sisi membran ke yang lain, dan di lain sisi, bahan kimia berpisah dari protein, yang kemudian bebas untuk mengambil
molekul bahan toksik yang lain. Penetrasi seperti itu lebih cepat daripada difusi sederhana dan dalam hal pengangkutan aktif, dapat diproses di luar titik
yang berkonsentrasi sama pada kedua sisi membrannya. Mekanisme ini mungkin menjadi penting dan relatif jarang terjadi dalam
bahan toksik yang memiliki bahan kimia atau struktur menyerupai bahan kimia endogen yang berprinsip pada mekanisme pengangkutan khusus untuk
pengambilan fisiologi normal dan itu dapat menggunakan sistem yang sama. Sebagai contoh, 5-fluorouracil diangkut oleh sistem pengangkutan timidin.
Timah dapat dipindahkan secara cepat dengan sistem pengangkutan yang dilibatkan secara normal pada pengambilan kalsium. Sebagai mekanisme
penyerapan, sistem pengangkutan khusus ini banyak dimuat pada penyerapan gastro intestinal. Mekanisme ini menjadi lebih besar perannya dalam
pembuangan bahan racun, bagaimanapun juga pengangkutan khusus penting pada pemindahan xenobiotik dan metabolitnya. Sifat penting dari
pengangkutan khusus adalah mereka memperbolehkan pergerakan senyawa- senyawa dengan daya larut lipid lebih rendah, hal ini menyangkut senyawa-
senyawa yang biasanya diharapkan untuk bergerak sangat lambat melewati membran lipid yang sangat tinggi. Kebanyakan sistem pengangkutan aktif
dihubungkan ke energi yang menghasilkan enzim misalnya ATPase, dan kedua sistem pengangkutan aktif dan difasilitasi memperlihatkan sifat saturasi
dengan kata lain, saturasi dari ketersediaan protein pembawa oleh molekul bahan toksik. Dengan begitu, kinetik ilmu gerak dari sistem pengangkutan
khusus dapat dijelaskan lebih baik lagi dengan menggunakan model kinetik enzim Michaelis-Menton.
4. Endositosis. Pinositosis untuk cairan dan pagositosis untuk padat adalah
proses pengangkutan yang dikhususkan pada permukaan membran atau pengaliran disekeliling bahan kimia yang memungkinkan transfer yang lebih
cepat melalui membran. Hanya pada pemisahan kejadian seperti penyerapan dari karagen mol wt ~40.000 dalam usus memiliki mekanisme ini yang telah
ditemukan menjadi penting pada masukan awal. Setelah di dalam tubuh,
bagaimanapun juga endositosis adalah mekanisme yang sedikit umum dan penelanan senyawa di dalam paru-paru adalah umum pagositosis paru-paru
Berlangsungnya metabolisme senyawa asing di dalam tubuh, dapat terjadi di dalam hati, ginjal, usus, kulit, kelenjar kelamin, plasenta serta darah. Meskipun
hati merupakan organ utama dalam sistem biotransformasi, tetapi metabolisme senyawa xenobiotik juga dapat berlangsung pada jaringan-jaringan di luar hati,
misalnya saja darah Krovat et al. 2000. Setelah toksikan masuk ke dalam sirkulasi darah, maka toksikan tersebut akan didistribusikan atau disebar ke
seluruh jaringan tubuh manusia Donatus 2001. Menurut Hodgoson dan Levi 2000, cairan tubuh memegang peranan penting dalam pendistribusian toksikan
dalam tubuh yang telah diabsorpsi. Metabolisme seyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu,
toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu monoksigenase menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif
grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim- enzim fase dua konjugasi sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik
dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek
toksik bagi tubuh Hodgoson Levi, 2000.
A. Reaksi fase satu
Reaksi-reaksi fase satu meliputi monooksigenasi mikrosom, oksidasi mitokondria dan sitosol, kooksidasi dalam reaksi sintesis prostaglandin, reduksi,
hidrolisis dan hidrasi epoksida. Semua reaksi pada fase satu menghasilkan metabolit atau merubah toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi
dalam reaksi-reaksi fase dua dan mudah diekresikan baik secara langsung maupun tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu Hodgoson Levi, 2000.
Lebih lanjut, Donatus 2001 menjelaskan bahwa fungsi utama reaksi metabolisme fase I adalah mengubah struktur senyawa asing melalui proses
oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II.
Enzim yang berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I adalah enzim monoksigenase Sitokrom P-450. Berdasarkan percobaan yang
dilakukan oleh Omura dan Sato 1964, maka mereka mendefenisikan Sitokrom P-450 sebagai suatu protein heme yang mengandung satu molekul besi-
protoporfirin IX sebagai gugus prostetik atau gugus aktifnya. Nama sitokrom P- 450 diperoleh dari kenyataan bahwa sitokrom memberikan satu spektra resapan
maksimum pada panjang gelombang 450 nm, bila tereduksi dan terkompleks dengan karbon monoksida. Sifat ini khas diperantarai oleh adanya gugus tiolat
sebagai suatu ligan protein heme itu. Menurut Donatus 2001 Sitokrom P-450 menunjukkan selektivitas yang luas terhadap aneka ragam substrat. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya aneka ragam isoenzim sitokrom tersebut, yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam struktur rantai polipeptida dan kekhasan
reaksi yang dikatalisirnya. Induksi terhadap metabolisme fase I, terutama yang dikatalisir oleh
sitokrom P-450 mikrosomal memilki arti penting karena sistem ini sering membentuk metabolit perantara yang reaktif atau toksik Donatus, 2001.
Beberapa produk yang dibentuk oleh enzim ini berimplikasi pada penyebab penyakit kanker atau karsinogenik Shimada et al, 1996. Intermediet yang
terdapat dalam aktivasi dioksigen merupakan awal terbentuknya superoksida atau peroksida. Mekanisme aktivasi dioksigen diketahui sebagai tahap terakhir dari
katalisis P-450, yang dimulai dengan reduksi komplek dioksigen Benson et al, 1997.
Ada dua hal penting yang berhubungan dengan fungsi enzim sitokrom P- 450, yang pertama adalah enzim ini memiliki jalur yang kritis dan spesifik dalam
metabolisme senyawa-senyawa kimia endogenus. Kedua, Proses enzim ini merupakan pokok dari produk-produk alami, bahkan saat ini ditambah dengan
bahan-bahan kimia seperti obat-obatan dan xenobiotik lainnya dalam senyawa- senyawa non selektif Guengerich 1991. P-450 dan komponennya bisa ditemukan
di kulit, mukus, paru-paru, gastrointestinal. Selain organ-organ tersebut juga telah banyak dilakukan penelitian tentang keberadaan P-450, diantaranya di hati, ginjal,
plasenta, testis serta pada darah Hodgoson Levi, 2000.
B. Reaksi fase dua
Pada reaksi fase dua, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya yang diproduksi dalam fase satu, diubah oleh enzim yang spesifik menjadi
berbagai metabolit polar lewat konjugasi dengan asam glukuronat, sulfat, asetat, glutation atau asam amino tertentu lewat metilasi. Reaksi konjugasi ini membuat
molekul lebih bersifat dapat larut dalam air sehingga akhirnya dapat diekresikan ke dalam urin dan empedu Murray et al. 1999.
Reaksi fase dua lebih dikenal dengan reaksi konjugasi, menyangkut penambahan gugus polar ke senyawa asing. Reaksi fase dua merupakan reaksi
biosintetik, maka dibutuhkan energi sehingga reaksi dapat berlangsung. Reaksi penting pada fase II adalah reaksi konjugasi glutation karena sering terlibat dalam
penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yakni yang bersifat elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase
Donatus 2001. Glutation S-transferase merupakan suatu famili enzim yang mengkatalisir
tahap awal pembentukan N-asetilsisteina asam merkapturat yang terutama terdapat dalam sitosol testis, hati, ginjal, usus, kelenjar adrenal Donatus 2001.
Enzim ini berperan dalam binding, transport dan detoksifikasi komponen endogenus maupun eksogenus. Glutation S-transferase ditemukan dalam jumlah
yang besar pada hati, tetapi juga terdapat pada aliran darah terlebih lagi jika hati mengalami kerusakan Mulder et al 1999.
Sejumlah xenobiotik elektrofilik yang berpotensi beracun akan terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut:
R +
GSHO R – S - G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang
membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius Murray et al. 1999.
Induksi enzim detoksifikasi glutation S-transferase merupakan mekanisme pertahanan terhadap kanker. Prinsipnya peningkatan enzim glutation S-transferase
dapat mereduksi karsinogenesis melalui penguatan pembuangan elektrofil reaktif Kirlin et al. 1999. Analisis yang digunakan dengan menggunakan prinsip bahwa
GSH dapat berkonjugasi dengan 1-kloro-2,4-dinitrobenzene CDNB dengan adanya katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk dapat
diukur secara spektrofotometri Habig et al. 1974.
Metabolisme Senyawa Bioaktif
Metabolisme senyawa bioaktif seperti senyawa flavonoid dalam tubuh dipengaruhi oleh struktur kimia dan perlunya molekul itu mengalami konjugasi.
Meskipun bioavailabilitas flavonoid bervariasi antara flavonoid tipe satu dan yang lain, mulai dari antosianin yang sangat sedikit diserap dan isoflavon yang dengan
mudah diserap, jalur dalam mekanisme absorbsi pada umumnya sama untuk semua flavonoid. Perubahan melalui jalur metabolisme ditentukan oleh spesifitas
dan aktivitas transporter, spesifitas dan aktivitas metabolisme dan stabilitas flavonoid Meskin et al, 2004.
Senyawa flavonoid dalam tanaman biasanya dalam bentuk glikosida. Glikosida flavonoid yang diasup tubuh mencapai usus halus melalui jalur
pencernaan. Senyawa flavanol seperti katekin dan proanthosianin oligomer sebagian besar tidak terglikosolasi harus dideglikolasi. Deglikosilasi dapat terjadi
pada beberapa tempat dalam duodenum dan jejenum dalam lumen intestinal, brush border atau hidrolase intraseluler setelah terjadinya transport flavonoid ke
dalam enterosit. Deglikosilasi adalah perlakuan awal sebelum konjugasi oleh enzim yang terdapat dalam usus dan transport sampai serosol atau sisi mukosal.
Hal yang sama juga berlaku untuk isoflavon, aglikonnya dapat diserap dalam usus halus. Tahap awal proses absorbsi untuk flavonoid terglikosilasi dan isoflavon
adalah deglikosilasi oleh lactase phlorizin hydrolase LPH yang merupakan enzim yang terletak dalam bagian brush border dari usus halus yang bertanggung
jawab dalam hidrolisis laktosa Meskin et al 2004. Hasil dari reaksi deglikosilasi adalah aglikon bebas yang dapat berdifusi ke
dalam sel-sel epitel secara pasif atau secara difusi fasilitatif. Reaksi deglikosilasi ini adalah reaksi yang spesifik dan memiliki aktivitas yang besar. Reaksi
selanjutnya yang terjadinya adalah penyerapan atau absorbsi. Penyerapan glikosida flavonoid tidak dipengaruhi oleh perlakuan awal menggunakan
β- glukosidase dari mikroba diduga karena enzim LPH dalam usus halus
mengakatalis reaksi yang sama. Absorbsi aglikon dalam lumen tergantung pada keberadaan komponen-komponen lain dan juga karena kelarutan atau koefisien
partisi dari flavonoid. Mekanisme absorbsi alternatif yang terjadi melibatkan transpor glikosida flavonoid ke dalam enterosit dalam bentuk serapan melalui
fungsi transporter gula. Kedua jalur absorbsi menaikkan jumlah aglikon intaraseluler transient yang ditemukan dalam jaringan usus halus tikus setelah
reaksi fusi in vitro dengan glukosida quarcetin atau isoflavon Meskin et al, 2004.
Reaksi yang terjadi selanjutnya adalah konjugasi. Usus memiliki kapasitas konjugasi tertentu termasuk oleh glukoronosyl transferase atau UGTs dan
glutation transferase. Absorbsi di usus halus menentukan transfer flavonoid dari mukosa usus sampai darah Kuhnle et al 2000 dalam Setiawan 2006. Ditemukan
bahwa quercetin, katekin dan genistein sebagian besar adalah dalam bentuk glukoronidase. Enzim-enzim yang mengkatalis reaksi konjugasi di dalam usus dan
hati adalah UGT1A1 dan 1A8. Sebagian kecil flavonoid seperti katekin galloylasi dan isoflavon melewati konjugasi usus namun hanya dalam keadaan, dosis dan
waktu tertentu Meskin et al, 2004. Pada reaksi glukoronidasi selama absorbsi, beberapa flavonoid mengalami
metabolisme lebih lanjut. Pada tahap ini residu glukoronida dikeluarkan dan diganti dengan sulfat. Reaksi sulfitasi ini pada umumnya terjadi di liver. Hati
menerima flavonoid dari darah termasuk darah dari usus halus pada awal metabolisme. Berdasarkan percobaan perfusi secara invitro dan invivo pada tikus,
flavonoid dari usus halus terutama glukoronida yang mencapai liver secara keseluruhan terkonjugasi. Semua flavonoid yang telah terkonjugasi kemudian
disalurkan ke dalam empedu dan kembali ke usus halus tanpa mengalami dekonjugasi lagi dan kemudian dikirim ke kolon serta diikuti deglukoronidasi atau
sulfatasi oleh mikroba dalam ileum atau kolon dan terjadi reabsorbsi flavonoid dalam tikus enterohepatik Meskin et al, 2004.
Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat dalam plasma aglikon memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif atau
terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran
dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma.
Dalam hati, enzim ini aktif terhadap quarcetin glukoronida. Tahap terakhir dari metabolisme senyawa flavonoid adalah ekresi yang merupakan ekresi di ginjal.
Meskipun demikian kandungan flavonoid karena pembentukan deglikosilasi flavonoid juga terjadi di kolon oleh mikroba Meskin et al, 2004.
Komponen darah
Menurut Koolman dan Rohm 1996, darah menyusun sekitar 8 dari masa tubuh manusia. Darah merupakan suatu jaringan bersifat cair yang terdiri
atas sel-sel darah dan plasma sebagai mediumnya. Plasma darah bersifat homogen dan alkali lemah serta terdiri dari garam organik, protein, lemak, hormon, vitamin,
enzim serta zat-zat nutrisi lainnya. Sel-sel darah mamalia terdiri dari sel darah merah atau eritrosit, keping darah atau trombosit, dan sel darah putih atau leukosit
Hartono 1989. Darah mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh manusia. Darah
merupakan alat transpor, mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga konstan homeostasis dan berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap
benda-benda asing.
Eritrosit
Eritrosit adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh disebut juga sel darah merah red blood cellRBC. Di
dalam tubuh manusia dalam keadaan diam sekitar 250 ml oksigen dikonsumsi dan 200 ml karbondioksida diproduksi setiap menit, selama latihan jumlah ini
meningkat sepuluh kali lipat Anonim 2006. Warna kemerah-merahan disebabkan oleh kandungan hemoglobin. Eritrosit berbentuk bikonkaf yang
meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbon dioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas
beberapa protein. Eritrosit sangat fleksibel dan dapat berubah bentuk saat mengalir di dalam kapiler. Eritrosit yang belum matang disebut retikulosit, secara
normal terdapat 1-2 dari jumlah sel darah merah di dalam darah. Garis tengah eritrosit manusia adalah 6-8 µm, jauh lebih kecil dibanding hampir seluruh sel
manusia. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme Anonim 2006. Dalam rangka
mengikat oksigen, besi yang terdapat pada heme yang mengisi separuh jumlah hemoglobin harus dijaga dalam bentuk tereduksi disamping sebagai agen oksidasi
endogen dan eksogen Anonim 2006.
Plasma darah
Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma
mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain. Volume plasma
normal adalah sekitar 5 berat badan atau secara kasar 3500 ml berat badan 70 kg. Plasma akan menggumpal jika didiamkan dan hanya akan bertahan cair jika
ditambah antikoagulan Ganong 2000. Protein membentuk bagian terbesar komponen yang tidak mudah menguap
di dalam plasma darah. Konsentrasinya berkisar antara 60 dan 80 gL. Dengan demikian sekitar 4 dari seluruh protein tubuh adalah protein plasma. Di dalam
plasma terdapat sekitar 100 protein yang berbeda Koolman dan Rohm, 2001.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB,
Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Primata, Bogor serta klinik Farva Dramaga, Bogor.
Waktu yang diperlukan dari pembuatan proposal sampai pembuatan laporan adalah selama 10 bulan yaitu dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk biji kakao bebas lemak yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di
Jember. Bubuk yang digunakan merupakan bubuk biji kakao varietas bulk masak non fermentasi yang memiliki total fenol dan daya proliferasi limfosit yang tinggi
berdasarkan uji in vitro Zairisman 2006 . Bahan lain yang digunakan adalah gula pasir, air panas, dan susu bubuk skim.
Bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah: H
2
SO
4
65, metanol pro- analisis, kloroform-etanol 96, larutan epinefrin, buffer natrium karbonat,
potassium bikromat K
2
Cr
2
O
7
, H
2
O
2
, triton X-100 0.1 , EDTA, TBA, sukrosa, HCl, Gas CO, NaS
2
O
4
, albumin serum sapi AAS, pereaksi Folin, CuSO
4
.5H
2
O, 1 ml Na-tartarat 2 , 98 ml Na
2
CO
3
2 dalam 0,1 N NaOH.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: sentrifuge JOUAN, tipe CR 412, laminar air flow Holten laminar air tipe HV 2472,
inkubator Jouan tipe IG 150, mikroskop, hemasitometer, mikroplate reader, syringe 50 ml Terumo, tabung sentrifuse steril, lempeng mikro 96 sumur
Costar, membran filter sigma, mikropipet, spektrofotometer, ultra Sentrifuge, tabung ultrasentrifuse, ELISA Reader.
Peralatan sekali pakai yang digunakan adalah syringe 50 ml Terumo, Syringe 3 ml, tabung sentrifuge steril 15 dan 50 ml sekali pakai Corning,
lempeng mikro 96 sumur Corning, repeater Eppendorf, dispenser tip Marsh, dan tabung vacutainer ukuran 9 ml dengan koagulan.
Alur penelitian
Alur penelitian yang telah dilakukan digambarkan secara skema dalam
diagram alir berikut:
Gambar 6 Diagram alir penelitian
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan bersama-sama dengan Erniati 2007, Amri 2007, Yuliatmoko 2007 dan Kusumaningtyas 2007 mulai dari tahap
penentuan komposisi minuman bubuk kakao bebas lemak sampai tahap pemisahan komponen darah.
Pengambilan darah
Subyek sehat n=18
Inform Consent Kelompok
Kontrol n=9
Kelompok Kakao n=9
SCREENING
Pemeriksaan kesehatan dan
interview
25 hari
AKHIR INTERVENSI
Pemeriksaan kesehatan Pengambilan darah
Analisa Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase Analisa Enzim Detoksifikasi Sitokrom P-450
dan Glutation S-Transferase GST
ANALISA DATA
Positif
HASIL
Negatif 25 hari
MULAI INTERVENSI
1. Pembuatan minuman bubuk kakao
Minuman bubuk kakao bebas lemak disiapkan dengan cara bubuk kakao bebas lemak bulk masak non fermentasi sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 100
ml air hangat, ditambahkan 2 gram gula dan 2 gram susu bubuk skim .
Minuman
bubuk kakao dalam keadaan hangat akan diminum oleh responden 2.
Persiapan responden
Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah mahasiswi S1 Institut Pertanian Bogor. Pertimbangan dalam memilih subyek ini adalah kesamaan
tempat tinggal, memiliki pengetahuan tentang pangan, gizi, dan metodologi penelitian dengan baik, serta mempunyai status gizi normal. Dengan demikian,
penelitian ini diharapkan dapat berjalan dengan baik, sosialisasinya mudah, dan pengaruh biologisnya relatif seragam.
Jumlah subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 orang berjenis kelamin perempuan, umur 22-27 tahun, dibagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama berjumlah 9 orang meminum minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari dan sisanya kelompok yang tidak meminum minuman kakao
bebas lemak, kelompok ini dinamakan dengan kontrol. Kelompok kontrol ini hanya mengkonsumsi minuman yang terdiri dari
sedikit susu bubuk skim yang ditambah sedikit gula dalam 100 ml air hangat Responden yang dipilih adalah mahasiswa yang dinyatakan sehat
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh Klinik Farfa Dramaga, Bogor.
3. Pelaksanaan intervensi modifikasi dari Nurrahman, 1998
Intervensi dilaksanakan selama 25 hari di rumah indekost mahasiswa di kompleks perumahan IPB II Sindang Barang. Pelaksanaan dilakukan setiap hari
pada jam 07.00-08.00 WIB. Setiap responden pada kelompok perlakuan meminum minuman bubuk kakao sebanyak 4 g100 ml setiap hari. Minuman
bubuk kakao dipersiapkan setiap hari oleh peneliti yang sekaligus mengawasi responden meminum minuman bubuk kakao. Semua responden akan mendapat
sarapan pagi sebelum mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dan makan malam dengan menu yang seragam. Seminggu sekali selama pelaksanaan
intervensi dilakukan diskusi yang melibatkan seluruh responden mengenai
penelitian dan kesehatan umum.
Sebelum pelaksanaan intervensi juga dilakukan penandatanganan surat perjanjian Inform consent lampiran 1 dan wawancara terhadap responden
dengan format kuisioner standar lampiran 2. Kuisioner tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai status sosial ekonomi, pengetahuan tentang
pangan, pola konsumsi dan kebiasaan membeli makanan jajanan. Hasil pengisian kuisioner tentang pola konsumsi dan kebiasaan membeli
makanan jajan disusun jenis makanan dan fekuensinya per minggu per orang serta nilai pencemaran. Nilai pencemaran diperoleh dengan cara mengalikan
frekuensi konsumsi makanan jajanan, tempat pembelian dan jenis pembungkusnya. Masing-masing faktor pengkali diberi skor dari 1 untuk tingkat
pencemaran rendah sampai 6 untuk pencemaran tinggi.
4. Pengukuran status gizi Nurrahman 1998
Pengukuran status gizi responden dilakukan secara antropometri yang meliputi Tinggi Badan TB dan Berat Badan BB. Penggolongan status Gizi
menurut “Body Mass Index” BMI dengan satuan Kgm
2
, yaitu: BMI = BBTB
2
Dimana: BMI 17,0 kekurangan berat badan tingkat berat
BMI 17,0 – 18,4 kekurangan berat badan tingkat ringan BMI 18,5 – 25,0 normal
BMI 25,1 – 27,0 kelebihan berat badan tingkat ringan BMI
27,0, kelebihan berat badan tingkat berat
5. Pengambilan darah
Pengambilan darah dilakukan sebelum dan sesudah responden mengalami intervensi dengan meminum minuman bubuk kakao. Pengambilan darah
dilakukan di klinik Farfa Kampus Dramaga IPB pada jam 07.00 pagi oleh seorang asisten tranfusi darah. Darah diambil sebanyak 35 ml dengan menggunakan jarum
Precisionglide
TM
steril sekali pakai, kemudian di masukkan ke dalam tabung vacutainer steril ang mengandung koagulan
. Darah yang diambil dibawa
kelaboratorium kultur jaringan bagian patologi FKH IPB untuk segera dianalisa.
Gambar 7 Proses Pengambilan Darah Responden 6.
Isolasi eritrosit Zhu et al 2005
Darah yang telah dimasukkan dalam tabung vacutainer steril yang mengandung koagulan dilakukan pemisahan komponen seluler dengan
sentrifugasi sampel darah dalam vacutainer pada 514 x g selama 10 menit dengan menggunakan sentrifius dengan rotor swing. Bagian darah yang lebih berat sel
darah merah eritrosit berada di bagian bawah, sedangkan plasma darah terpisah bagian atas. Plasma darah dan eritrosit diambil atau dipisahkan dengan
mikropipet ke dalam masing-masing tabung sentrifius yang telah disiapkan.
7. Aktivitas enzim antioksidan katalase pada plasma darah Sinha, 1978
Prinsip metode yang digunakan oleh Sinha menggunakan zat warna sebagai indikator. Zat warna yang digunakan adalah potassium bikromat K
2
Cr
2
O
7
5 dalam suasana asam asetat glasial 1:3. Ion bikromat dalam suasana asam akan direduksi oleh H
2
O
2
menjadi kromat dan memberikan warna pada panjang gelombang 570 nm. 1 unit aktivitas katalase dinyatakan sebagai
banyaknya H
2
O
2
dalam mol yang digunakan oleh katalase permenit. Cr
6 +
+ H
2
O
2
H
+
Cr
+ 3
+ H
2
O +O
2
a. Ekstraksi sample
Sebanyak 3.5 ml plasma ditambahkan dengan 0.5 ml triton X-100 0.1 , sentrifuse pada 4000 rpm selama 5 menit suhu dingin. Supernatan digunakan
untuk menentukan aktivitas katalase.
b. Pengukuran aktivitas katalase Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan dengan 5 ml buffer posfat 0.05 M pH
7.0 sambil divortek. Tambahkan 4 ml H
2
O
2
0.2 M dan inkubasi selama 60 detik. Ambil 1 ml larutan ini tambahkan 2 ml larutan warna kalium bikromat lalu
panaskan pada air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, serapan diukur pada
panjang gelombang 570 nm. c. Kurva standar dan perhitungan aktivitas katalase
Kurva standar dibuat dari larutan standar H
2
O
2
30. 1 ml larutan standar H
2
O
2
ditambahkan dengan 2 ml larutan bikromat 5 , panaskan dalam air mendidih selama 10 menit kemudian dinginkan dan serapan dibaca pada panjang
gelombang 570 nm. Absorban sb y dialurkan terhadap konsentrasi H
2
O
2
sb x. Jumlah H
2
O
2
yang dipakai katalase = 0.2 M – konsentarasi H
2
O
2
terbaca.
8. Aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit darah Sinha, 1978
Prinsip metode yang digunakan oleh Sinha menggunakan zat warna sebagai indikator. Zat warna yang digunakan adalah potassium bikromat K
2
Cr
2
O
7
5 dalam suasana asam asetat glasial 1:3. Ion bikromat dalam suasana asam akan direduksi oleh H
2
O
2
menjadi kromat dan memeberikan warna pada panjan gelombang 570 nm. 1 unit aktivitas katalase dinyatakan sebagai banyaknya
H
2
O
2
dalam mol yangdigunakan oleh katalase permenit. Cr
6 +
+ H
2
O
2
H
+
Cr
+ 3
+ H
2
O +O
2
a. Ekstraksi sample